Panggung menggambarkan sebuah ruangan tengah rumah sepasang orang tua. Di atas sebelah kiri
ada meja makan kecil dengan dua buah kursi. Di atas meja ada teko, sepasang cangkir, dan stoples berisi
panganan. Agak di tengah ruangan itu terdapat sofa, lusuh warna gairahnya. Di belakang terdapat pintu dan
jendela.
Waktu drama ini dimulai, NENEK duduk sambil menyulam. Sebentar-bentar ia menengok ke
belakang, kalau-kalau suaminya datang. Saat itu hari menjelang malam.
NENEK : (Bicara sendiri). Ah, dasar! Kayak nggak ingat sudah pikun. Pekerjaannya tidak
ada lain selain bersolek. Dikiranya masih ada gadis-gadis yang suka
memandang. Hmmm… (Mengambil cangkir, lalu meminumnya)
KAKEK : (Masuk). Bagaimana kalau aku pakai kopiah seperti ini, Bu?
NENEK : Astaga! Tuan rumah mau pesiar ke mana menjelang malam begini?
KAKEK : tidak kemana-mana. Cuma mau duduk-duduk saja, sambil baca koran.
NENEK : yaaah. Waktu dulu kau jadi juru tulis, empat puluh tahun lampau. Tapi sekarang,
kopiah hanya bernilai tambah penghangat belaka.
KAKEK : (Berjalan menuju ke meja, mengambil koran, lalu pergi ke sofa, membuka
lembarannya)
KAKEK : Sebentar.
KAKEK : rahasia?
1
Lakon “SEPASANG MERPATI TUA”
Karya Bakdi Soemanto
KAKEK : Malu.
KAKEK : dilihat banyak orang tuuuh. (Menunjuk penonton). Sudah tua kenapa
pacaran terus….
NENEK : Ah, wanita. Bagaiamanapun sudah tua, aku tetap wanita. (Berdiri, pergi ke
kursi dan duduk). Dunia wanita yang hidup dalam angan-angan, takut
kehilangan, tapi menuntut kenyataan-kenyataan.
KAKEK : Bagus!
KAKEK : He, ada apa kau, Bu? Ada apa? Digigit nyamuk rupanya?
NENEK : Kau memperolok-olok aku di depan orang banyak begini. Siapa aku ini?
Istrimu bukan? Kalau aku dapat malu, kan kau juga ikut dapat malu toh. Hu…
hu… hu…
KAKEK : Bukan maksudku memperolok-olok kau, Bu. Aku justru memuji tindakanmu
yang berani.
NENEK : Tetapi, kan ibu kita Kartini juga bisa kita sebut Bu Tin, kan. Apa salahnya?
KAKEK : Hush, diam! Ingat ini di depan orang banyak. Maka jangan main semberono
dengan sebutan-sebutan yang multi interpretable….
KAKEK : Kau lihat, banyak mahasiswa yang datang kemari, bukan? Tidak hanya itu,
malahan para guru besar pada datang ke mari. Mereka mengajak diskusi
3
Lakon “SEPASANG MERPATI TUA”
Karya Bakdi Soemanto
aku, segala macam soal. Dari soal-soal tata pemerintahan sampai bagaimana
mengatasi kesepian.
KAKEK : Siapa bilang orang memberi kuliah di depan kelas tidak pake omong, he…?
NENEK : Mestinya kau tidak usah jadi professor saja, Pak. Jadi diplomat ulung saja
KAKEK : Diplomat terlalu banyak menipu hati nuraninya sendiri. (NENEK termenung
tiba-tiba)
KAKEK : Ada apa kau? Kau tidak senang aku jadi professor. Kau kepingin aku jadi
diplomat? Baik. Aku akan jadi diplomat demi keselamatan perkawinan kita.
KAKEK : Aku akan segera jadi diplomat sekarang juga. Di mana posku? Negara-negara
Barat?Timur? Asia? Atau PBB…?
NENEK : Itu lebih terhormat di PBB. Siapa tahu kau akan dipilih jadi ketua sidang,
lantas kelak jadi sekretaris jenderal…(KAKEK geleng kepala)
NENEK : Kurang besar kedudukan itu. Atau diplomat surgawi saja? (KAKEK
memandang NENEK)
NENEK : tapi itu lebih sukar, sebab Tuhan susah diajak berdebat. Tuhan Cuma diam
saja. Orang hanya mengerti apa mau Tuhan kalau sudah terlaksana. Sedang
rencana-rencana selanjutnya. Masih gelap bukan? Bagaimana kau
mengajukan argumentasi-argumentasimu jika mau ajak Tuhan berdiskusi?
(KAKEK geleng kepala)
NENEK : Nah, paling terhormat jadilah diplomat wakil republik kita tercinta di PBB…
(KAKEK geleng kepala)
4
Lakon “SEPASANG MERPATI TUA”
Karya Bakdi Soemanto
KAKEK : Aku ingin jadi diplomat yang diberi pos di kolong jembatan saja…
KAKEK : Banyak diplomat yang dikirim ke pos-pos manapun di dunia ini. Tapi
pemerintah belum punya wakil untuk bicara-bicara dengan mereka yang ada di
kolong jembatan, bukan? Ini tidak adil.Maka aku menyatakan diri.Maka aku
menyediakan diri untuk mewakili pemerintahan ini sebagai diplomat kolong
jembatan.
KAKEK : Selama kedudukan adalah diplomat, di manapun ditempatkan sama saja
terhinanya sama saja mulianya
NENEK : Aku tidak rela kalau kau ditempatkan di pos terhina itu.
KAKEK : Kau belum tahu, justru paling mulia di antara pos-pos di manapun juga.
KAKEK : Seorang diplomat pada hakikatnya adalah seorang yang pandai ngomong.
Pandai meyakinkan orang, pandai membujuk. Orang-orang di kolongjembatan
itu perlu dibujuk agar hidup baik-baik. Berusaha mencari pekerjaan yang layak
dan timbul kepercayaan diri-sendiri.Tidak sekedar dihalau, diusir, kalau malau
ada orang gede lewat saja. Jadi untuk mengatasi tidakan-tindakan kasar ini,
perlu ada wakil yang bisa membujuk…
NENEK : Ah… bagaimana, nanti kalau aku arisan dan ditanya teman-teman
bagaiamana jawabku, Pak. Coba bayangkan, bayangkan…
KAKEK : Istriku, aku mengerti, bagaimana kau akan turun gengsi nanti. Tapi kau tidak
usah khawatir, kalau kau datang ke arisan yang lima ribuan, dan kau ditanya
orang-orang apa pekerjaanku jawab saja diplomat, titik. Kolong jembatannya
tidak usah disebut, kalau kau datang ke arisan yang seratusan, saya kira tak ada
salahnya kalau kau ngomong diplomat kolong jembatan…
NENEK : Tapi kalau teman-teman arisan lima ribuan tanya, di mana posnya…?
5
Lakon “SEPASANG MERPATI TUA”
Karya Bakdi Soemanto
KAKEK : Ah… (memegangi kepala). Begini, diplomat bagian sosial… hebat toh?
KAKEK : kau ini bagaimana, diplomat itu serba mungkin asal kau pintar main lidah,
beres. Coba, kau kan tahu ada diplomat pimpong, ada diplomasi SPP,diplomasi
macam-macam saja ada.
NENEK : Ah, susah aku tak ingin kau jadi diplomat, Pak.
NENEK : Siapa?
KAKEK : Ya.
NENEK : Kenapa?
KAKEK : Orang hidup punya beban sendiri. (Pergi mengambil teko, menuang kopi, lalu
meminumnya)
(NENEK memandang tindakan-tindakan sang suami. KAKEK membuka stoples
lalu memakan makanannya)
NENEK : Makan tidak boleh sambil berdiri. Ini adalah adat timur.
KAKEK : Ya.
NENEK : Apa?
KAKEK : Teknokrat.
NENEK : Gila.
NENEK : Ekonomi?
KAKEK : Bukan!
NENEK : Politik?
KAKEK : Bukan
NENEK : Militer?
KAKEK : Bukan
NENEK : Apa?
KAKEK : Bidang sampah-sampah! Ini perlu sekali, salah satu sebab adanya banjir di kota
ini, karena orang-orang kurang tahu artinya selokan-selokan itu. Kau lihat di
jalan-jalan yang sering tergenang air itu. Coba selokan itu kita keduk,
sampahnya luar biasa banyaknya…
(NENEK termenung)
7
Lakon “SEPASANG MERPATI TUA”
Karya Bakdi Soemanto
NENEK : Mengapa?
KAKEK : Kita berpikir karena kita mengerti. Tapi karena berpikir perlu sistem, sistem
membelenggu kita. Kita jadi tolol. Saya lagu-lagu. Saya rindu puisi-puisi.
Orang-orang zaman ini tidak mengerti puisi-puisi. Kita sudah jadi robot semua.
Berjalan dengan satu disiplin mati. Dengan teori yang tidak kita pahami
sendiri… keutuhan manusia sudah dikerdilkan. Hubungan seks tinggal bernilai
nafsu. Kesenian diukur filsafat seketika, atau kesenian sudah dikonsepkan. Juga
hidup kita didoktrinkan… ini tidak bisa. Akibatnya, kita tenggelam kepada
ukuran-ukuran mini. Kita rindu Sofokles, Aristoteles, Albert Camus, Amir
Hamzah, Chairil Anwar,… Geoethe, Shakespeare. Mereka harus ditakdirkan
kembali di sini. Citra manusian yang terpancar dari karya-karya mereka harus
dipancarkan kembali di sini.
KAKEK : Manusia harus menghayati hidupnya, bukan menghayati disiplin mati itu…
doktrin-doktrin itu harus…harus…
NENEK : Suamiku, sudahlah nanti penyakit napasmu kumat lagi. Kalau kau terlalu
semangat begitu…
NENEK : (Terseduh)
8
Lakon “SEPASANG MERPATI TUA”
Karya Bakdi Soemanto
KAKEK : (Bangkit tetapi tidak diketahui oleh NENEK). Mengapa kau menangisi aku,
tangisilah dirimu sendiri.
KAKEK : Aku tidak begitu yakin, selama aku terbelenggu oleh doktrin. Aku hanya
mengerti, apa aku hidup atau tidak, kalau aku menghayati hidupku sendiri….
NENEK : Delapan puluh tahun kujalani hidup. Benarkah aku belum mengerti.
KAKEK : Umur pun bukan ukuran, selama kau menjalani hidup kau mengikuti doktrin-
doktrin itu….
NENEK : Nanti saja, kalau sudah tak ada orang banyak….(Terdengar suara jam dinding
dua belas kali).
KAKEK : Aku juga…. (Terdengar lonceng jam dinding dua belas kali)
NENEK : Tapi ini di luar kebiasaan. Tadi sudah berbunyi dua belas kali, mestinya bunyi
lagi satu kali…, begitu kan?
10