Anda di halaman 1dari 3

Sastra selalu dipandang sebagai filsafat, karena pemikirannya yang hebat !

” (Wellek dan
Warren)

Barangkali, sebagai pembaca atau penikmat karya sastra yang masih awam (baik novel,
puisi, cerpen, atau mungkin naskah drama), pastinya para pembaca awam mempunyai satu
angan-angan yang besar (semacam pertanyaan-pertanyaan yang mendalam) tentang sosok-
sosok pujangga atau sastrawan ternama; Chairil Anwar. Amir Hamzah, Sutan Takdir
Alisjahbana, Marah Rusli, Merari Siregar, WS Rendra, dan lain-lain. “Ya, berbagai sosok
sastrawan atau penulis sastra terkemuka, yang juga sudah dikategorikan sebagai pujangga
atau penyair ternama. Bisa diihat saja contohnya, di soal-soal Ujian Akhir Nasional (UAN)
Mata Pelajaran Bahasa Indonesia, yang mana dalam konteksnya masih ada beberapa soal
yang menyinggung nama sastrawan dan karya-karya sastrawan yang sudah saya sebutkan di
atas. Chairil Anwar dengan larik puisi-puisinya “Deru Campur Debu” (1949), yang puisinya
terkenal lantang berbunyi, “Aku ini binatang jalang…dan seterusnya”, Sutan Takdir
Alisjahbana melalui novel fenomenalnya “Layar Terkembang” (1936), atau mungkin Marah
Rusli melalui novelnya “Siti Nurbaya” (1922), dan lain-lain. Sosok-sosok nama besar
sastrawan dan seluruh kekaryaannya masih tetap bergeming atau terkenal hingga saat ini
dan juga seterusnya. Mengapa bisa demikian? Satu pernyataan yang juga sekaligus menjadi
pertanyaan mendalam pembaca awam inilah yang bisa memaknai tentang esensi sastra dan
pemikirannya. Sebuah pemikiran-pemikiran yang dibuat oleh seorang pengarang atau
penulis kepada pembaca melalui karya sastranya.

Menyoal tentang esensi nama dan juga tentang kekaryaan (proses kreatif karya sastra),
sosok sastrawan di atas (Chairil Anwar dan kawan-kawan) yang sudah saya singgung di atas,
nampaknya menjadi satu hal yang ihwal jika disinggungkan dengan kualitas karya sastra,
dalam hal ini esensi tentang karakteristik karya sastra yang dianggap berkualitas dan kurang
berkualitas. Oleh para kritikus sastra, pengategorian (penabiatan) karya sastra yang
berkualitas dan kurang berkualitas adalah melalui dua istilah “Sastra Kanon” dan “Sastra
Pop”. Sastra kanon adalah sebutan atau peristilahan dari sastra yang dianggap abadi. Sastra
yang akan selalu kekal oleh perkembangan zaman. Sedangkan, istilah sastra pop (populer)
diartikan sebagai sastra yang hanya top atau eksis sezamannya. Dalam artian sederhana,
sastra pop cenderung hanya bisa popular atau eksis pada kurun waktu tertentu saja (sesuai
tahun terbit), dan tidak bisa menjadi sastra yang abadi atau kekal sepanjang waktu.

Penciptaan sastra kanon (mahakarya; sastra abadi) pada prinsipnya memang sangat
dianjurkan, karena karya sastra kanon bukanlah sekedar karya sastra yang berisi alur, tokoh
dan penokohan, akan tetapi karya sastra kanon juga mengandung pemikiran (negasi) yang
sangat mendalam kepada pembaca atau penikmat karya sastra. Pemikiran (khatarsis;
perenungan) yang sangat mendalam tentang sesuatu hal (permasalahan) kepada
pembacanya. Seperti halnya sastrawan fenomenal/ternama sedunia: William Shakespeare,
melalui karya-karya abadinya yang berjudul “Romeo dan Juliet”, “Hamlet”, dan lain-lain.
Karya “Romeo dan Juliet” adalah salah satu contoh dari karya sastra fenomenal, yang juga
bisa dikategorikan sebagai jenis sastra kanon (sastra abadi).
Pada prinsip utamanya, sastra kanon selalu mengandung pemikiran tentang filosofi,
pemikiran-pemikiran psikologis, juga pemikiran-pemikiran tentang sejarah, dan sebagainya.
Dan, berbeda halnya dengan karya sastra pop (popular) yang dianggap sebagai karya yang
kurang bermutu, karena pada umumnya sastra pop kurang (tidak) mengandung pemikiran
yang mendalam. Dalam artian yang sempit, kandungan pemikiran isi yang hadir di dalam
sastra pop terlalu kecil. Dalam kaitannya dengan istilah sastra pop inilah, banyak pengarang
yang berada dalam perasaan-perasaan kesepian; ingin mendapatkan rasionalitas dari
kehidupan sekitarnya. Dengan demikian, yang tampak dari hasil kekaryaannya adalah
perihal tentang subjektivitas teks; pembicaraan ringan yang menyoal soal tentang ranah
“ke-aku-an” dalam sebuah karya. Akan tetapi, sastra pop tetap berkembang, sebagai karya
yang menyemarakkan khasanah kesusastraan Indonesia.

Sastra kanon adalah sastra yang dianggap atau dikategorikan baik dan berkualitas. Dan, satu
karakteristik dari esensi karya sastra yang baik (mengutip dari pendapat Rene Wellek dan
Austin Warren), adalah pada dasarnya sebuah karya sastra yang baik (berkualitas) harus
mengandung nilai-nilai estetis (keindahan). Satu pernyataan inilah yang secara teoretik
menuntun seseorang (pembaca) dalam menimbang dan memberikan penilaian terhadap
karya sastra yang sudah dibacanya. Walaupun ada beberapa pendapat lain yang
bersinggungan; yang mengartikan atau mengasumsikan bahwa karya sastra (teks) yang baik
itu “relatif”. Dan, untuk memenuhi nilai-nilai estetis itulah, sebuah karya sastra harus
mengandung beberapa unsur-unsur yang penting di dalamnya. Karya sastra (baik novel,
cerpen, puisi, atau drama) yang dianggap baik atau berkualitas pada prinsipnya harus
mengandung lima unsur.

Pertama, unsur estetis perihal tentang kontemplasi objektif seorang pengarang dalam


proses kreatif (penciptaan karyanya). Proses kontemplasi objektif dalam hal ini dimaknai
sebagai bagian dari proses perenungan seorang pengarang atau penulis dari sudut pandang
yang objektif; tanpa terkesan menggurui dalam (teks) kekaryaannya. Kedua, karya yang
dianggap baik atau berkualitas pastinya mengandung
unsur estetis tentang distansi estetis (jarak). Dalam hal ini, jarak (antara fakta dan fiksi) yang
dimunculkan oleh pengarang di dalam karyanya. Artinya, pengarang dituntut untuk bisa
membatasi perbedaan antara kenyataan dengan karyanya (teks fiksi). Ketiga, adalah
bagaimana seorang pengarang menghadirkan unsur tentang framing (penciptaan kerangka
seni). Artinya, wadah yang diusung sesuai dengan gagasannya. Keempat, karya yang baik
cenderung mengandung unsur estetis perihal tentang unity in variety (kesatuan dalam
keberagaman). Artinya, di dalam sebuah karya sastra ada berbagai macam persoalan atau
permasalahan, akan tetapi pada hakikatnya hanya ada satu permasalahan yang
fundamental. Dengan demikian, negasi-negasi pengarang muncul di jalinan teks (isi). Kelima,
karya sastra yang juga dianggap baik atau berkualitas jika memenuhi dua unsur penting,
yaitu dulce (setelah membaca kita merasa senang), dan utile (dari hasil pembacaan itulah
kita memperoleh manfaat yang besar). Nah, sebagai penutup atau pertanyaan akhir,
“Bagaimana dengan cipta karya sastra kita sekarang?”

Disampaikan pada acara diskusi (FKM) Forum Kajian Mahasiswa PBSI, pada hari Senin (30),
di Gazebo Utama Kampus STKIP PGRI Jombang

Anda mungkin juga menyukai