Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH EPIDEMIOLOGI DAN STATISTIK KESEHATAN

MASYARAKAT PADA REMAJA PUTRI DENGAN ANEMIA

Diajukan untuk memenuhi tugas Pelayanan Kesehatan Primer

Dosen Pembimbing :Agus kurniawan, SKM.,MKM

Disusun Oleh Tingkat 3A

Kelompok 3

Cahya Muammar Syahzidan (19031)


Ananda P
M Murobil Fadli (19030)

Tyana Rosalina (19048)


(19006)
Ria Aprilia Annisa (19041)
Delia Mandalasari (19008)
Risma Dias Parie (19043)
Diah Dwi Lutfiah (19010)

STIKES AHMAD DAHLAN CIREBON

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN


Jl. Walet No.21, Kertawinangun, Kedawung, Cirebon, Jawa Barat 45153

Telp./Fax.[0231]201942 Cirebon, E-mail:akper_muh@yahoo.co.id


Tahun 2019/2020

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Remaja didefinisikan sebagai periode transisi perkembangan dari masa kanak-kanak


ke masa dewasa, yang mencakup aspek biologi, kognitif, dan perubahan sosial yang
berlangsung antara usia 10-19 tahun (Santrock, 2007). Perubahanperubahan yang terjadi pada
masa transisi ini cenderung membuat remaja berusaha mengeksplorasi diri,
mengaktualisasikan peran yang dapat mengarahkan remaja kepada gaya hidup yang negatif
(Stanhope & Lancaster, 2016), seperti mengonsumsi makanan rendah zat besi, tidak suka
mengonsumsi sayuran hijau, dan istirahat kurang yang dapat menimbulkan berbagai masalah
kesehatan diantaranya anemia pada remaja (Miller, 2012)

WHO (2014) menyatakan 1,65 miliar orang mengalami anemia. Terdapat 9 dari 10
orang di negara berkembang mengalami anemia.Menurut Kemenkes RI (2013) wanita
berisiko mengalami anemia paling tinggi terutama pada remaja putri. Berdasarkan Riskesdaas
tahun 2013 diperoleh data bahwa prevalensi anemia di Indonesia pada remaja putri adalah
sebesar 25% dan anemia pada remaja sebesar 17-18% (Depkes RI, 2014). Iskandar (2009),
menyebutkan bahwa anemia gizi pada remaja putri disebabkan oleh kurang pengetahuan,
sikap, dan keterampilan remaja akibat kurangnya informasi, kurang kepedulian orang tua,
masyarakat, dan pemerintah terhadap kesehatan remaja serta belum optimalnya pelayanan
kesehatan remaja.

Terjadinya anemia pada remaja putri berfokus pada pola perilaku yang tidak sehat,
seperti: remaja cenderung tidak suka mengonsumsi sayuran, adanya keinginan untuk tetap
langsing atau kurus, diet tidak seimbang, ketidakseimbangan asupan nutrisi dengan aktivitas
(Linda, Michelle, & Laura, 2013; Mesias, Seiquer, & Navarro, 2012; Anand, Rahi, Sharma,
& Ingle, 2013), yang dapat menimbulkan berbagai dampak. Menurut Linda, Michelle, &
Laura (2013) keinginan remaja untuk tetap langsing atau kurus sehingga berdiet dan
mengurangi makan sering menyebabkan kekurangan zat besi pada remaja putri. Diet yang
tidak seimbang dengan kebutuhan zat gizi tubuh akan menyebabkan tubuh kekurangan zat
gizi yang penting seperti besi (Arisman, 2007).
Ketidakseimbangan antara asupan dan kebutuhan apabila tidak ditangani dapat
mengakibatkan menurunnya kemampuan dan konsentrasi belajar, mengganggu pertumbuhan
dan perkembangan remaja, dan menurunkan kemampuan fisik dan kebugaran (Neri,
2009).Penelitian yang dilakukan oleh Bagni, Yokoo, & Veiga (2014) menyatakan terdapat
hubungan antara asupan nutrisi dengan kejadian anemia; anemia pada remaja terjadi karena
kurangnya asupan makanan yang mengandung zat besi.

Menurut Hayati (2010), akibat jangka panjang anemia pada remaja putri adalah
apabila remaja putri nantinya hamil, maka ia tidak akan mampu memenuhi zat-zat gizi bagi
dirinya dan juga janin dalam kandungannya serta pada masa kehamilannya anemia ini dapat
meningkatkan frekuensi komplikasi, resiko kematian maternal, angka prematuritas, BBLR,
dan angka kematian perinatal. Selain itu, anemia pada remaja dapat menyebabkan
keterlambatan pertumbuhan fisik, gangguan perilaku serta emosional. Hal ini dapat
memengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan sel otak sehingga dapat menimbulkan
daya tahan tubuh menurun, mudah lemas dan lapar, konsentrasi belajar terganggu, prestasi
belajar menurun serta dapat mengakibatkan produktifitas kerja yang rendah (Sayogo, 2006).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa penyebab terjadinya anemia pada remaja ?
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi anemia pada remaja ?
3. Bagaimana cara penangan anemia pada remaja ?
4. Bagaimana besara anemia pada remaja ?
5. Bagaimana persebaran masalah anemia pada remaja ?
BAB II

TINJAUAN TEORI

1. Penyebab Anemia Pada Remaja


Penyebabnya antara lain sebagai berikut :
1) Pengetahuan
Pengetahuan yang kurang dapat mempengaruhi perilaku dalam pemilihan
makanan mereka sehari-hari. Pemilihan makanan yang tidak tepat memiliki
pengaruh terhadap ketidakcukupan asupan gizi termasuk asupan zat besi.Tidak
menutup kemungkinan jika anemia yang diderita oleh para partisipan disebabkan
oleh pemilihan makanan yang tidak tepat karena pengetahuan yang minim yang
dimiliki partisipan tentang anemia ataupun zat gizi.Selain itu juga kerena persepsi
yang salah tentang penyebab anemia.
2) Asupan zat gizi
Asupan zat gizi partisipan seperti asupan energi, protein, vitamin c dan zat
besitergolong defisit dari hasil wawancara ffq.Sebagian besar partisipan tidak
memperhatikan asupan makanan.Perilaku partisipan yaitu perilaku kebiasaan
minum teh dan kopi.Kondisi menstruasi yang bayak dengan disertai keluhan
pusing. Kondisi lain yang terjadi pada responden adalah semua responden sama
sekali tidak pernah mengkonsumi rutin tablet fe.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa asupan protein seluruh responden kurang
dari akg.Tidak ada satupun partisipan yang memiliki tingkat konsumsi protein
yang baik, maka hal ini dapat menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya
anemia yang mereka derita.
Hasil penelitian ini, sesuai dengan penelitian bridges (2008), yang menyatakan
bahwa kurangnya asupan protein dapat mengakibatkan transportasi zat besi dalam
tubuh menjadi terlambat dan tidak berjalan baik, sehingga akan menyebabkan
timbulnya defisiensi zat besi, dari defisiensi zat besi tersebut menyebabkan kadar
hb dalam darah menurun.
Berdasarkan hasil penelitian rohimah & amp; haryati (2014) menunjukkan
konsumsi zat besi hem dan non hem dalam diet harian terhadap nilai hemoglobin
pada remaja putri memiliki pengaruh yang signifikan. Hal ini menunjukkan
pentingnya peranan zat besi hem dalam pembetukan hemoglobin.
Dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa asupan vitamin c seluruh
partisipan digolongkan kurang.Hal ini dikarenakan kebiasaan informan yang
jarang makan sayur dan buah. Penyerapan zat besi sangat dipengaruhi oleh
ketersedian vitamin c. Peranan vitamin c dalam proses penyerapan zat besi yaitu
membantu mereduksi besi ferri (fe3+) menjadi ferro (fe2+) dalam usus halus
sehingga mudah diabsorpsi, proses reduksi tersebut akan semakin besar bila ph di
dalam lambung semakin asam. Vitamin c dapat menambah keasaman sehingga
dapat meningkatkan penyerapan zat besi hingga 30% (almatsier, 2009).
Zat besi adalah salah satu unsur penting dalam proses pembentukan sel darah
merah. Sama dengan asupan vitamin c, dalam penelitian ini juga di dapatkan hasil
bahwa asupan zat besi seluruh partisipan tergolong defisit karena < 60 %.Asupan
zat besi yang defisit merupakan faktor yang paling menentukan seluruh partisipan
menderita anemia. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan bebarapa penelitian
yang dilakukan oleh feriani (2004), dan kwatrin (2007), yang mana mereka
mendapatkan hasil bahwa asupan zat besi merupakan faktor terjadinya anemia
pada remaja putri.
3) Pola makan dan minum
Perilaku makan dan minum menjadi salah satu faktor terjadinya anemia pada
remaja.Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara kebiasaan sarapan pagi setiap hari dengan kejadian anemia.
Penelitian tandirerung, mayulu, & shirly e. S. Kawengin, (2013) bahwa anak yang
tidak memiliki kebiasaan makan pagi akan lebih mudah mengarah ke anemia
dibandingkan dengan anak yang memiliki kebiasaan makan pagi. Diketahui
bahwa sebagian partisipan tidak terbiasa sarapan pagi, dikarenakan tidak sempat
bahkan tidak terbiasa sarapan pagi.
Selain itu Sebagian besar partisipan memiliki kebiasaan minum teh atau kopi
satu sampai dua hari sekali setelah makan.Sebagian besar minum teh jika sedang
ingin saja, namun terdapat sebagian kecil lainya memiliki kebiasaan minum kopi
rutin setelah makan. Zat yang dapat menghambat penyerapan besi atau inhibitor
antara lain adalah kafein, tanin, oksalat, fitat, yang terdapat dalam produk-produk
kacang kedelai, teh, dan kopi..Hasil penelitian Royani, Irwan, & Arifin (2016)
menunjukkan bahwa semakin banyak frekuensi konsumsi teh yang diminum serta
jarak waktu yang dekat antara konsumsi teh setelah makan yang rutin dilakukan
maka resiko kejadian anemia semakin tinggi.
4) Menstruasi
Siklus menstruasi normal dialami satu kali dalam sebulan, maka dari itu dapat
dikatakan frekuensi atau siklus menstruasi perempuan usia reproduksi adalah satu
kali sebulan. Namun, menstruasi yang abnormal dapat mengakibatkan
meningkatnya kehilangan sel darah merah karena adanya perdarahan. Hasil
penelitian yang menunjukkan bahwa menstruasi yang dialami oleh partisipan
merupakan salah satu faktor penentu dari anemia yang mereka derita, sejalan
dengan hasil penelitian Satyaningsih (2007) dan Dilla Nursari (2009), bahwa
remaja putri dengan frekuensi haid yang tidak normal memiliki resiko 2,6 kali
menderita anemia dibandingkan dengan remaja putri yang frekuensi haidnya
normal.
Jika dilihat dari pendidikan, dan pendapatan yang bervariasi, rendah maupun
tinggi, serta pekerjaan tetap ataupun tidak tetap dari orangtua partisipan,
karakteristik orangtua tidak dapat dijadikan sebagai salah satu faktor yang
menentukan seseorang menderita anemia.Diketahui bahwa sebagian besar
partisipan status gizinya adalah normal hanya dua orang yang berstatus gizi lebih
dan satu orang berstatus gizi kurang.
5) Status gizi
Hasil penelitian Restuti & Susindra (2016) menunjukkan sebanyak 45 subyek
memiliki status gizi normal dan tidak anemia, namun masih terdapat 17 subyek
yang memiliki status gizi normal tetapi anemia, penyebab anemia tidak hanya
disebabkan oleh asupan tetapi juga faktor genetik atau karena penyakit. Kebiasaan
makan pada remaja putri yang salah juga berpengaruh terhadap pemenuhan
kebutuhan dan status gizi. Dimana remaja putri sering mengkonsumsi junk food
yang kaya akan kandungan energi tetapi sangat minim kandungan vitamin dan
mineral sehingga belum tentu remaja putri yang mempunyai status gizi normal
tidak mengalami defisiensi zat besi ataupun mineral.

2. Faktor yang Mempengaruhi Anemia pada Remaja


Berbagai penelitian menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
anemia pada remaja puteri secara umum meliputi tingkat pengetahuan gizi, pola
konsumsi, sosial ekonomi, status kesehatan, aktifitas fisik, dan pola siklus
menstruasi.Berikut adalah uraian singkat mengenai faktor-faktor determinan yang
dimaksud.
a. Pengetahuan Gizi
Sebelum seseorang mengadopsi perilaku (berperilaku baru), ia harus
tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau
keluarganya. Pengetahuan ini yang merupakan tahap awal agar seseorang mau
dan mampu melakukan sesuatu sesuai yang semestinya.Perilaku dalam
menerapkan sesuatu informasi terbentuk dimulai dengan domain kognitif yang
merupakan rangsangan dari luar sehingga menimbulkan pengetahuan baru
dalam diri manusia (Notoatmodjo, 2003). Kaitannya dengan pengetahuan gizi
hasil penelitian (Fadila & Kurniawati, 2017) ditemukan distribusi pengetahuan
gizi remaja puteri mayoritas berkumpul pada nilai 50 dan 60 , yaitu antara
kategori kurang dan cukup, dengan nilai terendah adalah 6.7 dan tertinggi 80,
serta nilai rata-rata. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Fauzi (2012) yang
menyatakan bahwa pengetahuan gizi pada remaja khususnya tentang zat besi
masih sangat rendah. Kemenkes (2012) menyatakan bahwa 88 persen remaja
memiliki persepsi kurang tepat terkait dengan anemia serta tidak mengetahui
sama sekali apa penyebab dari anemia.
Pengetahuan gizi yang rendah atau kurang menyebabkan sebagian
remaja tidak memahami apakah makanan sehari-hari yang dikonsumsi sudah
memenuhi syarat menu seimbang atau belum. Pengetahuan gizi juga akan
membuka wawasan para remaja puteri mengenai dampak dari kekeliruan
perilaku gizi yang selama ini sudah dilakukan. Menurut Permaesih (2005),
faktor pendidikan dapat mempengaruhi status anemia seseorang sehubungan
dengan pemilihan makanan yang dikonsumsi. Tingkat pendidikan yang lebih
tinggi akan mempengaruhi pengetahuan dan informasi tentang gizi. Kondisi
ini memperlihatkan perlunya intervensi lebih lanjut mengenai pemberian
informasi yang lebih intensif tentang pentingnya pengetahuan gizi khususnya
yang berkaitan dengan pedoman gizi seimbang pada remaja puteri.

b. Pola Konsumsi
Banyaknya asupan zat besi menjadi faktor yang juga mempengaruhi
kejadian anemia pada remaja puteri. Hasil penelitian Aeni (2012) menjelaskan
bahwa kejadian anemia pada remaja puteri (Studi Kasus pada SMK Negeri 1
Kota Tegal) terjadi pada mereka yang banyaknya tingkat asupan zat besi
memiliki kategori defisit (kurang), dan terjadi juga akibat kurangnya konsumsi
makanan yang dapat meningkatkan absorbsi zat besi sehingga kebutuhan zat
besi tidak terpenuhi. Ketidakcukupan ini disebabkan karena pola konsumsi
masyarakat Indonesia yang masih menggunakan sayuran sebagai sumber
utama zat besi.Sayuran merupakan sumber zat gizi yang baik tetapi sulit untuk
diserap, sedangkan bahan pangan hewani merupakan sumber zat gizi yang
baik jarang dikonsumsi terutama oleh masyarakat pedesaan (Hulu,
2004).Almatsier (2011) menyebutkan bahwa daging, ayam, dan ikan memiliki
kandungan besi yang tinggi, serealia dan kacang-kacangan memiliki
kandungan besi yang sedang, serta sebagian besar sayur-sayuran yang
mengandung asam oksalat tinggi seperti bayam memiliki kandungan besi yang
rendah. Kebiasaan masyarakat Indonesia dalam mengonsumsi teh dan kopi
juga menjadi faktor lain yang menyebabkan banyaknya penderita anemia.
Kopi dan teh mengandung polifenol (asam fenolat, flavonoid, dan produk
polimerisasi) yang berpengaruh pada proses penyerapan zat besi (inhibitor).
Kalsium yang terdapat pada olahan susu dan keju juga dapat menjadi inhibitor
absorbsi besi. Selain hal-hal tersebut, remaja putri sering melakukan diet
(mengurangi makan) karena ingin langsing dan mempertahankan berat badan.
Penyerapan zat besi akan maksimal jika di fasilitasi oleh asam askorbat
(vitamin C), seperti yang terkandung dalam buah kiwi, jambu biji, dan jeruk.
Hal ini didukung oleh hasil penelitian dari Kirana (2011) yang mengatakan
bahwa semakin tinggi asupan protein, vitamin A, vitamin C, dan zat besi
semakin tinggi pula kadar hemoglobinnya.

c. Sosial Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi keluarga memiliki pengaruh pada pola
konsumsi pangan secara makro, dimana jika pendapatan keluarga semakin
besar maka semakin beragam pola konsumsi masyarakat. Pendapatan keluarga
merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan yang
dikonsumsi oleh seluruh anggota keluarga, hal ini juga akan berpengaruh pada
uang saku anak dan kebiasaan anak untuk makan. Sanjur (1982)
menambahkan bahwa keluarga yang memiliki anggota keluarga banyak akan
mempengaruhi belanja pangan, dimana pendapatan perkapita dan belanja
pangan akan menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga.
Menurut data BPS (2018) pada bulan maret jumlah penduduk miskin di
Indonesia mencapai 25,95 juta orang (9,82%), berkurang sebesar 633,2 ribu
orang dibandingkan dengan kondisi September 2017 yaitu 26,58 Juta orang
(10,12%). Diharapkan dari berkurangnya angka kemiskinan maka akan
memperbaiki pola konsumsi masyarakat Indonesia.
d. Status Kesehatan
Infeksi penyakit yang memperbesar risiko anemia adalah infeksi
cacing dan malaria karena dapat menghambat pembentukan hemoglobin.Diare
dan ISPA juga dapat mengganggu nafsu makan sehingga berakibat pada
penurunan konsumsi gizi.Penelitian Farida (2006) menyatakan ada hubungan
yang bermakna antara infeksi dan anemia dimana angka kejadian anemia
remaja putri yang menderita infeksi dalam satu bulan terakhir lebih besar
dibandingkan yang sehat.Status gizi adalah salah satu parameter untuk
mengukur status kesehatan, karena status gizi merupakan cerminan akumulasi
konsumsi zat gizi dari masa ke masa. Status Gizi mempunyai korelasi positif
dengan kadar Hb, Seperti yang diungkapkan oleh Permaesih (2005) yang
menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan
anemia. Remaja puteri yang memiliki status gizi kurus/kurang memiliki resiko
1,4 kali untuk menderita kukurangan Hb atau anemia dibandingkan dengan
yang memiliki status gizi normal.
e. Aktifitas Fisik
Aktivitas fisik manusia mempengaruhi kadar hemoglobin dalam darah.
Individu yang secara rutin berolahraga kadar hemoglobinnya akan naik. Hal
ini disebabkan karena jaringan atau selakan lebih banyak membutuhkan O2
ketika melakukan aktivitas.Tetapi aktifitas fisik yang terlalu ekstrim dapat
memicu terjadinya ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan
sistem pertahanan antioksidan tubuh, yang dikenal sebagai stres oksidatif.
Pada kondisi stres oksidatif, radikal bebas akan menyebabkan terjadinya
peroksidasi lipid membran sel dan merusak organisasi membran sel.
Peroksidasi lipid membran sel memudahkan sel eritrosit mengalami hemolisis,
yaitu terjadinya lisis pada membran eritrosit yang menyebabkan Hb terbebas
dan pada akhirnya menyebabkan kadar Hb mengalami penurunan. Hal yang
berbeda diungkapkan dalam penelitian Chibriyah (2017) dengan nilai P 0,623
dan Kosasi (2014) dengan uji analisis Mann Whitney 0,265 maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kadar
hemoglobin
f. Pola Menstruasi
Haid adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus disertai
pelepasan endometrium, sedangkan siklus haid adalah serangkaian periode
dari perubahan yang terjadi secara berulang pada uterus dan organ-organ yang
terjadi pada masa pubertas dan berakhir pada saat menopause.Salah satu
penyebab anemia adalah kehilangan darah, dan wanita mengalami siklus
kehilangan darah secara alami ini tiap bulan.Jumlah kehilangan darah
dipengaruhi oleh siklus serta lamanya haid.Kehilangan darah yang banyak
dapat mengakibatkan anemia.Hal ini didukung oleh hasil penelitian dari farida
(2006) bahwa ada korelasi positif antara pola haid an anemia.Dimana siklus
haid yang lebih pendek dan lama haid yang berlangsung lebih dari 8 hari
memungkinkan untuk kehilangan besi dalam jumlah lebih banyak dari pada
yang memiliki siklus dan lama haid yang normal.

3. Cara penanganan anemia pada remaja


Pencegahan dan pengobatan anemia dapat ditentukan dengan memperhatikan
faktor-faktor penyebabnya, jika penyebabnya adalah masalah nutrisi, penilaian status
gizi dibutuhkan untuk mengidentifikasi zat gizi yang berperan dalam kasus anemia.
Anemia gizi dapat disebabkan oleh berbagai macam zat gizi penting pada
pembentukan hemoglobin.Defisiensi besi yang umum terjadi di dunia merupakan
penyebab utama terjadinya anemia gizi (Fatmah, 2011).
Kurangnya zat besi dalam makanan dapat mengakibatkan anemia (Proverawati dan
Asfuah, 2009).
Terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan
menanggulangi anemia akibat kekurangan konsumsi besi. Upaya pertama
meningkatkan konsumsi besi dari sumber alami melalui pendidikan atau penyuluhan
gizi kepada masyarakat, terutama makanan sumber hewani yang mudah diserap, juga
makanan yang banyak mengandung vitamin C, dan vitamin A untuk membantu
penyerapan besi dan membantu proses pembentukan hemoglobin. Kedua, melakukan
fortifikasi bahan makanan yaitu menambah besi, asam folat, vitamin A, dan asam
amino essensial pada bahan makanan yang dimakan secara luas oleh kelompok
sasaran. Ketiga melakukan suplementasi besi folat secara rutin kepada penderita
anemia selama jangka waktu tertentu untuk meningkatkan kadar hemoglobin
penderita secara cepat (Depkes, 1996).
Pendidikan atau penyuluhan gizi adalah pendekatan edukatif untuk
menghasilkan perilaku individu atau masyarakat yang diperlukan dalam
meningkatkan perbaikan pangan dan status gizi (Suhardjo, 1989; Madanijah, 2004).
Harapannya adalah orang bisa memahami pentingnya makanan dan gizi, sehingga
mau bersikap dan bertindak mengikuti norma-norma gizi (Suhardjo, 1989).
Pendidikan gizi secara 86 komprehensif yaitu pada anak anemia, guru dan orang tua
diberikan dengan harapan pengetahuan gizi anak, guru dan orang tua serta pola makan
makan anak akan berubah sehingga asupan makan terutama asupan besi anak akan
lebih baik. Dengan asupan besi yang lebih baik, maka kadar hemoglobin anak akan
meningkat. Pada dasarnya program pendidikan gizi bertujuan merubah perilaku yang
kurang sehat menjadi perilaku yang lebih sehat terutama perilaku makan (Sahyoun et
al, 2004).
Beberapa penelitian di berbagai negara menemukan bahwa pendidikan gizi
sangat efektif untuk merubah pengetahuan dan sikap anak terhadap makanan, tetapi
kurang efektif untuk merubah praktek makan (Februhartanty, 2005).
Pengetahuan merupakan hasil proses penginderaan terhadap objek tertentu. Proses
penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan,
pendengaran, penciuman rasa dan melalui kulit. Pengetahuan merupakan faktor
dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.

4. Besaran Anemia Pada Remaja


Kondisi anemia pada remaja indonesia saat ini
Berdasarkan data riset kesehatan dasar tahun 2007, 2013 dan 2018 terlihat
adanya tren peningkatan prevalensi anemia pada remaja. Pada tahun 2018, terdapat
32% remaja di Indonesia yang mengalami anemia. Hal ini berarti bahwa terdapat
kurang lebih 7.5 juta remaja Indonesia yang berisiko untuk mengalami hambatan
dalam tumbuh kembang, kemampuan kognitif dan rentan terhadap penyakit infeksi.
Sumber: diolah dari Riskesdas 2007, 2013 dan 2018

Salah satu intervensi yang dilakukan dalam upaya menurunkan prevalensi


anemia pada remaja adalah suplementasi zat besi dan asam folat melalui pemberian
tablet tambah darah (TTD). Pada tahun 2018, terdapat 76.2% remaja putri yang
mendapatkan tablet tambah darah dalam 12 bulan terakhir, Namun, hanya sebanyak
2,13% diantaranya yang mengkonsumsi TTD sesuai anjuran (sebanyak ≥52 butir
dalam satu tahun).11

Secara umum, remaja putri mendapatkan TTD dari dua sumber utama yaitu
fasilitas kesehatan dan sekolah.11 Pada saat ini, kondisi pandemi Covid-19 menjadi
suatu tantangan besar dalam upaya distribusi TTD.Pemberlakuan kebijakan
pembatasan sosial skala besar (PSBB) membatasi kegiatan belajar mengajar secara
tatap muka dan mengakibatkan tutupnya sekolah.Implikasinya, proses distribusi TTD
yang sebagian besar dilaksanakan di sekolah menjadi terhambat. Data dari Dinas
Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat menunjukkan terdapat penurunan yang
siginifikan pada persentase remaja putri yang mendapatkan TTD pada tahun 2020.
Terdapat beberapa upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan cakupan
pemberian TTD pada remaja putri diantaranya dengan adanya petunjuk teknis
pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan selama pandemi yang diterbitkan oleh
Kementerian Kesehatan.Selain itu, terdapat beberapa program inovasi di daerah yang
dilaksanakan oleh mitra pembangunan dan CSO (civil society organization). Salah
satunya adalah program Aksi Bergizi yang dilaksanakan oleh UNICEF dan Nutrition
International. Ke depannya, diperlukan berbagai upaya inovatif dan strategis serta
penguatan kolaborasi dengan semua pemangku kepentingan dalam upaya pencegahan
anemia pada remaja di Indonesia terutama pada masa pandemi ini.Mari kita wujudkan
remaja Indonesia sehat dan bebas anemia.

5. Persebaran masalah anemia pada remaja


Menteri Kesehatan RI mengungkapkan beberapa masalah kesehatan yang
dialami dan mengancam masa depan remaja Indonesia. Paparan tersebut disampaikan
oleh Plt. Dirjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes RI, dr. Pattiselano Robert Johan,
MARS, di dalam sebuah seminar kesehatan dan gizi remaja bertema di Jakarta yang
dihadiri pula oleh Duta Besar Kanada dan Duta Besar Australia serta Yayasan Mitra
Pangan, Gizi dan Kesehatan Indonesia (MPGKI), Selasa pagi (15/5). Seminar tersebut
mengangkat tema ''Edukasi dan Kampanye Kesehatan dan Gizi Remaja Menuju
Generasi Tinggi, Cerdas dan Berprestasi''.
1) Remaja Kurang Zat Besi (Anemia)
Salah satu masalah yang dihadapi remaja Indonesia adalah masalah
gizi mikronutrien, yakni sekitar 12% remaja laki-laki dan 23% remaja
perempuan mengalami anemia, yang sebagian besar diakibatkan kekurangan
zat besi (anemia defisiensi besi).
Anemia di kalangan remaja perempuan lebih tinggi dibanding remaja
laki-laki. Anemia pada remaja berdampak buruk terhadap penurunan
imunitas, konsentrasi, prestasi belajar, kebugaran remaja dan produktifitas.
Selain itu, secara khusus anemia yang dialami remaja putri akan
berdampak lebih serius, mengingat mereka adalah para calon ibu yang akan
hamil dan melahirkan seorang bayi, sehingga memperbesar risiko kematian
ibu melahirkan, bayi lahir prematur dan berat bayi lahir rendah (BBLR).
Anemia dapat dihindari dengan konsumsi makanan tinggi zat besi,
asam folat, vitamin A, vitamin C dan zink, dan pemberian tablet tambah
darah (TTD). Pemerintah memiliki program rutin terkait pendistribusian
TTD bagi wanita usia subur (WUS), termasuk remaja dan ibu hamil.

2) Remaja Harus Sadar Tinggi akan Badan


Remaja Indonesia banyak yang tidak menyadari bahwa mereka
memiliki tinggi badan yang pendek atau disebut stunting. Rata-rata tinggi
anak Indonesia lebih pendek dibandingkan dengan standar WHO, yaitu lebih
pendek 12,5cm pada laki-laki dan lebih pendek 9,8cm pada perempuan.
Stunting ini dapat menimbulkan dampak jangka pendek, diantaranya
penurunan fungsi kognitif, penurunan fungsi kekebalan tubuh, dan gangguan
sistem metabolism tubuh yang pada akhirnya dapat menimbulkan risiko
penyakit degeneratif, seperti diabetes mellitus, jantung koroner, hipertensi,
dan obesitas.
Oleh karena itu, pencegahan dan penanganan stunting menjadi salah
satu prioritas nasional guna mewujudkan cita-cita bersama yaitu menciptakan
manusia Indonesia yang tinggi, sehat, cerdas, dan berkualitas.

3) Remaja Kurus atau Kurang Energi Kronis (KEK)

Remaja yang kurus atau kurang energi kronis bisa disebabkan karena kurang
asupan zat gizi, baik karena alasan ekonomi maupun alasan psikososial seperti
misalnya penampilan.

Kondisi remaja KEK meningkatkan risiko berbagai penyakit infeksi dan


gangguan hormonal yang berdampak buruk di kesehatan. KEK sebenarnya dapat
dicegah dengan mengonsumsi makanan bergizi seimbang.

4) Kegemukan atau Obesitas

Pola makan remaja yang tergambar dari data Global School Health Survey
tahun 2015, antara lain: Tidak selalu sarapan (65,2%), sebagian besar remaja
kurang mengonsumsi serat sayur buah (93,6%) dan sering mengkonsumsi
makanan berpenyedap (75,7%). Selain itu, remaja juga cenderung menerapkan
pola sedentary life, sehingga kurang melakukan aktifitas fisik (42,5%). Hal-hal
ini meningkatkan risiko seseorang menjadi gemuk, overweight, bahkan obesitas.

Obesitas meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti hipertensi,


penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus, kanker, osteoporosis dan lain-lain
yang berimplikasi pada penurunan produktifitas dan usia harapan hidup.

Pada prinsipnya, sebenarnya obesitas remaja dapat dicegah dengan mengatur


pola dan porsi makan dan minum, perbanyak konsumsi buah dan sayur, banyak
melakukan aktivitas fisik, hindari stres dan cukup tidur.

Dalam paparannya, Menkes menegaskan bahwa seluruh masyarakat perlu


memahami pentingnya gizi untuk kesehatan dalam setiap siklus kehidupan,
karena gizi adalah investasi bangsa.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Faktor penyebab kejadian anemia yang dialami remaja yaitu kurangnya pengetahuan
anemia dan asupan gizi sehingga mempengaruhi pemilihan dalam konsumsi makanan yang
bergizi, tidak terbiasanya sarapan pagi, adanya kebiasaan minum teh dan kopi yang dilakukan
remaja menjadi penyebab terhambatnya proses penyerapan zat besi di dalam tubuh, serta
asupan beberapa zat gizi seperti energi, protein, dan vitamin C yang kurang dari AKG serta
asupan zat besi yang defisit pada masing-masing partisipan serta tidak rutinnya remaja putri
dalam mengkonsumi tablet Fe merupakan faktor utama menyebabkan partisipan menderita
anemia. Hasil penelitian ini bisa sebagai bahan masukan untuk lebih intensif dalam
memberikan edukasi pada remaja terkait anemia, serta meningkatkan program pemberian
tablet Fe pada remaja setiap bulan untuk mengurangi kejadian anemia.
DAFTAR PUSTAKA

Basith, A., Agustina, R., & Diani, N. (2017).Faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian anemia pada remaja putri. Dunia Keperawatan: Jurnal Keperawatan dan
Kesehatan, 5(1), 1-10.

Budiarti, A., Anik, S., & Wirani, N. P. G. (2021).Studi Fenomenologi Penyebab Anemia
Pada Remaja Di Surabaya. Jurnal Kesehatan Mesencephalon, 6(2).

Arisman, M.B. (2008). Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

Aeni, T. (2012).Faktor – Faktor Penyebab Kejadian Anemia pada Remaja Putri (Studi Kasus
pada SMK Negeri 1 Kota Tegal).Under Graduates thesis, Universitas Negeri
Semarang.

Departemen Kesehatan RI. (1996). Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi di Indonesia.


Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007.
Jakarta: Kementerian Kesehatan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013.
Jakarta: Kementerian Kesehatan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018.
Jakarta: Kementerian Kesehatan.

Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat. 2020. Komitmen dan Kebijakan Pemerintah
Daerah Provinsi NTB dalam pemberian TTD bagi Remaja Putri pada Masa Pandemi
Covid-19 disampaikan pada Webinar Pentingnya Koordinasi Multisektor Program
Gizi remaja Di Masa Pandemi Covid-19.

Anda mungkin juga menyukai