Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

FISIOLOGI DAN TEKNOLOGI PASCAPANEN

KOMODITAS IKAN SEGAR

Disusun oleh :

Dimas Arifin A1C019067


Primadi Surya Ramadhani A1C020060
Firdaus Agung Dewata A1C020061
Fathya Dwinta Maharani A1C020072
Nurista Riski Ramadani A1F020069
Septhalia Friska Esmanda A1F020073

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN


TEKNOLOGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2021
KATA PEGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Komoditas Ikan Segar” ini dengan baik. Makalah ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Fisiologi dan Teknologi
Pascapanen.

Dalam penulisan makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Mustaufik, S.P., M.P., dan Ibu Dian Novitasari, S.TP, M.Si selaku
dosen pengampu mata kuliah Fisiologi dan Teknologi Pascapanen.
2. Rekan-rekan yang mengikuti mata perkuliahan Fisiologi dan Teknologi
Pascapanen.
3. Semua pihak yang ikut membantu dalam proses penyusunan makalah
yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.

Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa makalah ini tidak
sepenuhnya sempurna baik pada teknis penulisan maupun materi,
mengingat akan kemampuan yang dimiliki kami masih terbatas. Kami
berharap makalah ini dapat berguna bagi para pembacanya sekarang atau
masa depan dan menjadi pengalaman yang berharga bagi kami dalam proses
pembuatannya. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………1
DAFTAR ISI………………………………………......................................2

BAB I. PENDAHULUAN…………………...…………………………....3

A. Latar Belakang…………………………………………………...3

B. Rumusan Masalah……………………………………………..…4

C. Tujuan Penulisan…………………………………………...…….4

BAB II. PEMBAHASAN……………………………………………..…..5

A. Aspek Fisiologi Pada Ikan …...…………………………………5


B. Teknologi Penanganan Pascapanen Pada Ikan..………………..10
C. Standar Mutu SNI Daging Ikan Segar………………………….11
D. Tahapan Kemunuduran Mutu Ikan…………………………….12

BAB III. PENUTUP………..…………..………………………….…..…16

A. Kesimpulan…....…………...……………………….………….16

B. Saran…………………………………………………….…..…16

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..17

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ikan merupakan salah satu hasil perairan dengan kapasitas terbesar di
Indonesia. Besarnya luas perairan di Indonesia menjadi salah satu hal yang
paling menunjang ketersediaan ikan sebagai salah satu bahan makanan di
negara ini. Selain itu, budaya masyarakat Indonesia yang telah menjadikan
ikan sebagai sumber protein utama juga mendorong tingginya permintaan
masyarakat terhadap ikan tersebut. Tingkat kesegaran ikan merupakan salah
satu hal penting yang harus diperhatikan dalam mengkonsumsi ikan tersebut
(Hiola, 2018).
Ikan merupakan produk yang high perishable (mudah rusak). Ikan
secara alami mengandung komponen gizi seperti lemak, protein, karbohidrat
dan air yang sangat disukai oleh mikroba perusak sehingga ikan sangat
mudah mengalami kerusakan. Kemunduran mutu ikan cepat terjadi sehingga
memerlukan penanganan khusus. Tingkat kemunduran ikan ditentukan sejak
penangkapan, pengolahan sampai penyajian. Proses kemunduran mutu ikan
berlangsung cepat di daerah iklim tropis dengan suhu dan kelembaban
tinggi ditambah dengan proses penangkapan yang tidak baik sehingga
menyebabkan ikan mengalami kemunduran mutu. Penanganan yang baik
perlu dilakukan dengan tujuan untuk mengusahakan agar kesegaran ikan
dapat dipertahankan atau kebusukan ikan dapat ditunda (Naiu et al., 2018).
Saat ini, berbagai macam hal telah dilakukan untuk mempertahankan
kualitas dan kesegaran ikan. Langkah-langkah tersebut tidak hanya
dilakukan pada saat ikan baru ditangkap, tetapi dilakukan hingga ikan
tersebut dipasarkan. Teknologi pasca panen yang tepat pada produk ikan
dapat menjadikan ikan tersebut memiliki masa simpan yang lebih panjang,
hingga daya jual di pasaran juga dapat ditingkatkan. Berdasarkan penjelasan
tersebut, makalah ini akan membahas fisiologi ikan, penanganan pasca
panen ikan, kemunduran mutu ikan, dan standar mutu ikan segar.

3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, terdapat
beberapa permasalahan yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana aspek fisiologi pada ikan segar?
2. Bagaimana teknologi penanganan pascapanen pada ikan segar?
3. Bagaimana standar mutu pada ikan segar?

C. Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui aspek fisiologi pada ikan segar.
2. Mengetahui teknologi penanganan pascapanen pada ikan segar.
3. Mengetahui standar mutu ikan segar.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Aspek Fisiologi Pada Ikan


Ikan air tawar berbeda secara fisiologis dengan ikan laut dalam
beberapa aspek. Insang mereka harus mampu mendifusikan air sembari
menjaga kadar garam dalam cairan tubuh secara simultan. Adaptasi pada
bagian sisik ikan juga memainkan peran penting; ikan air tawar yang
kehilangan banyak sisik akan mendapatkan kelebihan air yang berdifusi ke
dalam kulit, dan dapat menyebabkan kematian pada ikan (Borgstrøm,
Reidar & Hansen, Lars Petter, 2008).
Ikan adalah anggota vertebrata poikilotermik (berdarah dingin) yang
hidup di air dan bernapas dengan insang. Ikan merupakan kelompok
vertebrata yang paling beraneka ragam dengan jumlah spesies lebih dari
27,000 di seluruh dunia. Secara taksonomi, ikan tergolong kelompok
paraphyletic yang hubungan kekerabatannya masih diperdebatkan; biasanya
ikan dibagi menjadi ikan tanpa rahang (kelas Agnatha, 75 spesies termasuk
lamprey dan ikan hag), ikan bertulang rawan (kelas Chondrichthyes, 800
spesies termasuk hiu dan pari), dan sisanya tergolong ikan bertulang keras
(kelas Osteichthyes). Ikan dalam berbagai bahasa daerah disebut iwak, jukut
(Saanin, 1984).
Fisiologi ikan mencakup proses osmoregulasi, sistem sirkulasi, sistem
respirasi, bioenergetik dan metabolisme, pencernaan, organ-organ sensor,
sistem saraf, sistem endokrin dan reproduksi (Fujaya,1999).
a. Osmoregulasi
Osmoregulasi adalah proses pengaturan konsentrasi cairan dengan
menyeimbangkan pemasukkan serta pengeluaran cairan tubuh oleh
sel atau organisme hidup, atau pengaturan tekanan osmotik cairan
tubuh yang layak bagi kehidupan sehingga proses-proses fisiologis
dalam tubuh berjalan normal. Osmoregulasi sangat penting pada
hewan air karena tubuh ikan bersifat permeabel terhadap
lingkungan maupun larutan garam. Sifat fisik lingkungan yang

5
berbeda menyebabkan terjadinya perbedaan proses osmoregulasi
antara ikan air tawar dengan ikan air laut.

b. Sistem sirkulasi
Ikan memiliki pola sirkulasi tunggal, dimana darah melewati
jantung hanya sekali selama setiap rangkaian lengkap. Darah yang
kekurangan oksigen dari jaringan tubuh datang ke jantung, dimana
ia dipompa ke insang. Pertukaran gas terjadi dalam insang, dan
darah beroksigen dari insang yang beredar ke seluruh tubuh. Di sisi
lain, pada mamalia, darah terdeoksigenasi memasuki jantung,
dimana ia dipompa ke paru-paru untuk oksigenasi. Darah
beroksigen dikembalikan ke jantung dari paru-paru, yang akan
diangkut ke seluruh tubuh.

c. Sistem respirasi
Ikan bernapas menggunakan insang dari mulutnya. Itulah alasan
kenapa ikan selalu membuka dan menutup mulutnya yang bertujan
untuk proses inspirasi (udara masuk dalam tubuh) dan ekspirasi
(udara keluar dalam tubuh). Oksigen yang dibawa bersama air
kemudian dialirkan menuju insang. Saat melakukan pernapasan,
tutup insang juga membuka dan menutup. Pada saat fase inspirasi
mulut membuka yang membawa air masuk ke dalam mulut, tutup
insang akan menutup. Oksigen akan diserap oleh kapiler-kapiler
darah pada lembaran-lembaran tipis insang. Kemudian kapiler-
kapiler darah tersebut mengangkut oksigen yang dibawa menuju
jaringan-jaringan yang membutuhkan. Sebaliknya pada fase
ekspirasi karbon dioksida yang dibawa darah dari jaringan akan
bermuara pada insang dan keluar tubuh.

d. Bioenergetik dan metabolism


Makanan yang dikonsumsi oleh ikan atau Intake of Energy (IE)
akan mengalami proses pencernaan, penyerapan, pengankutan dan

6
metabolism. Sehubungan dengan kekomplekan zat makanan dan
keterbatasan kemampuan mencerna maka tidak semua makanan
yang dikonsumsi dapat diserap oleh tubuh ikan. Bagian makanan
yang tidak dapat dicerna dan diserap oleh tubuh akan dibuang
sebagai feses atau fecal energy (FE), sedangkan zat makanan yang
terserap atau Digestible Energy (DE) setelah diangkut menuju
organ target sebagian akan mengalami proses metabolisme atau
Metabolizable Energy (ME) yang terdiri dari proses katabolisme
dan anabolisme.

e. Pencernaan
Sistem pencernaan ikan dimulai dari mulut, rongga mulut, faring,
esophagus, lambung, pylorus, usus, rectum, dan anus. Struktur
anatomi mulut ikan erat kaitannya dengan cara mendapatkan
makanan. Terdapat sungut di sekitar mulut ikan yang berperan
sebagai alat peraba atau pendeteksi makanan. Rongga mulut pada
ikan diselaputi sel-sel penghasil lendir yang mempermudah
jalannya makanan ke segmen berikutnya, juga terdapat organ
pengecap yang berfungsi menyeleksi makanan. Faring pada ikan
(filter feeder) berfungsi untuk menyaring makanan, karena insang
mengarah pada faring maka material bukan makanan akan dibuang
melalui celah insang (Fujaya, 2002).

f. Organ-organ sensor
Sistem sensori pada ikan terdiri dari organ mata, organ penghirup,
organ pengecap dan organ akustiko lateralis. Pada sebagian besar
ikan, mata letaknya lateral satu buah pada masing-masing
sisi. Namun pada beberapa jenis ikan dasar, termasuk pari
(Rajidae), sculpin (Cottidae) dan goosefin (Lophiidae) mata
terletak dibagian dorsal. Pada Ordo Pleuronectiformes kedua mata
terletak pada salah satu sisi kepala. Pada ikan yang hidup di gua-
gua, misalnya Amblyopsidae, mata sangat tereduksi. Ada juga ikan

7
yang buta, misalnya Benthobatis. Disamping itu terdapat pula
ikan-ikan yang dapat melihat di udara sebaik di dalam air misalnya
Periophthalmus.

g. Sistem saraf
Sistem saraf pada ikan adalah otak. Ikan biasanya memiliki cukup
kecil otak relatif terhadap ukuran tubuh dibandingkan dengan
vertebrata lainnya. Otak Ikan dibagi menjadi beberapa daerah. Di
depan adalah lobus penciuman , sepasang struktur yang menerima
dan memproses sinyal dari lubang hidung melalui dua saraf
penciuman Lobus penciuman yang sangat besar dalam ikan yang
berburu terutama oleh bau, seperti. hagfish, hiu, dan lele. Di balik
cuping pencium adalah dua-lobed telencephalon , setara struktural
ke otak dalam vertebrata yang lebih tinggi. Dalam ikan
telencephalon yang bersangkutan kebanyakan dengan penciuman.

h. Kelenjar endoktrin dan reproduksi


Kelenjar endokrin ikan mencakup suatu sistim yang mirip dengan
vertebrae yang lebih tinggi tingkatannya. Namun, ikan memiliki
beberapa jaringan endokrin yang tidak didapatkan pada vertebrata
yang lebih tinggi, misalnya Badan Stanius yang memiliki fungsi
sebagai kelenjar endokrin yang membantu dalam proses
osmoregulasi. Ikan melakukan reproduksi secara eksternal. Dalam
melakukannya ikan jantan dan ikan betina akan saling mendekat,
lalu ikan betina akan mengeluarkan telur. Kemudian, ikan jantan
akan mengeluarkan spermanya, sperma dan telur akan bercampur
di dalam air (yang disebut dengan oviparus).

8
Stickney (1979) menyatakan salah satu penyesuaian ikan terhadap
lingkungan ialah pengaturan keseimbangan air dan garam dalam jaringan
tubuhnya, karena sebagian hewan vertebrata air mengandung garam dengan
konsentrasi yang berbeda dari media lingkungannya. Ikan harus mengatur
tekanan osmotiknya untuk memelihara keseimbangan cairan tubuhnya
setiap waktu.
Insang tidak saja berfungsi sebagai alat pernapasan tetapi dapat pula
berfungsi sebagai alat ekskresi garam-garam, penyaring makanan, alat
pertukaran ion, dan osmoregulator. Beberapa jenis ikan mempunyai labirin
yang merupakan perluasan ke atas dari insang dan membentuk lipatan-
lipatan sehingga merupakan rongga-rongga tidak teratur. Labirin ini
berfungsi menyimpan cadangan O2 sehingga ikan tahan pada kondisi yang
kekurangan O2. Contoh ikan yang mempunyai labirin adalah: ikan gabus
dan ikan lele. Untuk menyimpan cadangan O2, selain dengan labirin, ikan
mempunyai gelembung renang yang terletak di dekat punggung
(Fujaya,1999).
Mekanisme pernapasan pada ikan melalui 2 tahap, yakni inspirasi dan
ekspirasi. Pada fase inspirasi, O2 dari air masuk ke dalam insang kemudian
O2 diikat oleh kapiler darah untuk dibawa ke jaringan-jaringan yang
membutuhkan. Sebaliknya pada fase ekspirasi, CO2 yang dibawa oleh darah
dari jaringan akan bermuara ke insang dan dari insang diekskresikan keluar
tubuh (Djoko Suseno, 2000).

9
B. Teknologi Penanganan Pasca Panen pada Ikan

Ikan merupakan komoditas yang mudah dan cepat membusuk,


sehingga ikan memerlukan penanganan yang cepat dan cermat, dalam upaya
mempertahankan mutunya sejak ikan di angkat dari air. Semenjak ikan
mengalami kematian, maka akan terjadi serangkaian proses perubahan yang
semuanya mengarah pada penurunan kesegaran dan akhirnya pembusukan.
Penurunan kesegaran berkaitan dengan energi (glikogen) yang dikandung
oleh ikan. Kesegaran ikan tidak bisa ditingkatkan tetapi proses perubahanya
dapat dihambat sehingga kesegaran ikan dapat dipertahankan lebih lama.
Ikan akan membusuk 12-20 jam setelah ditangkap atau dipanen, tergantung
jenis dan kondisi ikan, cara penangkapan, cara penanganan dan kondisi
lingkungan. Ikan dengan kandungan glikogen yang tinggi mampu
mempertahankan kesegarannya lebih lama.
Pendinginan merupakan perlakuan yang paling umum dalam
mempertahankan mutu hasil perikanan terutama dalam tahap penanganan.
Dalam penanganan ikan segar diupayakan suhu rendah mendekati 0°C.
Penanganan ikan harus dilakukan secepat mungkin untuk menghindari
kemunduran mutu ikan sehingga dibutuhkan bahan dan media yang sangat
cepat dalam menurunkan suhu ikan pada pusat termal ikan. Tingkat
kesegaran ikan akan semakin cepat menurun atau ikan akan mudah menjadi
busuk pada suhu tinggi dan sebaliknya pembusukan dapat dihambat dengan
suhu rendah (Suparno, et al., 1993) dalam (Nuryanti, et al., 2020).
Pengembangan beberapa cara penanganan dan pengawetan diperlukan
untuk memperlambat terjadinya penurunan kesegaran ikan. Proses
penurunan kesegaran yang berakhir pada pembusukan terjadi karena adanya
aktivitas bakteri pembusuk, proses autolysis, proses oksidasi dan reaksi
kimiawi enzimatis yang menyebabkan perubahan cita rasa, warna,
penyerapan bau dari luar, kontaminasi senyawa yang tidak diinginkan
(Nugraheni, 2017).
Upaya untuk menghambat aktivitas penyebab pembusukan dapat
dilakukan dengan cara:
1. Penanganan yang baik dan cepat

10
2. Merusak enzim dan bakteri pembusuk dengan menggunakan suhu
tinggi dan iradiasi ion, dan pengemasan secara efektif
3. Menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk di dalam bahan pangan
dengan pendinginan, penambahan bahan pengawet kimia, antibiotika,
pengasaman, dan penyimpanan dalam atmosfir terkendali
4. Menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dengan mengurangi
kadar air dan menurunkan aktivitas air dengan pengeringan,
pembekuan, pemberian garam dan gula.

C. Standar Mutu SNI Daging Ikan Segar

Dalam rangka memberikan jaminan mutu dan keamanan pangan


komoditas ikan segar yang akan dipasarkan di dalam dan luar negeri, maka
perlu disusun suatu Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagai upaya untuk
meningkatkan jaminan mutu dan keamanan pangan. Kualitas mutu ikan
segar sesuai SNI ini sendiri bisa dinilai dari beberapa hal, diantaranya dari
kenampakan, daging, bau, dan tekstur. Dan berikut ini standar-standar mutu
tersebut berdasarkan mutu ikan segar sesuai SNI 2729:2013:
Spesifikasi Nilai
1. Kenampakan
a. Mata
- Bola mata cembung, kornea dan pupil jernih, 9
mengkilap spesifik jenis ikan
- Bola mata rata, kornea dan pupil jernih, agak 8
mengkilap spesifik jenis ikan
- Bola mata cekung, kornea keruh, pupil keabu-abuan, 3
tidak mengkilap
- Bola mata sangat cekung, kornea sangat keruh, pupil 1
abu-abu, tidak mengkilap
b. Insang
- Warna insang merah tua atau coklat kemerahan, 9
cemerlang dengan sedikit sekali lendir transparan
- Warna insang merah tua atau coklat kemerahan, 8
kurang cemerlang dengan sedikit lendir transparan
- Warna insang abu-abu atau coklat keabuabuan dengan 3
lendir putih susu bergumpal
- Warna insang abu-abu, atau coklat keabuabuan 1
dengan lendir coklat bergumpal
c. Lendir Permukaan Badan
- Lapisan lendir jernih, transparan, mengkilap cerah 9

11
- Lapisan lendir jernih, transparan, cukup cerah 8
- Lendir tebal sedikit menggumpal, berubah warna 3
- Lendir tebal menggumpal, berubah warna 1

Spesifikasi Nilai
2. Daging
- Sayatan daging sangat cemerlang, spesifik jenis, 9
jaringan daging sangat kuat
- Sayatan daging cemerlang spesifik jenis, jaringan 8
daging kuat
- Sayatan daging kusam, jaringan daging kurang kuat 3
- Sayatan daging sangat kusam, jaringan daging rusak 1

Spesifikasi Nilai
3. Bau
- Sangat segar, spesifik jenis kuat 9
- Segar, spesifik jenis 8
- Bau asam kuat 3
- Bau busuk kuat 1

Spesifikasi Nilai
4. Tekstur
- Padat, kompak, sangat elastis 9
- Padat, kompak, elastis 8
- Lunak bekas jari terlihat dan sangat lambat hilang 3
- Sangat lunak, bekas jari tidak hilang 1

D. Tahapan Kemunduruan Mutu Ikan


Perubahan setelah ikan mati pada jaringan otot ikan dapat dianggap
sebagai rangkaian tahap biokimia dari tingkat keteraturan yang paling
tinggi hingga tingkat kerusakan yang terendah setelah penyimpanan
beberapa hari. Tahap-tahap ini didefinisikan sebagai perimortem, pre rigor
mortis, rigor mortis, dan post rigor mortis yang dihubungkan dengan
perubahan-perubahan biokimia seperti ischemia, penurunan jumlah ATP,
peningkatan konsentrasi ion Ca2+, penurunan pH, dan aktivasi lisosom
(Martinez, 2001).
1) Pre rigor
Kondisi pre-rigor terjadi segera setelah ikan mati, dimana otot ikan
menjadi lemas terkulai. Tahap pre rigor ditandai dengan peristiwa lepasnya

12
lendir dari kelenjar bawah kulit ikan. Jumlah lender yang terlepas relative
banyak dan akan membentuk lapisan bening tebal di sekeliling tubuh ikan
(Hadiwiyoto, 1993). Keadaan tersebut pada saat jaringan otot lembut dan
lentur, ditandai dengan menurunnya ATP dan creatin phosphate. Pada
tahap ini terjadi perubahan dari glikogen menjadi asam laktat, dan pH
turun. Nilai pH yang dicapai tergantung spesies ikan, namun biasanya
berkisar 6.4 – 6.8. Nilai pH yang dicapai ikan relative lebih tinggi
dibandingkan produk perikanan. Hal inilah yang dapat menjelaskan
mengapa produk perikanan lebih cepat mengalami proses pembusukan
dibandingkan produk ternak.
Ikan yang berada pada tahap pre rigor masih dapat dianggap sebagai
ikan segar karena mempunyai sifat seperti ikan yang masih hidup. Pada
tahap ini, daging ikan mempunyai karakteristik kering, tidak ada cairan,
dan pH mendekati netral. Apabila ditekan dengan jari, permukaan daging
ikan akan kembali ke bentuk semula (elastis) tanpa mengeluarkan zat alir
(drip) dari jaringannya. Menurut SNI (1992), karakteristik ikan segar
secara organoleptik memeiliki rupa dan warna yang bersih dan warna
daging spsifik jenis ikan segar, mempunyai bau rumput laut segar dan
spesifik berdasarkan jenisnya, daging elastis, padat dan kompak, serta
memiliki rasa yang netral agak manis.
(Amlacher, 1961) menyatakan bahwa tahap pre rigor berlangsung
relative singkat, yaitu selama 1 – 7 jam setelah ikan mati tergantung pada
spesies dan kondisi ikan, serta suhu lingkungan. Ikan dengan kandungan
protein yang tinggi relative cepat melewati tahap pre rigor. Demikian pula
dengan ikan yang mengandung lemak tinggi. Kandungan air yang tinggi
pada kerang-kerangan menyebabkan tahap pre rigor berlangsung lebih
cepat karena mikroba yang hidup pada ikan dapat tumbuh lebih baik
sehingga aktifitas perubahan enzimatis juga berlangsung lebih cepat. Ikan
yang proses penangkapannya menggunakan alat tangkap aktif banyak
menggunakan energi, sehingga cadangan energinya menurun. Kondisi
lingkungan Indonesia yang memiliki suhu dan kelembaban relative tinggi
dianggap kurang menguntungkan untuk penanganan ikan sebagai bahan

13
pangan. Dengan suhu dan kelembaban demikian reaksi-reaksi biokimia
berlangsung cepat dan pertumbuhan mikroba juga meningkat.

2) Rigor mortis
Tahap rigor mortis ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan setelah
melalui masa pre rigor. Lamanya tingkat rigor dipengaruhi oleh kandungan
glikogen dalam tubuh ikan dan suhu lingkungan. Masa rigor dapat
berlangsung beberapa jam hingga beberapa hari. Kandungan glikogen yang
tinggi akan menunda rigor mortis, sehingga kualitas daging dipertahankan
dalam keadaan baik. Penurunan ATP berkorelasi lurus dengan laju rigor
mortis. ATP terus terdegradasi dan tingkat rigor menjadi sempurna saat
konsentrasi ATP 1μmol/g. Pada tahap ini, otot tidak mau berkontraksi lagi
biarpun dirangsang, dan tidak mampu lagi mempertahankan
kekenyalannya, sehingga otot menjadi kejang.
Proses pengejangan pada ikan biasanya dimulai dari ekor dan
menyebar kea rah kepala. Ekor merupakan bagian paling aktif bergerak
sehingga pada saat mati sel-sel di bagian ini diduga paling rendah
kandungan ATPnya, sehingga tahap pre rigor lebih singkat dibandingkan
bagian tubuh lainnya. Sama seperti pada tahap pre rigor, waktu yang
diperlukan untuk berada dalam keadaan rigor juga tergantung dari beberapa
factor, yaitu spesies ikan, kondisi ikan, dan temperatur lingkungan. Lama
dan intensitas rigor berkisar antara 30 hingga 120 jam tergantung dari
spesies, temperature dan kondisi ikan. Menurut (Jay, 1986) lamanya tahap
rigor dipengaruhi oleh struggling ikan, kandungan oksigen, dan
temperature lingkungan. Struggle ikan yang ditangkap dengan alat tangkap
aktif lebih besar apabila dibandingkan dengan struggle ikan yang
tertangkap dengan alat tangkap pasif.
Proses rigor mortis berpengaruh terhadap penanganan dan
pengolahan ikan. Otot yang cenderung berkontraksi akan menghasilkan
kekejangan jaringan. Bila pemotongan dilakukan sebelum atau selama
tahap rigor, otot akan tetap berkontraksi sehingga menghasilkan tekstur
bergelombang seperti karet (Wheaton and Lawson, 1985). (Theresia, 1990)

14
menyatakan bahwa pada akhir tahap rigor mortis, nilai pH daging ikan
secara berangsur-angsur akan meningkat sehingga kondisi yang semula
asam berubah menjadi sedikit basa karena terbentuknya senyawa volatile
yang bersifat basa, seperti amoniak, trimetil amin, indol, dan lain-lain.

3) Post rigor
Kondisi post rigor ditandai dengan melunaknya tekstur daging ikan
setelah masa kejang. Tekstur daging yang melunak merupakan awal dari
proses pembusukan, yang meliputi otolisis, dan selanjutnya pembusukan
oleh miroorganisme. Proses otolisis adalah proses terjadinya penguraian
daging ikan oleh enzim-enzim yang terdapat dalam tubuh ikan itu tanpa
adanya pengontrolan oleh otak sehingga merusak organ tubuh lainnya.
Proses otolisis ini akan diikuti dengan meningkatnya jumlah bakteri, karena
semua hasil penguraian enzim selama otolisis merupakan media yang
sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri dan mikroorganisme lain.
Perubahan-perubahan yang dialami ikan pada tahap pre rigor dan
rigor mortis belum memberikan perubahan nyata. Oleh karena itu, hingga
akhir tahap rigor ikan masih dapat digolongkan sebagai ikan segar.
Memasuki tahap post rigor, mulai terjadi proses pembusukan. Pada tahap
post rigor mulai terbentuk warna, rasa, bau, dan tekstur yang tidak
diharapkan dan sering digunakan sebagai indicator tingkat kesegaran hasil
perikanan. Proses perubahan pada tahap ini berlangsung cepat terutama
pada ikan kecil berlemak tinggi dan ikan yang lambungnya penuh makanan
saat ditangkap. Penyebab proses perombakan pada tahap post rigor ini
karena adanya aktivitas enzim, mikroba pembusuk, dan oksigen.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ikan air tawar berbeda secara fisiologis dengan ikan laut dalam
beberapa aspek. Fisiologi ikan mencakup proses osmoregulasi, sistem
sirkulasi, sistem respirasi, bioenergetik dan metabolisme, pencernaan,
organ-organ sensor, sistem saraf, sistem endokrin dan reproduksi.

Ikan merupakan produk yang high perishable (mudah rusak). Ikan


secara alami mengandung komponen gizi seperti lemak, protein,
karbohidrat dan air yang sangat disukai oleh mikroba perusak sehingga
ikan sangat mudah mengalami kerusakan. Kemunduran mutu ikan cepat
terjadi sehingga memerlukan penanganan khusus dalam upaya
mempertahankan mutunya sejak ikan di angkat dari air. Setelah ikan
mengalami kematian akan terjadi serangkaian proses perubahan yang
semuanya mengarah pada penurunan kesegaran dan akhirnya pembusukan.
Perubahan setelah ikan mati pada jaringan otot ikan dapat dianggap
sebagai rangkaian tahap biokimia dari tingkat keteraturan yang paling
tinggi hingga tingkat kerusakan yang terendah setelah penyimpanan
beberapa hari. Tahapan kemunduran mutu ikan dibagi menjadi perimortem,
pre rigor mortis, rigor mortis, dan post rigor mortis yang dihubungkan
dengan perubahan-perubahan biokimia seperti ischemia, penurunan jumlah
ATP, peningkatan konsentrasi ion Ca2+, penurunan pH, dan aktivasi
lisosom.
Kualitas mutu ikan segar sesuai SNI ini sendiri bisa dinilai dari
beberapa hal, diantaranya dari kenampakan, daging, bau, dan tekstur.

B. Saran
Kami berharap makalah ini dapat berguna bagi para pembacanya
untuk menaikkan pengetahuan mengenai fisiologi dan teknologi pascapanen
pada ikan segar. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Amlacher. (1961). Rigor Mortis in Fish. In Fish as Food (Vol I):


Production, Biochemistry, and Microbiology. (G. Borgstrom, Ed.)
San Diego, California: Academic Press.

Anonym.(2021). Pengertian Alat dan Sistem Pernapasan Ikan. Diakses


pada 28 November 2021, dari https://kumparan.com/berita-
update/pengertian-alat-dan-sistem-pernapasan-ikan-
1wGA84ghSPt/1/gallery/2

Badan Standardisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia. Mutu Ikan


Segar.
https://jp2gi.org/public/docs/report/Standar%20Nasional%20Indonesi
a%20Ikan%20Segar-5ef96833e811d.pdf

Hadiwiyoto. (1993). Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jogjakarta:


Penerbit Liberty

Hiola, S. K. Y. 2018. Proses Penanganan Ikan Segar padaSwalayan di Kota


Makassar. OCTOPUS: Jurnal Ilmu Perikanan, 7(1), 724–731.

Jay. (1986). Modern Food Microbiology. New York: Van Nostrand


Reinhold. Theresia, S. S. (1990). Perubahan post mortem ikan kerapu
(Epinephelus sp) yang disimpan pada suhu es. Jurnal Penelitian
Pasca Panen Perikanan, 19.

Martinez, Olaia., Jesus Salmeron, Maria D. Guillen, Carmen Casas. 2010.


Effect of freezing on the phsicochemical, texture and sensorial
characteristic of salmon (Salmo salar) smoked with liquid smoke
flavouring. LWT – Food Science and Technology 43 (2010) 910 –
918.

Naiu, A. S., Koniyo, Y., Nursinar, S., & Kasim, F. 2018. Penanganan &
Pengolahan Hasil Perikanan. Universitas Negeri Gorontalo.

NP, Achmad.(2015). Metabolisme Basal Pada Ikan (Basal Metabolism In


Fish). Jurnal Perikanan dan Kelautan, (5)2,57-59

17
Nugraheni, Mutiara. (2017). Penanganan Pasca Panen Dan Diversifikasi
Olahan Perikanan Laut. Diakses pada 29 November 2021, dari
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132300107/pengabdian/Pengolahan%
20Perikanan%20Laut.pdf

Nuryanti, I. F., Utami, A. U., & Rachmawati, N. F.(2020). Penanganan


Pasca Panen Ikan Di Ud. Karunia Dan Ud. Berkat Food. Jurnal Ilmu
Perikanan dan Kelautan, (1)2, 22-31.

P,wahyu.(2012). Aktivitas Osmoregulasi, Respons Pertumbuhan, Dan


Energetic Cost Pada Ikan Yang Dipelihara Dalam Lingkungan
Bersalinitas.Media Akuakultur,(7)1,45-46.

Sahabatmu.(2012). Sistem Sensori Pada Ikan (Materi Ichtyologi Dan Fha).


Diakses pada 28 November 2021, dari .
http://putraderita.blogspot.com/2012/03/sistem-sensori-pada-ikan-
materi.html

Wheaton, L. (1985). Processing Aquatic Food Products. Canada: John


Wiley & Sons, Inc.

Z,Irfan, Eddy Afrianto, Izza Mahdiana, Heti Herawati dan Ibnu Bangkit
S.(2018). Laju Penggosongan Lambung Ikan Mas (Cyprinus Carpio)
Dan Ikan Nila (Oreochoromis niloticus).Jurnal Perikanan dan
Kelautan, (IX)2, 148-150

18

Anda mungkin juga menyukai