Anda di halaman 1dari 8

Indonesia 

dan Geopolitik Tripolar*

Pengantar Sisa kolonialisme yang paling merusak psikohistori masyarakat Negara Negara
Dunia Ketiga adalah perasaan bawah sadar kolektif masyarakat Negara Dunia Ketiga yang
meyakini bahwa Barat adalah superior, teladan, dan pusat dunia; sementara di luar Barat
merupakan subordinat. Provokasi Francis Fukuyama bahwa kapitalisme liberalisme adalah akhir
sejarah (the end of history), benar-benar telah menghancurkan pandangan dunia dan cara berpikir
masyarakat Dunia ketiga sampai pada tingkat yang memprihatinkan.

Peta geopolitik dunia terus bergerak sejalan dengan perubahan aliansi, daya saing dan
kecerdikan para pemimpin negara. Namun, sampai saat ini, masih hidup di dalam pandangan
banyak pemimpin Dunia Ketiga secara permanen bahwa the West was best and the rest had to
follow (Ronaldo Munck, 1999:101). Para petinggi republic ini merupakan salah satu kelompok
di antara pemimpin pemimpin semacam itu. Sejak akhir tahun 1960-an, tepatnya setelah Sidang
MPRS tahun 1966 menunjuk Soeharto sebagai kepala pemerintahan sementara karena Presiden
(Soekarno) dinyatakan tidak mampu melaksanakan tugasnya, Indonesia secara perlahan berkiblat
ke Barat, khususnya Amerika Serikat. Selain menunjuk Soeharto sebagai kepala pemerintahan,
Sidang MPRS juga menginstruksikan kepadanya untuk membentuk pemerintahan baru dengan
sasaran utama: stabilisasi politik, rehabilitasi ekonomi dengan menjalankan pembangunan
nasional, dan mempertahankan politik luar negeri yang bebas. Tidak lama setelah pemerintahan
baru terbentuk, Sultan Hamengkubuwono IX mengumumkan bahwa Indonesia akan berusaha
memulihkan kembali hubungannya dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Pada saat itu,
Sultan baru saja berhasil dalam perundingan untuk memperoleh kredit darurat sebesar US$ 30
juta di Tokyo. Menanggapi langkah langkah yang diambil pemerintah Indonesia itu, pada
pertemuan di Tokyo tanggal 19 Juli 1966 kreditor kreditor utama Indonesia setuju untuk
menjadwalkan kembali pembayaran utang utang luar negeri yang waktu itu diperkirakan
mencapai US$ 1,3 milyar. Para kreditor juga menyusun rencana untuk memberikan bantuan
ekonomi lebih lanjut. Juga diputuskan untuk mengembalikan kekayaan milik asing yang disita di
masa konfrontasi, dan untuk kembali berusaha menarik investasi asing (Ulf Sundhaussen, 1986:
418). Untuk memperkuat dukungan dan legitimasi terhadap pembangunan nasional, TNI AD
bekerjasama dengan kaum teknokrat liberal menyelenggarakan Seminar Angkatan Darat ke 1 di
* Disampaikan pada Seminar “Merangkai Indonesia Masa Depan”, Konggres Mahasiswa
Nasional (KMN), Jogjakarta, 11 Februari 1006. Indonesia dan Geopolitik Tripolar Hasyim
Wahid 1 SESKOAD pada tanggal 1531 Agustus 1966. Dalam seminar itu ditegaskan pentingnya
keterlibatan ABRI dalam menjaga stabilitas politik dan stabilitas pembangunan ekonomi. Para
perwira TNI AD dan teknokrat lulusan Amerika percaya bahwa pemulihan kondisi
perekonomian nasional hanya bias dilakukan melalui pelaksanaan program pembangunan
(developmentalisme) yang didukung oleh doktrin dwifungsi ABRI.

1
Dalam pandangan Benedict R. O'G Anderson, ABRI dengan segera mendukung strategi
pembangunan dan member jaminan atas stabilitas yang dipersyaratkan terutama demi
penanaman modal asing karena pertama tama waktu itu super inflasi sedang melanda
perekonomian Indonesia (Anderson, 198 : 488). Namun, upaya ABRI itu juga bias dilihat
sebagai bentuk pembersihan nama baik korps karena sepuluh tahun sebelumnya ABRI, dalam
hal ini TNI AD, justeru menjadi pelaku utama pengambil alihan perusahaan asing di Indonesia.
Sejak Desember 1957, beberapa prajurit ABRI mendapat tugas untuk mengambil alih
(nasionalisasi) perusahaan asing (Richard Robison, 1986: 151). Setelah diambil alih, AH
Nasution menginstruksikan agar perusahaan yang dinasionalisasi berada di bawah pengawasan
dan penguasaan Angkatan Darat. Pada 1958 ketika perusahaan perusahaan asing itu
diintegrasikan ke departemen departemen pemerintah, Nasution mensyaratkan agar para perwira
senior aktif atau perwira senior yang tidak memiliki tugas ataupun purnawirawan memperoleh
kedudukan dalam manajemen perusahaan perusahaan itu. Nasution juga menginstruksikan agar
perwira perwira yang secara administrative bertanggung jawab pada pelaksanaan UU Darurat
Perang itu di masukkan ke dalam dewan manajemen perusahaan perusahaan asing yang
dinasionalisasi (Farchan Bulkin, 1984:14). Perubahan kiblat ke Amerika tidak hanya terjadi di
kalangan teknokrat dan ilmuwan social lainnya. Para pemikir Islamjuga melakukan hal yang
sama, Nurcholis Madjid merupakan salah satunya. Menurut Greg Barton, Nurcholish Madjid
semula adalah pemikir islam yag sangat antiAmerika. Namun setelah ia belajardi Universitas
Chicago Amerika Serikat, sikapnya berubah 180 derajat membabibuta dengan pendirian baru
yang proAmerika. Bahkan Nurcholish Madjid menilai bahwa Amerika lebih Islami dari
masyarakat Islam yang pernah ia kenal, dalam hal keadilan sosial, persamaan hak dan
kesempatan (Greg Barton, 1999:80). Orientasi ekonomi dan politik ke Amerika terus berlanjut
sampai saat ini, seperti dalam pembuatan kebijakan, komparasi system politik dan ekonomi. Di
samping itu, ada kepentingan Negara besar untuk menciptakan ketergantungan abadi pada
Indonesia sendiri. Fakta  demikian sekurangkurangnya menunjukkan dua hal sekaligus. Pertama,
secara langsung maupun tidak langsung timbul pemihakan para pengambil kebijakan kepada
ideology ekonomi membentuk kapitalisme internasiona. Dengan sendirinya, pemihakan itu
subordinasi terhadap lembagalembaga keuangan internasional (World Bank/IMF/BIS) dan
perdagangan internasional (WTO).

Pemihakan itu merupakan manifestasi dari pengingkaran terhadap UndangUndang Dasar


1945 yang sejak awal menegaskan bahwa Indonesia menganut politik luar negeri  Indonesia dan
Geopolitik Tripolar Hasyim Wahid 1 bebas aktif. Kedua, di tengah kemunculan transisi
hegemoni dalam kancah politik dunia sejak awal 1990an yang bahkan menjurus kepada krisis
hegemoni, kecenderungan untuk terus berkiblat kepada Amerika menunjukkan kegagalan
Indonesia membaca situasi geopolitik internasonal yang mengalami transformasi cukup dinamis.
Kalau demikian halnya yang terjadi, telah terjadi degradasi pemikiran geopolitik di kalangan
para pemimpin bangsa Indonesia saat ini. Sebaliknya, dulu, tokoh pergerakan kemerdekaan
seperti Soekarno, Hatta, dan Tan Malaka, memiliki pemahaman relative utuh atas struktur
geopolitik. Pemahaman yang utuh ini memungkinka mereka merancang kemerdekaan Indonesia

2
lima belas tahun sebelum kemerdekaan itu diproklamasikan. Dengan pemahaman geopolitik
yang komprehensif itu pula, para pendiri Republik dengan cerdas dan cerdik bias mencuri
momentum, sehingga ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dalam Perang Dunia II, mereka
bisa memanfaatkan situasi untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Kecerdasan
dan keberanian seperti itu tidak ditemukan di kalangan para petinggi negeri kita dewasa ini.
Dunia Unipolar: Provokasi Fukuyama dan Perangkap Huntington Runtuhnya Tembok Berlin
pada tahun 1989 dan hancurnya Uni Sovyet pada tahun 1991 menciptakan dampak psiko-
politik yang cukup besar. Citra system ekonomi kapitalisme Barat dan system politik demokrasi
liberal semakin popular dan menjadi rujukan banyak negara. Francis Fukuyama, juru bicara
Barat yang sangat fasih, menyebut peristiwa itu sebagai akhir sejarah: yaitu demokrasi liberal +
pasar bebas sebagai system paling teruji dan sebagai puncak pencapaian peradaban manusia.
Para pemimpin politik dan pemerintahan di seluruh permukaan bumi, tak terkecuali yang
otoriter, dipaksa untuk menerapkan system ekonomi pasar dan politik demokrasi liberal (Francis
Fukuyama, 1991: 45) Dalam sebuah tulisan lain yang berjudul “The West has Won: Radical
Islam can't Beat Democracy and Capitalism', yang dimuat dalam The Guardian edisi 11 Oktober
1001, Fukuyama secara provokatif juga menyatakan bahwa 'there does seem to be something
about Islam, or at least the fundamentalist versions of Islam that have been dominant in recent
years, that makes Muslim societies particularly resistant to modernity'. Menurut Fukuyama,
karakteristik utama modernitas adalah demokrasi liberal dan kapitalisme pasar bebas. Sejalan,
namun berbeda dengan nalar Fukuyama, Samuel Huntington dalam The Clash of Civilizations
and the Remaking of the World Order (1996) menyebutkan karena alQuran menolak pembedaan
agama dengan otoritas politik, peradaban Islam tidak dapat hidup berdampingan dengan
demokrasi. Secara factual juga tidak ada bukti bahwa Islam kompatibel dengan system
demokrasi dan ekonomi liberal Barat secara umum. Di samping itu, Huntington juga menyatakan
bahwa terjadi pergesaran geopolitik dan kemunculan benturan antar peradaban (clash of
civilization). Arti penting wilayah geografis dalam konflik internasional Indonesia dan Geopoliti
Tripolar Hasyim Wahid 3 semakin berkurang. Negara tidak lagi dicirikan oleh wilayah tetapi
dicirikan oleh peradaban. Dengan cirri tersebut, dunia hanya terbagi menjadi tujuh Negara
peradaban besar yaitu: (1) peradaban Barat, (1) peradaban Konfusian (China dan Indochina), (3)
peradaban Jepang, (4) peradaban Islam, (5) peradaban Hindu, (6) peradaban Latin, dan (7)
peradaban Ortodoks Slavia. Konflik yang terjadi dalam politik internasional, menurut
Huntington, bukan lagi konflik memperebutkan wilayah jajahan dalam usaha untuk
memperbesar wilayah Negara tetapi merupakan konflik memperebutkan daerah pengaruh dalam
rangka memperluas peradaban mereka. Dunia pun dibelah menjadi dua, yaitu dunia kita
(Amerika) atau world of light dan dunia mereka (non Amerika) yang dipandang sebagai world of
darkness. World of light ditandai dengan kebebasan, demokrasi, dan berbagai kemajuan. World
of darkness ditandai dengan penindasan, tirani, keterkekangan dlsb. Pembelahan dunia menjadi
dua seperti ini pernah digambarkan of Frank Capra, sutradara Hollywood, dalam film
dokumenternya berjudul Why We Fight: Prelude to War. Konseptualiasi atau tepatnya politik
pencitraan seperti itu sebenarnya sudah menjadi cirri khas ideology liberal. Pada masa
kolonialisme klasik, Barat memposisikan diri sebagai “civilization” sementara bangsabangsa

3
yang mereka jajah disebut “barbarians”. Setelah era kolonialisme berakhir, wacana itu kemudian
diubah menjadi Barat adalah “democracy”, sedang lawan mereka sebagai “totalitarianism”. Kini,
wacana itu kembali diubah. Ekspansi Barat dibawa lewat wacana “globalisasi” atau “McWorld”,
sementara pihakpihak yang menentangnya disebut “kelompok Jihad” atau “terorisme”
(Mohammed A Bamyeh, 1000: 16) serta “Jihad vs. McWorld” (Benjamin Barber, 1996).
Beberapa hari setelah peristiwa 11 September 1001 misalnya, pemerintah AS mengeluarkan
pernyataan resmi: Every nation in every region now has a decision to make. Either you are with
us or you are with the terrorists. This is the world's fight, this is civilisation's fight. Provokasi
Fukuyama dan teori konflik peradaban Huntington itu ternyata menjadi perangkap terutama bagi
kelas menengah muslim di perkotaan. Akibatnya, dalam waktu yang tidak terlalu lama muncul
berbagai bentuk radikalisasi pemikiran dan gerakan Islam. Di Indonesia, radikalisasi
dimanifestasikan dalam berbagai pemikiran dan kelompok yang sangat beragam. Mulai dari
kelompok yang memperjuangkan Islamisasi pemerintahan, Islamisasi masyarakat, sampai
gerakan-gerakan yang cenderung pada kekerasan dan teror. Sebagai lawan dari kelompok-
kelompok radikal ini, muncul gerakan Islam yang berteduh di bawah paying liberalisme.
Radikalisme muncul karena provokasi tersebut menimbulkan kecemasan dan perasaan terancam
di kalangan masyarakat Islam. Radikalisasi itu didukung pula oleh fakta sejarah pertentangan
teologis dan politis antara Barat dan Islam, terutama sejak Perang Salib dan masa kolonialisme.
Pada saat itu, hamper seluruh dunia Islam yang membentang dari kawasan Maghribi di Afrika
utara/Barat sampai Asia Tenggara dijajah oleh Barat. Rusia menjajah kawasan Siberia dan
kemudian masuk ke Asia Tengah. Belanda menguasai Indonesia. Perancis menduduki Maroko,
Aljazair dan Tunisia. Italia menjajah Libya. Inggris Indonesia dan Geopolitik Tripolar Hasyim
Wahid 4 menguasai Malaysia dan Asia Selatan. Dalam pergesaran geopolitik pasca runtuhnya
Tembok Berlin dan ambruknya Uni Sovyet seperti itu, seharusnya reformasi politik untuk
menggantikan rezim Orde Baru telah dapat dilakukan sejak awal 1990 an.

Soeharto seharusnya sudah bias dilengserkan pada saat itu. Berakhirnya perang dingin
seharusnya dibaca oleh para pemimpin politik di Indonesia sebagai berakhirnya dukungan AS
kepada pemerintahan Soeharto, karena bahaya komunis sudah lewat. Namun momentum seperti
itu tidak terbaca karena apa yang disebut dengan “Cold War mentality” masih kuat. Jadi,
walaupun akhirnya Soeharto bias dipaksa turun, kejatuhannya bukanlah akibat dari munculnya
kekuatankekuatan prodemokrasi yang sudah mencapai kematangan, tetapi karena sudah tidak
ada lagi dukungan AS. Bahkan, antara tahun 1995-1997, komunitas intelijen AS memberikan
bantuan sedikitnya 16 juta dollar AS kepada LSM LSM anti Soeharto (Kompas, 9 Februari
1001). Meski AS mendukung pembantaian dan tindakan-tindakan represif yang dilakukannya
selama ini, kejatuhan Soeharto, pada akhirnya, terjadi bukan karena tindak kejahatan yang
dilakukannya selama berkuasa, melainkan karena ia dianggap sudah tidak patuh lagi kepada AS
dan memang sudah tidak dibutuhkan lagi oleh AS (lihat Noam Chomsky, 1000). Krisis
Hegemoni: Menguatnya Geopolitik Tripolar Namun, runtuhnya Uni Sovyet sebenarnya tidak
dengan sendirinya menjadikan AS dan sekutunya sebagai kekuatan hegemonic tunggal. Situasi
yang terjadi justru apa yang disebut sebagai krisis hegemoni. Krisis ini ditandai oleh tiga hal

4
berbeda, tetapi saling berhubungan yaitu peningkatan konflik sosial, kompetisi yang intensif
antar perusahaan dan antarnegara, dan kemunculan kekuatan-kekuatan dan aliansi-aliansi baru.
Dengan perkataan lain, berakhirnya Perang Dingin tidak memunculkan stabilitas monolitik,
tetapi menyebabkan terjadinya serangkaian krisis dalam system politik dunia. Krisis hegemoni
AS saat ini disebabkan bukan oleh adanya tantangan militer yang secara serius mengancamnya,
melainkan oleh semakin terkonsentrasinya AS dalam kegiatan yang mengarah kepada
peningkatan sumber daya militernya. Peningkatan itu dilakukan agar AS dapat bertindak sebagai
“Polisi Dunia”, khususnya setelah keruntuhan Uni Soviet yang berakibat pada sentralisasi
kapabilitas militer global ke tangan AS. Di lain sisi, ekspansi itu tidak disertai oleh dukungan
persediaan sumber daya financial global akibat pergeseran akumulasi financial global ke pasar-
pasar yang lebih menjanjikan dalam tingkat kompetisi akumulasi capital (Giovanni Arright & J.
Silver, 1999: 176). Keruntuhan Uni Soviet pada satu sisi memunculkan kesempatan bagi AS
menjadi pemain tunggal untuk melakukan penyebaran kemampuan militernya. Namun, pada sisi
yang lain, berdampak pula terhadap perubahan hubungan AS dengan sekutu-sekutu militer
terdekatnya. Keruntuhan Soviet menyebabkan hubungan AS dengan sekutu-sekutunya tidak
sedekat dulu lagi karena paying militer untuk menghadapi ancaman perang terbuka semakin
tidak relevan. Sebagai hasilnya, pertimbangan financial Indonesia dan Geopolitik Tripolar-
Hasyim Wahid 5 secara bertahap kemudian menjadi focus utama manajemen militer AS dan
Barat yang berpengaruh terhadap menurunnya hegemoni AS. Penurunan itu bias dilihat misalnya
dalam kasus NATO. NATO merupakan alat hegemoni AS terpenting pada masa Perang Dingin.
Namun runtuhnya Soviet menyebabkan NATO kehilangan misinya dan mendorong
pemerintahan Clinton untuk mengurangi porsi anggaran AS dalam anggaran NATO. Sementara,
integrasi Eropa sendiri semakin mengurangi kemungkinan terjadinya perang terbuka di antara
negara-Negara Eropa dan secara otomatis mengurangi peran NATO sebagai paying keamanan
mereka. Dalam perkembangannya kemudian, NATO lebih menjadi alat untuk memaksakan
pelaksanaan privatisasi dan liberalisasi ekonomi demi kepentingan pasar bebas daripada
pertimbangan politik dan keamanan (Giovanni Arrighi & Beverly J. Silver, 1999: 177). Ini bias
dilihat pada sikap politik negara-negara Eropa Timur (Hongaria, Rumania atau Bulgaria anggota
baru NATO). Pada akhirnya, bagi negara-negara tersebut, menjadi anggota NATO hanya
merupakan batu loncatan untuk bergabung dalam Uni Eropa. Pasca keruntuhan komunisme
sebagai ideology internasional, mulai tampak adanya persaingan di antara negara-negara Barat
yang menganut paham demokrasi. AS, Inggeris, Canada, Australia dan Selandia Baru yang
penduduknya mayoritas dari ras/etnis Anglo Saxon dan berbahasa Inggeris tampak makin ingin
mendominasi geopolitik dan geoekonomi internasional sebagai kelanjutan dari kerjasama mereka
di bidang intelijen sejak tahun 1947. Perjanjian intelijen itu disebut perjanjian UKUSA (United
Kingdom, United States, Australia) dan kemudian diperluas dengan melibatkan pula Canada dan
Selandia Baru. Inti dari komunitas intelijen UKUSA ini adalah satelit mata-mata Echelon.
(Jeffrey T. Richelson & Desmond Ball; The Ties That Bind; 1985). Dapat dikatakan bahwa
komunitas UKUSA ini adalah metamorphosis dari Pax Britanica abad 19 menjadi Pax
Americana pada awal abad 11. Di pihak lain, Uni Eropamakin mempererat kerjasama di antara
para anggotanya yang telah dimulai sejak tahun  1951 dengan pendirian Komunitas Batubara dan

5
Baja Eropa, yang kemudian berujung pada penerbitan mata uang bersama yang disebut Euro
pada tahun 1001. Dari sudut pandang ini dapat kiranya dipahami jika kemudian Uni Eropa
menjadi salah Satu kekuatan yang mencegah AS menjadi hegemon tunggal dalam system politik
dunia. Kasus paling mutakhir konflik antara Uni Eropa dan AS adalah pertentangan di antara
keduanya dalam soal pencabutan subsidi untuk pertanian pada pertemuan Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) di Hongkong tahun 1005 yang lalu. Ketika AS bersikeras menolak
untuk mencabut subsidi bagi petani Amerika, Perancis dan beberapa anggota Uni Eropa lainnya
juga melakukan hal yang sama. Sebelum pertikaian di WTO, antara tahun 1993 dan 1004, ada
pula kasus yang sangat menarik yaitu dirobohkannya berbagai base station satelit matamata
Echelon yang terletak di berbagai Negara anggota Uni Eropa. Posisi Uni Eropa juga semakin
jelas setelah Linux (produk open source Uni Eropa) digunakan untuk menggantikan Microsoft
(produk AS) sebagai operating system pada pusat pengolahan Indonesia dan Geopolitik Tripolar-
Hasyim Wahid 6 data Bank Sentral Eropa dengan dalih adanya kebocoran data dari pusat data
Bank Sentral Eropa. Secara singkat bias dikatakan bahwa dewasa ini sedang terjadi kemunculan
ulang semangat Pax Romana di tengah negaraNegara Uni Eropa, meskipun di sanasini tetap
terasa adanya persaingan cultural di antara anggota-anggota Uni Eropa. Selain Uni Eropa, di
kawasan Asia juga muncul Shanghai Cooperation Organization (SCO) yang beranggotakan
China, Rusia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan dan Uzbekistan, ditambah Iran, India,
Pakistan, Turkmenistan dan Mongolia sebagai peninjau. SCO yang didirikan pada Juni 1001
merupakan perluasan dari Shanghai Five yang didirikan pada 1996. Shanghai Five
beranggotakan China, Russia, Kazakhstan, Kyrgyzstan dan Tajikistan, yang kemudian ditambah
dengan Uzbekistan. Semula, Uzbekistan adalah sekutu AS yang tergabung di dalam GUUAM,
yaitu Georgia, Ukraina, Uzbekistan, Azerbaijan dan Moldova. Pada pertemuan bulan Juli 1005,
SCO sepakat menolak “monopolizing or dominating international affairs” dan menuntut dengan
tegas “noninterference in the internal affairs of sovereign states”. SCO menjadi kekuatan
geopolitik yang penting diperhitungkan karena beberapa alas an mendasar. Pertama, empat
Negara anggota SCO adalah pemilik senjata nuklir. Kedua, jumlah total penduduk anggota dan
peninjau SCO lebih dari setengah jumlah penduduk dunia, sehingga akan menjadi pasar yang
paling besar dengan economies of scale yang sangat memadai, ditambah dengan posisi China
sebagai pemilik cadangan devisa terbesar di dunia saat ini.  Ketiga, negaraNegara anggota SCO
memiliki latar belakang  kulturalhistoris kekuatan imperium di masa lalu. China saat ini berdiri 
kokoh sebagai kelanjutan imperium Han. Rusia juga mewarisi watak  imperium Rusia yang
berkibar pada abad ke14. Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan dan Usbekistan berlatar belakang
imperium Timur Leng. India  hari  ini berdiri di  atas kebesaran masa  lalu imperium
Chandragupta. Pakistan adalah ahli waris imperium Mogul. Mongolia dapat pula dilihat sebagai
kelanjutan imperium Jenghiz Khan. Sedangkan Iran adalah penerus imperium Manichaeisme
Darius dan imperium Safawi Syi'ah. Menarik untuk disimak bahwa pada bulan Juli 1001, tiga
bulan sebelum terjadinya peristiwa 911/ WTC di New York, negaraNegara anggota SCO telah
menandatangani perjanjian “mutual fight against terrorism, fundamentalism and extremism”.
Perjanjian itu menunjukkan bahwa SCO memiliki aparat intelijen yang cukup mampu
mengantisipasi peristiwa-peristiwa penting dunia. Kekuatan lain yang juga potensial mendorong

6
tata dunia multipolar adalah Amerika Latin. Di kawasan ini, sekarang, berdiri kokoh Negara-
negara ultra nasionalis baru dengan presiden yang cenderung anti dominasi Amerika Utara.
Hugo Chavez (terpilih sebagai Presiden Venezuela tahun 1998), Lula Da Silva (Brazil, terpilih
tahun 1001), Nestor Kirchner (Argentina, terpilih tahun 1003),Martin Torrijos (Panama, terpilih
tahun 1004), Tabare Ramon Vasquez (Uruguay, terpilih tahun 1005), Evo Morales (Bolivia,
terpilih tahun 1005), dan yang terakhir Michelle Bachelet (Chili, terpilih 1006). Indonesia dan
Geopolitik Tripolar Hasyim Wahid 7 Munculnya klub pemimpin anti AS di Amerika Latin saat
ini tidak lepas dari tiga fakta penting. Pertama, Chavez dan kawankawan adalah produk dari nilai
Kelatinan berwatak ultranasionalis yang dibangun oleh para pendahulu mereka sejak tahun 1960-
an seperti Andre Gunder Frank di bidang ekonomi, Octavio Paz di bidang antropologi dan
sosiologi, Pablo Neruda dan Gabriel Marquez di bidang kebudayaan. Di tahun 1970an, muncul
ahli ekonomi mazhab strukturalis, Raoul Prebisch, yang di susul pada tahun 1980an oleh ekonom
Hernando de Soto. Mereka dengan giat menyerukan bahwa baik pemikiran Adam Smith
(kapitalisme) maupun Karl Marx (komunisme) tidaklah cocok dengan kondisi Amerika Latin.
Oleh karenanya negara Negara Amerika Latin harus mencari bentuk dan system ekonominya
sendiri. Kedua, sejak tahun 1960an, negaraNegara di Amerika Latin dipimpin oleh para dictator
lalim yang didukung AS. Hal ini menyebabkan kejengkelan laten rakyat di banyak Negara
Amerika Latin. Ketiga, gerakan-gerakan kemandirian rakyat Amerika Latin dipayungi oleh
sayap kiri Gereja Katolik Amerika Latin dengan pertumbuhan pemikiran Teologi Pembebasan
yang dipelopori oleh Uskup Dom Helder Camara dan rekanrekan seperjuangannya. Munculnya
pemimpinpemimpin ultra nasionalis baru di Amerika Latin dengan sendirinya berdampak pada
menurunnya pengaruh AS di kawasan ini. Dalam usaha untuk meraih kembali pengaruhnya di
Amerika Latin, pada bulan November 1005 lalu, pemerintah AS mengadakan KTT di Mardel
Plata, Argentina. Dalam KTT ini, Presiden Bush mendesak dibentuknya zona perdagangan bebas
yang membentang dari Alaska sampai ujung Argentina (FTAA). Namun, beberapa Negara
peserta KTT termasuk Argentina, Brazil, dan Venezuela menentang usulan ini. KTT pun
berakhir tanpa ada hasil. Munculnya aliansialiansi strategis di Eropa, Asia Tengah dan Amerika
latin menunjukkan bahwa provokasi Fukuyama dan teori Huntington menjadi tidak relevan.
Sejarah belum berakhir. Sosialisme bangkit dengan berbagai revisi dan akomodasi terhadap
pasar. Kapitalisme juga diimplementasikan dalam berbagai varian mazhab seperti di Perancis,
Jerman, Belanda, dan tentunya juga di Cina yang mengadopsi kapitalisme dan komunisme
sekaligus sebagai system ekonominya dengan semboyan “satu Negara dua sistem”. Perbedaan
latar belakang kulturalhistoris tidak menghalangi Iran yang Syi'ah dan Pakistan yang Sunni
untuk bergabung dengan blok Cina yang Konfusius dan Rusia yang separuh sekuler dan separuh
Katolik Ortodoks. Aliansi aliansi strategis yang melampui sekat peradaban dan bersifat
supranasional itu bersatu dibawaha single logic of rule. Aliansi serupa ini oleh Antonio Negri
dan Michael Hardt (1001)  disebut sebagai Empire atau Imperium. Kehadiran Komunitas
UKUSA, Uni Eropa, dan SCO yang disertai dengan segala konflik kepentingan politik dan
kepentingan ekonomi di antara mereka dapat menjadi indikasi bahwa peta geopolitik saat ini
bisa dikatakan tengah bergeser dari geopolitik unipolar ke geopolitik tripolar. Jika Amerika Latin
dapat mengkonsolidasikan kesatuan kebudayaannya yang berumur ratusan tahun menjadi

7
kesatuan ekonomi yang kokoh, dapat pula dikatakan bahwa dunia tengah bergeser ke arah
geopolitik  Indonesia dan Geopolitik TripolarHasyim Wahid 8 multipolar. Indonesia: Kemana
Harus Bergerak? Dilihat dari produk undangundang yang dihasilkan oleh DPR dan pemerintah
dan dari kebijakan yang dilaksanakan, terlihat jelas bahwa ekonomi dan politik Indonesia masih
dipengaruhi secara kental  oleh intervensi luar, khususnya AS. Fakta ini merupakan indikasi
bahwa Indonesia adalah  sekutu AS secara langsung maupun tidak langsung. Undang Undang
Nomor 11 tahun 1001 tentang  Minyak dan Gas misalnya mengizinkan pihak swasta (perusahaan
multinasional) mengelola sector migas baik di hulu maupun hilir, seperti tertuang pada  pasal 9
ayat (1). Sementara badan usaha yang sudah melakukan kegiatan di sector hulu, yaitu Pertamina,
tak diijinkan melakukan kegiatan yang sama di sector hilir (Pasal 10, ayat 1). Dari sudut 
UndangUndang Dasar 1945, pengaruh luar dalam pembuatan kebijakan dan juga kesediaan para
pemimpin untuk didikte pihak asing merupakan pelanggaran terhadap politik luar negeri yang
bebas aktif sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Swastanisasi sumber daya
alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti air, listrik dan migas, juga
merupakanpelanggaran terhadap UUD 1945 terutama pasal 33. Di satu sisi, pelanggaran
terhadap UUD 1945 tersebut merupakan preseden yang sangat buruk bagi kehidupan politik
bangsa di masa mendatang. Pelanggaran terhadap hukum tertinggi (konstitusi) sebenarnya
merupakan penghancuran terhadap sendisendi kehidupan bernegara yang paling dasar.

Disisi lain, apa yang terjadi selama ini menunjukkan bahwa kalangan pengambil
keputusan tertinggi Negara terlihat masih terperangkap dalam “mentalitas Perang Dingin”
Akibatnya, pergeseran peta geopolitik dunia tidak bias dibaca dengan baik oleh mereka. Jika
para pengambil kebijakan itu bias membaca dengan seksama munculnya kekuatan kekuatan baru
dalam percaturan geopolitik internasional, tentu mereka dapat belajar dan bertindak lain. Dengan
demikian, kebijakan yang dibuat tidak seperti yang terlihat sekarang ini: merugikan kepentingan
nasional (national interest) dan melanggar konstitusi negara. Fakta geopolitik tripolar dalam
system dunia saat ini sebenarnya member ruang yang sangat terbuka bagi bangsa bangsa Dunia
Ketiga, termasuk Indonesia, untuk menata kembali system ekonomi politiknya dan politik luar
negerinya secara bebas aktif dan mandiri. Kemandirian itu sangat penting untuk menjaga tujuan
dan kepentingan nasional sehingga seluruh kebijakan Negara itu bersumber pada aspirasi
masyarakat secara nasional dan ditegakkan untuk kepentingan seluruh warga Negara Indonesia
tanpa terkecuali. Sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, empat cita cita
kemerdekaan bangsa adalah (1) melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
(1) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa dan (4) ikut
melaksanakan perdamaian dunia. Jadi, seyogyanya sudah sangat jelas alur pikiran dan
semangatnya bagi semua warga Negara Indonesia, kecuali, tentunya, bagi Indonesia dan
Geopolitik Tripolar Hasyim Wahid 9 mereka yang sengaja menafikan dan melanggarnya untuk
kepentingan pribadi, golongan, atau pihak asing.

Anda mungkin juga menyukai