Anda di halaman 1dari 4

“SURAT CINTA UNTUKMU PANCASILAKU”

Kutulis surat ini kala senja merampas jiwa dalam keindahan.


Kutulis surat ini kala hujan gerimis, gemericik air di ranting-ranting
mengantar ingatan pada suatu ketika aku mengenalmu. Masa di mana Aku
baru mengenal kawan, tersenyum ramah orang-orang, menyapaku dalam
kedamaian. Belakangan aku tahu engkaulah yang membuat damai orang-
orang.
Kala itu aku melihatmu mengajarkan orang-orang
berperilaku, mengajarkan orang-orang hidup bersama, mengajarkan untuk
bersatu dalam suatu Negeri yang gemah ripah loh jinawi. Dan aku terpana
saat melihat lembut jemarimu merangkul anak-anak Negeri yang tercerai di
jalan-jalan, yang kesusahan dalam penderitaan, yang menanti datangnya
kemerdekaan. Dari situ kuputuskan aku harus mengenalmu, aku ingin
juga hidup di Negerimu, Negeri yang merdeka, tenteram penuh
kedamaian.
Gayung bersambut, kata berjawab; Tak sukar menghadang,
tak aral melintang; Perkenalan denganmu mengalir saja, berbincang kata
bersenda tawa dari malam sampai pagi lalu malam lagi. Banyak sekali Kau
bercerita walau terbata-bata aku memahaminya; tentang asal usulmu,
tentang tujuan hidup, tentang kehidupan berbangsa dan bernegara di
Negeri yang kau dan aku diami saat ini.
Dari ceritamu aku akhirnya tahu kau lahir 1 Juni 1945 dari
orang tua sang proklamator bangsa. Kelahiranmu kala itu dinanti berjuta-
berjuta anak bangsa di Negeri yang hendak Merdeka dari segala pejajahan
di atas dunia. Dan kelahiranmu kemudian menjadi pelita yang benderang
memancar ke seantero Negeri. Kau menjadi pedoman hidup bagi semua
anak negeri, semua anak bangsa dan pedoman mendirikan bahtera
bernama Negara Kebangsaan Indonesia yang merdeka, berdaulat adil dan
makmur dan Negara yang bisa mempersatukan Seluruh Negeri yang ada,
seperti pesan orang tuamu Sang Proklamator Bangsa saat menjelang hari
kelahiranmu bahwa “…………Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan
kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan
Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang
bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat”.

Pancasilaku….
Dari untaian kata-katamu aku tahu begitu luhur akal budimu,
begitu lembut perangaimu, begitu besar beban dipundakmu sebagai
penjaga moral bangsa, sebagai pijakan rakyat semesta menopang Negeri
agar tetap tegak berdiri. Ada kesan yang teramat dalam, kali ini aku
terpesona dan perlahan mulai jatuh cinta.
Sejak saat itu kita jadi sering bertemu, bertutur sapa dan
bercengkerama. Kadangkala di kampus, di taman, di perpustakaan, di
jalan, atau di warung-warung untuk sekedar ngobrol santai dengan segelas
kopi. Lain hari kau berkata soal konsep hidupmu yang coba kau ajarkan
padaku yaitu “Sosial Nasionalisme, Sosio Demokrasi dan Ketuhanan Yang
Maha Esa”, walau sekali lagi dengan terbata-bata aku memahaminya.
Namun aku tahu bahwa konsep itulah yang menjadi dasar kita berbangsa
dan bernegara, yang membedakan kita dengan Negara dan bangsa lain.
Kita hidup dengan cara kita, yang menghendaki hilangnya setiap
kapitalisme agar semua menjadi sejahtera dan kita harus berjuang untuk
mewujudkannya dengan perjuangan rakyat semesta, begitu kau berucap
dengan lantangnya. Sangat mulia dan semakin membuatku jatuh cinta.

Pancasilaku…
Begitu besar beban dipundakmu untuk menjaga Negeri ini,
menjaga Negara bangsa ini agar tetap kokoh berdiri. Sejarah telah
mencatat kesaktianmu yang kebal dari segala nista, dusta dan serangan
yang membabi-buta, namun dengan tegarnya kau menjaga bangsa ini dari
segala itu. Pemberontakan demi pemberontakan yang hendak
menghancurkanmu terhempas walauh darah harus bercucuran dari anak-
anak bangsa yang setia menjagamu.
Pancasilaku….
Semakin jauh aku mengenalmu, semakin aku mencintaimu.
Aku ingin melindungimu dari anasir-anasir yang tidak baik, dari pihak-pihak
yang menista dan mendustaimu, karena aku yakin; kau menjadi pemersatu
anak-anak bangsa yang beraneka rupa watak, perangai dan budayanya.
Dalam naunganmu kedamaian tercipta.

Pancasilaku……
Hari ini, aku tahu banyak pihak-pihak yang hendak
menggerogotimu, hendak membuatmu redup bahkan mati seketika
melalui Gerakan-gerakan terorisme, radikalisme yang anti terhadapmu.
Tapi sekali lagi, dengan kesaktianmu kau akan tetap kokoh tegak beridiri
dalam perlindungan orang-orang yang mencintaimu seperti halnya aku
yang akan setia menjagamu. Aku bersyukur telah mengenalmu aku
bersyukur telah mencintaimu, hidupku bermakna bersamamu.
Dari balik tembok masa kini kudengar himne kemanusiaan
dikumandangkan atas namamu di kuil-kuil keindahan. Himne itu akan aku
gaungkan dan terus ku teriakkan agar anak-anak bangsa di Negeri ini tetap
mencintaimu sepanjang masa. Cahaya kebenarannmu akan singgah dan
bersemayam di altar suci hati manusia.

“Kehidupan Negeri ini tak menyimpan apa-apa kecuali


mencintaimu, karena mencintaimu adalah kehidupan itu
sendiri”
Dari Aku yang Mencintaimu.

Andri Ausini
(Gerakan Pemuda Marhaenis/Pengajar di MTs. Negeri 2 Pandeglang)
Referensi
Turvelis. 2013. Manifestasi Pancasila dalam pasang surut stabilitas dan
partisipasi politik di Indonesia. Bandung : Fokusmedia

Tim Medpress. 2017. Pokok-pokok Ajaran Marhaenisme menurut Bung


Karno. Yogyakarta : Media Pressindo.

https://www.tribunnews.com/nasional/2021/05/31/pidato-lengkap-soekarno-
pada-1-juni-1945-yang-menjadi-tonggak-penetapan-hari-lahir-pancasila?
page=4

Anda mungkin juga menyukai