Anda di halaman 1dari 14

Konteks Pelaporan Biodiversity

di Pemerintah Daerah Indonesia: Teori Kelembagaan

Ratna Ayu Damayanti


PENDAHULUAN
• Isu biodiversity berkembang dengan pesat pada dekade terakhir ini.
Biodiversity adalah bidang yang relatif baru dalam akuntansi
lingkungan dan perkembangannya sebagian besar dipicu oleh
perubahan iklim global, yang mengancam aset alam.
• Argumen mendasar dalam literatur atas hilangnya biodiversity secara
masif cenderung diakibatkan oleh ulah manusia, dimana mereka
menjadi penyebab utama atas kepunahan massal di zaman modern ini
(Ceballos et al., 2015; Gaia dan Jones, 2017; Schneider et al., 2014).
• Manusia, menurut ekonomi neo-klasik, cenderung mengutamakan
manfaat ekonomi dibandingkan faktor lain ketika mengelola aset alam
(Buhr dan Reiter, 2015).
AKUNTANSI BIODIVERSITY
• Oleh karena itu, kesesuaian antara akuntansi dan biodiversity berupaya untuk
mendorong terwujudnya laporan atas pengelolaan atau stewardship atas planet ini,
sehingga membentuk bagian penting dan signifikan pada akuntansi biodiversity
(Boiral, 2016; Jones dan Solomon, 2013; Jones, 2014a).
• Akuntansi, dalam hal ini, memainkan peran penting untuk membentuk perilaku
masyarakat, dimana akuntansi untuk biodiversity diharapkan dapat berperan
mengatasi hilangnya biodiversity (Jones dan Solomon, 2013).
• Akuntansi dalam bentuk pelaporannya berfungsi untuk menyampaikan informasi
baru dan mengkonfirmasi informasi yang telah ada atas kondisi biodiversity.
• Fakta menunjukkan keinginan untuk membuat pelaporan biodiversity itu rendah
baik pada negara maju (Gaia dan Jones, 2020 di UK) maupun pada negara
berkembang (Syarifuddin dan Damayanti, 2019 di Indonesia).
AKUNTANSI BIODIVERSITY PEMDA
• Penelitian Gaia dan Jones (2020) menunjukkan bahwa 179 dari
351 pemerintah daerah Inggeris tidak melaporkan informasi
terkait biodiversity lokal, sementara pemerintah daerah yang
melaporkan informasi pun memiliki rata-rata tingkat
pengungkapan yang cukup rendah.
• Penelitian Syarifuddin dan Damayanti (2019), di Indonesia juga
menunjukkan fenomena yang serupa dimana dari 514 pemerintah
daerah, hanya 10 persen yang memiliki laporan biodiversity
mulai dari tahun 2013 – 2017. Padahal, menurut undang-undang
wajib bagi pemerintah daerah untuk melaporkan biodiversity
yang seyogyanya pelaporan dilakukan minimal sekali dalam satu
tahun.
TEKANAN PELAPORAN BIODIVERSITY
• Tekanan untuk memperhitungkan biodiversity dan kerugiannya, tidak hanya
terbatas pada entitas perusahaan (Rimmel dan Jonall, 2013; Van Liempd
dan Busch, 2013; Jones dan Solomon, 2013), namun hal sama juga terjadi
pada organisasi pemerintah dan nirlaba (Ball, 2005; Ball dan Grubnic, 2007;
Barut et al., 2016; Gaia dan Jones, 2017; Weir, 2018).
• Secara moral, organisasi bertanggung jawab kepada stakeholder atas aset
alam yang menjadi tanggung jawabnya dan berkewajiban untuk melaporkan
dampak tindakan/aktivitas mereka terhadap alam.
• Dari perspektif stewardship baik manajer publik maupun privat adalah
steward (pengurus), bukan pemilik absolut dari aset lingkungan. Oleh
karenanya, menurut konsep tersebut manajer organisasi harus akuntabel
secara moral atas lingkungan biodiversity-nya agar legitimasi dari kacamata
stakeholder dapat tercapai
MENGAPA MELAPORKAN
• Di Indonesia yang dapat dijadikan contoh. Sejak tahun 2009, Indonesia telah memiliki
Undang-Undang tentang pengelolaan lingkungan hidup yaitu UU No. 32 tahun 2009 dan
Peraturan Menteri No. 29 tahun 2009 tentang konservasi biodiversity. Kedua aturan ini
menempatkan “kewajiban biodiversity” pada otoritas publik. Menurut undang-undang,
otoritas publik khususnya otoritas lokal, dalam menjalankan fungsinya harus
menunjukkan perhatian pada konservasi biodiversity.
• Penekanan pada otoritas lokal sejalan dengan deklarasi PBB yang berpandangan bahwa
mereka adalah pemeran dan penggerak utama sebagai penjaga aset biodiversity di daerah
(Convention of Biological Diversity, 2010).
• Pemerintah daerah, karenanya, bertanggung jawab untuk merencanakan dan mengatur
eksplorasi lingkungan yang berdampak pada biodiversity (Jones dan Solomon, 2013; Gaia
dan Jones, 2020). Keputusan yang dibuat oleh mereka terkait biodiversity secara langsung
memengaruhi kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat lokal.
TUJUAN STUDI
• Studi ini menelaah dari perspektif kerangka kerja kelembagaan dengan
pendekatan teori institusional, yang berbeda dengan Weir (2019),
dimana ia menggunakan pendekatan logika kelembagaan dari
perspektif logika ekonomi dan ekologi. Sementara studi
memandangnya dari logika pelaporan biodiversity. Studi memiliki dua
tujuan, pertama, ia menggali faktor-faktor yang mempengaruhi
pemerintah daerah untuk membuat pelaporan biodiversity.
• Kedua, makalah ini, selanjutnya, mengeksplorasi bagaimana
lingkungan kelembagaan dan ekspektasi sosial mempengaruhi
organisasi yang ditinjau dari teori institusional dengan metode
grounded
DATA INFORMAN

Kab. Kab. Kab. Kab. Kab. Kota Kab.


Informan Total
Gowa Takalar Maros Pangkep Barru Makassar Luwu

Manajer 7 8 8 7 8 9 8 55

Staf 12 10 9 11 9 12 12 75

Total 19 18 17 18 17 21 20 130
OPEN CODE
Open code % of Axial code
Participants
(2) Kontrol organisasi 80 (1) Motif pelaporan biodiversity
(5) Kekuasaan 78
(7) Promosi wilayah 85
(16) Menarik investor 87
(10) Antroposentris 80
(13) Insentif 77
(6) Kemampuan staf 86 (2) Profesionalisme staf
(8) Sistem pelaporan biodiversity 87
(3) Alokasi anggaran 78
(17) Aktivitas publik 90 (3) Budaya manajerial
(4) Pengukuran kinerja 87
(14) Sistim akuntabilitas 88
(12) Akuntabilitas 89 (4) Budaya organisasi
(1) Efisiensi organisasi 90
(15) Profesionalisme manajer 87
(9) Pelatihan profesional 88
(11) Gaya kepemimpinan 86
THEORITICAL MEMO
Axial code Open code Theoretical memos

(1) Motif pelaporan (2) Kontrol organisasi Motif antroposentris menyebabkan pelaporan biodiversity bukan merupakan
biodiversity (5) Kekuasaan prioritas bagi pemerintah daerah. Demikian pula, perlindungan biodiversity,
(7) Promosi wilayah pada akhirnya, menjadi terabaikan
(16) Menarik investor
(10) Antroposentris Motif perlindungan biodiversity tampak sangat didorong oleh legitimasi dan
(13) Insentif cenderung pada pemanfaatan potensi alam

Kekuasaan terhadap pelaporan biodiversity juga dibentuk oleh motif


perlindungan biodiversity dengan orientasi sisi ekonomi.
(1) Profesionalime staf (6) Kemampuan staf Lemahnya profesional dan kapasitas staf menyebabkan mereka belum
(8) Sistem pelaporan biodiversity memahami pentingnya pelaporan biodiversity. Konsekuensinya adalah praktik
(3) Alokasi anggaran dan penerapan akuntansi biodiversity belum menjadi suatu kebutuhan

Sistem informasi dan kebutuhan pelaporan tampak lemah sehingga membuat


laporan biodiversity terkesan ala kadarnya
(1) Budaya manajerial (17) Aktivitas publik Budaya manajerial yang lemah menyebabkan kebutuhan pelaporan biodiversity
(4) Pengukuran kinerja terabaikan.
(14) Sistim akuntabilitas
Pengukuran kinerja pemerintah daerah tidak terletak pada seberapa baik
mereka melindungi biodiversity akan tetapi seberapa banyak investor yang
digalang.
(1) Budaya organisasi (12) Akuntabilitas Budaya organisasi yang tidak didukung oleh aparat profesional dan gaya
(1) Efisiensi organisasi kepemimpinan yang lemah menyebabkan laporan biodiversity tidak menjadi hal
(15) Profesionalisme manajer utama dalam organisasi pemerintah daerah
(9) Pelatihan profesional
(11) Gaya kepemimpinan Efisiensi dan profesionalisme manajer tampak sangat rendah dan hal ini menjadi
penyebab rendahnya kualitas pelaporan biodiversity (jika tersedia)
KONTRUKSI TEORI (1)
Interactional processes and concequences/outcome

Motif Pelaporan Profesionalisme staf

Intention to report

Budaya Manajerial Budaya Organisasi

Contextual conditioners
KONSTRUKSI TEORI (2)
• Sistem akuntansi pelaporan biodiversity pada pemerintah daerah di Indonesia
demikian kompleks sehingga fungsi ini seringkali tidak berjalan secara efektif dan
efisien. Pelaporan biodiversity sarat dengan intervensi kekuasaan dan informasi
yang disajikan bertujuan untuk melegitimasi kebijakan pemerintah daerah.
Konsekuensinya, semua informasi biodiversity dalam sistem akuntansi hanya
mencerminkan hal-hal yang dianggap penting oleh para pimpinan politik daerah,
dan hal ini telah mendorong pemerintah daerah melakukan cara-cara untuk
melegitimasi kebijakannya.
• Ide atau cara berpikir demikian semakin berkembang dari waktu ke waktu dan,
pada akhirnya, membentuk bahasa dan simbol yang diterima sebagai norma
budaya pada organisasi pemerintahan. Menurut Scott (2014), norma budaya yang
menjadi bahasa keseharian dan diinstitusionalisasikan dapat mempengaruhi
persepsi dan perilaku dari aktor-aktor secara individu dalam organisasi.
KONSTRUKSI TEORI (3)
• Studi ini menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya seperti sikap dan perilaku staf dalam
manajemen pemerintah daerah sangat mempengaruhi keinginan untuk melaporkan
biodiversity. Contohnya, profesionalime staf yang rendah menyebabkan rendahnya
tingkat kepercayaan staf terhadap pentingnya akuntabilitas publik.
• Profesionalime dapat diterjemahkan melalui perspektif para staf terhadap lingkungan dan
alam, dimana alam menurut mereka adalah sesuatu yang terpisah dari manusia dan alam
tersedia untuk dikelola oleh pemerintah untuk melaksanakan program kegiatan kerja
mereka. Jadi, dapat dikatakan bahwa sistem budaya untuk mencapai tujuan organisasi
cenderung berorientasi antroposentris.
• Akibatnya, pengungkapan untuk tujuan akuntabilitas khususnya akuntabilitas lingkungan
seperti pelaporan biodiversity menjadi terabaikan. Oleh karenanya, sesuai dengan
pengungkapan Elkington (2001), perlu adanya tekanan eksternal yang bersifat informal
dan opini publik yang dapat mempengaruhi sistem budaya organisasi terkait penerapan
pelaporan biodiversity.
TEORI BUILDING
• Proposisi yang diajukan adalah sebagai berikut:
• Budaya organisasi, profesionalime staf, dan budaya manajer, serta motif pelaporan
merupakan faktor yang mempengaruhi keinginan untuk membuat pelaporan
biodiversity.
• Budaya organisasi dan budaya manajerial secara bersama-sama mempengaruhi
profesionalisme staf dan motif pelaporan dalam melaporkan biodiversity.
• Konsep lain yang dikembangkan adalah isomorfis koersif pada
suatu negara yang sangat luas (seperti Indonesia) tidak akan
efektif karena rentang jarak dan struktur kekuasaan. Selanjutnya,
keterbatasan profesionalisme staf dapat menjadi pemicu
diabaikannya perintah atasan (terkait isomorfis koersif).

Anda mungkin juga menyukai