Anda di halaman 1dari 6

SOSIO DRAMA

TIDAK ADA DEMOKRASI UNTUK ORANG BODOH


Kelompok B
1. MUHAMMAD REZKI
2.REZA ATTHARIQ
3. AKMAL ZAKWAN
4. RAHMI FADHELLA
5. REIN MIKHA ZANI

Tokoh :
1. Akmal Zakwan sebagai Kepala Desa
2. Reza Atthariq sebagai Ani
3. Muhammad Rezki sebagai Joko
4. Rahmi Fadhella sebagai Bu Wati
5. Rein Mikha Zani sebagai Mbah Putri

Di suatu pagi yang cerah, dua orang kakak adik sedang berjalan-jalan
mengelilingi kampung. Mereka adalah insinyur yang sedang pulang ke
kampungnya. (Suara ayam berkokok, suasana pagi). Kampung ini adalah
kampung terpencil yang dibatasi sungai besar dengan kampung lain. Satu-satunya
akses untuk menyeberangi sungai itu adalah jembatan. Dan jembatan di kampung
hanya ada satu.
Ani  : “Capek ya kak.”(Sambil duduk-duduk)
Joko   : “Iya.”(Kipas-kipas kepanasan)
Ani       : “Kak, kita ke jembatan yuk. Aku pengen lihat kondisinya sekarang.
(Merentangkan tangan dan berolahraga)
Joko         : “Ayo, dik. Kakak juga penasaran. Apa masih sebaik dulu? Kalau dipikir-pikir
sudah lama sekali ya kita tidak pulang.”(Berjalan mengikuti adiknya yang sudah
jalan dulu.)
Ani         : “Iya, eh itu jembatannya kak.”(menunjuk dan berlari mendekati jembatan).
Wah ternyata buruk sekali kak. Tadi malam waktu kita lewat kelihatan baik-baik
saja. Tidak disangka ternyata udah kayak gini.”
Joko         : “Iya benar dik. Konstruksinya sudah mau roboh. Ini harus segera diperbaiki.”
Ani          : “Roboh kak? Terus gimana, apa kita mengajukan surat kepada pemerintah
untuk perbaikan.”
Joko         : “Tidak dik, itu terlalu memakan waktu. Setelah surat terkirim, proses
penerimaan keluhan kita akan memakan banyak waktu. Kita harus bicara dengan
kepala desa. Kita harus memperbaiki ini dengan warga kampung. Biar nanti kakak
yang memimpin.”
Ani         : “Ayo kak, kita temui pak kepala desa.”
   Sesampainya di rumah pak kepala desa.
Joko         : (Mengetuk pintu)
Ani         : ”Assalamualaikum Pak.”
Kepala Desa : (Membuka pintu) “Wa’alaikumsalam. Eh kalian silakan masuk. Pagi-pagi
sudah kesini. Ada apa ini? (Wajah tersenyum ramah).”
Joko : “Begini pak ada yang hendak kami sampaikan mengenai kampung kita.”
(Salah kampung lewat satu warga)
Kepala Desa : “Bu Wati (Berteriak memanggil) Bisa kemari sebentar. Ada yang hendak
disampaikan nak Joko dan nak Ani tentang kampung kita.”
Bu Wati : (Berlari mendekat)”Eh? Saya Pak? Baik Pak.”
Kepala Desa : “Ayo ayo semuanya silakan masuk. (tangannya mempersilakan).”
Ani , Joko, Bu Wati : (Satu persatu masuk rumah pak kades, lalu duduk. Ani di sebelah Joko,
lalu Bu Wati dan di sebrang Ani dan Joko Pak Kepala Desa.)
Kepala Desa : “Kapan kalian pulang?”
Ani         : “Tadi malam pak.”
Kepala Desa : “Bagaimana sekolah kalian? Berjalan dengan baik kan?”
Joko         : “Alhamdulillah pak. (Tangannya menggaruk belakang kepala yang tidak
gatal.)
Bu Wati : “Bisa langsung dimulai pak, dik. Saya ada keperluan mendadak.” (Tidak
sabar)
Kepala Desa : “Sabar Bu. Apa yang hendak kalian sampaikan nak Joko, nak Ani”
Joko         : “Begini Pak, ini mengenai jembatan di kampung kita Pak.”
Bu Wati : “Jembatan?”
Ani          : (Menoleh ke Bu Wati tersenyum mengangguk)”Iya Bu.”
Kepala Desa : “Ada apa dengan jembatannya?”
Ani          : “Konstruksinya sudah rusak pak”
Joko         : “Iya Pak. Kalau tidak diperbaiki segera bisa roboh.”
Bu Wati : “Jangan mengada-ada kalian. Semua baik-baik saja.(Berteriak marah)”
Kepala Desa : “Tunggu sebentar. Kita dengar dulu penjelasan dari nak Joko dan nak Ani”
Bu Wati : (Diam mengalah)
Joko  : “Kami tidak bohong Pak, Bu. Baru saja kami melihat kondisinya, dan itu sudah
benar-benar parah. Harus segera diperbaiki Pak.” (Menggebu-gebu)
Kepala Desa : “Apakah ada saran nak?”
Joko  : “Kita harus bertindak sendiri pak. Kita tidak bisa hanya mengandalkan bantuan
pemerintah yang tidak tahu kapan. Nanti jembatannya sudah roboh sebelum
sempat diperbaiki.”
Kepala Desa: “Untuk tenaga kita ada. Tapi untuk dana kita mungkin kekurangan nak.”
Ani          : “Bagaimana dengan kas desa pak atau bisa iuran warga.”
Bu Wati : “Enak saja, kalian pasti hanya mengada-ada. Kalian pasti memanfaatkan
kondisi ini untuk korupsi. Kalian kan dari luar sana. Tempatnya koruptor. Lagipula
kami tidak mau menyia-nyiakan tenaga kami hanya untuk hal yang tak pasti.”
Ani          : “Kami tidak akan korupsi Bu(Menoleh ke Bu wati). Ini menyimpang dari
pembicaraan. Ini bukan tentang korupsi Pak.(Beralih ke Pak Kepala Desa lalu Bu
Wati lagi) Dan kebetulan kami tahu tentang konstruksi bangunan.”
Joko : “Ya pak, kami pulang setelah jauh-jauh sekolah di luar negeri, tidak mungkin
hanya untuk korupsi. Kami ingin membangun desa ini pak. Meski kami dari
keluarga kurang mampu dan sekolah dengan beasiswa. Kami tidak akan
melakukan hal-hal yang justru akan membuat negara ini malu.”
Kepala Desa sadar kalian lebih tahu. Saya percaya kalian tidak bohong. Bagaimana Bu
wati, dengan iuran kampung sebagian. Untuk perbaikannya nanti biar nak joko dan
nak ani yang atur.”
Bu Wati : “Tidak bisa pak. Kebutuhan kami juga belum semua terpenuhi. Kami juga
harus bekerja.”
Ani     : “Tapi bu, ini untuk kampung. Ibu juga bekerja lewat jembatan itu kan?”
Bu Wati : “Saya tidak peduli. Kalian saja yang berlebihan. Jembatan di kampung kita
baik-baik saja. Bertahun-tahun saya lewati dan tidak roboh sampai sekarang.”
Joko  : “Justeru itu pak. Jembatannya sudah bertahun-tahun. Kemungkinan rusak sangat
besar pak, dan itu terbukti sekarang.”
Kepala Desa  : “Tenang bu, nak jangan emosi . Kita bisa selesaikan secara baik-baik.
Lebih baik kita tanyakan pendapat warga desa. Kita bisa menggunakan cara
demokrasi yaitu voting.”
Joko  : “Benar Pak. Ayo kita lakukan.”

            Keesokan harinya, warga desa berkumpul di balai desa untuk


mendenagrkan hal yang akan disampaikan oleh Pak Kepala Desa.
Kepala Desa: “Bapak-bapak Ibu-ibu, di sini saya sebagai kepala desa sebelumnya ingin
meminta maaf karena telah menyita waktu bapak-bapak dan ibu-ibu. Saya baru
saja mendapat informasi dari ahlinya bahwa kontruksi jembatan di kampung kita
sudah rusak. Dan kemungkinan roboh sangat besar.”
Bu Wati : “Mereka bukan ahlinya pak. Jangan percaya bapak-bapak ibu-
ibu.”(Menyanggah dengan emosi)
Kepala Desa : “Mohon tenang dulu Bu. Mereka mungkin bukan ahlinya. Tetapi mereka
lebih tahu dari kita.”
Bu Wati : “Ya, dengan pengetahuan itu mereka ingin membodohi kita semua. Jangan
mentang-mentang kalian insinyur, kalian bisa seenaknya mengambil keputusan”
Ani   : “Astaghfirullah. Kami tidak mungkin berbuat seperti itu Bu.”
Kepala Desa  : “Tenang Bu, biar saya jelaskan dulu. Untuk perbaikan jembatan itu kita
tidak bisa menunggu bantuan pemerintah. Akan terlalu lama. Kita harus bertindak
sendiri bapak-bapak ibu-ibu. Kita butuh tenaga dan juga biaya.”
Bu Wati : (Saling berbisik sambil menggeleng-geleng)
Kepala Desa : “Bagaimana bapak-bapak ibu-ibu, apakah bapak-bapak dan ibu-ibu di sini
setuju untuk menyumbangkan tenaga dan sedikit harta benda?”
Bu Wati : “Kita tunggu bantuan pemerintah saja pak. Mungkin jembatannya bisa
menunggu untuk merobohkan dirinya, setidaknya sampai bantuan datang.”
(Tertawa terbahak-bahak diikuti yang lain)
Joko  : “Ini darurat Pak Bu.”
Bu Wati : “Mereka berbohong. Mereka pasti hanya memanfaatkan kesempatan dalam
kesempitan, mereka pasti mau korupsi.”
Bu Wati: “Ya benar pak. Kami setuju.”
Kepala Desa : “Baiklah, kita adakan voting saja. Siapa yang tidak setuju dengan
perbaikan jembatan ini silakan angkat tangan.”
Bu Wati : (hampir semua warga mengangkat tangan)
Ani & Joko : (Menunduk kecewa)
Kepala Desa : “Maaf nak, keputusan ada di tangan warga nak. Bapak tidak bisa berbuat
apa-apa. Negara kita negara demokrasi. Sangat mengagungkan suara rakyat.”
Ani          : “Tidak apa pak, mungkin kami juga salah.”
Joko  : (Marah. Langsung berlalu pergi tanpa mengucapkan salam)
Ani         : “Maafkan kakak saya pak. Saya permisi.”
Kepala Desa : “Iya nak, Bapak mengerti.”

Ani dan Joko pergi ke rumah mbah putri. Pengganti orang tua bagi Ani dan
Joko.
Ani          : “Bagaimana ini kak, jembatan itu benar-benar sudah rusak parah. Mungkin
tinggal menunggu waktu untuk roboh.”
Joko : “Iya kakak tahu. Warga kampung di sini memang tidak berpendidikan. mereka
tidak tahu tentang konstruksi bangunan, tapi malah tidak mempercayai kita yang
lebih paham. Benar-benar, seharusnya tidak ada demokrasi untuk orang bodoh.
Mereka tidak tahu saja harga yang harus dibayar dengan suara terbanyak itu.”
Ani     : “Jangan begitu, Kak. Mereka juga pasti sudah mempertimbangkannya.”
Joko  : “Pertimbangan yang benar-benar bodoh.”
Mbah Putri : (Datang menghampiri sambil membawa minum) “Ada apa to nang? Kok
ngomongnya sampai teriak-teriak.”
Ani     : (mengambil alih nampan minum yang dibawa mbah putri)
Joko  : “Warga desa ini benar-benar bodoh mbah.”
Mbah Putri : “Hussh, jangan sembarangan kalau bicara.”
Ani     : “Iya kak, tenang.”
Joko : “Mereka seharusnya mempercayai kita. Memang kata buku itu benar, tidak ada
demokrasi untuk orang bodoh.”
Mbah Putri : “Joko joko, kamu juga bodoh.”
Ani     : (Diam memperhatikan)
Joko  : “Lho, embah ini gimana. Kok malah aku yang bodoh.”
Mbah Putri : “Kamu tidak bisa membuat mereka percaya. Itu artinya kamu juga bodoh.
Kamu tidak bisa memimpin demokrasi di desa ini. kamu hanya sombong
memamerkan pengetahuanmu. Prmimpin yang baik tidka seperti itu nang.”
Joko  : “Ah terserah  embah lah. Aku capek memperingatkan. Mereka bodoh.”
Mbah Putri : “Mereka tidak bodoh nang. Mereka hanya tidak tahu, belum tahu. Mereka
hanya masih egois, masih mementingkan kepentingan sendiri- sendiri. Bukan
masalah bodoh atau pintar. Hanya ada yang sudah tahu dan belum tahu. Mereka
tidak bodoh.”
Ani          : “Maksud embah?”
Mbah Putri : “Mereka hanya berpikir untuk sekarang saja. Belum berpikir untuk ke
depannya. Berbeda dengan kamu joko, kamu berpendidikan, dan kamu tahu
tentang konstruksi bangunan. Karena tidak tahu mereka memilih kepentingan
masing-masing. Belum ada rasa nasionalisme di desa ini. Rasa untuk bersatu dan
mementingkan kepentingan bersama.”
Joko  : “Tahu ah mbah, aku capek. Capek jiwa raga. Ayo dik kita pulang.”
Ani          : “Eh tapi kak.” (Menunjuk minum)
Joko  : “Sudah biar embah putri dan mbah kakung yang habisakan. Mbah kakung pasti
capek pulang dari mencari ikan.” ( Emosi)
(Pergi mebanting pintu, mbah putri hanya geleng-geleng kepala)

            Tiga hari berlalu. Joko dan Ani masih beraktivitas seperti biasa. Hanya
saja warga desa sedikit mengucilkan mereka. Pada suatu Pak Kepala Desa sedang
berjalan-jalan. Dari kejauhan tampak Bu Wati berlari-lari mendekatinya.
Bu Wati : “Pak, pak (Sambil terbata-bata dengan nafas ngos-mgosan).
Jembatannya pak? Jembatannya?”
Kepala Desa : “Ada apa dengan jembatannya?”
Bu Wati  : “Jembatannya mau roboh Pak. Sekarang cepat Bapak ke rumah Ani dan Joko
atau ke rumah Mbah Putri.”

            Pak Kepala Desa pergi ke rumah Mbah putri dan menjelaskan masalah
yang terjadi.
Kepala Desa  : ”Mbah, apakah Joko mau membantu kami untuk menyelesaikan masalah
jembatan di desa ?”
Joko  : ”Bukankah dari kemarin saya sudah menawarkan diri untuk memperbaiki
jembatan tersebut tapi banyak warga yang menolakkan ?
Mbah Putri :”Jangan seperti itu nang, warga saat ini sangat membutuhkan bantuanmu,
bukankah niat awalmu untuk membantu desa ini? Mana jiwa nasionalismemu nang
?”
Joko  :”Iya mbah, akan saya pertimbangkan.”

Akhirnya Joko dan Ani bersedia membantu warga desa dalam memperbaiki
jembatan tersebut, walaupun dalam hati kecil mereka masih kecewa karena
permohonan mereka sempat ditolak mentah-mentah.
Keesokan harinya saat Joko dan Ani sedang menjelaskan rancangan mereka
di balai desa, ponsel Joko berdering.
Joko : ”APA??? PUTUS?? Aku kan udah bilang kalo aku disini hanya membantu warga
desa dan setelah semuanya selesai aku janji akan kembali.(diam sejenak)
Joko : ”Apa kamu tidak bisa bersabar sedikit ? ( putus asa)
Joko   : ”Sebentar sebentar. Iya aku pulang sekarang juga. (dengan tergesa-gesa penuh
emosi Joko berjalan keuar ruangan. ).
Bu Wati  : ”Gimana jembatannya Joko?”
Joko  : (Langkah Joko yang hendak keluar terhenti, raut mukanya tampak
sangatkebingungan. Bingung harus memilih yang mana)”Ahh, aku pusing.”

Anda mungkin juga menyukai