Anda di halaman 1dari 38

ASAS-ASAS HUKUM PIDANA

DAN HUKUM PIDANA ISLAM

1. PENGERTIAN ASAS HUKUM.

Perkataan asas berasal dari bahasa Arab, asasun. Artinya dasar,

basis, pondasi, sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau pendapat 1,

sedangkan Kalau dihubungkan dengan sistem berpikir, yang dimaksud

dengan asas adalah landasan berpikir yang sangar mendasar 2.

Jika kata asas dihubungkan dengan hukum, yang dinamakan

dengan asas adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan

berpikir dan alasan pendapat, terutama dalam penegakan dan

pelaksanaan hukum. Asas hukum pada umumnya, berfungsi sebagai

rujukan untuk mengembalikan segala masalah yang berkenaan dengan

hukum.3

Menurut The Liang Gie4 Asas adalah suatu dalil umum yang

dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyarankan cara-cara khusus

mengenai pelaksanaannya yang diterapkan pada serangkaian

perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu.

Menurut Paul Scholten asas adalah “tendensen, welke

ons zedelijk oordeel aan het recht atelt, die gevonden worden door het

gemeenshappelijke in schijnbaar uit elkaar liggende regelingen aan te

1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, 1994, hal.60.
2
Mohammad Daut Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam Di
Indonesia, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999, hal.114.
3
Ibid.
4
The Liang Gie, Teori-Teori Keadilan (Sumbangan Bahan untuk Pemahaman
Pancasila), Supersukses, yogyakarta, 1982, hlm.8.
116
wijzen, of die veronderstellingen zijn, waarvan de regeling van een

geheel rechtsgebied uitgaat” (asas hukum adalah ungkapan-

ungkapan hukum/algemenerechtsordelen yang melembaga

sebagai kecenderungan-kecenderungan/tendensen yang

dituntut oleh rasa susila, yang dapat diketemukan dengan

menunjukkan hal-hal yang sama dari peraturan-peraturan yang

berjauhan satu sama lain, atau yang merupakan anggapan-

anggapan yang memancarkan pengaturan suatu ”lapangan

hukum” 5 .Beliau juga mengatakan bahwa asas-asas hukum ada

dalam batin,

Sedangkan Josef Esser berpendapat bahwa asas-asas

hukum adalah isinya, yang berbeda dengan bentuknya, yaitu

norma. Asas adalah dasar, kriteria, dan pedoman pembenaran.

Menurut Dworkin: Eert “principles” is volgens hem ’a

standard that is to be observed, not because it will advance or

secure an economical. political or social situation deemed

desirable, but because it is a requirement of justice or fairness

or some othrer demention of morallity. 6

Menurut De Langen asas-asas hukum adalah

ungkapan-ungkapan hukum yang sangat umum sifatnya, yang

bertumpu pada perasaan, yang hidup disetiap orang, dorongan-

dorongan batin dari pembentuk undang-undang,ialah sesuatu

yang ditaati oleh orang-orang, apabila mereka ikut bekerja


5
Paul Scholten seperti dikutip oleh Sudarto. Lihat pula Muladi, Pembaharuan Hukum
Pidana Materiil Indonesia, Makalah pada Seminar dan Konggres ASPEHUPIKI, Bandung, 17
Maret 2008, hlm.5
6
Dalam Komariah Emong Sapardjaja, op-cit, hm.20.
117
dalam mewujudkan undang-undang.(..... het zijn algemene

rechtsoordelen, welke berusten op gevoelens, die in ieder

mens leven,de fundamentele drijfveren van de wetgever,

datgene waaraan de mensen gehooezamen,als ze meewerken

aan het realiseren van wetten) 7 .

Sedangkan Wiarda mengatakan bahwa asas-asas

hukum itu untuk sebagian dapat diketemukan dengan

menyelidiki fikiran-fikiran yang memberi arah/pimpinan, yang

menjadi dasar kepada tata hukum yang ada, sebagaimana

dipositifkan dalam perundang-undangan dan jurisprudensi, dan

untuk sebagian berasal dari kesadaran hukum atau keyakinan

kesusialaan kita, yang secara langsung dan jelas sekali

menonjol kepada kita. 8

Menurut Peters asas-asas hukum adalah suatu nilai otonom

yang relatif, yang selalu harus dikemukakan sebagai batu ujian

terhadap hukum positif. Asas-asas hukum bukanlah sesuatu yang akan

dapat membendung kriminalitas secara supel dan diam-diam, tetapi

justru asas-asas hukum itu bertujuan memberikan norma kontrol

terhadap tindakan negara.9

Adapun Notohamidjojo10 berpendapat bahwa asas-asas

hukum ialah prisip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum.

Asas-asas itu dapat disebut juga pengertian dan nilai-nilai yang menjadi

7
Dalam Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1977, hlm.19.
8
Ibid.
9
Dalam Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam
Hukum Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2002, hlm.10.
10
Seperti di kutip Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1990.hlm.79.
118
titik tolak berpikir tentang hukum. Asas-asas itu merupakan titik tolak

juga bagi pembentukan undang-undang dan interpretasi undang-

undang tersebut..
11
Menurut BPHN asas hukum adalah ide yang mewakili

sekalian bahan kultural yang dimasukkan ke dalam hukum sebagai

landasan operasionalisasi nilai-nilai yang bersumber pada pandangan

hidup bangsa yang diperlukan dalam pembentukan, penerapan,

pelayanan, penegakan maupun pengembangan akademik suatu tata

hukum nasional, yang terdiri dari hukum tertulis maupun hukum tidak

tertulis. Asas hukum menyerap ide dan pengalaman dan kekayaan

kultural suatu bangsa. Maka asas hukum nasional (Indonesia) ditarik

dari kekayaan kultural serta pengalaman bangsa Indonesia sendiri.

Menurut Roeslan Saleh12 asas-asas hukum adalah aturan

hukum tertinggi yang berfungsi sebagai ratio dari aturan perundang-

undangan yang ada. Adapun ciri asas hukum adalah:

1. Asas hukum adalah fundamen dari sistem hukum oleh

karena itu asas hukum adalah pikran-pikiran dasar dari

sistem hukum itu.

2. Asas hukum bersifat lebih umum daripada ketentuan

undang-undang dan keputusan-keputusan hukum, oleh

karena ketentuan UU dan keputusan hukum adalah

penjabaran dari asas-asas hukum.

11
BPHN, Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional, Departemen Kehakiman
RI, 1995/1996, hlm.34.
12
Roeslan Saleh, dalam Laporan Hasil Kajian Bidang Hukum Pidana, TIM Pengkajian
Bidang Hukum Pidana Tahun 1988/1989-1989/1990, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman, Jakarta, hlm.8.
119
3. Asas hukum berada sebagai dasar dari sistem hukum itu

sendiri, beberapa lagi dibelakangnya, jadi di luar sistem

hukum itu sendiri, sungguhpun demikian mempunyai

pengaruh terhadap sistem hukum tersebut. Jadi asas-asas

hukum dapat dirumuskan sebagai pikiran-pikiran dasar yang

bersifat umum menjadi fundamen dari suatu sistem hukum,

walaupun tidak seluruhnya masuk ke dalamnya

Dalam pengisian asas hukum pada umumnya dan khususnya

Hukum Pidana, menurut Roeslan Saleh: “bahwa kita mengisi asas-asas

hukum itu dengan pandangan hidupnya sendiri, maka bagi kita menjadi

suatu pengabdian untuk mengisi asas-asas hukum itu dengan

pandangan hidup kenegaraan kita Pancasila”.13

Asas hukum menurut BPHN mempunyai fungsi dan sifat

sebagai pengintegrasi, penyeleksi, dan penyalur ide, karena asas

hukum memadukan peraturan-peraturan yang cerai-berai menjadi satu

sistem, bagian atau bidang hukum tertentu, dan mana yang harus

ditolak; Asas hukum juga mempunyai fungsi sebagai saluran bagi

masuknya ide serta sekalian kekayaan kultural suatu bangsa ke dalam

sistem hukumnya.14

Asas hukum mempunyai sifat dinamis (kuantitatif), berubah

sesuai dengan perubahan serta perkembangan masyarakat; kualitatif

sebagai faktor yang mendorong perkembangan hukum; memungkinkan

ditentukan pengecualian-pengecualian (de uitzondering bevestigt de

regel); asas yang bersifat abstrak dan yang sudah lebih konkrit. Asas-
13
Ibid hlm.8-9.
14
Ibid
120
asas hukum yang sudah diakui atau dikembangkan sebagai Asas

Hukum Nasional, terutama dalam rangka mengantisipasi

perkembangan dan perubahan masyarakat Indonesia manupun

masyarakat dunia , oleh karena itu pengembangan asas-asas hukum

nasional harus berorientasi ke masa depan (futurologis-sistemik-

holistik).15

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka membangun

asas berarti membangun cara berpikir yang sangat mendasar, oleh

karena itu membangun Sistem/tatanan Hukum Nasional termasuk di

dalamnya Asas-Asas Hukum Pidana Nasional yang bersumber pada

falsafah Pancasila, berarti membangun basis atau pondasi hukum

pidana bersumber pada pandangan hidup sendiri.

Membangun asas-asas hukum seyogyanya sesuai dengan

pandangan hidup dalam masyarakat, karena sistem hukum/tatanan

hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya

merupakan pengejawantahan cita hukum yang dianut dalam

masyarakat yang bersangkutan ke dalam berbagai perangkat aturan

hukum positif, lembaga dan proses (perilaku birokrasi pemerintahan

dan warga masyarakat).

Menurut Arief Sidharta cita hukum adalah gagasan, karsa,

cipta dan pikiran berkenaan dengan hukum atau persepsi tentang

makna hukum yang dalam intinya terdiri dari tiga unsur yaitu: unsur

keadilan, kehasil-gunaan dan kepastian hukum. 16 Cita hukum ini

15
Ibid.
Arief Sidharta, Struktur Ilmu Hukum Indonesia, Pusat Kajian Humaniora, Universitas
16

Katolik Parahyangan, Bandung, 2005, hal.23.


121
terbentuk dalam pikiran dan sanubari manusia sebagai produk

berpadunya pandangan hidup, keyakinan keagamaan dan kenyataan

kemasyarakatan yang diproyeksikan pada proses pengkaidahan

perilaku warga masyarakat yang mewujudkan tiga unsur cita hukum 17.

Dalam dinamika kehidupan kemasyarakatan cita hukum itu

akan mempengaruhi dan berfungsi sebagai asas umum yang

mempedomani norma kritik (kaidah evaluasi) dan faktor yang

memotivasi dalam penyelenggaraan hukum (pembentukan, penemuan

dan penerapan hukum) dan perilaku hukum. Dirumuskan dan

dipahaminya cita hukum akan memudahkan penjabarannya ke dalam

berbagai perangkat aturan kewenangan dan aturan perilaku. Dengan

demikian tata hukum seyogyanya merupakan sebuah eksemplar

ramifasi cita hukum ke dalam berbagai asas dan kaidah hukum yang

tertata dalam sebuah sistem. Sejalan dengan itu dalam pengembanan

tatanan hukum seyogyanya bertumpu dan mengacu pada cita hukum.

Struktur tatanan hukum tersebut digambakan sbb:

.Ragaan 2

Struktur Tatanan Hukum


Pandangan Hidup
Keyakinan keagamaan

Nilai-nilai

Asas-asas penataan
kehidupan bermasyarakat

Tatanan hukum internal (materiil):
* Asas-asas hukum nasional:
- Asas-asas hukum umum universal
- Asas-asas hukum umum nasional
* Asas-asas hukum bidang hukum khusus
17
Ibid.
122
(Asas-asas hukum cabang hukum dan sektoral hukum)

Tatanan hukum eksternal (formal):
Kaidah-kaidah hukum positif (tertulis dan tidak tertulis):
* Konstitusi dan Konvensi
* Undang-undang dan Traktat dan peraturan
perundang-undangan lainnya di bawah Undang-undang
* Hukum Kebiasaan (dan Hukum Adat)
* Yurisprudensi

Sumber: Prof. Arief Sidharta, Lampiran 3, Materi Kuliah Filsafat Ilmu Program
Doktor Ilmu Hukum, tahun 2008.

Cita hukum bangsa Indonesia berakar dalam Pancasila

yang ditetapkan sebagai landasan kefilsafatan dalam membangun

sistem/tatanan hukum Indonesia. Adapun asas-asas yang terkandung

dalam Pancasila menurut Soediman Kartohadiprodjo18 adalah asas

keadilan, asas kerukunan, asas kepatutan dan asas keselarasan yang

dapat disebut sebagai asas kekeluargaan. Sedangkan Satjipto

Raharjo19 berpendapat bahwa Sistem Hukum Pancasila adalah sistem

hukum yang mewadahi berbagai karakteristik sistem hukum kita

seperti nilai-nilai kekeluargaan, kebapakan, keserasian, keseimbangan,

dan musyawarah.

Dalam konteks rekonstrusi asas-asas hukum pidana nasional,

maka tolak ukur praktis mengenai filsafat hukum nasional Indonesia

tidak lain adalah Pancasila sebagai abstraksi nilai-nilai luhur kehidupan

manusia Indonesia, sehingga rekonstruksi asas-asas hukum pidana

nasional seyogyanya mencerminkan ciri khas hukum Pancasila yang

mengandung asas keadilan, asas kerukunan, asas kepatutan dan asas

18
Soediman Kartohadiprodjo, Pancasila Sebagai Pandangan Hidup bangsa Indonesia, Op-
cit, hlm XVII
19
Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2006,
hlm.24.
123
keselarasan atau dapat disebut sebagai asas kekeluargaan (dengan

istilah lain Prof.Tjip menyatakan nilai keseimbangan dan musyawarah).

2. Pengertian Hukum Pidana

Menurut Prof.Moeljatno,20 hukum pidana adalah bagian dari

keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan

dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

1) Menetukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,

yang dilarang dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa

pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.

2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana

sebagaimana yang telah diancamkan.

3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila ada oranga yang disangka telah melanggar

larangan tersebut.

2.1. ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA POSITIF SAAT INI

Hakekat masalah asas legalitas menurut Barda Nawawi Arief

adalah tentang:

a. Ruang berlakunya hukum pidana menurut waktu

20
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm.1
124
b. Sumber/dasar hukum (dasar legalisasi) dapat dipidananya suatu

perbuatan. (jadi sebagai “dasar kriminalisasi atau landasan yuridis

pemidanaan)21 .

Di dalam Bab I Buku I KUHP tentang “Batas-Batas Berlakunya

Aturan Pidana dalam Perundang-undangan” (Pasal 1 sampai dengan

Pasal 9) terkandung asas-asas ruang berlakunya hukum pidana

menurut waktu (yaitu asas legalitas).

Perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 KUHP (WvS) terdiri

dari 2 ayat yang selengkapnya sbb:

(1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas


ketentuan aturan pidana dalam perundang-undangan
yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
(2) Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam
perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan
(menguntungkan) bagi terdakwa.

Adapun makna dari asas legalitas seperti di rumuskan dalam

KUHP/WvS tersebut di atas menurut Romli Atma Sasmita adalah: 22

- Tiada suatu perbuatan merupakan suatu tindak pidana, kecuali

telah ditentukan dalam undang-undang terlebih dulu.

- Ketentuan undang-undang harus ditafsirkan secara harfiah dan

pengadilan tidak diperkenankan memberikan suatu penafsiran

analogis untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana.

- Ketentuan undang-undang tidak berlaku surut.

- Menetapkan bahwa hanya pidana yang tercantum secara jelas

dalam undang-undang yang boleh dijatuhkan.


21
Barda Nawawi Arief, Perkembangan Asas-Asas Hukum Pidana Dalam Konsep
KUHP (Perspektif Hukum Perbandingan Hukum Pidana, Makalah dalam Penataran Regional
Hukum Pidana dan Kriminologi, UNDIP, April 2006, hal.3.
22
Romli Atma Sasmita, Perbandingan Hukum Pidana, CV.Mandar Maju, Bandung,
2000, hlm.48.
125
Asas legalitas tersebut menurut Nico Keijzer pada dasarnya

mengandung aspek-aspek sebagai berikut: 23

1. Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut

undang-undang;

2. Tidak ada penerapan undang-undang hukum pidana secara

analogis/qiyas;

3. Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan;

4. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana;

5. Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan oleh Undang-undang;

6. Penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan oleh

undang-undang.

Sedangkan Sudarto24 berpendapat bahwa rumusan asas legalitas

dalam KUHP (WvS) di atas membawa 2 konsekwensi:

a. Bahwa perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-

undang sebagai tindak pidana tidak dapat dipidana. Jadi dengan

adanya asas ini hukum yang tidak tertulis tidak berkekuatan untuk

diterapkan.

b. Adanya pendapat bahwa ada larangan penggunaan analogi untuk

membuat suatu perbuatan menjadi suatu tindak pidana

sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang.

Adapun Muladi berpendapat Asas Legalitas terdiri atas:

(1) Nullum crimen sine lege (tiada kejahatan tanpa undang-undang);

(2) nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang);


23
Nico Keijzer, Op.Cit., Halaman 5.

Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum UNDIP Semarang,


24

Cetakan ke-dua, 1990, hal.22-23.


126
(3) nulla poena sine crimen (tiada pidana tanpa kejahatan).

Asas ini mencakup pula asas derivatif seperti “nullum

crimen sine lege praevia” (tiada kejahatan tanpa undang-undang

sebelumnya) dan “nullum crimen sine poena legali” (tiada kejahatan

tanpa pidana yang diatur sebelumnya). Asas lain yang terkait adalah

larangan untuk menerapkan “ex post facto criminal law” dan kaitannya

dengan pemberlakuan surut hukum pidana dan sanksi pidana (non-

retroactive application of criminal law and criminal sanction) 25.

Asas legalitas (principle of legality) biasa dikenal dalam

bahasa Latin sebagai “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege”

(tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu).

Kalimat tersebut sebenarnya berasal dari Von Feuerbach, sarjana

hukum pidana Jerman (1775-1833). Dialah yang merumuskan dalam

pepatah Latin dalam bukunya yang berjudul “Lechrbuch des

peinlichen recht” (1801).26

Menurut sejarahnya di dalam hukum Romawi kuno yang

memakai bahasa Latin, tidak dikenal pepatah ini, juga asas legalitas

tidak dikenal. Dalam sebuah karangan dalam “Tijdschrift v.Strafrecht

dalam 45 halaman 337 diutarakan di zaman Romawi itu dikenal

kejahatan yang dinamakan crimina extra ordinaria, artinya kejahatan-

kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang. 27

25
Muladi, Prinsip-Prinsip Pengadilan Pidana Bagi Pelanggar HAM Berat Di Era
Demokrasi, Makalah Seminar, 27 April, 2000, hal.16.
26
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan ke-tujuh, Rineka Cipta, Jakarta,
2002., hal.23.
27
Ibid.
127
Diantara crimina extra ordinaria ini yang sangat terkenal

adalah crimina stellionatus, yang letterlijk artinya: perbuatan jahat,

durjana. Jadi tidak ada ditentukan perbuatan apa yang dimaksud

disitu. Sewaktu hukum Romawi kuno itu diterima (diresipieer) di Eropa

Barat dalam Abad Pertengahan (sebagaimana halnya kita dalam

zaman penjajahan meresipieer hukum Belanda) maka pengertian

tentang crimina extra ordinaria diterima pula oleh raja-raja yang

berkuasa. Dan dengan adanya crimina extra ordinaria ini lalu

diadakan kemungkinan untuk menggunakan hukum pidana itu secara

sewenang-wenang menurut kehendaknya dan kebutuhan raja

sendiri.28

Dalam memuncaknya reaksi terhadap kekuasaan yang

mutlak (absolutisme) daripada raja-raja, yang dinamakan jaman

Ancien Regime maka disitulah timbul pikiran tentang harus ditentukan

dalam wet lebih dahulu perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana,

agar supaya penduduk lebih dahulu bisa tahu dan tidak akan

melakukan perbuatan tersebut.

Pertama-tama diketemukan pikiran tentang asas legalitas

adalah oleh Montesquieu dalam bukunya “L’esprit des Lois” (1748)

dan Rousseau dalam bukunya “Dus Contract Social” (1762). Asas

tersebut pertama-tama mempunyai bentuk sebagai undang-undang

ialah dalam Pasal 8 “Declaration des droits de L’homme et du citoyen”

(1789), semacam undang-undang dasar yang pertama yang dibentuk

dalam tahun pecahnya Revolusi Perancis. Bunyinya “Tidak ada suatu

28
Ibid, hal.24-25.
128
yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam

undang-undang dan diundangkan secara sah”. Dari Declaration des

droits de L’homme et du citoyen, asas ini dimasukkan dalam Pasal 4

Code Penal Perancis, di bawah pemerintahan Napoleon (1801). Dan

dari sini asas ini dikenal oleh Netherland karena penjajahan Napoleon,

sehingga mendapat tempat dalam Wetboek van Strafrecht Netherland

1881, Pasal 1 dan kemudian karena adanya asas konkordansi antara

Netherland Indie dan Netherland masuklah dalam Pasal 1 WvS

Netherland Indie 1918.29

Perumusan asas legalitas dari von Feurbach 30 dalam

bahasa Latin itu dikemukakan berhubungan dengan teorinya yang

dikenal dengan nama teori “vom psychologischen Zwang”, yang

menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang

dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan

yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya

pidana yang diancamkan. Dengan cara demikian ini maka orang yang

akan melakukan perbuatan yang dilarang tadi lebih dahulu diketahui

pidana apa yang dijatuhkan kepadanya nanti jika perbuatan itu

dilakukan. Dengan demikian dalam batinnya, dalam psychennya, lalu

diadakan tem atau tekanan untuk tidak berbuat, dan kalau sampai

melakukan perbuatan tadi, maka jika dijatuhi pidana kepadanya bisa

dipandang sebagai sudah disetujuainya sendiri. Jadi pendirian von

Ibid, hal.25.
29

Ibid, Baca pula Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum UNDIP
30

Semarang, Cetakan ke-dua, 1990, hal.25


129
Feurbach mengenai pidana ialah pendirian yang tergolong absolud

(mutlak). Sama halnya teori Pembalasan (retribution).

Jauh sebelum asas ini muncul, seorang filsuf Inggris, Francis

Bacon (1561-1626) telah memperkenalkan adagium ‘moneat lex,

priusquam feriat’, artinya: undang-undang harus memberikan

peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang

terkandung di dalamnya.31 Dengan demikian, asas legalitas

menghendaki bahwa ketentuan yang memuat perbuatan dilarang

harus dituliskan terlebih dahulu.

Dalam tradisi sistem civil law, ada empat aspek asas

legalitas yang diterapkan secara ketat, yaitu: Peraturan perundang-

undangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex certa, dan analogi.32

Mengenai keempat aspek ini, menurut Roelof H Haveman, though it

might be said that not every aspect is that strong on its own, the

combination of the four aspects gives a more true meaning to principle

of legality.33 Ke-empat aspek asas legalitas di atas penjelasannya sbb:

a. Lex Scripta : tertulis

Dalam sistem civil law, aspek pertama adalah pemidanaan

harus didasarkan pada undang-undang, dengan kata lain berdasarkan

hukum yang tertulis. Undang-undang (statutory, law) harus mengatur

mengenai tingkah laku (perbuatan) yang dianggap sebagai tindak

pidana. Tanpa undang-undang yang mengatur mengenai perbuatan

31
Lihat: M. Karfawi, Asas Legalitas dalam Usul Rancangan KUHP (Baru) dan
Masalah-masalahny, Jurnal Arena Hukum, Juli 1987, hlm 9-15. Lihat juga: Moeljatno, op.cit.
hlm. 355.
32
Lihat: Roelof H. Heveman, The Legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia,
Tata Nusa, Jakarta, 2002, hlm. 50.
33
Ibid.
130
yang dilarang, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai

tindak pidana. Hal ini berimplikasi bahwa hukum kebiasaan/hukum

yang hidup tidak bisa dijadikan dasar menghukum seseorang. Tidak

bisanya kebiasaan menjadi dasar penghukuman bukan berarti

kebiasaan tersebut tidak mempunyai peran dalam hukum pidana. Ia

menjadi penting dalam menafsirkan element of crimes yang

terkandung dalam tindak pidana yang dirumuskan oleh undang-

undang tersebut.34

b. Lex Certa: Jelas dan rinci

Dalam kaitannya dengan hukum yang tertulis, pembuat

undang-undang (legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci

mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana (kejahatan,

crimes). Hal inilah yang disebut dengan asas lex certa atau

bestimmtheitsgebot. Pembuat undang-undang harus mendefinisikan

dengan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta),

sehingga tidak ada perumusan yang ambigu mengenai perbuatan

yang dilarang dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak jelas atau

terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan

menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga

selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu

tidak berguna sebagai pedoman perilaku.35 Namun demikian ELSAM36


34
ELSAM, Asas Legalitas KUHP Dalam Rancangan 2005, Posistion Paper Advokasi
RUU KUHP Seri 1, Jakarta, 2005, hlm. 6-7, baca pula di Email: elsam@nusa.or.id atau
pada Email advokasi@nusa.ned.id
35
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 358.
36
ELSAM, Asas Legalitas KUHP Dalam Rancangan 2005, Posistion Paper Advokasi
RUU KUHP Seri 1, Jakarta, 2005, hlm.7, baca pula di Email: elsam@nusa.or.id atau pada
Email advokasi@nusa.ned.id
131
berpendapat, dalam prakteknya tidak selamanya pembuat undang-

undang dapat memenuhi persyaratan di atas. Tidak jarang perumusan

undang-undang diterjemahkan lebih lanjut oleh kebiasaan yang

berlaku di dalam masyarakat apabila norma tersebut secara faktual

dipermasalahkan.

c. Non-retroaktif

Asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan peraturan

perundang-undangan yang merumuskan tindak pidana tidak dapat

diberlakukan secara surut (retroaktif). Pemberlakuan secara surut

merupakan suatu kesewenang-wenangan, yang berarti pelanggaran

hak asasi manusia. Seseorang tidak dapat dituntut atas dasar

undang-undang yang berlaku surut.

d. Analogi

Analogi artinya memperluas berlakunya suatu peraturan

dengan mengabstraksikannya menjadi aturan hukum yang menjadi

dasar dari peraturan itu (ratio legis) dan kemudian menterapkan

aturan yang bersifat umum ini kepada perbuatan konkrit yang tidak

diatur dalam undang-undang. Penerapan peraturan secara analogi ini

dilakukan apabila ada kekosongan (leemte ata lucke) dalam undang-

undang untuk perbuatan (peristiwa) yang mirip dengan apa yang

diatur oleh undang-undang. Akan tetapi sebaliknya apabila ada

peristiwa (baru) yang tidak diatur dalam undang-undang maka

peraturan itu tidak diterapkan, apabila tidak sesuai dengan rasio dari

peraturan tsb. Penggunaan yang demikian itu disebut “argumentum a

132
contrario” (pemberian alasan secara dibalik/bewijs van het

tegendeel).37

Seperti disebutkan di muka, asas legalitas membatasi secara

rinci dan cermat tindakan apa saja yang dapat dipidana. Namun

demikian, dalam penerapannya, ilmu hukum memberi peluang untuk

dilakukan interpretasi terhadap rumusan-rumusan perbuatan yang

dilarang tersebut. Dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa metode

atau cara penafsiran, yaitu: penafsiran tata bahasa atau gramatikal,

penafsiran logis, penafsiran sistematis, penafsiran historis, penafsiran

teleologis atau sosiologis, penafsiran kebalikan, penafsiran

membatasi, penafsiran memperluas, dan penafsiran analogi. 38

Dalam berbagai literatur dikenal berbagai jenis penafsiran hukum, antara


lain yakni39:
1. Penafsiran gramatikal (menurut bahasa), yaitu penafsiran secara tata bahasa
artinya hanya mengingat bunyi kata-kata dalam arti kalimat itu saja.
Misalnya dalam suatu ketentuan menyatakan larangan berhenti di daerah
bebas parkir bagi "kendaraan", disini kita harus menjabarkan sendiri arti dari
kendaraan itu, apakah itu kendaraan bermotor atau kendaraan roda dua atau
apakah binatang seperti kuda dapat dimasukkan sebagai kendaraan yang
dimaksud dalam ketentuan tersebut.
2. Penafsiran historis (historiche interpretatie), yaitu memberikan penafsiran
berdasarkan sejarahnya, baik berdasarkan sejarah terjadinya hukumnya
maupun berdasarkan sejarah terbentuknya undang-undangnya. Misalnya

37
Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum UNDIP Semarang,
Cetakan ke-dua, 1990, hal.22-23.
38
Sofyan Sastrawidjaja, Hukum Pidana: Asas Hukum Pidana Sampai pada
Peniadaan Pidana, Armica Bandung, 1995, hlm 68-72..
39
Disarikan dari: S. Wiratmo, 1979. Pengantar Ilmu Hukum, Yogyakarta: Bagian Penerbitan
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Halaman 52 – 53; Sudikno Mertokusumo dan A.
Pitlo, 1993. Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti (bekerjasama
dengan: Konsorsium Ilmu Hukum Depdikbud dan The Asia Foundation). Halaman 14-21.
133
ketentuan denda dalam KUHP pada saat ini dikalikan lima belas ini
mendekati harga-harga pada waktu KUHP itu dibentuk.
3. Penafsiran sistematis (systematicshe interpretatie, dogmatische
interpretatie), yaitu penafsiran yang didasarkan pada susunan dan
hubungannya dengan bunyi pasal-pasal lain atau penafsiran yang didasarkan
sesuai tidaknya dengan sistem hukum itu, misalnya : "hak milik" harus
diartikan/ditafsirkan milik menurut sistem hukum Indonesia (hak milik
adalah fungsi sosial).
4. Penafsiran sosiologis atau penafsiran teleologis, yaitu penafsiran dengan
mengingat maksud dan tujuan undang-undang itu. Misalnya Undang-
undang Tindak Pidana Ekonomi ditujukan untuk memberantas pengacau
perekonomian masyarakat, maka orang yang melakukan penimbunan
barang-barang kebutuhan pokok masyarakat secara sosiologis dapat
ditafsirkan sebagai telah melakukan tindak pidana ekonomi karena
perbuatannya tersebut dianggap bisa mengacaukan perekonomian
masyarakat.
5. Penafsiran Autentik/resmi/sahih (authentieke interpretatie), yaitu
memberi interpretasi yang pasti seperti yang telah ditentukan oleh
pembentuk undang-undang itu sendiri, seperti misalnya penafsiran terhadap
kata-kata yang terdapat dalam Titel IX Buku I KUHP yaitu tentang arti
beberapa istilah yang dipakai dalam kitab undang-undang.
6. Penafsiran extensif/luas, yaitu memberikan penafsiran dengan memperluas
arti kata-kata dalam ketentuan undang-undang, sehingga suatu peristiwa
dapat dimasukkan, misalnya: "aliran listrik " dapat dimasukkan ke dalam
pengertian kata "benda". Kebalikannya adalah penafsiran restriktif yaitu
penafsiran dengan mempersempit/membatasi kata-kata dalam ketentuan
undang-undang.
7. Penafsiran komparatif, yaitu memberikan penafsiran dengan cara mencari
penjelasan berdasarkan perbandingan hukum sehingga kententuan undang-
undang menjadi lebih terang. Penafsiran ini penting terutama bagi hukum
atau aturan undang-undang yang timbul dari perjanjian internasional yang
direalisasikan sebagai hukum objektif atau kaedah hukum di berbagai negara.

134
8. Penafsiran futuristis (interpretasi antisipatif), yaitu penjelasan ketentuan
undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang yang belum
memiliki kekuatan hukum.
9. Penafsiran analogi. Sebetulnya analogi ini sudah tidak termasuk
interpretasi, karena analogi sama dengan qiyas, yaitu memberi ibarat
kepada kata-kata tersebut sesuai dengan azas hukumnya, sehingga suatu
peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai
dengan bunyi peraturan tersebut, misalnya: menyambung "aliran listrik
dianggap sama dengan "mengambil/mencuri" aliran listrik40.

Dari sekian banyak metode penafsiran tersebut, penafsiran

analogi telah menimbulkan perdebatan di antara para yuris yang

terbagi ke dalam dua kubu, menerima dan menentang penafsiran

analogi. Secara ringkas, penafsiran analogi adalah apabila terhadap

suatu perbuatan yang pada saat dilakukannya tidak merupakan tindak

pidana, diterapkan ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk tindak

pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama dengan

perbuatan tersebut, sehingga kedua perbuatan tersebut dipandang

analog satu dengan lainnya.

Menurut Andi Hamzah41, ada dua macam analogi, yaitu:

gesetz analogi dan recht analogi. Gesetz analogi adalah analogi

40
Sumber kepustakaan lainnya tidak memasukkan penemuan hukun secara analogi ke dalam
bagian dari metode penafsiran (interpretasi), namun digolongkan ke dalam metode
argumentasi hukum, yang terdiri dari tiga bentuk, yakni: Argumentum per analogiam
(metode berfikir analogi); Rechtsverfijning (metode penyempitan hukum), yakni
mempersempit pengertian dalam aturan yang dirumuskan secara umum dan luas untuk
diterapkan pada peristiwa tertentu (khusus); dan Argumentum a contrario, yakni cara
menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara perinstiwa
konkret yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Lihat: Sudikno
Mertokusumo & A. Pitlo, Op. Cit., Halaman 21-29.
41
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm.44.
135
terhadap perbuatan yang sama sekali tidak terdapat dalam ketentuan

pidana. Sementara recht analogi adalah analogi terhadap perbuatan

yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang dalam

ketentuan hukum pidana.

Beberapa alasan yang menyetujui dipakainya analogi, di

antaranya adalah karena perkembangan masyarakat yang sedemikian

cepat sehingga hukum pidana harus berkembang sesuai dengan

perkembangan masyarakat itu. Sementara yang menentang

mengatakan bahwa penerapan analogi dianggap berbahaya karena

dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Dalam

perkembangannya, pembatasan dan penggunaan analogi ini

tergantung pada sistem hukum yang dianut suatu negara.

Menurut Jan Remmelink42, inti dari penafsiran analogis, bagi

pendukung pendekatan ini tidak membatasi pengertian suatu aturan

hanya dalam batas-batas polyseem kata-kata. Bila diperlukan,

mereka akan siap sedia mengembangkan dan merumuskan aturan

baru (hukum baru), tentu tidak dengan sembarang melainkan dalam

kerangka pemikiran, rasio ketentuan yang bersangkutan. Dalam

perkembangannya, karena trauma pada saat pemerintahan Nazi, 43


42
Jan Remmelink, op.cit. hlm 359.
43
Dalam hal ini, Jan Remmelink sendiri sebagai salah satu ahli pidana Belanda yang
mendukung pelarangan analogi, beberapa alasan yang dikemukakannya antara lain: (i)
pelarangan analogi mendukung kepastian hukum, karena sampai sekarang pada tingkat
tertentu masih ditemukan adanya kepastian perihal isi ketentuan-ketentuan larangan dari
sudut pandang batas-batas kata menurut ilmu bahasa, sekalipun beberapa makna kata
ditafsirkan secara sangat luas. Hal itu memunculkan keraguan, namun kita masih tetap
menemukan arah perkembangan dengan batas-batas yang aman; (ii) Pengembangan
hukum (perundang-undangan) tidak terutama dibebankan pada hakim; (iii) Kemungkinan
untuk tetap dapat menjangkau ‘terdakwa’ di luar batasan bahasa membuka kesempatan
bagi hakim untuk mengambil keputusan secara emosional karena pengaruh tidak murni dari
opini publik, media, dan dari golongan (instansi ataupun non-instansi) lainnya; dan (iv)
Berdasarkan sejarah perundang-undangan, terdapat penolakan, sebagai contoh UU tahun
1886 (Belanda) tidak dimaksudkan sebagai pengakuan terhadap penggunaan metode
136
timbul keengganan yang besar terhadap penggunaan metode ini di

seluruh Eropa dan Belanda.

Dalam kaitannya dengan hak negara untuk menghukum

seseorang (ius puniendi), asas legalitas merupakan safeguard dari

kesewenang-wenanagan penguasa. Asas legalitas dianggap sebagai

sendi dari primaritas hukum pidana. Berdasarkan ‘teori perjanjian’ 44

yang dikembangkan beberapa ahli, kewenangan negara untuk

menjatuhkan pidana dilandasi oleh perjanjian antara individu dan

negara. Asas legalitas ini dianggap sebagai salah satu wujud dari

perjanjian antara penguasa dan individu itu. Dalam artian, kebebasan

individu sebagai subyek hukum mendapatkan jaminan perlindungan

kontraktual melalui asas legalitas. Melalui asas legalitas inilah terjadi

suatu pembenaran kepada negara untuk menjatuhkan pidana

sehingga ada kepastian hukum.

Eksistensi asas legalitas jika dilihat dari sudut

policy/kebijakan sangat berhubungan dengan konsep nilai

(pandangan/ideologi) sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio-kultural

dari suatu masyarakat, bangsa/negara. Oleh sebab itu berkaitan

dengan hak negara untuk menghukum seseorang, Barda Nawawi

Arief45 berpendapat bahwa dari sudut kebijakan hukum pidana, dalam

penafsiran analogis. Jan Remmelink, op-cit. hlm 360. Lihat pula ELSAM, Op-Cit, hlm.9.
44
Teori Perjanjian dalam hukum pidana di antaranya dikembangkan oleh Hugo
Grotius, yang mengandaikan sebagaimana seseorang menutup kontrak jual beli, demikian
pula seseorang yang melakukan delik akan menerima apa yang secara alamiah terkait pada
delik dimaksud, yaitu hukuman. Ajaran ini juga ditemukan pada Teori JJ Rousseau, terutama
dalam argumentasinya ‘untuk tidak menjadi korban suatu pembunuhan, ia sepakat untuk
menerima kematian, jka hal itu memang dituntut darinya. Lihat: Jan Remmelink, op.cit, hlm
598. Lihat pula ELSAM, Op-Cit, hlm.9.
45
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, op-cit, hlm.111. Bandingkan dengan pendapat G.Peter Hoefnages. Yang
berpendapat “the big problem of crime and punishment are therefore outside criminal law,
137
arti mengoperasikan/mengfusionalisasikan hukum pidana, masalah

sentralnya sebenarnya terletak pada masalah seberapa jauh

kewenangan/kekuasaan mengatur dan membatasi tingkah laku

manusia (warga masyarakat/pejabat) dengan hukum pidana.

Berdasarkan pendapat di atas maka perumusan asas

legalitas sebagai pembenaran negara untuk menjatuhkan pidana perlu

dirumuskan sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat

dimana peraturan itu dibuat dan akan diterapkan. Adapun asas

legalitas yang ada dalam KUHP (WvS) sampai sekarang secara

historis adalah merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan

penguasa di zaman Ancien Regime serta jawaban atas kebutuhan

fungsional terhadap kepastian hukum yang menjadi keharusan di

dalam suatu negara liberal serta untuk membatasi kekuasaan mutlak

(absolud) raja di Perancis saat itu, yang kemudian diterapkan di

Belanda dan kemudian Indonesia sebagai negara jajahan Belanda

Asas legalitas dalam KUHP Indonesia tercantum dalam Pasal

1 ayat (1) dengan rumusan aslinya sbb: “geen feit is strafbaar dan uit

kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepalingen”

atau “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan

kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”

Meskipun telah berumur seratus tahun lebih, yaitu sejak 1886

diberlakukannya WvS di Belanda, dan 1918 di Indonesia, rumusan ini

tidak berubah.

they are extrajudicial, are found in the reality of man and society......... The big problems of
crime and punishment exist in actual fact before criminal law takes action. G.Peter
Hoefnages, The Other Side of Crimiology, Holland, Kluwer-Deventer, 1969, hlm.47.
138
Jika sampai saat ini Indonesia masih menerapkan asas

legalitas seperti pada jaman penjajahan dulu tersebut sesungguhnya

sudah tidak sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia yang sudah

merdeka dan mengakui Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa.

Karena penerapan asas legalitas dalam KUHP sekarang tidak sesuai

dengan ide dasar/konsep dasar pemikiran yang bertolak dari

landasan filosofis Sistem Hukum Nasional yaitu Pancasila sebagai

nilai-nilai kehidupan kebangsaan yang dicita-citakan.

Prof.Sudarto46 bahkan menyatakan bahwa: “asas legalitas

hendaknya disusun secara progresif sesuai dengan kepribadian

Indonesia dan perkembangan revolusi setelah mempelajari

perkembangan aturan-aturan pidana umum dalam KUHP di berbagai

negara”.

Pada saat negara Indonesia dijajah oleh Belanda, KUHP

(WvS) dipaksakan berlaku di negara kita karena kebutuhan negara

penjajah untuk mengatur hukum di negara jajahan mereka dengan

menerapkan asas legalitas secara formal. Padahal pada waktu itu

dalam masyarakat kita telah ada aturan hukum yang dianut dan ditaati

oleh masyarakat yaitu hukum adat dan hukum agama sebagai

sumber hukum menetapkan suatu perbuatan dapat dikenakan sangsi

atau tidak.

Adapun setelah Indonesia merdeka dan lepas dari

kungkungan negara penjajah pengertian asas legalitas juga

berkembang sesuai dengan kondisi Indonesia yang telah merdeka

46
Sudarto, Hukum Pidana I, Op-Cit, hal.31.
139
yang mengakui Pancasila sebagai dasar falsafah pembangunan

bangsa. Sehingga pengertian asas legalitas bukan hanya dalam

pengertian formal tetapi juga dalam pengertian materiel yang

mengakui sumber hukum tertulis maupun hukum yang hidup di dalam

masyarakat sebagai sumber hukum untuk menetapkan apakah suatu

perbuatan itu dianggap tercela atau tidak, sehingga dapat lebih

memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Keseimbangan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang

mengandung esensi hukum yang berkeadilan, perlu

diimplementasikan dalam rekonstruksi KUHP yang sedang diupayakan

oleh bangsa Indonesia, sehingga KUHP Baru nanti sesuai dengan nilai-

nilai Pancasila..

4.2.2. ASAS TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN (ASAS

CULPABILITAS) DALAM HUKUM PIDANA POSITIF INDONESIA

SAAT INI.

Untuk menganalisis asas kesalahan dalam hukum positif

Indonesia saat ini, dipakai teori hukum Progresif dari Satjipto

Raharjo, yang menyatakan bahwa hukum adalah untuk manusia dalam

rangka mencapai kesejahteraan hidupnya. Jadi hukumlah yang harus

dibuat menyesuaikan dengan manusia dimana hukum itu dibuat dan

akan diterapkan. Sangat tidak cocok jika manusia dipaksa-paksakan

untuk memakai hukum yang tidak sesuai dengan nilai-nilai

kehidupannya.

140
Khusus mengenai masalah pertanggungjawaban pidana

atau criminal liability, hal ini sesungguhnya tidak hanya menyangkut

soal hukum semata-mata melainkan juga menyangkut soal nilai-nilai

moral dan kesusilaan umum yang dianut oleh suatu masyarakat.

Menurut Romli Atmasasmita47 sekalipun perkembangan

masyarakat dan teknologi pada abad 21 ini berkembang dengan

pesatnya, dan karena itu timbullah perkembangan pandangan atau

persepsi masyarakat tentang nilai-nilai kesusilaan umum, namun

demikian inti dari nilai-nilai kesusilaan umum tetap tidak berubah.

Karena soal pertanggungjawaban pidana adalah

menyangkut manusia atau orang, maka hal demikian bukanlah

merupakan sesuatu yang bersifat mutlak dan abadi sepanjang masa,

akan tetapi ia bersifat relatif dan in-konsisten. 48 Oleh karena itu asas

culpabilitas/asas kesalahan juga harus sesuai dengan pandangan

masyarakat tentang nilai-nilai moral dan nilai-nilai kesusilaan umum

dimana hukum itu dibuat dan diterapkan, dan ini sesuai dengan

paradigma konstruktivisme bahwa realitas itu sesungguhnya

majemuk, beragam dan bersifat relatif, oleh sebab itu perumusan

masalah pertanggungjawaban pidana juga tidak bersifat mutlak sama

antara masyarakat yang satu dengan yang lain, karena antara

masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain memiliki

pandangan yang berbeda mengenai nilai-nilai moral dan nilai-nilai

kesusilaan umum yang dianut dalam masyarakatnya..

47
Romli Atma Sasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Op-Cit, hlm.67,
48
Ibid.
141
Asas Kesalahan (Asas culpabilitas) merupakan salah satu

asas yang fundamental dalam hukum pidana akan tetapi asas ini tidak

dirumuskan/diformulasikan secara eksplisit dalam Aturan Umum Buku I

KUHP/WvS yang berlaku di Indonesia saat ini, tetapi hanya dapat

disimpulkan dari adanya beberapa alasan pemaaf di dalam Buku I dan

adanya beberapa perumusan delik, dolus dan culpa di dalam Buku II

KUHP.

Kesalahan menurut Mezger adalah keseluruhan syarat yang

memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat

pidana (Schuld ist der erbegriff der vorraussetungen die aus der straftat

einen persinlichen verwurfgegen den tater begrunden)49.

Menurut Simon kesalahan itu sebagai pengertian yang social

ethisch dan mengatakan: sebagai dasar untuk pertanggungjawaban

dalam hukum pidana ialah berupa keadaan psychisch dari si pembuat

dan hubungannya terhadap perbuatannya dalam arti bahwa

berdasarkan keadaan psychisch (jiwa) itu perbuatannya dicelakan pada

pembuat, Sedangkan Van Hammel mengatakan bahwa kesalahan

dalam suatu delik merupakan pengertian psychologis berhubungan

antara jiwa si pembuat dan terwujudnya unsur-unsur delik karena

perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum

(“Schuld isde verantwoordelijheid rechtens.50


49
Menurut Simon kesalahan itu sebagai pengertian yang social ethisch dan
mengatakan: sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah berupa
keadaan psychisch dari si pembuat dan hubungannya terhadap perbuatannya dalam arti
bahwa berdasarkan keadaan psychisch (jiwa) itu perbuatannya dicelakan pada pembuat,
Sedangkan Van Hammel mengatakan bahwa kesalahan dalam suatu delik merupakan
pengertian psychologis berhubungan antara jiwa si pembuat dan terwujudnya unsur-unsur
delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum (“Schuld
isde verantwoordelijheid rechtens”) Dalam Sudarto, Hukum Pidana I, op-cit, hlm.87-88
50
Ibid.
142
Seperti diketahui bahwa seseorang yang melakukan suatu

perbuatan yang bersifat melawan hukum (mencocoki rumusan undang-

undang) sebagai perbuatan pidana, belum berarti orang yang

bersangkutan langsung dapat dipidana, tetapi perlu syarat lain yaitu

adanya kesalahan pada diri pelaku, artinya pelaku haruslah orang yang

mampu dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang

dilakukannya.

Pembicaraan mengenai pertanggungjawaban pidana tidak

dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai perbuatan pidana. Orang

tidak mungkin dipertanggungjawabkan untuk dipidana, apabila ia tidak

melakukan tindak pidana. Para penulis sering menggambarkan bahwa

dalam menjatuhkan pidana unsur “tindak pidana” dan

“pertanggungjawaban pidana” harus dipenuhi.

Unsur tindak pidana dan kesalahan adalah unsur yang

sentral dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam

lapangan objektif yang diikuti oleh unsur sifat melawan hukum,

sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana merupakan unsur

subjektif yang terdiri dari kemampuan bertanggung jawab dan adanya

kesalahan (kesengajaan dan kealpaan).

Dalam doktrin hukum pidana tentang kesalahan, si pembuat

delik dapat dikatakan bahwa adanya kesalahan tidak dapat difikirkan

tanpa adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum, tetapi

sebaliknya dapat difikirkan adanya perbuatan yang bersifat melawan

hukum tanpa adanya kesalahan. Dengan kalimat lain menurut

143
Bambang Poernomo51 bahwa orang tidak mungkin

dipertanggungjawabkan dan dipidana jika orang itu tidak melakukan

perbuatan pidana, tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana tidak

selalu ia dapat dipidana.

Pengertian dan peran asas kesalahan dalam menentukan

dapat dipidananya orang sebagai pembuat delik, menurut ahli hukum

pidana sebagian besar berpendapat mempunyai 3 unsur/bagian, yaitu:

(1) Dapat dipertanggungjawabkan kepada si pembuat, atau

kemampuan bertanggungjawab dari si pembuat (de

toerekeningsvatbaarheid van de dader/die Zurechtnungsfaahig

heit);

(2) Ada hubungan tertentu dalam batin orang yang berbuat, baik dalam

bentuk kesengajaan (opzet/vorzats) maupun kealpaan

(schuld/fahrlassingkeit);

(3) Tidak ada dasar alasan penghapus pertanggungjawaban si

pembuat, atau tidak ada alasan penghapus kesalahan (geen

schuldduitsluitingsgronden/keinenchuldausschiesungsgrunde. 52

Kalau ketiga-tiga unsur ada maka orang yang bersangkutan

bisa dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungjawab pidana,

sehingga bisa di pidana.53

Dalam ilmu hukum pidana, asas kesalahan dapat diterima

sehubungan dengan perkembangan pengaruh doktrin “social

51
Bambang Poernomo, Prospek Perkembangan Sanksi Pidana Dalam Lingkup Asas-
Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar Tentang Asas-Asas
Hukum Pidana Nasional, BPHN Departemen Kehakiman dan HAM RI bekerjasama dengan
Fak.Hukum UNDIP, Semarang, 26-28 April 2004., hlm.2.
52
Ibid, hlm.3.
53
Sudarto, Hukum Pidana I, op cit. hlm 91.
144
behavioral sciences” terhadap dinamika hukum pidana dan pengaruh

asas kemanfaatan yang bersumber dari “utility theory’ terhadap

kegunaan hukum pidana yang mengandung dasar falsafah “human

right”” dan “social welfare” yang berlaku secara universal dalam

masyarakat bangsa-bangsa beradab di dunia. Hakekat asas kesalahan

yang sesuai dengan batasan ilmu hukum pidana dan konstruksi hukum

pidana seperti tersebut di atas dirumuskan dengan istilah “geen straf

zonder schuld” (Belanda), istilah “Ohne schuld keine Strafe” (Jerman),

atau istilah lain “actus non facit reeum, nisi mens sit rea” yang sama

pengertiannya dengan “an act does not make a person guilty unless the

mind is guilty”.54

Di dalam KUHP selama ini asas kesalahan (culpabilitas)

tidak dicantumkan secara eksplisit dalam Aturan Umum Buku I, tetapi

hanya bisa disimpulkan dari beberapa pasal mengenai alasan pemaaf,

dan dalam beberapa perumusan delik dolus dan delik culpa dalam

Buku II KUHP.

Dalam KUHP yang berhubungan dengan alasan pemaaf

ialah Pasal 44 yang berbunyi: “Barang siapa melakukan perbuatan

yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya

cacat dalam tumbuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit tidak

dipidana”.

54
Ibid, hlm.4.
145
Dari Pasal 44 KUHP tersebut dan dari beberapa pendapat

sarjana hukum, Moeljatno55 menyimpulkan bahwa untuk adanya

kemampuan bertanggung jawab harus ada:

a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik

dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;

b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan

tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

Yang pertama adalah faktor akal, yaitu dapat membedakan

antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Yang kedua

adalah faktor perasaan atau kehendak, yaitu dapat menyesuaikan

tingkah lakunya dengan keinsafan atas mana yang diperbolehkan dan

yang tidak. Sebagai konsekuensinya, tentunya orang yang tidak

mampu menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan

buruknya perbuatan tadi, dia tidak mempunyai kesalahan. Orang yang

demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Pasal 44,

ketidakmampuan tersebut harus disebabkan alat batinnya cacat atau

sakit dalam tumbuhnya.

Menurut Sudarto56 sistem yang dipakai dalam KUHP untuk

menentukan tidak dapat dipertanggungjawabkannya si pembuat ini

adalah deskriptif normatif. Deskriptif artinya karena keadaan jiwa

digambarkan menurut apa adanya oleh Psikiater, dan normatif karena

hakimlah yang menilai, berdasarkan hasil pemeriksaan tadi, sehingga

55
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 165, lihat
pula Sudarto, Hukum Pidana I, op-cit, hlm.95.
56
Ibid
146
dapat meyimpulkan mampu dan tidak mampunya tersangka untuk

bertanggungjawab atas perbuatannya.

Memorie van Toelichting (M. v. T) mengemukakan apa yang

disebut “alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya

seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang”

M.v.T menyebut 2 (dua) alasan :

a. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang

terletak pada diri orang itu, dan

b. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang

terletak di luar orang itu.

Di samping perbedaan yang dikemukakan dalam M.v.T, ilmu

pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan sendiri

terhadap alasan penghapus pidana, yaitu :

a. Alasan penghapus pidana yang umum, yaitu yang berlaku umum

untuk tiap-tiap delik, hal ini diatur dalam Pasal 44, 48 s/d 51 KUHP.

b. Alasan penghapus pidana yang khusus, yaitu yang hanya berlaku

untuk delik-delik tertentu saja, misal Pasal 221 ayat (2) KUHP:

“menyimpan orang yang melakukan kejahatan dan sebagainya.” Di

sini ia tidak dituntut jika ia hendak menghindarkan penuntutan dari

istri, suami dan sebagainya (orang-orang yang masih ada hubungan

darah).

Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan

pembedaan lain terhadap alasan penghapus pidana sejalan dengan

pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat

dipidananya pembuat. Penghapusan pidana dapat menyangkut


147
perbuatan atau pembuatnya, maka dibedakan 2 (dua) jenis alasan

penghapus pidana , yaitu57 :

1) Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya

perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik

dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak bersifat melawan

hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan.

2) Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan menyangkut

pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang tidak dapat dicela atau

ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan,

meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Di sisni ada

alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak

dipidana.

Selain adanya alasan pemaaf di atas, apabila dicermati

rumusan pasal-pasal yang ada dalam KUHP, asas kesalahan terutama

yang terdapat buku kedua, tampak dengan jelas disebutkan istilah

kesengajaan atau kealpaan58. Berikut ini akan dikutipkan beberapa

contoh rumusan pasal KUHP tersebut.

1) Dengan sengaja

Pasal 338 KUHP yang berbunyi : Barang siapa dengan sengaja

menghilangkan nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan...

57
Baca Johny Krisnan, Op-cit, hlm.44.
58
Asas pokok hukum pidana ialah “tak ada hukuman kalau tak ada kesalahan” (an act
does not make guilty unless the mindis guilty, actus not facit reum nisi mens sit rea).
Kesalahan dimaksud di sini adalah sengaja (intention/dolus/opzet) dan kealpaan
(negligent/schuld). Menurut para pakar ada tiga bentuk kesengajaan yaitu: a. Kesengajaan
sebagai maksud.b. Kesengajaan dengan sadar kepastian c. Kesengajaan dengan sadar
kemungkinan (dolus eventualis). Dan kealpaan, adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan
dari pada kesengajaan. Ada dua bentuk kealpaan, yaitu: a. Tidak berhati-hati dan b. Tidak
menduga-duga akibat perbuatan itu. Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat
Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta,1991, hlm. 6-7.
148
2) Karena kealpaan

Pasal 359 KUHP yang berbunyi : Barang siapa karena

kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan

pidana ….................

Tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan

kesengajaan atau kealpaan seperti tersebut dalam KUHP, namun

berdasarkan doktrin dan pendapat para ahli hukum dapat disimpulkan

bahwa dengan rumusan seperti itu berarti pasal-pasal tersebut

mengandung unsur kesalahan yang harus dibuktikan oleh pengadilan.

Dengan kata lain, untuk memidana pelaku, selain telah terbukti

melakukan tindak pidana, maka unsur kesengajaan atau kealpaan juga

harus dibuktikan.

Sementara itu, terdapat juga pasal-pasal yang dirumuskan

tidak secara eksplisit mengenai kesengajaan atau kealpaan. Namun,

dari rumusannya sudah dapat ditafsirkan bahwa rumusan tersebut

megandung unsur kesengajaan. Beberapa contoh pasal itu dapat dilihat

berikut ini. 59

1) Dengan Maksud

Pasal 368 KUHP yang berbunyi: Barang siapa dengan maksud

untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain secara

melawan hukum ...............

2) Mengetahui/Diketahui

59
Johny Krisnan, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Tesis Program Magister Ilmu Hukum UNDIP,
Semarang, 2008, hlm 48-49.Lihat pula dalam
149
Pasal 480 KUHP yang berbunyi: Barang siapa … yang

diketahuinya atau disangka bahwa barang itu diperoleh dari

kejahatan … .

3) Yang Ia Tahu

Pasal 245 KUHP yang berbunyi: Barang siapa yang dengan

sengaja, mengeluarkan mata uang kertas negara atau uang

kertas yang ditirunya atau dipalsukannya sendiri atas yang pada

waktu diterimanya ia tahu...

4) Dengan Paksa

Pasal 167 KUHP berbunyi: Barang siapa dengan paksa dan

melawan hukum memasuki sebuah rumah atau ruangan atau

pekarangan tertutup.... ...........

5) Dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan

Pasal 175 KUHP yang berbunyi: Barang siapa dengan

kekerasan atau ancaman kekerasan, merintangi pertemuan

agama yang bersifat umum dan diizinkan atau upacara agama

yang diizinkan atau upacara penguburan jenazah, diancam........

Kondisi demikian belum mengalami perubahan dalam KUHP

yang berlaku saat ini maupun dalam perkembangan hukum pidana

positif di luar KUHP. Jadi masih tetap berinduk pada sistem perumusan

yang ada di dalam KUHP (WvS).

Namun dalam perkembangan Undang-Undang di luar KUHP

antara lain dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, asas

kesalahan ini kemudian dirumuskan secara tegas/eksplisit dalam Pasal

4 ayat (2) UU No.19/1964, yang kemudian diganti menjadi Pasal 6 ayat


150
(2) UU No.14/1970, yang kemudian diganti dengan UU.No.4/2004, dan

terakhir diganti dengan UU No.48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

masuk dalam Pasal 6 ayat (2) yang perumusannya sebagai berikut:

“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila


pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut
undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang
yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah
atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.

Perumusan di atas pada intinya sama dengan perumusan

Pasal 183 UU No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang

perumusannya sebagai berikut:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang


kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya”.

Perkembangan asas kesalahan di luar KUHP yang lain

adalah mengenai diakuinya korporasi sebagai subyek dari hukum

pidana. Menurut KUHP subyek hukum pidana hanyalah orang

(naturalijk person), namun dalam perkembangan di berbagai UU di luar

KUHP juga mengakui badan hukum (recht person) sebagai subyek

hukum yang antara lain dapat dilihat dalam UU No. 7 Drt. Tahun 1955

tentang Tindak Pidana Ekonomi; UU No. 22 Tahun 1997 tentang

Narkotika, UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UU No.23

Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana dalam

berbagai Undang-Undang itu tidak menyebutkan sistem

pertanggungjawaban pidana yang dianut. Karena tidak disebutkan,

maka sebagai ketentuan umum berlaku ketentuan KUHP. Namun, ada

hal yang menyimpang dari KUHP, yakni mengenai subjek delik. UU itu
151
mengakui adanya korporasi sebagai pembuat dan dapat

dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.

Diakuinya korporasi sebagai subyek hukum pidana memang

suatu penyimpangan dari aturan umum KUHP, penyimpangan tersebut

karena menyangkut pelakunya adalah korporasi, maka dalam hal ini

dipakai pengecualian terhadap asas kesalahan yaitu dengan

menggunakan asas “strict liability” atau (liability without fault), yakni

pembuat tindak pidananya telah dapat dipidana hanya karena telah

dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tanpa melihat adanya

kesalahan.

Di bidang hukum pidana, keberadaan suatu badan hukum

atau badan usaha yang menyandang istilah “korporasi” diterima dan

diakui sebagai subjek hukum yang dapat melakukan tindak pidana

serta dapat pula dipertanggungjawabkan. Dalam perkembangan hukum

pidana di Indonesia, ada tiga sistem pertanggungjawaban korporasi

sebagai subjek tindak pidana, yakni:

(1) Pengurus korporasi yang berbuat, maka penguruslah yang

bertanggung jawab.

(2) Korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung

jawab.

(3) Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab 60.

Sebagai perbandingan di dalam KUHP Belanda sejak tahun

1976 telah mencantumkan pertanggungjawaban korporasi sebagai

60
Mardjono Reksodiputro, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak
Pidana Korporasi”, Makalah Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, Semarang: Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, 23-24 Nopember 1989, hlm. 9
152
subjek perbuatan pidana yang diakui melalui undang-undang tanggal

23 Juni 1976, Stb. 377 yang disahkan tanggal 1 September 1976. Di

Indonesia, walaupun Pasal 59 KUHP belum dikembangkan seperti

Pasal 51 KUHP Belanda, beberapa peraturan perundang-undangan

pidana di luar KUHP mulai menyimpang, yakni perbuatan pidana tidak

hanya dapat dilakukan oleh manusia alamiah, tetapi juga korporasi

seperti telah diuraikan di atas..

153

Anda mungkin juga menyukai