Laporan Kasus Rhinitis Atrofi Ozaena
Laporan Kasus Rhinitis Atrofi Ozaena
Oleh :
Nasya Safira
030.14.137
Pembimbing :
dr. Fahmi Novel, Sp. THT-KL, Msi. Med
dr. Heri Puryanto, Msc, Sp.THT-KL
LAPORAN KASUS
Oleh :
Nasya Safira
030.14.137
Pembimbing I Pembimbing II
dr. Fahmi Novel, Sp. THT-KL, Msi. Med dr. Heri Puryanto, Msc, Sp. THT-KL
BAB I
PENDAHULUAN
Rhinitis kronik atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik yang ditandai
adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka serta adanya pembentukan
krusta. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat
mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Rhinitis atrofi dibagi 2 tipe
yaitu rintis atrofi primer dan rinitis atrofi sekunder. Rhinitis atrofi primer disebut juga
ozaena (bahasa Yunani yang berarti bau busuk).1
Etiologi ozaena belum diketahui pasti, beberapa ahli mengatakan akibat
infeksi bakteri Klebsiella ozaenae dan Bacillus foetidus.1 Kuman lain sebagai
penyebab adalah Proteus mirabilis, Escherichia coli dan Staphylococcus aureus.
Sementara untuk rhinitis atrofi sekunder biasa disebabkan oleh berbagai kondisi
seperti trauma maksilofasial dan hidung, pembedahan hidung, infeksi kronis atau akut
berulang, penyakit granulomatosa kronik dan paparan radiasi.
Insiden ozaena di negara negara Barat menurun dengan meningkatnya
pemakaian antibiotika tetapi dilaporkan di negara-negara berkembang tropis dan
subtropis masih sering dijumpai.2 Prevalensi ozaena 0,3 – 1%, predominan pada
wanita usia muda dan prepubertas, dengan perbandingan antara wanita dan laki-laki
5,6:1. Kejadian ozaena berhubungan dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan
lingkungan serta sanitasi yang buruk.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pangkal hidung (bridge), Dorsum nasi, Apeks nasi, Ala nasi, Collumela ,
Nares anterior, Philtrum. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi
melebarkan dan menyempitkan lubang hidung.1
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi dua rongga kiri dan kanan.
Septum nasi terdiri dari dua bagian, yaitu tulang posterior dan tulang rawan bagian
anterior. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral ,
inferior dan superior
Dinding medial hidung ialah septum nasi yang dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan, bagian tulang terdiri dari Lamina perpendikularis, Os etmoid, Vomer, Krista
Nasalis Os maksila, dan Krista nasalis Os palatina sementara bagian tulang rawan nya
terdiri dari kartilago septum dan kolumela.3
Gambar 3. Anatomi Hidung Bagian Dalam
1. Histologi mukosa4,8
Luas permukaan kavum nasi kurang lebih 150 cm2 dan total volumenya sekitar
15 ml. Sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius.Secara histologis, mukosa
hidung terdiri dari palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis semu
bersilia, membrana basalis, lamina propria yang terdiri dari lapisan subepitelial,
lapisan media dan lapisan kelenjar profunda.
2. Epitel
Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous
kompleks pada vestibulum, epitel transisional terletak tepat di belakang vestibulum
dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia pada sebagian mukosa respiratorius. Epitel
kolumnar sebagian besar memiliki silia. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak
mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria
ini merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan untuk kerja silia. Sel goblet
merupakan kelenjar uniseluler yang menghasilkan mukus, sedangkan sel basal
merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal dari epitel dan sel goblet. Sel goblet
atau kelenjar mukus merupakan sel tunggal, menghasilkan protein polisakarida yang
membentuk lendir dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi di daerah
konka inferior sebanyak 11.000 sel/mm2 dan terendah di septum nasi sebanyak 5700
sel/mm2. Sel basal tidak pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan
epitel ini tidak semuanya memiliki silia. Kavum nasi bagian anterior pada tepi bawah
konka inferior 1 cm dari tepi depan memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total
permukaan. Lebih kebelakang epitel bersilia menutupi 2/3 posterior kavum nasi
3. Palut lendir
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan bahan
yang disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal. 7 Terdiri
dari dua lapisan yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer)
yang disebut lapisan perisiliar. Lapisan ini lebih tipis dan kurang lengket. Kedua
adalah lapisan superfisial yang lebih kental (gel layer) yang ditembus oleh batang
silia bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan superfisial ini merupakan gumpalan
lendir yang tidak berkesinambungan yang menumpang pada cairan perisiliar
dibawahnya. Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum,
protein sekresi dengan berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperanan penting
pada gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini,
sedangkan denyutan silia terjadi di dalam cairan ini. Lapisan superfisial yang lebih
tebal utamanya mengandung mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap
partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan dan bersin.
Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban
rendah, gas atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan virus yang
terperangkap.
Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi antara silia
dan palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan transportasi mukosiliar. Pada
lapisan perisiliar yang dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk ke
dalam ruang perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan perisiliar, maka ujung
silia tidak akan mencapai lapisan superfiasial yang dapat mengakibatkan kekuatan
aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali
4. Membrana Basalis
Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap dibawah epitel. Di
bawah lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri dari atas
kolagen dan fibril retikulin.
5. Lamina propria
Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan ini
dibagi atas empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan
kelenjar superfisial, lapisan media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan
kelenjar profundus. Lamina propria ini terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan
ikat, substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan saraf. Mukosa pada sinus
paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Mukosanya lebih tipis dan
kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya berlapis semu bersilia, bertumpu pada
membran basal yang tipis dan lamina propria yang melekat erat dengan periosteum
dibawahnya. Silia lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir ke
arah hidung melalui ostium masingmasing. Diantara semua sinus paranasal, maka
sinus maksila mempunyai kepadatan sel goblet yang paling tinggi.
6. Transport Mukosiliar8,9
Transportasi mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk
membersihkan dirinya dengan mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap
pada palut lendir ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan lokal pada
mukosa hidung. Transportasi mukosiliar disebut juga clearance mukosiliar.
Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang merupakan gabungan dari lapisan
mukosa dan epitel yang bekerja secara simultan. Sistem ini tergantung dari gerakan
aktif silia yang mendorong gumpalan mukus. Lapisan mukosa mengandung enzim
lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat merusak beberapa bakteri. Enzim
tersebut sangat mirip dengan imunoglobulin A (Ig A), dengan ditambah beberapa zat
imunologik yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (Ig G) dan interferon
dapat juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung
silia tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian
menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing yang terperangkap
didalamnya ke arah faring.
Cairan perisilia dibawahnya akan dialirkan ke arah posterior oleh aktivitas silia,
tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi mukosilia yang
bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak
bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lendir akan
menembus mukosa dan menimbulkan penyakit. Karena pergerakan silia lebih aktif
pada meatus media dan inferior maka gerakan mukus dalam hidung umumnya ke
belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam
celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari
tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresifsaat
mencapai ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15
hingga 20 mm/menit. Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda di berbagai
bagian hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin
hanya 1/6 segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm/menit. Pada dinding lateral
rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan sekret yang berasal
dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid, kemudian
melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring.
Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus
sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju
nasofaring. Dari rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan.10
2.2 Definisi
Rhinitis kronik atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik yang ditandai
adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan kelainan mukosa yang
menyebabkan terbentuknya krusta, kavum nasal yang luas, anosmia, dan bau busuk
akibat pembentukan krusta.1,2,6,7 Rhinitis atrofi dibagi 2 tipe yaitu rintis atrofi primer
dan rinitis atrofi sekunder. Rhinitis atrofi primer disebut juga ozaena (bahasa Yunani
yang berarti bau busuk). Rhinitis atrofi sekunder biasa disebabkan oleh berbagai
kondisi seperti trauma maksilofasial dan hidung, pembedahan hidung, infeksi kronis
atau akut berulang, penyakit granulomatosa kronik dan paparan radiasi.
2.3 Epidemiologi1,2,6,7
Insidensi terjadinya Rhinitis kronik atrofi sudah berkurang pada abad terakhir,
dicurigai akibat meningkatnya penggunaan antibiotik pada kasus infeksi kronis nasal.
Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai wanita,
terutama pada usia pubertas. Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria, dan Jiang
dkk mendapatkan 15 wanita dan 12 pria. Samiadi mendapatkan 4 penderita wanita
dan 3 pria. Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 :
1.
Prevalensi terjadinya Rinitis atrofi primer tinggi pada daerah yang kering,
jarang hujan seperti pada gurun-gurun di Arab Saudi. Studi melaporkan bahwa Rinitis
atrofi banyak ditemui di pada orang asia, Hispanics dan afrika-amerika. Pada satu
studi dilaporkan bahwa 69.6% penderita berasal dari rural area dan 43.5%
merupakan pekerja pabrik. Rinitis atrofi banyak menyerang orang dengan sosial
ekonomi rendah, dan higienis yang buruk. Angka kejadian enam kali lebih sering
pada wanita dibandingkan dengan laki-laki.
2.4 Etiologi 9,12
Penyebab dari rhinitis kronis atrofi primer masih belum jelas diketahui, tetapi
infeksi bakteri kronik pada hidung dan nasal sering dikatakan sebagai penyebab
terjadinya Rinitis atrofi primer. Dari hasil pemeriksaan sediaan apus nasal, ditemukan
Klebsiella Ozaenae (paling banyak), Coccobacillus of Perez, Coccobacillus of
Loewenberg, Pseudomonas Aeruginosa, dll. Defisiensi fe, defisiensi vitamin A,
kelainan hormonal, penyakit kolagen dan kelainan autoimun juga sering dikaitkan
dengan terjadinya kasus Rhinitis kronik atrofi. Rhinitis kronik atrofi sekunder
merupakan rhinitis atrofi yang terjadi setelah ada kondisi fisik yang terjadi
sebelumnya, seperti trauma, infeksi, post operation, dalam terapi radiasi dan lainnya.
Dapat di jabarkan sebagai berikut;
1. Infeksi kuman spesifik, yang tersering ditemukan adalah spesies Klebsiela,
terutama Klebsiela ozaena. Kuman lainnya antara lain Staphylokokus,
Streptokokus dan Pseudomonas aeruginosa.
2. Beberapa faktor yang mungkin menimbulkan penyakit ini adalah trauma yang
luas pada mukosa, sifilis.
3. Oleh karena penyakit ini mulai timbul pada usia remaja (pubertas) dan lebih
banyak ditemukan pada wanita, maka diduga ketidakseimbangan endokrin
juga berperan sebagai penyebab penyakit ini.
4. Gizi buruk, biasanya karena defisiensi vitamin A, vitamin C dan zat besi.
5. Penyakit kolagen, yang termasuk penyakit autoimun.
6. Herediter.
7. Berhubungan dengan trauma atau terapi radiasi. Trauma dapat terjadi karena
kecelakaan ataupun iatrogenik, yaitu efek lanjut pembedahan, sedangkan
terapi radiasi pada hidung segera merusak pembuluh darah dan kelenjar
penghasil mukus.
2.5 Patogenesis4,8,11
Rhinitis kronik atrofi mempunyai gejala yang khas yaitu dengan adanya
perubahan atrofi pada seluruh bagian hidung. Trias Rhinitis atrofi meliputi, bau,
krusta, dan atrofi nasal. Histopatologi Rhinitis atrofi ditandai dengan adanya
perubahan epitel respirasi normal menjadi epitel kubus atau epitel gepeng skuamosa
berlapis (metaplasia), dengan atau tanpa keratinisasi. Atrofi pada silia, mukosa dan
kelenjar submukosa, dimana mukosa menjadi pucat, tampak lengket, terdapat secret
yang mengering membentuk krusta berwarna hijau kekuningan dan scabs. Bau yang
tercium merupakan akibat dari terjadinya infeksi sekunder. Keluhan anosmia terjadi
karena proses atrofi juga mengenai epitel olfaktorius, sel saraf bipolar dan serat saraf,
ditambah dengan insufisiensinya udara untuk mencapai area olfaktorius karena
adanya krusta yang menghalangi.
Rhinitis atrofi dibagi menjadi dua jenis. Rinitis Atrofi tipe satu, merupakan
tipe yang sering terjadi, dimana ditemukannya endarteritis obliterans, periarteritis,
dan fibrosis periarteria terminal arteriol akibat dari infeksi kronik dengan infiltrate sel
plasma. Rhinitis atrofi tipe satu ini berespon baik terhadap efek vasodilator terapi
estrogen. Rhinitis atrofi tipe dua, lebih jarang ditemui. Pada tipe ini, Sel endotel pada
kapiler yang berdilatasi memiliki sitoplasma yang berlebih, dan menunjukkan adanya
resorpsi tulang melalui ditemukannya alkaline fosfatase. Rhinitis atrofi tipe dua tidak
berespon baik terhadap terapi estrogen.
Sutomo dan Samsudin membagi rhinitis atrofi secara klinik dalam tiga tingkat :
A. Anamnesa
Keluhan yang paling sering di keluhkan pasien adalah adanya perasaan hidung yang
tersumbat dikarenakan adanya blunting effect, dan krusta yang besar yang mengahalangi
aliran udara. Keluhan lain yang juga sering dikeluhkan pasien adalah bau busuk yang
dikeluhkan orang sekitar, yang membuat pasien jadi memiliki masalah sosial, pasien sendiri
tidak dapat mencium bau busuk tersebut, karena pasien mengalami anosmia. Pusing, sekret
purulent, krusta kehijauan berbau busuk yang terlepas dan menyebabkan pendarahan hidung
B. Pemeriksaan Fisik
Pada 100% kasus ditemui (1) krusta, disusul dengan (2) kavum nasi yang lapang
dengan atrofi konka inferior pada rhinoskopi anterior (62% parsial, 37% total),
atrofi konka media pada 57% kasus, adanya (3) sekret pada 52% kasus, dan (4)
perforasi septum yang hanya ditemui pada 10% kasus.
C. Pemeriksaan Penunjang9,11
Radiologi
Mikrobiologi
Ditemuinya kuman Klebsiella Ozaena, Pseudomonas Aeroginosa
dan lainnya seperti yang tertera di etiologi pada hasil kultur bakteri.
Biopsi14
Konservatif
NaCl
NH4Cl
NaHCO3
Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat
c. Larutan NaCl
d. Campuran :
Na bikarbonat 28,4 g
Na diborat 28,4 g
NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat
Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan
menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui
mulut, dilakukan dua kali sehari. Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi
(Ozaena) biasanya dengan pemberian preparat Fe.
3. Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam
gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U /
ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan
tiga kali sehari masing-masing tiga tetes.
4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu.
5) Preparat Fe
6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan Rjvanski
melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan
dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan
93,3% perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini membantu regenerasi epitel
dan jaringan kelenjar. Samiadi dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2
tablet sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl
fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek
samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci hidung
diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang memuaskan
pada 6 dari 7 penderita.
Terapi operatif
Tujuan operasi pada rhinitis atrofi antara lain untuk : menyempitkan rongga
hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta dan
mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi. Teknik
bedah dibedakan menjadi dua kategori utama :
2.9 Komplikasi
1. Perforasi septum
2. Faringitis
3. Sinusitis
4. Hidung pelana
2.10 Prognosis
Prognosis rhinitis atrofi tergantung dari etiologi dan progresifitas penyakitnya,
jika cepat ditangani umumnya akan berakhir baik. Jika penyakit di diagnosa pada
tahap awal dan penyebabnya dapat dipastikan bakteri, maka terapi antimikrobial yang
adekuat serta cuci hidung yang rutin diharapkan dapat mengembalikan fungsi hidung
kembali. Jika penyakit didapati dengan gejala klinis yang parah, tetap dicoba dengan
terapi medika mentosa, dan jika tidak berhasil perlu dipikirkan untuk melakukan
tindakan bedah
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Tn. C
Jenis kelamin : Laki - laki
Umur : 21 tahun
Status pernikahan : Belum Menikah
Alamat : JL.AR Hakim RT/RW 02/12, Randugunting, Tegal Selatan
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
No. RM : 930627
Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara Autoanamnesis pada tanggal 10 Oktober 2018 pada
pukul 10.15 WIB bertempat di Poliklinik THT RSUD Kardinah Tegal.
1. Keluhan Utama
Keluar cairan berlendir disertai bau sejak 1 bulan SMRS.
5. Riwayat Kebiasaan
Pasien bekerja sebagai cleaning service di suatu rumah sakit. Pasien
merokok dan jarang berolahraga.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
Kesan sakit : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Kesan gizi : Gizi Sedang
BB : 55 kg
TB : 172 cm
Tanda Vital
Suhu : 36,2 0C
Nadi : 80x/menit
TD : 120/80 mmHg
Pernapasan : 20x/menit
Status Generalis
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera Iklterik (-/-)
Telinga : Status Lokalis
Hidung : Status Lokalis
Mulut : Status Lokalis
Leher : Jejas (-), oedem (-), hematom (-), pembesaran kelenjar getah
bening dan tiroid (-), nyeri tekan (-)
Thorax
Jantung
Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Pulsasi iktus kordis teraba di ICS V linea midklavikularis
sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan : ICS IV linea sternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS V linea midklavikularis sinistra
Dextra Sinistra
Hidung
Dextra Sinistra
Orofaring
Mulut Trismus(-)
Warna : Hiperemis(-)
Detritus: -/-
Perlekatan : -
Massa : -
Diagnosa
a. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada pasien ini :
- Rhinosinusitis kronis
- Rhinitis Kronik Atrofi (Ozaena)
b. Diagnosis Kerja
Diagnosis kerja pada pasien ini adalah Rhinitis Kronik Atrofi (Ozaena)
Penatalaksanaan
Medikamentosa :
- Levofloxacin 2x1
- Metilprednisolon 2x1
Non Medikamentosa :
- Spooling hidung dengan NaCl
- Ekstraksi krusta
- Edukasi :
o Hindari paparan langsung dari suhu dingin menggunakan masker dan
jaket
o Membersihkan hidung dari lendir dengan air hangat
o Meningkatkan daya tahan tubuh dengan asupan gizi yang baik
o Menjaga lingkungan dan sanitasi yang baik
Prognosis
Ad vitam : Bonam
Ad functionam : Bonam
Ad sanationam : Bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
Rhinitis kronik atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik dengan tanda
adanya atrofi progresif tulang dan mukosa konka. Etiologi penyakit ini belum jelas.
Beberapa hal dianggap sebagai penyebab seperti infeksi oleh kuman spesifik, yaitu
klebsiela, yang sering Klebsiela Ozaena, kemudian Staphylokokus, dan Pseudomonas
aeruginosa, selain itu bisa juga disebabkan karena defisiensi Fe, defisiensi vitamin A,
kelainan hormonal dan penyakit kolagen. Mungkin berhubungan dengan trauma atau
terapi radiasi. Gejala klinis adalah berupa keluhan subyektif yang sering ditemukan
pada pasien biasanya hidung terasa tersumbat, nafas berbau (sementara pasien sendiri
menderita anosmia), sekret kental warna kehijauan, krusta, gangguan penciuman,
sakit kepala. Pada pemeriksaan THT ditemukan rongga hidung sangat lapang, konka
inferior dan media hipotrofi atau atrofi, sekret purulen hijau, dan krusta berwarna
hijau. Terapi untuk saat ini belum ada yang baku, terapi ditujukan untuk
menghilangkan etiologi dan gejala yang dapat dilakukan secara konservatif maupun
operatif.
DAFTAR PUSTAKA