Pada awal tahun 1950-an hingga 1955 di kawasan Gunung Merapi
dan Merbabu banyak terjadi aksi kriminal yang dinamakan pemerintah sebagai aksi gerombolan yang dinamakan sebagai Gerombolan Merapi Merbabu Complex (MMC).
Aksi MMC meresahkan pemerintah saat itu karena selain
mengganggu wibawa pemerintah tetapi juga meresahkan masyarakat. Selain gangguan terhadap sasaran polisi dan militer, juga terjadi aksi perampokan terhadap masyarakat. Seperti dilaporkan Kedaulatan Rakyat 11 November 1950 di Desa Beji , Tulung, Klaten terjadi aksi perampokan yang dilakukan 100 gerombolan MMC pada 31 November 1950. Menurut keamanan setempat, aksi MMC ini sebenarnya sudah diketahui rencananay dan diadakan penjagaan untuk menghadangnya. Akan tetapi gerombolan MMC berhasil menerobos masuk desa Beji dan melakukan aksi. Korban berjatuhan dan harta benda penduduk dijarah gerombolan MMC.
Kesulitan lain yang dihadapi pemerintah adalah para anggota
MMC juga terdiri dari banyak bekas pejuang yang terkena rasionalisasi 1948 dan 1950. Gerombolan MMC menguasai medan sehingga pada aksinya dengan mudah melarikan diri ke persembunyian mereka.
Gerombolan MMC menganggap dirinya sebagai korban kebijakan
pemerintah. Mereka merasa kontribusi selama masa perjuangan tidak dihargai pemerintah. Rasa sakit hati makin bertambah ketika 1949 sesuai Konferensi Meja Bundar, bekas musuh mereka yaitu bekas Polisi Federal dan KNIl ditampung mejadi aparat pemerintah Republik Indonsia Serikat (RIS).
Untuk menunjukkan pangkat dan kuasa, gerombolan MMC
mempunyai ciri unik sebagai tanda atau petunjuk . Jumlah gigi emas menunjukkan tanda pangkat gerombolan MMC. Empat gigi emas setara pangkat mayor, tiga gigi emas setara Kapten, dua gigi emas setara Letnan . Dalam Memoar Siswoyo, tokoh Partai Komunis Indonesia dari Solo berjudul Siswoyo dalam Pusaran Arus Sejarah Kiri, menyebutkan bahawa Siswoyo pernah bertemu dengan tokoh MMC bernama Mardjo yag menunjukkan gigi emas pada mulutnya sebagai tanda bahwa Mardjo mempunyai pangkat sebagai komandan sektor.
Dalam buku berjudul Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan
karya Julianto Ibrahim disebutkan dua tokoh berpengaruh dalam MMC yaitu Suradi Bledeg pada masa kelompok Jago dan Umar Yunani pada masa Persatuan Korban Rasionalisasi. Suradi memimpin MMC hingga 1951 yang kemudian berlanjut Umar Yunani hingga 1955 saat Umar Yunani tewas dikeroyok masa.
Suradi Bledeg tewas dalam operasi keamanan di daerah Brintik,
Malangjiwan Klaten pada 1 April 1951. Kedaulatan Rakyat Edisi 3 April 1951 melaporkan tiga tokoh gerombolan MMC dimana salah satunya Suradi Beldeg yang giginya berbungkus emas berkilau telah ditewaskan dalam tembak menembak pada pukul 5 sore . Mayat ketiganya kemudian dipertontonkan kepada masyarakat di markas Batalyon 417 di Klaten sebelum diserahkan ke keluarga untuk dimakamkan. Sedang Umar Yunani lebih tragis nasibnya. Bekas perwira TNI dan Ketua Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (SARBUPRI) Bringin Salatiga menemui ajalnya setelah dikeroyok rakyat pada 2 Juni 1955 di Karanggede, Boyolali.