Anda di halaman 1dari 5

https://heuristik.

id/peristiwa-blitar-tahun-1950-saat-trip-dan-tni-saling-berhadapan/

Narasi Perang Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949) selalu berkaitan dengan


taktik gerilya yang dipraktikan oleh TNI dan kelaskaran dalam melawan agresi dan
operasi militer Belanda. Pelaksanaan taktik gerilya dijabarkan dalam
konsep Werhkreise (Lingkaran Pertahanan) mulai dari tingkatan Divisi hingga KODM
(Komando Onder Distrik Militer) di level kecamatan, setiap level bertanggung jawab
terhadap wilayah yang dibawahkan.

Pelaksana langsung dari konsep werhkreise tersebut berada di tingkat Distrik Militer.


Kantong-kantong gerilya pada Distrik Militer bertanggung jawab atas pertahanan rakyat
yang memiliki tiga tugas pokok, yaitu “pertahanan de facto militer, pertahanan de
facto pemerintahan, dan pelaksanaan kesejahteraan rakyat” (Nasution, 2012:184-185;
Widjajanto, 2010:6).

Menurut Ulf Sundhaussen (1986: 77) kemandirian pertahanan melingkar tersebut


dilakukan dengan memobilisasi secara maksimal dan menyeluruh segala sumber daya,
baik manusia maupun sumber daya alam, yang berada di dalam lingkaran tersebut,
sehingga di dalam sistem itu terdapat ketergantungan satu sama lain yang begitu besar
dan keseluruhan unsur-unsur yang terkait berada disatu tangan yakni negara.
Setiap werhkreise bertugas memelihara satuan militer yang bernaung di dalam
wilayahnya baik secara material, finansial maupun moral. Jadi pada dasarnya tugas
utama dari keseluruhan penyelenggaraan administrasi militer adalah menjamin
perbekalan pasukan tempur.

Situasi pemerintahan RI dalam semester kedua 1948 sedang terdesak oleh Operasi
Gagak atau acap dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II, regulasi yang mengatur
pelaksanaan taktik gerilya dan konsep pertahanan wehrkreise adalah Perintah Siasat
Nomor I yang dikeluarkan oleh Panglima Sudirman tanggal 19 Desember 1948 tentang
pelaksanaan gerilya dan Markas Besar Komando Djawa (MBKD) mengeluarkan
Maklumat No. 2/MBKD/1948 tanggal 22 Desember 1948 menyangkut pemberlakuan
pemerintahan militer di Pulau Jawa. Kedua perintah di atas bermuara pada satu hal,
yakni menjaga kelestarian Republik Indonesia (baca: TNI) berserta alat perjuanganya
dengan cara apapun.

Pemerintahan militer II (1948-1950) tersebut berjalan hampir tanpa kontrol, karena


kekuasaan tentara sangat besar. Di dalam segenap jajaran tentara muncul pemikiran
bahwasanya elite sipil hanya bersandarkan pada diplomasi dan enggan untuk
mengangkat senjata mempertahankan eksistensi republik melalui jalan gerilya.
Pemikiran tersebut sebagai legitimasi untuk menjalankan pemerintahan dengan selera
tentara dan otoritas sipil diharuskan berada di bawah kontrol militer.

Pada tingkatan divisi di Jawa Timur, pemimpin tentara memaknai pemerintahan militer
yang kedua sebagai otonomi yang luas dalam konteks perjuangan menjaga
kemerdekaan. Perjuangan tersebut bukan melulu masalah keberanian dan senjata
namun juga menyentuh aspek sosial budaya, ekonomi dan politik. Penyatuan dan
pendayagunaan sumber daya merupakan aspek penting dalam persiapan dan
penyelengaraan peperangan (Nasution, 1955:26; Sapto, 2012:14).

Kiprah TRIP dalam Revolusi Fisik

Personel TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar)/TP (Tentara Pelajar)/TGP (Tentara


Genie Pelajar) adalah pelajar setingkat SMP-SLTA plus sebagian kecil mahasiswa, lalu
peran apa yang mereka jalankan selama Revolusi Fisik? Berawal dari rasa terpanggil
membela tanah air mereka masuk dalam kelasykaran rakyat, hingga Markas Tentara
melirik kiprah mereka dan dimiliterisasi melalui Kebijakan Restrukturisasi dan
Rasionalisasi tentara oleh Kabinet Hatta tanggal 25 Maret 1948, yang merangkul dan
‘mensortir’ personil militer agar tercipta tentara berjumlah lebih sedikit namun
professional dan mampu dibiayai oleh republik serta tunduk terhaddap otoritas sipil.

Merujuk kepada kebijakan tersebut pasukan republik diberikan tiga status, yaitu
Pasukan Mobile, Pasukan Teritorial, Pasukan Kesatuan Reserve Umum. TRIP Jawa
Timur dimasukan ke dalam satuan Komando Reserve Umum Brigade W (KRU-W) yang
dilaksanakan pada tanggal 15 Mei 1948. Penggolongan status pasukan tersebut
merupakan usaha untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi tentara.
Pasukan mobile bisa dijabarkan sebagai pasukan garis pertama, yang merupakan
pasukan tempur riil, dengan rasio senjata dan pasukan yang memadai yakni 1:1,
sedangkan pasukan teritorial merupakan elemen pendukung dan cadangan dengan
rasio perbandingan senjatanya 1:3-5, yang berfungsi sebagai penjamin supply logistik
dan SDM bagi pasukan tempur dan merupakan elemen partisan yang bertempur bagi
keamanan wilayah dan warga (Nasution, 1955:123-124; Nasution, 2012:158).

Pada praktik pelaksanaan di lapangan penggolongan pasukan tersebut juga merupakan


sebuah masalah tersendiri. Sebagian besar pasukan lebih memilih sebagai
pasukan mobile, dan enggan dijadikan pasukan teritorial. Mereka (pasukan teritorial)
enggan menyerahkan persenjataan untuk melengkapi pasukan mobile.

Para komandan lapangan menampakan keengganan untuk menyusun unit teritorial,


karena kebanyakan dari mereka memilih untuk menjadi pasukan mobile walaupun
kenyataan tidak sejalan dengan hal itu. Kebutuhan pasukan teritorial paling banyak
hanya tersedia 50% dari total kebutuhan, acap kali struktur tersebut hanya gambaran di
atas kertas saja. Untuk mengisi kekosongan tersebut dipenuhi dari dari para pelajar
pejuang bersenjata.

TRIP Detasemen I Jatim menjadikan Blitar Utara sebagai basis gerakan, bermarkas di
Desa Gabru (sekarang Tegalasri) memanfaatkan ruang kosong yang ditinggalkan oleh
Batalyon 20, saat batalyon tersebut naik status dan menjadi pasukan mobil yang
berpindah-pindah. Selain mengambil oper teritorial Batalyon Branjangan, TRIP Jatim di
Blitar dilimpahi wewenang mengelola administrasi Komando Distrik Militer (KDM;
sekarang KODIM) dikomandani oleh Mayor Isman. Per Januari 1949 resmi Komandan
TRIP Jatim menjabat sebagai Komandan KDM Blitar (Susila, 1994:87).

Kebijakan pemerintahan militer sebelum dilimpahkan kepada TRIP Jatim di Blitar ialah
pembagian keuntungan hasil pengelolaan perkebunan tersebut 40 persen untuk
angkatan perang, 40 persen untuk pemerintah, 10 persen personel dan operasional
perkebunan, 10 persen untuk rakyat. Kebijakan yang ditempuh Mayor Isman dalam
menjalankan produksi di perkebunan tersebut ialah melaksanakan perubahan yang
radikal, semua perkebunan di Blitar diserahkan kepada pengelola semula yakni
masyarakat di sekitar perkebunan, kecuali Perkebunan Bendoredjo yang oleh STM
(Sub Territorium Militer) Kediri dikembalikan pada HVA (Handels Vereneging
Amsterdam) serta langsung berada di bawah pengawasan STC Kediri (Sedikit
Overzicht – Arsip Perdana Menteri RI).

Kebijakan baru yang dilaksanakan oleh pimpinan TRIP Jatim di Blitar adalah masalah
pembagian keuntungan antara KDM Blitar dengan rakyat, 60 persen keuntungan
adalah bagian rakyat sedangkan TRIP menerima 40 persen hasil perkebunan. Dari
perkebunan yang berada dalam penguasaan TRIP bisa dihasilkan 300 ton kopi per
musim panen. Kuat dugaan motivasi perubahan kebijakan pengelolaan perkebunan
tersebut digunakan untuk operasional pemerintahan militer dan upaya secara bertahap
mengembalikan anggota TRIP ke bangku sekolah yang digagas oleh Mayor Isman
semenjak selesainya Konperensi Meja Bundar tanggal 2 November 1949 (Turunan
tentang Insiden Blitar – Arsip Perdana Menteri RI).

Tindakan itulah yang dilihat sebagai ‘memanfaatkan kesempatan dalam


kesempitan’ oleh ‘orang kuat’ Kediri yakni Letkol. Surachmad, komandan Brigade II.
Komandan Brigade meminta wilayah Blitar dikembalikan kepada penguasa lama,
namun ditolak oleh Mayor Isman, karena menganggap TRIP tidak berada dalam jajaran
Brigade II Kediri. Secara umum keberadaan unit pelajar pejuang bersenjata di Jawa
langsung berada di bawah Kementerian Pertahanan/Markas Besar Tentara.

Pada perkembangan selanjutnya, dengan adanya program ReRa maka dibentuklah


MBKD (Markas Komando Djawa), sehingga unit pelajar pejuang bersenjata tersebut di
B/P (Bawah Perintah) masing-masing divisi dan daerah tempat unit pelajar pejuang
tersebut bertugas namun dengan otonomi bertindak yang luwes, sehingga Brigade XVII
Detasemen I/TRIP Jawa Timur berada di bawah komando  taktis serta langsung
melapor kepada Komandan Divisi I Kolonel Soengkono (Sagimun, 1989:227-228;
Poeze, 2014:148).

Pihak Brigade II melihat TRIP sebagai ‘adik’ yang membangkang dan perlu diberi
pelajaran, berpegang perintah atasan haram tidak ditaati. Pada lain pihak Mayor Isman
berpegang teguh bahwa mereka tidak salah, MBKD tidak mengeluarkan perintah,
Gubernur Militer juga tidak berkirim delegasi/surat, itu dianggap hanya ‘akal-akalan’
Surachmad saja untuk mengeruk keuntungan dari perkebunan. Tentu saja Mayor Isman
juga punya alasan lain, bahwa kebun tersebut adalah sumber pendanaan bagi
persekolahan untuk anggota TRIP serta ‘jaminan pensiun’ ketika didemobilisasi dari
tentara.

‘Wild West’ di Blitar

TRIP menanggapi keras tuntutan Komandan Brigade II tersebut, jalan akses masuk ke
Blitar dipasangi barikade dan terhitung tanggal 20 Februari 1950 berlaku jam malam di
wilayah Blitar. Menurut pandangan Letkol. Surachmad tindakan tersebut merupakan
sebuah pembangkangan atau tindakan indisipliner dan sikap bermusuhan terhadap
perintah atasan (Comaunique KMD Kediri – Arsip Perdana Menteri RI).

Pada tanggal 22 Februari Brigade II sudah menggerakan satu kompi pasukan ke arah
Blitar, namun pasukan-pasukan yang hendak memasuki Blitar tersebut di hadang oleh
pos penjagaan TRIP di Srengat. Pasukan menggunakan 4 truk militer, 2 jeep dan
sebuah sedan. Unit Brigade II melakukan pengawasan terhadap semua kendaraan
bermotor yang menuju wilayah Blitar di Ngujang, Kabupaten Kediri, mereka menahan
sebuah bus dan satu unit jeep polisi No. 406 (Laporan Kapten Ismail Kartasasmita –
Arsip Perdana Menteri RI).

Pasukan Batalyon Sriti pada tanggal 23 Februari diketahui pada pukul 05.30 berada di
sekitar pos penjagaan TRIP di Srengat dan menunjukan sikap memusuhi, kemudian
personel yang berjaga segera menyerang, perintah yang diberikan oleh Letkol.
Surachmad kepada para komandan batalyonnya ialah snel oppruken (serangan cepat)
selesai dalam 3 hari. Disebabkan karena jumlah personel yang tidak berimbang,
serangan personel TRIP segera dipatahkan dan 14 orang ditawan oleh Batalyon Sriti,
semua senjata yang mereka sandang dilucuti serta sisa pasukan mengundurkan diri ke
Kalipucung. Bersamaan dengan kontak tembak di Srengat, pasukan lain dari Brigade II
memasuki Blitar dari berbagai arah, personel ODM (Onder Distrik Militer) Ponggok
melaporkan terdapat 10 truk yang mengangkut Batalyon Branjangan mendekati wilayah
Kota Blitar. Sisa Batalyon Branjangan dingkut 17 truk melintasi Nglegok. Gubernur
Militer segera turun tangan dan memerintahkan penghentian tembak menembak antara
TRIP dan unit Brigade S (Laporan Kapten Ismail Kartasasmita – Arsip Perdana Menteri
RI).

Pada pukul 06.30 tanggal 24 Pebruari 1950 tembakan senapan mesin berat 12,7 mm
terdengar dari arah unit Branjangan menyerang, Blitar di kepung dari tiga poros, yakni
arah utara, timur, dan barat. Selama hampir 7 jam Kompi IV TRIP mempertahankan
Blitar dengan mengandalkan 75 personel yang mereka miliki, dibantu pasukan dari
Kompi III yang berasrama di Lodoyo mulai memasuki Kota Blitar pukul 13.00 dipimpin
oleh Kapten Soebiyantoro. Pos penjagaan TRIP di Desa Tawangsari direbut oleh
pasukan Branjangan pada pukul 17.00, 4 orang personel ditawan dan senjatanya
dilucuti. Hari itu juga Garum, Krisik dan Ngantang berhasil direbut. Kepala Polisi
Sadikun berusaha mendamaikan kedua belah pihak namun di tolak oleh TRIP (Laporan
Kapten Ismail Kartasasmita – Arsip Perdana Menteri RI).
Serangan Brigade S yang bertubi-tubi memaksa sisa pasukan TRIP yang bertahan di
tengah kota untuk mundur ke Plosokerep dan selanjutnya berjalan kaki ke timur ke
jurusan Kanigoro pada tanggal 25 Februari petang hari karena kehabisan amunisi dan
ransum. Komandan operasi Batalyon Branjangan, Kapten Soepangkat, mengirimkan
surat melalui kurir ditujukan kepada Kapten Ismail Kartasasmita berisi ultimatum dan
perintah untuk menyerah, namun TRIP menolak untuk menyerah. Walaupun TRIP telah
mengundurkan diri dari dalam kota namun setiap malam personel TRIP masih tetap
leluasa bergerak di dalam kota secara diam-diam (Laporan Kapten Ismail Kartasasmita
– Arsip Perdana Menteri RI).

Berdasarkan data yang dihimpun dari Surat Perdana Menteri RI (Arsip Perdana Menteri
RI), kontak tembak selama 10 hari tersebut mengakibatkan 4 orang personel Brigade S
gugur, 4 orang anggota TRIP luka-luka dan 19 orang warga sipil luka-luka dan
meninggal. Unit Brigade S menawan 109 orang anggota TRIP, mereka ditahan di
Kediri, bersamaan dengan penawanan anggota TRIP tersebut juga turut ditahan 12
orang warga etnis Tionghoa di Blitar  (Nama-nama Anggota TRIP yang tertawan dalam
Peristiwa Blitar Affair – Arsip Perdana Menteri RI).

Penulis: Hasumi Aditya

Anda mungkin juga menyukai