hukum.3
Menurut The Liang Gie4 Asas adalah suatu dalil umum yang
ons zedelijk oordeel aan het recht atelt, die gevonden worden door het
1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, 1994, hal.60.
2
Mohammad Daut Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam Di
Indonesia, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999, hal.114.
3
Ibid.
4
The Liang Gie, Teori-Teori Keadilan (Sumbangan Bahan untuk Pemahaman
Pancasila), Supersukses, yogyakarta, 1982, hlm.8.
116
wijzen, of die veronderstellingen zijn, waarvan de regeling van een
dalam batin,
Asas-asas itu dapat disebut juga pengertian dan nilai-nilai yang menjadi
7
Dalam Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1977, hlm.19.
8
Ibid.
9
Dalam Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam
Hukum Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2002, hlm.10.
10
Seperti di kutip Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1990.hlm.79.
118
titik tolak berpikir tentang hukum. Asas-asas itu merupakan titik tolak
undang tersebut..
11
Menurut BPHN asas hukum adalah ide yang mewakili
hukum nasional, yang terdiri dari hukum tertulis maupun hukum tidak
11
BPHN, Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional, Departemen Kehakiman
RI, 1995/1996, hlm.34.
12
Roeslan Saleh, dalam Laporan Hasil Kajian Bidang Hukum Pidana, TIM Pengkajian
Bidang Hukum Pidana Tahun 1988/1989-1989/1990, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman, Jakarta, hlm.8.
119
3. Asas hukum berada sebagai dasar dari sistem hukum itu
hukum itu dengan pandangan hidupnya sendiri, maka bagi kita menjadi
sistem, bagian atau bidang hukum tertentu, dan mana yang harus
sistem hukumnya.14
regel); asas yang bersifat abstrak dan yang sudah lebih konkrit. Asas-
13
Ibid hlm.8-9.
14
Ibid
120
asas hukum yang sudah diakui atau dikembangkan sebagai Asas
holistik).15
makna hukum yang dalam intinya terdiri dari tiga unsur yaitu: unsur
15
Ibid.
Arief Sidharta, Struktur Ilmu Hukum Indonesia, Pusat Kajian Humaniora, Universitas
16
perilaku warga masyarakat yang mewujudkan tiga unsur cita hukum 17.
ramifasi cita hukum ke dalam berbagai asas dan kaidah hukum yang
.Ragaan 2
Sumber: Prof. Arief Sidharta, Lampiran 3, Materi Kuliah Filsafat Ilmu Program
Doktor Ilmu Hukum, tahun 2008.
dan musyawarah.
18
Soediman Kartohadiprodjo, Pancasila Sebagai Pandangan Hidup bangsa Indonesia, Op-
cit, hlm XVII
19
Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2006,
hlm.24.
123
keselarasan atau dapat disebut sebagai asas kekeluargaan (dengan
larangan tersebut.
adalah tentang:
20
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm.1
124
b. Sumber/dasar hukum (dasar legalisasi) dapat dipidananya suatu
pemidanaan)21 .
undang-undang;
analogis/qiyas;
undang-undang.
adanya asas ini hukum yang tidak tertulis tidak berkekuatan untuk
diterapkan.
tanpa pidana yang diatur sebelumnya). Asas lain yang terkait adalah
larangan untuk menerapkan “ex post facto criminal law” dan kaitannya
bahasa Latin sebagai “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege”
(tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu).
memakai bahasa Latin, tidak dikenal pepatah ini, juga asas legalitas
25
Muladi, Prinsip-Prinsip Pengadilan Pidana Bagi Pelanggar HAM Berat Di Era
Demokrasi, Makalah Seminar, 27 April, 2000, hal.16.
26
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan ke-tujuh, Rineka Cipta, Jakarta,
2002., hal.23.
27
Ibid.
127
Diantara crimina extra ordinaria ini yang sangat terkenal
sendiri.28
agar supaya penduduk lebih dahulu bisa tahu dan tidak akan
28
Ibid, hal.24-25.
128
yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam
dari sini asas ini dikenal oleh Netherland karena penjajahan Napoleon,
pidana yang diancamkan. Dengan cara demikian ini maka orang yang
diadakan tem atau tekanan untuk tidak berbuat, dan kalau sampai
Ibid, hal.25.
29
Ibid, Baca pula Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum UNDIP
30
might be said that not every aspect is that strong on its own, the
31
Lihat: M. Karfawi, Asas Legalitas dalam Usul Rancangan KUHP (Baru) dan
Masalah-masalahny, Jurnal Arena Hukum, Juli 1987, hlm 9-15. Lihat juga: Moeljatno, op.cit.
hlm. 355.
32
Lihat: Roelof H. Heveman, The Legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia,
Tata Nusa, Jakarta, 2002, hlm. 50.
33
Ibid.
130
yang dilarang, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai
undang tersebut.34
crimes). Hal inilah yang disebut dengan asas lex certa atau
yang dilarang dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak jelas atau
dipermasalahkan.
c. Non-retroaktif
d. Analogi
aturan yang bersifat umum ini kepada perbuatan konkrit yang tidak
peraturan itu tidak diterapkan, apabila tidak sesuai dengan rasio dari
132
contrario” (pemberian alasan secara dibalik/bewijs van het
tegendeel).37
rinci dan cermat tindakan apa saja yang dapat dipidana. Namun
37
Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum UNDIP Semarang,
Cetakan ke-dua, 1990, hal.22-23.
38
Sofyan Sastrawidjaja, Hukum Pidana: Asas Hukum Pidana Sampai pada
Peniadaan Pidana, Armica Bandung, 1995, hlm 68-72..
39
Disarikan dari: S. Wiratmo, 1979. Pengantar Ilmu Hukum, Yogyakarta: Bagian Penerbitan
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Halaman 52 – 53; Sudikno Mertokusumo dan A.
Pitlo, 1993. Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti (bekerjasama
dengan: Konsorsium Ilmu Hukum Depdikbud dan The Asia Foundation). Halaman 14-21.
133
ketentuan denda dalam KUHP pada saat ini dikalikan lima belas ini
mendekati harga-harga pada waktu KUHP itu dibentuk.
3. Penafsiran sistematis (systematicshe interpretatie, dogmatische
interpretatie), yaitu penafsiran yang didasarkan pada susunan dan
hubungannya dengan bunyi pasal-pasal lain atau penafsiran yang didasarkan
sesuai tidaknya dengan sistem hukum itu, misalnya : "hak milik" harus
diartikan/ditafsirkan milik menurut sistem hukum Indonesia (hak milik
adalah fungsi sosial).
4. Penafsiran sosiologis atau penafsiran teleologis, yaitu penafsiran dengan
mengingat maksud dan tujuan undang-undang itu. Misalnya Undang-
undang Tindak Pidana Ekonomi ditujukan untuk memberantas pengacau
perekonomian masyarakat, maka orang yang melakukan penimbunan
barang-barang kebutuhan pokok masyarakat secara sosiologis dapat
ditafsirkan sebagai telah melakukan tindak pidana ekonomi karena
perbuatannya tersebut dianggap bisa mengacaukan perekonomian
masyarakat.
5. Penafsiran Autentik/resmi/sahih (authentieke interpretatie), yaitu
memberi interpretasi yang pasti seperti yang telah ditentukan oleh
pembentuk undang-undang itu sendiri, seperti misalnya penafsiran terhadap
kata-kata yang terdapat dalam Titel IX Buku I KUHP yaitu tentang arti
beberapa istilah yang dipakai dalam kitab undang-undang.
6. Penafsiran extensif/luas, yaitu memberikan penafsiran dengan memperluas
arti kata-kata dalam ketentuan undang-undang, sehingga suatu peristiwa
dapat dimasukkan, misalnya: "aliran listrik " dapat dimasukkan ke dalam
pengertian kata "benda". Kebalikannya adalah penafsiran restriktif yaitu
penafsiran dengan mempersempit/membatasi kata-kata dalam ketentuan
undang-undang.
7. Penafsiran komparatif, yaitu memberikan penafsiran dengan cara mencari
penjelasan berdasarkan perbandingan hukum sehingga kententuan undang-
undang menjadi lebih terang. Penafsiran ini penting terutama bagi hukum
atau aturan undang-undang yang timbul dari perjanjian internasional yang
direalisasikan sebagai hukum objektif atau kaedah hukum di berbagai negara.
134
8. Penafsiran futuristis (interpretasi antisipatif), yaitu penjelasan ketentuan
undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang yang belum
memiliki kekuatan hukum.
9. Penafsiran analogi. Sebetulnya analogi ini sudah tidak termasuk
interpretasi, karena analogi sama dengan qiyas, yaitu memberi ibarat
kepada kata-kata tersebut sesuai dengan azas hukumnya, sehingga suatu
peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai
dengan bunyi peraturan tersebut, misalnya: menyambung "aliran listrik
dianggap sama dengan "mengambil/mencuri" aliran listrik40.
pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama dengan
40
Sumber kepustakaan lainnya tidak memasukkan penemuan hukun secara analogi ke dalam
bagian dari metode penafsiran (interpretasi), namun digolongkan ke dalam metode
argumentasi hukum, yang terdiri dari tiga bentuk, yakni: Argumentum per analogiam
(metode berfikir analogi); Rechtsverfijning (metode penyempitan hukum), yakni
mempersempit pengertian dalam aturan yang dirumuskan secara umum dan luas untuk
diterapkan pada peristiwa tertentu (khusus); dan Argumentum a contrario, yakni cara
menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara perinstiwa
konkret yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Lihat: Sudikno
Mertokusumo & A. Pitlo, Op. Cit., Halaman 21-29.
41
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm.44.
135
terhadap perbuatan yang sama sekali tidak terdapat dalam ketentuan
negara. Asas legalitas ini dianggap sebagai salah satu wujud dari
penafsiran analogis. Jan Remmelink, op-cit. hlm 360. Lihat pula ELSAM, Op-Cit, hlm.9.
44
Teori Perjanjian dalam hukum pidana di antaranya dikembangkan oleh Hugo
Grotius, yang mengandaikan sebagaimana seseorang menutup kontrak jual beli, demikian
pula seseorang yang melakukan delik akan menerima apa yang secara alamiah terkait pada
delik dimaksud, yaitu hukuman. Ajaran ini juga ditemukan pada Teori JJ Rousseau, terutama
dalam argumentasinya ‘untuk tidak menjadi korban suatu pembunuhan, ia sepakat untuk
menerima kematian, jka hal itu memang dituntut darinya. Lihat: Jan Remmelink, op.cit, hlm
598. Lihat pula ELSAM, Op-Cit, hlm.9.
45
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, op-cit, hlm.111. Bandingkan dengan pendapat G.Peter Hoefnages. Yang
berpendapat “the big problem of crime and punishment are therefore outside criminal law,
137
arti mengoperasikan/mengfusionalisasikan hukum pidana, masalah
1 ayat (1) dengan rumusan aslinya sbb: “geen feit is strafbaar dan uit
tidak berubah.
they are extrajudicial, are found in the reality of man and society......... The big problems of
crime and punishment exist in actual fact before criminal law takes action. G.Peter
Hoefnages, The Other Side of Crimiology, Holland, Kluwer-Deventer, 1969, hlm.47.
138
Jika sampai saat ini Indonesia masih menerapkan asas
negara”.
dalam masyarakat kita telah ada aturan hukum yang dianut dan ditaati
atau tidak.
46
Sudarto, Hukum Pidana I, Op-Cit, hal.31.
139
yang mengakui Pancasila sebagai dasar falsafah pembangunan
oleh bangsa Indonesia, sehingga KUHP Baru nanti sesuai dengan nilai-
nilai Pancasila..
SAAT INI.
kehidupannya.
140
Khusus mengenai masalah pertanggungjawaban pidana
akan tetapi ia bersifat relatif dan in-konsisten. 48 Oleh karena itu asas
dimana hukum itu dibuat dan diterapkan, dan ini sesuai dengan
47
Romli Atma Sasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Op-Cit, hlm.67,
48
Ibid.
141
Asas Kesalahan (Asas culpabilitas) merupakan salah satu
asas yang fundamental dalam hukum pidana akan tetapi asas ini tidak
KUHP.
pidana (Schuld ist der erbegriff der vorraussetungen die aus der straftat
adanya kesalahan pada diri pelaku, artinya pelaku haruslah orang yang
dilakukannya.
143
Bambang Poernomo51 bahwa orang tidak mungkin
heit);
(2) Ada hubungan tertentu dalam batin orang yang berbuat, baik dalam
(schuld/fahrlassingkeit);
schuldduitsluitingsgronden/keinenchuldausschiesungsgrunde. 52
51
Bambang Poernomo, Prospek Perkembangan Sanksi Pidana Dalam Lingkup Asas-
Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar Tentang Asas-Asas
Hukum Pidana Nasional, BPHN Departemen Kehakiman dan HAM RI bekerjasama dengan
Fak.Hukum UNDIP, Semarang, 26-28 April 2004., hlm.2.
52
Ibid, hlm.3.
53
Sudarto, Hukum Pidana I, op cit. hlm 91.
144
behavioral sciences” terhadap dinamika hukum pidana dan pengaruh
yang sesuai dengan batasan ilmu hukum pidana dan konstruksi hukum
atau istilah lain “actus non facit reeum, nisi mens sit rea” yang sama
pengertiannya dengan “an act does not make a person guilty unless the
mind is guilty”.54
dan dalam beberapa perumusan delik dolus dan delik culpa dalam
Buku II KUHP.
cacat dalam tumbuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit tidak
dipidana”.
54
Ibid, hlm.4.
145
Dari Pasal 44 KUHP tersebut dan dari beberapa pendapat
dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;
55
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 165, lihat
pula Sudarto, Hukum Pidana I, op-cit, hlm.95.
56
Ibid
146
dapat meyimpulkan mampu dan tidak mampunya tersangka untuk
untuk tiap-tiap delik, hal ini diatur dalam Pasal 44, 48 s/d 51 KUHP.
untuk delik-delik tertentu saja, misal Pasal 221 ayat (2) KUHP:
darah).
pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang tidak dapat dicela atau
dipidana.
1) Dengan sengaja
57
Baca Johny Krisnan, Op-cit, hlm.44.
58
Asas pokok hukum pidana ialah “tak ada hukuman kalau tak ada kesalahan” (an act
does not make guilty unless the mindis guilty, actus not facit reum nisi mens sit rea).
Kesalahan dimaksud di sini adalah sengaja (intention/dolus/opzet) dan kealpaan
(negligent/schuld). Menurut para pakar ada tiga bentuk kesengajaan yaitu: a. Kesengajaan
sebagai maksud.b. Kesengajaan dengan sadar kepastian c. Kesengajaan dengan sadar
kemungkinan (dolus eventualis). Dan kealpaan, adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan
dari pada kesengajaan. Ada dua bentuk kealpaan, yaitu: a. Tidak berhati-hati dan b. Tidak
menduga-duga akibat perbuatan itu. Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat
Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta,1991, hlm. 6-7.
148
2) Karena kealpaan
pidana ….................
harus dibuktikan.
berikut ini. 59
1) Dengan Maksud
2) Mengetahui/Diketahui
59
Johny Krisnan, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Tesis Program Magister Ilmu Hukum UNDIP,
Semarang, 2008, hlm 48-49.Lihat pula dalam
149
Pasal 480 KUHP yang berbunyi: Barang siapa … yang
kejahatan … .
3) Yang Ia Tahu
4) Dengan Paksa
positif di luar KUHP. Jadi masih tetap berinduk pada sistem perumusan
Pasal 183 UU No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang
hukum yang antara lain dapat dilihat dalam UU No. 7 Drt. Tahun 1955
hal yang menyimpang dari KUHP, yakni mengenai subjek delik. UU itu
151
mengakui adanya korporasi sebagai pembuat dan dapat
kesalahan.
bertanggung jawab.
jawab.
60
Mardjono Reksodiputro, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak
Pidana Korporasi”, Makalah Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, Semarang: Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, 23-24 Nopember 1989, hlm. 9
152
subjek perbuatan pidana yang diakui melalui undang-undang tanggal
153