Anda di halaman 1dari 18

TUGAS TEKFAR 3

Nama : Tria Yulinda

No. BP : 20012020

Kelas : 2019 C

JURNAL OBAT MATA

Judul : Formulasi dan Uji Stabilitas Tetes Mata Sulfasetamida

Latar Belakang
Sulfasetamida merupakan senyawa yang termasuk golongan sulfonamida,
merupakan turunan N-tersubstitusi dari senyawa sulfanilamid, berkompetisi dengan p-amino
benzoat di dalam sintesis enzimatik asam folat. Tetes mata natrium sulfasetamid dapat
disterilkan dengan beberapa cara, misalnya dengan autoklaf, pemanasan, bakterisida, dan
penyaringan menggunakan penyaring bakteri.1 Larutan sulfasetamida mengalami hidrolisis
oleh pemanasan, akan mengubah sulfasetamida menjadi sulfanilamida yang dapat
mengkristal dan mengendap. Analisis sulfasetamida dapat dilakukan menggunakan metode
spektrofotometri, kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT), voltametri, kromatografi cair dan
deteksi secara spektrofotometri, KCKT dengan deteksi fluoresensi.

Metode
Metode sterilisasi yang digunakan adalah uap air mengalir 98100oC, penyaring
bakteri, dan autoklaf 120121oC selama 15 menit. Sediaan tetes mata dibuat tiga formula
dengan konsentrasi natrium sulfasetamid (formula I: 10%, II: 15%, III: 30%). Semua sediaan
dilakukan pemeriksaan visualisasi/uji kejernihan, pH, penentuan kadar natrium sulfasetamid,
dan uji sterilitas terhadap sediaan tetes mata yang memiliki formula paling stabil selama
penyimpanan.

Hasil
 Pada pengamatan endapan terhadap ketiga sediaan yang telah disterilisasi dengan
autoklaf menunjukkan adanya endapan pada hari ke-28, sediaan lain yang
disterilisasikan dengan uap air mengalir dan penyaring bakteri tidak menunjukkan
adanya perubahan.
 Hasil pemeriksaan pH dari ketiga formula sediaan tetes mata sulfasetmida natrium
dapat diketahui bahwa pada masing-masing formula terjadi kenaikan pH.
 Hasil penetapan kadar natrium sulfasetamid pada masing-masing formula sediaan
tetes mata natrium sulfasetamida diketahui bahwa kadar natrium sulfasetamida akan
mengalami penurunan bila disimpan pada waktu tertentu. Kadar maksimum dicapai
pada pengukuran hari pertama dan terus menurun hingga hari ke-28.
 Hasil uji sterilitas media menunjukkan tidak adanya pertumbuhan, artinya media
tersebut telah steril dan dapat digunakan untuk pengujian selanjutnya.
 Hasil uji fertilitas media menunjukkan pertumbuhan bakteri Basillus subtilis pada
media Tioglikolat dan jamur Candida albicans pada media Soybean Casein-Digest.
Hal ini berarti bahwa media tersebut fertil dan dapat digunakan untuk pengujian
selanjutnya.
 Hasil pengujian efektifitas dari media pertumbuhan, menunjukkan hasil terdapat
kekeruhan pada media Tioglikolat dan Soybean Casein-Digest setelah ditanami
kuman indikator dan sediaan steril, artinya bahwa media tersebut dapat
menumbuhkan mikroorganisme walaupun mengandung sediaan uji.
 Pemantauan ruang uji sterilitas, tidak ditemukan pertumbuhan mikroorganisme,
artinya ruangan tersebut sudah steril dan memenuhi syarat untuk pengujian.

Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa formula natrium sulfasetamida
dengan kadar 10% yang disterilisasi menggunakan penyaring bakteri merupakan formula
yang paling stabil.
JURNAL OBAT MATA

Judul : Profil Permeasi In Vitro Gel Mata Kloramfenikol pada Membran Kornea
Mata Kelinci dengan Metode Sel Difusi Franz

Latar Belakang
Sediaan obat mata biasanya dipakai untuk menghasilkan efek setempat pada
pengobatan bagian permukaan mata atau pada bagian dalamnya. Bentuk sediaan obat mata
selain larutan dapat berupa suspensi atau salep. Namun dari beberapa penelitian terbaru telah
banyak dikembangkan sediaan gel mata, yaitu sediaan gel mata yang banyak memberikan
berbagai keuntungan dibandingkan sediaan salep mata diantaranya dapat meningkatkan
permeabilitas kornea dan dapat memperpanjang waktu kontak dengan mata, konsentrasi obat
yang optimal di reseptor sehingga bisa didapatkan bioavailabilitas yang baik. Karena sediaan
mata konvensional biasanya memiliki bioavailabilitas yang rendah.
Sediaan gel untuk pengobatan mata harus bebas dari mikroba, dan harus dibuat
steril (Ansel, 1989). Dalam pembuatan sediaan steril perlu juga diperhatikan beberapa hal
seperti persiapan bahan aktif utama, tambahan, air yang digunakan, proses pengepakan,
lingkungan kerja dan peralatan, serta personel yang terlibat. Kloramfenikol merupakan
antibiotic spektrum luas yang dapat mengatasi konjungtivitis akut pada mata, yang
disebabkan oleh mikroorganisme.
Studi permeasi secara in vitro berhubungan dengan kecepatan dan jumlah
komponen yang menembus membran terhadap waktu. Salah satu cara untuk mengukur
jumlah obat yang terpenetrasi melalui membran yaitu menggunakan metode sel difusi Franz.
Metode in vitro memiliki keunggulan dibandingkan in vivo. Metode in vitro lebih mudah
dilakukan dan hasilnya dapat diperoleh dengan cepat. Namun, metode ini memiliki
keterbatasan hubungan antara kondisi pada sistem dengan keadaan sebenarnya pada manusia.

Metode
Penelitian ini merupakan tindak lanjut dari hasil formulasi dari peneliti
sebelumnya, untuk mengetahui bagaimana profil permeasi in vitro sediaan gel mata dengan
menggunakan metode sel difusi Franz, serta untuk menentukan kualitas sediaan dengan
melakukan pengamatan selama 28 hari pada pengujian organoleptis, pH, Viskositas, kadar
kloramfenikol dalam sediaan dan uji sterilitas. Sedangkan untuk profil permeasi in vitro gel
mata kloramfenikol dilakukan uji sel difusi Franz dengan membran kornea mata kelinci
selama 8 jam.
Hasil
 Pada uji kualitatif kloramfenikol dengan spektrum inframerah (IR) , menunjukkan
beberapa kedekatan puncak pada spectrum IR. Pada spektrum inframerah, diperkirakan
terdapat empat gugus yang dapat dideteksi, yaitu gugus fungsi O-H, gugus C-H
aromatik, C-H dan C-C aromatik. Gugus-gugus fungsi tersebut merupakan gugus -gugus
yang terdapat pada struktur kimia kloramfenikol.
 Pada pengujian organoleptis, berdasarkan data pada Tabel 4, dapat diketahui bahwa tidak
terjadi perubahan pada sediaan gel mata kloramfenikol, baik dalam sisi warna,
kejernihan ataupun bau. Sediaan gel berada dalam bentuk cairan gel bening yang jernih
dan tidak berbau. Hasil ini telah memenuhi persyaratan sediaan mata yaitu bening,
jernih, tidak berbau dan bebas dari partikel asing
 Dari hasil pengukuran pH gel optalmik kloramfenikol, didapatkan hasil bahwa formula
F2 memiliki nilai pH yang lebih tinggi dibandingkan dengan formula lainnya. Pada
variasi basis, formula F5 memiliki nilai pH yang tinggi dibandingkan F3 dan F4.
Perbedaan nilai pengukuran pH dapat disebabkan oleh perbedaan konsentrasi basis pada
masing-masing formula. Nilai pH hasil pengukuran pada sediaan yang dibuat,telah
memenuhi persyaratan nilai pH sediaan mata, yaitu antara pH 5-7,4
 Dari hasil pengukuran viskositas, diketahui bahwa nilai viskositas sediaan yang dibuat,
telah memenuhi persyaratan. Rentang nilai viskositas gel optalmik antara 5-100 cps.
 Dari hasil pengujian sterilitas pada sediaan gel menunjukkan bahwa tidak terdapat
pertumbuhan bakteri atau jamur dalam media. Hal ini menyatakan bahwa sediaan gel
masih berada dalam kondisi steril dan tidak mengalami kontaminasi dari luar.
 Pada penetapan kadar kloramfenikol diketahui bahwa kadar kloramfenikol dalam sediaan
mengalami penurunan selama dilakukannya pengamatan. Kadar tertinggi yang di dapat
yaitu 116,829 % dan yang terkecil 103,006 %. Nilai pengukuran kadar yang diperoleh
dalam setiap pengamatan, masih memenuhi persyaratan yang sesuai dengan rentang
persyaratan kadar kloramfenikol.
 Dari hasil pengujian difusi dengan media reseptor dapar fosfat 7,4 menggunakan
membran kornea mata kelinci, gel kloramfenikol memberikan kadar terpermeasi sebesar
1,513% selama 8 jam.
Kesimpulan
Kualitas sediaan gel mata kloramfenikol dengan melakukan pengujian
organoleptis, pH, Viskositas, kadar kloramfenikol dalam sediaan dan uji sterilitas, dangan
pengmatan sediaan selama 28 hari, menunjukkan hasil yang baik dan telah memenuhi
persyaratan. Profil permeasi in vitro formulasi gel mata kloramfenikol menggunakan
membrane kornea mata kelinci dengan metode sel difusi Franz menunjukkan kadar
terpermeasi sebesar 1,513% selama 8 jam.
JURNAL INJEKSI

Judul : Optimasi Pelarut Campur (Propilen Glikol : Air) Terhadap Kestabilan


Fenobarbital Dalam Sediaan Injeksi Setelah Proses Sterilisasi

Latar Belakang
Fenobarbital mudah mengalami hidrolisis oleh molekul air dalam sediaan cair
seperti injeksi karena fenobarbital mempunyai gugus imida yang mudah diserang oleh
molekul air sehingga akan terjadi kerusakan pada sistem cincin fenobarbital. Terjadinya
hidrolisis ditandai dengan timbulnya endapan dalam sediaan. Hal ini menyebabkan stabilitas
obat dalam sediaan cair dengan menggunakan pelarut air akan menjadi kecil dan waktu
simpan obat menjadi pendek. Penambahan pelarut semi polar dalam sediaan injeksi
fenobarbital dapat memperkecil terjadinya reaksi hidrolisis, karena tingkat kepolaran medium
berkurang sehingga fenobarbital akan lebih stabil dibandingkan produk hidrolisis. Semakin
kecil tingkat kepolaran cairan pembawa maka sediaan injeksi fenobarbital akan semakin
stabil.
Injeksi fenobarbital dapat diformulasi dengan menggunakan pelarut campur yaitu
air untuk injeksi dan propilen glikol (pelarut lipofil) dengan perbandingan penggunaan
propilen glikol 90% untuk proporsi 1 bagian dan air untuk injeksi 10% untuk 0 bagian.
Perbandingan komposisi yang tepat dari kedua komponen yang mampu memberikan
stabilitas fenobarbital yang paling optimum dapat diperoleh melalui metode optimasi secara
simplex lattice design. Faktor yang menentukan adalah sifat dan komposisi campuran
sehingga metode ini dapat digunakan karena menggunakan 2 faktor yang dapat bercampur
secara fisik. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh masing-masing komponen yaitu
propilen gliko dan air serta interaksi kedua komponen pada jumlah obat utuh dalam sediaan
injeksi setelah proses sterilisasi dengan uap jenuh dalam autoklaf serta menentukan formula
yang optimum.

Metode
Metode sterilisasi yang digunakan yaitu autoklaf pada sushu 115 oC selama 30
menit. Sediaan yang sudah melalui tahap sterilisasi dilakukan pengujian meliputi uji
kejernihan dan dilakukan uji sterilitas sediaan. Dan uji penetapan kadar obat utuh dalam
sediaan.
Hasil
 Pada uji kejernihan ketiga formula awal secara visual tampak dengan jelas bahwa dengan
kadar propilen glikol yang rendah dalam sediaan akan memberikan endapan yang
menjelaskan adanya hidrolisis.
 Hasil uji sterilitas dari kelima formula pada media tioglikolat cair dan soybean casein
digest medium memberikan hasil yang negatif yang menunjukkan bahwa sediaan injeksi
yang dibuat adalah steril.
 Parameter optimasi adalah jumlah obat yang masih utuh dalam sediaan setelah proses
sterilisasi. Berdasarkan nilai koefisien dalam persamaan menunjukkan bahwa masing-
masing komponen dan interaksi kedua komponen mempengaruhi kadar obat yang utuh.
Koefisien propilen glikol (98,64) memiliki pengaruh yang dominan dalam meningkatkan
kadar obat yang masih utuh disbanding air untuk injeksi dan interaksi kedua komponen.

Kesimpulan
Komponen propilen glikol mempunyai pengaruh yang paling dominan dalam
meningkatkan stabilitas fenobarbital dalam sediaan injeksi. Kombinasi antara propilen glikol
dan air yang optimum dalam meningkatkan stabilitas adalah > 0,85 – 1 bagian dengan kadar
90% (1 bagian) dan kompinen air untuk injeksi adalah < 0,15 – 0 bagian dengan kadar 10%
(0 bagian) yang akan memberikan respon obat utuh setelah proses sterilisasi berdasarkan
matematis yang diperoleh adalah > 90,83%.
JURNAL INJEKSI

Judul : Sediaan Injeksi Vitamin C

Latar Belakang
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi, atau serbuk yang
harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan secara parenteral,
disuntikan dengan cara menembus atau merobek jaringan ke dalam atau melalui kulit atau
selaput lendir. Tujuan pemberian Injeksi : Pada umumnya Injeksi dilakukan dengan tujuan
untuk mempercepat proses penyerapan (absorbsi) dan distribusi obat, sehigga diharapkan
akan mendapatkan efek obat yang cepat.
Vitamin C atau asam askorbik merupakan vitamin yang larut dalam air. Fungsi
dasar vitamin C adalah meningkatkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit dan
sebagai antioksidan yang menetralkan racun dan radikal bebas di dalam darah maupun cairan
sel tubuh. Selain itu, vitamin C juga berfungsi menjaga kesehatan paru-paru karena dapat
menetralkan radikal bebas yang masuk melalui saluran pernafasan. Vitamin C juga
meningkatkan fungsi sel-sel darah putih yang dapat melawan infeksi dan dapat meningkatkan
penyerapan zat besi sehingga dapat mencegah anemia. Vitamin ini juga diperlukan untuk
pembentukan kolagen, kartinin, dan neurotransmitter.

Metode
Pembuatan larutan injeksi vitamin C dilakukan dengan metode sterilisasi panas
basah dengan pemanasan dalam autoklaf suhu 121°C selama 15 menit. Pencampuran bahan
dilakukan di white area. Vitamin C dilarutkan dengan WFI. NaOH dilarutkan dengan WFI.
Kedua campuran dilarutkan dan ditambahkan benzalklonium klorida dan kemudian di add
dengan WFI. Evaluasi yang dilakukan adalah uji pH dan uji kejernihan serta uji kebocoran
dalam ampul. Uji pH dilakukan dengan mengukur larutvn injeksi menggunakan pHmeter. Uji
kejernihan dilakukan secara visual. Uji kebocoran dilakukan dengan mengecek larutan injeksi
vitamin C yang telah dimasukan dalam ampul.

Hasil
 Pada uji kejernihan, hasil yang diperoleh yaitu injeksi yang dibuat jernih dimana tidak
terlihat partikel-partikel dalam larutan.
 pH yang didapatkan yaitu 12,22. pH tersebut sangat tinggi atau tidak isohidris dengan
pH cairan tubuh yaitu sekitar 7,4. pH yang terlalu tinggi ini dapat menyebabkan iritasi,
nyeri dan nekrosis saat pemberian.
 Kemudian hasil untuk uji kebocoran tidak begitu baik, karena 1 dari 5 kemasan injeksi
bocor. Hal ini dimungkinkan penutupan kemasan (ampul) saat pemanasan tidak
sempurna.

Kesimpulan
Injeksi yang dibuat jernih dimana tidak terlihat partikel-partikel dalam larutan. pH
yang didapatkan yaitu 12,22. Kemudian hasil untuk uji kebocoran tidak begitu baik, karena 1
dari 5 kemasan injeksi bocor. Hal ini dimungkinkan penutupan kemasan (ampul) saat
pemanasan tidak sempurna.
JURNAL SUSPENSI KERING

Judul : Formulasi Suspensi Kering Kombinasi Ekstrak Etanol Kunyit (Curcuma


longa L.) Dan Serbuk Daging Buah Pisang Kepok (Musa Balbisiana Colla.)
Dengan Variasi Bahan Pensuspensi

Latar Belakang
Sejak lama berbagai penelitian telah dilakukan baik pada kunyit maupun buah
pisang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurkumin yang terkandung dalam kunyit dan
sitokinosin, tanin, amilum pada pisang berfungsi sebagai anti tukak lambung. PUD (peptic
ulcer disease) masih merupakan penyakit saluran cerna yang paling umum, sehingga
mempengaruhi kualitas hidup, gangguan dalam pekerjaan, dan biaya pengobatan yang lebih
tinggi. Sebagian besar pasien menginginkan suatu sediaan dengan efek yang cepat.
Berdasarkan hal tersebut, dibuat suspensi untuk memberikan efek yang cepat, karena partikel
halus dari suspensoid tidak membutuhkan waktu untuk terdegradasi ataupun teragregasi.
Namun, karena kandungan amilum dari pisang yang baik untuk pertumbuhan
mikroorganisme ketika terhidrasi maka salah satu cara untuk menghindari hal tersebut salah
satunya adalah dibuat dalam bentuk suspensi kering.

Metode
Merupakan metode eksperimen yaitu suatu metode penelitian di laboratorium yang
dilakukan dengan menyiapkan beberapa desain formulasi suspensi kering dari kombinasi
ekstrak etanolik temulawak (Curcuma longa L.) dan serbuk daging buah pisang (Musa
balbisiana Colla.).

Hasil
 Pada pengujian kadar air hasil yang diperoleh bahwa semua formula memenuhi
persyaratan uji kadar air, yaitu diatas 0% sampai sedikit dibawah 100%.
 Pada penentuan sudut baring hasil yang diperoleh menunjukan bahwa hanya formula A
(Formula suspensi kering dengan bahan pensuspensi gum xanthan konsentrasi 0,5%)
yang memenuhi standar uji sudut baring, yaitu 22,93o. Berdasarkan analisis statistik
dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) diperoleh hasil bahwa tidak ada
perbedaan sudut baring antara ketiga formula.
 Pada penentuan waktu alir menunjukan hasil bahwa ketiga formula tidak memenuhi
syarat uji waktu alir. Berdasarkan analisis statistic menggunakan rancangan acak lengkap
(RAL) diperoleh hasil bahwa ketiga formula suspensi kering tidak memperlihatkan
adanya perbedaan pada waktu alir suspensi tersebut.
 Pada penentuan bobot jenis dan porositas, berdasarkan penelitian diperoleh hanya
formula B yang memenuhi persyaratan porositas yaitu berada diantara 26%-48%. Sesuai
dengan analisis statistik dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) diperoleh
hasil bahwa terlihat adanya perbedaan porositas antar formula.
 Pada uji organoleptis menunjukkan tidak adanya perubahan pada warna, bau dan
konsistensi dari ketiga formula selama kondisi dipaksakan.
 Pada pengujian homogenitas diperoleh hasil bahwa ketiga formula suspense tersebut
homogen.
 Pada penentuan viskositas Sesuai dengan analisis statistic dengan menggunakan
rancangan acak kelompok (RAK) diperoleh hasil bahwa terlihat adanya perbedaan
viskositas yang sangat signifikan diantara ketiga formula suspensi kering.
 Pada penentuan tipe aliran, dilihat dari reogram maka aliran yang ada pada formula A
dan C memperlihatkan aliran non newton yang tidak dipengaruhi oleh waktu, dan
formula B memperlihatkan aliran non newton yang dipengaruhi oleh waktu. Selain
reogram, penentuan tipe aliran juga dapat dilihat dari ada atau tidak adanya nilai yield.
Dari penelitian, diperoleh bahwa ketiga formula suspensi kering tersebut mempunyai
nilai yield dan karena mempunyai nilai yield maka ketiga formula tersebut termasuk
dalam aliran plastis, tetapi karena reogram formula B tidak berimpitan maka formula B
(Formula suspensi kering dengan bahan pensuspensi magnesium aluminium silikat
konsentrasi 4%) memperlihatkan aliran tiksotropi plastis.
 Pada penetapan pH suspense, berdasarkan penelitian diperoleh hasil bahwa pH dari
ketiga formulasi suspensi kering tersebut adalah asam.
 Pada pengamatan partikel tersuspensi, berdasarkan hasil pengamatan dapat dikatakan
bahwa selama kondisi penyimpanan dipercepat terjadi penggabungan partikel
tersuspensi.
 Pada penentuan volume sedimentasi diperoleh bahwa volume sedimentasi dari ketiga
formula suspensi kering adalah 0,73; 0,7 dan 0,98.

Kesimpulan
Zat pensuspensi yang menghasilkan suspensi kering yang stabil secara farmasi
adalah magnesium aluminium silikat dengan konsentrasi 4%
JURNAL SUSPENSI KERING

Judul : Penentuan Perbedaan Stabilitas Fisik Suspensi Kering Ampisilin Generik


Dan Nama Dagang setelah Direkonstitusi Dengan Air Suling

Latar Belakang
Suspensi merupakan sistem yang heterogen yang terdiri dari dua fase kontinu (fase
luar) dan fase terdispersi (fase dalam). Faktor yang sangat penting dalam formulasi suspensi
adalah pembahasan fase padat oleh medium suspensi. Pembahasan bahan-bahan tersuspensi
dengan baik akan menentukan tercapainya sediaan akhir yang baik. Salah satu bentuk sediaan
suspensi yang sering digunakan di masyarakat adalah suspensi kering ampisilin. Sirup kering
merupakan campuran serbuk yang dimaksud untuk disuspensikan dalam air atau pembawa
lainnya sebelum pemberian. Harga jual suspensi ampisilin generik dan nama dagang di
apotek sangat jauh berbeda. Harga jual suspensi ampisilin dengan nama dagang jauh lebih
tinggi dibandingkan harga jual suspensi kering dengan nama generik. Hal ini kemungkinan
disebabkan adanya perbedaan kestabilan fisik dari suspense kering ampisilin generik
dibandingkan suspensi kering ampisilin paten setelah direkonstitusi dengan air suling.

Metode
Uji stabilitas fisik yang dilakukan meliputi penentuan ukuran partikel, penentuan
perubahan ukuran partikel, volume sedimentasi, kemampuan redispersibilitas, penentuan
kadar air, penetapan pH, penetapan bobot jenis, dan penentuan viskositas.

Hasil
 Pada tabel 1 pengujian bentuk pertikel dari ke tiga sampel setelah disimpan dibawah titik
beku selama 24 jam diperoleh hasil bahwa ukuran partikelnya tidak mengalami
perubahan. Ini menyatakan bahwa tidak terjadinya migrasi partikel (pertambahan bentuk
partikel) di dalam suspensi.
 Pada tabel 2 setelah dilakukan pengamatan selama 7 hari penyimpanan dapat dilihat
ampisilin nama dagang 1 mengalami sedimentasi yang sangat sedikit atau harga F
hampir mendekati 1. Sedangkan ampisilin dengan nama dagang 2 dan generiknya juga
mengalami sedimentasi (harga F menurun). Hal ini terlihat dari grafik hubungan
sedimentasi (F) dengan waktu (t)
 Pada tabel 3 hasil pmeriksaan kemampuan redispersbilitas bahwa sirup kering dengan
nama dagang 1 lebih mudah berdispersi kembali dibandingkan sirup kering nama dagang
2 dan generiknya, tetapi suspensi kering dengan nama dagang 2 lebih mudah terdispersi
kembali dibandingkan sirup kering generik. Hal ini kemungkinan disebabkan karena
volume sedimentasi yang terjadi pada nama dagang 2 terjadi secara bertahap
dibandingkan generik dan kemungkinan juga sedimentasi yang terjadi pada generik
membentuk sistem deflokulasi sehingga sedimentasi sukar terdispersi kembali.
 Pada penetapan kadar air, diketahui bahwa ampisilin nama dagang 1 memiliki persentase
kadar air yang paling kecil dibandingkan ampisilin nama dagang 2 ampisilin generik.
Meskipun demikian persentase kadar air dari semua ampisilin sudah memenuhi standar
yaitu tidak lebih dari 2,5%.
 Pada pengujian pH, didapat hasil bahwa pH semua sampel tidak mengalami perubahan,
hal ini diperkirakan karena daparnya berfungsi dengan baik. Tetapi pada literatur
diketahui bahwa pH suspensi ampisilin berkisar 5 – 7,5 itu berarti ampisilin generik
pHnya tidak memenuhi syarat.
 Pada pengujian bobot jenis, hasil yang diperoleh untuk bobot jenis suspensi kering
dengan nama dagang 1 sebesar 1,02, suspensi kering dengan nama dagang 2 sebesar
1,018, dan suspensi kering dengan nama generic sebesar 0,993
 Pada saat pengujian viskositas, hasil yang didapat suspensi kering dengan nama generik
mempunyai viskositas yang lebih rendah, dibandingkan dengan suspensi kering nama
dagang 1 dan nama dagang 2. Hal ini dikarenakan penambahan air suling pada masing-
masing sampel berbeda.

Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa suspensi kering ampisilin generik
dan nama dagang memiliki perbedaan stabilitas fisik.Perbedaan stabilitas fisik yang terlihat
yaitu pada pengukuran volume sedimentasi, kemampuan redispersibilitas, kadar air, bobot
jenis, pH dan viskositas suspensi. Dari ketiga suspensi kering ampisilin bahwa ampisilin
nama dagang 1 memiliki kestabilan fisik lebih baik dibandingkan nama dagang 2 dan
generik.
JURNAL INFUS

Judul : Optimasi Konsentrasi dan pH Sediaan Infus Intravena Secara Factorial


Design

Latar Belakang
Infus intravena merupakan sediaan steril berupa larutan steril atau emulsi, sedapat
mungkin isotonis terhadap darah dan diberikan dalam volume besar terhitung mulai dari 10
ml yang disuntikkan dalam vena. Infus intravena dapat mengalami perubahan warna larutan
dari kuning menjadi kecoklatan. Hal tersebut terjadi karena adanya polimerisasi 5-HMF dan
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain konsentrasi, pH, suhu dan waktu. Faktor-faktor
tersebut dapat menyebabkan larutan dektrosa tidak stabil dan mengalami perurairan menjadi
5-hidroksimetilfurfural (5-HMF) yang selanjutnya terurai lebih lanjut menjadi senyawa
berwarna yaitu asam lepulinat dan asam format.
Senyawa 5-HMF merupakan senyawa hepatotoksik yang tidak diinginkan dan
dapat menyebabkan timbulnya reaksi seperti yang diakibatkan pirogen. pH dari formulasi
sangat berpengaruh pada efek tubuh bila larutan terdistribusi dalam tubuh, efek pada
stabilitas produk, efek terhadap sistem kandungan atau bahan tambahan yang kemungkinan
dapat didegradasi pada obat. Degradasi dektrosa terjadi pada pH 4, 5,4 dan 5,5 tetapi yang
paling baik yaitu pada pH 4 karena peruraian 5-HMF nya paling sedikit sehingga pH yang
digunakan dalam penelitian adalah 3,5 dan 6,5 dimana pH tersebut merupakan pH yang stabil
dari dektrosa
Metode Factorial Design merupakan salah satu metode untuk optimasi proses atau
formula. Metode tersebut merupakan untuk mengoptimasi konsentrasi dekstrosa dan suhu
sterilisasi infus intravena. Berdasarkan hal tersebut maka dicari formula yang optimum dari
konsentrasi dekstrosa dan pH sediaan yang memebrikan respon terbaik pada infus inntravena
dekstrosa dilihat dari absorbansi 5-HMF dan intensitas warna menggunakan metode optimasi
factorial design.

Metode
Metode yang digunakan yaitu metode optimasi factorial design. Pengujian sediaan
yang dilakukan meliputi uji kejernihan, uji sterilitas, pengamatan intensitas warna
berdasarkan score, dan penetapan absorbansi 5-HMF menggunakan Spektrofotometer UV.
Masing-masing komponen konsentrasi dan pH sediaan serta interaksinya diuji dengan
ANOVA berdasarkan design expert 8,0. Penentuan proses optimum dilakukan dengan
membandingkan hasil percobaan dan hasil teoritis menggunakan uji T dengan taraf
kepercayaan 95%.

Hasil
 Hasil uji kejernihan sediaan infus intravena dekstrosa dari formula yang dioptimasi
menunjukkan bahwa terdapat 3 sediaan yang mengandung partikel berbentuk seperti
benang, sehingga kemungkinan berasal dari serat-serat kertas saring whatman yang
digunakan dalam proses formulasi
 Data hasil uji sterilitas sediaan infus intravena dekstrosa menunjukkan bahwa terdapat
sediaan yang tidak steril yaitu pada formula III replikasi kedua (konsentrasi 5%, pH 6,5)
pada soybean casein digest medium sedangkan pada media tioglikolat cair menunjukkan
hasil yang negatif (steril). Sampel mengalami kekeruhan pada hari ke-5 inkubasi,
kekeruhan yang muncul sebelum hari ke-14 inkubasi tersebut kemungkinan disebabkan
karena adanya kontaminasi dari luar seperti botol serta alat-alat lain yang digunakan
kurang steril.
 pH sediaan yang tinggi menyebabkan peningkatan absorbansi 5-HMF sedangkan
konsentrasi dekstrosa yang tinggi menyebabkan penurunan absorbansi 5-HMF. Pengaruh
pH signifikan pada konsentrasi yang tinggi. Hal tersebut ditunjukkan dari interval pH
pada konsentrasi tinggi lebih sempit dibandingkan dengan interval pH pada konsentrasi
rendah.
 Berdasarkan persamaan factorial design, faktor pH (+0,75) meningkatkan intensitas
warna dengan faktor konsentrasi (-0,25) dan interaksi keduanya (-0,25) menurunkan
intensitas warna. pH sediaan yang tinggi menyebabkan peningkatan absorbansi 5-HMF,
sedangkan konsentasi dekstrosa yang tinggi menyebabkan penurunan absorbansi 5-HMF.
interaksi antara konsentrasi dekstrosa dan pH sediaan terhadap intensitas warna tersebut
besar.
 Formula yang memberikan nilai optimum adalah formula yang menghasilkan nilai
absorbansi 5-HMF kurang dari 0,25 dan formula tersebut berada pada daerah dengan
konsentrasi 5% - 24%. Formula yang optimum dilambangkan dengan daerah yang
berwarna kuning.

Kesimpulan
Pengaruh masing-masing komponen dan interaksinya menunjukkan bahwa
pengaruh ph sediaan meningkatkan respon absorbansi 5-HMF dan intensitas warna karena
berdasarkan nilai koefisiennya yang tinggi yaitu (+0,040) dan (+0,75), pengaruh konsentasi
dekstrosa menurunkan respon absorbansi 5-HMF dan intensitas warna karena berdasarkan
nilai koefisiennya yang rendah yaitu (-0,057) dan (-0,25), pengaruh interaksi kedua
komponen menurunkan respon absorbansi 5-HMF dan intensitas warna karena nilai
koefisiennya rendah yaitu (-0,062) dan (-0,25).
Berdasarkan persamaan teoritis dan percobaan dipengaruhi konsentrasi dekstrosa
dan pH sediaan yang optimum yaitu konsentrasi 5%, pH 3,5 dengan absrobansi sebesar
0,0855 dengan intensitas warna +1.
JURNAL INFUS

Judul : Studi Degradasi Sediaan Infus Ciprofloksasin Menggunakan High


Performance Liquid Chromatography

Latar Belakang
Ciprofloksasin adalah antibiotik golongan kuinolon kelompok fluorokuinolon yang
bekerja dengan menghambat enzim topoisomerase II (DNA gyrase) dan topoisomerase IV
pada bakteri. Ciprofloksasin efektif digunakan dalam terapi infeksi saluran kemih, infeksi
saluran napas maupun infeksi saluran pencernaan.
Penelitian- penelitian tentang stabilitas ciprofloksasin dari Narayan, et al. (2014)
menggunakan HPLC Phenomenex ODS, kolom C18 (250x 4.6mm, 5μm), fase gerak 20
mmol/L ammonium format : acetonitrile (70:30); pH diatur sampai pH 4.0 menggunakan
asam formiat, kecepatan alir 1 mL/menit dan panjang gelombang 280 nm. Penelitian Bushra,
et al. (2013) menggunakan HPLC (Shimadzu-UFLC Prominence) dengan kondisi sistem
kromatografi sebagai berikut: kolom Phenomenex C-18 (25 cm × 4.6 mm, 5 μm), detektor
UV-Vis (Model-SPD 20A), fase gerak Kalium dihidrogen orto fosfat pH : acetonitrile (80:20)
dan kecepatan alir 1 mL/min

Metode
Penelitian ini menggambarkan perlakuan degradasi infus ciprofloksasin yang
dikondisikan dengan pemanasan, penambahan asam dan basa. Produk degradasi dianalisis
menggunaan perangkat HPLC merk Waters e2695 Separations, kolom SunFireTM C18,
detektor PDA, fase gerak metanol : air : dapar fosfat 0,1 N : asetonitril (80:10:5:5) dan
kecepatan alir 1,0 mL/menit. Adapun prosedur kerja nya meliputi uji kesesuaian system,
validasi metode analisis, dan degradasi infus ciprofloksasin.

Hasil
 Uji kesesuaian sistem KCKT diperoleh bahwa perbandingan fase gerak adalah metanol :
aquabidest: bufer fosfat 0,1 N : asetonitril (80:10:5:5) dengan laju alir 1,0 mL/menit. Hal
ini ditunjukkan dengan harga lempeng teoritis (N) yang besar, waktu retensi yang tidak
bergeser dan tailing factor tidak lebih dari sama dengan 2.
 Uji validasi metode analisis
a. Hasil dari uji selektifitas adalah metode analisis dinyatakan selektif ditunjukkan
dengan kromatogram yang dihasilkan tunggal tidak terdapat peak lain di sekitar
waktu retensi ciprofloksasin. Waktu retensi yang dihasilkan mirip yakni 0,994 menit
untuk larutan ciprofloksasin tanpa matriks dan 0,996 menit untuk larutan
ciprofloksasin yang ditambahkan matriks NaCl.
b. Hasil uji akurasi sebesar 98,8-104,8 %, hal ini memenuhi kriteria keberterimaan
persentase perolehan kembali untuk larutan dengan konsentrasi ≥ 10 μg/ mL adalah
80-110% dan untuk larutan dengan konsentrasi ≥ 100 μg/mL adalah 90-107%.
c. Hasil uji presisi repeatability sebesar 2,95%, hal ini memenuhi syarat keberterimaan
untuk persentase baku relatif (RSD) pada larutan yang mengandung zat aktif dengan
konsentrasi ≥ 10μg/mL adalah <7,3% dan untuk larutan yang mengandung zat aktif
≥ 100 μg/mL adalah <5,3%.
d. Hasil pengujian linieritas memenuhi syarat keberterimaan nilai koefisien korelasi
0,997
e. Nilai Limit of detection (LOD) yang diperoleh sebesar 0,2707 μg/mL. Dan nilai
Limit of quantitation (LOQ) sebesar 0,9026 μg/mL.

 Aplikasi penetapan kadar infus ciprofloksasin yang dipengaruhi pemanasan diperoleh


hasil pada menit ke-30 sebesar 7,84%; menit ke-60 sebesar 8,02%; menit ke -90 sebesar
8,96%; dan menit ke-120 sebesar 10,09%. Hal ini menunjukkan tidak ada perbedaan
yang bermakna pada degradasi karena pemanasan. Sedangkan infus ciprofloksasin yang
ditambah larutan asam dan basa mengalami degradasi 100% bentuk peak pecah.
Degradasi karena penambahan larutan asam (0,1 M HCl) dan basa (0,1 M NaOH)
terbentuk senyawa baru, karena waktu retensi ciprofloksasin 0,994 menit berubah
menjadi 1,387 dan 1,297 menit.

Kesimpulan
Persen degradasi infus ciprofloksasin karena pemanasan pada menit ke-30; 60; 90
dan 120 sebesar 7,84%; 8,02%; 8,96%; dan 10,09%; dan persen degradasi karena
penambahan asam dan basa sebesar 100%. Validasi metode analisis ciprofloksasin secara
HPLC memenuhi syarat parameter validasi yaitu selektivitas, akurasi, presisi repeatability,
linearitas, LOD, dan LOQ.

Anda mungkin juga menyukai