Anda di halaman 1dari 17

DESA KRESEK DAN DUNGUS: SAKSI PEMBERONTAKAN PKI DI

MADIUN TAHUN 1948

Hedda Wahyu Ruhaiyah


Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang
Email: wahyuhedda@gmail.com

ABSTRAK: Peristiwa Madiun atau Madiun Affair yang terjadi pada


tahun 1948 merupakan peristiwa yang menyangkut Revolusi
Indonesia. Peristiwa ini dilatar belakangi oleh adanya perjanjian
Renville dan program ReRa yang dibentuk oleh kabinet Hatta yang
menyebabkan ketegangan antara TNI, FDR/PKI, dan masyarakat.
Peristiwa Madiun 1948 merupakan peristiwa dalam upaya dari
FDR/PKI untuk menguasai Kota Madiun dan mengambi alih
pemerintah dari tangan Republik. FDR/PKI ini kemudian mendirikan
sebuah pemerintahan darurat yaitu Front Nasional Daerah Madiun.
Peristiwa tersebut menelan banyak korban jiwa diantaranya para
tokoh masyarakat, pegawai pemerintahan, pasukan-pasukan
pemerintah, ulama-ulama, para santri, dan masyarakat biasa yang
sengaja dibunuh oleh oknum-oknum PKI. Di Desa Kresek
merupakan salah satu dari sekian tempat yang dijadikan sebagai
tempat pengeksekusian korban-korban dari aksi kekejaman PKI.
Kata kunci: Peristiwa Madiun, Pemberontakan PKI, Desa Kresek.

PENDAHULUAN

Madiun affair adalah suatu peristiwa dalam sejarah revolusi Indonesia


yang terjadi antara September sampai dengan Desember 1948 di kabupaten-
kabupaten Madiun, Magetan, Kediri, Ponorogo, Trenggalek, Pacitan, Ngawi;
Cepu, Blora, Pati, Kudus, Wonogiri, dan Purwodadi. Peristiwa ini
dilatarbelakangi oleh adanya Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni
Soviet mempengaruhi situasi politik Indonesia. Dalam pertemuan yang dikenal
dengan sebagai “Perundingan Sarangan”, terjadi konspirasi bahwa pemerintah
Republik Indonesia mnyetujui Red Drive Proposal dengan bantuan Central
Intelligennce Agence (CIA). Kelompok kiri (komunis) menuduh sejumlah
petinggi Pemerintahan Republik Indonesia dipengaruhi oleh Amerika Serikat
untuk menghancurkan PKI.
Madiun yang meliputi wilayah kerja pembantu Gubernur Madiun terletak
paling barat dari Provinsi Jawa Timur. Pada tahun 1948 menjadi daerah wilayah
Republik Indonesia menurut pejanjian Renville. Wilayah tersebut membujur
sampai dengan daerah Kabupaten Jombang. Menurut perjanjian Renville yang
oleh kedua belah pihak ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948, di daerah
kekuasaan de facto Republik Indonesia banyak dikurangi. Wilayah Jawa Timur
terdiri dari: Madiun, Kediri, Jombang dan Bojonegoro serta dengan daerah lain di
Jawa Timur putus hubungan. Diantara empat daerah Pembantu Gubernur, Madiun
terletak di daerah yang jauh dari garis demarkasi (Pemda Dati II Kab. Madiun
1980: 301).
Dalam tahun 1948 keadaan seluruh wilayah Republik Indonesia terutama
di daerah Madiun masih dalam keadaan yang sangat lesu. Mr. Amir Syarifuddin
berusaha menghimpun seluruh kekuatan golongan kiri yang terdiri atas kelompok
yang menentang Re-Ra. Pada tanggal 26 Februari 1948 sayap kiri membentuk
Front Demokrasi Rakyat (FDR). Pada tanggal 11 Agustus 1948, Suripno seorang
tokoh komunis muda yang ditugasi oleh pemerintah pada waktu itu kabinet Mr.
Amir Syarifuddin untuk menjajaki kemungkinan pembukaan hubungan
diplomatik dengan negara-negara Eropa timur. Suripno membwa sekretaris nya
bernama Suparto yang ternyata orang tersebut adalah Muso. Suparto alias Muso
mengambil alih pmpinan kaum komunis Indonesia dan mencetuskan konsepsinya
dengan nama “Jalan Baru Republik Indo” (Gerakan 30 September Pemberontakan
Partai Komunis Indonesia, 1994:20).
Dalam Pemda Dati II Madiun (1980: 306-307) pada tanggal 8 September
1948 PKI mengadakan rapat raksasa di Alun-alun Madiun. Pemaksaan terhadap
penduduk di dalam kota praja Madiun dan sekitarnya yang bukan anggota PKI
untuk hadir di rapat raksasa itu. Tujuan dari pemaksaan untuk menghadiri rapat
PKI adalah perjuangan kemerdekaan berhasil dan dilakukan keadilan sosial yang
merata serta mereka yang tidak hadir di rapat raksas tidak akan diperhatikan nasip
selama hidupnya. Tuntutan serta pidato pemberontakan Muso dan Amir didalam
rapat itu menyerukan dengan lantang untuk tidak berunding lagi dengan Belanda
yang inti pokoknya “Hapuskan Perjanjian Renville”.
Sebelumnya PKI telah menghimpun massa dan kekuatannya dalam rangka
pemberontakan sejak proklamasi bukanlah suatu hal yang direka-reka. Perebutan
kekuasaan pemerintahan di daerah-daerah seperti Peristiwa Serang (1945),
Peristiwa Tangerang (1945), Peristiwa Tiga Daerah (1945), dan Peristiwa Cirebon
(1946), merupakan seragkaian usaha orang-orang komunis membentuk kekuatan.
Ketika Kementerian Pertahanan dikuasai oleh kelompok PKI yang
dipimpin oleh Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifuddin, maka laskar-laskar yang
berafiliasi dengan komunis memperoleh prioritas dan fasilitas dalam pembagian
senjata dan perlengkapan lainnya. Oleh karena itu tidak mengherankan jika
persenjataan dan peralatan mereka jauh lebih lengkap dan lebih baik daripada TNI
yang berasal dari TRI. Di dalam perkembangannya, sejak dari kelaskaran sampai
bergabung menjadi TNI, pasukan-pasukan yang berafiliasi dengan komunis secara
eksklusif membentuk brigade atau resimen sendiri. Hal ini nampak setelah
reorganisasi TNI pada tahun 1947, di mana 10 divisi di Jawa, diciutkan menjadi 7
divisi saja. Yaitu Divisi I/ Siliwangi (Jawa Barat); Divisi II/ Sunan Gunung Jati
(Cirebon); Divisi III/ Diponegoro (Yogyakarta); Divisi IV Panembahan Senopati
(Surakarta); Divisi V/ Ronggolawe (Bojonegoro); Divisi VI Narotama
(Mojokerto); dan Divisi VII/ Surapati (Malang).
Reorganisasi dan rasionalisasi (Rera) sebagai kebijaksanaan pemerintah
ditentang keras oleh FDR/ PKI. Pihak FDR/ PKI menentang kebijaksanaan Rera
ini karena merugikan kedudukannya, sebab sebagian besar yang terkena
rasionalisasi adalah laskar-laskar yang berafiliasi dengan PKI.
Di beberapa daerah terdapat perbedaan tanggapan terhadap
pelaksanaan Rera, di Jawa Timur yang semula ada tiga Divisi
(Divisi V/Ronggolawe, Divisi VI/Narotama, Divisi
VII/Suropati) akan diciutkan menjadi satu divisi saja.
Walaupun tanpa panglima para bekas staf divisi membentuk
Staf Pertahanan Jawa Timur ( SPDT), yang dipimpin oleh
Letkol Marhadi, bekas Kepala Staf Divisi VI/Narotama. Letkol
Marhadi memindahkan markasnya dari Kediri ke Madiun yang
sesungguhnya daerah kekuasaan Divisi II ( Jawa Tengah
Bagian Timur). Hal ini barangkali untuk mendapatkan kesan
bahwa SPDT bukanlah Divisi VI gaya baru. Perwira Staf SPDT
diambil dari unsur ketiga divisi tersebut (Djamhari, dkk,
2009:144-145).
Sementara itu pada saat kekosongan pimpinan TNI di Jawa Timur, orang-
orang komunis melakukan dislokasi dan pemindahan pasukan-pasukannya untuk
mendekati Madiun. Sejak kapan Madiun direncanakan dan dipilih sebagai daerah
basis tidak diketahui. Yang diketahui kemudian adalah pemindahan Markas
Pesindo dari Surabaya ke Mojosari (Mojokerto) setelah Surabaya diduduki
Sekutu. Dua bulan kemudian Pesindo memindahkan markasnya ke Madiun pada
bulan Januari 1946. Pesindo menempati satu bangunan yang bagus terletak di
pusat kota, Jalan Pahlawan No. 91 Madiun. Bangunan itu mereka sebut dengan
Asrama Pahlawan.
Usaha Pesindo lainnya adalah memindahkan Kantor Dewan
Pekerja/Pembangunan Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI) ke
Madiun dengan maksud agar kompartemen BKPRI tersebut berada satu kota
dengan Markas Pesindo. Dewan Pekerja/ Pembangunan BKPRI yang tugasnya
mengurus mobilisasi kekuatan dipimpin oleh tokoh-tokoh Pesindo Sumarsono dan
Kusnandar. Kantor yang dipilih untuk Markas BKPRI adalah di Jalan Kediri No.
17, di Kompleks Pabrik Gula Rejoagung. Pada bulan Maret 1946 Dewan ini
mendirikan Radio Gelora Pemuda untuk kepentingan propaganda. Rupanya secara
ideologi dan politis, Madiun telah dipersiapkan sebagai basis. Letak Madiun
berada di jalur transportasi kereta api Jombang-Yogyakarta di mana pengangkutan
pasukan dan mobilitasnya terjamin. Madiun juga memiliki bengkel induk kereta
api, yang letaknya berdekatan dengan Pabrik Gula Rejoagung (milik Oei Tiong
Ham Concern) yang para buruhnya telah dipengaruhi oleh PKI. Juga di daerah
Madiun terdapat beberapa pabrik gula yang lain, seperti Pabrik Gula Pagotan,
Pabrik Gula Gorang-Gareng, Pabrik Gula Sedono. Pabrik-pabrik gula tersebut
dinilai memiliki syarat-syarat ekonomis dan strategis. Oleh karena itu pabrik-
pabrik ini dijaga oleh tentara mereka. Dari basis pabrik gula dan bengkel induk
kereta api dikembangkan perlawanan. Di samping buruh, PKI mempengaruhi pula
tokoh masyarakat dan para petani, dengan janjijanji yang muluk antara lain,
mereka akan diberi kedudukan dan tanah-tanah pertanian.
Hal lain yang menguntungkan PKI adalah momentum rasionalisasi.
Sebagai akibat rasionalisasi, kekuatan TNI di Madiun yang semula berkekuatan
satu brigade, setelah rasionalisasi dijadikan satu Sub Teritorial Comando ( STC),
yaitu instansi teritorial yang tidak membawahi pasukan tempur. “Status” Madiun
yang tidak menentu, semula termasuk wilayah Divisi Ronggolawe, setelah
reorganisasi menjadi wilayah Divisi II ( Jawa Tengah Bagian Timur) tidak
termasuk wilayah kekuasaan divisi Jawa Timur.
Perkembangan selanjutnya di Madiun seringkali adanya rapat umum.
Rapat umum yang terbesar terjadi pada tanggal l0 September 1948, dihadiri oleh
Musso dan Amir Sjarifuddin. Sebelum rapat itu, di Madiun mulai berdatangan
pasukan yang berseragam hitamhitam, yang tidak diketahui darimana asalnya.
Mereka menempati gedung-gedung sekolah, yang kebetulan sedang libur.
Semakin hari, semakin bertambah. Setelah rapat umum mereka mulai “unjuk
gigi”. Di Pasar Besar (pasar kota), mereka berjaga-jaga di setiap sudut. Di alun-
alun, jalan ke luar masuk dijaga. Stasiun kereta api serta perempatan jalan-jalan
besar juga dijaga oleh pasukan komunis tersebut. Jembatan Kali Madiun dijaga
ketat, setiap pejalan kaki digeledah. Penduduk kota dilanda ketakutan.
Menurut Soe Hok Gie (1997: 235) perebutan kekuasaan di Madiun
dilakukan sejak jam 02.00 malam. Sebagai inti pasukan yang merebut kekuasaan
digunakan pasukan-pasukan Letkol. Dachlan. Dalam waktu beberapa jam mereka
telah berhasil merebut kota menyergap pasukan-pasukan yang setia pada
pemerintah. Markas Staf Pertahanan Jawa Timur, markas CPM, tangsi polisi
mereka rebut dan senjatanya mereka ambil. Perwira-perwira yang tidak pro-FDR
mereka tangkap dan pagi-pagi tanggal 19 September 1948 Pemerintah RI telah
ditumbangkan di Madiun.
Ditumbangkannya pemerintah Republik Indonesia di Madiun, maka FDR
mencoba membentuk pemerintah baru atas dasar ide Muso tentang Fron Nasional
yang membentuk pemerintah dari bawah yang menurut mereka pasti kokoh
karena berakar dalam masyarakat. Pagi-pagi tanggal 19 September Fron Nasional
dibentuk oleh SOBSI, PKI, Partai Buruh, PS, Pesindo, Letkol. Sumantri (wakil
komandan territorial), Isdarto (Wakil Presiden) dan Walikota Purbo. Serta
diumumkan dari siaran pemancar Madiun, bahwa Pemerintah Daerah Madiun
telah berada di tangan rakyat dan berlaku Pemerintaham Fron Nasional Daerah
Madiun. Sementara itu keanggotaan sukarela/setengah dipaksa dan paksaan secara
individual sedang dikumpulkan. Beberapa jam sebelumnya tentara/polisi yang
setia pada Republik Indonesia telah dilucuti. Sesuai dengan teori Fron Nasional
Muso, maka Fron Nasional membentuk pemerintah Fron Nasional adalah sebagai
berikut (Nasution, 1979: 210):
a. Residen Madiun : Abdul Mutalib (eks. Wk. Presiden Surabaya)
b. Gubernur Militer : Sumarsono (pimpinan BKPRI)
c. Komandan Militer : Kol. Djoko Soedjono (eks. Biro Perjuangan)
d. Komandan Militer Kota : May. Mustofa (Brigade Dachlan)

METODOLOGI
Pada penulisan artikel ini menggunakan metode penelitian sejarah. Metode
ini cocok untuk mencari dan merekonstruksi peristiwa yang sudah terjadi pada
masa lalu. Menurut Kuntowijoyo (1994), metode sejarah memiliki lima tahap
yaitu pemilihan topik, heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Tahap
pertama yaitu mengenai pemilihan topik, topik yang akan dibahas oleh penulis
dalam artikel ini adalah mengenai Desa Kresek sebagai saksi kekejaman PKI
tahun 1948 di Madiun, topik ini dibahas karena Desa Kresek yang menjadi tempat
tawanan korban dari kekejaman PKI di Madiun dan salah satu tempat
pengeksekusian dari korban-korban PKI. Karena, Desa Kresek merupakan tempat
atau basis dari kekuatan seluruh pasukan PKI yang berada di Madiun. Hal ini
bukan karena sebagian besar masyarakat Desa Kresek merupakan anggota PKI,
tetapi PKI ingin pertahanan mereka tidak diketahui oleh pihak yang
menentangnya karena kondisi alam Desa Kresek pada waktu itu masih merupakan
hutan lebat dan berbukit.
Setelah pemilihan topik sudah ditentukan, selanjutnya langkah yang
diambil adalah heusristik (pengumpulan sumber). Heuristik merupakan proses
mencari bahan atau menyelidiki sejarah untuk mendapatkan sumber. Berkaitan
dengan hal tersebut, penulis melakukan beberapa tahapan seperti mengumpulkan
beberapa sumber. Di dalam artikel ini sumber yang digunakan adalah sumber
tertulis dan sumber lisan. Sumber tertulis ini dapat berupa buku-buku referensi
serta artikel-artikel yang memuat tentang PKI dan Gerakan 30 September
Pemberontakan PKI dan relief-relief yang ada di Monumen Kresek. Sedangkan
dalam memperoleh sumber lisan dapat melalui proses wawancara yang tidak
terstruktur. Menurut Esterberg (dalam Sugiyono, 2015 : 320) wawancara tidak
terstruktur adalah wawancara yang bebas dimana peniliti tidak menggunakan
pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk
pengumpulan datanya. Sumber lisan ini didapatkan melalui wawancara dengan
warga Desa Kresek, selain itu dengan melakukan wawancara dengan seorang
anggota TRIP Madiun Jawa Timur yang merupakan saksi dari peristiwa
pemberontakan PKI tahun 1948 di Desa Kresek.
Setelah proses pengumpulan sumber, langkah selanjutnya adalah
melakukan kritik sumber. Dalam menjelaskan data yang telah diperoleh perlu
dilakukan kritik untuk menguji keaslian sumber. Di dalam metode penelitian
sejarah sebenarnya kritik tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu kritik eksternal
dan internal (Syamsuddin, 1966 : 103). Dalam mengkritik sumber data tertulis
perlu dilakukan kritik dengan cara menguji sumber tersebut ditulis pada tahun
kapan dan dari data yang ada pada sumber tertulis tidak ada unsur bahasa yang
sengaja dilebih-lebihkan dalam peristiwa yang terkait dengan pemberontakan PKI
di Madiun khusunya di Desa Kresek. Karena banyaknya buku mengenai PKI ini
dari berbagai versi, dalam hal ini peulis harus bersifat netral dalam menulis artikel
ini. Sedangkan untuk kritik sumber yang dilakukan tersebut kepada sumber lisan
yang menjadi narasumber tersebut. Adapun yang dilakukan dalam kritik sumber
tersebut adalah dengan mengetahui umur dari narasumber tersebut, serta posisi
beliau pada masa tersebut.
Langkah selanjutnya yang dilakukan setelah tahap kritik sumber adalah
melakukan interpretasi yang merupakan permaknaan dari sumber-sumber sejarah
yang telah lolos dalam tahapan kritik sumber. Dari sumber-sumber yang telah di
kritik tersebut selanjutnya dianalisis dan dilakukan sintesis. Penulis berpendapat
bahwa proses pemberontakan PKI di Madiun yang terjadi pada tahun 1948
dilakukan dengan begitu menyeramkan. Hal ini dapat di ketahui dari uraian
sumber tertulis dan informasi yang diperoleh dari wawancara saksi dari peristiwa
sejarah tersebut.
Pada tahapan akhir ini adalah historiografi yang merupakan inti dari
keseluruhan proses penelitian peristiwa sejarah. Dalam melakukan tahap ini
diperlukan keahlian merekonstruksi sejarah berdasarkan pernyataan-pernyataan
yang telah dikemukakan oleh narasumber atau berdasarkan dengan sumber-
sumber yang telah ditemukan dilapangan. Dengan cara menghubungkan fakta satu
dengan fakta yang lainnya berdasarkan konsep pemikiran yang sistematis, logis
serta kronologis dengan memperhatikan juga segi kausalitas (sebab-akibat). Hasil
dari proses ini adalah rangkaian informasi mengenai peristiwa pemberontakan
PKI di Desa Kresek tahun 1948. Namun tidak cukup hanya merekonstruksi suatu
peristiwa sejarah saja dalam tahapan historiografi ini. Perlu disertai pemahaman
dan pemberian makna serta keobjektifan dari penulisan peristiwa yang
bersangkutan agar rekontruksi tersebut dapat memperoleh pemahaman yang jelas
dan dapat dipertanggung-jawabkan, sehingga tulisan ini dapat berguna bagi
sejarah lokal di Kota maupun Kabupaten Madiun khususnya mengenai peristiwa
pemberontakan PKI.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Desa Kresek sebagai Basis Pertahanan PKI di Karisidenan
Madiun.
Madiun sebagai basis pertahanan dilengkapi dengan pasukan bersejata.
PKI menggunakan daerah lereng Gunung Wilis, yaitu sekitar Dungus dan Kresek
sebagai daerah inti atau markas dalam menyusun strategi. Kresek merupkan
daerah berbukit yang berada di kawasan hutan. Lokasi desa ini cukup aman dari
jangkauan pengamatan orang di luar PKI. Jadi, ketika PKI menyusun kekuatan
atau rapat di desa resebut, maka posisi mereka aman dan tidak diketahui oleh
orang lain.
Selama melakukan pemberontakan di Madiun pada tahun 1948, PKI dan
kelompoknya memusatkan pertahanannya di lereng gunung Wilis. Pemimpin dan
pasukan PKI mula-mula bermaksud untuk bertahan di lereng Gunung Wilis untuk
waktu yang lama. Kondisi geografis menjadi faktor utama dalam penentuan
daerah pertahanan PKI, kaeran sebagian besar daerah ini adalah wilayah hutan
yang belum banyak dijamah banyak orang. Penduduk yang ada disekitar lereng
gunung ini pun tidak terlalu banyak jumlahnya. Akses jalan menuju ke wilayah
lereng gunung ini juga cukup sulit. Oknum perwira militer, Kolonel Djoko
Suyono dan Kolonel Wikana, yang menjadi anggota PKI telah mempersiapkan
daerah Dungus sebagai pusat pemerintahan militer (Soekowinoto: 1977: 169).
Anggota PKI dari Brigade 29 yang terdiri dari beberapa Batalyon telah
mempersiapkan wilayah-wilayah di Madiun sebagai markas PKI jauh sebelum
pemberontakan dimulai. Seperti yang dikutip dari Pemerintah Kabupaten Daerah
Tingkat II Madiun, yang menjelaskan bahwa
Bermula dari perintah Staf Pertahanan Jawa Timur (SPDT)
kepada Brigade 29 agar menuju ke Mojokerto, namu justru
mereka menempati wilayah di sekitar Madiun. Penempatan
markas-markas tersebut tentu saja tanpa sepengetahuan dari
SPDT. Kehadiran batalyon-batalyon Brigade 29 tersebut
menimbulkan ketegangan dan keresahan yang makin
memuncak di kalangan masyarakat Madiun (Pemkab Dati II
Madiun, 1980: 308).
Semenjak itu, PKI sering mengadakan rapat di wilayah Dungus. Sebelum
PKI melakukan kekacauan di daerah Solo dan Madiun, mereka sering
menggunakan rumah-rumah di sekitar Dungus untuk menyusun strategi. Warga
sekitar tentunya tidak mengetahui bahwa PKI menyusun strategi untuk
mengacaukan wilayah mereka.
Setelah memasuki dan menduduki daerah Dungus, strategi PKI berubah.
Karena di Dungus diperhitungkan kuang memenuhi syarat pertahanan maka pusat
pertahanan dialihkan dan digeser ke selatan sejauh 5 km, ke Desa Kresek
(Soekowinoto, 1977: 169). Hal ini dilakukan karena Dungus merupakan salah satu
akses yang dilewati menuju ke Kecamatan Kare, Saradan, dan Kediri. Berbahaya
jika banyak orang dari daerah lain akan bebas keluar masuk wilayah Dungus dan
membuat PKI tidak leluasa dalam melakukan seluruh gerakan pemberontakan
kelompoknya di wilayah Karisidenan Madiun.
Dari segi geografis, Desa Kresek sangat memenuhi syarat sebagai daerah
pertahanan. Desa Kresek merupakan desa yang letaknya sedikit terisolir dari jalan
raya karena pada waktu itu akses jalan menuju desa ini hanya bisa dilewati dengan
jalan setapak. Jika melintasi daeraj Kresek, mungkin orang berpikir bahwa jalan
menuju desa tersebut adalah jalan buntu. Dan pada saat itu pun, hanya ada satu
akses jalan utama menuju ke Desa Kresek dari arah Dungus. Menurut Murni (65),
Desa Kresek memiliki jalur alternatif menuju ke wilayah Ponorogo melalui
Ngebel. Jalur akses ke wilayah Ponorogo dapat ditempuh melalui Desa Bodak
yang dibatasi aliran anak Sungai Catur. Bila dicermati, PKI seolah telah
mempersiapkan jalur tersebut untuk akses melarikan diri jika terjadi sesuatu di
wilayah Desa Dungus dan Kresek. PKI menggunakan wilayah dukuh Brojo yang
tepat berbatasan dengan Desa Bodak sebagai wilayah penyekapan tawanan.
Wilayah ini merupakan ujung selatan Desa Kresk yang dilintasi aliran anak
Sungai Catur.
Desa Kresek yang terbagi menjadi lima dukuh ini merupakan wilayah
yang daerahnya cukup tinggi. Jarak antara dukuh satu dengan yang lain cukup
berjauhan. Wilayah Desa Kresek cukup luas dan sebagian besar wilayah Desa
Kresek berupa areal persawahan dan perladangan, sebagian kecil merupakan
daerah hutan jati. Mayoritas masyarakat setempat berprofesi sebagai petani dan
buruh tani, serta sebagian kecil lainnya beternak. Iklim cuaca dari seluruh wilayah
Desa Kresek mudah berkabut karena terpengaruh cuaca hutan (Soekowinoto,
1977: 176).
Semenjak Kedatangan pasukan merah (PKI) ini ke desa Kresek banyak
penduduk setempat yang mengungsi ke tempat yang lebih aman, karena penduduk
desa ini dipaksa untuk mengibarkan bendera merah (Pemkab Dati II Madiun,
1980: 310). Penduduk yang tidak mentaati peraturan baru tersebut akan mendapat
tindakan keras. Pemerintah Merah PKI mendepolitisasi Desa Kresek dan Madiun
pada umumnya. PKI memprovokasi masyarakat dengan keadaan politik
pemerintah Republik Indonesia yang terjadi pada masa revolusi kemerdekaan,
guna memperoleh masa yang banyak.
Dilihat dari segi demografi, menurut (Soekowinoto, 1977: 177-
178) penduduk Desa Kresek berdasarkan pada politik dibagi
menjadi 4 golongan, masing-masing yaitu Partai Nasional
Indonesia (PNI), Partai Masyumi, Partai Komunis Indonesia
(PKI), dan Partai Loos (tanpa berpartai). Prosentase golongan
partai di Desa Kresek adalah PNI sebanyak 10% (terdiri dari
pamong praja dan pegawai), PKI sebanyak 50% (sebagian
besar bertempat di Dukuh Ngandong), Masyumi sebanyak 10%
(terdiri dari para petani) dan Partai Loos sebanyak 30% (terdiri
dari para penggarap pertanian).
Keadaan ini memberikan peluang besar bagi PKI untuk melakukan teror dan
provokasi kepada masyarakat setempat agar tunduk pada perintahnya. Masyarakat
Desa Kresek menjadi semakin resah selama daerahnya dikuasai penuh oleh PKI.

2. Pembantaian Korban PKI di Kresek dan Rangkaian Pemberontakan PKI


di Madiun.
Peristiwa pembantaian PKI di Desa Kresek bukan merupakan akhir dari
pemberontakan yang dilakukan oleh PKI. Pemberontakan dan pembunuhan yan
dilakukan di beberapa tempat, termasuk di Desa Kresek menjadi bukti kekejaman
PKI dalam memperlakuka masyarakat yang dahulunya mendukung mereka.
Orang-orang yang dibunuh oleh PKI adalah orang yang dianggap musuh, yang
pro terhadap pemerintah. PKI menjadikan pembantaian sebagai bagian akhir
untuk menhabisi para tawanan. Pembantaian di Desa Kresek yang pertama terjadi
saat awal pemerintahan PKI di Madiun. Tawanan PKI yang disekap di Desa
Kresek dibantai ketika rumah tahanan tidak lagi cukup menampung tawanan baru.
Para tawanan yang telah lebih dulu disekap akan lebih dulu dibantai. Sebelum
dibunuh, mereka diperintah keluar dari rumah tawanan dengan tangan terikat dan
pakaian ditinggalkan (kecuali pakaian dalam) tidak pandang pria atau wanita
(Pemkab Dati II Madiun, 1980: 315). Mayat-mayat korban ini hanya ditumpuk
jadi satu didalam lubang-lubang pembantaian. Para anggota partai politik lawan
PKI dan para pamong praja dikejar-kejar atau diculik. Antara tanggal 10 dan 18
September beberapa tokoh lawan politik PKI diculik dan dibunuh, antara lain:
Ketua PNI Suradji dan bendaharanya Atim Sudarso, Iskandi (tokoh Taman
Siswa), Hardjowiryo (tokoh Partai Murba), Suhud dari Apolo, serta Kusen dan
Abdul Hamid (kedua tokoh Masyumi).
Sedangkan tokoh pemerintahan yang diculik antara lain: Walikota Supardi
(dari Banyumas), Patih Madiun Sarjono, Wedana Dungus Charis Bagyo, Camat
Manisrenggo Martolo beserta staf kecamatan, Camat Jiwan Abdul Rachman, Guru
Sekolah Pertanian Suharto, Pegawai Dinas Kesehatan Muhammad, Camat
Kebonsari Ngadino, Mantri Polisi Kustejo, Wedana Uteran Sukamto dan Camat
Takeran Priyontomo. Di Magetan Bupati Sudibyo, Patih Sukardono, Penilik
Sekolah Prawoto Yudokusumo dan guru Sukardi juga dibunuh secara mengerikan
di Desa Kresek.
Selain itu, Kepala Kepolisian Karesidenan Madiun Komisaris Besar
Sunaryo, diculik dari kantornya kemudian dinaikkan ke atas truk terbuka dan
diarak keliling kota, diiringi barisan demonstran berseragam hitam. la dihina
dengan kata-kata kotor, yang diselingi dengan teriakan (yel) : “Sayap Kiri, Yes!
Sayap Kanan, No ! “Akhirnya Komisaris Besar Sunaryo dibawa ke suatu tempat
yang tidak diketahui dan tidak pernah kembaIi. Juga Kepala Polisi Distrik Uteran
Achmad dan Inspektur Polisi Suparlan dari Mobile Brigade menjadi korban
penculikan. Di samping para tokoh politik dan pemerintahan, juga tokoh-tokoh
agama dibunuh. Antara lain Kyai Selo (Abdul Khamid), bersama anaknya, Kyai
Zubir dimasukkan
ke dalam sumur hidup-hidup. Hampir setiap hari di dalam kota berlangsung
demontrasi dari
pasukan hitam-hitam, sambil berteriak-teriak : “Sayap Kiri, Yes!, Sayap Kanan,
No!”Gerakan demonstrasi ini juga meluas ke daerah-daerah Kabupaten Magetan,
Ponorogo, dan Pacitan.
Di Gorang- Gareng rupanya menjadi basis utama gerakan PKI di
Kabupaten Magetan. Tokoh PKI di sini yang terkenal kekejamannya adalah Tjipto
Sipong. Di tempat ini berlangsung proses eksekusi anggota-anggota partai lawan
politik PKI Mereka dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua yang bernama sumur
Soca, di desa Bendo. Sedang tawanan-tawanan yang berasal dari tempat lain,
dikumpulkan dalam sebuah gudang di komplek 5 pabrik gula. Kemudian mereka
dibunuh di tempat tersebut. Di Ngawi terkenal nama Sumirah seorang algojo
wanita, la mengikat para tawanan pada setiap tiang yang ada di kantor kabupaten.
Kemudian satu persatu dipancungnya.
Selain itu bahkan ada pasukan dari TRIP Madiun yang berkhianat saat
pasukan PKI bergerak menyerbu ke markas besar TRIP di pusat Kota Madiun.
Menurut penuturan dari bapak Muhdi (85), pada waktu pasukan
PKI dapat menguasai asrama TRIP Madiun Jalan Sleko, saat
itu sudah terlihat teman TRIP yang berkhianat. Karena ketika
anggota TRIP duduk bersila dihalaman dengan todongan
senjata PKI, tiga orang anggota TRIP terlihat berdiri diantara
pemimpin pasukan PKI. Anggota TRIP Madiun yang berdiri
diantara pasukan PKI adalah Sunaryo, Alex Legowo dan
Suroyo. Setelah penyerbuan yang dilakukan PKI ke Markas
TRIP Madiun, PKI datang dengan membawa daftar yang sudah
disiapkan sebelumnya pada setiap malam. Nama-nama yang
ada dalam daftar tersebut kemudian dibawa pergi tanpa
diketahui arah tujuannya. Mereka yang diambil setiap
malamnya secara berturut-turut adalah Sutopo, Yuwono,
Juwito, Sugito, Ngadino, Sumadi, dan Suprapto.
Beberapa hari kemudian baru diketahui bahwa mereka yang diambil oleh
PKI pada malam-malam hari itu, ternyata dibawa ke daerah Dungus di desa
Kresek bersama tokoh-tokoh pemerintahan sipil maupun militer yang sudah
disekap lebih dulu. Ditempat tersebut para tawanan setiap hari secara bergantian
dibunuh secara kejam dan dikubur secara asal-asalan. Seluruh anggota Trip
madiun yang dibawa ke Kresek tersebut dibunuh, kecuali Suprapto yang
kebetulan mendapat giliran terakhir. Karena posisi PKI sudah terjepit oleh
pasukan TNI dari segala arah, maka tawanan yang masih tersisa dalam rumah
dibunuh secara masal dengan dinberondong dengan senjata otomatis. Semua
bergelimpangan darah, keberuntungan lagi bagi Suprapto yang ketika itu ikut
menjatuhkan diri diantara mayat-mayat dan ternyata dia tidak sedikitpun terluka.
Namun untuk beberapa waktu dia harus beristirahat total guna menghilangkan
trauma yang berkepanjangan (Kisah Perjuangan TRIP, 1998:221).
Pada malam menjelang tanggal 1 Oktober 1948 di jalur Madiun jurusan
Kresek meledak suasana yang mencekam hati, karena masyarakat gaduh dan ribut
mencari perlindungan untuk keselamatan hidup mereka sekeluarga (Pemkab Dati
II Madiun, 1980:316). Rakyat tidak peduli lagi jika pasukan PKI akan mendatangi
rumah-rumah mereka dan merampok harta benda yang dimiliki. Setiap penduduk
Madiun yang masih hidup tentu merasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,
bahwa mereka telah terhindar dari malaptaka yang begitu kejam (Pinardi,
1967:164).

Pasukan pemerintah datang dari berbagai arah untuk menghentikan


pemberontakan PKI, khususnya di daerah Kresek. Kresek sebagai daerah
pertahanan militer PKI telh dikepung oleh pasukan pemerintah. PKI yang belum
siap menghadapi serangan tiba-tiba dari pasukan Siliwangi kemudian segera
mengambil tindakan cepat. Peristiwa pembantaian yang kedua terjadi ketika
Kompi Macan Kerah menyerbu daerah pertahanan Desa Kresek (Maksum, 1990:
110). PKI dengan segera berusaha untuk membunuh semua tawanan untuk
menghilangkan jejak sbelum meninggalkan basis pertahanan itu.

Tawanan tersebut dibntai dengan cara yang serupa dengan pembantaian


sebelumnya. PKI berusaha menghabisi semua nyawa tawanan yang ada di Desa
Kresek.
Dalam suatu rumah di Desa Kresek sewaktu terjadi penjagalan
manusia, genangan darah melimpah di lantai rumah itu
diperkirakan setebal 2cm...... Sebagian tawanan juga dibawa
serta oleh PKI menuju daerah pelarian untuk membawa barang-
barang PKI yang masih bisa diselamatkan. Pembunuh
dilakukan di sembarang tempat, sehingga ditemukan banyak
mayat bergelimpangan ( Pemkab Dati II Madiun, 1980: 317).
Anggota PKI yang meninggalakan wilayah Madiun kemudian bergerak ke
wilayah lain yang cukup dekat, diantaranya Ponorogo dan Wonogiri. PKI tidak
sempat membawa mobil, persenjataan maupun semua pasokan makanan selama
pelarian. Menurut penuturan Djiono (70), Desa Kresek ini menjadi mencekam,
tidak ada warga yang berani keluar rumah. Untunglah ada pasukan Siliwangi yang
datang dan menumpas anggota PKI. Lalu gerombolan PKI melarikan diri lewat
jalur Desa Bodak, mungkin lari ke Ponorogo. Karena jalannya setapak, jadi mobil,
senjata, da beberapa barangnya ditinggal begitu saja di tanah kosong.
Di kantong pertahanan Kresek itu pula ditemukan dokumen-dokumen
penting PKI. Bahkan seorang komandan pasukan Pesindo bernama Sidik Arslan
yang dijuluki “Josip Broz Tito dari Jawa Timur”, berhasil ditawan (Maksum,
1990: 111). Sebenamya, pengosongan Kota Madiun dari pertahanan FDR/PKI
berkaitan erat dengan bobolnya basis pertahanan mereka di Dungus akibat
serangan Kompi Macan Kerah yang melakukan serangan langsung (doorstoot)
dari arah Gunung Wilis. Serangan mendadak itu menyebabkan PKI di Kresek
menjadi kalang kabut, sehingga Muso dan Djoko Sujono yang berada di Dungus
pun segera memutuskan untuk meninggalkan kubu mereka yang kuat itu. Mereka
lari ke arah selatan karena dari arah barat mereka melihat pasukan Siliwangi
sudah bergerak memasuki Madiun.Taktik dan strategi Brigade Surachmad itu
sendiri membagi serangan menjadi tiga poros .. Pertama, poros tengah yang
bertindak selaku ujung tombak adalah batalion gabungan yang dipimpin oleh
Mayor Sabaruddin serta dimotori oleh Kompi Sampumo dan Kompi Djarot.
Kompi Sampumo yang mendapat tugas menyerang Kresek dari Wilis itulah yang
diberi nama Kompi Macan Kerah (Maksum, 1990: 110).
Karena mendapat serangan yang tidak terduga seperti itu, FDR/PKI
menjadi marah. Oleh sebab itu, pasukan yang sudah kalang kabut tersebut
bergerak mundur menggiring semua tawanan sambil membantai para tawanan itu
dengan keji. Mereka yang terbunuh dengan kejam di lubang-lubang pembantaian
Madiun, baik di Dungus maupun di Kresek, adalah Mayor Warsito, Mayor Bismo,
Komisaris Polisi Sunarjo, Kolonel Marhadi, Mayor Sunadi, dan berpuluh-puluh
tokoh masyarakat yang dianggap lawan oleh FDR/PKL Namun demikian,
pembantaian itu sendiri pada akhirnya justru menjadi bumerang bagi gerakan
FDR/PKI di tengah masyarakat, sebab tidak satu pun rakyat yang bersedia
memberi makan selama mereka bergerak mundur waktu melawan tentara
Republik (Maksum, 1990: 112).
Sehingga ketika PKI mengundurkan diri ke arah selatan, yaitu ke
Ponorogo melalui Ngebel menyusuri Gunung Wilis. Jalur yang dilewati menuju
ke arah Ngebel tersebut merupakan jalan setapak yang medannya cukup sulit
ditempuh. PKI kemudian berusaha mencari bantuan dari masyarakat desa yang
dilintasi untuk mendapatkan pasokan makanan. Namun, tidak ada satu pun rakyat
yang bersedia memberi makan selama mereka bergerak mundur waktu melawan
tentara pemerintah.
PKI yang mendapat respon negatif dari masyarakat kemudian melakukan
pengrusakan. PKI tidak hanya merampas makanan dari rumah-rumah, tetapi juga
membakar rumah maupun gedung pemerintahan. Akibat pembakaran yang
mereka lakukan, lebih dari 500 buah rumah penduduk Kabupaten Madiun
sepanjang jalan pelarian mereka musnah jadi abu (Pemkab Dati II Madiun, 1980:
317).
Akibat peristiwa pembantaian atau pemberontakan PKI di Madiun ini,
banyak keluarga yang kehilangan sanak saudarnya. Banyak kantor-kantor
pemerintahan yang kehilangan pemimpin dan orang kepercayaan. Banyak tokoh-
tokoh agama, pelajar, dan para guru yang menjadi korban keganasan PKI. Banyak
anggota militer yang terbunuh di tangan para pasukan merah PKI. Setidaknya
lebih dari 100 orang dipotong lehernya oleh algojo-algojo PKI (Nasution,
1979:350).
Salah satu cara untuk mengenang peristiwa penting dalam perjalanan
sejarah suatu bangsa adalah dengan mendirikan monumen. Pendirian monumen
ini bertujuan untuk memberikan penjelasan sejarah kepada generasi selanjutnya
yang tidak mngalami peristiwa tersebut. Berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah
Daerah Kabupaten dan Kotamadya Tingkat II Madiun Nomor: HK/263/ 2/ 1975
dan Nomor: 230/ 6. D., dipandang perlu untuk mendirikan Monumen Korban
Kresek sebagai akibat keganasan PKI di Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Distrik
Kanigoro, Kabupaten Madiun (Soekowinoto, 1977: 300). Desa Kresek merupakan
lokasi terjadinya peristiwa pembantaian sadis yang memaka ribuan korban.
Pembngunan monumen berada diatas sebuah rumah yang dijadikan sebagai
tempat penjagalan manusia pada waktu itu (Pemkab Dati II Madiu, 1980: 317).
Monumen ini dibangun pada tanggal 1 Oktober 1975 bertepatan dengan
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila yang pertama kalinya diadakan di Desa
Kresek (Soekowinoto, 1977:300).

PENUTUP
Peristiwa Madiun 1948 dilatarbelakangi oleh perjanjian Renville yang
menyebabkan wilayah yang dikuasi oleh Republik semakin menyempit, berakibat
hijrahnya pasukan dari Jawa Barat yaitu Divisi Siliwangi ke daerah-daerah
Republik. Selain itu program Rekonstruksi dan Rasionalisasi dari pemerintahan
Hatta membuat ketegangan dikalangan militer semakin memanas. Situasi tersebut
dimanfaatkan oleh FDR/PKI untuk mengambil alih Madiun dan mendirikan
pemerintahan sementara yaitu Front Nasional Daerah Madiun. Pecahnya Peristiwa
Madiun mengakibatkan terbunuhnya tokoh masyarakat, pegawai pemerintahan,
pasukan-pasukan pemerintah, ulama-ulama, para santri dan masyarakat biasa.
Dampak yang ditimbulkan akibat Peristiwa Pemberontakan di Kresek
sangat besar. Kerugian bidang sosial-ekonomi adalah banyaknya perampokan,
perampasan, dan pembakaran yang dilakukan oleh PKI selam pelarian dari Desa
Kresek. Setelah PKI berhasil ditumpas oleh pasukan pemerintah dengan bantuan
penduduk setempat, dibangun Monumen Kresek di Desa Kresek pada tanggal 1
Oktober 1975. Monumen ini merupakan peringatan tentang Peristiwa
Pemberontakan PKI di Desa Kresek yang menyebabkan ribuan jiwa jatuh sia-sia.
Para generasi muda diharapkan memahami peristiwa tesebut sebagai bagian dari
perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

DAFTAR RUJUKAN
Djamhari, S.A. dkk. 2009. Komunisme Di Indonesia: Perkembangan Gerakan
Dan Pengkhianatan Komunisme di Indonesia (1913-1948). Jakarta:
Pusjarah TNI.
Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia.
1994. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Gie, Soe Hok. 1997. Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan Kisah
Pemberontakan Madiun September 1948. Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya.
Kisah Perjuangan TRIP. 1998. Paguyuban Mastrip Jawa Timur.
Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Tiara Wacana.
Maksum, dkk. 1990. Lubang-lubang Pembantaian: Petualangan PKI di Madiun.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Nasution, A.H. 1979. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 8. Bandung:
Penerbit Angkasa dan Disjarah-AD.
Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun. 1980. Sejarah
Kabupaten Madiun. Madiun: Pemda Madiun.
Pinardi, 1967. Peristiwa Coup Berdarah PKI September 1948 di Madiun. Jakarta:
Inkopak-Hazera.
Soekowinoto, A. 1977. Kresek Pusat Korban Pemberontakan PKI di
Madiun Tahun 1948: Sejarah Pemberontakan PKI 18-9-1948
di Madiun. Madiun: Panitiya Pembangunan Monumen Korban
Pemberontakan PKI Tahun 1948 di Madiun
Sugiyono. 2015. Metodologi Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta.
Syamsuddin, H. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta : Depdikbud.

Sumber Lisan
1. Nama : Yusuf Muhdi, 84
Keterangan : Anggota TRIP Madiun Jawa Timur, anggota Legiun
Veteran Madiun
2. Nama : Djiono, 70
Keterangan : Warga Desa Kresek
3. Nama : Murni, 65
Keterangan : Penjaga Monumen Peristiwa Madiun 1948 di Kresek

Anda mungkin juga menyukai