Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH FARMAKOTERAPI II

Penatalaksanaan Pada Gangguan Tulang Dan Sendi Yaitu


Osteoporosis

Oleh :

Nama : Bunga Bulan Cantika

Bp : 1804123

Kelas :B

Kelompok :2

Dosen Pengampu : Apt. Sanubari Rela Tobat, M.Farm

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA

YAYASAN PERINTIS

PADANG

2022
DAFTAR ISI

1. Osteoporosis............................................................................................................ 1

a. Etiologi.............................................................................................................. 1

b. Patofisiologi....................................................................................................... 3

c. Tatalaksana Terapi............................................................................................. 4

1. Terapi farmakologi....................................................................................... 5

2. Obat osteoporosis......................................................................................... 6

3. Panduan Terapi............................................................................................ 12
OSTEOPOROSIS

1. ETIOLOGI

Etiologi osteoporosis terbagi menjadi primer dan sekunder. Osteoporosis primer

diakibatkan oleh penuaan atau menopause sedangkan osteoporosis sekunder diakibatkan oleh

penyakit dasar (misalnya tuberkulosis tulang dan diabetes mellitus tipe 1) maupun

penggunaan obat-obatan yang berpotensi meningkatkan kerapuhan tulang (misalnya

penggunaan kortikosteroid jangka panjang dan antikonvulsan).

a. Osteoporosis Primer

Osteoporosis primer diakibatkan oleh penuaan atau menopause.

 Osteoporosis Senilis

Osteoporosis yang dialami setelah usia 65 tahun pada pria ataupun wanita

dikategorikan sebagai osteoporosis senilis. Seiring bertambahnya usia, penyerapan

kalsium menurun. Diduga hipogonadisme pada lansia, asupan kalsium yang tidak

adekuat maupun disuse akibat keterbatasan gerak merupakan penyebab osteoporosis

pada kelompok  lansia.[1]

 Osteoporosis akibat Menopause

Osteoporosis yang dialami wanita saat menopause hingga usia 65 tahun

dikategorikan sebagai osteoporosis akibat menopause.[5] Defisiensi estrogen pada

menopause berkaitan dengan deteriorasi trabekula tulang yang menyebabkan

terjadinya osteoporosis.[4]

 Osteoporosis Idiopatik

Osteoporosis pada wanita premenopause dan pria muda tanpa etiologi yang jelas

dikategorikan sebagai osteoporosis idiopatik. Definisi fraktur idiopatik bervariasi

yakni fraktur tanpa trauma maupun dengan trauma energi rendah dengan atau tanpa

1
penurunan densitas massa tulang maupun nilai densitas massa tulang yang rendah

tanpa riwayat fraktur. Terjadi gangguan remodeling tulang, aktivitas osteoblas

menurun ditandai dengan penurunan laju pembentukan tulang kanselosa, penurunan

mineralisasi serta periode resorpsi memanjang.[8]

 Osteoporosis Juvenil Idiopatik

Osteoporosis pada anak dan remaja rentang usia 2-14 tahun yang ditandai dengan

nyeri tulang, fraktur dan deformitas tulang akibat trauma energi rendah. Eksklusi

seluruh etiologi sekunder harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis osteoporosis

juvenil idiopatik. Pada penyakit ini, pembentukan tulang cancellous terganggu hingga

mengakibatkan tulang trabeculae matur tipis. Perjalanan penyakit biasanya berhenti

saat pasien mengalami pubertas.[9]

b. Osteoporosis Sekunder

Pada prinsipnya, osteoporosis sekunder merupakan osteoporosis yang timbul akibat

imobilisasi, adanya penyakit dasar, maupun penggunaan obat-obatan..

 Imobilisasi

Beban tubuh dan tegangan yang diterima oleh skeletal akibat tarikan otot memicu

aktivitas osteoblastik. Oleh karena itu, imobilisasi dapat memicu penurunan aktivitas

osteoblastik. Penurunan deposisi tulang sedangkan proses resorpsi tidak ikut menurun

mengakibatkan osteoporosis.[1]

 Penyakit

Osteoporosis diasosiasikan dengan beberapa penyakit, di antaranya:

 Penyakit hematologi: myeloma multipel, mastositosis sistemik, thalassemia beta

major

 Penyakit ginjal: penyakit ginjal kronis, renal tubular asidosis, hiperkalsiuria

idiopatik

2
 Penyakit autoimun: artritis rheumatoid, lupus, spondilitis ankilosa, sklerosis

multipel

 Penyakit infeksi: tuberkulosis tulang

 Penyakit endokrin: diabetes mellitus, osteoporosis diinduksi glukokortikoid,

hipertiroid, hiperparatiroid, hypogonadism, defisiensi hormon pertumbuhan

 Metastasis keganasan pada tulang

 Defisiensi nutrisi : defisiensi kalsium, vitamin D, malabsorbsi (inflammatory

bowel disease, penyakit celiac, prosedur gastrektomi),anorexia nervosa [2,3,10]

 Konsumsi Obat-Obatan

Obat yang dapat menyebabkan osteoporosis:

 Obat glukokortikoid seperti prednison

 Analog hormon paratiroid seperti teriparatide

 Antikonvulsan seperti phenytoin

 Antidepresan golongan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI)

seperti fluoxetine dan golongan trisiklik seperti amitriptyline

 Penggunaan jangka panjang heparin

 Loop diuretik seperti furosemide

 Penggunaan jangka panjang inhibitor pompa proton seperti omeprazole[2,3]

2. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi osteoporosis berkaitan dengan perubahan kepadatan dan kekuatan tulang

akibat ketidakseimbangan pembentukan dan resorpsi tulang. Kepadatan dan kekuatan tulang

ini ditentukan oleh aktivitas osteoblas untuk membentuk tulang dan aktivitas osteoklas untuk

resorpsi tulang. Ketidakseimbangan proses berupa peningkatan resorpsi hingga melebihi

pembentukan tulang dalam jangka panjang akan menyebabkan terjadinya osteoporosis.[2-4]

3
Puncak massa tulang biasanya tercapai pada sekitar usia 30 tahun. Setelah itu perlahan

massa tulang menurun menjadi semakin berporos, tulang trabekula menipis. [6]

Puncak massa tulang yang inadekuat, mengakibatkan densitas massa tulang rendah.

Berbagai faktor risiko seperti penuaan, hipogonadisme maupun kondisi menopause, laju

turnover tulang yang tinggi akan meningkatkan kehilangan massa tulang sehingga

menurunkan kualitas tulang. Penurunan massa dan kualitas tulang akan meningkatkan

kerapuhan tulang. Tulang menjadi rentan fraktur. [1]

3. TATALAKSANA TERAPI (FARMAKOTERAPI)

Osteoporosis tidak bisa disembuhkan, namun perlu mendapat penatalaksanaan untuk

meningkatkan BMD, menghambat pengeroposan tulang, dan mencegah atau menurunkan

risiko fraktur. Meskipun telah tersedia terapi yang efektif, namun osteoporosis sering kurang

terdiagnosis dan kurang mendapat terapi optimal, selain itu tingkat kepatuhan pasien terhadap

terapi dan kontrol yang masih rendah. Dalam algoritma penatalaksanaan osteoporosis pasca-

menopause, penentuan risiko fraktur mencakup pengukuran BMD tulang belakang lumbal

dan tulang panggul, serta memasukkan nilai BMD panggul atau leher tulang paha ke dalam

FRAX tool. Dengan algoritma FRAX tersebut, risiko dikategorikan sebagai berikut:

 Risiko rendah

jika tidak ada fraktur tulang panggul atau tulang belakang sebelumnya, skor T BMD

tulang panggul dan tulang belakang > -1,0, dan risiko fraktur tulang panggul 10 tahun

<3% dan risiko fraktur osteoporosis utama 10 tahun <20%.

 Risiko sedang

jika tidak ada fraktur tulang panggul atau tulang belakang sebelumnya, skor T BMD

tulang panggul dan tulang belakang > -2,5, atau risiko fraktur tulang panggul 10

tahun <3% atau risiko fraktur osteoporosis utama 10 tahun <20%.

 Risiko tinggi

4
jika ada fraktur tulang panggul atau tulang belakang sebelumnya, atau skor T BMD

tulang panggul dan tulang belakang ≤ -2,5 atau risiko fraktur tulang panggul 10 tahun

≥3% atau risiko fraktur osteoporosis utama 10 tahun ≥20%.

 Risiko sangat tinggi

jika ada fraktur tulang belakang multipel dan T-skor BMD tulang panggul atau tulang

belakang≤ -2,5.

Terapi farmakologi

Terapi farmakologi sebaiknya dimulai pada:

 Pasien dengan osteopenia

 Pasien dengan riwayat fraktur osteoporotik pada panggul atau spinal

 Pasien dengan T-score ≤ -2,5

 Pasien dengan T-score antara -1 dan -2,5

jika probabilitas (Fracture Risk Assessment Tool) untuk fraktur panggul ≥3% dan

osteoporotik mayor ≥20%.

Berdasarkan cara kerjanya, obat osteoporosis terdiri dari:

 Antiresorptive agent

o Merupakan obat yang menurunkan kehilangan massa tulang.

o Contoh: bisphosphonate, calcitonin, strontium ranelate, denosumab

 Anabolic agent

o Merupakan obat yang meningkatkan massa tulang: estrogen atau terapi sulih

hormon, selective estrogen receptor modulator (misal: raloxifene), teriparatide

Pemberian obat anti-osteoporosis sebaiknya tetap disertai asupan kalsium dan vitamin D yang

cukup serta menghindari faktor risiko osteoporosis seperti tidak merokok dan tidak minum

alkohol, serta olahraga yang cukup dan menghindari risiko terjatuh atau fraktur.

5
Obat Osteeoporosi

a. Bisphosphonate

Bisphosphonate oral merupakan obat yang efektif, terjangkau, dengan data keamanan

jangka panjang untuk sebagian besar senyawa. Jika tidak ada kontraindikasi spesifik,

bisphosphonate oral dipertimbangkan sebagai terapi farmakologi lini pertama untuk

perempuan pasca-menopause dengan risiko tinggi fraktur, dan telah disetujui FDA untuk

osteoporosis yang disebabkan oleh glucocorticoid. Bisphosphonate bekerja mempengaruhi

jalur intraseluler spesifik pada osteoklas yang menyebabkan toksisitas seluler. Secara

spesifik, obat ini mengikat hidroksiapatit dan menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas

melalui beberapa cara, yaitu sitotoksik atau injuri metabolik pada osteoklas matur,

menghambat penempelan osteoklas pada tulang, menghambat diferensiasi dan rekrutmen

osteoklas, serta mempengaruhi struktur osteoklas yang diperlukan untuk resorpsi tulang

(komponen sitoskeleton).

Jenis bisphosphonate berdasarkan generasinya:

1. Generasi pertama: etidronate, clodronate

2. Generasi kedua: alendronate, pamidronate

3. Generasi ketiga: risedronate, ibandronate, zoledronate, minodronate

Terdapat 2 subkelas bisphosphonate:

1. Nitrogen containing bisphosphonate

(NBP; misal: alendronate, ibandronate, pamidronate, risedronate, zoledronate)

NBP menghambat enzim farnesyl pyrophosphate synthase (FPPS) pada jalur metabolik

mevalonic acid yang terlibat dalam pembentukan dan fungsi osteoklas, sehingga osteoklas

tidak aktif dan menginduksi apoptosis osteoklas.

2. Non-nitrogen containing bisphosphonate

6
(NNBP; misal: etidronate). NNBP bekerja melalui pembentukan metabolit yang

membentuk analog ATP toksik yang menginduksi apoptosis osteoklas.

Bisphosphonate memiliki keterbatasan, yaitu:

 Dikontraindikasikan pada pasien dengan hipokalsemia, kelainan esofagus, atau tidak

bisa bertahan dalam posisi tegak (tidak berbaring) minimal selama 30 menit (pada

pemberian oral), dan jika GFR <30-35 mL/menit (pada pemberian intravena).

 Dapat menyebabkan efek samping iritasi esofagus, hipokalsemia, nyeri

muskuloskeletal, dan fraktur atipikal yang mungkin disebabkan oversupresi turnover

tulang.

 Penggunaan jangka panjang NBP terus-menerus dapat menyebabkan osteonecrosis of

the jaw, khususnya pada pasien yang baru menjalani operasi maksilofasial atau

rongga mulut, sehingga dianjurkan:

o Pasien dengan risiko rendah fraktur, obat dihentikan (“drug holiday”) setelah

terapi 3-5 tahun

o Pasien dengan risiko tinggi fraktur, terapi diteruskan selama 10 tahun,

kemudian “drug holiday” selama 1-2 tahun.

Pilihan pertama terapi bisphosphonate adalah regimen oral alendronate atau

risedronatediminum sekali seminggu saat perut kosong pada pagi hari dengan minimal 240

mL air untuk meningkatkan absorpsi; pasien harus dalam posisi tegak dan tidak makan atau

minum selama minimal 30 menit setelah minum obat untuk mengurangi efek samping

gastrointestinal. Jika ada kontraindikasi atau kurang ditoleransi, dapat diberikan zoledronic

acid atau ibandronate intravena. Bisphosphonate sebaiknya dimulai 4-6 minggu setelah

fraktur dan tidak dihentikan pada pasien fraktur osteopatik yang mendapat obat kurang dari 5

tahun karena berpotensi memperlambat penyembuhan.

7
Di antara bisphosphonate, potensi antiresorpsi/penghambatan PFFS clodronate <

etidronate < pamidronate <alendronate < ibandronate< risedronate < zoledronate =

minodronate. Sedangkan afinitas terhadap hydroxyapatite :risedronate < minodronate <

zoledronate< alendronate. Namun, hasil meta-analisis menunjukkan bahwa manfaat

menurunkan risiko fraktur vertebra antara alendronate, risedronate, ibandronate, dan

zoledronic acidtidak berbeda bermakna.

b. Calcitonin

Calcitonin menghambat resorpsi tulang dengan meningkatkan aktivitas osteoblas dan

dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua jika obat lini pertama tidak dapat ditoleransi atau

tidak efektif.

Studi menunjukkan bahwa calcitonin meningkatkan BMD lumbal dan menurunkan

petanda biologi turnover tulang, namun tidak mencegah fraktur baru tulang vertebra, non-

vertebra, dan panggul. Calcitonin tersedia dalam bentuk injeksi dan intranasal dengan dosis

100 IU subkutan 2 hari sekali atau 200 IU intranasal sekali sehari.

c. Strontium Ranelate

Obat ini menghambat fungsi osteoklas dan memicu diferensiasi dan proliferasi osteoblas

melalui calcium sensing receptor (CaSR) yang menyebabkan peningkatan BMD, meskipun

tidak terkait erat dengan penurunan bermakna risiko fraktur.

Obat ini telah disetujui di Eropa untuk terapi pada pria dan perempuan pasca-menopause

dengan osteporosis berat yang tidak bisa mentoleransi obat lain.

Efek samping paling sering adalah kejadian kardiovaskular, tromboembolisme, infark

miokardium, gangguan gastrointestinal, dan gangguan saraf seperti sakit kepala, kejang, dan

gangguan memori. Karena berisiko tinggi pada kardiovaskular, strontium ranelate

dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua untuk osteoporosis, hanya jika obat lain tidak

cocok dan tidak ada kontraindiaksi.

8
d. Denosumab

Denosumab merupakan fully human monoclonal antibody pertama yang secara spesifik

mengikat RANKL untuk menghambat pembentukan dan aktivasi osteoklas, yang

menghambat resorpsi tulang. Denosumab telah disetujui untuk terapi osteoporosis pada

perempuan pasca-menopause dan pria risiko tinggi fraktur karena memiliki efikasi tinggi

dalam menurunkan fraktur tulang belakang dan tulang panggul. Pemberian denosumab

subkutan setiap 6 bulan dapat menekan resorpsi tulang sebesar 80-90%.

Denosumab bisa digunakan sebagai terapi lini pertama pada pasien yang tidak toleran

terhadap bisphosphonate oral atau pasien gagal ginjal.

Denosumab ditoleransi dengan baik dan tidak menyebabkan osteonecrosis of the jaw dan

fibrilasi arteri, namun kondisi hipokalsemia dan defisiensi vitamin D harus diatasi terlebih

dahulu sebelum mulai dan selama terapi denosumab.

Denosumab subkutan dua kali setahun selama 36 bulan dikaitkan dengan penurunan

risiko fraktur tulang vertebra, non-vertebra, dan panggul pada perempuan dengan

osteoporosis.28 Hasil studi DECIDE (Determining Efficacy: Comparison of Initiating

DEnosumab versus Alendronate) juga menunjukkan bahwa denosumab SC 60 mg/6 bulan

lebih efektif meningkatkan BMD dibandingkan alendronate oral 70 mg/minggu.

Peralihan ke denosumab dapat ditoleransi dengan baik dan lebih efektif meningkatkan

BMD dan menurunkan turnover tulang dibandingkan risedronate pada perempuan pasca-

menopause yang sebelumnya diterapi alendronate dengan kepatuhan suboptimal.

Denosumab sebanding dengan zoledronic acid dalam efektivitas (menurunkan risiko

fraktur non-vertebra) dan keamanan (risiko infeksi serius dan CVD) dalam 1 tahun terapi.

Denosumab tidak direkomendasikan untuk terapi preventif osteoporosis perempuan pra-

menopause dan anak-anak, dan tidak digunakan dalam kombinasi dengan obat osteoporosis

lainnya. Karena denosumab menghambat ikatan RANKL pada RANK, yang diekspresikan

9
pada limfosit T, limfosit B, dan sel dendritik selain pra-osteoklas, pernah dilaporkan

peningkatan risiko infeksi.

e. Romosuzumab

Obat ini merupakan antibodi terhadap sclerostin yang memperlambat pembentukan

tulang baru dan telah disetujui untuk terapi osteoporosis pada perempuan pasca-menopause

dengan risiko tinggi fraktur.

Romosuzumab merupakan satu-satunya obat yang punya efek meningkatkan

pembentukan tulang dan menurunkan resorpsi tulang, sehingga menurunkan risiko fraktur

dengan cepat. Studi menunjukkan bahwa risiko fraktur vertebra, lengan, atau tungkai lebih

rendah pada penggunaan romosuzumab dibandingkan alendronate setelah 12 bulan terapi,

dengan efek samping sebanding.

f. Terapi sulih Estrogen

Reseptor estrogen α dan β berperan dalam apoptosis osteoklas, sehingga terapi sulih

hormon estrogen progestin dengan tibolone efektif mencegah osteoporosis pada perempuan

pasca-menopause. Studi menunjukkan perubahan BMD tulang lumbal, panggul, leher femur,

dan menurunkan petanda turnover tulang setelah 2 tahun terapi. Namun, karena berpotensi

meningkatkan risiko gangguan tromboemboli, kanker payudara, cardiac event, stroke, dan

kanker endometrium, terapi sulih estrogen tidak untuk terapi preventif osteoporosis lini

pertama, dan harus diberikan dengan dosis efektif terendah dalam periode singkat, serta tidak

dihentikan mendadak karena meningkatkan risiko fraktur osteoporotik.

g. SERM

Selective estrogen receptor modulator merupakan obat sintetik non-steroidal dengan efek

yang sama seperti estrogen pada tulang dan kardiovaskular, tetapi tanpa efek buruk pada

payudara dan endometrium. Obat SERM yang paling sering untuk pencegahan osteoporosis

perempuan pascamenopause adalah raloxifene, lasofoxifene, danbazedoxifene, yang saat ini

10
telah disetujui FDA. Obat ini secara tipikal digunakan dalam kombinasi dengan estrogen

terkonjugasi. SERM menurunkan fraktur vertebra pada perempuan osteoporosis dengan

meningkatkan massa tulang trabekular pada skeleton aksial, tetapi secara statistik tidak

bermakna dalam menurunkan risiko fraktur non-vertebra atau tulang panggul dibandingkan

plasebo. Lebih lanjut, raloxifene juga meningkatkan porositas kortikal.35 Selain osteoporosis,

SERM juga efektif mencegah dan mengobati kanker payudara perempuan pramenopause

tetapi meningkatkan risiko stroke, tromboembolisme, kram tungkai, dan gejala vasomotorik

pada perempuan pasca-menopause.

Oleh karena itu, SERM dikontraindikasikan untuk pencegahan dan terapi osteoporosis

pada perempuan pra-menopause, namun sebagai terapi lini pertama untuk pencegahan

osteoporosis pada perempuan pasca-menopause.

h. Teriparatide

Teriparatide merupakan recombinant human parathyroid hormone yang disebut PTH

peptide dan satu-satunya obat anabolik yang saat ini disetujui untuk terapi osteoporosis yang

menstimulasi pembentukan tulang osteoblastik, sehingga memperbaiki kualitas dan massa

tulang. Obat ini mengaktivasi osteoblas dengan mengikat reseptor PTH/PTHrP tipe 1,

sehingga secara langsung menstimulasi pembentukan tulang pada lokasi remodelling aktif

dan permukaan tulang yang tidak aktif sebelumnya, serta menginisiasi lokasi remodelling

baru. Studi menunjukkan peningkatan petanda biokimia pembentukan tulang yang cepat

selama bulan pertama terapi teriparatide tanpa disertai peningkatan resorpsi

tulang.Teriparatide diberikan secara injeksi subkutan 20 mcg/hari.

Studi menunjukkan bahwa teriparatide lebih efektif menurunkan risiko fraktur vertebra

dan meningkatkan BMD lumbal dan columna femoris dalam jangka panjang pada perempuan

pasca-menopause dengan osteoporosis dibanding bisphosphonate. Selain itu, teriparatide juga

lebih efektif menurunkan risiko fraktur vertebra dan meningkatkan BMD lumbal, collumna

11
femoris, dan panggul pasien osteoporosis akibat glukokortikoid dibanding bisphosphonate,

namun tidak menurunkan risiko fraktur non-vertebra jika dibandingkan bisphosphonate.

i. Abaloparatide

Abaloparatide merupakan 34-amino acid peptide yang secara selektif mengikat

konformasi RG dari reseptor PTH tipe 1 dan menunjukkan efek poten pada aktivitas anabolik

yang menyebabkan resorpsi tulang yang lebih rendah dibanding teriparatide.

Studi fase 2 pada 222 perempuan pasca-menopause dengan osteoporosis selama 24

minggu menunjukkan bahwa abaloparatide 80 mcg/hari dikaitkan dengan peningkatan BMD

secara bermakna pada tulang panggul total, leher tulang paha, dan tulang lumbal

dibandingkan dengan plasebo. Peningkatan BMD pada tulang panggul total 2,6% dengan

abaloparatide 80 mcg/hari yang secara bermakna lebih tinggi dibanding teriparatide(0,5%,

p=0,006).42 Studi ACTIVE (Abaloparatide Comparator Trial in Vertebral Endpoints) fase 3

selama 18 bulan menunjukkan bahwa abaloparatide meningkatkan BMD dan menurunkan

risiko fraktur vertebra dan non-vertebra dibandingkan plasebo. Abaloparatide juga

meningkatkan BMD non-vertebra dan menurunkan risiko fraktur osteoporotik mayor

dibandingkan dengan teriparatide.

j. kalsium dan Vitamin D

Suplementasi kalsium dan vitamin D berperan penting dalam tatalaksana osteoporosis,

tetapi tidak cukup untuk menurunkan risiko fraktur. Rekomendasi asupan vitamin D

berdasarkan manfaat kombinasi kalsium dan vitamin D untuk kesehatan skeletal. Secara

umum, asupan harian yang direkomendasikan pada perempuan osteoporosis pasca-

menopause adalah 1200 mg kalsium (asupan total dari makanan dan suplemen) dan 800 IU

vitamin D.

Panduan Terapi

12
 Pada dengan perempuan pasca-menopause risiko tinggi fraktur: bisphosphonate

(alendronate, risedronate, zoledronic acid, ibandronate) dan denosumab sebagai terapi

awal alternatif.

 Pada perempuan pasca-menopause dengan risiko sangat tinggi fraktur (fraktur

vertebra berat/multipel): teriparatide atau abaloparatide.

 Perempuan pasca-menopause dengan risiko tinggi fraktur, risiko DVT rendah dan

tidak cocok dengan bisphosphonate atau denosumab, atau dengan risiko tinggi kanker

payudara: raloxifene atau bazedoxifene.

 Pada perempuan pasca-menopause dengan risiko tinggi fraktur dengan histerektomi,

usia ≤ 60 tahun, 10 tahun. menopause, risiko DVT rendah, tidak cocok dengan

bisphosphonate atau denosumab, dengan gejala vasomotor/klimaterik, tanpa

Ml/stroke/kanker payudara: estrogen atau tibolone.

 Pada perempuan pasca-menopause dengan risiko tinggi fraktur, tidak bisa

mentoleransi/tidak cocok dengan raloxifene, bisphosphonate, estrogen, tibolone,

denosumab, abaloparatide, atau teriparatide: calcitonin.

 Kalsium 1000-1200 mg/hari dan vitamin D 1000 IU/hari sebagai adjuvan terapi

osteoporosis.

13
DAFTAR PUSTAKA

American College of Rheumatology. Osteoporosis internet 2019 (ciled 2019 May 20)
Avallable from: https://www.rheumatology.org/-Am-A/Patent-Caregiver/
Diseases Conditions/Osteoporosis

Anastasilas AD Polycos SA Efstathiadou ZA, Savvidis M, Sakeltanou GT, Papatheodorou A,


et al. Denosumab in treatment naive and pre-treated with zoledronic acid
postmenopausal women with low bone mass Effect on bone mineral density and
bone turnover markers Metabolism 2015.04(101291-7, dal
10.1016/metabol2015.06.018.

Brown P Prince R DealC Pecker RR, Kiel DP. de Gregoria Les al. Comparison of the effect
of denosumabs and alendronate on BMD and biochemical markers of bone
turnover in postmenopausal women with low bone mass. A randomized, blinded
chase 3 trial. J Bone Miner Res 2009-24011153-61 do 10.1159/bmr080901

Borjesson AE, Farman HH. Moverar-Skrtic S Engdahi C Antal MC, Koskela A et al. SERMs
save substance-specific effects on bone and these effects are mediatedvia ERAF1
in fernale mice Am J Physiol Endocrinol Metab 20163109128 do:
10.1152/apendo 00488.2015
Canwright R. Robinson Seed PT. Fogelman, Rymer 1. Hormone replacement therapy versus
the combined oral contraceptive pill in premature ovarian failure A randomized
controlled trial of the effects on bone mineral density Clin Endocrinol Metab
2016 101 3497-505, do 10:1210/2015-063 34
CrandallC Newberry 5 Dament A Um YW, Gellad W, tooth ML et al Comparative
effectiveness of pharmacologic treatments to prevent fracture An updated
Cummings SK, San Martin McCung MR, Sins ES, Lastell R. Reid R et al. FREEDOM Tital,
Denosumab for prevention of fractures in postmenopausal women with
osteoporosis. N Engl J Med 2009 36 (8):756 65, do 101056/NEJMoa0809493

Eastell H, Rosen C1, Black CM, Cheung AM, Murad H Shoback D. Pharmacological
management of osteoporosis in postmenopausal women. An Endocrine Society
Clinical Practice Guidelne J Clin Endocinol Metats 2019,1041531995-622
LeteckEM Managing osteoporous Challenges and strategies. Cleveland Clinic Journal of
Medicine 2009 758)457-66
Lindsay R. Krege JH, Marin F, Jin L, Stepan Teriparatide fot osteoporosis importance of the
full coune Osteoporos int. 201627:2395-410. doi: 10.1007/300198016-3534-6

Lindsay R. Krege JH, Marin F. In L. Stepan Teriparatide for osteoporosis importance of the
full course. 2016.27.2395-410 do 10.1007/s00196-016-35346

New class drug significantly reduces spine fracture risk in postmenopausal women with
osteoporosis intemer 2017 Iced 2019 May 201 Available from hap
www.sciencedaily.com//releases/2017/06/170614112901.htm
Watts NB. Emerging trends in postmenopausal osteoporosis Internet) 2019 cted 2019 May
201. Available from https//www.actionine.org/system/files/documents/about_acp/
chapters/oh/13 watts.pdf

14
Wasowsk M. Proniewska-sadawska M. Budzińska Bisphosphonates and denosumab-the
efficacy in the fracture prevention. Post N Med. 2017XXX101337-42
Watts NB. Treatment of osteoporosis with bisphosphonates Endocrinology and Metabolism
Clinics of North America 1998,275419-30

Wans Diab DL Long-term use of bisphosphonates in osteoporosis, Clin Endocrinol Metab


20109501555-65.doc 10.1210/2009-1917,
Qaseem A, Forcea MA, McLean RM, Derberg TD, Clinical Guidelines Committee of the
American College of Physicians Treatment of low bone density or osteoporosis to
prevent fractures in men and women: A clinical practice guideline update from
the american college of physicians. Ann Intern Med 2017;166818 39 do
10.7326/MIS-1361

15
16

Anda mungkin juga menyukai