Akan tetapi sering sekali manusia di negeri ini lupa pada ajaran-ajaran agama
yang telah diterimanya. Salah satu contohnya adalah lupanya masyarakat negeri
yang mayoritas beragama islam ini, tentang tugasnya manusia sebagai “khalifah
fil ardhi” (pemimpin/pengelola bumi). Jangankan untuk “memayu hayuning
bawono” (memperindah keindahan dunia), untuk mengelola bumi ini saja
manusia di negeri telah banyak mengalami kegagalan-kekagalan. Padahal
Rasulullah SAW sang pembawa agama mayoritas di negeri ini diutus untuk
seluruh alam “wamaa arsalnaaka illa rahmatan lil’aalamiin” sehingga ketika
kelahiranyapun pada waktu itu menjadikan seluruh alam dan seisinya seperti
tumbuhan, pepohonan, dan binatang bergembira akan menyambut kelahiranya.
karena mereka yakin jika alam ini dikelola oleh manusia yang mengikuti ajaran
Rasulullaah SAW, maka alam ini akan tetap lestari, sebab salah satu tugas umat
Rasulullah adalah sebagai “khalifah fil ardhi” dengan mencontoh sifat kasih
sayang Nabinya. Namun sebaliknya, jika alam ini dikelola oleh umat yang
berwatak Qarun yang penuh dengan kerakusan, tentunya alam akan merasa
sedih, yang kesedihanya itu akan merugikan manusia itu sendiri.
Oleh karena itu, salah satu kalimah syair tembang waliyullah “cah angon, cah
angon penekno blimbing kui” (penggembala, penggembala panjatlah pohon
belimbing itu), syair ini mungkin sangat sulit untuk direalisasikan maknanya di
negeri ini, sebab para penggembala di negeri ini masih sibuk dengan
gembalaanya yang semakin sedikit karena mengalami kekurusan dan kematian,
atau bahkan dicuri oleh orang-orang asing yang penuh dengan kerakusan,
dikarenakan sistem di negeri ini belum bisa menjaga keamanan wilayah dan harta
rakyatnya, atau bahkan juga martabatnya. Sehingga istilah “gemah ripah loh
jinawi” dan “ tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar” untuk menuju “ toto
tentrem kerto raharjo” dan “baldatun thoyibatun warabbun ghafuur” sampai saat
ini masih dalam khayalan belaka.