Anda di halaman 1dari 5

Kolonel H Barlian ( 1922 - 1975 )

Setelah lama tinggal dan lahir di kota Pagaralam mungkin baru ini tergerak untuk menulis sedit tentang
salah satu tokoh ini. mingkin yang berada di kawasan Lahat maupun kota Pagaralam mungkin tidak asing
lagi dengan nama tokoh yang saya maksud ini yakni Kolonel H Barlian yang banyak di pakai sebagai
nama jalan Protokol di wilaya tersebut atau yang banyak bertuliskan atas nama Kolonel H Burlian yang
juga tercantum sebagai nama jalan di wilaya kota Palembang ( KM.5 - KM 10 ).

Untuk saat ini belum banyak sumber yang bisa diperoleh. Namun ada beberapa catatan yang tertinggal di
Museum Monpera Palembang mengenai tokoh tersebut. seperti yang tercantum dibawah ini :

Kol Barlian. Ia dilahirkan di Tanjung Sakti, Pagaralam, 23 Juli 1922. Orang tuanya H Senapi merupakan
orang terpandang di Tanjung Sakti. H Senapi yang diberi gelar Pembarap merupakan adik Pangeran
Kenawas. Dalam susunan keluarga, Barlian merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara.

Menamatkan HIS di Bengkulu (1937) dan masuk MULO di Malang dan lulus 1941. Sempat melanjutkan
ke Sekolah Dagang di Bandung, tapi putus tahun 1942 karena meletus perang Asia Timur Raya. Pernah
bekerja di kantor Residen Bengkulu sebagai calon wedana, hingga 1943. Pada masa pendudukan Jepang,
ia masuk Sekolah Opsir Gyugun (Sumatera Kambu Gyugun).

Tahun 1945, ia mengepalai Badan Keamanan Rakyat (BKR) di daerah Bengkulu. Pada waktu yang sama
menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan pangkat mayor. 1946 memimpin perlawanan bersama
pemuda dan rakyat terhadap pasukan Jepang di daerah Curup (Kepahyang) dan sekitarnya.

Kembali ke Bengkulu tahun 1946 dan menjadi komandan Resimen Divisi I Sumatera Selatan. "Menurut
cerita, naik pangkat menjadi kolonel dan menjabat komandan Divisi Garuda I Sumatera Bagian Selatan di
Lahat," ujarnya. Setelah Divisi Garus I dan II disatukan lagi di bawah kepemimpinan Letkol Bambang
Utoyo 1947, ia menjabat kepala staf umum Divisi Garuda Sumbagsel, termasuk Jambi.

Juni 1948, setelah agresi militer Belanda I, dengan diadakan penyusunan kekuatan kembali, ia berpangkal
letkol, dipercaya menjadi komandan Brigade Emas di Bengkulu. Jelang agresi militer Belanda II, menjadi
wakil gubernur militer di Bengkulu, 1950, menjabat asisten kepala staf Q (logistik) di Markas Besar AD.
1951-1952, menyelesaikan Sekolah Staf dan Komandan AD (SSKAD) angkatan I. Lalu dipercaya
menjabat sekretariat Logistik Gabungan Kepala-Kepala Staf (GKS) Kementerian Pertahanan pada tahun
1953-1954. Lalu menjadi pembantu Asisten Urusan Perbendaharaan Mabes AD.

"Disebutkan dalam buku itu, atas permintaan sendiri, non aktif menjadi TNI karena dicalonkan oleh
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) Sumsel sebagai anggota DPRD pada konstituante Juli
hingga Desember 1955", tutur Adenan.

1 Maret 1956, aktif kembali dan menjadi kepala Staf Komando Teritorium II Sriwijaya di palembang.
Pada 1958 menjadi panglima. Ketika terjadi pergolakan, 31 desember 1958, ia dipindahkan ke Jakarta
karena statemennya yang tidak menginginkan Daerah Teritorium II Sriwijaya dijadikan tempat
pertumpahan darah yang bisa menimbulkan perpecahan.

Letkol Barlian kemudian meletakkan jabatan dan mendapatkan hak pensiun dengan pangkat terakhir
kolonel", beber Adenan. Pada 1966-1967, menjadi anggota MPRS di Jakarta. Ia meninggal 24 September
1975, dalam status sebagai seorang purnawirawan TNI. Tepatnya dalam sebuah musibah pesawat terbang
milik GIA jenis Fokker 28 "Mahakam" di kawasan Km 14 Palembang.

Biografi A.M Thalib - Mantan Tokoh Militer Indonesia dan Tokoh Pengusaha

A.M thalib adalah mantan tokoh militer Indonesia dan tokoh pengusaha yang lahir di Palembang, 23
Februari 1922 meninggal di Jakarta, 17 Juni 2000 pada umur 78 tahun.

A.M Thalib merupakan salah satu pejuang yang semasa hidupnya pernah menjadi seorang jurnalis atau
wartawan dan seorang wirausaha. Beliau bersama-sama rakyat dan pejuang di Sumatra Selatan pernah
mengangjat senjata melawan pasukan Belanda yang melakukan agresi militer pada tahun 1948. Selain itu,
A.M Thalib secara tegas menolak ajakan Dewan Banteng untuk memutuskan hubungan dengan
pemerintah pusat (Jakarta). A.M Thalib juga aktif di dunia sosial politik di Tanah Air.

Melawan Kelompok Radikal yang Ingin Melepaskan Diri dari Indonesia

Pada tahun 1957, di Sumatra Selatan terjadi pergerakan-pergerakan yang dilakukan oleh beberapa
kelompok kecil yang sporadis dengan tujuan disintegrasi bangsa. Oleh karenanya, A.M Thalib beserta Mr
Malikuswari Mochtar dapat meyakinkan Letkol Barlian (panglima) dan Mayor Alamsyah yang pada saat
itu akan berangkat ke Sungai Dareh Sumatra Barat. Dengan begitu, tentara Sriwijaya/Sumatra Selatan
tidak ikut dalam gerakan PRRI.

A.M Thalib bersama dengan delegasi dan tokoh-tokoh Sumatra Selatan, seperti Letkol Barlian selaku
Panglina TT II Sriwijaya, Mr M Ali Amin selaku pejabat gubernur Sumatra Selatan, Residen Rozak, Mr
Malikuswari Mochtar, dan lain-lain berangkat ke kota Padang. Pertemuan tersebut dilakukan atas ajakan
dewan Banteng yang ingin memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat (Jakarta). A.M Thalib beserta
rombongan tidak ingin hal itu terjadi karena hanya akan menyengsarakan penduduk Sumatra Selatan
secara keseluruhan. Pada saat itu, A.M Thalib berbicara langsung mewakili delegasi dan atas nama rakyat
Sumatra Selatan menolak ajakan tersebut. A.M Thalib secara detail dan gamblang tentang kerugian bila
rencana Dewan Banteng dilanjutkan. Akhirnya, A.M Thalib bersama rombongannya secara tegas ajakan
Dewan Banteng.

Peristiwa Penyerangan Belanda ke Sumatra Selatan Tahun 1949

Pasca Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, penjajah Indonesia yang dulu pernah
menguasai tanah Indonesia kembali datang. Belanda dengan berbagai kekuatan tempurnya melancarkan
Agresi militer di beberapa wilayah Indonesia, salah satunya di Sumatra Selatan. Pada saat itu, A.M Thalib
menjabat Kepala Penerangan Gubernur Militer Sumatra Selatan dan masih merangkap di Intel. Pada pagi
tanggal 29 Desember 1948, informasi datang dari Intel pusat bahwa akan terjadi penyerangan besar-
besaran yang dilakukan oleh Belanda. Pasalnya, Belanda sudah melancarkan agresinya di Pulau Jawa.
Maka tidak menutup kemungkinan juga akan menyerang wilayah lain di Indonesia. Akhirnya terbukti
benar, Belanda menyerang Sumatra Selatan dengan menurunkan pasukan dari angkatan darat dan
angkatan udaranya.

Namun sebelum Belanda datang untuk melancarkan agresi di Sumatra Selatan, A.M Thalib beserta
jajaran teras militer di Sumatra Selatan telah bersepakat untuk melakukan strategi bumi hangus, yaitu
dengan slogan Kita Bakar Sumatra Selatan. Artinya, semua fasilitas yang bisa digunakan oleh Belanda
akan dihancurkan secara total, baik itu gedung-gedung, jalan raya, jembatan, bahkan kebun-kebun juga
tidak luput dibumihanguskan. Secara tidak langsung perekonomian yang dikelola oleh kaum kapitalis,
juga sebagian dari sisa-sisa juragan Belanda menjadi kolaps dan gulung tikar. Sementara itu, Belanda
akhirnya datang dan menyerang Sumatra Selatan dengan membabi buta. Namun, A.M Thalib dengan
semua pejuang di sana tetap gigih berjuang melawan penjajah Belanda hingga titik darah penghabisan.

A.M Thalib yang juga menjadi kepala Intel di militer Sumatra Selatan berhasil menguasai radio setempat
dan menyiarkan jika di Sumatra Selatan telah terjadi perang besar-besaran antara para pejuang RI dengan
agresor Belanda. Saat itu, ibukota Indonesia berada di kota Yogyakarta. Perpindahan tersebut bertujuan
untuk menyelamatkan Indonesia dari kehancuran. Hal itu dikarenakan, sebuah negara dapat diakui jika
memiliki ibukota negara. Oleh karena itu, pemerintah yang dipimpin oleh Soekarno Hatta memindahkan
ibukota negara dari Jakarta ke Yogyakarta.

Berita tersebut hingga tersiar ke luar negeri, yaitu India. Mengetahui terjadi agresi seperti itu yang
dilancarkan Belanda, Perdana Menteri India saat itu, yaitu Jawaharlal Nehru mendesak Dewan Keamanan
PBB untuk mengutuk tindakan agresi militer yang dilancarkan Belanda tersebut. atas desakan Konferensi
New Delhi pada tanggal 29 Januari 1949, Dewan Keamanan PB akhirnya mengeluarkan resolusi keras
terhadap Belanda yang berisi sebagai berikut:

Pertama, melakukan gencatan senjata di Indonesia.


Kedua, Belanda harus secepatnya membebaskan para pemimpin RI yang ditangkap.
Ketiga, pemerintahan di Yogyakarta sebagai ibukota RI saat itu, harus pulih kembali.
Keempat, mendesak pihak Belanda untuk segera mempersiapkan persidangan Meja Bundar yang
bertujuan untuk mengesahkan kedaulatan Indonesia. Sementara itu, selaku jawatan intel SUB-
KOSS, pada tahun 1948 A.M Thalib ditugaskan oleh markas besar TNI yang berkedudukan di
Yogyakarta melalui Panglima Kolonel Simbolon, untuk mempersatukan kelompok-kelompok
laskar pejuang yang bemunculan di berbagai daerah di Sumatra Selatan. Akhirnya beberapa
laskar pejuang, seperti Napindo, Pesindo, Hisbullah, dan TKR melebur menjadi TNI.

Karir di Dunia Sosial, Politik, dan Ekonomi Indonesia Pasca Kemerdekaan RI

Setelah mengundurkan diri dari dunia militer, A.M Thalib tidak berhenti untuk berkiprah di Tanah Air.
Beliau terus berkarya dan ikut membangun negeri, meskipun dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi.
Beberapa kiprahnya yang bisa terangkum di Biografi A.M Thalib, antara lain sebagai berikut.

Pada tahun 1951, A.M Thalib mendirikan sebuah perusahaan Firma Kebangkan & Co
Palembang. Pada saat itu, beliau langsung menjadi direkturnya. Selanjutnya pada tahun 1951
1956, beliau menjabat sebagai Ketua Persatuan Pengusaha Pedagang Andalan Selatan (PPPIAS),
Wakil Ketua Partai Persatuan Kaum Tani Indonesia, (PKT), serta anggota DPR Kodya
Palembang pada Masa Peralihan.
Memasuki tahun 1955, A.M Thalib masuk menjadi anggota PSI. Sementara pada tahun 1959
menjadi anggota IP-KI. Dalam konferensi IP-KI Sumatra Selatan di tahun 1963, A.M Thalib
terpilih menjadi Ketua Umum IP-KI wilayah Sumatra Selatan. Sementara pada tahun 1957
1958, beliau masih aktif di gerakan daerah Sumatra Selatan dalam perjuangan pembangunan
daerah (otonomi daerah) dan menentang PKI.
Pada tahun 1967, A.M Thalib menjabat sebagai Ketua Seksi Sosial Politik Corps Sriwijaya sub
Komando Jakarta Raya. Selanjutnya pada tahun 1968, mendirikan Indonesia Business Centre
(IBC) Provinsi Sumatra Selatan, serta beliau langsung menjadi ketua umumnya. Pada tahun 1969,
oleh Departemen Perdagangan RI saat itu, A.M Thalib ditunjuk sebagai Ketua Koordinator
sindikat Gula Pasir Seluruh Indonesia. Sementara pada tahun 1971, beliau menjabat Ketua
Presidium Konsentrasi Usahawan SOKSI di Jakarta.
Pada tahun 1971 1973, A.M Thalib menjabat menjadi Wakil Koordinator Usahawan Golkar dan
Wakil Ketua KADIN Pusat. Saat itu yang menjadi ketua KADIN adalah Mayjen Sofyar yang
juga menjabar Direktur Perusahaan Penerbangan Mendala/Seulawah. Selain itu, A.M Thalib
menjadi Anggota Paripurna Angkatan 45 Sumatra Selatan. Beliau juga memprakarsai pendirian
Yayasan SUB-KOSS Garuda Sriwijaya dan Meseum Perjuangan di lubuk Linggau. Sementara di
kepengurusan yayasan, beliau menjabat sebagai Ketua bagian umum, yang pada saat itu yang
menjadi ketua umumnya adalah Kol. Purn. Simbolon. A.M Thalib juga menjadi anggota Dewan
Penasehat Yayasan pada tanggal 19 Desember 1948 di Yogyakarta. Bahkan, A.M Thalib menjadi
anggota.simpatisan PDI Perjuangan dan ikut Kongres di Bali sebagai undangan khusus atau VIP.

Karier Militer

Pada tahun 1939 A.M Thalib pernah menjadi Wakil Ketua Pemuda Sumber Karisidenan Pelembang dang
anggota Direksi koperasi Setia, yaitu merupakan koperasi terbesar di Palembang. Selanjutnya, pada tahun
1939 1942, beliau menjadi Sekretaris Majelis Daerah Partai Parindra, anggota GAPI singkatan dari
Gabungan Partai Politik Indonesia, dan menjabar sebagai Wakil Ketua Parindra. Pada tahun 1942 1944,
A.M Thalib yang saat itu masih aktif di dunia jurnalisme menjabat sebagai redaktur surat kabar Sinar
Matahari dan majalah Fajar Menyingsing di Hodohan, Pelambang. Perlu Anda ketahui bahwa pada masa
itu dunia jurnalisme sedang gencar-gencarnya di kejar-kejar penjajah Jepang. Pasalnya, hampir semua
media cetak yang dimiliki oleh orang pribumi selalu menyuarakan pergerakan nasional dan indonesia
Merdeka.

Pada tahun 1944 1945, A.M Thalib terpilih sebagai kepala desa 9 Ilir, Pelambang. Beliau juga ikut
mendirikan Fonds Kemerdekaan Indonesia, bersama Mattjik agus, H. Tohir, dan Idris Asik. Setelah itu,
yaitu tepatnya pada tahun 1945, A.M Thalib diangkat menjadi Kapten TNI dengan jabatan sebagai Kepala
Penerangan Tentara Sub Komando Sumetra Selatan (SUB-KOSS). Sementara pada tahun 1947, beliau
diangkat menjadi Kepala Seksi Mibilisasi Divisi Garuda Sumatra Selatan. Karir militer A.M Thalib terus
merangkak naik. Pasalnya, beliau juga merangkap jabatan sebagao Kepala Staf Umum (Intel Servis)
Divisi Garuda SS. (WIkipedia)

Anda mungkin juga menyukai