Anda di halaman 1dari 19

FIQH MUAMALAH

Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Muamalah


“MAGHRIB” (Maysir, Gharar, Haram, Riba, dan Batil)

Oleh :

 SIDARWATI
 A. IFANDA RESKI YUNUS SAPUTRA
 RAHMINARTI

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) YAPNAS


JENEPONTO
2021.2022
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah Swt, sholawat
dan salam juga di sampaikan kepada junjungan Nabi besar Muhammad Saw. Serta
sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan
agama Allah Swt. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan
ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Fiqh Muamalah pada
Program Studi Perbankan Syariah STAI YAPNAS JENEPONTO dengan ini penulis
mengangkat judul “MAGHRIB (Maysir, Gharar, Haram, Riba, dan Bathil)”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya. Oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun dari
kesempurnaan makalah ini.
Jeneponto,28 oktober 2021

Penyusun
Kelompok 3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................


DAFTAR ISI ......................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang .......................................................................................
B. Rumusan masalah .................................................................................
C. Tujuan penulisan ...................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Maysir dan Hukum Maysir.....................................................
B. Pengertian Gharar, Hukum Gharar, dan Jenis-Jenis Gharar .................
C. Pengertian Haram dan Pembagian Haram.............................................
D. Pengertian Rhiba, Hukum Rhiba, Dampak Rhiba dan pembagian Rhiba
E. Pengertian Batil, dan Hukum Batil ..........................................................
BAB III PENUTUP ............................................................................................
A. Kesimpulan..............................................................................................
B. Saran .....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Manusia adalah pemimpin di muka bumi. Potensi yang ada di muka bumi
merupakan fasilitas untuk kesejahteraan manusia dan permasalahan yang timbul di
muka bumi merupakan tanggung jawab manusia untuk menyelesaikannya. Allah
memberikan nikmat-nya kepada manusia tidak berwujud sesuatu yang tinggal
menggunakan, tetapi memberikan sarana, jalan, akal dan contoh untuk mengolah
potensi dan sarana yang ada untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya manusia tentunya
berbenturan dengan kepentingan-kepentingan manusia lain yang biasa
menimbulkan permasalahan, bagaimana supaya bisa membaca peluang yang ada,
bagaimana bisa mengatasi benturan yang mungkin timbul, bagaimana agar bisa
merencenakan sesuatu di masa depan, hal ini membutuhkan pendidikan yang bisa
menjawab dan memberikan arah yang tepat, islam merupakan agama yang
memberikan keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan orang
banyak yang meliputi bidang ekonomi, sosial, politik, dan pendidikan.
B. Rumusan masalah
1. Pengertian Maysir dan Hukum Maysir
2. Pengertian Gharar, Hukum Gharar, dan Jenis-Jenis Gharar
3. Pengertian Haram dan Pembagian Haram
4. Pengertian Rhiba, Hukum Rhiba, Dampak Rhiba dan pembagian Rhiba
5. Pengertian Batil, dan Hukum Batil
C. Tujuan penulisan
Makalah ini disusun untuk memberikan gambaran singkat tentang islam
sebagai agama yang memberikan rambu-rambu dan arah kepada umat manusia
dalam menyelesaikan permasalahan hidup yang di hadapi di muka bumi ini.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Maysir

1. Pengertian maysir

Perkataan maysir bermaksud memperolehi sesuatu dengan mudah atau


memperolehi keuntungan tanpa usaha. Contohnya ketika sejumlah orang masing-
masing membeli kupon togel dengan harga tertentu dengan menembak empat
angka. Ini sebenarnya tindakan mengumpulkan wang taruhan. Lalu diadakan undian
dengan cara tertentu untuk menentukan empat angka yang akan keluar. Maka, ini
adlah undian yang haram, sebab undian ini telah menjadi aktivitas judi. Didalamnya
ada unsur taruhan dan ada pihak yang menang dan kalah dimana yang menang
mengabil materi yang berasal dari pihak yang kalah. Ini tidak diragukan lagi adalah
karakter-karakter judi yang najis.

Judi dalam terminologi agama diartikan sebagai “suatu transaksi yang dilakukan
oleh dua pihak untuk pemilikan suatu benda atau jasa yang mengguntungkan satu
pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan
suatu tindakan atau kejadian tertentu”.

Agar bisa dikategorikan judi maka harus ada 3 unsur untuk dipenuhi:

a. Adanya taruhan harta/materi yang berasal dari kedua pihak yang berjudi

b. Adanya suatu permainan yang digunakan untuk menentukan pemenang dan


yang kalah

c. Pihak yang menang mengambil harta (sebagian/seluruhnya) yang menjadi


taruhan, sedangkan pihak yang kalah kehilangan hartanya

Prinsip berjudi adalah terlarang, baik itu terlibat secara mendalam mahupun
hanya berperan sedikit saja atau tidak berperan sama sekali, mengharapkan
keuntungan semata (misalnya hanya mencuba-cuba) di samping sebagian orang-
orang yang terlibat melakukan kecurangan, kita mendapatkan apa yang semestinya
kita tidak dapatkan, atau menghilangkan suatu kesempatan. Melakukan pemotongan
dan bertaruh benar-benar masuk dalam kategori definisi berjudi.

Yang pertama adalah Maysir atau Qimar yaitu suatu bentuk permainan yang
didalamnya dipersyaratkan, jika salah seorang pemain menang, maka ia akan
mengambil keuntungan dari pemain yang kalah dan sebaliknya. Contoh dari maysir
ini adalah judi, sedangkan beberapa aktivitas yang termasuk dalam kategori judi
yang telah dilarang misalnya seperti SMS berhadiah sesuai dengan Fatwa MUI No.
9 Tahun 2008 Tentang SMS Berhadiah dan kuis berbasis telepon sesuai arahan dari
Dr. Nasr Farid, Mufti Mesir, Sekjen Majma al Buhuts al Islamiyyah, Wafa Abu ‘Ajuz
dan Syeikh Abdul Aziz bin Baz.

Mengenai hal ini sudah terdapat dalil Al-Qur’an yang melarang maysir/gharar
dalam QS. Al Maidah:90 berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,


(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah:90)

2. Hukum Al-Maysir

Al-Quran secara terang-terangnya mengutuk perlakuan tersebut. Oleh yang


demikian, niat tidak menghalalkan cara yang mana berjudi untuk membantu orang
yang memerlukan adalah tidak membawa kepada alasan yang kukuh untuk
menerima ganjaran daripada perjudian (maisir). Perbedaan antara perjudian dan
gharar di dalam transaksi ialah telah mengurangkan, dan oleh itu ahli ekonomi telah
menyedari akan struktur pada kedua-duanya. Menurut pendapat Ahli Ekonomi
Goodman (1995): Pertambahan peningkatan bagi bisnes perjudian di dalam
beberapa tahun dilihat melebarkan banyak masalah di dalam Ekonomi Amerika
terutamanya kecenderungan perkembangan mengendalikan nasib ekonomi yang
dilihat bertentangan dengan asas kemahiran dan kerja sebenar.

(Perjudian) Al-maysir terlarang dalam syariat Islam, dengan dasar al-Quran, as-
Sunnah, dan ijma’.Dalam al-Quran, terdapat firman Allah subhanahu wa Ta’ala
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.” (Qs. Al-Ma’idah: 90)

Dari as-Sunnah, terdapat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam


Shahih al-Bukhari, “Barangsiapa yang menyatakan kepada saudaranya, ‘Mari, aku
bertaruh denganmu.’ maka hendaklah dia bersedekah.” (Hr. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan ajakan bertaruh–
baik dalam pertaruhan atau muamalah sebagai sebab membayar kafarat dengan
sedekah, Ini menunjukkan keharaman pertaruhan. Demikian juga, sudah ada ijma’
tentang keharamannya.Sedangkan dalam terminologi ulama, ada beberapa
ungkapan semua muamalah yang dilakukan manusia dalam keadaan tidak jelas
akan beruntung atau merugi sekali (spekulatif).
Contoh Maysirnya ketika sejumlah orang masing-masing membeli kupon Togel
dengan “harga” tertentu dengan menembak empat angka. (Ini sebenarnya tindakan
mengumpulkan wang taruhan). Lalu diadakan undian –dengan cara tertentu– untuk
menentukan empat angka yang akan keluar. Maka, ini adalah undian yang haram,
sebab undian ini telah menjadi bagian aktivitas judi. Di dalamnya ada unsur taruhan
dan ada pihak yang menang dan yang kalah di mana yang menang mengambil
materi yang berasal dari pihak yang kalah. Ini tak diragukan lagi adalah karakter-
karakter judi yang najis.

B. Gharar

1. Pengertian gharar

Gharar menurut bahasa adalah khida’; penipuan. Dari segi terminologi: penipuan
dan tidak mengetahui sesuatu yang diakadkan yang didalamnya diperkirakan tidak
ada unsur kerelaan. Sedangkan definisi menurut beberapa ulama:

a. Imam Syafi’i adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan


kita dan akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling kita takuti
(tidak dikehendaki.)

b. Wahbah al-Zuhaili; penampilan yang menimbulkan kerusakan atau sesuatu


yang tampaknya menyenangkan tetapi hakikatnya menimbulkan kebencian.

c. Ibnu Qayyim; yang tidak bisa diukur penerimaannya, baik barang itu ada
maupun tidak ada, seperti menjual hamba yang melarikan diri dan unta yang
liar.

Menurut Islam, gharar ini merusak akad. Demikian Islam menjaga kepentingan
manusia dalam aspek ini. Imam an-Nawawi menyatakan bahwa larangan gharar
dalam bisnis Islam mempunyai peranan yang begitu hebat dalam menjamin
keadilan.

Gharar adalah suatu kegiatan bisnis yang tidak jelas kuantitas, kualitas, harga
dan waktu terjadinya transaksi tidak jelas. Aktivitas bisnis yang mengandung gharar
adalah bisnis yang mengandung risiko tinggi, atau transaksi yang dilakukan dalam
bisnis tak pasti atau kepastian usaha ini sangat kecil dan risikonya cukup besar.

Selanjutnya adalah Gharar yaitu ketidakpastian dalam transaksi yang diakibatkan


dari tidak terpenuhinya ketentuan syariah dalam transaksi tersebut. Dampak dari
transaksi yang mengandung gharar adalah adanya pendzaliman atas salah satu
pihak yang bertransaksi sehingga hal ini dilarang dalam islam. Maksud
ketidakpastian dalam transaksi muamalah ialah: “terdapat sesuatu yang ingin
disembunyikan oleh sebelah pihak dan ianya boleh menimbulkan rasa ketidakadilan
serta penganiyayaan kepada pihak yang lain”. Menurut ibn Rush maksud al-gharar
ialah “kurangnya maklumat tentang keadaan barang (objek), wujud keraguan pada
kewujudan barang, kuantiti, dan maklumat yang lengkap berhubungan dengan
harga. Ia turut berkait dengan masa untuk diserahkan barang terutamanya ketika
wang sudah dibayar tetapi masa untuk diserahkan barang tidak diketahui”. Ibnu
Taimiyah menyatakan al-gharar ialah “apabila satu pihak mengambil haknya dan
satu pihak mengambil haknya dan satu pihak lagi tidak menerima apa yang
sepatutnya dia dapat”

Al-Gharar ditakrifkan dalam kitab qalyubi wa umairah menyatakan mahzab imam


Al-Shafie mendefinisikan gharar sebagai: “satu (aqad) yang akibatnya tersembunyi
daripada kita atau perkara diantara dua kemungkinan dimana yang paling kerap
berlaku ialah yang paling ditakuti”.

Beberapa kategori unsur gharar antara lain dari segi kuantitas,yaitu tidak
sesuainya timbangan atau takaran, kemudian dari sisi kualitas terdapat
ketidakjelasan pada kualitas barang, selanjutnya dari sisi harga, adanya dua harga
dalam satu transaksi, dan yang terakhir dari sisi waktu yaitu terdapat ketidakjelasan
pada waktu penyerahan.

2. Hukum Gharar

Dalam syari’at Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi. “Artinya:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli
gharar.”
Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan
cara batil. Padahal Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil
sebagaimana tersebut dalam firmanNya. “Artinya: Dan janganlah sebagian kamu
memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 188)
“Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. An-Nisaa: 29)
Ibnu Taimiyyah menjelaskan, dasar pelarangan jual beli gharar ini adalah
larangan Allah dalam Al-Qur’an, yaitu (larangan) memakan harta orang dengan batil.
Begitu pula dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau melarang jual beli
gharar ini.
Pelarangan ini juga dikuatkan dengan pengharaman judi, sebagaimana ada
dalam firman Allah. “Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. Al-Maidah: 90)
Sedangkan jual-beli gharar, menurut keterangan Syaikh As-Sa’di, termasuk dalam
katagori perjudian. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sendiri menyatakan, semua jual
beli gharar, seperti menjual burung di udara, onta dan budak yang kabur, buah-
buahan sebelum tampak buahnya, dan jual beli al-hashaah, seluruhnya termasuk
perjudian yang diharamkan Allah di dalam Al-Qur’an.

Pentingnya mengenal kaedah Gharar

Dalam masalah jual beli, mengenal kaidah gharar sangatlah penting, karena
banyak permasalahan jual-beli yang bersumber dari ketidak jelasan dan adanya
unsur taruhan di dalamnya. Imam Nawawi mengatakan: “Larangan jual beli gharar
merupakan asas penting dari kitab jual-beli. Oleh karena itu Imam Muslim
menempatkannya di depan. Permasalahan yang masuk dalam jual-beli jenis ini
sangat banyak, tidak terhitung.”

3. Jenis Gharar

Dilihat dari peristiwanya, jual-beli gharar bisa ditinjau dari tiga sisi.

a. Jual-beli barang yang belum ada (ma’dum), seperti jual beli habal al habalah
(janin dari hewan ternak).
b. Jual beli barang yang tidak jelas (majhul), baik yang muthlak, seperti
pernyataan seseorang: “Saya menjual barang dengan harga seribu ringgit,”
tetapi barangnya tidak diketahui secara jelas, atau seperti ucapan seseorang:
“Aku jual keretaku ini kepadamu dengan harga sepuluh juta,” namun jenis dan
sifat-sifatnya tidak jelas. Atau bisa juga karena ukurannya tidak jelas, seperti
ucapan seseorang: “Aku jual tanah kepadamu seharga lima puluh ribu”,
namun ukuran tanahnya tidak diketahui.
c. Jual-beli barang yang tidak mampu diserah terimakan. Seperti jual beli budak
yang kabur, atau jual beli kereta yang dicuri. Ketidak jelasan ini juga terjadi
pada harga, barang dan pada akad jual belinya.
Ketidakjelasan pada harga dapat terjadi karena jumlahnya, seperti segenggam
Dinar. Sedangkan ketidak jelasan pada barang, yaitu sebagaimana dijelaskan di
atas. Adapun ketidak-jelasan pada akad, seperti menjual dengan harga 10 Dinar bila
kontan dan 20 Dinar bila diangsur, tanpa menentukan salah satu dari keduanya
sebagai pembayarannya.
Syaikh As-Sa’di menyatakan: “Kesimpulan jual-beli gharar kembali kepada jual-
Beli Ma’dum(Belum Ada Wujudnya), Seperti Habal Al Habalah Dan As-Sinin, Atau
kepada jual-beli yang tidak dapat diserahterimakan, seperti budak yang kabur dan
sejenisnya, atau kepada ketidak-jelasan, baik mutlak pada barangnya, jenisnya atau
sifatnya.”

C. Haram
1. Pengertian haram

Haram (Arab: ‫ حرام‬ḥarām) adalah sebuah status hukum terhadap suatu aktivitas
atau keadaan suatu benda (salah satunya makanan). Aktivitas yang berstatus
hukum haram atau makanan yang dianggap haram adalah dilarang secara keras.
Orang yang melakukan tindakan haram atau memakan makanan haram akan
mendapatkan konsekuensi berupa dosa.

Menurut ulama usul fikih, terdapat dua definisi haram, yaitu dari segi batasan dan
esensinya, serta dari segi bentuk dan sifatnya.

Dari segi batasan dan esensinya, imam al ghazali merumuskan haram dengan
sesuatu yang di tuntut syari’ (Allah SWT dan Rasul-Nya) utnuk ditinggalkan melalui
tuntutan secara pasti dan mengikat. Adapun dari segi bentuk dan sifatnya, imam Al
Baidawi, tokoh ushul fikih Mashab syafi’I, merumuskan haram dengan suatu
perbuatan yang pelakunya dicela.

Beberapa hal yang dikategorikan haram adalah :

1) Khamr

Khamr adalah setiap yang memabukkan berupa minuman dan


makanan.

2) Ethanol

Zat ethanol adalah senyawa murni yang tidak atau berasal dari industri
khamr.

3) Babi
Babi adalah hewan yang haram untuk dikomsumsi.

Pembagian haram ada dua :

1) haram li zatih (haram karena zatnya)

Adalah segala sesuatu yang di haramkan karena memang zatnx


haram. Contohnya daging babi,darah,komar,semua jenis burung
yang bercakar semua binatang buas yang bertaring.

2) Haram li gairih (haram karena yang lain

Adalah makanan yang haram karna faktor eksternal.maksudya


hukum asal makanan itu sendiri adalah halal,akan tetapi dia
berubah menjadi haram karna ada sebab yang tidak berkaitan
dengan makanan tersebut contohnya bangkai,binatang yang di
sembelih tampa membaca basmalah,makanan haram yang di
peroleh dari usaha dengan cara dzalim,semua makanan halal
yang tercampur najis

D. Riba

1. Pengertian Riba

Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain,


secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah
teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil.
Secara juristikal, riba mengandung dua pengertian:

a. Tambahan uang yang diberikan ataupun diambil dimana pertukaran uang


tersebut dengan uang yang sama, misal dollar for dollar excange.
b. Tambahan nilai uang pada satu sisi yang sedang malkukan kontrak tatkla
komoditas yang diperdagangkan secara barter itu pada jenis yang sama.

Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat
benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik
dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan
dengan prinsip muamalat dalam Islam.

Mengenai hal ini Allah mengingatkan dalam firman-Nya:


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu
dengan jalan bathil.” (Q.S. An Nisa: 29)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa
(dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya
akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu
pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (Q.S. Al Baqarah:
278-279).

2. Hukum Riba

Larangan riba yang terdapat dalam Al Qur’an tidak diturunkan sekaligus,


melainkan diturunkan dalam empat tahap:

1) Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada


zhahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu
perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah .

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka
(yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).”
(Q.S. Ar Rum: 39).

2) Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah mengancam
memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.

“Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka


yang (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka,
dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan
mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya,
dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
(Q.S. An Nisa: 160-161)

3) Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan


yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat, bahwa pengambilan bunga
dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak
dipraktikkan pada masa tersebut. Allah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat-
ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.” (Q.S. Ali Imran: 130).

4) Tahap keempat, Allah dengan jelas dan tegas mengharam-kan apa pun jenis
tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang
diturunkan menyangkut riba.

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa
(dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya
akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu
pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (Q.S. Al Baqarah:
278-279).

3. Dampak negatif Riba


a. Dampak Ekonomi

Diantara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh
bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu elemen dari
penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi
juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang.

Dampak lainnya adalah bahwa hutang, dengan rendahnya tingkat penerimaan


peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah
keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas hutang tersebut dibungakan.
Contoh paling nyata adalah hutang negara-negara berkembang kepada negara-
negara maju. Meskipun disebut pinjaman lunak, artinya dengan suku bunga rendah,
pada akhirnya negara-negara peng-hutang harus berhutang lagi untuk membayar
bunga dan pokoknya. Sehingga, terjadilah hutang yang terus-menerus. Ini yang
menjelaskan proses terjadinya kemiskinan struktural yang menimpa lebih dari
separuh masyarakat dunia.

b. Sosial Kemasyarakatan

Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba
menggunakan uangnya untuk memerintah-kan orang lain agar berusaha dan
mengembalikan misalnya, dua puluh lima persen lebih tinggi dari jumlah yang
dipinjam-kannya. Persoalannya, siapa yang bisa menjamin bahwa usaha yang
dijalankan oleh orang itu nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari dua puluh
lima percent? Semua orang, apalagi yang beragama, tahu bahwa siapapun tidak
bisa memastikan apa yang terjadi besok atau lusa. Dan siapa pun tahu bahwa
berusaha memiliki dua kemungkinan, berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba,
berarti orang sudah memastikan bahwa usaha yang dikelola pasti untung.
4. Pembagian Riba
Riba secara garis besar dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Riba Al Buyu’(jual beli)
Dalam macam-macam riba, ada enam jenis barang yang masuk dalam kategori
barang ribawi, yakni emas, perak, gandum halus, gandum kasar, kurma dan garam.
Ada tiga macam-macam riba dalam kondisi jual beli, yaitu:
1) Riba Fadhl
Jenis riba ini terjadi tatkala terjadi kegiatan jual beli atau pertukaran barang-barang
ribawi namun dengan kadar atau takaran yang berbeda.

Contoh kasusnya: Menukar emas 24 karat dengan 18 karat, atau menukar pecahan
uang sebesar 100 ribu dengan pecahan dua ribu namun jumlahnya hanya 48
lembar, sehingga total uang yang diberikan hanya 96 ribu.

2. Riba Yad

Riba yad terjadi saat proses jual-beli barang ribawi maupun non ribawi disertai
penundaan serah terima kedua barang yang ditukarkan atau penundaan terhadap
penerimaan salah satunya.

Riba yad terjadi ketika proses transaksi tidak menegaskan berapa nominal harga
pembayaran. Jadi, saat proses tersebut, tidak ada kesepakatan sebelum serah
terima.

Contoh kasusnya, ada orang yang menjual motor dan menawarkan barang seharga
12 juta jika dibayar tunai, namun jika dicicil menjadi 15 juta. Baik si penjual maupun
pembeli sama-sama tidak menyepakati berapa jumlah yang harus dibayarkan
hingga akhir transaksi.

3. Riba Nasi'ah

Riba nasi'ah terjadi tatkala ada proses jual-beli dengan tempo tertentu. Transaksi
tersebut dilakukan dengan dua jenis barang ribawi yang sama namun dengan
penangguhan penyerahan atau pembayaran.
Contoh kasusnya, si B membeli emas dengan jangka waktu dan tempo yang
ditentukan, baik dilebihkan atau tidak. Padahal seharusnya jika sudah membeli
emas, ia harus membelinya kontan atau menukarnya secara langsung.

Contoh lainnya, misal ada dua orang yang ingin bertukar emas 24 karat. Pihak
pertama sudah memberikan emas pada pihak kedua. Namun pihak kedua
mengatakan baru akan menyerahkannya sebulan lagi. Kondisi ini masuk dalam
kategori riba nasi’ah. Karena harga emas bisa saja berubah sewaktu-waktu.

2. Riba ad-Duyun (Hutang Piutang)

Dalam kegiatan hutang piutang, ada istilah muqrid dan muqtarid. Muqrid adalah
pemberi hutang, sedangkan muqtarid adalah penerima hutang. Proses ini dikatakan
sebagai riba jika mendatangkan keuntungan bagi si pemberi hutang.

Ada dua macam-macam riba dalam proses hutang piutang, yaitu:

1. Riba Qardh

Riba qardh terjadi ketika ada penambahan yang dihasilkan atas pengembalian
pokok pinjaman yang disyaratkan kepada muqrid (pemberi hutang). Maksudnya,
sang muqrid (pemberi hutang) mengambil keuntungan yang disyaratkan kepada
muqtarid (penerima hutang).

Contohnya, seorang rentenir memberi pinjaman 100 juta dengan syarat bunga 20
persen selama 6 bulan.

2. Riba Jahilliyah

Riba Jahiliyah terjadi ketika ada penambahan hutang melebihi nilai pokok pinjaman
karena muqtarid (penerima hutang) tidak mampu membayar hutangnya tepat waktu.

Contohnya, jika muqtarid meminjam uang 20 juta rupiah dan harus dikembalikan
dalam 6 bulan. Jika tak bisa melunasi tepat waktu, pengembalian uang bisa ditunda
namun harus memberikan tambahan dari total pinjaman.

5. Batil

1. Pengertian batil

Batil (al-batil), berasal dari kata Bathala, Yabthulu yang berarti rusak, salah,
palsu, tidak sah, tidak memenuhhi syarat dan rukun, keluar dari kebenaran, terlarang
atau haram menurut ketentuan agama. Kata batil yang merupakan lawan dari kata
al-haq di dalam al-qur’an terdapat sebanyak 26 kali.

Adapun yang dimaksud dengan jalan yang bathil dalam hal ini yaitu pengambilan
tambahan dari modal pokok tanpa ada imbalan pengganti (kompensasi) yang dapat
dibenarkan oleh Syar’i.
Kata batil memiliki pembahasan yang erat dan sangat berrpengaruh dalam
berbagai aspek dalam ajaran islam secara global antara lain:

Aspek akidah, kebatilan bila menodai akidah seseorang, niscaya rusak dan
sangat berbahaya. Ciri-ciri yang bisa merusak akidah adalah:

 Syirik

Termasuk salah satu bentuk kebatilan yang dapat mencemarkan akidah dan
tergolong kedalam kedalam salah satu dosa besar yang ttidak bisa diapuni. Sebagai
mana Firman Allah SWT “sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa selain dari
syirik itu bagi siapa yang dikehendakinya..” (Q.S. An-Nisa (4):116).

Pencemaran akidah yang disebabkan syirik ini akan mengakibatkan amal saleh
yang dikerjakan menjadi batil. Hal ini sebagaimana firman Allah, “Dan kalau mereka
mempersekutan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amal yang telah mereka
kerjakan” (Q.S. Al-An’am(6) : 88).

 Takhayul dan khurafat

Takhayul adalah segala kepercayaan dan pandaangan terhadap perkara ghaib


yang bersumber kepada khayalan, persangkaan-persangkaan, atau perkiraan-
perkiraan yang sama sekali tidak ada keterangannya dari al-qur’an dan hadis.
Perbuatan ini termasuk bid’ah yakni kepercayaan-kepercayaan yang dibuat-buat
atau yang di ada-adakan dengan maksud tertentu.

Takhayul dan khurafat juga banyak berkembang dikalangan umat islam, seperti
menebak atau melihat nasib melalui garis-garis telapak tangan, bintang-bintang
(zodiak) berdasarkan tanggal dan bulan kelahiran. Semua ini merupakan bagian dari
perbuatann batil yang bukan saja merusak akidah tapi ibadah maupun muamalah.

2. Hukum batil

Nabi Muhammad SAW bersabda : “orang yang membaca al-qur’an akan memiliki
quwwatul-furqan (kemampuan membedakan) antara yang benar dan yang salah,
halal dan haram, legal dan ilegal dimata Allah SWT”.

Lenyapnya sesuatu yang batil karena sebenarnya yang hak pasti akan menang.
Allah SWT berfirman : “yang benar telah datang dan yang batil teelah lenyap,
sesungguhnya yang batil itu sesuatu yang pasti lenyap. (Al-Israa 81)”.

Firman Allah SWT : “sebenarnya kami melontarkan yang haq kepada yang batil
lalu yang haq itu menghancurkannya, maka serta merta yang batil itu akan lenyap.
Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat
yang tak layak bagi-nya)”. (Al-Anbiya : 18)

1. Contoh jual beli yang batil


Jual beli dikatakan sebagai jual beli yang batal/batil apabila salah satu atau
seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak
disyari’atkan, sperti juak beli yang dilakukan anak-anak, orang gila, atau barang-
barang yang diharakan syara’ seperti bangkai, darah, babi dan khamar.

Jenis-jenis jual beli yang batil adalah:

a. Jual beli sesuatu yang tidak ada.misalnya memperjual belikan buah-buahan


yang putiknya pun tidak muncul dipohonnya atau anak sapi yang belum ada,
sekalipun perrut ibunya telah ada. Akan tetapi, Ibbnu Qayyim al-Jauzziyah
pakar fiqih hambali mengatakan bahwa jual beli yang barangnya tidak ada
waktu berlangsungnya akad, tetapi diyakini akan ada dimasa yang akan
datang sesuai dengan kebiasaannya, boleh diperjual belikan dan hukumnya
sah. Alasaannya adalah karena tidak dijumpai dalam al-qur’an dan sunnah
larangan terhadap jual beli seperti ini.

b. Menjual barang yang tidak boleh diserahkan pada pembeli, seperti menjual
barang yang hilang atau burung peliharaan yang lepas dan teerbang di
udara. Hukum ini disepakati oleh seluruh ulama fiqih dan termasuk kedalam
kategori bai’ al-gharar (jual beli tipuan). Alasannya adalah hadis yang
diriwayatkan Ahmad ibn Hadal, Muslim, Abu Daud, dan at-Tirmidzi sebagai
berikut: Jangan kamu membeli ikan di dalam air, karena jual beli seperti ini
adlah jual beli tipuan.

c. Jual beli yang mangandung unsur penipuan, yang pada akhirnya baik, tetapi
ternyata dibalik itu terdapat unsur-unsur tipuan. Contohnya memperjual
belikan kurma yang ditumpuk. Diatasnya bagus-bagus dan manis, tetapi
ternyata didalam tumpukan itu banyak terdapat yang busuk.

d. Jual beli benda-benda najis, sperti babi, khamar, bangkai, dan darah.
Karena semuanya itu dalam pandangan islam adalah najis dan tidak
mengandung makna harta.

e. Jual beli al-‘arbun (jual beli yang bentuknya dilakukan melalui perjanjian,
pembeli membeli sebuah barang dan uangnya seharga barang diserahkan
kepada penjual, dengan syarat apabila pembeli tertarik dan setuju, maka jual
beli sah. Tetapi jika pembeli tidak seetuju dan barang dikembalikan, maka
uang yang telah diberikan pada penjual, menjadi hibah bagi penjual).

f. Memperjual belikan air sungai, air danau, air laut, dan air yang tidak boleh
dimiliki seseorang; karena air yang tidak dimiliki seseorang merupakan hak
bersama umat manusia, dan tidak boleh diperjual belikan. Hukum ini
disepakati jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan
Hanabilah. Akan tetapi air sumur pribadi menurut jumhur ulama boleh
diperjual belikan, karena air sumur merupakan yang milik pribadi
berdasarkan hasil usahanya sendiri.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kata maysir dalam bahasa arab arti secara harfiah memperboleh sesuatu
dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja.
Yang juga disebut berjudi. Istilah lain yang digunakan dalam al-qur’an adalah kata
‘azlam’ yang berarti perjudian.

Maksud al-gharar ialah “ketidakpastian”. Maksud ketidakpastian dalam transaksi


muamalah ialah: “terdapat sesuatu yang ingin disembunyikan oleh sebelah pihak
dan ianya menimbulkan rasa ketidakadilan serta penganiayaan kepada pihak yang
lain”. Menurut ibn Rush maksud al-gharar ialah : “kurangnya makluat tentang
keadaan barang (objek), wujud keraguan pada kewujudan barang, kuantiti dan
maklumat yang lengkap berhubung dengan harga”. Ia turut berkait dengan masa
untuk diserahkan barang tidak diketahui. Ibn Taimiyah menyatakan al-gharar ialah :
“apabila satu pihak mengambil haknya dan satu pihak lagi tidak menerima apa yang
sepatutnya dia dapat”.

Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain riba
juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah berarti pengabilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.

Batihl (al-bathil), berasal dari katabathala, yabthulu yang berarti rusak, salah,
palsu, tidak syah, tidak memenuhi syarat dan rukun, keluar dari kebenaran, terlarang
atau haram menurut ketentuan agama.

B. Kritik dan saran

Demikian makalah ini saya selesaikan sebagai salah satu tugas perkuliahan
pada semester tiga ini. Namun saya sebagai penyusun, menyadari terdapat
kekurangan maupun kekhilafan atau kesalahan, baik dalam penyelesaian maupun
pemaparan dari makalah saya ini.
Dari itu, saya sangat mengharap dari para pembaca atau pendengar
sekalian, baik dari teman-teman maupun Bapak Dosen sebagai pembimbing dalam
mata kuliah ini, untuk turut serta untuk memberikan kritik yang membangun dan
saran yang baik tentunya agar kedepannya nanti saya akan dan bisa menjadi lebih
maju dan baik dari sebelumnya. Aamiin…Ya Rabbal ‘Alamin

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghozali,Surabaya.2002.Al-Majmu’

Dr.Yusuf Qardhawi.2002.EraIntermedia.Solo

https://www.google.com/

http://jetzfatah.blogspot.com/.html

https://www.merdeka.com/

https://bukaninfo.wordpress.com/2015/01/12/

https://id.wikipedia.org/wiki/

Anda mungkin juga menyukai