Anda di halaman 1dari 4

Kelompok 1

Dudin Jalaludin D14180004


Ardi Slamet Prasetianto D14180025
Mentari Dwi Prihatingrum D14180038
Benny Ramadhan Kurniawan D14180044
Lis Hartati D14180049
Aditya Gilang Wiratmaja D14180061
Benny Ramadhan Kurniawan D14180044
Fierry Dhio Arya Pramudya D14180062
Riyan Andriadi D14180085
Bayu Anggara D14180109
REVIEW MATERI TANTANGAN LOGISTIK PETERNAKAN
DI INDONESIA

Mk. Logistik Peternakan

Setiap hari berbagai masalah terjadi di industri peternakan Indonesia. Isu-isu


tersebut berakar pada ketahanan pangan berbasis protein nasional, transformasi
sistem peternakan tradisional, ekonomi global, dan tujuan Indonesia sebagai pasar
modal. Dari sisi logistik peternakan, isu ketahanan pangan nasional, swasembada
peternakan dan produksi pangan (sumber peternakan), dan dalam hal ini
kesadaran konsumen dan pengendalian pangan dalam hal keamanan pangan,
meliputi keamanan, transparansi, ketertelusuran dan efisiensi. Selain itu,
pengolahan dan distribusi produk hewani (from farm to table) terkait dengan
Indonesia sebagai negara kepulauan dan efisiensi transportasi produk dan
produksi ternak.
Indonesia masih dihadapkan pada berbagai persoalan logistik ternak.
Sebagai negara kepulauan membuat banyak pulau yang terhubung dengan laut,
sumber daya tidak terdistribusi dengan baik, perbedaan harga, kesenjangan
kesejahteraan, dan kesenjangan sosial. Persoalan lainnya adalah inefisenesi,
menyebabakan biaya 60% lebih tinggi. Minimnya ketersediaan kompetensi dalam
bidang logitik ternak dan tidak adanya standarisasi berskala nasional yang
ditetapkan pada bisnis logistk peternakan.
Sebagai contoh, dalam rantai pasok sapi hidup lokal dari peternak ke pasar
(khususnya Jakarta), bobot, penyakit dan kematian menurun, dan risiko kematian
berkurang 12% karena waktu transportasi yang lama. Untuk sapi breeder, bobot
awalnya 300 kg, turun menjadi 285 kg di level picker, dan turun menjadi sekitar
270 kg pada saat isolasi. Selama pengangkutan antar pulau, bobot sapi berkurang
menjadi sekitar 243 kg, dan ketika sampai di pasar ternak, tempat penetasan atau
rumah potong hewan, bobot setelah restorasi bisa mencapai 250 kg.
Standardisasi logistik harus dilakukan di era revolusi industri 2.0, yaitu
industri melakukan proses produksi massal, perakitan, dan produksi serba listrik.
Selain itu, logistik ternak membutuhkan teknologi canggih yang dapat mendukung
ketertelusuran, efisiensi, dan transparansi. Namun, logistik Indonesia belum
terstandarisasi. Standarisasi rantai dingin saat ini, termasuk kompetisinya.
Alasannya adalah bahwa produk akhir harus diproduksi oleh personel yang
kompeten atau bersertifikat. Misalnya, ketika mengekspor produk ternak ke
negara lain seperti Brunei Darussalam, juleha atau rumah potong hewan halal
harus memiliki sertifikasi yang jelas dan mendapatkan sertifikasi halal.
Dalam rangka mendorong standarisasi logistik peternakan Indonesia, perlu
dilakukan desain logistik peternakan Indonesia yang prima. Rancangan besar ini
merupakan bagian dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 26 Tahun 2012
tentang Rencana Pengembangan Sistem Logistik Nasional. Setidaknya telah
ditetapkan bahwa dalam grand design, tujuannya adalah untuk menjamin
keamanan pangan protein hewani, menjamin distribusi hewan hidup dan
produknya, meminimalkan biaya, serta meningkatkan efisiensi dan kesejahteraan
hewan. Semua ini harus efisien, transparan, mudah diterapkan dan dilacak,
sehingga sertifikasi dan standar nasional diperlukan di setiap tahap.
Sumber daya manusia sangat dibutuhkan dalam membangun standarisasi
dan sertifikasi dalam dunia logistik peternakan. Terdapat 6 asesor yang memiliki
kewenangan untuk bisa menilai calon-calon yang mau dinilai mengenani bidang
logistik peternakan ini Penelitian sangat diperlukan untuk mendukung ilmu
pengetahuan, metode, inovasi, dan bisnis dalam bidang logistik ternak. Jejaring
antar disiplin ilmu sangat penting untuk meningkatkan logistik ternak di
Indonesia. Selain itu, logistik ternak akan efektif & efisien jika digunakan
teknologi (digital) canggih. Juga logistik ternak di Indonesia membutuhkan desain
besar untuk memberikan kepastian bisnis dan investasi Singkatnya, logistik
peternakan merupakan bidang baru yang sangat perlu dikembangkan untuk
meningkatkan efisiensi, ketertelusuran dan transparansi kesejahteraan hewan dan
keamanan pangan. Perlu dibangun sumber daya manusia di bidang peternakan dan
logistik melalui pendidikan dan pelatihan yang sistematis.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat stress sapi pada masa
transportasi. Salah satu faktor tersebut adalah temperatur dan kelembaban udara
pada alat transportasi. Suhu maksimum di dalam alat transportasi adalah 27
dengan kelembaban 80%. Jika melebihi itu, maka ternak akan mengalami stress
dalam perjalanan. Stres pada ternak ditandai dengan adanya peningkatan suhu
tubuh. Suhu dan kelembaban yang tinggi disebabkan oleh terhambatnya sirkulasi
aliran udara. Cekaman panas dan kelembaban yang tinggi yang dialami oleh sapi
Bali bibit pada penelitian ini selama dan setelah transportasi sangat berpengaruh
terhadap temperatur tubuh, frekuensi nafas, konsumsi pakan, pelepasan energi
serta keseimbangan tingkah laku, perubahan kadar glukosa darah, penurunan
bobot badan.
Peningkatan frekuensi denyut nadi disebabkan oleh stress ringan akibat dari
transportasi seperti penanganan yang kurang baik oleh petugas penanganan hewan
(animal handlers) seperti kurangnya pemberian pakan dan minum, perlakuan
kasar terhadap sapi yang menyebabkan ternak merasa sakit, dan terkejut selama
bongkar muat serta adanya perubahan temperatur lingkungan dari sebelum,
selama dan setelah transportasi. Peningkatan denyut nadi berhubungan dengan
peningkatan frekuensi nafas yang menyebabkan meningkatnya aktivitas otot-otot
pernafasan sehingga mempercepat pendistribusian panas ke tepi kulit untuk
dilepaskan ke lingkungan agar keseimbangan tubuh tetap terjaga. Peningkatan
frekuensi napas menyebabkan rendahnya kadar hemoglobin akibat kekurangan
oksigen.
Penurunan kadar Hb dapat disebabkan oleh kekurangan pakan pada saat
trnasportsi. Selain itu, penurunan kadar Hb juga disebbakan oleh sapi yang
mengalami dehidrasi yang disebabkan tingginya temperatur lingkungan sebelum,
selama dan setelah transportasi, disamping pemberian air minumnya yang
terbatas. Penurunan kadar hemoglobin menyebabkan kadar hematokrit dalam
darah juga mengalami penurunan. Sapi dengan jumlah hematokrit rendah
menunjukkan bahwa kondisi sapi atau status gizi sapi mengalami penurunan yang
diakibatkan oleh kurangnya asupan pakan dan air minum pada saat transportasi.
Indikator selanjutnya untuk menentukan sapi mengalami stress adalah kadar
glukosa darah. Kadar glukosa darah pada proses transportasi mengalami
peningkatan yang disebabkan karena sapi kekurangan pakan selama transportasi
dan mengalami stres sebagai akibat dari meningkatnya suhu lingkungan di dalam
alat trnasportasi. Penyusutan bobot badan dapat terjadi pada proses trnasportasi.
Tingginya penyusutan bobot badan disebabkan oleh perubahan temperatur dan
kelembaban udara, adanya gangguan fisik selama kegiatan transportasi seperti
penanganan ternak yang kasar (seperti memelintir ekor, mencambuk badan ternak
pada saat mengelompokkan ternak) dan gangguan phsikis yang dapat
mengganggu proses fisiologis dan homeostatis sapi. Penyusutan bobot badan juga
dapat disebabkan olehh kepadatan ternak selama proses transportasi (Anton et
al.2016).
Costa (2008) menyatakan Transportasi ternak dapat menimbulkan stres. Hal
ini terjadi karena: penanganan kasar selama bongkar muat, kondisi jalan yang
jelek, kepadatan muatan, ventilasi tidak memadai, suhu dan kelembapan ekstrem,
serta kecepatan angin. Ternak yang menderita stres berdampak terhadap susutnya
bobot badan. Faktor yang memengaruhi penyusutan bobot badan ternak selama
pengangkutan. Pertama kondisi musim, pada musim kemarau akan berbeda
dengan pada musim hujan. Kedua prosedur penanganan, apabila sapi ditangani
dengan tenang akan menyebabkan penyusutan bobot badan lebih rendah.
Shorthose dan Wythes (1988) menyatakan Selama pengangkutan, ternak
mengalami urinasi dan defekasi lebih sering terutama pada awal perjalanan
sehingga mengalami penurunan bobot badan. Stres saat pengangkutan juga
menyebabkan susutnya bobot badan akibat peningkatan frekuensi defekasi
(Oudshoorn et al. 2008).

DAFTAR PUSTAKA
Anton A, Kasip LM, Wirapribadi L, Depamede SN, Asih ARS. 2016. Perubahan
Status Fisiologis dan Bobot Badan Sapi Bali Bibit yang Diantarpulaukan
dari Pulau Lombok ke Kalimantan Barat. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Peternakan Indonesia. 2(1):86-95.
Costa JN. 2008. Short-term stress : The case of transport and slaughter. Journal of
Animal Science. 8 : 241-252.
Oudshoorn F, Kristensen T dan Nadimi E. 2008. Dairy cow defecation and
urination frequency and spatial distribution in relation to time limited
grazing. Journal Livestock Science. 113(1) : 62-73.
Shorthose WR, dan Wythes WR, 1988. Transport of sheep and cattle. Proceeding
of 34 th International Congress of Meat Science and Technology. Brisbane.
P. 122-129.

Anda mungkin juga menyukai