Anda di halaman 1dari 8

TUGAS APRESIASI PROSA FIKSI

Teori Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik

Dosen Pengampu :

Rahmah Purwahida, S.Pd. M.Hum.

Disusun Oleh:

Muhammad Saddam Haikal

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas Bahasa dan Seni

Universitas Negeri Jakarta


Teori Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik dalam Dongeng

Menurut Huck, Hepler, dan Hick-man, dongeng adalah segala bentuk


narasi baik itu tertulis atau oral, yang sudah ada dari tahun ke tahun. “all forms of
narrative, written, or oral, which have come to be handed down through the years”
(1987). Jadi, dongeng adalah segala bentuk cerita-cerita yang sejak dulu sudah ada
dan diceritakan secara turun-temurun.

Menurut Priyono (2006:9) dongeng adalah cerita khayalan atau cerita yang
mengada-ada serta tidak masuk akal dan dapat ditarik manfaatnya. Jadi, cerita
yang terdapat di dalam dongeng adalah cerita khayalan yang terkadang di luar
akal sehat. Seperti, cerita Timun Mas ketika menebar biji buah timun yang
seketika berubah menjadi hutan lebat. Walaupun cerita dongeng tidak masuk akal
tetapi cerita dalam dongeng memiliki informasi yang dapat ditarik manfaatnya.

Menurut Carr Lemon dan Cannadine (2010) dongeng adalah cerita sejarah
yang berisi pengalaman tentang kejadian masa lampau (past human events) dan
merupakan salah satu sumber sejarah berupa tradisi lisan. Menurut Sawyer dan
Comer (1996) dongeng pada umumnya adalah “The common man’s fairy tale.
They are unadorned stories. Folk tales common plots where good overcomes evil
and justice served”. Menurutnya, dongeng merupakan cerita biasa yang
mengisahkan tentang cerita peri. Dongeng adalah cerita yang tidak indah.
Dongeng mengisahkan tentang kebaikan yang akan selalu menang melawan
kejahatan. Cerita ini secara turun-temurun disampaikan sejak dulu dan merupakan
kebudayaan.1

Unsur Intrinsik

Menurut Nurgiantoro (2010: 23) bahwa unsur intrinsik adalah unsur-unsur


yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan

1
Ardini, Pupung. (2012). Pengaruh Dongeng dan Komunikasi Terhadap Perkembangan
Moral Anak Usia 7-8 Tahun. Jurnal Pendidikan Anak, Volume 1, Edisi 1, Juni 2012.
Didapatkan dari laman https://journal.uny.ac.id/index.php/jpa/article/viewFile/2905/2419
karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan
dijumpai jika orang membaca karya sastra. Pandangan Nurgiantoro tersebut juga
terdapat dalam karya sastra lisan (cerita rakyat). Unsur-unsur intrinsik yang
membangun cerita rakyat antara lain tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, dan
amanat.2

1. Tema

Menurut Zulfanur (Wahid, 2004: 82) tema adalah ide yang menjadi
pokok suatu pembicaraan atau ide pokok suatu tulisan. Tema merupakan
suatu dimensional yang amat penting dari suatu cerita, karena dengan
dasar itu, pengarang dapat membayangkan dalam fantasinya tenang cerita
yang akan dibuat. Pengarang sendiri tidak asal menyebut apa yang
menjadi latar belakang atau tema ceritanya, tetapi dapat kita ketahui
setelah membaca cerita ini secara keseluruhan.

2. Tokoh dan Amanat

Penokohan berasal dari kata toko yang berarti pelaku, karena yang
dilukiskan mengenai watak-watak atau pelaku cerita, melalui tokoh,
pembaca dapat mengikuti jalanya cerita dan mengalami berbagai
pengalaman batin seperti yang dialami tokoh cerita, Sumarjo (Wahid,
2004:76). Nursisto (2000:105) mengemukakan bahwa watak (penokohan)
merupakan sikap batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan
perbuatannya.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah


pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa
itu mampu menjalin suatu cerita. Penokohan yaitu penyajian watak tokoh
dan penciptaan citra tokoh yang membedakan dengan tokoh yang lain.

3. Alur

2
Wahyuddin, W. (2016). KEMAMPUAN MENENTUKAN ISI CERITA RAKYAT
SISWA KELAS X SMA NEGERI 1 RAHA. Jurnal Bastra Vol. 1, No. 1, Maret 2016.
Didapatkan dari laman http://ojs.uho.ac.id/index.php/BASTRA/article/viewFile/1060/699
Menurut Aminuddin, (2004: 83) alur adalah rangkaian cerita yang
dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalani suatu cerita
yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Istilah alur dalam hal
ini sama dengan istilah plot maupun struktur cerita. Tahapan peristiwa
yang menjalin suatu cerita biasa terbentuk dalam rangkaian peristiwa yang
berbagai macam. Montage dan Henshaw (dalam Aminuddin, 2004: 84)
menjelaskan bahwa tahapan peristiwa dalam plot suatu cerita dapat
tersusun dalam tahapan awal (exposition), yakni tahap awal yang berisi
penjelasan tentang tempat terjadinya peristiwa serta perkenalan dari setiap
pelaku yang mendukung cerita; tahap inciting force, yakni tahap ketika
timbul kekuatan, kehendak maupun perilaku yang bertentangan dari
pelaku ; tahap rising action, yakni situasi panas karena pelaku-pelaku
dalam cerita berkonflik; tahap crisis, yakni situasi semakin panas dan para
pelaku sudah diberi gambaran nasib oleh pengarangnya; climax, situasi
puncak ketika konflik berada pada radar yang paling tinggi sehingga para
pelaku itu mendapatkan kadar nasibnya sendiri-sendiri; tahap falling
action, kadar konflik sudah menurun sehingga ketegangan dalam cerita
sudah mulai mereda sampai menuju conclucion atau penyelesaian cerita.3

4. Latar

Menurut Abrams, (dalam Wahid Sugira, 2004: 88) bahwa latar


merupakan landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan
waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan. Pembagian latar sendiri terdiri dari latar tempat, waktu, dan
sosial budaya. (1) Latar tempat merujuk pada pengertian tempat dimana
cerita yang dikisahkan itu terjadi. (2) Latar waktu merujuk pada
berlangsungnya peristiwa dalam cerita. (3) Latar sosial budaya dapat
dipahami sebagai keadaan atau kondisi kehidupan sosial budaya
masyarakat yang diangkat dalam peristiwa tersebut. Berdasarkan
pandangan-pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa latar merupakan

3
Aminuddin. (2014). Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru
Algensindo
tempat yang merujuk pada lokasi, waktu, dan suasana sebuah cerita
berlangsung.

5. Sudut Pandang

Sudut pandang adalah tempat penceritaan dalam hubungannya


dengan cerita, dari sudut mana penceritaan menyampaikan kisahnya.
Sudut pandang dilihat dari posisi pengarang dan pusat pengisahan pada
posisi penceritaan. (Wahid, 2004: 83). Sejalan dengan pendapat diatas
Nursisto (2000:109) mengemukakan sudut pandang atau titik tinjau adalah
tempat atau posisi pencerita terhadap kisah yang dikarangnya, apakah ia
ada di dalam cerita atau di luar cerita itu. Sudut pandang dalam kesustraan
mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Tokoh yang terlibat (sudut pandang tokoh)

b. Tokoh sampingan (sudut pandang tokoh sampingan)

c. Orang yang serba tahu, serba melihat, dan serba mendengar

6. Amanat

Menurut Sudjiman (Zulfahnur 1997: 25) dari sebuah karya sastra


adalanya dapat diangkat sesuatu moral atau pesan yang ingin disampaikan
oleh pengarang; itulah yang disebut amanat. Amanat terdapat pada sebuah
karya sastra secara impilisit atau secara eksplisit. Implisit jika ajaran
keluar atau ajaran moral disyaratkan di dalam tingkah laku tokoh
menjejang cerita. Eksplisit jika pada atau akhir menyampaikan seruan,
sastra, peringatan, nasehat, anjuran, larangan, dan sebaliknya, berkenan
dengan gagasan yang mendasari cerita itu.

Unsur Ekstrinsik

Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari


sejumlah unsur. Unsur-unsur yang dimaksud (Wallek & Warren, 1956: 75-135)
antara lain adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap,
keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya
yang ditulisnya. Pendek kata, unsur biografi penagarang akan turut menentukan
corak karya yang dihasilkannya. Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi,
baik yang berupa psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifitasnya),
psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya. Pembagian
unsur intrinsik struktur karya satra yang tergolong tradisioanal adalah pembagian
berdasarkan unsur bentuk dan isi –sebuah pembagian dikotomis yang sebenarnya
diterima orang dengan agak keberatan.4

Dongeng termasuk salah satu bentuk cerita rakyat. Menurut Sulistyarini


(2006), cerita rakyat mengandung nilai luhur bangsa, terutama nilai-nilai budi
pekerti maupun ajaran moral. Apabila cerita rakyat itu dikaji dari sisi nilai moral,
maka dapat dipilah menjadi nilai moral individual, nilai moral sosial, dan nilai
moral religi. Adapun nilai-nilai moral individual meliputi (1) kepatuhan, (2)
keberanian, (3) rela berkorban, (4) jujur, (5) adil dan bijaksana, (6) menghormati
dan menghargai, (7)bekerja keras, (8) menepati janji, (9) tahu balas budi, (10)
rendah hati, dan (12) hati-hati dalam bertindak. Nilai-nilai moral sosial meliputi
(1) bekerja sama, (2) suka menolong, (3) kasih sayang, (4) kerukunan, (5) suka
memberi nasihat, (6) peduli nasib orang lain, dan (7) suka mendoakan orang lain.
Sementara itu, nilai-nilai moral religi meliputi (1) percaya kekuasaan Tuhan, (2)
percaya adanya Tuhan, (3) berserah diri kepada Tuhan atau bertawakal, dan (4)
memohon ampun kepada Tuhan. Dongeng juga dapat dimanfaatkan sebagai upaya
untuk mengasah emosi, menumbuhkan imajinasi serta meningkatkan daya kritis
anak. Pada umumnya, dongeng membawa misi yang bernilai positif dan edukatif
(Hidayati, 2015). Melalui dongeng, emosi anak diharapkan dapat terkendali,
imajinasi anak dapat berkembang, dan anak dapat berpikir kritis.5

Bercerita dapat bermanfaat untuk mendorong anak mencintai bahasa,


membantu perkembangan anak, member wadah pada anak untuk belajar berbagai
emosi dan perasaan (sedih, gembira, marah senang, cemas), menghidupkan
suasana pembelajaran, memegang peranan penting dalam sosialisasi nilai-nilai
4
Nurgiyantoro, Burhan. (1998). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
5
Habsari, Zakia. (2017). DONGENG SEBAGAI PEMBENTUK KARAKTER ANAK.
Jurnal Kajian Perpustakaan dan Informasi Vol 1 No 1 - April 2017 (21-29). Didapatkan
dari laman http://journal2.um.ac.id/index.php/bibliotika/article/download/703/438
baru pada anak dan mentransmisikan nilai-nilai budaya. Cerita dapat digunakan
oleh orang tua dan guru sebagai sarana mendidik dan membentuk kepribadian
anak melalui pendekatan transmisi budaya atau cultural transmission approach
(Suyatno dan Abas, 2001). Dalam cerita, nilai-nilai luhur ditanamkan pada diri
anak melalui penghayatan terhadap mankan dan maksud cerita (meaning ang
attention of story). Anak melakukan serangkaian kegiatan kognisi dan afeksi,
mulai dari intepretasi, komperehensi, hingga inferensi terhadap nilai-nilai moral
yang terkandung di dalamnya.6

Unsur ekstrinsik merupakan unsur pembangun prosa fiksi dari luar. Unsur
ekstrinsik terdiri atas lima yaitu faktor sosial, faktor keagamaan, faktor budaya,
faktor latar belakang pengarang dan pandangan hidup pengarang, dan nilai-nilai
yang terkandung dalam prosa fiksi.

1. Faktor sosial, misalnya latar belakang masyarakat saat proses


penulisan prosa fiksi. Kondisi politik dan ekonomi pun termasuk di
dalamnya.
2. Faktor keagamaan, yang melatarbelakangi karya sastra maupun
nilai-nilai yang disematkan dalam karya sastra.
3. Faktor budaya, misalnya budaya yang melatarbelakangi karya lahir
dan kental di dalamnya memengaruhi cerita.
4. Faktor latar belakang pengarang, misalnya dilihat dari sisi biografi,
psikologis, dan aliran sastra yang dia yakini.
5. Nilai-nilai yang terkandung di dalam prosa fiksi yang mendukung
keutuhan cerita, misalnya: nilai morak, nilai pendidikan, nilai
religius, nilai budaya, nilai filosofis, dan nilai hak asasi.7

6
Utomo, Sukarno. (2013). MENDONGENG DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN.
Jurnal Agastya Vol 03 No 1. Januari 2013. Didapatkan dari laman
http://ejournal.unipma.ac.id/index.php/JA/article/viewFile/901/813
7
Suhita, S., & Purwahida, R. (2018). Apresiasi Sastra Indonesia dan Pembelajarannya.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Daftar Pustaka
Ardini, Pupung. (2012). Pengaruh Dongeng dan Komunikasi Terhadap Perkembangan
Moral Anak Usia 7-8 Tahun. Jurnal Pendidikan Anak, Volume 1, Edisi 1, Juni
2012. Didapatkan dari laman
https://journal.uny.ac.id/index.php/jpa/article/viewFile/2905/2419

Wahyuddin, W. (2016). KEMAMPUAN MENENTUKAN ISI CERITA RAKYAT


SISWA KELAS X SMA NEGERI 1 RAHA. Jurnal Bastra Vol. 1, No. 1, Maret
2016. Didapatkan dari laman
http://ojs.uho.ac.id/index.php/BASTRA/article/viewFile/1060/699

Aminuddin. (2014). Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo

Nurgiyantoro, Burhan. (1998). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press

Habsari, Zakia. (2017). DONGENG SEBAGAI PEMBENTUK KARAKTER ANAK.


Jurnal Kajian Perpustakaan dan Informasi Vol 1 No 1 - April 2017 (21-29).
Didapatkan dari laman
http://journal2.um.ac.id/index.php/bibliotika/article/download/703/438

Utomo, Sukarno. (2013). MENDONGENG DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN.


Jurnal Agastya Vol 03 No 1. Januari 2013. Didapatkan dari laman
http://ejournal.unipma.ac.id/index.php/JA/article/viewFile/901/813

Suhita, S., & Purwahida, R. (2018). Apresiasi Sastra Indonesia dan Pembelajarannya.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Anda mungkin juga menyukai