Anda di halaman 1dari 35

Simptomatologi Psikiatri

Simtomatologi psikiatri atau gejala-gejala gangguan jiwa merupakan hasil interaksi yang kompleks antara
unsur somatis, psikologis, dan sosial budaya; yang sebenarnya menandakan dekompensasi proses
adaptasi; dan terdapat terutapa pada pemikiran (kognitif), perasaan (afektif), dan perilaku (psikomotor).
Gejala-gejala ini ada yang berupa gejala primer dan sekunder, gejala pokok dan tambahan, serta gejala
positif dan negatif.

GEJALA KOGNITIF
Adalah kemampuan untuk mengenal/mengetahui mengenai benda atau keadaan atau situasi, yang
dikaitkan dengan pengalaman pembelajaran dan kapasitas intelejensi seseorang. Termasuk dalam fungsi
kognisi adalah; memori/daya ingat, konsentrasi/perhatian, orientasi, kemampuan berbahasa, berhitung,
visuospatial, fungsi eksekutif, abstraksi dan taraf intelegensi.
1. Intelegensia
2. Orientasi
Adalah kemampuan individu untuk mengenali obyek atau situasi sebagaimana adanya.
Dibedakan atas orientasi personal/orang, yaitu kemampuan untuk mengenali orang orang yang
sudah dikenalnya. Orientasi ruang/spatial, yaitu kemampuan individu untuk mengenali tempat
dimana ia berada. Orientasi waktu, yaitu kemampuan individu untuk mengenali secara tepat waktu
dimana individu berada. Sesuai dengan ranah yang terganggu maka dibedakan gangguan orientasi
orang, tempat dan waktu. Gangguan orientasi sering terjadi pada kerusakan organik di otak.
3. Proses pikir
a. Bentuk pikir
1) Austistik
2) Realistik
b. Isi pikir
Di sini yang terganggu adalah buah pikirannya/keyakinannya dan bukan cara penyampaiannya.
Dapat berupa miskin isi pikir, waham, obsesi, fobia, dan lainlain.
1) Kemiskinan isi pikir: pikiran yang hanya menghasilkan sedkit informasi dikarenakan
ketidakjelasan, pengulangan yang kosong, atau frase yang tidak dikenal.
2) Over valued idea atau over determined idea: pikiran dengan tafsiran yang terlalu tinggi.
Perhatian seluruhnya ditujukan ke arah satu topik atau masalah dengan menekan segala
perasaannya terhadap soal-soal tersebut. Biasanya, ini berhubungan dengan keinginian-
keinginan yang tersembunyi. Jika ada pertimbangan yang menentang ini, maka semua tidak
diluluskan keluar dalam kesadaran.
3) Seluruh kepribadian dipengaruhi oleh perasaan dan pikiran tersebut. Pikirang ini selalu
dimaksudkan untuk membela diri, membela kelemahan sendiri, atau membanggakan dirinya
sendiri. Sebagai contoh adalah orang yang sudah tua, untuk membela kelemahannya sendiri
dalam pergaulan sehari-hari selalu menyatakan, “Kita dahulu sekolah susah, lebih susah dari
sekarang”, “Pelajaran dahulu lebih sempurna dari sekarang”, “Saya sudah biasa bekerja dalam
suasana tenang dan teratur, tapi semuanya sekarang ini kacau.”
4) Waham/delusi: satu perasaan keyakinan atau kepercayaan yang keliru, berdasarkan simpulan
yang keliru tentang kenyataan eksternal, tidak konsisten dengan intelegensia dan latar
belakang budaya pasien, dan tidak bisa diubah lewat penalaran atau dengan jalan penyajian
fakta.
5) Setiap waham memiliki lima sifat atau syarat tertentu, yakni:
 Buah pikiran selalu mengenai diri sendiri (egosentris)
 Selalu bertentangan dengan realitas
 Selalu bertentangan dengan logika atau pikiran sehat
 Penderita percaya 100% kepada kebenaran pikirannya
 Tidak dapat diubah oleh orang lain sekalipun dengan jalan yang logis dan rasional.
Jenis - jenis waham:
a) waham bizarre: keyakinan yang keliru, mustahil dan aneh (contoh: makhluk angkasa
luar menanamkan elektroda di otak manusia)
b) waham sistematik: keyakinan yang keliru atau keyakinana yang tergabung dengan satu
tema/kejadian (contoh: orang yang dikejar - kejar polisi atau mafia)
c) waham nihilistik: perasaan yang keliru bahwa diri dan lingkungannya atau dunia tidak
ada atau menuju kiamat
d) waham somatik: keyakinan yang keliru melibatkan fungsi tubuh (contoh: yakin otaknya
meleleh)
e) waham paranoid: termasuk di dalamnya waham kebesaran, waham
kejaran/persekutorik, waham rujukan (reference), dan waham dikendalikan.
1. waham kebesaran: keyakinan atau kepercayaan, biasanya psikotik sifatnya, bahwa
dirinya adalah orang yang sangat kuat, sangat berkuasa atau sangat besar.
2. waham kejaran (persekutorik): satu delusi yang menandai seorang paranoid, yang
mengira bahwa dirinya adalah korban dari usaha untuk melukainya, atau yang
mendorong agar dia gagal dalam tindakannya. Kepercayaan ini sering dirupakan
dalam bentuk komplotan yang khayali, dokter dan keluarga pasien dicurigasi
bersama - sama berkomplot untuk merugikan, merusak, mencederai, atau
menghancurkan dirinya.
3. waham rujukan (delusion of reference): satu kepercayaan keliru yang meyakini
bahwa tingkah laku orang lain itu pasti akan memfitnah, membahayakan, atau akan
menjahati dirinya.
4. waham dikendalikan: keyakinan yang keliru bahwa keinginan, pikiran, atau
perasaannya dikendalikan oleh kekuatan dari luar. Termasuk di dalamnya:
o thought withdrawal: waham bahwa pikirannya ditarik oleh orang lain atau
kekuatan lain
o thought insertion: waham bahwa pikirannya disisipi oleh orang lain atau
kekuatan lain
o thought broadcasting: waham bahwa pikirannya dapat diketahui oleh orang
lain, tersiar di udara
o thought control: waham bahwa pikirannya dikendalikan oleh orang lain atau
kekuatan lain
f) waham cemburu: keyakinan yang keliru yang berasal dari cemburu patologis tentang
pasangan yang tidak setia
g) erotomania: keyakinan yang keliru, biasanya pada wanita, merasa yakin bahwa
seseorang sangat mencintainya
6) Obsesi: satu ide yang tegar menetap dan seringkali tidak rasional, yang biasanya dibarengi
satu kompulsi untuk melakukan suatu perbuatan, tidak dapat dihilangkan dengan usaha yang
logis, berhubungan dengan kecemasan.
7) Kompulsif: kebutuhan dan tindakan patologis untuk melaksanakan suatu impuls, jika ditahan
akan menimbulkan kecemasan, perilaku berulang sebagai respons dari obsesi atau timbul
untuk memenuhi satu aturan tertentu.
8) Fobia: ketakutan patologis yang persisten, irasional, berlebihan, dan selalu terjadi
berhubungan dengan stimulus atau situasi spesifik yang mengakibatkan keinginan yang
memaksa untuk menghindari stimulus tersebut. Beberapa contoh di antaranya:
a) Fobia spesifik: ketakutan yang terbatas pada obyek atau situasi khusus (contoh takut pada
laba – laba atau ular
b) Fobia sosial: ketakutan dipermalukan di depan publik seperti rasa takut untuk berbicara,
tampil, atau makan di depan umum
c) Akrofobia: ketakutan berada di tempat yang tinggi
d) Agorafobia: ketakutan berada di tempat yang terbuka
e) Klaustrofobia: ketakutan berada di tempat yang sempit
f) Ailurofobia: ketakutan pada kucing
g) Zoofobia: ketakutan pada binatang
h) Xenofobia: ketakutan pada orang asing
i) Fobia jarum: ketakutan yang berlebihan menerima suntikan

c. Arus/progresi pikir
1) Word salad
2) Flight of Ideas, yaitu pikiran yang sangat cepat, verbalisasi berlanjut atau permainan kata yang
mengahsilkan perpindahan yang konstan dari satu ide ke ide lainnya; ide biasanya
berhubungan dan dalam bentuk yang tidak parah, pendengar mungkin dapat mengikuti jalan
pikirnya.
3) Perseverasi dan Verbegerasi. Di sini terjadi pengulangan terus-menerus dan abnormal dari
suatu pokok pikiran, suatu kalimat, atau suatu kata. Apabila yang diulang berupa kalimat
disebut perseverasi, sedangkan apabila yang diulang berupa kata-kata disebut verbigerasi.
4) Circumstantiality, yaitu pembicaraan yang tidak langsung sehingga lambat mencapai point yang
diharapkan, tetapi seringkali akhirnya mencapai point atau tujuan yang diharapkan, sering
diakibatkan keterpakuan yang berlebihan pada detail dan petunjuk - petunjuk.
5) Tangensial, yaitu ketidakmampuan untuk mencapai tujuan secara langsung dan seringkali pada
akhirnya tidak mencapai point atau tujuan yang diharapkan
6) Inkoherensi, yaitu pikiran yang secara umum tidak dapat kita mengerti, pikiran atau kata keluar
bersama - sama tanpa hubungan yang logis atau tata bahasa tertentu hasil disorganisasi pikir
7) Asosiasi longgar, yaitu gangguan arus pikir dengan ide - ide yang berpindah dari satu subyek ke
subyek lain yang tidak berhubungan sama sekali; dalam bentuk yang lebih parah disebut
inkoherensia
8) Blocking, yaitu keadaan arus pikiran yang tiba-tiba terhenti; penderita tidak dapat
mengeluarkan sepatah kata pun; sesudah beberapa waktu (sesudah keadaan ini hilang), arus
pikiran dapat kembali seperti semula.
9) Reming, yaitu keadaan arus pikiran yang perlahan-lahan melemah dan kemudian terhenti.

d. Memori/daya ingat
Adalah proses penngelolaan informasi, meliputi perekaman – penyimpanan – dan pemanggilan
kembali. Terdapat beberapa jenis gangguan memori/daya ingat, yaitu:
1) Amnesia: adalah ketidakmampuan untuk mengingat sebagian atau seluruh pengalaman
masa lalu. Amnesia dapat disebabkan oleh gangguan organik di otak, misalnya; pada
kontusio serebri. Namun dapat juga disebabkan faktor psikologik misalnya pada gangguan
stres pasca trauma individu dapat kehilangan memori dari peristiwa yang sangat traumatis.
Berdasarkan waktu kejadian, amnesia dibedakan menjadi:
o Amnesia anterograd, yaitu apabila hilangnya memori terhadap pengalaman/informasi
setelah titik waktu kejadian. Misalnya; seorang pengendara motor yang mengalami
kecelakaan, tidak mampu mengingat peristiwa peristiwa yang terjadi setelah kecelakaan.
o Amnesia retrograd, yaitu hilangnya memori terhadap pengalaman/informasi sebelum
titik waktu kejadian. Misalnya, seorang gadis yang terjatuh dari atap dan mengalami
trauma kepala, tidak mampu mengingat berbagai peristiwa yang terjadi sebelum
kecelakaan tersebut.
2) Paramnesia: Sering disebut sebagai ingatan palsu, yakni terjadinya distorsi ingatan dari
informasi/pengalaman yang sesungguhnya. Dapat disebabkan oleh faktor organik di otak
misalnya pada demensia. Namun dapat juga disebabkan oleh faktor psikologik misalnya
pada gangguan disosiasi. Beberapa jenis paramnesia, antara lain:
o Konfabulasi: adalah ingatan palsu yang muncul untuk mengisi kekosongan memori. Biasa
terjadi pada orang dengan demensia.
o Deja Vu: adalah suatu ingatan palsu terhadap pengalaman baru. Individu merasa sangat
mengenali suatu situasi baru yang sesungguhnya belum pernah dikenalnya.
o Jamais Vu: adalah kebalikan dari Deja Vu, yaitu merasa asing terhadap situasi yang justru
pernah dialaminya.
3) Hiperamnesia: adalah ingatan yang mendalam dan berlebihan terhadap suatu pengalaman
4) Screen memory: adalah secara sadar menutupi ingatan akan pengalaman yang menyakitkan
atau traumatis dengan ingatan yang lebih dapat ditoleransi
5) Letologika: adalah ketidakmampuan yang bersifat sementara dalam menemukan kata kata
yang tepat untuk mendeskripsikan pengalamannya. Lazim terjadi pada proses penuaan atau
pada stadium awal dari demensi.

Berdasarkan rentang waktu individu kehilangan daya ingatnya, dibedakan menjadi:


a. Memori segera (immidiate memory): adalah kemampuan mengingat peristiwa yang baru
saja terjadi, yakni rentang waktu beberapa detik sampai beberapa menit
b. Memori baru (recent memory): adalah ingatan terhadap pengalaman/informasi yang terjadi
dalam beberapa hari terakhir
c. Memori jangka menengah (recent past memory): adalah ingatan terhadap peristiwa yang
terjadi selama beberapa bulan yang lalu.
d. Memori jangka panjang: adalah ingatan terhadap peristiwa yang sudah lama terjadi
(bertahun tahun yang lalu)
e. Atensi/perhatian
Adalah usaha untuk mengarahkan aktivitas mental pada pengalaman tertentu. Gangguan
perhatian meliputi ketidakmampuan memusatkan perhatian, mempertahankan perhatian ataupun
mengalihkan perhatian. Pada gangguan kesadaran khususnya pada delirium ketiga ranah perhatian
tersebut terganggu. Terdapat beberapa jenis gangguan perhatian/konsentrasi, yaitu:
1) Distraktibilitas: adalah ketidak mampuan individu untuk memusatkan dan mempertahankan
perhatian. Konsentrasinya sangat mudah teralih oleh berbagai stimulus yang terjadi
disekitarnya. Lazim ditemui pada gangguan cemas akut dan keadaan maniakal.
2) Inatensi selektif: adalah ketidakmampuan memusatkan perhatian pada obyek atau situasi
tertentu, biasanya situasi yang membangkitkan kecemasan. Misalnya seorang dengan fobia
simplek tidak mampu memusatkan perhatian pada obyek atau situasi yang memicu fobianya.
3) Kewaspadaan berlebih (hypervigilance): adalah pemusatan perhatian yang berlebihan
terhadap stimulus eksternal dan internal sehingga penderita tampak sangat tegang.

f. Persepsi
Persepsi dalam arti luas mengandung arti pengertian, pemahaman, dan tafsiran tentang suatu hal;
sedangkan dalam arti sempit berarti tangkapan rangsang dari luar oleh pancaindra. Persepsi normal
berawal dari stimulasi reseptor sensorik. Persepsi adalah daya mengenal barang, kualitas atau
hubungan serta perbedaan angara hal ini melalui proses mengamati, mengetahui, dan mengartikan
setelah pancaindranya mendapat rangsang. Persepsi merupakan hasil interaksi antara dua pihak,
yaitu satu pihak: rangsang sensorik yang tertuju kepada individu itu, dan di pihak lain: faktor-faktor
pengaruh yang mengatur atau mengolah rangsang itu secara intrapsikis
Sebuah mental proses yang merupakan pengiriman stimulus fisik menjadi informasi psikologis
sehingga stimulus sensorik dapat diterima secara sadar. Beberapa contoh gangguan persepsi:
1) Depersonalisasi: satu kondisi patologis yang muncul sebagai akibat dari perasaan subyektif
dengan gambaran seseorang mengalami atau merasakan diri sendiri (atau tubuhnya) sebagai
tidak nyata atau khayali (asing, tidak dikenali)
2) Derealisasi: perasaan subyektif bahwa lingkungannya menjadi asing, tidak nyata
3) Ilusi: satu persepsi yang keliru atau menyimpang dari stimulus eksternal yang nyata. Ilusi dapat
berupa ilusi akustik/auditorik, ilusi visual, ilusi olfaktorik, ilusi gustatorik, ilusi taktil, atau
campuran. Ilusi sering terdapat pada keadaan afektif yang luar biasa, keingingan yang luar
biasa, atau dorongan dan impuls-impuls yang mendadak.
4) Halusinasi: persepsi atau tanggapan palsu, tidak berhubungan dengan stimulus eksternal yang
nyata; menghayati gejala - gejala yang dikhayalkan sebagai hal yang nyata. Jenis - jenis
halusinasi:
o halusinasi hipnagogik: persepsi sensorik keliru yang terjadi ketika mulai jatuh tertidur,
secara umum bukan tergolong fenomena patologis
o halusinasi hipnapompik: persepsi sensorik keliru yang terjadi ketika seseorang mulai
terbangun, secara umum bukan tergolong fenomena patologis
o halusinasi auditorik: persepsi suara yang keliru, biasanya berupa suara orang meski dapat
saja berupa suara lain seperti musik, merupakan jenis halusinasi yang paling sering
ditemukan pada gangguan psikiatri
o halusinasi visual: persepsi penglihatan keliru yang dapat berupa bentuk jelas (orang) atau
pun bentuk tidak jelas (kilatan cahaya), sering kali terjadi pada gangguan medis umum
o halusinasi penciuman: persepsi penghidu keliru yang seringkali terjadi pada gangguan medis
umum
o halusinasi pengecapan: persepsi pengecapan keliru seperti rasa tidak enak sebagai gejala
awal kejang, seringkali terjadi pada gangguan medis umum
o halusinasi taktil: persepsi perabaan keliru seperti phantom libs (sensasi anggota tubuh
teramputasi), atau formikasi (sensasi merayap di bawah kulit)
o halusinasi somatik: sensasi keliru yang terjadi pada atau di dalam tubuhnya, lebih sering
menyangkut organ dalam (juga dikenal sebagai cenesthesic hallucination)
o halusinasi liliput: persepsi keliru yang mengakibatkan obyek terlihat lebih kecil (micropsia)

GEJALA AFEKTIF
Emosi adalah suasana perasaan yang dihayati secara sadar , bersifat kompleks, melibatkan pikiran, persepsi
dan perilaku individu. Secara deskriptif fenomenologis emosi dibedakan antara mood dan afek.
1. Mood, adalah suasana perasaan yang bersifat pervasif dan bertahan lama, yang mewarnai persepsi
seseorang terhadap kehidupannya.
a. Mood eutimia: adalah suasana perasaan dalam rentang normal, yakni individu mempunyai
penghayatan perasaan yang luas dan serasi dengan irama hidupnya.
b. Mood hipotimia: adalah suasana perasaan yang secara pervasif diwarnai dengan kesedihan dan
kemurungan. Individu secara subyektif mengeluhkan tentang kesedihan dan kehilangan
semangat. Secara obyektif tampak dari sikap murung dan perilakunya yang lamban.
c. Mood disforia: menggambarkan suasana perasaan yang tidak menyenangkan. Seringkali
diungkapkan sebagai perasaan jenuh, jengkel, atau bosan.
d. Mood hipertimia: suasana perasaan yang secara perfasif memperlihatkan semangat dan
kegairahan yang berlebihan terhadap berbagai aktivitas kehidupan. Perilakunya menjadi
hiperaktif dan tampak enerjik secara berlebihan.
e. Mood eforia: suasana perasaan gembira dan sejahtera secara berlebihan.
f. Mood ekstasia: suasana perasaan yang diwarnai dengan kegairahan yang meluap luap. Sering
terjadi pada orang yang menggunakan zat psikostimulansia
g. Aleksitimia: adalah suatu kondisi ketidakmampuan individu untuk menghayati suasana
perasaannya. Seringkali diungkapkan sebagai kedangkalan kehidupan emosi. Seseorang dengan
aleksitimia sangat sulit untuk mengungkapkan perasaannya.
h. Anhedonia: adalah suatu suasana perasaan yang diwarnai dengan kehilangan minat dan
kesenangan terhadap berbagai aktivitas kehidupan.
i. Mood kosong: adalah kehidupan emosi yang sangat dangkal,tidak atau sangat sedikit memiliki
penghayatan suasana perasaan. Individu dengan mood kosong nyaris kehilangan keterlibatan
emosinya dengan kehidupan disekitarnya. Keadaan ini dapat dijumpai pada pasien skizofrenia
kronis.
j. Mood labil: suasana perasaan yang berubah ubah dari waktu ke waktu. Pergantian perasaan dari
sedih, cemas, marah, eforia, muncul bergantian dan tak terduga. Dapat ditemukan pada
gangguan psikosis akut.
k. Mood iritabel: suasana perasaan yang sensitif, mudah tersinggung, mudah marah dan seringkali
bereaksi berlebihan terhadap situasi yang tidak disenanginya.

2. Afek adalah respons emosional saat sekarang, yang dapat dinilai lewat ekspresi wajah,
pembicaraan, sikap dan gerak gerik tubuhnya (bahasa tubuh). Afek mencerminkan situasi emosi
sesaat.
a. Afek luas: adalah afek pada rentang normal, yaitu ekspresi emosi yang luas dengan sejumlah
variasi yang beragam dalam ekspresi wajah, irama suara maupun gerakan tubuh, serasi dengan
suasana yang dihayatinya.
b. Afek menyempit: menggambarkan nuansa ekspresi emosi yang terbatas. Intensitas dan keluasan
dari ekspresi emosinya berkurang, yang dapat dilihat dari ekspresi wajah dan bahasa tubuh yang
kurang bervariasi.
c. Afek menumpul: merupakan penurunan serius dari kemampuan ekspresi emosi yang tampak
dari tatapan mata kosong, irama suara monoton dan bahasa tubuh yang sangat kurang.
d. Afek mendatar: adalah suatu hendaya afektif berat lebih parah dari afek menumpul. Ada
keadaan ini dapat dikatakan individu kehilangan kemampuan ekspresi emosi. Ekspresi wajah
datar, pandangan mata kosong, sikap tubuh yang kaku, gerakan gerakan sangat minimal, dan
irama suara datar seperti ’robot’.
e. Afek serasi: menggambarkan keadaan normal dari ekspresi emosi yang terlihat dari keserasian
antara ekspresi emosi dan suasana yang dihayatinya.
f. Afek tidak serasi: kondisi sebaliknya yakni ekspresi emosi yang tidak cocok dengan suasana yang
dihayati. Misalnya seseorang yang menceritakan suasana duka cita tapi dengan wajah riang dan
tertawa tawa.
g. Afek labil: Menggambarkan perubahan irama perasaan yang cepat dan tiba tiba, yang tidak
berhubungan dengan stimulus eksternal.

GEJALA PSIKOMOTOR
1. Kesan Umum, berupa penampilan fisik dan penampilan psikis
2. Kesadaran
Kesadaran atau sensorium adalah suatu kondisi kesigapan mental individu dalam menanggapi
rangsang dari luar maupun dari dalam. Gangguan kesadaran seringkali merupakan pertanda
kerusakan organik pada otak. Terdapat berbagai tingkatan kesadaran, yaitu:
a. Kompos mentis: adalah suatu derajat optimal dari kesigapan mental individu dalam
b. menanggapi rangsang dari luar maupun dari dalam dirinya. Individu mampu memahami apa
yang terjadi pada diri dan lingkungannya serta bereaksi secara memadai.
c. Apatia: adalah suatu derajat penurunan kesadaran, yakni individu berespons lambat terhadap
stimulus dari luar. Orang dengan kesadaran apatis tampak tak acuh terhadap situasi
disekitarnya.
d. Somnolensi: adalah suatu keadaan kesadaran menurun yang cenderung tidur. Orang dengan
kesadaran somnolen tampak selalu mengantuk dan bereaksi lambat terhadap stimulus dari
luar.
e. Sopor: adalah derajat penurunan kesadaran berat. Orang dengan kesadaran sopor nyaris tidak
berespons terhadap stimulus dari luar, atau hanya memberikan respons minimal terhadap
perangsangan kuat.
f. Koma: adalah derajat kesadaran paling berat. Individu dalam keadaan koma tidak dapat
bereaksi terhadap rangsang dari luar, meskipun sekuat apapun perangsangan diberikan
padanya.
g. Kesadaran berkabut: suatu perubahan kualitas kesadaran yakni individu tidak mampu berpikir
jernih dan berespons secara memadai terhadap situasi di sekitarnya. Seringkali individu tampak
bingung, sulit memusatkan perhatian dan mengalmi disorientasi.
h. Delirium: suatu perubahan kualitas kesadaran yang disertai gangguan fungsi kognitif yang luas.
Perilaku orang yang dalam keadaan delirium dapat sangat berfluktuasi, yaitu suatu saat terlihat
gaduh gelisah lain waktu nampak apatis. Keadaan delirium sering disertai gangguan persepsi
berupa halusinasi atau ilusi. Biasanya orang dengan delirium akan sulit untuk memusatkan,
mempertahankan dan mengalihkan perhatian ( 3 P terganggu)
i. Kesadaran seperti mimpi (Dream like state): adalah gangguan kualitas kesadaran yang terjadi
pada serangan epilepsi psikomotor. Individu dalam keadaan ini tidak menyadari apa yang
dilakukannya meskipun tampak seperti melakukan aktivitas normal. Perlu dibedakan dengan
tidur berjalan (sleep walking) yang akan tersadar bila diberikan perangsangan (dibangunkan),
sementara pada dream like state penderita tidak bereaksi terhadap perangsangan.
j. Twilight state: keadaan perubahan kualitas kesadaran yang disertai halusinasi. Seringkali terjadi
pada gangguan kesadaran oleh sebab gangguan otak organik. Penderita seperti berada dalam
keadaan separuh sadar, respons terhadap lingkungan terbatas, perilakunya impulsif, emosinya
labil dan tak terduga.

3. Orientasi
Orientasi adalah suatu proses seseorang untuk menangkap atau mengerti keadaan sekitarnya dan
ia dapat melokalisir dirinya dalam hubungan dengan sekitarnya tersebut. Macam-macam orientasi:
a. Orientasi personal (orientasi perorangan), yaitu kemampuan individu untuk mengemukakan
identitas diri sendiri dan orang lain di sekitarnya.
b. Orientasi temporal (orientasi waktu), yaitu kemampuan individu untuk mengetahui hubungan
masa, waktu, hari, tanggal, bulan, musim, atau tahun, baik sekarang, yang lampau, ataupun
yang akan datang.
c. Orientasi spasial (orientasi tempat), yaitu kemampuan individu untuk mengetahui batasan
ruang atau lokasi yang ditempati serta hubungannya dengan ruang atau lokasi lain.

4. Sikap dan Tingkah Laku


Perilaku adalah ragam perbuatan manusia yang dilandasi motif dan tujuan tertentu serta
melibatkan seluruh aktivitas mental individu. Perilaku merupakan respons total individu terhadap
situasi kehidupan. Perilaku motorik adalah ekspresi perilaku individu yang terwujud dalam ragam
aktivitas motorik. Berikut ini diuraikan berbagai ragam gangguan perilaku motorik yang lazim
dijumpai dalam praktek psikiatri, yaitu:
a. Stupor Katatonia: penurunan aktivitas motorik secara ekstrim, bermanifestasi sebagai gerakan
yang lambat hingga keadaan tak bergerak dan kaku seperti patung. Keadaan ini dapat dijumpai
pada skizofrenia katatonik
b. Furor katatonia: suatu keadaan agitasi motorik yang ekstrim, kegaduhan motorik tak bertujuan,
tanpa motif yang jelas dan tidak dipengaruhi oleh stimulus eksternal. Dapat ditemukan pada
skizofrenia katatonik, seringkali silih berganti dengan gejala stupor katatonik.
c. Katalepsia: adalah keadaan mempertahankan sikap tubuh dalam posisi tertentu dalam waktu
lama. Individu dengan katalepsi dapat berdiri di atas satu kaki selama berjam jam tanpa
bergerak. Merupakan salah satu gejala yang bisa ditemukan pada skizofrenia katatonik.
d. Flexibilitas cerea: keadaan sikap tubuh yang sedemikian rupa dapat diatur tanpa perlawanan
sehingga diistilahkan seluwes lilin.
e. Akinesia: menggambarkan suatu kondisi aktivitas motorik yang sangat terbatas, pada keadaan
berat menyerupai stupor pada skizofrenia katatonik.
f. Bradikinesia: perlambatan gerakan motorik yang biasa terjadi pada parkinsonisme atau
penyakit parkinson. Individu memperlihatkan gerakan yang kaku dan kehilangan respons
spontan.

5. Insight/tilikan diri
Kemampuan seseorang untuk memahami sebab sesungguhnya dan arti dari suatu situasi (termasuk
di dalamnya dari gejala itu sendiri). Dalam arti luas, tilikan sering disebut sebagai wawasan diri,
yaitu pemahaman seseorang terhadap kondisi dan situasi dirinya dalam konteks realitas sekitarnya.
Dalam arti sempit merupakan pemahaman pasien terhadap penyakitnya.
Tilikan terganggu artinya kehilangan kemampuan untuk memahami kenyataan obyektif akan
kondisi dan situasi dirinya. Jenis - jenis tilikan:
a. Tilikan derajat 1: penyangkalan total terhadap penyakitnya
b. Tilikan derajat 2: ambivalensi terhadap penyakitnya
c. Tilikan derajat 3: menyalahkan faktor lain sebagai penyebab penyakitnya
d. Tilikan derajat 4: menyadari dirinya sakit dan butuh bantuan namum tidak memahami
penyebab sakitnya
e. Tilikan derajat 5: menyadari penyakitnya dan faktor - faktor yang berhubungan dengan
penyakitnya namun tidak menerapkan dalam perilaku praktisnya
f. Tilikan derajat 6 (sehat): menyadari sepenuhnya tentang situasi dirinya disertai motivasi
untuk mencapai perbaikan

Konsep Psikodinamik
Otak manusia mempunyai berat 2% dari berat badan orang dewasa (3 pon), menerima 20 % curah jantung
dan memerlukan 20% pemakaian oksigen tubuh dan sekitar 400 kilokalori energi setiap harinya. Otak
merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi dalam seluruh tubuh manusia dan terutama
berasal dari proses metabolisme oksidasi glukosa. Jaringan otak sangat rentan terhadap perubahan oksigen
dan glukosa darah, aliran darah berhenti 10 detik saja sudah dapat menghilangkan kesadaran manusia.
Berhenti dalam beberapa menit, merusak permanen otak. Hipoglikemia yang berlangsung berkepanjangan
juga merusak jaringan otak (Prince dan Wilson, 2006).
Ketika lahir seorang bayi telah mempunyai 100 miliar sel otak yang aktif dan 900 miliar sel otak pendukung,
setiap neuron mempunyai cabang hinggá 10.000 cabang dendrit yang dapat membangun sejumlah satu
kuadrilion koneksi komunikasi. Perkembangan otak pada minggu-minggu pertama lahir diproduksi 250.000
neuroblast (sel saraf yang Belum matang), kecerdasan mulai berkembang dengan terjadinya koneksi antar
sel otak, tempat sel saraf bertemu disebut synapse, makin banyak percabangan yang muncul, makin
berkembanglah kecerdasan anak tersebut, dan kecerdasan ini harus dilatih dan di stimulasi, tampa
stimulasi yang baik, potensi ini akan tersia-siakan (Liza, n.d.).
Otak manusia, adalah organ yang unik dan dasyat, tempat diaturnya proses berfikir, berbahasa, kesadaran,
emosi dan kepribadian, secara garis besar, otak terbagi dalam 3 bagian besar, yaitu neokortek atau kortex
serebri, system limbik dan batang otak, yang berkerja secara simbiosis. Bila neokortex berfungsi untuk
berfikir, berhitung, memori, bahasa, maka sistek limbik berfugsi dalam mengatur emosi dan memori
emosional, dan batang otak mengarur fungsi vegetasi tubuh antara lain denyut jantung, aliran darah,
kemampuan gerak atau motorik, Ketiganya bekerja bersama saling mendukung dalam waktu yang
bersamaan, tapi juga dapat bekerja secara terpisah (Liza, n.d.).
Otak manusia mengatur dan mengkoordinir gerakan, perilaku dan fungsi tubuh, homeostasis seperti
tekanan darah, detak jantung, suhu tubuh, keseimbangan cairan, keseimbangan hormonal, mengatur
emosi, ingatan, aktivitas motorik dan lain-lain. Otak terbentuk dari dua jenis sel: yaitu glia dan neuron. Glia
berfungsi untuk menunjang dan melindungi neuron, sedangkan neuron membawa informasi dalam bentuk
pulsa listrik yang di kenal sebagai potensial aksi. Mereka berkomunikasi dengan neuron yang lain dan
keseluruh tubuh dengan mengirimkan berbagai macam bahan kimia yang disebut neurotransmitter.
Neurotransmitter ini dikirimkan pada celah yang di kenal sebagai sinapsis. Neurotransmiter paling
mempengaruhi sikap, emosi, dan perilaku seseorang yang ada antara lain Asetil kolin, dopamin, serotonin,
epinefrin, norepinefrin. Fungsi masing masing neurotransmiter dapat dilihat dibawah ini (Liza, n.d.).

Neurotransmiter Lokasi dan Fungsi Implikasi pada Gangguan Jiwa Kolinergik:


Asetil kolin
a. Sistem saraf otonom simpatis dan parasimpatis, terminal saraf presinapsis parasimpatik, terminal
postsinapsis
b. Sistem saraf pusat : korteks serebral, hipokampus, struktur limbik, basal ganglia
c. Fungsi : tidur, bangun persepsi nyeri, pergerakan memori
a. Meningkatkan derajat depresi
b. Menurunkan derajat penyakit alzeimer, korea hutington, penyakit parkinson.
Monoamin:
Norepinefrin
a. Sistem saraf otonom terminal saraf post sinapsis simpatis
b. Sistem saraf pusat: talamus, sistem limbik, hipokampus, serebelum, korteks serebri
c. Fungsi pernafasan, pikiran, persepsi, daya penggerak, fungsi kardiovaskuler, tidur dan bangun
a. Menurunkan derajat depresi
b. Meningkatkan derajat mania, keadaan kecemasan, skizofrenia.

Dopamin
a. Frontal korteks, sistem limbik, basal ganglia, talamus, hipofisis posterior, medula spinalis
b. Fungsi: pergerakan dan koordinasi, emosional, penilaian, pelepasan prolaktin
a. Menurunkan derajat penyakit parkinson dan depresi
b. Meningkatkan derajat mania dan skizofrenia

Serotonin
a. Hipotalamus, talamus, sistem limbik, korteks serebral, serebelum, medula spinalis
b. Fungsi : tidur, bangun, libido, nafsu makan, perasaan, agresi persepsi nyeri, koordinasi dan penilaian
a. Menurunkan derajat depresi
b. Meningkatkan derajat kecemasan

Histamin Hipotalamus Menurunkan derajat depresi


Asam amino
GABA (Gamma Amino Butyric Acid)
a. Hipotalamus, ipocampus, korteks, serebelum, basal ganglia, medula spinalis, retina
b. Fungsi: kemunduran aktivitas tubuh Menurunkan derajat korea huntington, gangguan ansietas,
skizofrenia, dan berbagai jenis epilepsi

Glisin
a. Medula spinalis, batang otak
b. Fungsi: menghambat motor neuron berulang Derajat toksik/keracunan “glycine encephalopaty”

Glutamat dan Aspartat


a. Sel-sel piramid/kerucut dari korteks, serebelum dan sistem sensori aferen primer, hipocampus, talamus,
hipotalamus, medula spinalis
b. Fungsi: menilai informasi sensori, mengatur berbagai motor dan reflek spinal Menurunkan tingkat
derajat yang berhubungan dengan gerakan motor spastik
Neuropeptida
Endorfin dan Enkefalin a. Hipotalamus , talamus, struktur limbik dan batang otak, enkedalin juga
ditemukan pada traktus gastrointestinal
b. Fungsi modulasi (mengatur) nyeri dan mengurangi peristaltik (enkefalin) Modulasi aktivitas dopamin
oleh opiod peptida dapat menumpukkan berbagai ikatan
terhadap gejala skizofrenia

Substansi P
a. Hipotalamus struktur limbik otak tengah, batang otak, talamus, basal ganglia, dan medula spinalis, juga
ditemukan pada traktus gastrointestinal dan kelenjar saliva
b. Fungsi: pengaturan nyeri Menurunkan derajat korea hutington

Somatostatin
a. Korteks serebral, hipokampus, talamus, basal ganglia, batang otak, medula spinalis
b. Fungsi: menghambat pelepasan norepinefrin, merangsang pelepasan serotonin, dopamin dan asetil
kolin
a. Menurunkan derajat penyakit alzeimer
b. Meningkatkan derajat korea hutington

Fungsi dopamin sebagai neururotransmiter kerja cepat disekresikan oleh neuron-neuron yang berasal dari
substansia nigra, neuron-neuron ini terutama berakhir pada regio striata ganglia basalis. Pengaruh
dopamin biasanya sebagai inhibisi. Dopamin bersifat inhibisi pada beberapa area tapi juga eksitasi pada
beberapa area. Sistem norepinefrin yang bersifat eksitasi menyebar ke setiap area otak, sementara
serotonin dan dopamin terutama ke regio ganglia basalis dan sistem serotonin ke struktur garis tengah
(midline) (Guyton dan Hall, 1997).
Serotonin disekresikan oleh nukleus yang berasal dari rafe medial batang otak dan berproyeksi
disebahagian besar daerah otak, khususnya yang menuju radiks dorsalis medula spinalis dan menuju
hipotalamus. Serotonin bekerja sebagai bahan penghambat jaras rasa sakit dalam medula spinalis, dan
kerjanya di daerah sistem syaraf yang lebih tinggi diduga untuk membantu pengaturan kehendak
seseorang, bahkan mungkin juga menyebabkan tidur (Guyton dan Hall, 1997).
Serotonin berasal dari dekarboksilasi triptofan, merupakan vasokontriksi kuat dan perangsang kontraksi
otak polos. Produksi serotonin sangat meningkat pada karsinoid ganas penyakit yang ditandai sel-sel tumor
penghasil serotonin yang tersebar luas didalam jaringan argentafin rongga abdomen. Sistem respons
fisiologik pada stress akut dan kronik, terdapat respon fight and flight dimana berperan hormon epinefrin,
norepinefrin dan dopamin, respon terhadap ancaman meliputi penyesuaian perpaduan banyak proses
kompleks dalam organ-organ vital seperti otak, sistem kardiovaskular, otot, hati dan terlihat sedikit pada
organ kulit, gastrointestinal dan jaringan limfoid (Liza, n.d.).
Sistem norepinefrin dan sistem serotonin normalnya menimbulkan dorongan bagi sistem limbik untuk
meningkatkan perasaan seseorang terhadap rasa nyaman, menciptakan rasa bahagia, rasa puas, nafsu
makan yang baik, dorongan seksual yang sesuai, dan keseimbangan psikomotor, tapi bila terlalu banyak
akan menyebabkan serangan mania. Yang mendukung konsep ini adalah kenyataan bahwa pusat-pusat
reward dan punishment di otak pada hipotalamus dan daerah sekitarnya menerima sejumlah besar ujung-
ujung saraf dari sistem norepinefrin dan serotonin (Guyton dan Hall, 1997).
Pada pasien penyakit jiwa seperti skizofrenia terdapat berbagai keadaan yang diyakini disebabkan oleh
salah satu atau lebih dari tiga kemungkinan berikut:
o Terjadi hambatan terhadap sinyal-sinyal saraf di berbagai area pada lobus prefrontalis atau disfungsi
pada pengolahan sinyal-sinyal;
o Perangsangan yang berlebihan terhadap sekelompok neuron yang mensekresi dopamin dipusat-
pusat perilaku otak, termasuk di lobus frontalis, dan atau;
o Abnormalitas fungsi dari bagian-bagian penting pada pusat-pusat sistem pengatur tingkah laku limbik
di sekeliling hipokampus otak (Guyton dan Hall, 1997).
Dopamin telah diduga kemungkinan penyebab skizofrenia secara tidak langsung karena banyak pasien
parkison yang mengalami gejala skizofrenia ketika diobati dengan obat yang disebut L-DOPA. Obat ini
melepaskan dopamin dalam otak, yang sangat bermanfaat dalam mengobati parkinson, tetapi dalam
waktu bersaman obat ini menekan berbagai bagian lobus prefrontalis dan area yang berkaitan dengan
lainnya. Telah diduga bahwa pada skizofrenia terjadi kelebihan dopamin yang disekresikan oleh
sekelompok neuron yang mensekresikan dopamin yang badan selnya terletak tegmentum ventral dari
mesensefalon, disebelah medial dan anterior dari sistem limbik, khususnya hipokampus, amigdala, nukleus
kaudatus anterior dan sebagian lobus frefrontalis ini semua pusat-pusat pengatur tingkah laku yang sangat
kuat. Suatu alasan yang sangat kuat. Suatu alasan yang lebih meyakinkan untuk mempercayai skizofrenia
mungkin disebabkan produksi dopamin yang berlebihan ialah bahwa obat-obat yang bersifat efektif
mengobati skizofrenia seperti klorpromazin, haloperidol, dan tiotiksen semuanya menurunkan sekresi
dopamin pada ujung-ujung syaraf dopaminergik atau menurunkan efek dopamin pada neuron yang
selanjutnya (Guyton dan Hall, 1997).
Kerusakan sedikit saja pada otak akan membawa dampak yang luar biasa pada seseorang, seperti operasi
otak, akibat stroke, pasien yang pernah mengalami stroke, setelah sembuh banyak yang mengalami
perubahan kepribadian. Otak yang pernah mengalami perdarahan, trauma, misalnya seperti akibat stroke
ataupun operasi contohnya pada otak depan atau frontal bagian ventromedial akan timbul gejala si pasien
akan kehilangan moral, tatakrama, tidak bisa memdudukan diri pada posisi semestinya. Istilah Limbik
berarti perbatasan aslinya limbik digunakan untuk menjelaskan struktur tepi sekeliling regio basal
serebrum, dan pada perkembangan selanjutnya diperluas artinya keseluruh lintasan neuronal yang
mengatur tingkah laku emosional dan dorongan motivasional. Bagian utama sistem limbik adalah
hipotalamus dengan struktur berkaitan, selain mengatur prilaku emosional juga mengatur kondisi internal
tubuh seperti suhu tubuh, osmolalitas cairan tubuh, dan dorongan untuk makan dan minum serta
mengatur berat badan Fungsi internal ini secara bersama-sama disebut fungsi vegetatif otak yang
berkaitan erat pengaturannya dengan perilaku. Bagaimana kerja Hipotalamus dan sistem limbik, dalam
Guyton diterangkan Fungsi Perilaku dari Hipotalamus dan Sistem Limbik (Guyton dan Hall, 1997)
o Perangsangan pada hipotalamus lateral tidak hanya mengakibatkan timbulnya rasa haus dan nafsu
makan tapi juga besarnya aktivitas emosi binatang seperti timbulnya rasa marah yang hebat dan
keinginan berkelahi.
o Perasangan nukleus ventromedial dan area sekelilingnya bila dirangsang menimbulkan rasa kenyang
dan menurunkan nafsu makan dan binatang menjadi tenang.
o Perangsangan pada zone tipis dari nuklei paraventrikuler yang terletak sangat berdekatan dengan
ventrikel ketiga (atau bila disertai dengan perangsangan pada area kelabu dibagian tengah
mesensefalon yang merupakan kelanjutan dari bagian hipotalamus biasanya berhubungan dengan
rasa takut dan reaksi terhukum.

Teori Kepribadian dan Perkembangan Mental Psikologi


Banyak ahli menyampaikan teori kepribadian dan perkembangan jiwa manusia sebagai awal pembentukan
kepribadian dan perkembangan jiwa manusia sekarang. Beberapa teori yang terkenal diantaranya teori
Erik Erikson. Teori perkembangan kepribadian yang dikemukakan Erik Erikson merupakan salah satu teori
yang memiliki pengaruh kuat dalam psikologi. Bersama dengan Sigmund Freud, Erikson mendapat posisi
penting dalam psikologi. Hal ini dikarenakan ia menjelaskan tahap perkembangan manusia mulai dari lahir
hingga lanjut usia; satu hal yang tidak dilakukan oleh Freud. Selain itu karena Freud lebih banyak berbicara
dalam wilayah ketidaksadaran manusia, teori Erikson yang membawa aspek kehidupan sosial dan fungsi
budaya dianggap lebih realistis.
Teori Erikson dikatakan sebagai salah satu teori yang sangat selektif karena didasarkan pada tiga alasan.
Alasan yang pertama, karena teorinya sangat representatif dikarenakan memiliki kaitan atau hubungan
dengan ego yang merupakan salah satu aspek yang mendekati kepribadian manusia. Kedua, menekankan
pada pentingnya perubahan yang terjadi pada setiap tahap perkembangan dalam lingkaran kehidupan, dan
yang ketiga/terakhir adalah menggambarkan secara eksplisit mengenai usahanya dalam mengabungkan
pengertian klinik dengan sosial dan latar belakang yang dapat memberikan kekuatan/kemajuan dalam
perkembangan kepribadian didalam sebuah lingkungan. Melalui teorinya Erikson memberikan sesuatu
yang baru dalam mempelajari mengenai perilaku manusia dan merupakan suatu pemikiran yang sangat
maju guna memahami persoalan/masalah psikologi yang dihadapi oleh manusia pada jaman modern
seperti ini. Oleh karena itu, teori Erikson banyak digunakan untuk menjelaskan kasus atau hasil penelitian
yang terkait dengan tahap perkembangan, baik anak, dewasa, maupun lansia.
Erikson dalam membentuk teorinya secara baik, sangat berkaitan erat dengan kehidupan pribadinya dalam
hal ini mengenai pertumbuhan egonya. Erikson berpendapat bahwa pandangan-pandangannya sesuai
dengan ajaran dasar psikoanalisis yang diletakkan oleh Freud. Jadi dapat dikatakan bahwa Erikson adalah
seorang post-freudian atau neofreudian. Akan tetapi, teori Erikson lebih tertuju pada masyarakat dan
kebudayaan. Hal ini terjadi karena dia adalah seorang ilmuwan yang punya ketertarikan terhadap
antropologis yang sangat besar, bahkan dia sering meminggirkan masalah insting dan alam bawah sadar.
Oleh sebab itu, maka di satu pihak ia menerima konsep struktur mental Freud, dan di lain pihak
menambahkan dimensi sosial-psikologis pada konsep dinamika dan perkembangan kepribadian yang
diajukan oleh Freud. Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara
kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial. Tampak dengan jelas
bahwa yang dimaksudkan dengan psikososial apabila istilah ini dipakai dalam kaitannya dengan
perkembangan. Secara khusus hal ini berarti bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai
dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi matang
secara fisik dan psikologis. Sedangkan konsep perkembangan yang diajukan dalam teori psikoseksual yang
menyangkut tiga tahap yaitu oral, anal, dan genital, diperluasnya menjadi delapan tahap sedemikian rupa
sehingga dimasukkannya cara-cara dalam mana hubungan sosial individu terbentuk dan sekaligus dibentuk
oleh perjuangan-perjuangan insting pada setiap tahapnya
Pusat dari teori Erikson mengenai perkembangan ego ialah sebuah asumpsi mengenai perkembangan
setiap manusia yang merupakan suatu tahap yang telah ditetapkan secara universal dalam kehidupan
setiap manusia. Proses yang terjadi dalam setiap tahap yang telah disusun sangat berpengaruh terhadap
“Epigenetic Principle” yang sudah dewasa/matang. Dengan kata lain, Erikson mengemukakan persepsinya
pada saat itu bahwa pertumbuhan berjalan berdasarkan prinsip epigenetic. Di mana Erikson dalam
teorinya mengatakan melalui sebuah rangkaian kata yaitu :
(1) Pada dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian manusia mengalami keserasian dari tahap-
tahap yang telah ditetapkan sehingga pertumbuhan pada tiap individu dapat dilihat/dibaca untuk
mendorong, mengetahui, dan untuk saling mempengaruhi, dalam radius soial yang lebih luas. (2)
Masyarakat, pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk memelihara saat setiap individu yang
baru memasuki lingkungan tersebut guna berinteraksi dan berusaha menjaga serta untuk mendorong
secara tepat berdasarkan dari perpindahan didalam tahap-tahap yang ada.
Dalam bukunya yang berjudul “Childhood and Society” tahun 1963, Erikson membuat sebuah bagan untuk
mengurutkan delapan tahap secara terpisah mengenai perkembangan ego dalam psikososial, yang biasa
dikenal dengan istilah “delapan tahap perkembangan manusia”. Erikson berdalil bahwa setiap tahap
menghasilkan epigenetic. Epigenetic berasal dari dua suku kata yaitu epi yang artinya “upon” atau sesuatu
yang sedang berlangsung, dan genetic yang berarti “emergence” atau kemunculan. Gambaran dari
perkembangan cermin mengenai ide dalam setiap tahap lingkaran kehidupan sangat berkaitan dengan
waktu, yang mana hal ini sangat dominan dan karena itu muncul , dan akan selalu terjadi pada setiap tahap
perkembangan hingga berakhir pada tahap dewasa, secara keseluruhan akan adanya fungsi/kegunaan
kepribadian dari setiap tahap itu sendiri. Selanjutnya, Erikson berpendapat bahwa tiap tahap psikososial
juga disertai oleh krisis. Perbedaan dalam setiap komponen kepribadian yang ada didalam tiap-tiap krisis
adalah sebuah masalah yang harus dipecahkan/diselesaikan. Konflik adalah sesuatu yang sangat vital dan
bagian yang utuh dari teori Erikson, karena pertumbuhan dan perkembangan antar personal dalam sebuah
lingkungan tentang suatu peningkatan dalam sebuah sikap yang mudah sekali terkena serangan
berdasarkan fungsi dari ego pada setiap tahap
Erikson percaya “epigenetic principle” akan mengalami kemajuan atau kematangan apabila dengan jelas
dapat melihat krisis psikososial yang terjadi dalam lingkaran kehidupan setiap manusia yang sudah
dilukiskan dalam bentuk sebuah gambar Di mana gambar tersebut memaparkan tentang delapan tahap
perkembangan yang pada umumnya dilalui dan dijalani oleh setiap manusia secara hirarkri seperti anak
tangga. Di dalam kotak yang bergaris diagonal menampilkan suatu gambaran mengenai adanya hal-hal
yang bermuatan positif dan negatif untuk setiap tahap secara berturut-turut. Periode untuk tiap-tiap krisis,
Erikson melukiskan mengenai kondisi yang relatif berkaitan dengan kesehatan psikososial dan cocok
dengan sakit yang terjadi dalam kesehatan manusia itu sendiri.
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa dengan berangkat dari teori tahap-tahap perkembangan
psikoseksual dari Freud yang lebih menekankan pada dorongan-dorongan seksual, Erikson
mengembangkan teori tersebut dengan menekankan pada aspek-aspek perkembangan sosial. Melalui teori
yang dikembangkannya yang biasa dikenal dengan sebutan Theory of Psychosocial Development (Teori
Perkembangan Psikososial), Erikson tidak berniat agar teori psikososialnya menggantikan baik teori
psikoseksual Freud maupun teori perkembangan kognitif Piaget. Ia mengakui bahwa teori-teori ini
berbicara mengenai aspek-aspek lain dalam perkembangan. Selain itu di sisi lain perlu diketahui pula
bahwa teori Erikson menjangkau usia tua sedangkan teori Freud dan teori Piaget berhenti hanya sampai
pada masa dewasa.
Meminjam kata-kata Erikson melalui seorang penulis buku bahwa “apa saja yang tumbuh memiliki sejenis
rencana dasar, dan dari rencana dasar ini muncullah bagian-bagian, setiap bagian memiliki waktu masing-
masing untuk mekar, sampai semua bagian bersama-sama ikut membentuk suatu keseluruhan yang
berfungsi. Oleh karena itu, melalui delapan tahap perkembangan yang ada Erikson ingin mengemukakan
bahwa dalam setiap tahap terdapat maladaption/maladaptif (adaptasi keliru) dan malignansi (selalu curiga)
hal ini berlangsung kalau satu tahap tidak berhasil dilewati atau gagal melewati satu tahap dengan baik
maka akan tumbuh maladaption/maladaptif dan juga malignansi, selain itu juga terdapat ritualisasi yaitu
berinteraksi dengan pola-pola tertentu dalam setiap tahap perkembangan yang terjadi serta ritualisme
yang berarti pola hubungan yang tidak menyenangkan. Menurut Erikson delapan tahap perkembangan
yang ada berlangsung dalam jangka waktu yang teratur maupun secara hirarkri, akan tetapi jika dalam
tahap sebelumnya seseorang mengalami ketidakseimbangan seperti yang diinginkan maka pada tahap
sesudahnya dapat berlangsung kembali guna memperbaikinya.
Delapan tahap/fase perkembangan kepribadian menurut Erikson memiliki ciri utama setiap tahapnya
adalah di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat sosial, yang berjalan melalui krisis diantara
dua polaritas. Adapun tingkatan dalam delapan tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia
menurut Erikson adalah sebagai berikut :
Kedelapan tahapan perkembangan kepribadian dapat digambarkan dalam tabel berikut ini :
Tahapan Perkembangan Kepribadian
Developmental Stage Basic Components
Infancy (0-1 thn)
Early childhood (1-3 thn)
Preschool age (4-5 thn)
School age (6-11 thn)
Adolescence (12-10 thn)
Young adulthood ( 21-40 thn)
Adulthood (41-65 thn)
Senescence (+65 thn) Trust vs Mistrust
Autonomy vs Shame, Doubt
Initiative vs Guilt
Industry vs Inferiority
Identity vs Identity Confusion
Intimacy vs Isolation
Generativity vs Stagnation
Ego Integrity vs Despair

1. Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)


Masa bayi (infancy) ditandai adanya kecenderungan trust – mistrust. Perilaku bayi didasari oleh dorongan
mempercayai atau tidak mempercayai orang-orang di sekitarnya. Dia sepenuhnya mempercayai orang
tuanya, tetapi orang yang dianggap asing dia tidak akan mempercayainya. Oleh karena itu kadang-kadang
bayi menangis bila di pangku oleh orang yang tidak dikenalnya. Ia bukan saja tidak percaya kepada orang-
orang yang asing tetapi juga kepada benda asing, tempat asing, suara asing, perlakuan asing dan
sebagainya. Kalau menghadapi situasi-situasi tersebut seringkali bayi menangis
Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Tugas yang harus
dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan
kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina dengan baik apabila
dorongan oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan
nyaman dan tepat waktu, serta dapat membuang kotoron (eliminsi) dengan sepuasnya. Oleh sebab itu,
pada tahap ini ibu memiliki peranan yang secara kwalitatif sangat menentukan perkembangan kepribadian
anaknya yang masih kecil.
Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa hangat dan dekat, konsistensi dan kontinuitas kepada bayi
mereka, maka bayi itu akan mengembangkan perasaan dengan menganggap dunia khususnya dunia sosial
sebagai suatu tempat yang aman untuk didiami, bahwa orang-orang yang ada didalamnya dapat dipercaya
dan saling menyayangi. Kepuasaan yang dirasakan oleh seorang bayi terhadap sikap yang diberikan oleh
ibunya akan menimbulkan rasa aman, dicintai, dan terlindungi. Melalui pengalaman dengan orang dewasa
tersebut bayi belajar untuk mengantungkan diri dan percaya kepada mereka. Hasil dari adanya
kepercayaan berupa kemampuan mempercayai lingkungan dan dirinya serta juga mempercayai kapasitas
tubuhnya dalam berespon secara tepat terhadap lingkungannya.
Sebaliknya, jika seorang ibu tidak dapat memberikan kepuasan kepada bayinya, dan tidak dapat
memberikan rasa hangat dan nyaman atau jika ada hal-hal lain yang membuat ibunya berpaling dari
kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi keinginan mereka sendiri, maka bayi akan lebih
mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan selalu curiga kepada orang lain.
Hal ini jangan dipahami bahwa peran sebagai orangtua harus serba sempurna tanpa ada kesalahan/cacat.
Karena orangtua yang terlalu melindungi anaknya pun akan menyebabkan anak punya kecenderungan
maladaptif. Erikson menyebut hal ini dengan sebutan salah penyesuaian indrawi. Orang yang selalu
percaya tidak akan pernah mempunyai pemikiran maupun anggapan bahwa orang lain akan berbuat jahat
padanya, dan akan memgunakan seluruh upayanya dalam mempertahankan cara pandang seperti ini.
Dengan kata lain,mereka akan mudah tertipu atau dibohongi. Sebaliknya, hal terburuk dapat terjadi
apabila pada masa kecilnya sudah merasakan ketidakpuasan yang dapat mengarah pada ketidakpercayaan.
Mereka akan berkembang pada arah kecurigaan dan merasa terancam terus menerus. Hal ini ditandai
dengan munculnya frustasi, marah, sinis, maupun depresi.
Pada dasarnya setiap manusia pada tahap ini tidak dapat menghindari rasa kepuasan namun juga rasa
ketidakpuasan yang dapat menumbuhkan kepercayaan dan ketidakpercayaan. Akan tetapi, hal inilah yang
akan menjadi dasar kemampuan seseorang pada akhirnya untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik. Di
mana setiap individu perlu mengetahui dan membedakan kapan harus percaya dan kapan harus tidak
percaya dalam menghadapi berbagai tantangan maupun rintangan yang menghadang pada perputaran
roda kehidupan manusia tiap saat.
Adanya perbandingan yang tepat atau apabila keseimbangan antara kepercayaan dan ketidakpercayaan
terjadi pada tahap ini dapat mengakibatkan tumbuhnya pengharapan. Nilai lebih yang akan berkembang di
dalam diri anak tersebut yaitu harapan dan keyakinan yang sangat kuat bahwa kalau segala sesuatu itu
tidak berjalan sebagaimana mestinya, tetapi mereka masih dapat mengolahnya menjadi baik.
Pada aspek lain dalam setiap tahap perkembangan manusia senantiasa berinteraksi atau saling
berhubungan dengan pola-pola tertentu (ritualisasi). Oleh sebab itu, pada tahap ini bayi pun mengalami
ritualisasi di mana hubungan yang terjalin dengan ibunya dianggap sebagai sesuatu yang keramat
(numinous). Jika hubungan tersebut terjalin dengan baik, maka bayi akan mengalami kepuasan dan
kesenangan tersendiri. Selain itu, Alwisol berpendapat bahwa numinous ini pada akhirnya akan menjadi
dasar bagaimana orang menghadapi/berkomunikasi dengan orang lain, dengan penuh penerimaan,
penghargaan, tanpa ada ancaman dan perasaan takut. Sebaliknya, apabila dalam hubungan tersebut bayi
tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu akan merasa terasing dan terbuang, sehingga dapat
terjadi suatu pola kehidupan yang lain di mana bayi merasa berinteraksi secara interpersonal atau sendiri
dan dapat menyebabkan adanya idolism (pemujaan). Pemujaan ini dapat diartikan dalam dua arah yaitu
anak akan memuja dirinya sendiri, atau sebaliknya anak akan memuja orang lain.

2. Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu


Masa kanak-kanak awal (early childhood) ditandai adanya kecenderungan autonomy – shame, doubt. Pada
masa ini sampai batas-batas tertentu anak sudah bisa berdiri sendiri, dalam arti duduk, berdiri, berjalan,
bermain, minum dari botol sendiri tanpa ditolong oleh orang tuanya, tetapi di pihak lain dia telah mulai
memiliki rasa malu dan keraguan dalam berbuat, sehingga seringkali minta pertolongan atau persetujuan
dari orang tuanya.
Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini biasanya disebut masa balita
yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas yang harus diselesaikan pada masa
ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila
dalam menjalin suatu relasi antara anak dan orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka
dapat menghasilkan suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh anaknya
bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu-ragu. Dengan
kata lain, ketika orang tua dalam mengasuh anaknya sangat memperhatikan anaknya dalam aspek-aspek
tertentu misalnya mengizinkan seorang anak yang menginjak usia balita untuk dapat mengeksplorasikan
dan mengubah lingkungannya, anak tersebut akan bisa mengembangkan rasa mandiri atau
ketidaktergantungan. Pada usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar untuk mengontrol tubuhnya,
sehingga melalui masa ini akan nampak suatu usaha atau perjuangan anak terhadap pengalaman-
pengalaman baru yang berorientasi pada suatu tindakan/kegiatan yang dapat menyebabkan adanya sikap
untuk mengontrol diri sendiri dan juga untuk menerima control dari orang lain. Misalnya, saat anak belajar
berjalan, memegang tangan orang lain, memeluk, maupun untuk menyentuh benda-benda lain.
Di lain pihak, anak dalam perkembangannya pun dapat menjadi pemalu dan ragu-ragu. Jikalau orang tua
terlalu membatasi ruang gerak/eksplorasi lingkungan dan kemandirian, sehingga anak akan mudah
menyerah karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak seharusnya bertindak sendirian.
Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu mengobarkan keberanian anak dan tidak pula
harus mematikannya. Dengan kata lain, keseimbanganlah yang diperlukan di sini. Ada sebuah kalimat yang
seringkali menjadi teguran maupun nasihat bagi orang tua dalam mengasuh anaknya yakni “tegas namun
toleran”. Makna dalam kalimat tersebut ternyata benar adanya, karena dengan cara ini anak akan bisa
mengembangkan sikap kontrol diri dan harga diri. Sedikit rasa malu dan ragu-ragu, sangat diperlukan
bahkan memiliki fungsi atau kegunaan tersendiri bagi anak, karena tanpa adanya perasaan ini, anak akan
berkembang ke arah sikap maladaptif yang disebut Erikson sebagai impulsiveness (terlalu menuruti kata
hati), sebaliknya apabila seorang anak selalu memiliki perasaan malu dan ragu-ragu juga tidak baik, karena
akan membawa anak pada sikap malignansi yang disebut Erikson compulsiveness. Sifat inilah yang akan
membawa anak selalu menganggap bahwa keberadaan mereka selalu bergantung pada apa yang mereka
lakukan, karena itu segala sesuatunya harus dilakukan secara sempurna. Apabila tidak dilakukan dengan
sempurna maka mereka tidak dapat menghindari suatu kesalahan yang dapat menimbulkan adanya rasa
malu dan ragu-ragu.
Jikalau dapat mengatasi krisis antara kemandirian dengan rasa malu dan ragu-ragu dapat diatasi atau jika
diantara keduanya terdapat keseimbangan, maka nilai positif yang dapat dicapai yaitu adanya suatu
kemauan atau kebulatan tekad. Meminjam kata-kata dari Supratiknya yang menyatakan bahwa “kemauan
menyebabkan anak secara bertahap mampu menerima peraturan hukum dan kewajiban”.
Ritualisasi yang dialami oleh anak pada tahap ini yaitu dengan adanya sifat bijaksana dan legalisme. Melalui
tahap ini anak sudah dapat mengembangkan pemahamannya untuk dapat menilai mana yang salah dan
mana yang benar dari setiap gerak atau perilaku orang lain yang disebut sebagai sifat bijaksana.
Sedangkan, apabila dalam pola pengasuhan terdapat penyimpangan maka anak akan memiliki sikap
legalisme yakni merasa puas apabila orang lain dapat dikalahkan dan dirinya berada pada pihak yang
menang sehingga anak akan merasa tidak malu dan ragu-ragu walaupun pada penerapannya menurut
Alwisol mengarah pada suatu sifat yang negatif yaitu tanpa ampun, dan tanpa rasa belas kasih.

3. Inisiatif vs Kesalahan
Masa pra sekolah (Preschool Age) ditandai adanya kecenderungan initiative – guilty. Pada masa ini anak
telah memiliki beberapa kecakapan, dengan kecakapan-kecakapan tersebut dia terdorong melakukan
beberapa kegiatan, tetapi karena kemampuan anak tersebut masih terbatas adakalanya dia mengalami
kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan dia memiliki perasaan bersalah, dan untuk
sementara waktu dia tidak mau berinisatif atau berbuat.
Tahap ketiga ini juga dikatakan sebagai tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa
disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 5 atau 6
tahun, dan tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan
(inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Masa-masa bermain merupakan masa di mana
seorang anak ingin belajar dan mampu belajar terhadap tantangan dunia luar, serta mempelajari
kemampuan-kemampuan baru juga merasa memiliki tujuan. Dikarenakan sikap inisiatif merupakan usaha
untuk menjadikan sesuatu yang belum nyata menjadi nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat
mengasuh anaknya dengan cara mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya. Akan tetapi,
semuanya akan terbalik apabila tujuan dari anak pada masa genital ini mengalami hambatan karena dapat
mengembangkan suatu sifat yang berdampak kurang baik bagi dirinya yaitu merasa berdosa dan pada
klimaksnya mereka seringkali akan merasa bersalah atau malah akan mengembangkan sikap menyalahkan
diri sendiri atas apa yang mereka rasakan dan lakukan.
Ketidakpedulian (ruthlessness) merupakan hasil dari maladaptif yang keliru, hal ini terjadi saat anak
memiliki sikap inisiatif yang berlebihan namun juga terlalu minim. Orang yang memiliki sikap inisiatif sangat
pandai mengelolanya, yaitu apabila mereka mempunyai suatu rencana baik itu mengenai sekolah, cinta,
atau karir mereka tidak peduli terhadap pendapat orang lain dan jika ada yang menghalangi rencananya
apa dan siapa pun yang harus dilewati dan disingkirkan demi mencapai tujuannya itu. Akan tetapi bila anak
saat berada pada periode mengalami pola asuh yang salah yang menyebabkan anak selalu merasa bersalah
akan mengalami malignansi yaitu akan sering berdiam diri (inhibition). Berdiam diri merupakan suatu sifat
yang tidak memperlihatkan suatu usaha untuk mencoba melakukan apa-apa, sehingga dengan berbuat
seperti itu mereka akan merasa terhindar dari suatu kesalahan.
Kecenderungan atau krisis antara keduanya dapat diseimbangkan, maka akan lahir suatu kemampuan
psikososial adalah tujuan (purpose). Selain itu, ritualisasi yang terjadi pada masa ini adalah masa dramatik
dan impersonasi. Dramatik dalam pengertiannya dipahami sebagai suatu interaksi yang terjadi pada
seorang anak dengan memakai fantasinya sendiri untuk berperan menjadi seseorang yang berani.
Sedangkan impersonasi dalam pengertiannya adalah suatu fantasi yang dilakukan oleh seorang anak
namun tidak berdasarkan kepribadiannya. Oleh karena itu, rangakain kata yang tepat untuk
menggambarkan masa ini pada akhirnya bahwa keberanian, kemampuan untuk bertindak tidak terlepas
dari kesadaran dan pemahaman mengenai keterbatasan dan kesalahan yang pernah dilakukan
sebelumnya.
4. Kerajinan vs Inferioritas
Masa Sekolah (School Age) ditandai adanya kecenderungan industry–inferiority. Sebagai kelanjutan dari
perkembangan tahap sebelumnya, pada masa ini anak sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di
lingkungannya. Dorongan untuk mengatahui dan berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di
pihak lain karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya kadang-kadang dia
menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan. Hambatan dan kegagalan ini dapat menyebabkan
anak merasa rendah diri.
Tahap keempat ini dikatakan juga sebagai tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6
sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan
kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini
area sosialnya bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua
aspek memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman
harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.
Tingkatan ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap rencana yang pada awalnya hanya
sebuah fantasi semata, namun berkembang seiring bertambahnya usia bahwa rencana yang ada harus
dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam belajar. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat
merasakan bagaimana rasanya berhasil, apakah itu di sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan
tersebut anak dapat mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak dapat meraih sukses
karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas), sehingga anak juga dapat mengembangkan sikap
rendah diri. Oleh sebab itu, peranan orang tua maupun guru sangatlah penting untuk memperhatikan apa
yang menjadi kebutuhan anak pada usia seperti ini. Kegagalan di bangku sekolah yang dialami oleh anak-
anak pada umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih banyak bermain bersama teman-teman
dari pada belajar, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari peranan orang tua maupun guru dalam
mengontrol mereka.
Kecenderungan maladaptif akan tercermin apabila anak memiliki rasa giat dan rajin terlalu besar yang
mana peristiwa ini menurut Erikson disebut sebagai keahlian sempit. Di sisi lain jika anak kurang memiliki
rasa giat dan rajin maka akan tercermin malignansi yang disebut dengan kelembaman. Mereka yang
mengidap sifat ini oleh Alfred Adler disebut dengan “masalah-masalah inferioritas”. Maksud dari
pengertian tersebut yaitu jika seseorang tidak berhasil pada usaha pertama, maka jangan mencoba lagi.
Usaha yang sangat baik dalam tahap ini sama seperti tahap-tahap sebelumnya adalah dengan
menyeimbangkan kedua karateristik yang ada, dengan begitu ada nilai positif yang dapat dipetik dan
dikembangkan dalam diri setiap pribadi yakni kompetensi.
Dalam lingkungan yang ada pola perilaku yang dipelajari pun berbeda dari tahap sebelumnya, anak
diharapkan mampu untuk mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara maupun metode
yang standar, sehingga anak tidak terpaku pada aturan yang berlaku dan bersifat kaku. Peristiwa tersebut
biasanya dikenal dengan istilah formal. Sedangkan pada pihak lain jikalau anak mampu mengerjakan segala
sesuatu dengan mempergunakan cara atau metode yang sesuai dengan aturan yang ditentukan untuk
memperoleh hasil yang sempurna, maka anak akan memiliki sikap kaku dan hidupnya sangat terpaku pada
aturan yang berlaku. Hal inilah yang dapat menyebabkan relasi dengan orang lain menjadi terhambat.
Peristiwa ini biasanya dikenal dengan istilah formalism.

5. Identitas vs Kekacauan Identitas


Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada
usia 18 atau 20 tahun. Masa Remaja (adolescence) ditandai adanya kecenderungan identity – Identity
Confusion. Sebagai persiapan ke arah kedewasaan didukung pula oleh kemampuan dan kecakapan-
kecakapan yang dimilikinya dia berusaha untuk membentuk dan memperlihatkan identitas diri, ciri-ciri
yang khas dari dirinya. Dorongan membentuk dan memperlihatkan identitasdiri ini, pada para remaja
sering sekali sangat ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh lingkungannya sebagai
penyimpangan atau kenakalan. Dorongan pembentukan identitas diri yang kuat di satu pihak, sering
diimbangi oleh rasa setia kawan dan toleransi yang besar terhadap kelompok sebayanya. Di antara
kelompok sebaya mereka mengadakan pembagian peran, dan seringkali mereka sangat patuh terhadap
peran yang diberikan kepada masing-masing anggota.
Pencapaian identitas pribadi dan menghindari peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus
dilakukan dalam tahap ini. Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan penting,
karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam pengertiannya identitas pribadi
berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan
dalam tahap ini semakin luas tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan masyarakat
yang ada dalam lingkungannya. Masa pubertas terjadi pada tahap ini, kalau pada tahap sebelumnya
seseorang dapat menapakinya dengan baik maka segenap identifikasi di masa kanak-kanak diintrogasikan
dengan peranan sosial secara aku, sehingga pada tahap ini mereka sudah dapat melihat dan
mengembangkan suatu sikap yang baik dalam segi kecocokan antara isi dan dirinya bagi orang lain, selain
itu juga anak pada jenjang ini dapat merasakan bahwa mereka sudah menjadi bagian dalam kehidupan
orang lain. Semuanya itu terjadi karena mereka sudah dapat menemukan siapakah dirinya. Identitas ego
merupakan kulminasi nilai-nilai ego sebelumnya yang merupakan ego sintesis. Dalam arti kata yang lain
pencarian identitas ego telah dijalani sejak berada dalam tahap pertama/bayi sampai seseorang berada
pada tahap terakhir/tua. Oleh karena itu, salah satu point yang perlu diperhatikan yaitu apabila tahap-
tahap sebelumnya berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik, disebabkan anak tidak
mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah pergaulan dan struktur
sosialnya, inilah yang disebut dengan identity confusion atau kekacauan identitas.
Akan tetapi di sisi lain jika kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingkan dengan kekacauan
identitas, maka mereka tidak menyisakan sedikit ruang toleransi terhadap masyarakat yang bersama hidup
dalam lingkungannya. Erikson menyebut maladaptif ini dengan sebutan fanatisisme. Orang yang berada
dalam sifat fanatisisme ini menganggap bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah yang terbaik.
Sebaliknya, jika kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson menyebut
malignansi ini dengan sebutan pengingkaran. Orang yang memiliki sifat ini mengingkari keanggotaannya di
dunia orang dewasa atau masyarakat akibatnya mereka akan mencari identitas di tempat lain yang
merupakan bagian dari kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima
dan mengakui mereka sebagai bagian dalam kelompoknya.
Kesetiaan akan diperoleh sebagi nilai positif yang dapat dipetik dalam tahap ini, jikalau antara identitas ego
dan kekacauan identitas dapat berlangsung secara seimbang, yang mana kesetiaan memiliki makna
tersendiri yaitu kemampuan hidup berdasarkan standar yang berlaku di tengah masyarakat terlepas dari
segala kekurangan, kelemahan, dan ketidakkonsistennya. Ritualisasi yang nampak dalam tahap adolesen
ini dapat menumbuhkan ediologi dan totalisme.

6. Keintiman vs Isolasi
Tahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya
yaitu pada masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-30 tahun. Masa Dewasa Awal (Young adulthood)
ditandai adanya kecenderungan intimacy – isolation. Kalau pada masa sebelumnya, individu memiliki
ikatan yang kuat dengan kelompok sebaya, namun pada masa ini ikatan kelompok sudah mulai longgar.
Mereka sudah mulai selektif, dia membina hubungan yang intim hanya dengan orang-orang tertentu yang
sepaham. Jadi pada tahap ini timbul dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan orang-
orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan yang lainnya.
Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar
dari sikap menyendiri. Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang
biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan mencapai kelekatan dan kedekatan
dengan orang lain. Di mana muatan pemahaman dalam kedekatan dengan orang lain mengandung arti
adanya kerja sama yang terjalin dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh yang
berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin relasi dengan
orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa terisolasi. Erikson menyebut adanya
kecenderungan maladaptif yang muncul dalam periode ini ialah rasa cuek, di mana seseorang sudah
merasa terlalu bebas, sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan dan merasa
tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahabat, tetangga, bahkan
dengan orang yang kita cintai/kekasih sekalipun. Sementara dari segi lain/malignansi Erikson menyebutnya
dengan keterkucilan, yaitu kecenderungan orang untuk mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta,
persahabatan dan masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam sebagai bentuk dari
kesendirian dan kesepian yang dirasakan.
Oleh sebab itu, kecenderungan antara keintiman dan isoalasi harus berjalan dengan seimbang guna
memperoleh nilai yang positif yaitu cinta. Dalam konteks teorinya, cinta berarti kemampuan untuk
mengenyampingkan segala bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling membutuhkan. Wilayah
cinta yang dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup hubungan dengan kekasih namun juga hubungan
dengan orang tua, tetangga, sahabat, dan lain-lain.
Ritualisasi yang terjadi pada tahan ini yaitu adanya afiliasi dan elitisme. Afilisiasi menunjukkan suatu sikap
yang baik dengan mencerminkan sikap untuk mempertahankan cinta yang dibangun dengan sahabat,
kekasih, dan lain-lain. Sedangkan elitisme menunjukkan sikap yang kurang terbuka dan selalu menaruh
curiga terhadap orang lain.

7. Generativitas vs Stagnasi
Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia
sekitar 30 sampai 60 tahun. Masa Dewasa (Adulthood) ditandai adanya kecenderungan generativity-
stagnation. Sesuai dengan namanya masa dewasa, pada tahap ini individu telah mencapai puncak dari
perkembangan segala kemampuannya. Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak,
sehingga perkembangan individu sangat pesat. Meskipun pengetahuan dan kecakapan individu sangat
luas, tetapi dia tidak mungkin dapat menguasai segala macam ilmu dan kecakapan, sehingga tetap
pengetahuan dan kecakapannya terbatas. Untuk mengerjakan atau mencapai hal– hal tertentu ia
mengalami hambatan.
Apabila pada tahap pertama sampai dengan tahap ke enam terdapat tugas untuk dicapai, demikian pula
pada masa ini dan salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna keseimbangan antara
sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas adalah
perluasan cinta ke masa depan. Sifat ini adalah kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui
generativitas akan dapat dicerminkan sikap memperdulikan orang lain. Pemahaman ini sangat jauh
berbeda dengan arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan sikap yang dapat digambarkan
dalam stagnasi ini adalah tidak perduli terhadap siapapun.
Maladaptif yang kuat akan menimbulkan sikap terlalu peduli, sehingga mereka tidak punya waktu untuk
mengurus diri sendiri. Selain itu malignansi yang ada adalah penolakan, di mana seseorang tidak dapat
berperan secara baik dalam lingkungan kehidupannya akibat dari semua itu kehadirannya ditengah-tengah
area kehiduannya kurang mendapat sambutan yang baikHarapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu
terjadinya keseimbangan antara generativitas dan stagnansi guna mendapatkan nilai positif yang dapat
dipetik yaitu kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini meliputi generasional dan otoritisme. Generasional
ialah suatu interaksi/hubungan yang terjalin secara baik dan menyenangkan antara orang-orang yang
berada pada usia dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan otoritisme yaitu apabila orang dewasa
merasa memiliki kemampuan yang lebih berdasarkan pengalaman yang mereka alami serta memberikan
segala peraturan yang ada untuk dilaksanakan secara memaksa, sehingga hubungan diantara orang
dewasa dan penerusnya tidak akan berlangsung dengan baik dan menyenangkan

8. Integritas vs Keputusasaan
Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja yang diduduki oleh orang-orang yang
berusia sekitar 60 atau 65 ke atas. Masa hari tua (Senescence) ditandai adanya kecenderungan ego
integrity – despair. Pada masa ini individu telah memiliki kesatuan atau intregitas pribadi, semua yang
telah dikaji dan didalaminya telah menjadi milik pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu pihak
digoyahkan oleh usianya yang mendekati akhir. Mungkin ia masih memiliki beberapa keinginan atau tujuan
yang akan dicapainya tetapi karena faktor usia, hal itu sedikit sekali kemungkinan untuk dapat dicapai.
Dalam situasi ini individu merasa putus asa. Dorongan untuk terus berprestasi masih ada, tetapi pengikisan
kemampuan karena usia seringkali mematahkan dorongan tersebut, sehingga keputusasaan acapkali
menghantuinya.
Dalam teori Erikson, orang yang sampai pada tahap ini berarti sudah cukup berhasil melewati tahap-tahap
sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja ini adalah integritas dan berupaya menghilangkan
putus asa dan kekecewaan. Tahap ini merupakan tahap yang sulit dilewati menurut pemandangan
sebagian orang dikarenakan mereka sudah merasa terasing dari lingkungan kehidupannya, karena orang
pada usia senja dianggap tidak dapat berbuat apa-apa lagi atau tidak berguna. Kesulitan tersebut dapat
diatasi jika di dalam diri orang yang berada pada tahap paling tinggi dalam teori Erikson terdapat integritas
yang memiliki arti tersendiri yakni menerima hidup dan oleh karena itu juga berarti menerima akhir dari
hidup itu sendiri. Namun, sikap ini akan bertolak belakang jika didalam diri mereka tidak terdapat integritas
yang mana sikap terhadap datangnya kecemasan akan terlihat.
Kecenderungan terjadinya integritas lebih kuat dibandingkan dengan kecemasan dapat menyebabkan
maladaptif yang biasa disebut Erikson berandai-andai, sementara mereka tidak mau menghadapi kesulitan
dan kenyataan di masa tua. Sebaliknya, jika kecenderungan kecemasan lebih kuat dibandingkan dengan
integritas maupun secara malignansi yang disebut dengan sikap menggerutu, yang diartikan Erikson
sebagai sikap sumaph serapah dan menyesali kehidupan sendiri. Oleh karena itu, keseimbangan antara
integritas dan kecemasan itulah yang ingin dicapai dalam masa usia senja guna memperoleh suatu sikap
kebijaksanaan.
SKIZOFRENIA PARANOID

SKIZOFRENIA
Pengertian Skizofrenia.
Menurut Nevid, dkk (2005) skizofrenia adalah gangguan psikotik menetap yang mencakup gangguan pada
perilaku, pikiran, emosi dan persepsi. Menurut Kaplan, dkk (2010), skizofrenia adalah gangguan psikotik
yang kronik, pada orang yang mengalaminya tidak dapat menilai realitas dengan baik dan pemahaman diri
buruk.
Skizofrenia dengan onset masa anak-anak pada pengertiannya adalah sama dengan skizofrenia pada masa
remaja dan masa dewasa. Walaupun jarang, skizofrenia pada anak-anak prapubertal ada sekurangnya dua
hal berikut: halusinasi, waham, bicara atau perilaku yang jelas terdisorganisasi, dan menarik diri yang parah
sekurang-kurangnya satu bulan. Disfungsi sosial dan akademik harus ada, dan tanda gangguan harus
menetap terus-menerus selama sekurangnya enam bulan. (Kaplan, dkk 2010). Skizofrenia biasanya
berkembang pada masa remaja akhir atau dewasa awal, tepat pada saat orang mulai keluar dari keluarga
menuju ke dunia luar (Cowan & Kandel, Harrop & Trower), dikutif Nevid, dkk (2005). Orang yang mengidap
skizofrenia semakin lama semakin terlepas dari masyarakat. Mereka gagal untuk berfungsi sesuai peran
yang diharapkan sebagai pelajar, pekerja, atau pasangan, dan keluarga serta komunitas mereka menjadi
kurang toleran terhadap perilaku mereka yang menyimpang. Gangguan ini biasa berkembang pada akhir
masa remaja atau awal usia 20 tahun lebih, pada masa dimana otak sudah mencapai kematangan yang
penuh. Pada sekitar tiga dari empat kasus, tanda-tanda pertama dari skizofrenia tampak pada usia 25
tahun (Keith, Regier & Rae) dikutif Nevid, dkk (2005).
Skizofrenia adalah penyakit yang mempengaruhi lingkup yang luas dari proses psikologis, mencakup
kognisi, afek, dan perilaku. Orang-orang dengan skizofrenia menunjukkan kemunduran yang jelas dalam
fungsi pekerjaan dan sosial. Mereka mungkin mengalami kesulitan mempertahankan pembicaraan,
membentuk pertemanan, mempertahankan pekerjaan, atau memperhatikan kebersihan pribadi mereka.
Namun demikian tidak ada satu pola perilaku yang unik pada skizofrenia, demikian pula tidak ada satu pola
perilaku yang selalu muncul pada penderita skizofrenia. Penderita skizofrenia mungkin menunjukkan
waham, masalah dalam pikiran asosiatif, dan halusinasi, pada satu atau lain waktu, namun tidak selalu
semua tampil pada saat bersamaan. Juga terdapat perbedaan ragam atau jenis skizofrenia, dicirikan pada
pola-pola perilaku yang berbeda (Navid, dkk, 2005).
Dalam beberapa kasus, skizofrenia menyerang manusia usia muda antara 15 hingga 30 tahun, tetapi
serangan kebanyakan terjadi pada usia 40 tahun ke atas. Skizofrenia bisa menyerang siapa saja tanpa
mengenal jenis kelamin, ras, maupun tingkat sosial ekonomi. Diperkirakan penderita skizofrenia sebanyak
1 % dari jumlah manusia yang ada di bumi.
Skizofrenia tidak bisa disembuhkan sampai sekarang. Tetapi dengan bantuan Psikiater dan obat-obatan,
skizofrenia dapat dikontrol. Pemulihan memang kadang terjadi, tetapi tidak bisa diprediksikan. Dalam
beberapa kasus, penderita menjadi lebih baik dari sebelumnya. Keringanan gejala selalu nampak dalam 2
tahun pertama setelah penderita diobati, dan berangsur-angsur menjadi jarang setelah 5 tahun
pengobatan. Pada umur yang lanjut, di atas 40 tahun, kehidupan penderita skizofrenia yang diobati akan
semakin baik, dosis obat yang diberikan akan semakin berkurang, dan frekuensi pengobatan akan semakin
jarang.Peranan Psikolog juga sangat penting dan mendukung penanganan penderita skizofrenia melalui
psikotherapy dengan CBT : Cognitive Behavior Therapy yang menggunakan berbagai teknik yang terdiri dari
25 macam teknik. Ada serangkaian teknik terapi CBT menurut beberapa tokoh sebagai berikut :
1) Book dan Randal (2002), merekomendasikan farmakoterapi yang dikombinasikan dengan
psikoterapi, yakni Cognitive Behavioral Therapy. Komponen Terapi Kognitif Perilaku yang
direkomendasikannya antara lain : exposure, restrukturisasi kognitif, latihan relaksasi, dan
pelatihan keterampilan sosial.
2) Feeney (2004), dalam 31 sesi terapinya menggunakan beberapa tehnik yakni: self-monitoring,
restrukturisasi kognitif, relaksasi otot dan latihan pernafasan, exposure dan parodoxical intention.
3) Halford, Doolan, dan Eadie (2002), dalam mengatasi gangguan kecemasan dan depresi
menggunakan psikoedukasi, mengajarkan strategi manajemen kecemasan, restrukturisasi kognitif,
latihan relaksasi, pelatihan keterampilan komunikasi, penjadwalan aktivitas yang menyenangkan,
dan exposure.
4) Karp dan Dugas (2003), menggunakan psikoedukasi, training problem solving, role play, kognitif re-
evaluasi, fade-out dan relaps prevention. Tentunya disertai dengan masa follow-up setelah dua
bulan pasca terapi. Semuanya terlaksana dalam 16 sesi terapi, selama 20 minggu.
5) Rector, Kocovski, dan Ryder (2006) untuk mengatasi kecemasan sosial dan ketidaknyamanan
terhadap orang lain menerapkan beberapa elemen tretmen, yakni: restrukturisasi kognitif atau
downward arrow, exposure, pengurangan perilaku aman, dan pelatihan keterampilan sosial.
6) Suryaningrum (2006), menggunakan relaksasi, restrukturisasi kognitif, role-play dan in-vivo
exposure dalam Cognitive Behavioral Therapy.
7) Westra dan Pheonix (2003) dalam penelitiannya terhadap dua gangguan kecemasan (salah satunya
adalah pobia sosial), menggunakan psikoedukasi, latihan pernafasan, identifikasi pemikiran negatif
dan exposure. Westra dan Pheonix juga menambahkan terapi peningkatan motivasi untuk klien
yang berulangkali mengalami kegagalan dalam menjalani terapi.

Kesimpulan, skizofrenia merupakan salah satu dari diagnosis gangguan jiwa menurut Pedoman
Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ-III) dengan kode F20. Suatu sindrom dengan variasi
penyebab banyak belum diketahui dan perjalanan penyakit tidak selalu bersifat kronik atau luas, serta
jumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya. Skizofrenia
pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi,
serta oleh afek yang tidak wajar atau tumpul. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya
tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.

Simtom Skizofrenia.
Simtom skizofrenia dibagi menjadi 2 kelompok gejala yaitu : simtom positif dan simtom negatif.
Simtom Positif
Simtom positif meliputi; waham, halusinasi, dan katatonik.
Menurut Durand, dkk (2007) simtom positif skizofrenia merupakan tanda-tanda yang lebih jelas dari
psikosis. Ini termasuk pengalaman delusi dan halusinasi yang menganggu. Pembicaraan yang tidak
terorganisasi menjelaskan terjadinya proses pembicaraan menyimpang karena adanya masalah pada
organisasi ide dan perkataan yang tidak dipahami oleh orang lain. Delusi merupakan keyakinan salah yang
biasanya melibatkan kesalahan interpretasi pada persepsi atau pengalaman. Halusinasi merupakan
gangguan persepsi yang membuat seseorang dapat melihat sesuatu atau mendengar suara yang tidak ada
sumbernya, bisa berupa halusinasi pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecapan dan perabaan.
(Diagnostic and Statistik Manual of Mental Disorder / DSM-IV TR, 2000).
Delusi adalah gejala psikotik yang melibatkan gangguan isi pikiran dan adanya keyakinan yang kuat, yang
merupakan misrepresentasi dari kenyataan (Durand, dkk, 2007). Waham atau delusi, yaitu kesalahan
dalam menilai diri sendiri, atau keyakinan tentang isi pikirannya padahal tidak sesuai dengan kenyataan.
Atau kenyataan yang telah terpaku/terpancang kuat dan tidak dapat dibenarkan berdasarkan fakta dan
kenyataan tetapi tetap dipertahankan. Jika disuruh membuktikan berdasarkan akal sehatnya, tidak bisa.
Atau disebut juga kepercayaan yang palsu dan sudah tidak dapat dikoreksi. Penyesatan pikiran (delusi)
adalah kepercayaan yang kuat dalam menginterpretasikan sesuatu yang kadang berlawanan dengan
kenyataan. Misalnya, pada penderita skizofrenia, lampu trafik di jalan raya yang berwarna merah kuning
hijau, dianggap sebagai suatu isyarat dari luar angkasa. Beberapa penderita skizofrenia berubah menjadi
seorang paranoid. Mereka selalu merasa sedang diamat-amati, diintai, atau hendak diserang.
Kegagalan berpikir mengarah kepada masalah dimana penderita skizofrenia tidak mampu memproses dan
mengatur pikirannya. Kebanyakan penderita tidak mampu memahami hubungan antara kenyataan dan
logika. Karena penderita skizofrenia tidak mampu mengatur pikirannya membuat mereka berbicara secara
serampangan dan tidak bisa ditangkap secara logika. Ketidakmampuan dalam berpikir mengakibatkan
ketidakmampuan mengendalikan emosi dan perasaan. Hasilnya, kadang penderita skizofrenia tertawa
sendiri atau berbicara sendiri dengan keras tanpa memperdulikan sekelilingnya. Semua itu membuat
penderita skizofrenia tidak bisa memahami siapa dirinya, tidak berpakaian, dan tidak bisa mengerti apa itu
manusia. Dia juga tidak bisa mengerti kapan dia lahir, dimana dia berada, dan sebagainya.
Waham kebesaran adalah waham peningkatan kemampuan, kekuatan, pengetahuan, identitas, atau
hubungan khusus dengan dewa atau orang terkenal. Waham merupakan anggapan tentang orang yang
hypersensitif, dan mekanisme ego spesifik, reaksi formasi dan penyangkalan. Klien dengan waham,
menggunakan mekanisme pertahanan reaksi formasi, penyangkalan dan proyeksi. Pada reaksi formasi,
digunakan sebagai pertahanan melawan agresi, kebutuhan, ketergantungan dan perasaan cinta.
Kebutuhan akan ketergantungan ditransformasikan menjadi kemandirian yang kokoh. Penyangkalan,
digunakan untuk menghindari kesadaran akan kenyataan yang menyakitkan. Proyeksi digunakan untuk
melindungi diri dari mengenal impuls yang tidak dapat diterima di dalam dirinya sendiri. Hypersensitivitas
dan perasaan inferioritas, telah dihipotesiskan menyebabkan reaksi formasi dan proyeksi, waham
kebesaran dan superioritas. Waham juga dapat muncul dari hasil pengembangan pikiran rahasia yang
menggunakan fantasi sebagai cara untuk meningkatkan harga diri mereka yang terluka. Waham kebesaran
merupakan regresi perasaan maha kuasa dari anak-anak, dimana perasaan akan kekuatan yang tidak dapat
disangkal dan dihilangkan (Kaplan, dkk, 2010).
Macam-macam waham :
a) Waham kejar, yaitu keyakinan bahwa orang lain atau lingkungan memusuhi atau mencurigai
dirinya. Misalnya merasa ada orang yang ingin membunuhnya, memata-matai, atau membicarakan
kejelekannya.
b) Waham kebesaran (grandeur), yaitu keyakinan bahwa dirinya mempunyai kekuatan, kekuasaan,
kedudukan, kekayaan berlimpah, pendidikan tinggi, atau kepandaian yang luar biasa. Misalnya
seseorang yakin bahwa dirinya seorang raja.
c) Waham nihilistik, yaitu penyangkalan terhadap keberadaan dirinya atau lingkungan. Misalnya yakin
bahwa dia sendiri sudah mati, dunia ini tidak ada, dan sebagainya.
d) Waham keagamaan, yaitu keyakinan yang berhubungan dengan keagamaan. Misalnya merasa
dirinya seorang nabi; merasa dalam waktu 10 hari akan terjadi kiamat di suatu tempat.
e) Waham dosa, yaitu keyakinan pada dirinya bahwa ia telah melakukan dosa yang sangat besar dan
tidak mungkin terampuni, karenanya ia bertanggung jawab atas kejadian-kejadian tertentu.
Misalnya kematian orang tua diyakini akibat dosa yang diperbuatnya.
f) Waham pengaruh, yaitu keyakinan bahwa pikiran, emosi, atau tingkah lakunya dipengaruhi oleh
kekuatan dari luar yang tidak terlihat atau ghaib.
g) Waham somatik atau hipokondrik, yaitu keyakinan bahwa keadaan tubuhnya sudah tidak mungkin
benar atau sakit. Misalnya yakin bahwa ususnya telah busuk, di perutnya ada gajah, dan
sebagainya.
h) Waham sakit, yaitu keyakinan bahwa seluruh atau sebagian tubuhnya sedang dilanda penyakit yang
kronis.
i) Waham hubungan, yaitu interpretasi yang salah dari pembicaraan, kejadian, atau gerak-gerik yang
dirasakan berhubungan langsung dengan dirinya.
j) Halusinasi adalah gejala-gejala psikotik dari gangguan perseptual di mana berbagai hal dilihat,
didengar, atau diindra meskipun hal-hal itu tidak riil atau benar-benar ada (Durand, dkk, 2007).

Macam-macam halusinasi :
a) Halusinasi Pendengaran, misalnya; mendengar suara-suara yang berbisik, melengking, mendesir,
bising, atau kata-kata. Ada suara terdengar ditelinga, sehingga terlihat bertengkar atau berbicara
sendiri dengan suara tersebut. Mendengar suara yang berasal dari bagian atau dari dalam tubuh
sendiri. Mendengar suara dari suatu tempat dekat atau jauh. Mendengar suara-suara yang
menyuruh untuk melakukan sesuatu.
b) Halusinasi Penglihatan, misalnya; melihat sesuatu kejadian menakutkan atau mengerikan. Melihat
kilatan cahaya, melihat sebuah bentuk tertentu, misal ular besar, bidadari, malaikat, hewan buas
dan lain sebagainya.
c) Halusinasi Penciuman, misalnya; seolah-olah merasa mencium bau sesuatu. Merasa mencium bau
kemenyan, sampah, kotoran, wangi-wangian disekitar kemanapun bergerak.
d) Halusinasi Pengecapan, misalnya; seolah-olah merasa mengecap sesuatu. Merasa lidah terlalu
pahit, panas, asam, asin atau manis.
e) Halusinasi Perabaan, misalnya; seolah-olah merasa diraba, disentuh, ditiup, disinari, atau ada
sesuatu yang bergerak di kulitnya.
f) Halusinasi Kinestik, misalnya; seolah-olah badan bergerak dalam sebuah ruang. Anggota badan
bergerak-gerak tanpa berhenti.
g) Halusinasi Viseral, misalnya; ada perasaan tertentu dalam tubuh.
h) Halusinasi Hipnagogik, misalnya; merasa terjadi sesuatu dimana tepat sebelumnya tertidur,
persepsi atau tanggapan sensorik yang bekerja salah.
i) Halusinasi Hipnopompik, misalnya; halusinasi (mendengar atau melihat sesuatu) yang terjadi atau
dialami tepat sebelum terbangun dari tidur.
j) Halusinasi Histerik, misalnya; sering timbul konflik emosional, marah-marah, sedih, tertawa-tawa
tanpa sebab yang jelas.
k) Depersonalisasi, misalnya; perasaan aneh tentang diri sendiri. Perasaan bahwa kepribadian sudah
tidak seperti dulu lagi, tidak menurut kenyataan. Merasa seperti diluar badan atau sebagian tubuh
sudah bukan kepunyaan diri sendiri lagi.
l) Derealisasi, misalnya; perasaan aneh tentang lingkungan sekitar dan tidak menuruti kenyataan.
Perasaan terhadap sesuatu yang dialami seperti mimpi.

Halusinasi selalu terjadi saat rangsangan terlalu kuat dan otak tidak mampu menginterpretasikan dan
merespon pesan atau rangsangan yang datang. Penderita skizofrenia mungkin mendengar suara-suara
atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada, atau mengalami suatu sensasi yang tidak biasa pada
tubuhnya. Auditory hallucinations, gejala yang biasanya timbul, yaitu penderita merasakan ada suara dari
dalam dirinya. Kadang suara itu dirasakan menyejukkan hati, memberi kedamaian, tapi kadang suara itu
menyuruhnya melakukan sesuatu yang sangat berbahaya, seperti bunuh diri.
Perilaku pasien yang teramati : menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan bibirnya tanpa
menimbulkan suara, gerakan mata yang cepat, respon verbal yang lamban, diam dan dipenuhi oleh
sesuatu yang mengasyikkan. Condemning (secara umum halusinasi menjijikkan). Karakteristik :
pengalaman sensori bersifat menjijikkan dan menakutkan, orang yang berhalusinasi mulai merasa
kehilangan kendali dan berusaha untuk menjauhkan dirinya dari sumber yang dipersepsikan, individu
mungkin merasa malu karena pengalaman sensorinya dan menarik diri dari orang lain (nonpsikotik).
Perilaku pasien yang teramati : peningkatan saraf otonom yang menunjukan ansietas misalnya
peningkatan nadi, pernapasan dan tekanan darah, penyempitan kemampuan konsentrasi, dipenuhi dengan
pengalaman sensori dan mungkin kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realitas.
Controling (pengalaman sensori menjadi penguasa). Orang yang berhalusinasi menyerah untuk melawan
pengalaman halusinasinya dan membiarkan halusinasi menguasai dirinya, isi halusinasi dapat berupa
permohonan, individu mungkin mengalami kesepian jika pengalaman sensori tersebut berakhir. Perilaku
pasien yang teramati : lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya daripada
menolaknya, kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain, rentang perhatian hanya beberapa menit
atau detik, gejala fisik dan kecemasan berat seperti berkeringat, tremor, ketidakmampuan mengikuti
petunjuk.
Pengalaman sensori mungkin menakutkan jika individu tidak mengikuti perintah, halusinasi bisa
berlangsung dalam beberapa jam atau hari apabila tidak ada intervensi terapeutik. Perilaku pasien yang
teramati : perilaku menyerang atau teror seperti panik, sangat potensial melakukan bunuh diri atau
membunuh orang lain, kegiatan fisik merefleksikan isi halusinasi seperti amuk, agitasi, menarik diri, atau
kataton, tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang.
Katatonik adalah salah satu jenis skizofrenia yang ditandai dengan hendaya yang jelas dalam perilaku
motorik dan perlambatan aktivitas yang berkembang menjadi stupor namun mungkin berubah secara tiba-
tiba menjadi fase agitasi. Orang-orang dengan skizofrenia katatonik mungkin dapat menunjukkan bentuk
perangai atau seringai yang tidak biasa, atau mempertahankan postur yang aneh, tampak kuat selama
berjam-jam meskipun tungkai mereka menjadi kaku atau membengkak. Ciri yang mengejutkan namun
kurang umum adalah waxy flexibility, yang menampilkan posisi tubuh yang tetap, sebagaimana posisi yang
telah dipaparkan oleh orang lain terhadap mereka. Mereka tidak akan merespons pertanyaan atau
komentar selama masa tersebut, yang dapat berlangsung selama berjam-jam. Bagaimanapun sesudahnya
mereka mungkin mengatakan mendengar apa yang dikatakan oleh orang lain selama masa itu (Nevid, dkk,
2005).

Simtom Negatif
Simtom negatif meliputi; perubahan proses pikir, gangguan emosi, kemauan, dan otisme. Menurut Durand,
dkk (2007) simtom negatif terdiri dari avolition, alogia, anhedonia, afek datar, disorganized speech dan
inappropriate.
1. Avolition adalah sikap apati atau ketidakmampuan untuk memulai atau mempertahankan kegiatan-
kegiatan penting.
2. Alogia adalah defisiensi dalam jumlah atau isi pembicaraan, gangguan yang sering terlihat pada
penderita skizofrenia.
3. Anhedonia adalah ketidakmampuan untuk mengalami kesenangan, yang terkait dengan beberapa
gangguan suasana perasaan dan gangguan skizofrenik.
4. Afek datar adalah tingkah laku yang tampak tanpa emosi (termasuk cara berbicara yang tanpa nada
dan tatapan mata kosong) saat ia mestinya bereaksi.
5. Disorganized Speech (disorganisasi dalam pembicaraan). Gaya bicara yang sering terlihat pada
penderita skizofrenia, termasuk inkoherensi dan ketiadaan pola logika yang wajar.
6. Inappropriate affect (afek yang tidak pas). Ekspresi emosional yang tidak sesuai dengan situasinya.

Tipe Skizoprenia.
Skizofrenia dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu simplek, hebefrenik, katatonik, paranoid, tak terinci,
residual (Maslim, 2000).

Skizofrenia Paranoid.
Skizofrenia paranoid merupakan salah satu tipe dari enam jenis skizofrenia dalam Pedoman Penggolongan
Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ-III) diberi kode diagnosis F20.0. Skizofrenia Paranoid merupakan
gangguan psikotik yang merusak yang dapat melibatkan gangguan yang khas dalam berpikir (delusi),
persepsi (halusinasi), pembicaraan, emosi dan perilaku. Keyakinan irasional bahwa dirinya seorang yang
penting (delusi grandeur) atau isi pikiran yang menunjukkan kecurigaan tanpa sebab yang jelas, seperti
bahwa orang lain bermaksud buruk atau bermaksud mencelakainya. Para penderita skizofrenia tipe
paranoid secara mencolok tampak berbeda karena delusi dan halusinasinya, sementara keterampilan
kognitif dan afek mereka relatif utuh. Mereka pada umumnya tidak mengalami disorganisasi dalam
pembicaraan atau afek datar. Mereka biasanya memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan penderita
tipe skizofrenia lainnya, Durand, dkk (2007).
Ciri utama skizofrenia tipe paranoid ini adalah adanya waham yang mencolok atau halusinasi auditorik
dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan afek yang relatif masih terjaga, sedangkan katatonik relatif
tidak menonjol. Waham biasanya adalah waham kejar atau waham kebesaran, atau keduanya, tetapi
waham dengan tema lain (misalnya waham cemburu, keagamaan, atau somatisasi) mungkin juga muncul.
Halusinasi juga biasanya berkaitan dengan tema wahamnya, (Arif, 2006).

Kriteria Diagnostik Skizofrenia Paranoid.


 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia yaitu harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini
yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih, bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang
jelas) :
1) “Thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya
(tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya. “Thought insertion or withdrawal” =
isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal), dan “Thought broadcasting” = isi
pikirannya tersiar ke luar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya.
2) “Delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu
dari luar, atau “delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar, atau “delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak
berdaya dan pasrah terhadap sesuatu kekuatan dari luar, (tentang “dirinya” = secara jelas
merujuk ke pergerakan tubuh atau anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau
penginderaan khusus). “Delusional perception”= pengalaman inderawi yang tak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
3) Halusinasi auditorik : suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (di antara
berbagai suara yang berbicara), atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu
bagian tubuh.
4) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak
wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu,
atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan
cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dari dunia lain).
 Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
1) Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang
mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas,
ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila
terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.
2) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang
berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme.
3) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu
(posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.
4) Simtom-simtom “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respon
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri
dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
 Sebagai tambahan halusinasi atau waham harus menonjol : suara-suara halusinasi yg mengancam
pasien atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik. Halusinasi pembauan atau pengecapan
rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi
jarang menonjol. Waham hampir setiap jenis, seperti ; waham dikendalikan, waham kejar, waham
curiga yang paling khas. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif tidak menonjol.
 Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau
lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal).
 Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality)
dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat,
hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri (self-absorbed attitude), dan
penarikan diri secara sosial.

TERAPI
Ganguan jiwa skizofrenia adalah salah satu penyakit yang cenderung berlanjut (kronis, menahun). Oleh
karenanya terapi pada skizofrenia memerlukan waktu relatif lama berbulan bahkan bertahun, hal ini
dimaksudkan untuk menekan sekecil mungkin kekambuhan (relapse). Terapi yang dimaksud meliputi
terapi dengan obat-obatan anti Skizofrenia (psikofarmaka), psikoterapi, terapi psikososial dan terapi
psikorelegius (Hawari, 2003).
a. Psikofarmaka
Adapun obat psikofarmaka yang ideal yaitu yang memenuhi syarat-syarat antara lain sebagai berikut :
1) Dosis rendah dengan efektivitas terapi dalam waktu relatif singkat.
2) Tidak ada efek samping, kalaupun ada relatif kecil.
3) Dapat menghilangkan dalam waktu relatif singkat gejala positif maupun negatif skizofrenia.
4) Lebih cepat memulihkan fungsi kognitif (daya pikir dan daya ingat).
5) Tidak menyebabkan kantuk.
6) Memperbaiki pola tidur.
7) Tidak menyebabkan habituasi, adiksi, dan dependensi.
8) Tidak menyebabkan lemas otot.
9) Kalau mungkin pemakaiannya dosis tunggal (single dose).

Jenis obat psikofarmaka dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu golongan generasi pertama
(typical) dan golongan generasi kedua (atypical).
1) Termasuk golongan generasi pertama misalnya : Chlorpromazine HCL (Largactil), Trifluoperazine HCL
(Stelazine), Thioridazine HCL (Melleril), Haloperidol (Haldol, Serenace).

2) Termasuk golongan generasi kedua misalnya : Risperidone (Risperdal), Clozapine (Clozaril),


Quetiapine (Serquel), Olanzapine (Zyprexa).

b. Psikoterapi
Terapi kejiwaan atau psikoterapi pada penderita skizofrenia, baru dapat diberikan apabila penderita
dengan terapi psikofarmaka sudah mencapai tahapan di mana kemampuan menilai realitas (Reality
Testing Ability/RTA) sudah kembali pulih dan pemahaman diri (insight) sudah baik. Psikoterapi
diberikan dengan catatan bahwa penderita masih tetap mendapat terapi psikofarmaka.
Psikoterapi diberikan tergantung dari kebutuhan dan latar belakang penderita sebelum sakit
(Pramorbid), adapun macam psikoterapi adalah sebagai berikut :
1) Psikoterapi Suportif, dimaksudkan untuk memberikan dorongan, semangat dan motivasi agar
penderita tidak putus asa dan semangat juangnya (fighting spirit) dalam menghadapi hidup ini tidak
kendur dan menurun.
2) Psikoterapi Re-edukatif, dimaksudkan untuk memberikan pendidikan ulang yang maksudnya
memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu lalu.
3) Psikoterapi Re-konstruktif, dimaksudkan untuk memperbaiki kembali (re-konstruksi) kepribadian
yang telah mengalami keretakan menjadi pribadi utuh seperti semula sebelum sakit.
4) Psikoterapi Kognitif, dimaksudkan untuk memulihkan kembali fungsi kognitif (daya pikir dan daya
ingat) rasional sehingga penderita mampu membedakan nilai-nilai moral etika, mana yang baik dan
buruk.
5) Psikoterapi Psiko-dinamik, dimaksudkan untuk menganalisa dan menguraikan proses dinamika
kejiwaan yang dapat menjelaskan seseorang jatuh sakit dan upaya untuk mencari jalan keluarnya.
6) Psikoterapi Perilaku, dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku yang terganggu
(maladatif) menjadi perilaku yang adaptif (mampu menyesuaikan diri).
7) Psikoterapi keluarga, dimaksudkan untuk memulihkan hubungan penderita dengan keluarganya.

c. Terapi Psikososial
Terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial
sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri tidak tergantung pada orang lain, sehingga tidak
menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat.

d. Terapi Psikoreligius
Terapi keagamaan (psikoreligius) terhadap penderita Skizofrenia dimaksudkan gejala patologis dengan
pola sentral keagamaan dapat diluruskan, dengan demikian keyakinan atau keimanan penderita dapat
dipulihkan kembali di jalan yang benar.

Anda mungkin juga menyukai