Anda di halaman 1dari 10

Pembelajaran Abad 21

Agar dapat menjadi sumber daya manusia yang handal di abad 21, maka
sebagai guru, kita perlu mengetahui kompetensi apa saja yang dibutuhkan dan
perlu dikuasai oleh setiap orang pada abad tersebut. Hal ini penting perlu kita
ketahui agar sebagai guru kita dapat merencanakan dan mempersiapkan
pembelajaran yang dapat menghantarkan psiswa siswi kita untuk mencapai
kompetensi tersebut. Kita berharap Mereka dapat eksis dan berkontribusi
pada peradaban abad 21 yang tentu penuh dengan tantangan dan persaingan
yang sangat ketat.

Ada 4 karakter pembelajaran abad ke 21 yang kenal dengan sebutan 4C,


yaitu:

1) Communication. Pada karakter ini, siswa dituntut untuk memahami, mengelola,


dan menciptakan komunikasi yang efektif dalam berbagai bentuk dan isi secara lisan,
tulisan, dan multimedia. Siswa diberikan kesempatan menggunakan kemampuannya
untuk mengutarakan ide-idenya, baik itu pada saat berdiskusi dengan teman-
temannya maupun ketika menyelesaikan masalah dari gurunya.

2) Collaboration. Pada karakter ini, siswa menunjukkan kemampuannya dalam


kerjasama berkelompok dan kepemimpinan; beradaptasi dalam berbagai peran dan
tanggungjawab; bekerja secara produktif dengan yang lain; menempatkan empati
pada tempatnya; menghormati perspektif berbeda. Siswa juga menjalankan
tanggungjawab pribadi dan fleksibitas secara pribadi, pada tempat kerja, dan
hubungan masyarakat; menetapkan dan mencapai standar dan tujuan yang tinggi
untuk diri sendiri dan orang lain; memaklumi kerancuan.

3) Critical Thinking and Problem Solving. Pada karakter ini, siswa berusaha untuk
memberikan penalaran yang masuk akal dalam memahami dan membuat pilihan yang
rumit; memahami interkoneksi antara sistem. Siswa juga menggunakan kemampuan
yang dimilikinya untuk berusaha menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya
dengan mandiri, siswa juga memiliki kemampuan untuk menyusun dan
mengungkapkan, menganalisa, dan menyelesaikan masalah.
4) Creativity and Innovation. Pada karakter ini, siswa memiliki kemampuan untuk
mengembangkan, melaksanakan, dan menyampaikan gagasan-gagasan baru kepada
yang lain; bersikap terbuka dan responsif terhadap perspektif baru dan berbeda.

Demikian pula paradigma guru dalam mengajar harus mengacu kepada


kompetensi yang dibutuhkan abad 21. Artinya bahwa siswa sebagai produk
belajar yang dihasilkan harus mampu menjawab berbagai persoalan yang
muncul di dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, proses pembelajaran
diarahkan untuk mencapai tiga tujuan: Pertama, Technology Literacy yaitu
mempersiapkan siswa untuk dapat memanfaatkan teknologi untuk
meningkatkan produktivitas ekonomi dan pengembangan sosialnya. Guru
dituntut mengintegrasikan teknologi dengan proses pembelajaran; Guru juga
harus dapat memiliki pengetahuan dan mahir mengoperasikan berbagai
software dan hardware; Guru harus mampu mengakses sumber-sumber web
yang penting untuk meningkatkan pengetahuan akademik dan paedagogik

Kedua, Knowledge Deeping yaitu mempersiapkan siswa agar kelak dapat


mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh untuk memecahkan masalah
rumit yang diketemukan di dunia nyata. Guru memiliki pengetahuan
mendalam tentang bidang studinya; Guru memiliki keterampilan untuk
membatu siswa merencanakan, melaksanakan dan memonitor proyek; Guru
mampu menciptakan lingkungan kelas yang fleksibel; Guru dapat
menggunakan sumber-sumber jaringan (network) untuk membantu siswa
berkolaborasi, mengakses informasi, dan berkomunikasi dengan pihak luar
guna menganalisa dan menyelesaikan masalah tertentu. Guru mampu
bekerjasama dengan sesama guru, memanfaatkan jaringan untuk mengakses
informasi, teman sejawat dan pakar dalam rangka meningkatkan kemampuan
profesionalnya.

Ketiga, Knowledge Creation, yaitu memfasilitasi siswa agar senantiasa


terlibat dan memperoleh manfaat dari penciptaan pengetahuan dan inovasi
yang mereka lakukan. Guru sepatutnya mengetahui proses berpikir kognitif
yang kompleks, mengetahui bagaimana cara siswa belajar, dan memahami
kesulitan siswa dalam belajar; Guru menjadi peraga yang baik dalam proses
pembelajaran, menstrukturkan materi pelajaran sesuai dengan perkembangan
fisik, sosial dan intelektual serta karakteristik siswa sehingga mereka dapat
mengaplikasikan keterampilan kognitifnya, dan membantu mereka mencapai
kompetensinya; 3) Guru mampu merancang komunitas tertentu berbasis
teknologi informasi untuk mendukung pengembangan keterampilan
penciptaan pengetahuan dan refleksi diri secara berkesinambungan.

2.1.1. Berpikir Tingkat Tinggi

Apakah berpikir tingkat tinggi atau high order thinking skill (HOTS) itu? Pemikiran
tingkat tinggi adalah berpikir pada tingkat yang lebih tinggi daripada menghafal fakta
atau menceritakan kembali sesuatu kepada seseorang persis seperti yang
diberitahukan kepadanya. Apabila seseorang menghapal sesuatu kemudian ia
menyampaikan kembali hapalannya apa adanya tanpa harus memikirkannya, kita
menamakan memori hapalan. Aktivitas hapalan semacam itu sangat mirip dengan
robot, yang melakukan sesuatu berdasarkan apa yang telah diprogramkan. Ia tidak
berpikir sendiri.

Keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTS) menuntut seseorang, membawa


pemikirannya ke tingkat yang lebih tinggi daripada hanya sekedar menyatakan
kembali fakta (Thomas Alice.....) . HOTS mengharuskan seseorang melakukan
sesuatu dengan fakta, memahaminya, menyimpulkannya, menghubungkan fakta
dengan konsep lain, mengkategorikannya, memanipulasinya, menyatukannya dengan
cara baru, dan menerapkannya saat ia mencari solusi baru untuk masalah baru.

Keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTS) tidak dapat dilepaskan dengan berbagai
taksonomi pendidikan, terutama taksonomi pendidikan yang dikembangkan oleh
Benyamin Bloom dalam bukunya yang berjudul: "Taxonomy of Educational
Objectives: The Classification of Educational Goals ."  Dengan buku tersebut Bloom
mempromosikan cara berpikir yang lebih tingkat tinggi dalam pendidikan seperti
menganalisis dan mengevaluasi, daripada hanya mengajar siswa untuk mengingat
fakta (hafalan). "
Taksonomi Bloom memuat enam tingkatan berpikir, yaitu pengetahuan (knowledge),
pemahaman (comprehension), penerapan (application), analisa (analysis), sintesa
(synthesis) dan evaluasi (evaluation). Taksonomi ini disusun dalam upaya
mempromosikan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Dalam perkembangannya, enam
tahapan berpikir taksonomi Bloom direvisi menjadi mengingat (remembering),
memahami (understanding), menerapkan (applying), menganalisa (analyzing), dan
mencipta (creating).

Tiga tingkat teratas dari taksonomi pendidikan diatas, yaitu analisa (analysing),
evaluasi (evaluating) dan mencipta (creating). Pada semua tingkatan taksonomi ini
memerlukan pemikiran kritis atau tingkat tinggi. Siswa yang mampu berpikir pada
tingkat ini adalah mereka yang dapat menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang
telah dipelajari pada konteks baru.

Pertanyaan dan Instruksi Berpikir Tingkat Tinggi

Pada tingkat ke empat dari taksonomi pendidikan di atas adalah analisa. Pada tingkat
ini siswa menemukan pola dari apa yang mereka telah pelajari. Mereka juga
menggunakan penilaian mereka sendiri untuk mulai menganalisis pengetahuan yang
telah mereka pelajari. Disamping itu, mulai memahami struktur yang mendasari
pengetahuan dan juga mampu membedakan antara fakta dan opini. Mereka mulai
mengambil peran yang lebih aktif dalam pembelajaran mereka sendiri

Pertanyaan atau perintah yang mendorong siswa untuk menggunakan kemampuan


menganalisa adalah: Bagaimana kalian menyortir / memilah bagian ...? Apa yang
dapat kalian simpulkan dari ...? Bagaimana kalian menjelaskan ....? Gagasan/ide apa
yang menguatkan kalian...? Apa fungsi hati dalam tubuh? Apa ide pokok dari cerita
Maling Kundang? Asumsi apa yang harus kita buat ketika membahas Teori
Relativitas Einstein? Periksa hasil eksperimen kalian dan catat kesimpulannya!
Identifikasi bias yang mungkin ada saat membaca otobiografi! Selidiki teknik
propaganda yang digunakan di setiap iklan berikut!

Mengevaluasi (Evaluating) berarti siswa membuat penilaian berdasarkan informasi


yang telah mereka pelajari serta wawasan mereka sendiri. Siswa membuat penilaian
tentang nilai ide, item, dan material. Pada tingkat ini siswa diharapkan secara mental
mengumpulkan semua yang telah mereka pelajari untuk membuat evaluasi yang
cermat dan tepat terhadap materi.

Pertanyaan atau perintah yang menstimulasi agar siswa memiliki keterampilan


berpikir tingkat tinggi dalam mengevaluasi adalah kriteria apa yang akan kalian
gunakan untuk menilai ...? Data apa yang digunakan untuk mengevaluasi ...?
Bagaimana kalian bisa memverifikasi ...? Informasi apa yang akan kalian gunakan
untuk memprioritaskan...? Evaluasi keakuratan film "The Patriot". Temukan
kesalahan dalam soal matematika berikut. Pilih tindakan paling tepat yang harus
Anda lakukan terhadap pelaku intimidasi sekolah. Perdebatkan pro dan kontra
perlunya hukuman berdiri di depan kelas karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah.

Mencipta (creating) merupakan level terakhir dari taksonomi pendidikan revisi. Pada
level ini siswa tidak lagi mengandalkan informasi yang telah dipelajari dan
menganalisa item-item yang telah diberikan guru sebelumnya. Sebaliknya mereka
mencipta, produk baru, ide baru atau teori baru.

Untuk menstimulasi siswa mengembangkan kembampuan mencipta, maka bentuk


pertanyaan atau perintah yang harus diajukan adalah : Apa alternatif yang kalian
sarankan untuk ...? Perubahan apa yang akan kalian buat untuk merevisi...?
Bagaimana kalian menghasilkan rencana untuk ...? Apa yang kalian bisa temukan ...?
Buatkan sebuah pantun dengan tema pentingnya sarapan. Ciptakan yel yel untuk
kelompok kalian. Usulkan cara alternatif untuk membuat remaja aktif mengaji di
masjid. Rencanakan liburan untuk semester depan. Rancanglah materi kampanye
untuk membantu remaja berhenti merokok. Kembangkan ide, untuk menata halaman
belakang agar terlihat indah dan nyaman. Rumuskan pidato untuk menyambut hari
ulang tahun

2.1.2. Literasi

Gerakan literasi di sekolah tidak lagi menjadi bagian terpisah/berdiri sendiri dalam
pelaksanaannya. Pada tahun ini literasi sekolah menjadi bagian yang tidak terpisah
dari proses pembelajaran. Aktivitas peserta didik di kelas bersama guru melakukan
aktivitas ini guna memperkaya dan memperdalam wawasan serta penguasaan materi,
sehingga siswa terlibat langsung tidak lagi hanya bergantung pada guru.

Menurut Abidin (dalam Pangesti 2017), multiliterasi dimaknai sebagai keterampilan


menggunakan beragam cara untuk menyatakan dan memahami ide-ide dan informasi
dengan menggunakan bentuk-bentuk teks konvensional maupun bentuk-bentuk teks
inovatif, simbol, dan multimedia. beragam teks yang digunakan dalam satu konteks
ini disebut multimoda (multimoda teks).

Pangesti (2017) menyatakan bahwa ada 6 (enam) literasi dasar, yaitu; literasi baca-
tulis, literasi berhitung, literasi sains, literasi teknologi informasi dan komunikasi,
literasi keuangan, dan literasi budaya dan kewarga-negaraan. Literasi lain yang juga
harus dikuasai adalah literasi kesehatan, literasi keselamatan (jalan, mitigasi bencana),
dan literasi kriminal (bagi siswa SD disebut “sekolah aman”).

Salah satu tahapan gerakan literasi sekolah adalah “Meningkatkan kemampuan literasi
di semua mata pelajaran: menggunakan buku pengayaan dan strategi membaca di
semua mata pelajaran”. Dengan demikian semua guru mata pelajaran wajib
melaksanakan gerakan literasi tersebut dalam pembelajarannya disesuaikan dengan
karakteristik mata pelajaran masing-masing.(baca Panduan Gerakan Literasi Sekolah)

Ferguson (www.bibliotech.us/pdfs/InfoLit.pdf) menjabarkan bahwa komponen literasi


informasi yang terdiri atas literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media, literasi
teknologi, dan literasi visual. Komponen literasi tersebut dijelaskan sebagai berikut.
1. Literasi Dasar (Basic Literacy)

Literasi Dasar (Basic Literacy), yaitu kemampuan untuk mendengarkan, berbicara,


membaca, menulis, dan menghitung (counting) berkaitan dengan kemampuan analisis
untuk memperhitungkan (calculating), mempersepsikan informasi (perceiving),
mengomunikasikan, serta menggambarkan informasi (drawing) berdasarkan
pemahaman dan pengambilan kesimpulan pribadi.

2. Literasi Perpustakaan (Library Literacy)

Literasi Perpustakaan (Library Literacy), antara lain, memberikan pemahaman cara


membedakan bacaan fiksi dan nonfiksi, memanfaatkan koleksi referensi dan
periodikal, memahami Dewey Decimal System sebagai klasifikasi pengetahuan yang
memudahkan dalam menggunakan perpustakaan, memahami penggunaan katalog dan
pengindeksan, hingga memiliki pengetahuan dalam memahami informasi ketika
sedang menyelesaikan sebuah tulisan, penelitian, pekerjaan, atau mengatasi masalah.

3. Literasi Media (Media Literacy)

Literasi Media (Media Literacy), yaitu kemampuan untuk mengetahui berbagai


bentuk media yang berbeda, seperti media cetak, media elektronik (media radio,
media televisi), media digital (media internet), dan memahami tujuan penggunaannya.

4. Literasi Teknologi (Technology Literacy)

Literasi Teknologi (Technology Literacy), yaitu kemampuan memahami kelengkapan


yang mengikuti teknologi seperti peranti keras (hardware), peranti lunak (software),
serta etika dan etiket dalam memanfaatkan teknologi. Berikutnya, kemampuan dalam
memahami teknologi untuk mencetak, mempresentasikan, dan mengakses internet.
Dalam praktiknya, juga pemahaman menggunakan komputer (Computer Literacy)
yang di dalamnya mencakup menghidupkan dan mematikan komputer, menyimpan
dan mengelola data, serta mengoperasikan program perangkat lunak. Sejalan dengan
membanjirnya informasi karena perkembangan teknologi saat ini, diperlukan
pemahaman yang baik dalam mengelola informasi yang dibutuhkan masyarakat.
5. Literasi Visual (Visual Literacy)

Literasi Visual (Visual Literacy), adalah pemahaman tingkat lanjut antara literasi
media dan literasi teknologi, yang mengembangkan kemampuan dan kebutuhan
belajar dengan memanfaatkan materi visual dan audio-visual secara kritis dan
bermartabat. Tafsir terhadap materi visual yang tidak terbendung, baik dalam bentuk
cetak, auditori, maupun digital (perpaduan ketiganya disebut teks multimodal), perlu
dikelola dengan baik. Bagaimanapun di dalamnya banyak manipulasi dan hiburan
yang benar-benar perlu disaring berdasarkan etika dan kepatutan.

2.1.3. 5 pilar pendidikan

Pilar pendidikan merupakan soko guru pendidikan. UNESCO memberikan empat pilar
pendidikan yang terdiri atas learning to know, learning to do, learning to be, dan learning
to live together in peace. Tetapi untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, tidak cukup
dengan empat pilar tersebut, maka dalam pendidikan di Indonesia ditambah dengan
dengan pilar pendidikan “belajar untuk memperkuat keimanan, ketaqwaan, dan akhlak
mulia”. Berikut uraian masing-masing pilar pendidikan tersebut.

1. Belajar untuk Mencari Tahu (Learning to Know)

Belajar untuk mencari tahu terkait dengan cara mendapatkan pengetahuan melalui
penggunaan media atau alat yang ada. Media bisa berupa buku, orang, internet, dan
teknologi yang lainya. Implementasinya untuk mencari tahu tersebut di Indonesia
sudah berjalan melalui proses belajar membaca, menghafal, dan mendengarkan, baik
yang terjadi di dalam kelas maupun dalam kehidupan sehari-hari.

2. Belajar untuk Mengerjakan (Learning to Do)

Belajar untuk melakukan atau berkarya, hal ini tidak terlepas dari belajar mengetahui
karena perbuatan tidak terlepas dari ilmu pengetahuan. Belajar untuk melakukan atau
berkarya merupakan upaya untuk senantiasa melakukan dan berlatih keterampilan
untuk keprofesionalan dalam bekerja. Terkait dengan pembelajaran didalam kelas,
maka belajar untuk mengerjakan ini sangat diperlukan latihan keterampilan
bagaimana peserta didik dapat menggunakan pengetahuan tentang konsep atau prinsip
mata pelajaran tertentu dalam mata pelajaran lainnya atau dalam kehidupannya sehari-
hari. Dengan demikian peserta didik memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang
dapat mempengaruhi kehidupannya dalam mennetukan pilihan kerja yang ada di
masyarakat

3. Belajar untuk Menjadi Pribadi (Learning to Be)

Belajar untuk menjadi atau berkembang utuh, belajar untuk menjadi atau berkembang
secara utuh berkaitan dengan tuntutan kehidupan yang semakin kompleks sehingga
dibutuhkan suatu karakter pada diri individu. Belajar menjadi pribadi yang
berkembang secara optimal yang memiliki kesesuaian dan keseimbangan pada
kepribadianya baik itu moral, intelektual, emosi, spiritual, maupun sosial, sehingga
dalam pembelajaran, guru memiliki kewajiban untuk mengembangkan potensi peserta
sesuai dengan bakat dan minatnya agarpeserta didik tersebut dapat menentukan
pilihannya, terlepas dari siapa dan apa pekerjaanya, tetapi yang penting adalah dia
menjadi sosok yang pribadi memiliki keunggulan.

4. Belajar untuk Hidup Berdampingan dalam Kedamaian (Learning to Live Together


in Peace)

Belajar hidup bersama ini sangat penting, karena masyarakat yang beragam, baik
dilihat dari latar belakang, suku, ras, agama, etnik, atau pendidikan. Pada
pembelajaran, peserta didik harus memahami bahwa keberagaman tersebut bukan
untuk dibeda-bedakan, akan tetapi dipahamkan bahwa keberagaman tersebut
tergabung dalam suatu lingkungan masyarakat. Oleh karena itu saling membantu dan
menghargai satu dengan yang lainya sangat diperlukan agar tercipta masyarakat yang
tertib dan aman, sehingga setiap individu dapat belajar dan hidup dalam kebersamaan
dan kedamaian.

5. Belajar untuk Memperkuat Keimanan, Ketaqwaan, dan Akhlak Mulia


Pilar yang ini hanya terdapat dalam secara tersirat dalam pendidikan di Indonesia
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang
menyatakan bahwa salah satu tujuan pendidikan nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Implementasi dari pilar tersebut diwujudkan secara langsung dalam mata pelajaran
Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, dan mata pelajaran PPKn, dan dalam mata
pelajaran lain sebagai hasil pembelajaran tidak langsung melalui pencapaian KI-1
(Kompetensi Spiritual).

Anda mungkin juga menyukai