Anda di halaman 1dari 10

Lakon “SEPASANG MERPATI TUA”

Karya Bakdi Soemanto

SEPASANG MERPATI TUA


KARYA : BAKDI SOEMANTO
Para pelaku:
NENEK 
KAKEK 

Panggung menggambarkan sebuah ruangan tengah rumah sepasang orang tua. Di atas sebelah kiri
ada meja makan kecil dengan dua buah kursi. Di atas meja ada teko, sepasang cangkir, dan stoples berisi
panganan. Agak di tengah ruangan itu terdapat sofa, lusuh warna gairahnya. Di belakang terdapat pintu dan
jendela. 
Waktu drama ini dimulai, NENEK duduk sambil menyulam. Sebentar-bentar ia menengok ke
belakang, kalau-kalau suaminya datang. Saat itu hari menjelang malam.

NENEK : (Bicara sendiri). Ah, dasar! Kayak nggak ingat sudah pikun. Pekerjaannya tidak
ada lain selain bersolek. Dikiranya masih ada gadis-gadis yang suka
memandang. Hmmm… (Mengambil cangkir, lalu meminumnya)

KAKEK  :  (Masuk). Bagaimana kalau aku pakai kopiah seperti ini, Bu?

NENEK    :  Astaga! Tuan rumah mau pesiar ke mana menjelang malam begini?

KAKEK    :  tidak kemana-mana. Cuma mau duduk-duduk saja, sambil baca koran. 

NENEK    :  mengapa membaca koran mesti pakai kopiah segala?

KAKEK    :  Agar komplit, Bu

NENEK    :  yaaah. Waktu dulu kau jadi juru tulis, empat puluh tahun lampau. Tapi sekarang,
kopiah hanya bernilai tambah penghangat belaka.

KAKEK    :  (Berjalan menuju ke meja, mengambil koran, lalu pergi ke sofa, membuka
lembarannya)

NENEK    :  Mengapa tidak duduk di sini?

KAKEK    :  Sebentar.

NENEK    :  Ada berita rahasia

KAKEK    :  rahasia?

1
Lakon “SEPASANG MERPATI TUA”
Karya Bakdi Soemanto

NENEK    :  habis kau baca koran kenapa menyendiri?

KAKEK    :  Malu.

NENEK    :  Malu? Kau aneh. Malu pada siapa?

KAKEK    :  dilihat banyak orang tuuuh. (Menunjuk penonton). Sudah tua kenapa
pacaran terus….

NENEK    :  (Berdiri menghampiri KAKEK, lalu duduk di sebelahnya, lalu menyandarkan


kepalanya ke bahu KAKEK sebelah kiri).

KAKEK    :  Gila. Malah demonstrasi.

NENEK    :  Sekali waktu memang perlu.

KAKEK    :  Ya, tapi kan bukan untuk saat ini?

NENEK    :  Kukira justru!

KAKEK    :  Duilah apa-apaan ini.

NENEK    :  Agar orang tetap tahu, aku milikmu.

KAKEK    :  Siapa mengira kita sudah cerai?

NENEK    :  Ah, wanita. Bagaiamanapun sudah tua, aku tetap wanita. (Berdiri, pergi ke
kursi dan duduk). Dunia wanita yang hidup dalam angan-angan, takut
kehilangan, tapi menuntut kenyataan-kenyataan.

KAKEK    :  Bagus!

NENEK    :  Apa maksudmu?

KAKEK    :  Tindakan terpuji, itu namanya. 

NENEK    :  He, apa sih maksudmu, Pak?

KAKEK    :  Mengaku dosa di depan orang banyak!

NENEK    :  Hu… hu… hu… (Menangis)


2
Lakon “SEPASANG MERPATI TUA”
Karya Bakdi Soemanto

KAKEK    :  He, ada apa kau, Bu? Ada apa? Digigit nyamuk rupanya?

NENEK    :  Kau memperolok-olok aku di depan orang banyak begini. Siapa aku ini?
Istrimu bukan? Kalau aku dapat malu, kan kau juga ikut dapat malu toh.   Hu… 
hu… hu…

KAKEK    :  Bukan maksudku memperolok-olok kau, Bu. Aku justru memuji tindakanmu
yang berani. 

NENEK    :  (Tiba-tiba berhenti manangis). Berani? Aku pemberani?

KAKEK    :  Ya, kau pantas disejajarkan dengan ibu kita kartini

NENEK    :  Ibu Tin? 

KAKEK    :  Bukan, bukan bu tin, Ibu kita Kartini.

NENEK    :  Tetapi, kan ibu kita Kartini juga bisa kita sebut Bu Tin, kan. Apa salahnya?

KAKEK    :  Hush, diam! Ingat ini di depan orang banyak. Maka jangan main semberono
dengan sebutan-sebutan yang multi interpretable….

NENEK    :  Ah, laga profesormu kumat lagi, Pak?

KAKEK    : Yaaa, aku dulu memang punya cita-cita jadi professor. 

NENEK    :  Dan kandas. 

KAKEK    :  Belum. O, malah sudah berhasil, Cuma tunggu pengakuan.

NENEK    :  Siapa yang akan mengakui keprofesoranmu? Kau tidak mengajar di


perguruan tinggi manapun di dunia ini. 

KAKEK    :  Secara formal memang tidak. Secara material ia. 

NENEK    :  Hah, bagaimana mungkin?

KAKEK    :  Kau lihat, banyak mahasiswa yang datang kemari, bukan? Tidak hanya itu,
malahan para guru besar pada datang ke mari. Mereka mengajak diskusi

3
Lakon “SEPASANG MERPATI TUA”
Karya Bakdi Soemanto

aku, segala macam soal. Dari soal-soal tata pemerintahan sampai bagaimana
mengatasi kesepian. 

NENEK    :  Bukankah itu Cuma omong-omong, mengapa mesti dikatakan diskusi?

KAKEK    : Siapa bilang orang memberi kuliah di depan kelas tidak pake omong, he…?

NENEK    :  Mestinya kau tidak usah jadi professor saja, Pak. Jadi diplomat ulung saja

KAKEK    : Aku kurang senang jadi diplomat.

NENEK    :  Tapi kau lebih terkemuka, lebih ternama, lebih terkenal. 

KAKEK    :  Diplomat terlalu banyak menipu hati nuraninya sendiri. (NENEK termenung
tiba-tiba)

KAKEK    :  Ada apa kau? Kau tidak senang aku jadi professor. Kau kepingin aku jadi
diplomat? Baik. Aku akan jadi diplomat demi keselamatan perkawinan kita. 

KAKEK    :  Aku akan segera jadi diplomat sekarang juga. Di mana posku? Negara-negara
Barat?Timur? Asia? Atau PBB…?

NENEK    :  Ya, PBB saja…

KAKEK    :  Tapi…. (Lalu duduk di sofa termenung).

NENEK    :  Itu lebih terhormat di PBB. Siapa tahu kau akan dipilih jadi ketua sidang,
lantas kelak jadi sekretaris jenderal…(KAKEK geleng kepala)

NENEK    :  Kurang besar kedudukan itu. Atau diplomat surgawi saja? (KAKEK
memandang NENEK)

NENEK    :  tapi itu lebih sukar, sebab Tuhan susah diajak berdebat. Tuhan Cuma diam
saja. Orang hanya mengerti apa mau Tuhan kalau sudah terlaksana. Sedang
rencana-rencana selanjutnya. Masih gelap bukan? Bagaimana kau
 mengajukan argumentasi-argumentasimu jika mau ajak Tuhan berdiskusi? 
 (KAKEK     geleng kepala) 

NENEK    :  Nah, paling terhormat jadilah diplomat wakil republik kita tercinta di PBB…
(KAKEK geleng kepala)

4
Lakon “SEPASANG MERPATI TUA”
Karya Bakdi Soemanto

NENEK    :  Aku sungguh tidak mengerti cita-citamu, Pak. 

KAKEK    :  Aku ingin jadi diplomat yang diberi pos di kolong jembatan saja…

NENEK    :  Ah, gila. Itu pekerjaan gila. 

KAKEK    :  Banyak diplomat yang dikirim ke pos-pos manapun di dunia ini. Tapi
pemerintah belum punya wakil untuk bicara-bicara dengan mereka yang ada di
kolong jembatan, bukan? Ini tidak adil.Maka aku menyatakan diri.Maka aku
menyediakan diri untuk mewakili pemerintahan ini sebagai diplomat kolong
jembatan.

NENEK    :  Tapi kau akan terhina

KAKEK    :    Selama kedudukan adalah diplomat, di manapun ditempatkan sama saja
terhinanya sama saja mulianya

NENEK    :  Aku tidak rela kalau kau ditempatkan di pos terhina itu. 

KAKEK    :  Kau belum tahu, justru paling mulia di antara pos-pos di manapun juga. 

NENEK    :  Kau sudah tidak waras. 

KAKEK    :  Seorang diplomat pada hakikatnya adalah seorang yang pandai ngomong.
Pandai meyakinkan orang, pandai membujuk. Orang-orang di kolongjembatan
itu perlu dibujuk agar hidup baik-baik. Berusaha mencari pekerjaan yang layak
dan timbul kepercayaan diri-sendiri.Tidak sekedar dihalau, diusir, kalau malau
ada orang gede lewat saja. Jadi untuk mengatasi tidakan-tindakan kasar ini,
perlu ada wakil yang bisa membujuk…

NENEK    :  Ah… bagaimana, nanti kalau aku arisan dan ditanya teman-teman
bagaiamana jawabku, Pak. Coba bayangkan, bayangkan…

KAKEK    :  Istriku, aku mengerti, bagaimana kau akan turun gengsi nanti. Tapi kau tidak
usah khawatir, kalau kau datang ke arisan yang lima ribuan, dan kau ditanya
orang-orang apa pekerjaanku jawab saja diplomat, titik. Kolong jembatannya
tidak usah disebut, kalau kau datang ke arisan yang seratusan, saya kira tak ada
salahnya kalau kau ngomong diplomat kolong jembatan…

NENEK    : Tapi kalau teman-teman arisan lima ribuan tanya, di mana posnya…?

5
Lakon “SEPASANG MERPATI TUA”
Karya Bakdi Soemanto

KAKEK    :  Ah… (memegangi kepala). Begini, diplomat bagian sosial… hebat toh?

NENEK    :  Masak ada diplomat sosial?

KAKEK    :  kau ini bagaimana, diplomat itu serba mungkin asal kau pintar main lidah,
beres. Coba, kau kan tahu ada diplomat pimpong, ada diplomasi SPP,diplomasi
macam-macam saja ada. 

NENEK    :  Ah, susah aku tak ingin kau jadi diplomat, Pak. 

KAKEK    :  tapi, aku sudah terlanjur cinta dengan pekerjaan itu.  


(NENEK termenung)

KAKEK    :  (Memandang NENEK). Susah…

NENEK    :  Siapa?

KAKEK    :  Kita semua

NENEK    :  Termasuk para penonton itu?

KAKEK    :  Ya. 

NENEK    :  Kenapa?

KAKEK    :  Karena kita hidup

NENEK    :  Mengapa begitu?

KAKEK    :  Orang hidup punya beban sendiri. (Pergi mengambil teko, menuang kopi, lalu
meminumnya)
(NENEK memandang tindakan-tindakan sang suami. KAKEK membuka stoples
lalu memakan makanannya) 

NENEK    :  Seorang diplomat harus tahu aturan. 

KAKEK    :  Apa maksudmu?

NENEK    :  Makan tidak boleh sambil berdiri. Ini adalah adat timur. 

KAKEK    :  Sudah nyopot dari pekerjaan. 


6
Lakon “SEPASANG MERPATI TUA”
Karya Bakdi Soemanto

NENEK    :  Mau pindah pekerjaan?

KAKEK    :  Ya.

NENEK    :  Apa?

KAKEK    :  Teknokrat. 

NENEK    :  Gila. 

KAKEK    :  Aku mau jadi teknokrat dalam bidang….

NENEK    :  Ekonomi?

KAKEK    :  Bukan!

NENEK    :  Politik?

KAKEK    :  Bukan

NENEK    :  Militer?

KAKEK    :  Bukan

NENEK    :  Lalu apa?

KAKEK    :  Bidang persampahan

NENEK    :  Apa?

KAKEK    :  Bidang sampah-sampah! Ini perlu sekali, salah satu sebab adanya banjir di kota
ini, karena orang-orang kurang tahu artinya selokan-selokan itu. Kau lihat di
jalan-jalan yang sering tergenang air itu. Coba selokan itu kita keduk,
sampahnya luar biasa banyaknya…
(NENEK termenung)

KAKEK    :  Kau tidak senang?

NENEK    :  Mengapa kita berpikir yang bukan-bukan?

7
Lakon “SEPASANG MERPATI TUA”
Karya Bakdi Soemanto

KAKEK    :  Karena kita tak lagi sanggup melihat kenyataan-kenyataan. 

NENEK    :  Mengapa?

KAKEK    : Kenyataan yang kita lihat, adalah tipuan belaka adanya

KAKEK    :  Hidup kita diwarnai dengan cara berpikir yang sadis. 

NENEK    :  Ah, makin pusing mendengarkan bicaramu

KAKEK    :  Kita berpikir karena kita mengerti. Tapi karena berpikir perlu sistem, sistem
membelenggu kita. Kita jadi tolol. Saya lagu-lagu. Saya rindu puisi-puisi.
Orang-orang zaman ini tidak mengerti puisi-puisi. Kita sudah jadi robot semua.
Berjalan dengan satu disiplin mati. Dengan teori yang tidak kita pahami
sendiri… keutuhan manusia sudah dikerdilkan. Hubungan seks tinggal bernilai
nafsu. Kesenian diukur filsafat seketika, atau kesenian sudah dikonsepkan. Juga
hidup kita didoktrinkan… ini tidak bisa. Akibatnya, kita tenggelam kepada
ukuran-ukuran mini. Kita rindu Sofokles, Aristoteles, Albert Camus, Amir
Hamzah, Chairil Anwar,… Geoethe, Shakespeare. Mereka harus ditakdirkan
kembali di sini. Citra manusian yang terpancar dari karya-karya mereka harus
dipancarkan kembali di sini. 

NENEK    :  Suamiku… Suamiku… Suamiku… Sudahlah… 

KAKEK    :  Hidup manusia harus dikembalikan keutuhannya. Manusia harus….

NENEK    :  Sudahlah… (Menuntun ke sofa)

KAKEK    :  Manusia harus menghayati hidupnya, bukan menghayati disiplin mati itu…
doktrin-doktrin itu harus…harus…

NENEK    : Suamiku, sudahlah nanti penyakit napasmu kumat lagi. Kalau kau terlalu
semangat begitu…

KAKEK    : Kreatifitas harus dibangkitkan. Bukan dengan konsep-konsep tetapi dengan


merangsangnya…dengan menggoncangkan jiwanya agar tumbuh keberaniannya
menjadi diri sendiri. Tidak menjadi manusia bebek. Yang cuma meniru, meniru,
meniru…(KAKEK rebah, NENEK menjerit).

NENEK    : (Terseduh)

8
Lakon “SEPASANG MERPATI TUA”
Karya Bakdi Soemanto

KAKEK    : (Bangkit tetapi tidak diketahui oleh NENEK). Mengapa kau menangisi aku,
tangisilah dirimu sendiri.

NENEK    : Kau masih hidup…?

KAKEK    : Aku tidak begitu yakin, selama aku terbelenggu oleh doktrin. Aku hanya
mengerti, apa aku hidup atau tidak, kalau aku menghayati hidupku sendiri….

NENEK    : Tetapi kau berbicara, kau bernapas….

KAKEK    : Bukan itu ukuran adanya kehidupan.

NENEK    : Jangan bicara yang sukar-sukar, aku tidak mengerti.

KAKEK    : Tentu saja, karena kau belum mengerti hidup.

NENEK    : Delapan puluh tahun kujalani hidup. Benarkah aku belum mengerti.

KAKEK    : Umur pun bukan ukuran, selama kau menjalani hidup kau mengikuti doktrin-
doktrin itu….

NENEK    : Bagaimana seharusnya, Sayangku?

KAKEK    : Renungkan dirimu sendiri dan sudah itu menangis!

NENEK    : Nanti saja, kalau sudah tak ada orang banyak….(Terdengar suara jam dinding
dua belas kali).

NENEK    : Sudah larut tengah malam.

KAKEK    : Ya. Dan sebentar lagi ambang pagi akan datang.

NENEK    : Kita akan menjadi segar kembali.

KAKEK    : Dan tambah tua….(NENEK termenung. KAKEK termenung)

NENEK    : Kapan kita mati?

KAKEK    : Entah. Tapi kita harus siap-siap.

NENEK    : Sungguh ngeri!


9
Lakon “SEPASANG MERPATI TUA”
Karya Bakdi Soemanto

KAKEK    : Memang. Tapi itulah kenyataannya.

NENEK    : Aku takut.

KAKEK    : Aku juga…. (Terdengar lonceng jam dinding dua belas kali)

NENEK    : Dua belas kali….

NENEK    : Aneh! Ini tidak mungkin. Apa aku salah mendengar?

KAKEK    : Memang begitu. Kau tidak salah dengar.

NENEK    : Tapi ini di luar kebiasaan. Tadi sudah berbunyi dua belas kali, mestinya bunyi
lagi satu kali…, begitu kan?

KAKEK    : Mudah-mudahan kau tahu, begitulah hidup. Kebiasaan-kebiasaan, ukuran-


ukuran, konsep-konsep tidak terlalu cocok….

NENEK    : Bagaimana cara kita mengerti…?

KAKEK    : Itulah soalnya…. 

(Layar turun, lampu mati)

10

Anda mungkin juga menyukai