Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pada tahun 1952 Jepang mulai menata kembali kehidupan politiknya
setelah tentara Amerika Serikat mulai menduduki Jepang pada tanggal 2
September 1945 karena kekalahannya dalam Perang Dunia II. Jendral Douglas
MacArthur yang merupakan panglima tertiggi Sekutu di Jepang mulai
merombak segala tatanan hukum di negara Jepang. Awal pemberlakuan
hukumnya di antaranya adalah dengan pelucutan senjata, liberalisasi, unifikasi
wilayah dan desentralisasi ekonomi. Sekutu yang dimotori oleh Amerika
Serikat, mereka menginginkan kemakmuran dan kekuatan ekonomi di Jepang
yang saat itu belum terkonsentrasi, tetapi harus lebih desentralisasi dan
dijadikan perusahaan publik dalam kerangka demokrasi. Alat yang dipakai
MacArthur untuk membuat ulang Jepang adalah serangkaian perintah yang
disebut SCAPINS. ( Whiting, 2010 : 15)
SCAP (Supreme Commander for Allied Powers) adalah birokrasi
Amerika yang memiliki pembagian politik dan kelompok sebagaimanaa
susunan birokrasi pada umumnya. Di atas mereka semua, MacArthur bertakhta
seperti layaknya Soghun Amerika Modern. Kependudukan Amerika Serikat di
Jepang berjalan relatif lancar, walaupun Amerika Serikat merombak sistem
pemerintahan mulai dari mengurangi kekuasaan birokrasi pusat, kementrian
dalam negeri serta status kaisar dihapuskan, tetapi hal tersebut bertujuan untuk
membentuk Jepang sebagai pemerintahan yang harus memenangkan kehendak
rakyat. Secara umum, SCAP cukup efektif dalam mengatur negara Jepang
yang kalah dan miskin akibat perang. Namun ada yang kurang, apakah
pendudukan berhasil mencapai tujuannya yang lain, yaitu membersihkan
politik Jepang. Institusi-institusi Jepang, termasuk yang korupsi, terbukti
menjadi lebih tahan banting dari perkiraan banyak orang. Sejumlah elemen
yang tidak di inginkan seperti yakuza, tampaknya tidak hanya bertahan
melainkan lebih berkembang, bahkan di kota-kota yang telah hancur oleh bom.
Lambat laun kritik mulai tumbuh ketika Amerika Serikat bertindak
semakin sewenang-wenang sesuai dengan kepentingan dirinya serta tidak bisa
menyelesaikan keadaan politik di Jepang, selain itu ada pula penganiayaan
yang dilakukan Amerika terhadap komunis. Hal tersebut menyebabkan warga
Jepang mulai gerah dan mulai memberikan protes-protes serta tekanan-tekanan
terhadap Amerika Serikat agar kependudukan segera di akhiri. Pada bulan
september 1952 terjadi sebuah perjanjian yang dilakukan oleh Amerika Serikat
dan Jepang, perjanjian ini membebaskan Amerika Serikat dari tanggung jawab
atas pemerintahan Jepang, tetapi tetap meninggalkan masalah yang belum
teratasi mengenai kepentingan strategis Amerika Serikat di Jepang. Untuk
menjaga kepentingan ini sebuah fakta perjanjian Amerika- Jepang juga
ditandatangani. Amerika menjanjikan perlindungan bagi Jepang dari serangan
nuklir dengan imbalan Jepang mengijinkan Amerika Serikat menyewakan
lokasi-lokasi di pulau Jepang untuk pangkalan militer ( Whiting, 2010 :13).
Kependudukan Amerika Serikat resmi berakhir tahun 1952 setelah
adanya Perjanjian Sanfrancisco antara Jepang dengan Amerika Serikat, yang
artinya bahwa Jepang akan lepas dari pendudukan Amerika Serikat. Ketika
masa pendudukan akan berakhir, Jepang mulai mengawali kehidupan
politiknya kembali. Banyak politikus Jepang baik orang-orang dalam golongan
kanan yang berhaluan konserfatif, golongan konserfatif berpandangan
pemerintah yang terbaik ialah yang memerintah sedikit mugkin, menganut
sistem kekeluargaan, ekonomi dan pasar bebas akan dengan sendirinya
menguntungkan semua individu, kurang memperhatikan hak-hak sipil
golongan minoritas, mendukung pembangunan industri persenjataan besar-
besaran (Surbakti, 1992: 36). Sedangkan golongan kiri berhaluan kepada
sosialis yang mulai dipengaruhi oleh komunis, golongan ini berpandangan
bahwa menciptakan masyarakat sosialis yang di cita-citakan dengan
kejernihan dan kejelasan argumen, bukan dengan cara-cara kekerasan dan
revolusi dan paham ini juga menghapuskan hak milik pribadi dan
menggantinya dengan hak kepemilikian bersama atas sarana produksi dan
menentang kapitalisme. Dari dua federasi ini sudah jelas terlihat perbedaan
ideologi sehingga mereka sama-sama memperkuat federasi mereka dengan
dukungan masa yang sebesar-besarnya.
Politikus yang termasuk ke dalam federasi sayap kanan merasa khawatir
dengan pergerakan kaum kiri yang ingin menuju kekuasaan dengan pendukung
yang cukup besar. Para tokoh politik sayap kanan mulai khawatir dan
memikirkan mengenai bagaimana masa depan negara mereka. Mereka
menganggap bahwa komunis akan mengancam negara mereka, terbukti bahwa
golongan kiri sudah mulai terpengaruh oleh komunis. Ketakutan inilah yang
menyebabkan para tokoh sayap kanan mulai bergerak dan memikirkan cara
untuk menghambat menjalarnya komunis di negara mereka dengan mencari
dukungan dari sekelompok gengster dan para bandit di Jepang dengan tujuan
untuk mengimbangi kekuatan federasi sayap kiri. Hal tersebut bisa dilihat dari
tulisan yang dimuat di Majalah Tempo 19 Oktober 1982 yang bersumber dari
The New York Time Magazine yang ditulis oleh Donald Kirk yaitu seorang
wartawan Freelance yang mengkhususkan diri pada masalah-masalah Asia.
Dalam majalah ini diceritakan saat Donald Kirk mewawancarai seorang
sindikat kriminal terbesar di Jepang yang bernama Hideomi Oda. Dalam
wawancara tersebut Oda menceritakan mengenai perekrutan anggota Yakuza
oleh Kodama yang merupakan seorang pendiri Federasi Patriotik Jepang,
berikut adalah petikan wawancara Donald Kirk terhadap Hideomi Oda.
“Hideomi Oda: “ Dunia bawah tanah Jepang menampilkan perkawinan
antara Politik dan kejahatan. Corak itu tampak nyata dalam serikat
ultranasionalis Zen-Ai-Kaigi, alias Federasi Politik Jepang yang didirikan
Kodama. Federasi sayap kanan ini muncul mengimbangi Sayap Kiri”.(
Majalah Tempo: 19 Oktober 1982)”.
Dalam kutipan tersebut menjelaskan bahwa hubungan antara kejahatan
dan politikus telah dibangun secara baik, kejahataan yang dimaksud dalam hal
ini adalah bahwa politikus Jepang yang tergabung ke dalam Federasi politik
sayap kanan telah bekerjasama dengan sekelompok Yakuza atau mafia Jepang
yang pada saat itu merupakan orang-orang yang tergabung dalam kasus
kejahatan dan kriminal di negara Jepang. Pada perkembangan selanjutnya para
politikus sayap kanan pun mulai mengadakan kerjasama yang lebih kuat
sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing. Kepentingan-kepentingan
itulah yang nanti akan melahirkan suatu koalisi politik yaitu dengan lahirnya
suatu perkawinan kejahatan dan politik yang terbentuk dalam suatu federasi
atau partai.
Melihat permasalahan tersebut, Peneliti merasa tertarik untuk mengkaji
hal tersebut dikarenakan sejauh yang peneliti ketahui bahwa, belum ada yang
menulis skripsi mengenai keterlibatan yakuza dalam politik Jepang tahun
1952-1980. Maka dari itu peneliti mencoba menuangkannya dalam penulisan
skripsi yang berjudul, “Peranan Yakuza Dalam Kehidupan Politik Jepang
Tahun 1952- 1980 ”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti membatasi
kajiannya dalam satu rumusan masalah besar yaitu “Bagaimanaa keterlibatan
Yakuza dalam kehidupan Politik Jepang tahun 1952-1980?”. Mengingat
rumusan masalah tersebut begitu luas, maka untuk memudahkan dalam
melakukan penelitian dan mengarahkan dalam pembahasan, maka peneliti
mengidentifikasi rumusan masalah tersebut kedalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut :
1. Bagaimanaa latar belakang lahirnya yakuza di Jepang?
2. Bagaimanaa keadaaan politik Jepang pasca Perang Dunia II ?
3. Bagaimanaa keterkaitan yakuza dengan federasi politik Jepang tahun 1952-
1980?
4. Mengapa Federasi Sayap Kanan memilih yakuza sebagai koalisi
politiknya?
5. Bagaimanaa dampak bagi kehidupan politik di Jepang setelah yakuza
masuk dalam politik Jepang tahun 1952-1980?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian


Tujuan utama yang ingin dicapai peneliti dalam penelitian ini adalah
menjelaskan mengenai Peranan Yakuza dalam Kehidupan Politik Jepang
Tahun 1952- 1980. Adapun tujuan dan manfaat khusus dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Akademis
a. Memperkaya penulisan di Jurusan sejarah, terutama sejarah organisasi,
politik di Jepang maupun sejarah kawasan terutama sejarah Asia.
b. Untuk menambah pengetahuan peneliti dan juga para pembaca
mengenai alur panjang sebuah peristiwa politik di Jepang, sehingga
pengetahuan kita bertambah dan dapat mengambil pelajaran dari sebuah
bangsa besar.
c. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber atau media
pembelajaran sejarah khususnya pembelajaran sejarah kawasan di
sekolah. Sehingga dengan adanya penelitian ini siswa mampu
memperluas wawasannya dalam mendalami sejarah bangsa lain.

2. Praktis
a. Mendeskripsikan sejarah singkat lahirnya Yakuza di Jepang.
b. Memaparkan bagaimana kondisi dan keadaan politik Jepang pasca
Perang Dunia II.
c. Mendeskripsikan keterlibatan yakuza dengan federasi politik di Jepang
tahun 1952-1980.
d. Menganalisis mengapa Sayap Kanan memilih Yakuza masuk dalam
perpolitikan Jepang
e. Menganalisis dampak kehidupan politik di Jepang setelah Yakuza
masuk kedalam politik Jepang tahun 1952-1980.

D. Sistematika Penulisan
Hasil yang diperoleh melalui telaah pustaka, dikumpulkan dan dianalisis,
kemudian disusun ke dalam sebuah laporan dengan sistematika sebagai
berikut:
Bab I Pendahuluan Menjelaskan tentang latar belakang masalah yang
memuat penjelasan mengapa masalah yang diteliti muncul dan penting diserta
mengenai alasan atau ketertarikan peneliti memilih permasalahan itu diangkat
ataupun yang selama ini menjadi keresahan bagi peneliti. Pada bab ini juga
berisi rumusan masalah yang disajikan dalam bentuk pertanyaan untuk
mempermudah peneliti mengkaji dan mengarahkan pembahasan, tujuan
penelitian, metode dan teknik penelitian serta sistematika penulisan. Adapun
yang menjadi uraian dari bab 1 ini yakni: Latar Belakang, Rumusan Masalah,
Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Teknik Penelitian, Metodologi
Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka Mengenai Tinjauan Pustaka memaparkan
berbagai sumber literatur yang peneliti anggap memiliki keterkaitan dan
relevan dengan masalah yang dikaji. di dukung dengan sumber tertulis seperti
buku dan dokumen yang relevan. Dalam kajian pustaka ini, peneliti
membandingkan, mengkontraskan dan memposisikan kedudukan masing-
masing penelitian yang dikaji kemudian dihubungkan dengan masalah yang
sedang diteliti. Hal ini dimaksudkan agar adanya keterkaitan antara
permasalahan yang ada dengan buku-buku atau secara teoritis, agar keduanya
bisa saling mendukung, dimana dari teori yang sedang dikaji dengan
permasalahan yang diteliti bisa berkaitan. sedangkan fungsi dari kajian pustaka
adalah sebagai landasan teoritik dalam analisis temuan.
Bab III Metodologi Penelitian mengenai Metodologi Penelitian, bab ini
berisi mengenai tahap-tahap, langkah-langkah, metode dan teknik penelitian
yang digunakan oleh peneliti meliputi heuristik, kritik, interpretasi, dan
historiografi. Semua prosedur dalam penelitian akan dibahas pada bab ini.
Prosedur yang dimaksud adalah langkah-langkah peneliti dalam melakukan
penelitian ini seperti tahap perencanaan, pengajuan judul penelitian, persiapan
penelitian, proses bimbingan dan tahap pelaksanaan penelitian. Dalam bab ini
juga peneliti mengungkapkan dan melaporkan pengalaman selama
melaksanakan penelitian.
Bab IV Pembahasan pembahasan merupakan isi utama dari tulisan karya
ilmiah ini mengenai permasalahan-permasalahan yang terdapat pada rumusan
dan batasan masalah. Selain itu terdapat penjelasan judul, memaparkan dengan
rinci mengenai hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan dan memaparkannya
dalam bab ini. Selain itu pada dasarnya Bab IV ini merupakan hasil
pengolahan dan analisis terhadap fakta-fakta yang telah ditemukan dan
diperoleh selama penelitian berlangsung. Dan pada bab IV ini peneliti akan
memaparkan hasil penelitiannya dengan bahasanya sendiri.
Bab V Kesimpulan sebagai bab terakhir yakni menjelaskan kesimpulan
yang merupakan jawaban dan analisis peneliti terhadap masalah-masalah
secara keseluruhan yang merupakan hasil dari penelitian. Hasil akhir ini
merupakan pandangan serta interpretasi peneliti mengenai inti dari bab IV
yakni mengenai pembahasan. Selain itu dalam Bab V disajikan penafsiran
peneliti terhadap hasil analisis dan temuan, hasilnya disajikan dalam bentuk
kesimpulan penelitian.
Pada bab ini peneliti mengemukakan beberapa kesimpulan yang
didapatkan setelah mengkaji permasalahan yang telah diajukan sebelumnya.
Pada Bab V ini laporan yang dibuat dan dilampirkan bisa berbentuk uraian
padat atau dengan cara butir demi butir, akan tetapi akan lebih baik jika bentuk
yang disajikan adalah dengan uraian padat daripada dalam butir demi butir.
Dalam bab ini pula biasanya peneliti mengharapakan saran dan kritik pembaca
atas penelitian yang telah dilakuakannya sebagai bahan masukan agar
penelitian yang akan datang bisa lebih baik lagi.
BAB II
GAMBARAN UMUM YAKUZA

A. Yakuza
Yakuza merupakan kelompok sindikat kejahatan tradisional Jepang yang
melakukan berbagai aksi atau kegiatan dengan cara dan hukum mereka sendiri,
tanpa memperdulikan hukum yang ada. Namun untuk melindungi dirinya
anggota yakuza bekerja secara terstruktur dan terorganisir, memiliki aturan
dalam kelompok, dan eksistensinya didukung oleh kecanggihan teknologi serta
sumber daya manusia yang dapat dikatakan cerdas. Yakuza dapat dikatakan
sebagai penjahat kerah putih yakni uniknya walaupun sebagai organisasi
kejahatan, yakuza hidup berdampingan dengan masyarakat dengan baik.
Yakuza mampu berbaur dengan masyarakat dan bersikap seperti masyarakat
biasa, merendah dan tak mau ketahuan sebagai yakuza.
Keberadaan yakuza dalam masyarakat Jepang bukanlah suatu rahasia
lagi, masyarakat sudah tau pergerakan anggota geng ini yang penuh kejahatan.
Yakuza hidup dari pemerasan, judi, prostitusi , narkotika, penyelundupan,
pencucian uang dan penyedia jasa layanan proteksi keamanan pada
perusahaan-perusahaan konstruksi, termasuk menyediakan jasa buruh dan
detektif swasta. Mereka melakukan pekerjaan yg orang lain tidak akan mau
melakukannya, semacam pekerjaan rendah, kotor, berbahaya dan melanggar
hukum.
Yakuza bukanlah sepenuhnya sampah masyarakat, kelompok sosial ini
juga sering melakukan hal-hal yang positif, seperti membantu masyarakat.
Pada waktu jepang diguncang gempa bumi bulan Maret 2011 lalu, peranan
yakuza dalam membantu korban bencana sangat besar . Pada saat semua
bantuan dari pemerintah maupun asing belum tiba, anggota yakuza sudah
terlebih dahulu turun ke lokasi bencana dan memberi bantuan kepada para
korban . Pada saat bantuan resmi dari pemerintah datang, yakuza ikut
membantu mengamankan agar tidak terjadi penjarahan dan kekacauan.
Terkadang mereka juga membantu menyalurkan bantuan sampai ke daerah
terpencil. Hal yang mengejutkan juga adalah saat terjadi bencana dari reaktor
Nuklir Fukushima di Jepang. Yakuza ada di belakang upaya penyelamatan
warga dan lebih hebat lagi mereka membantu mengendalikan radiasi di
reaktor.
Saat krisis nuklir fukushima mencapai titik kritis, banyak pekerja reaktor
yg lari dan keluar dari lokasi. Penduduk di wilayah antara radius 20-30
kilometer juga sudah dievakuasi karena ancaman radiasi yg semakin
berbahaya. Resiko pelelehan nuklir (nuclear meltdown) pada waktu itu sudah
didepan mata . Untuk mencegah hal itu terjadi, beberapa pekerja harus tetap
berada di tempat untuk mengatasi ledakan-ledakan yg terus terjadi. Mereka
terus menerus menyiram reaktor yg panas mendidih itu dengan air laut karena
alat pendingin otomatisnya tidak berfungsi.
Paparan Radiasi nuklir saat itu terlepas ke udara dalam jumlah yg
berbahaya, mereka yang terkena bisa saja mati pada saat itu juga atau mati
perlahan dalam waktu puluhan tahun kedepan karena dampak radiasi . Itu
tidak lebih dari sekedar sebuah pilihan. Saat itu muncullah istilah “Fukushima
Fifty” atau 50 orang yg berani mati dan terus bekerja selama 24 jam di
fukushima. Suzuki menyebutkan bahwa diantara grup heroik tersebut beberapa
anggotanya adalah anggota yakuza.
Pekerjaan memadamkan reaktor pada waktu itu sangat mengerikan, di
tengah ledakan-ledakan, para pekerja memiliki resiko 100% terpapar radiasi
nuklir . Masker pengaman hanya bisa mengurangi resiko hingga 50% saja,
seperti kita ketahui pancaran radioaktif Alfa, Beta dan Gamma Ray bisa
menembus benda-benda. Jadi sisanya pengaman mereka adalah baju khusus yg
mereka pakai. Mereka juga diberikan alat pendeteksi / indikator untuk
mengetahui seberapa banyak radiasi yg mengenai mereka dan akan berbunyi
nyaring apabila level radiasi melewati batas normal. Namun kemudian alat itu
dimatikan semuanya, karena bunyinya yang nyaring mengganggu upaya
pemadaman yang mereka lakukan.
Pekerjaan berbahaya ini beresiko hilangnya nyawa sehingga tak banyak
yang mau melakukan. Tetapi yakuza di Jepang mau mengirimkan anggotanya
untuk mempertaruhkan nyawa. Saat krisis nuklir mencapai puncak, yakuza
direkrut dari seluruh penjuru Jepang. Mereka dibayar sekitar 50 ribu Yen
(sekitar 5 juta rupiah) per hari, bahkan ada yg mencapai 200 ribu Yen. Tapi
siapa yg mau menyerahkan nyawa demi uang seperti itu..? Seorang pejabat
Fukushima sampai mengatakan “Bring us the living dead. People no one will
miss”. Mereka mencari mayat hidup, orang yg tak memiliki siapa-siapa lagi
sehingga rela mati, dan itu adalah para anggota yakuza.
Yakuza pada kenyataannya tetaplah sebuah kelompok preman yg
melakukan kejahatan-kejahatan. Kasus pembunuhan, penyelundupan, dan
baku tembak di depan umum masih terjadi dan meresahkan masyarakat
Jepang. Pemerintah Jepang secara terang-terangan mengumumkan perang
terhadap yakuza dan pihak kepolisian Jepang bahkan telah mengusulkan ke
parlemen undang- undang yg isinya menangkap sindikat kejahatan yakuza.

B. Sejarah Yakuza
Yakuza adalah sebuah organisasi sosial di Jepang yang dikenal sangat
jahat, organisasi ini berdiri jauh sebelum pemerintahan Jepang ada, sekitar
tahun 1612, saat Shogun Tokugawa berkuasa dan menumbangkan Shogun
Terdahulu, akibatnya sekitar 500.000 Hatomo-Yakko (Pelayan Para Shogun)
kehilangan tuannya, atau biasa di sebut kaum Ronin. Banyak dari kaum ronin
ini menjadi penjahat, mereka menyebut diri mereka sebagai kabuki-mono,
karena kesetiaan diantara meraka yang begitu tinggi sehingga kelompok ini
sulit dibasmi.
Kaum kabuki-mono selalu mengancam penduduk desa sehingga banyak
dari penduduk desa tersebut membentuk satuan desa yang terdiri dari pekerja
sukarela demi keamanan mereka disebut Machi-Yoko. Walaupun jumlahnya
sedikit dan kurang terlatih tetapi para Machi-Yoko ini mampu menjaga daerah
mereka dari serangan-serangan para kaum kabuki-mono. Pada abad 17 rakyat
Jepang menganggap Kaum Machi-Yoko ini sebagai pahlawan karena
keberhasilan mereka menjaga desa.
Dari pahlawan berubahlah menjadi penjahat setelah keberhasilan tersebut
para kaum Machi-Yoko ini banyak yang meninggalkan profesi asli mereka dan
menjadi preman, dan parahnya para shogun ikut memelihara mereka. Kaum
Machi-Yoko ini terbagi 2 kelas yaitu kaum Bakuto (Penjudi) dan kaum Tekiya
(Pedagang), pada dasarnya kaum Tekiya ini cuma menumpang nama saja
menjadi pedagang karena pada kenyataannya kaum Tekiya ini sering menipu
dan memeras para pedagang, namun begitu kaum ini mempunyai sistem
kekerabatan yang kuat, ada hubungan kuat antara : Oyabun (Boss-bapak) dan
Kobun (bawahan-anak), serta Senpai-Kohai (Senior-Junior) yang biasa kita
temukan pada organisasi yakuza saat ini. Sedang kaum Bakuto ini di jadikan
alat para Shogun untuk berjudi dengan petugas konstruksi dan irigasi agar
uang mereka habis di meja judi dan bisa di pekerjakan dengan gaji murah.
Nama yakuza menurut cerita berhubungan dengan dunia judi, dulu ada
permainan yang sering dimainkan oleh kaum Bakuto namanya Hanafuda.
Permainan ini mirip Black Jack setiap orang yang main dibagikan masing-
masing tiga kartu, kemudian maka angka terakhir yang akan menang, kartu
berjumlah 20 sering di sumpahi oleh orang-orang karena berakhir dengan
angka nol, salah satu konfigurasi kartu ini adalah angka 8-9-3 dan jika disebut
dalam bahasa Jepang Ya- Ku-Za. Kaum Bakuto juga mempunyai tradisi
menato seluruh anggota tubuh mereka, orang Jepang menyebutnya Irezumi
dan memotong jari (Yubitsume) sebagai simbol penyesalan atau hukuman.
Seiring waktu Kaum Bakuto dan Kaum Tekiya menjadi satu identitas dan
sekarang lebih di kenal dengan nama yakuza.

C. Struktur Organisasi Yakuza


Yakuza dikenal sebagai organisasi kejahatan yang memiliki ciri khas
tersendiri dengan struktur organisasi yang rapi, sehingga hal inilah yang
membedakan yakuza dengan organisasi-organisasi kejahatan lainnya di dunia.
Yakuza bukan hanya sekedar kumpulan penjahat dan orang-orang yang
memiliki latar belakang berbeda, tetapi mereka semua tergabung dalam suatu
ikatan keluarga. Dalam organisasi yakuza terdapat istilah ikka, yaitu suatu
bentuk keluarga yang anggotanya tidak memiliki hubungan darah satu sama
lain. Dalam yakuza, kata ikka diganti dengan istilah gumi yang berarti
kelompok atau kai yang berarti asosiasi. Kata tersebut diletakkan setelah nama
suatu kelompok, misalnya Yamaguchi-gumi atau Inagawa-kai. Struktur
organisasi yakuza berbeda dengan strukur organisasi kejahatan di negara lain.
Dalam struktur organisasi yakuza terdapat tiga struktur yang mendasar,
yaitu hirarki formal dalam tugas dan tingkatan, hirarki berdasarkan sistem Ie
tradisional Jepang, dan hirarki dalam internal kelompok. Struktur organisasi
yakuza memiliki bentuk yang sama dengan sistem keluarga inti Ie di Jepang. Ie
adalah sebuah bentuk keluarga yang mempunyai sistem tersendiri yang berurat
berakar pada masyarakat Jepang. Oleh karena itu, Ie mempunyai hubungan
yang dalam dengan sistem nilai dan struktur masyarakat Jepang dan juga
merupakan suatu sistem masyarakat dalam kesejarahan Jepang tersendiri
(Sistem Ie berbentuk patrilineal yaitu suatu keluarga yang berlangsung terus
menerus melalui garis keturunan ayah. Keluarga Ie dipimpin oleh kacho (ayah)
sebagai keluarga dan chonan (anak laki-laki pertama) yang akan menjadi
kacho generasi berikutnya. Objek dari kesinambungan sistem Ie adalah
hubungan darah (hubungan orang tua dengan anak, hubungan abang dengan
adik), hubungan tempat tinggal (rumah dan pekarangan), dan hubungan
ekonomi (produksi, konsumsi, usaha dan harta). Karena keluarga Ie
merupakan kelompok untuk menjalankan kehidupan, maka orang yang bukan
hubungan darah pun dimungkinkan menjadi anggota keluarga.
Yakuza mengadopsi sistem Ie ke dalam hubungan orang tua-anak yang
disebut hubungan oyabun-kobun. Oyabun berarti orang yang memiliki status
oya, yaitu sebagai orang tua dalam kelompoknya atau sebagai pemimpin dari
suatu organisasi dan kobun adalah orang yang memiliki status ko, yaitu
sebagai anak dalam kehidupan keluarga atau sebagai bawahan dalam suatu
organisasi. Oyabun mengatur, membawahi dan memberikan perlindungan
terhadap kobun. Sedangkan kobun selalu tunduk dan setia menjalankan
perintah yang diberikan Oyabun.
Pada masa yakuza awal, hubungan oyabun-kobun membentuk kekuatan
dan hubungan yang erat yang luar biasa, bahkan sampai menciptakan
pengabdian fanatik kepada bos. Sampai sekarang, sistem oyabun-kobun masih
terus menyuburkan kesetiaan, ketaatan, dan kepercayaan diantara para yakuza.
Kobun harus bisa bertindak sebagai teppōdama (peluru) dalam sebuah
perkelahian dengan geng lain. Mereka harus berdiri paling depan, menghadang
senjata dan pedang musuh, serta mempertaruhkan nyawanya demi melindungi
oyabun. Dan adakalanya kobun mengambil alih tanggungjawab dan masuk
penjara atas kejahatan yang dilakukan oleh oyabunnya.
Tingkatan dalam organisasi yakuza tradisional dan modern bersifat
feodal, yaitu satu pemimpin (oyabun) membawahi semua bawahan (kobun).
Tingkatan hirarki dalam organisasi yakuza sangat jelas perbedaan stratanya.
Masing-masing tingkatan memiliki kewajiban, status dan hak istimewa yang
berbeda-beda. Urutan tingkat dari yang teratas adalah kumi-chō atau yang
disebut dengan oyabun, yaitu pemimpin dari suatu organisasi, wakagashira
atau pemimpin muda, saikō kanbu atau eksekutif senior, kanbu atau eksekutif,
kumi-in atau prajurit, dan jun-kōsei-in atau anggota magang. Kemudian
terdapat juga kigyōshatei yaitu hubungan bisnis antar saudara yang tidak
berhubungan langsung dengan ikka, tetapi tetap mendapatkan keuntungan dari
kelompok ikka tersebut.
Kumi-chō bertugas sebagai pemimpin dari suatu organisasi dan bertugas
memberi arahan dan tugas terhadap bawahan dan sebagai pengambil
keputusan dalam suatu tindakan. Wakagashira bertugas sebagai penasehat
oyabun, dan kedudukan wakagashira layaknya orang kepercayaan oyabun.
Diantara oyabun dan wakagashira terdapat kōmon yang bertugas sebagai
penasehat oyabun juga, sehingga oyabun selalu mendapat nasehat dan
masukan dari dua pihak bila menyangkut urusan kelompok. Saikō kanbun dan
kanbun masing-masing memiliki anak buah tersendiri untuk bekerjasama
dalam melakukan tugas dan kewajibannya.
Kumi-in bertugas sebagai bawahan yang mengurusi segala urusan
kelompok seperti mengangkat telepon kantor, supir, bertanggungjawab dalam
penjagaan atau keamanan, dan melayani tamu. Masing-masing dari mereka
kurang lebih sepuluh orang harus berjaga dua puluh empat jam untuk menjaga
kantor pusat organisasi, karena mereka tidak akan tahu apa yang akan terjadi,
apakah adanya serangan dari kelompok lain atau menerima telepon yang
penting. Di luar pekerjaan itu semua, kadang-kadang kumi-in juga diminta
untuk bekerja dalam bisnis milik oyabun, dan apabila terjadi perkelahian
dengan kelompok yakuza lain, kumi-in harus bisa melawan di barisan paling
depan. Bentuk hirarki yang lain dalam struktur organisasi yakuza adalah
hirarki dalam kelompok terkecil.
Dalam tiap tingkatan atau strata memiliki kobun tersendiri, yaitu
tingkatan yang terdapat hubungan oyabun-kobun. Sehingga dalam satu
kelompok memiliki dua posisi, yaitu posisi kobun dalam keseluruhan ikka dan
posisi kobun dalam kelompok terkecil (kelompok internal). Anggota yang
terdapat dalam kelompok terkecil ini tidak lebih dari sepuluh anggota.
Organisasi yakuza yang memiliki kekuatan yang besar umumnya
menguasai kelompok yakuza yang lebih lemah untuk berganung dan
menguasai kelompok tersebut ke dalam payung kekuasaan. Kelompok kecil
yang tergabung tersebut akan menjadi kobun di dalam organisasi yang
menguasainya. Kumi-chō dari kelompok yang lemah akan menjadi kobun dari
kumi-chō dari kelompok penguasa atau menjadi kobun dalam badan eksekutif
kelompok penguasa. Dalam kehidupan organisasi yakuza, peranan wanita
sama sekali tidak dilibatkan dalam urusan kelompok.
Wanita di dunia yakuza hanya sebatas sebagai pelacur, penghibur di bar,
dan sebagai nyonya di anggota kelompok (istri oyabun). Istri oyabun sering
disebut ane-san (saudara kakak perempuan). Mereka sebagai wanita sangat
dipandang rendah dalam pekerjaan yakuza. Namun, bukan berarti wanita sama
sekali tidak terlibat di dalamnya. Salah satu contoh peran wanita dalam yakuza
adalah ketika Taoka Fumiko, istri dari pemimpin kelompok Yamaguchi-gumi
generasi ketiga memimpin kelompoknya untuk sementara karena pemimpin
yang terpilih pada saat itu masuk penjara.
Dalam penerimaan anggota baru, kelompok yakuza melakukan suatu
ritual sebagai tanda terjalinnya suatu hubungan darah antara individu dengan
kelompok yang disebut sakazuki. Sakazuki adalah ritual pertukaran mangkuk
sake sebagai tanda terjalinnya hubungan darah. Sakazuki adalah ritual penting
di dunia yakuza yang mengekspresikan semangat yakuza dalam penentuan
anggota, memperkuat ikatan organisasi, dan kompleksitas hubungan
antarposisi dan fungsi dalam organisasi. Ritual ini tidak hanya sebagai tanda
masuknya anggota baru dalam kelompok, namun juga sebagai tanda
terjalinnya hubungan oyabun-kobun. Ritual ini dilakukan dengan cara formal.
Ritual ini dilakukan di ruangan yang beralaskan tatami (tikar Jepang) dengan
para partisipasi ritual yang menggunakan pakaian haori hakama (pakaian luar
untuk mempermewah kimono) dan terdapat nakōdo (perantara) untuk
membantu pelaksanaan dan sebagai saksi upacara. Ritual dilaksanakan di
depan altar dan suatu persembahan dilakukan pertama kali untuk ditujukan
kepada dewa Shinto yang diletakkan di atas altar sebelum ritual sakazuki
dilakukan.
Individu yang akan bergabung dan membentuk suatu jalinan dengan
kelompok duduk di tatami dengan nakōdo di dekatnya. Pada saat pertukaran
mangkuk sake, jumlah sake yang dituangkan ke dalam mangkuk berbeda-beda
sesuai dengan status dan hubungan yang akan dibuat. Jika yang dihubungkan
merupakan antarsaudara maka volume sake yang dituangkan sama banyaknya.
Mangkuk sake diisi penuh oleh nakodo dan memberikannya ke masing-masing
pihak yang akan dihubungkan. Apabila yang akan dihubungkan adalah saudara
tua dan saudara muda, maka mangkuk sake untuk saudara tua di isi sebanyak
enam persepuluh dan mangkuk sake untuk saudara muda di isi sebanyak empat
persepuluh. Sedangkan apabila yang dihubungkan merupakan hubungan
oyabun- kobun, maka mangkuk sake yang dibutuhkan hanya satu. Manguk
sake tersebut diisi penuh oleh nakōdo, lalu diminum setengahnya oleh oyabun,
dan sisanya diberikan kepada kobun yang akan dihubungkan.

Anda mungkin juga menyukai