Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

RHINITIS KRONIK ATROFI (OZAENA)

Oleh :

Nasya Safira
030.14.137

Pembimbing :
dr. Fahmi Novel, Sp. THT-KL, Msi. Med
dr. Heri Puryanto, Msc, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KL


RSUD KARDINAH KOTA TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
1 OKTOBER – 3 NOVEMBER 2018
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

RHINITIS KRONIK ATROFI (OZAENA)

Oleh :

Nasya Safira
030.14.137

Disusun sebagai salah satu syarat kelulusan


Kepanitraan Klinik Ilmu Telinga Hidung Tenggorok- Bedah Kepala & Leher
Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Kota Tegal

Tegal, 23 Oktober 2018

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Fahmi Novel, Sp. THT-KL, Msi. Med dr. Heri Puryanto, Msc, Sp. THT-KL
BAB I
PENDAHULUAN

Rhinitis kronik atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik yang ditandai
adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka serta adanya pembentukan
krusta. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat
mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Rhinitis atrofi dibagi 2 tipe
yaitu rintis atrofi primer dan rinitis atrofi sekunder. Rhinitis atrofi primer disebut juga
ozaena (bahasa Yunani yang berarti bau busuk).1
Etiologi ozaena belum diketahui pasti, beberapa ahli mengatakan akibat
infeksi bakteri Klebsiella ozaenae dan Bacillus foetidus.1 Kuman lain sebagai
penyebab adalah Proteus mirabilis, Escherichia coli dan Staphylococcus aureus.
Sementara untuk rhinitis atrofi sekunder biasa disebabkan oleh berbagai kondisi
seperti trauma maksilofasial dan hidung, pembedahan hidung, infeksi kronis atau akut
berulang, penyakit granulomatosa kronik dan paparan radiasi.
Insiden ozaena di negara negara Barat menurun dengan meningkatnya
pemakaian antibiotika tetapi dilaporkan di negara-negara berkembang tropis dan
subtropis masih sering dijumpai.2 Prevalensi ozaena 0,3 – 1%, predominan pada
wanita usia muda dan prepubertas, dengan perbandingan antara wanita dan laki-laki
5,6:1. Kejadian ozaena berhubungan dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan
lingkungan serta sanitasi yang buruk.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung


Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:

Gambar 1. Anatomi Hidung Bagian Luar

Pangkal hidung (bridge), Dorsum nasi, Apeks nasi, Ala nasi, Collumela ,
Nares anterior, Philtrum. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi
melebarkan dan menyempitkan lubang hidung.1

Kerangka tulang terdiri dari :

1. Sepasang os nasalis (tulang hidung)


2. Prosesus frontalis os maksila
3. Prosesus nasalis os frontalis
Kerangka tulang rawan terdiri dari :1
1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala mayor)
3. Beberapa pasang kartilago ala minor
4. Tepi anterior kartilago septum nasi
Gambar 2. Anatomi Tulang Hidung

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi dua rongga kiri dan kanan.
Septum nasi terdiri dari dua bagian, yaitu tulang posterior dan tulang rawan bagian
anterior. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral ,
inferior dan superior

Dinding medial hidung ialah septum nasi yang dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan, bagian tulang terdiri dari Lamina perpendikularis, Os etmoid, Vomer, Krista
Nasalis Os maksila, dan Krista nasalis Os palatina sementara bagian tulang rawan nya
terdiri dari kartilago septum dan kolumela.3
Gambar 3. Anatomi Hidung Bagian Dalam

Septum dilapisi oleh


perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang,
sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung. Pada dinding lateral terdapat 4
buah konka yang terbesar dan letaknya yang dibawah adalah konka inferior,
kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi adalah konka
superior, dan yang terkecil adalah konka suprema(rudimenter). Diantara konka-konka
dan dinding lateral hidung terdapat rongga yang disebut meatus. 4 Terdapat 3 buah
meatus yaitu meatus superior, medius, dan inferior. Meatus inferior terletak diantara
konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung dan terdapat
muara duktus nasolakrimalis, meatus medius terletak diantara konka media dan
dinding lateral rongga hidung dan terdapat muara sinus frontal, maksila dan etmoid
anterior. Meatus superior terletak di antara konka superior dan media dan terdapat
muara dari sinus etmoid posterior dan sfenoid.
Pendarahan Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoidalis anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmikus, sedangkan a.oftalmikus
berasal dari a.karotis interna.Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari
cabang a.maksila interna.5
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari a.fasialis. Pada bagian depan
septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoidalis
anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach.
Pleksus Kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis.6

Gambar 3. Skema vaskularisasi hidung


Fisiologi Hidung7,8

Hidung memiliki beberapa fungsi, antara lain :


1. Sebagai jalan nafas, untuk mengatur keluar masuknya udara.
2. Pengatur kondisi udara (Air Conditioning), perlu untuk
mempersiapkan udara yang akan masuk kedalam alveolus paru.
Fungsi ini dilakukan dengan caramengatur kelembaban udara dan
mengatur suhu.
3. Sebagai penyaring dan pelindung, ini berguna untuk membersihkan
udara yang masuk dari debu dan bakteri.
4. Indera pencium dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga
hidung, konka superior dan sepertiga atas septum.
5. Fungsi fonasi, sebagai resonansi suara, membantu proses bicara, dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang
6. Fungsi statik dan mekanik, untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas
7. Refleks nasal, semisal terdapat iritasi mukosa hidung menyebabkan
reflek bersin dan batuk, saat ada rangsangan dari bau tertentu
menyebabkan sekresi dari kelenjar liur, lambung, dan pancreas

Sistem mukosilier hidung

Gambar 5. Histologi Hidung

1. Histologi mukosa4,8
Luas permukaan kavum nasi kurang lebih 150 cm2 dan total volumenya sekitar
15 ml. Sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius.Secara histologis, mukosa
hidung terdiri dari palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis semu
bersilia, membrana basalis, lamina propria yang terdiri dari lapisan subepitelial,
lapisan media dan lapisan kelenjar profunda.
2. Epitel
Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous
kompleks pada vestibulum, epitel transisional terletak tepat di belakang vestibulum
dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia pada sebagian mukosa respiratorius. Epitel
kolumnar sebagian besar memiliki silia. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak
mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria
ini merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan untuk kerja silia. Sel goblet
merupakan kelenjar uniseluler yang menghasilkan mukus, sedangkan sel basal
merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal dari epitel dan sel goblet. Sel goblet
atau kelenjar mukus merupakan sel tunggal, menghasilkan protein polisakarida yang
membentuk lendir dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi di daerah
konka inferior sebanyak 11.000 sel/mm2 dan terendah di septum nasi sebanyak 5700
sel/mm2. Sel basal tidak pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan
epitel ini tidak semuanya memiliki silia. Kavum nasi bagian anterior pada tepi bawah
konka inferior 1 cm dari tepi depan memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total
permukaan. Lebih kebelakang epitel bersilia menutupi 2/3 posterior kavum nasi
3. Palut lendir
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan bahan
yang disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal. 7 Terdiri
dari dua lapisan yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer)
yang disebut lapisan perisiliar. Lapisan ini lebih tipis dan kurang lengket. Kedua
adalah lapisan superfisial yang lebih kental (gel layer) yang ditembus oleh batang
silia bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan superfisial ini merupakan gumpalan
lendir yang tidak berkesinambungan yang menumpang pada cairan perisiliar
dibawahnya. Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum,
protein sekresi dengan berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperanan penting
pada gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini,
sedangkan denyutan silia terjadi di dalam cairan ini. Lapisan superfisial yang lebih
tebal utamanya mengandung mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap
partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan dan bersin.
Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban
rendah, gas atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan virus yang
terperangkap.
Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi antara silia
dan palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan transportasi mukosiliar. Pada
lapisan perisiliar yang dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk ke
dalam ruang perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan perisiliar, maka ujung
silia tidak akan mencapai lapisan superfiasial yang dapat mengakibatkan kekuatan
aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali
4. Membrana Basalis
Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap dibawah epitel. Di
bawah lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri dari atas
kolagen dan fibril retikulin.
5. Lamina propria
Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan ini
dibagi atas empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan
kelenjar superfisial, lapisan media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan
kelenjar profundus. Lamina propria ini terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan
ikat, substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan saraf. Mukosa pada sinus
paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Mukosanya lebih tipis dan
kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya berlapis semu bersilia, bertumpu pada
membran basal yang tipis dan lamina propria yang melekat erat dengan periosteum
dibawahnya. Silia lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir ke
arah hidung melalui ostium masingmasing. Diantara semua sinus paranasal, maka
sinus maksila mempunyai kepadatan sel goblet yang paling tinggi.
6. Transport Mukosiliar8,9
Transportasi mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk
membersihkan dirinya dengan mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap
pada palut lendir ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan lokal pada
mukosa hidung. Transportasi mukosiliar disebut juga clearance mukosiliar.
Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang merupakan gabungan dari lapisan
mukosa dan epitel yang bekerja secara simultan. Sistem ini tergantung dari gerakan
aktif silia yang mendorong gumpalan mukus. Lapisan mukosa mengandung enzim
lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat merusak beberapa bakteri. Enzim
tersebut sangat mirip dengan imunoglobulin A (Ig A), dengan ditambah beberapa zat
imunologik yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (Ig G) dan interferon
dapat juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung
silia tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian
menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing yang terperangkap
didalamnya ke arah faring.
Cairan perisilia dibawahnya akan dialirkan ke arah posterior oleh aktivitas silia,
tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi mukosilia yang
bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak
bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lendir akan
menembus mukosa dan menimbulkan penyakit. Karena pergerakan silia lebih aktif
pada meatus media dan inferior maka gerakan mukus dalam hidung umumnya ke
belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam
celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari
tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresifsaat
mencapai ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15
hingga 20 mm/menit. Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda di berbagai
bagian hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin
hanya 1/6 segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm/menit. Pada dinding lateral
rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan sekret yang berasal
dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid, kemudian
melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring.
Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus
sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju
nasofaring. Dari rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan.10
2.2 Definisi

Rhinitis kronik atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik yang ditandai
adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan kelainan mukosa yang
menyebabkan terbentuknya krusta, kavum nasal yang luas, anosmia, dan bau busuk
akibat pembentukan krusta.1,2,6,7 Rhinitis atrofi dibagi 2 tipe yaitu rintis atrofi primer
dan rinitis atrofi sekunder. Rhinitis atrofi primer disebut juga ozaena (bahasa Yunani
yang berarti bau busuk). Rhinitis atrofi sekunder biasa disebabkan oleh berbagai
kondisi seperti trauma maksilofasial dan hidung, pembedahan hidung, infeksi kronis
atau akut berulang, penyakit granulomatosa kronik dan paparan radiasi.

2.3 Epidemiologi1,2,6,7

Insidensi terjadinya Rhinitis kronik atrofi sudah berkurang pada abad terakhir,
dicurigai akibat meningkatnya penggunaan antibiotik pada kasus infeksi kronis nasal.
Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai wanita,
terutama pada usia pubertas. Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria, dan Jiang
dkk mendapatkan 15 wanita dan 12 pria. Samiadi mendapatkan 4 penderita wanita
dan 3 pria. Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 :
1.
Prevalensi terjadinya Rinitis atrofi primer tinggi pada daerah yang kering,
jarang hujan seperti pada gurun-gurun di Arab Saudi. Studi melaporkan bahwa Rinitis
atrofi banyak ditemui di pada orang asia, Hispanics dan afrika-amerika. Pada satu
studi dilaporkan bahwa 69.6% penderita berasal dari rural area dan 43.5%
merupakan pekerja pabrik. Rinitis atrofi banyak menyerang orang dengan sosial
ekonomi rendah, dan higienis yang buruk. Angka kejadian enam kali lebih sering
pada wanita dibandingkan dengan laki-laki.
2.4 Etiologi 9,12

Penyebab dari rhinitis kronis atrofi primer masih belum jelas diketahui, tetapi
infeksi bakteri kronik pada hidung dan nasal sering dikatakan sebagai penyebab
terjadinya Rinitis atrofi primer. Dari hasil pemeriksaan sediaan apus nasal, ditemukan
Klebsiella Ozaenae (paling banyak), Coccobacillus of Perez, Coccobacillus of
Loewenberg, Pseudomonas Aeruginosa, dll. Defisiensi fe, defisiensi vitamin A,
kelainan hormonal, penyakit kolagen dan kelainan autoimun juga sering dikaitkan
dengan terjadinya kasus Rhinitis kronik atrofi. Rhinitis kronik atrofi sekunder
merupakan rhinitis atrofi yang terjadi setelah ada kondisi fisik yang terjadi
sebelumnya, seperti trauma, infeksi, post operation, dalam terapi radiasi dan lainnya.
Dapat di jabarkan sebagai berikut;
1. Infeksi kuman spesifik, yang tersering ditemukan adalah spesies Klebsiela,
terutama Klebsiela ozaena. Kuman lainnya antara lain Staphylokokus,
Streptokokus dan Pseudomonas aeruginosa.
2. Beberapa faktor yang mungkin menimbulkan penyakit ini adalah trauma yang
luas pada mukosa, sifilis.
3. Oleh karena penyakit ini mulai timbul pada usia remaja (pubertas) dan lebih
banyak ditemukan pada wanita, maka diduga ketidakseimbangan endokrin
juga berperan sebagai penyebab penyakit ini.
4. Gizi buruk, biasanya karena defisiensi vitamin A, vitamin C dan zat besi.
5. Penyakit kolagen, yang termasuk penyakit autoimun.
6. Herediter.
7. Berhubungan dengan trauma atau terapi radiasi. Trauma dapat terjadi karena
kecelakaan ataupun iatrogenik, yaitu efek lanjut pembedahan, sedangkan
terapi radiasi pada hidung segera merusak pembuluh darah dan kelenjar
penghasil mukus.
2.5 Patogenesis4,8,11

Rhinitis kronik atrofi mempunyai gejala yang khas yaitu dengan adanya
perubahan atrofi pada seluruh bagian hidung. Trias Rhinitis atrofi meliputi, bau,
krusta, dan atrofi nasal. Histopatologi Rhinitis atrofi ditandai dengan adanya
perubahan epitel respirasi normal menjadi epitel kubus atau epitel gepeng skuamosa
berlapis (metaplasia), dengan atau tanpa keratinisasi. Atrofi pada silia, mukosa dan
kelenjar submukosa, dimana mukosa menjadi pucat, tampak lengket, terdapat secret
yang mengering membentuk krusta berwarna hijau kekuningan dan scabs. Bau yang
tercium merupakan akibat dari terjadinya infeksi sekunder. Keluhan anosmia terjadi
karena proses atrofi juga mengenai epitel olfaktorius, sel saraf bipolar dan serat saraf,
ditambah dengan insufisiensinya udara untuk mencapai area olfaktorius karena
adanya krusta yang menghalangi.

Rhinitis atrofi dibagi menjadi dua jenis. Rinitis Atrofi tipe satu, merupakan
tipe yang sering terjadi, dimana ditemukannya endarteritis obliterans, periarteritis,
dan fibrosis periarteria terminal arteriol akibat dari infeksi kronik dengan infiltrate sel
plasma. Rhinitis atrofi tipe satu ini berespon baik terhadap efek vasodilator terapi
estrogen. Rhinitis atrofi tipe dua, lebih jarang ditemui. Pada tipe ini, Sel endotel pada
kapiler yang berdilatasi memiliki sitoplasma yang berlebih, dan menunjukkan adanya
resorpsi tulang melalui ditemukannya alkaline fosfatase. Rhinitis atrofi tipe dua tidak
berespon baik terhadap terapi estrogen.

Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis kronik atrofi, yaitu :

 Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis.


 Silia hidung. Silia akan menghilang.
 Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel kolumnar
bertingkat bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng skuamosa
berlapis.
 Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau
jumlahnya berkurang.
2.6 Klasifikasi10

Klasifikasi berdasarkan penyebabnya rhinitis atrofi dibedakan menjadi :


Rhinitis atrofi primer dan sekunder. Rhinitis atrofi primer merupakan bentuk klasik
rhinitis atrofi. Terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya. Penyebabnya adalah
mikroorganisme Klebsiella Ozaena. Sedangkan rhinitis atrofi sekunder merupakan
komplikasi dari suatu tindakan atau penyakit. Penyebabnya bisa karena bedah sinus,
radiasi, trauma, serta penyebaran infeksi lokal setempat.

Sutomo dan Samsudin membagi rhinitis atrofi secara klinik dalam tiga tingkat :

a) Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir,


krusta sedikit.
b) Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna
makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
c) Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai
garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring,
terdapat anosmia yang jelas

2.7 Penegakkan Diagnosa

A. Anamnesa

Keluhan yang paling sering di keluhkan pasien adalah adanya perasaan hidung yang
tersumbat dikarenakan adanya blunting effect, dan krusta yang besar yang mengahalangi
aliran udara. Keluhan lain yang juga sering dikeluhkan pasien adalah bau busuk yang
dikeluhkan orang sekitar, yang membuat pasien jadi memiliki masalah sosial, pasien sendiri
tidak dapat mencium bau busuk tersebut, karena pasien mengalami anosmia. Pusing, sekret
purulent, krusta kehijauan berbau busuk yang terlepas dan menyebabkan pendarahan hidung
B. Pemeriksaan Fisik

Pada 100% kasus ditemui (1) krusta, disusul dengan (2) kavum nasi yang lapang
dengan atrofi konka inferior pada rhinoskopi anterior (62% parsial, 37% total),
atrofi konka media pada 57% kasus, adanya (3) sekret pada 52% kasus, dan (4)
perforasi septum yang hanya ditemui pada 10% kasus.

C. Pemeriksaan Penunjang9,11
 Radiologi

Pada foto rontgen ditemukan (1) penebalan mukoperiostal pada SPN,


(2) hipoplasia sinus maksilaris, (3) pembesaran kavum nasi dengan erosi
dan bowing pada dinding lateralnya, (4) resorpsi tulang dan atrofi mukosa
konka inferior dan konka media. Posisi foto yang dapat digunakan posisi
Waters, AP, Caldwell dan Lateral

 Mikrobiologi
Ditemuinya kuman Klebsiella Ozaena, Pseudomonas Aeroginosa
dan lainnya seperti yang tertera di etiologi pada hasil kultur bakteri.
 Biopsi14

Tabel perbandingan biopsy mukosa normal dan rhinitis atrofi

2.8 Penatalaksanaan 10,15

Dikarenakan etiologi dari rhinitis atrofi yang multifaktorial, maka pengobatan


rhinitis atrofi belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi etiologi
dan gejala klinis. Pengobatan dapat dilakukan secara konservatif atau pembedahan.

 Konservatif

Pengobatan konservatif rhinitis atrofi meliputi pemberian antibiotik, obat cuci


hidung, dan simptomatik10

1. Antibiotik spektrum luas seperti Quinolone dan tetracycline sebelum dilakukan


uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang.
Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada pengobatan dengan
Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu.
2. Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan
menghilangkan bau. Antara lain :
a. Betadine solution dalam 100 ml air hangat atau
b. Campuran :

 NaCl
 NH4Cl
 NaHCO3
 Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat
c. Larutan NaCl

d. Campuran :

 Na bikarbonat 28,4 g
 Na diborat 28,4 g
 NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat
Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan
menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui
mulut, dilakukan dua kali sehari. Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi
(Ozaena) biasanya dengan pemberian preparat Fe.

3. Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam
gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U /
ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan
tiga kali sehari masing-masing tiga tetes.
4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu.

5) Preparat Fe
6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan Rjvanski
melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan
dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan
93,3% perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini membantu regenerasi epitel
dan jaringan kelenjar. Samiadi dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2
tablet sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl
fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek
samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci hidung
diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang memuaskan
pada 6 dari 7 penderita.

 Terapi operatif

Tujuan operasi pada rhinitis atrofi antara lain untuk : menyempitkan rongga
hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta dan
mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi. Teknik
bedah dibedakan menjadi dua kategori utama :

1) Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal dan


2) Operasi, seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke arah
dalam.
Bila pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan perbaikan,
pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung. Prinsipnya
mengistirahatkan mukosa hidung pada nares anterior atau koana sehingga menjadi
normal kembali selama 2 tahun. Atau dapat dilakukan implantasi untuk
menyempitkan rongga hidung.

2.9 Komplikasi

Komplikasi rhinitis atrofi dapat berupa :

1. Perforasi septum
2. Faringitis
3. Sinusitis
4. Hidung pelana

2.10 Prognosis
Prognosis rhinitis atrofi tergantung dari etiologi dan progresifitas penyakitnya,
jika cepat ditangani umumnya akan berakhir baik. Jika penyakit di diagnosa pada
tahap awal dan penyebabnya dapat dipastikan bakteri, maka terapi antimikrobial yang
adekuat serta cuci hidung yang rutin diharapkan dapat mengembalikan fungsi hidung
kembali. Jika penyakit didapati dengan gejala klinis yang parah, tetap dicoba dengan
terapi medika mentosa, dan jika tidak berhasil perlu dipikirkan untuk melakukan
tindakan bedah
BAB III
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Nama : Tn. C
Jenis kelamin : Laki - laki
Umur : 21 tahun
Status pernikahan : Belum Menikah
Alamat : JL.AR Hakim RT/RW 02/12, Randugunting, Tegal Selatan
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
No. RM : 930627

Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara Autoanamnesis pada tanggal 10 Oktober 2018 pada
pukul 10.15 WIB bertempat di Poliklinik THT RSUD Kardinah Tegal.

1. Keluhan Utama
Keluar cairan berlendir disertai bau sejak 1 bulan SMRS.

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poli THT RSUD Kardinah dengan keluhan keluar cairan
berlendir disertai hidung tersumbat dan berbau pada lubang hidung kiri. Keluhan
ini sudah dirasakan pasien sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan dirasa semakin lama
memberat disertai bau yang keluar dari hidung menurut keluarga pasien seperti
bau busuk. Pasien sendiri tidak dapat merasakan bau tersebut dikarenakan
semenjak keluhan ini berlangsung, pasien merasa mengalami penurunan dalam
fungsi penghidu. Keluhan ini sudah semakin menganggu kenyaman pasien dan
orang sekitar sehingga pasien memutuskan untuk pergi ke dokter.
Pasien mengaku konsistensi cairan yang keluar awalnya cair, lama
kelamaan mejadi kental. Cairan yang keluar berwarna bening dan berlendir tanpa
disertai darah. Pasien juga mengeluhkan sakit kepala, mata berair ketika cairan
dari hidung keluar dan merasa nyeri di bagian medial rongga mata.
Demam, menggigil, batuk, nyeri tenggorokan, gangguan pendengaran dan
penurunan berat badan disangkal. Riwayat jatuh dengan kepala dan hidung
terbentur juga disangkal.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengaku sejak kecil sekitar umur 10 tahun pasien sering
mengalami keluhan pilek dengan cairan ingus yang keluar dari hidung secara
terus menerus. Tetapi keluhan semakin memberat semenjak pasien dewasa
terutama saat pasien berkerja sebagai cleaning service di suatu rumah sakit.
Pasien sebelumnya sudah pernah berobat ke puskesmas tetapi tidak ada
perbaikan. Pasien tidak memiliki riwayat alergi baik makanan, debu ataupun
alergi obat, trauma pada bagian hidung dan keganasan disangkal. Pasien juga
tidak memiliki riwayat operasi sebelumnya.

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga pasien yang menderita keluhan serupa. Riwayat
keluarga alergi, hipertensi, diabetes dan keganasan disangkal.

5. Riwayat Kebiasaan
Pasien bekerja sebagai cleaning service di suatu rumah sakit. Pasien
merokok dan jarang berolahraga.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
Kesan sakit : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Kesan gizi : Gizi Sedang
BB : 55 kg
TB : 172 cm
Tanda Vital
Suhu : 36,2 0C
Nadi : 80x/menit
TD : 120/80 mmHg
Pernapasan : 20x/menit
Status Generalis
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera Iklterik (-/-)
Telinga : Status Lokalis
Hidung : Status Lokalis
Mulut : Status Lokalis
Leher : Jejas (-), oedem (-), hematom (-), pembesaran kelenjar getah
bening dan tiroid (-), nyeri tekan (-)

Thorax
Jantung
Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Pulsasi iktus kordis teraba di ICS V linea midklavikularis
sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan : ICS IV linea sternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS V linea midklavikularis sinistra

Auskultasi : Bunyi jantung I,II regular, murmur (-), gallop(-)


Paru
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : vocal fremitus teraba sama di kedua lapang paru
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler, wheezing(-/-), rhonki (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Supel
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+), normal

Status Lokalis THT


Telinga

Dextra Sinistra

Normotia, benjolan Daun telinga Normotia, benjolan


(-), nyeritarik (-), (-), nyeritarik (-),
nyeritekan tragus (-) nyeritekan tragus (-)

Hiperemis (-), fistula Pre aurikuler Hiperemis (-), fistula


(-), oedem(-), (-), oedem(-),
sikatriks(-) sikatriks(-)

Hiperemis (-), fistula Retro aurikuler Hiperemis (-), fistula


(-), oedem(-), (-), oedem(-),
sikatriks(-), sikatriks(-),
nyeritekan mastoid nyeritekan mastoid (-)
(-)

Lapang, Hiperemis Kanalisakustikuseksternus Lapang, Hiperemis


(-), oedem(-), (-), oedem(-),
discharge(-) discharge(-)

Hiperemis (-), warna Membran timpani Hiperemis (-), warna


putih mengkilat, putih mengkilat,
Refleks cahaya (+) Refleks cahaya (+)

Hidung

Dextra Sinistra

Bulu hidung (+), Vestibulum Bulu hidung (+),


hiperemis(-), benjolan hiperemis(-), benjolan
(-), nyeri (-), sekret(+) (-), nyeri (-), sekret(+)

Tidak terlihat Konka Superior Tidak terlihat

Livid (-), atrofi(+), Konka media Livid (-), atrofi(+),


hiperemis(-), discharge hiperemis(-), discharge
purulen(+), krusta (+) purulent (+), krusta(+)

Livid (-), atrofi(+), Konka inferior Livid (-), rofi(+),


hiperemis(-), discharge hiperemis(-), discharge
purulent (+), krusta(+) purulen(+), krusta(+)

Sekret hijau purulent Meatus nasi medius Sekret hijau purulent


(+) (+)

Secret hijau purulent Meatus nasi inferior Sekret hijau purulent


(+) (+)

Lapang Cavum nasi Lapang

Deviasi (-) , benjolan-, Septum nasi Deviasi (-),benjolan-,


hiperemis - , nyeri hiperemis - , nyeri
tekan (+) tekan (+)

Sinus Frontal Nyeri tekan (-/-), nyeri ketuk (-/-)

Sinus ethmoid Nyeri tekan (-/-), nyeri ketuk (-/-)

Sinus maksila Nyeri tekan (-/-), nyeri ketuk (-/-)

Pemeriksaan Penghidu (N. Olfaktorius)

Dextra Bahan Sinistra

Tidak dilakukan Alkohol Tidak dilakukan

Tidak dilakukan Teh Tidak dilakukan

Tidak dilakukan Kopi Tidak dilakukan


Tidak dilakukan Amoniak Tidak dilakukan

Orofaring

Mulut Trismus(-)

Palatum Simetris, deformitas (-)

Arkus faring Simetris, hiperemis (-)

Mukosa faring Hiperemis(-), granulasi(-), sekret(-)

Dinding faring Hiperemis(-), post nasal drip (-)


posterior

Uvula Simetris ditengah, hiperemis (-)

Tonsila Palatina Ukuran : T1-T1

Warna : Hiperemis(-)

Kripta : dalam batas normal

Detritus: -/-

Perlekatan : -

Massa : -

Kemampuan Makanan padat (+), makanan lunak (+), air (+)


menelan

Laringoskopi indirek : Tidak dilakukan


Leher : Kelenjar getah bening dan tiroid tidak teraba membesar
Pemeriksaan Penunjang
Foto radiologi : Tidak dilakukan
Nasal endoskopi : Tidak dilakukan
Kultur Gram bakteri : Tidak dilakukan

Diagnosa
a. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada pasien ini :
- Rhinosinusitis kronis
- Rhinitis Kronik Atrofi (Ozaena)
b. Diagnosis Kerja
Diagnosis kerja pada pasien ini adalah Rhinitis Kronik Atrofi (Ozaena)

Penatalaksanaan
Medikamentosa :
- Levofloxacin 2x1
- Metilprednisolon 2x1
Non Medikamentosa :
- Spooling hidung dengan NaCl
- Ekstraksi krusta
- Edukasi :
o Hindari paparan langsung dari suhu dingin menggunakan masker dan
jaket
o Membersihkan hidung dari lendir dengan air hangat
o Meningkatkan daya tahan tubuh dengan asupan gizi yang baik
o Menjaga lingkungan dan sanitasi yang baik
Prognosis
Ad vitam : Bonam
Ad functionam : Bonam
Ad sanationam : Bonam

BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis rhinitis kronik atrofi ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, dan


pemeriksaan fisik. Dari anamnesis di dapatkan bahwa pasien mengeluh hidung
tersumbat dengatai keluar secret kental dan berbau busuk sejak 1 bulan SMRS.
Pasien mengaku sedari kecil pasien juga sudah mengeluhkan keluhan yang sama
tetapi 1 bulan ini keluhan semakin memberat. Pasien juga mengeluhkan adanya nyeri
dibagian rongga medial mata dan sakit kepala yang terasa berat.
Pada pemeriksaan fisik pada pasien tidak ditemukan tanda-tanda fisik yang
khas pada pemeriksaan generalis, namun pada pemeriksaan lokalis hidung di
dapatkan kedua hidung yang kotor dengan secret kental dan krusta. Terdapat juga
atrofi dari konka media dan inferior. Timbulnya gejala tersebut pada pemeriksaan
fisik diperkirakan karena terjadi infeksi yang sifatnya kronis pada rongga hidung oleh
bakteri Klebsiella Ozaena. Sehingga menyebabkan inflamasi yang sifatnya kronis
yang membuat perubahan pada struktur anatomi dan fungsi dari hidung. Diantaranya,
epitel menipis dan kehilangan silianya, kelenjar mukosa mengalami atrofi.
Gejala klinis yang membuat pasien datang ke dokter karena hidung terasa
tersumbat yang tidak kunjung sembuh. Selain itu, juga di dapatkan gejala keluar
secret kental berwarna kehijauan yang berbau busuk, pasien mengatakan bahwa
orang orang di sekitar pasien mengeluhkan hidung pasien yang berbau busuk yang
mana pasien sendiri tidak mengetahui bahwa hidungnya mengeuarkan bau busuk
dikarenakan pasien mengalami anosmia..
Untuk menegakkan diagnosis rhinitis atrofi ini, pemeriksaan yang pertama
dilakukan anamnesis, yang mana didapatkan gejala seperti diatas, kemudian
dilakukan pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya rongga
hidung yang sangat lapang, terdapat sekret yang purulent, dan banyak krusta, konka
media dan inferior mengalami atrofi, dan terdapat gangguan penghidu. Pemeriksaan
penunjang tidak di lakukan dikarenakan pasien tidak kontrol kembali untuk
mengevaluasi keparahan penyakit lebih lanjut.
Diagnosis banding dari rhinitis atrofi adalah rhinosinusitis kronik. Komplikasi
yang dapat diteimbulkan dapat berupa perforasi septum, faringitis, sinusitis, dan
hidung pelana.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini adalah dilakukannya spooling
hidung dengan NaCl untuk membersihkan sekret mukopurulen dari hidung.
Kemudian juga diberikan antibiotic seperti levofloxacine dan anti inflamasi
metilprednisolone. Apabila dengan pemberian obat-obat ini kemudian tidak
menimbulkan adanya perbaikan barulah dilakukan tindakan bedah untuk
membersihkan krusta, dan menyempitkan rongga hidung. Dan untuk prognosis,
tergantung penatalaksanaan yang tepat pada pasien, dan kepatuhan pasien terhadap
nasehat dokter spesialis.
Pencegahan yang dapat dilakukan agar tidak terjadi rhinitis kronis atrofi
kembali adalah dengan menghindari pemicu yang menjadi faktor predisposisi yaitu
menghindari udara dingin dengan memakai syal atau jaket, menghindari makanan
berminyak seperti gorengan, menghindari rokok aktif maupun pasif, kebiasaan yang
kotor dihindari, dan meningkatkan daya tahan tubuh sehingga tidak mudah terkena
infeksi.
BAB V
KESIMPULAN

Rhinitis kronik atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik dengan tanda
adanya atrofi progresif tulang dan mukosa konka. Etiologi penyakit ini belum jelas.
Beberapa hal dianggap sebagai penyebab seperti infeksi oleh kuman spesifik, yaitu
klebsiela, yang sering Klebsiela Ozaena, kemudian Staphylokokus, dan Pseudomonas
aeruginosa, selain itu bisa juga disebabkan karena defisiensi Fe, defisiensi vitamin A,
kelainan hormonal dan penyakit kolagen. Mungkin berhubungan dengan trauma atau
terapi radiasi. Gejala klinis adalah berupa keluhan subyektif yang sering ditemukan
pada pasien biasanya hidung terasa tersumbat, nafas berbau (sementara pasien sendiri
menderita anosmia), sekret kental warna kehijauan, krusta, gangguan penciuman,
sakit kepala. Pada pemeriksaan THT ditemukan rongga hidung sangat lapang, konka
inferior dan media hipotrofi atau atrofi, sekret purulen hijau, dan krusta berwarna
hijau. Terapi untuk saat ini belum ada yang baku, terapi ditujukan untuk
menghilangkan etiologi dan gejala yang dapat dilakukan secara konservatif maupun
operatif.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. 7th ed.
Jakarta :Badan Penerbit Fakutas Kedokteran Universitas Indonsia ; 2012
2. Yucel A, Aktepe O, et al. Atrophic Rinitis: a case report. Turk J Med sd. 2003
July 2008; 33:405-7
3. Moore KL. Clinically Oriented Anatomy. 7th ed. USA : Lippincott Williams &
Wilkins. 2015
4. Junqueira LC, Carneiro J, 2003. Histologi Dasar. Edisi 10. Penerbit buku
kedokteran EGC
5. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Hidung dan sinus paranasalis. Buku ajar
penyakit tht. Edisi keenam. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC;
1994.h.173-240
6. Bansal M, Diseases of Ear, nose and Throat. 2013. Jaypee Brothers Medical
Publishers (P) Ltd. Hal : 37-47.
7. Pengurus Pusat PERHATI-KL (Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga
Hidung Tenggorokan Bedah Kepala Leher) Indonesia, periode 2003-2007
8. Mehrotra R, Singhal J, KawatraM, Gupta SC, SinghM. Pre and post-treatment
histopathological changes in atrophic rhinitis. Indian Journal of Pathology
and Microbiology 2005; 48:310–3.
9. Dutt SN, KameswaranM. The etiology and management of atrophic rhinitis.
Journal of Laryngology and Otology 2005; 119:843–52.
10. Higgins JPT, Green S, editors. Cochrane Handbook for Systematic Reviews
of Interventions 5.1.0 [updated March 2011]. The Cochrane Collaboration,
2011. Available from www.cochrane-handbook.org.
11. Bist SS, Bisht M, Purohit JP (2012) Primary atrophic rhinitis: a clinical
profile, microbiological and radiological study. ISRN Otolaryngol 2012.
12. Dutt SN, Kameswaran M (2005) The etiology and management of atrophic
rhinitis. J Laryngol Otol 119: 843-852.
13. Jaswal A, Jana AK, Sikder B, Nandi TK, Sadhukhan SK, et al. (2008) Novel
treatment of atrophic rhinitis: early results. Eur Arch Otorhinolaryngol 265:
1211-1217.
14. Bist SS, Bisht M, Purohit JP, Saxena R (2011) Study of histopathological
changes in primary atrophic rhinitis. ISRN Otolaryngol 2011.
15. Chhabra N, Houser SM (2009) The diagnosis and management of empty nose
syndrome. Otolaryngol Clin North Am 42: 311-330.

Anda mungkin juga menyukai