Anda di halaman 1dari 16

RANSUM UNTUK KELINCI

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Nutrisi Ternak Unggas dan Non Ruminansia

Kelompok 10
Disusun oleh :
Ade Rahmawati 200610220004

Fahmi Yaskur 200610220025

PROGRAM STUDI PETERNAKAN K.PANGANDARAN


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
PANGANDARAN
2023
i

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan
terselesaikannya penulisan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Ransum untuk Kelinci” dengan
tepat waktu. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Bapak Dr. Ir. Hendi
Setiyatwan, M.Si. dan Bapak Muhammad Rifqi Ismiraj, S.Pt., M.Sc. pada mata
kuliah Nutrisi Ternak Unggas dan Non Ruminansia di Universitas Padjadjaran.
Selain itu, kami juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi
pembaca.
Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir.
Hendi Setiyatwan, M.Si. dan Bapak Muhammad Rifqi Ismiraj, S.Pt., M.Sc. selaku
dosen pengampu mata kuliah Nutrisi Ternak Unggas dan Non Ruminansia. Tugas
yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait
bidang yang ditekuni kami. Kami juga mengucapkan terima kasih pada semua
pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Kami jauh dari kata sempurna. Dan ini merupakan langkah yang baik dari
studi yang sesungguhnya. Oleh karena itu, dengan keterbatasan waktu dan
kemampuan yang kami miliki, maka kritik dan saran yang membangun senantiasa
kami harapkan semoga makalah ini dapat berguna bagi kami khususnya dan
pihak lain yang berkepentingan pada umumnya.

Pangandaran, November 2023

Tim Penulis
ii

DAFTAR ISI

Bab Halaman
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Identifikasi masalah........................................................................................2
1.3 Tujuan.............................................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................3
PEMBAHASAN.....................................................................................................3
2.1 Perilaku Makan Kelinci..................................................................................3
2.2 Faktor yang Mempengaruhi Asupan Pakan...................................................3
2.3 Ransum Untuk Kelinci...................................................................................6
2.4 Standar Kebutuhan Nutrien dan Energi Pakan...............................................8
BAB III..................................................................................................................10
KESIMPULAN.....................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................11
iii

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Damron (2006), kelinci merupakan salah satu komoditas yang mudah
untuk dikembang biakkan, membutuhkan modal rendah, biaya produksi relatif
rendah, pemeliharaan yang mudah. Ternak kelinci mengalami peningkatan pada
tahun 2016 dibandingkan pada tahun 2015 yaitu 8,93% sebesar 1,2 juta ekor
(Ditjen PKH, 2016). Produksi daging kelinci juga mengalami peningkatan pada
tahun 2016 sebanyak 16,86%. Kelinci merupakan salah satu hewan yang
dijadikan sebagai alternatif sumber protein hewani. Kelinci memiliki potensi,
antara lain ukuran tubuh yang kecil sehingga tidak memerlukan banyak ruang
pada kandang, tidak memerlukan biaya yang sangat besar dalam investasi ternak,
umur dewasa singkat (4 - 5 bulan) kemampuan berkembang biak yang tinggi dan
masa penggemukan yang singkat (kurang dari 2 bulan sejak sapih) (El-Raffa,
2004).
Pakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dalam pemeliharaan
ternak. Tingkat keberhasilan usaha peternakan ditentukan oleh pakan yang
diberikan. Pemberian pakan dalam usaha peternakan perlu memperhatikan
pemilihan bahan pakan sebagai penyusun ransum yang sesuai dengan kondisi dan
kemampuan fisiologis pencernaan (Dewi, 2006). Jenis pakan untuk kelinci dapat
berupa hijauan, sayuran maupun konsentrat. Pakan konsentrat untuk kelinci dapat
diberikan dalam bentuk pelet. Pelet merupakan bentukan ransum pakan ternak
yang telah diolah sedemikian rupa dan dibuat berbentuk silinder kecil
(Hardjosubroto dan Astuti, 1993 yang disitasi oleh Suparno dkk., 2009).

Kualitas pakan kelinci merupakan faktor penting yang mempengaruhi


kemampuan kelinci dalam mencapai kemampuan genetik untuk pertumbuhan,
berkembang biak, panjang umur maupun reaksi terhadap perlakuan (Nugroho,
1982 cit Yuspita, 2007).
iv

1.2 Identifikasi masalah


1. Bagaimana perilaku makan kelinci?
2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi asupan pakan kelinci?
3. Apa saja ransum untuk kelinci?
4. Bagaimana standar kebutuhan nutrien dan energi pakan kelinci?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui perilaku makan kelinci
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi asupan pakan kelinci
3. Mengetahui pakan dan ransum kelinci
4. Mengetahui standar kebutuhan nutrien dan energi pakan kelinci
v

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Perilaku Makan Kelinci
Perilaku makan kelinci merupakan aspek penting dalam pemeliharaan kelinci.
Ketika diberi hijauan, kelinci mengunyah dengan giginya dan gerakan rahang
dalam mengunyah mencapai sekitar 120 kali per menit. Proses pengunyahan ini
menyebabkan struktur sel hijauan menjadi hancur. Di alam liar, kelinci cenderung
memiliki perilaku makan selektif, memilih daun segar yang lembut pada tanaman
muda. Selain itu, kelinci memiliki periode pemberian makan utama pada pagi dan
malam hari, serta melakukan cecotrophy 3-8 jam setelah makan.

Studi perilaku makan kelinci dalam mengonsumsi pakan hijauan di kandang


merupakan kunci dalam meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan hewan.
Kualitas pakan kelinci merupakan faktor penting yang mempengaruhi
kemampuan kelinci dalam mencapai kemampuan genetik untuk pertumbuhan.
Pakan yang diberikan harus memberi persyaratan kandungan nutrisi yang lengkap
seperti protein, lemak, serat kasar, karbohidrat, mineral, dan vitamin. Pakan ternak
kelinci harus mencukupi kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan kelinci sesuai fase
pertumbuhannya. Oleh karena itu, pemahaman mengenai perilaku makan kelinci
dan faktor-faktor yang mempengaruhi asupan pakan sangat penting dalam
pemeliharaan kelinci.

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Asupan Pakan


1. Palatabilitas
Palatabilitas merupakan faktor yang sangat penting untuk menentukan tingkat
konsumsi pakan, dimana palatabilitas pakan ditentukan oleh rasa, bau dan warna
yang merupakan pengaruh faktor fisik dan kimia pakan (Parakkasi,1986).
Palatabilitas didefinisikan sebagai respon yang diberikan oleh ternak terhadap
pakan yang diberikan dan hal ini tidak hanya dilakukan oleh ternak ruminansia
tetapi juga dilakukan oleh hewan mamalia lainnya terutama dalam memilih pakan
vi

yang diberikan (Chruch dan Pond, 1988). Pemberian ransum atau pakan
disamping harus memenuhi zat-zat nutrisi yang dibutuhkan dengan jumlah yang
tepat, pakan tersebut harus memenuhi syarat-syarat seperti aman untuk
dikonsumsi, palatabel ekonomis dan berkadar gizi yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan ternak (Afriyanti, 2002).
Palatabilitas merupakan hasil keseluruhan dari faktor-faktor yang menentukan
apakah dan sampai dimana suatau pakan menarik bagi ternak. Faktor-faktor
tersebut adalah bau, rasa, bentuk dan temperatur pakan (Lawrence, 1990). Pond et
al. (1995) mendefinisikan palatabilitas sebagai daya tarik suatu pakan atau bahan
pakan untuk menimbulkan selera makan dan langsung dimakan oleh ternak.
Palatabilitas biasanya diukur dengan cara memberikan dua atau lebih pakan
kepada ternak sehingga ternak dapat memilih dan memakan pakan mana yang
lebih disukai. Palatabilitas ransum merupakan faktor penting dalam sistem
cafeteria feeding.
2. Suhu lingkungan
Kelinci sangat rentan terhadap suhu lingkungan yang panas sehingga
menyebabkan panas tubuh akan bertambah yang berdampak pada penurunan
konsumsi pakan dan peningkatan konsumsi air. Suhu yang tinggi menyebabkan
kelinci menjadi stres sehingga dapat menurunkan kualitas produksi dan
memperlambat pertumbuhan kelinci. Pada temperatur lingkungan yang cukup
tinggi, pola konsumsi kelinci akan berubah. Jumlah asupan pakan akan menurun,
namun asupan minum akan meningkat. Lingkungan yang ideal untuk kelinci
memiliki temperatur berkiasr antara 9-19oC. Stephan (1980) melaporkan bahwa
asupan pakan 19% lebih tinggi pada suhu lingkungan 5°C daripada 18°C, dan
18% lebih rendah pada suhu 30°C daripada 18°C.
3. Energi Ransum
Selama masa pertumbuhan, kelinci membutuhkan protein dan energi untuk
mencukupi kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan (Prasetiawan, 2009).
Sumber energi yang dibutuhkan oleh kelinci diperoleh dari pakan dan dapat
berupa pati. Pati akan dimetabolisme menjadi glukosa yang kemudian digunakan
vii

sebagai sumber energi. Pemberian pakan pada kelinci dapat berupa pelet, karena
akan memudahkan kelinci dalam mencerna pakan, meningkatkan konsumsi dan
efisiensi pakan serta menurunkan jumlah pakan yang tercecer.
Pemberian pakan dengan bahan pakan sumber energi yang berbeda akan
berpengaruh terhadap tingkah laku kelinci ditinjau dari panjang dan pendek waktu
makan, coprophagy dan aktivitas harian lainnya. Pakan yang terkonsumsi akan
mengalami proses perombakan oleh lambung, kemudian terjadi penyerapan di
dalam usus halus. Nutrien yang diserap akan diteruskan ke organ-organ tubuh
untuk menunjang kebutuhan hidup dan aktivitas ternak. Aktivitas makan ternak
akan meningkat seiring dengan kebutuhan energi yang digunakan sebagai respon
dari kondisi tubuh dan keadaan lingkungan, sehingga waktu yang digunakan
untuk melakukan akivitas makan akan semakin panjang. Pemberian pakan dengan
sumber energi yang tinggi diharapkan mampu meningkatkan ketersediaan nutrien
yang mudah dicerna dalam pakan, merangsang pertumbuhan mikroba serta
mempersingkat waktu tinggal pakan di dalam lambung sehingga tingkah laku
makan dan coprophagy dapat berlangsung lebih cepat.
4. Bentuk Fisik Ransum
De Blas and Mateos (1998) menyatakan bahwa kebutuhan nutrisi untuk
reproduksi dan pertumbuhan pada kelinci dapat diformulasikan dalam bentuk
pellet yang dapat menghasilkan pertumbuhan dan performa reproduksi yang baik.
Poole (1987) menyatakan bahwa kebutuhan konsumsi bahan kering ransum pellet
pada kelinci sebanyak 5% dari bobot badan. Ternak kelinci lebih menyukai
ransum dalam bentuk pellet dibandingkan ransum bukan pellet (Haris et al.,
1983). Pemberian ransum sebaiknya lebih banyak diberikan sore hari
dibandingkan pemberian siang ataun pagi hari karena kelinci termasuk binatang
malam (Rismunandar, 1981).
5. Ukuran partikel dan serat kasar
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi nilai cerna karbohidrat seperti umur dan
jenis karbohidrat dalam ransum, proses dalam pabrik dan ada tidaknya suplemen
enzim (Blas dan Gidenne, 1998). Kecernaan tepung dipengaruhi oleh umur
viii

kelinci. Makin tua umur kelinci maka kemampuan mencerna tepung semakin
tinggi. Disebutkan bahwa kelinci umur 5 minggu bila diberikan jagung maka
koefisien cerna energinya 90%, sedangkan pada umur 8 dan 11 minggu
mempunyai koefisien cerna masing-masing 94% dan 96%.
Serat kasar merupakan bahan penyusun pakan yang penting pada ransum kelinci.
Kandungan serat kasar pada ransum kelinci berkisar antara 150-500 g/kg berat
badan (Gidenne et al., 1998). Selanjutnya dikatakan bahwa fermentasi serat kasar
terjadi setelah aktivitas ileum. Pencernaan serat kasar sebelum mencapai usus
buntu pada kelinci antara 7-19%. Penghancuran serat kasar akhirnya ditentukan
oleh aktivitas mikroba, lama waktu pakan berada di caecum dan oleh komposisi
kimia serat kasar.
2.3 Ransum Untuk Kelinci

Menurut sireger (1994), ransum diartikan sebagai salah satu atau beberapa
jenis bahan pakan yang diberikan untuk seekor ternak selama sehari semalam.
Ransum harus memenuhi zat gizi yang dibutuhkan ternak untuk berbagai fungsi
tubuhnya, misalnya hidup pokok, produksi, maupun reproduksi. Tillman et al
(1991), menambahkan bahwa makanan ternak mengandung zat gizi untuk
keperluan kebutuhan energi dan fungsi – fungsi tubuhnya, akan tetapi kandungan
zat gizi pada masing – masing makanan ternak berbeda – beda. Para ahli
makanan ternak telah mencoba mendiskripsikan perihal makanan ternak dan zat
– zat gizi yang dikandungnya, sehingga memungkinkan digunakan dalam
menyusun ransum dengan cara yang sederhana. Nomen klatur internasional telah
membagi makanan ternak dalam 8 kelas yaitu: forage kering, pasture ( hijauan),
silase, makanan sumber energi, makanan sumber protein, makanan sumber
mineral, makanan sumber vitamin, dan makanan aditif.

Ransum kelinci terdiri dari dua macam yaitu konsentrat dan hijauan. Ransum
konsentrat mempunyai nilai kecernaan yang lebih tinggi dari hijauan. Kandungan
serat kasar dalam ransum konsentrat relatif rendah. Ransum hijauan mengandung
serat kasar relatif tinggi (Williamson dan Payne, 1993).
ix

1. Hijauan
Hijauan adalah bahan makanan yang mengandung SK 18% atau lebih
(dihitung dari bahan kering ). Angka batasan ini hanya sekedar patokan
penolong, karena didalam praktek sering didapatkan hal – hal yang berada
diluar batasan ini. Kualitas hijauan sangat bervariasi yang disebabkan oleh
beberapa perbedaan dalam spesies, umur, kesuburan tanah, sumber – sumber
air dan lain sebagainya (Parakkasi, 1986). Walaupun kelinci termasuk
dalam kelompok hewan herbivora, tetapi sistem alat pencernaannya tida
sesempurna hewan ruminansia di dalam mencerna selulosa, kelinci akan
mengonsumsi dalam jumlah yang lebih banyak karena hanya sedikit energi
yang dapat dimanfaatkan (Lebas, 1983; Owen, 1981).
Peningkatan daya guna selulosa agar dapat dimanfaatkan secara optimum
dilakukan melalui coprophagy. Hijauan yang masih belum tercerna secara
sempurna dan zat makanan lain akan dimakan kembali dengan cara
mengonsumsi kotorannya. Sifat coprophagy ini biasa dimulai pada umur 3
minggu, saat dimana kelinci untukk pertama kalinya mulai mencoba
memakan hijauan. Pada kelinci yang telah didomestikasi, sifat ini dilakukan
malam hari dan pada kelinci liar di siang hari saat berada di dalam sarangnya.
Keuntungan dari sifat coprophagy ini adalah kebutuhan vitamin B hampir
selalu terpenuhi dan beberapa jenis asam amino penting makin banyak yang
masuk. Kotoran yang dimakan kembali adalah yang lembek, biasanya
berwarna kecoklatan.
Salah satu jenis hijauan yang sering diberikan seperti rumput lapangan, daun
kacang panjang, daun lamtoro, daun duri, daun kembang sepatu, daun ubi
jalar, daun pepaya, daun jakung, dan daun kacang tanah. Selain itu, berikan
juga sisa-sisa limbah sayuran seperti kangkung, kol, sawi, caisim, wortel,
selada dan lainnya. Pemberian pakan hijauan dilakukan setelah sayuran
dilayukan terlebih dahulu. Proses pelayuan pada rumput hijauan dilakukan
untuk mengurangi kadar air. Kadar air pada sayuran dapat menyebabkan
urine kelinci berbau menyengat, menyebabkan diare, kembung perut, gatal-
x

gatal serta scabies, bahkan menyebabkan kematian akibat keracunan.


2. Konsentrat
Konsentrat merupakan pakan penguat yang terdiri dari bahan baku yang kaya
karbohidrat dan protein, seperti jagung kuning, bekatul, dedak gandum dan
bungkil bungkilan. Tujuan suplementasi makanan penguat dalam makanan
ternak adalah untuk meningkatkan daya guna makanan atau menambah nilai
gizi makanan, menambah unsur makanan yang defisien serta meningkatkan
konsumsi dan kecernaan makanan ( Murtidjo, 1993). Konsentrat dalam
peternakan kelinci berfungsi untuk meningkatkan nilai gizi pakan dan
mempermudah penyediaan pakan. Konsentrat sebagai ransum diberikan
sebagai pakan penguat, kalau pakan pokoknya hijauan. Konsentrat untuk
pakan kelinci dapat berupa pellet (pakan buatan pabrik), bekatul, bungkil
kelapa, bungkil kacang tanah, ampas tahu, ampas tapioka, atau gaplek
(Whendrato dan Madyana, 1983 dan Sarwono, 2002).
2.4 Standar Kebutuhan Nutrien dan Energi Pakan
Pemenuhan pakan kelinci dihitung berdasarkan konsumsi bahan kering.
Kebutuhan bahan kering menurut NRC (1977) yaitu untuk hidup pokok 3-4% dari
bobot badan dan untuk pertumbuhan normal 5-8% dari bobot badan.
Besar kebutuhan nutrisi lemak pada ransum kelinci sebesar 1-3%, dengan lebih
detailnya 1% untuk keseharian kelinci dan 3% untuk kelinci hamil dan menyusui
dan dalam masa pertumbuhan. Kandungan lemak dalam ransum kelinci juga
mengakibatkan daya palabilitasnya meningkat. Namun, lemak jika dikonsumsi
berlebih dapat mengakibatkan arteriosclerosis (penyumpatan darah arteri pada
jantung kelinci).

Energi merupakan unsur yang penting bagi ternak. Bila energi kurang, protein
akan diubah menjadi energi dan energi mempunyai cadangan dalam bentuk
lemak. Energi berkaitan erat dengan konsumsi protein. Dimana kebutuhan protein
berbeda sesuai dengan umur, tipe dan macam ternak serta produksi ternak
tersebut. Energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kelinci 2500-2900 kkal
xi

(Aak, 1980). Untuk peningkatan bobot kelinci pedaging dapat sesuai dengan yang
diinginkan, pemberian pakan harus diatur agar seimbang pakan hijauan dan
konsentrat. Biasanya, pada peternakan kelinci intensif, hijauan diberikan sebanyak
60-80%, sedangkan konsentrat sebanyak 20-40% dari total jumlah pakan yang
diberikan (Priyatna, 2011).

Tabel 2.1 kebutuhan Nutrien pada kelinci


xii

BAB III

KESIMPULAN

Perilaku makan kelinci, yang melibatkan pengunyahan hijauan dengan


gerakan rahang yang cepat, memainkan peran kunci dalam kesejahteraan dan
produktivitas hewan. Studi perilaku makan kelinci penting untuk memahami
kecenderungan makan selektif mereka di alam liar. Faktor-faktor seperti
palatabilitas, suhu lingkungan, energi ransum, bentuk fisik ransum, dan ukuran
partikel serta serat kasar memengaruhi asupan pakan. Ransum kelinci, yang terdiri
dari konsentrat dan hijauan, dikelola dengan memperhatikan coprophagy sebagai
mekanisme memanfaatkan selulosa secara optimal. Standar kebutuhan nutrien dan
energi pakan dihitung berdasarkan konsumsi bahan kering, dan pemahaman
proporsi lemak, protein, dan energi dalam ransum menjadi kunci dalam
memelihara kelinci sesuai dengan fase kehidupan mereka.
xiii

DAFTAR PUSTAKA

Blakely, J., & Bade, D. H. (1992). Pengantar Ilmu Peternakan. (B. Hardjosubroto,
Penerjemah, & W. 1994 Aplikasi Pemuliaan Ternak di Lapangan,
Ed.). Jakarta: Gramedia.
Blas, E., & Gidenne, T. (1998). Digestion of starch and sugars. The nutrition of
the rabbit, 17-38.
Blas, E., and T. Gidenne. 1998. Digestion of starch and sugars. In: J. C. De Blas,
and J. Wiseman (ed.) The Nutrition of the Rabbit. pp 17–38.
Commonwealth Agricultural Bureaux, Wallingford, U.K.
Cheeke, P. R. (1987). Rabbit Feeding and Nutrition. Academic Press Inc.,
Orlando.
De Blas, J. C., and G. G. Mateos. 1998. Feed formulation. In: J. C. De Blas, and J.
Wiseman (ed.) The Nutrition of the Rabbit. pp 241–253.
Commonwealth Agricultural Bureaux, Wallingford, U.K.
De Blas, J.C. and Mateos, G.G. (1998) Feed Formulation. In: de Blas, C. and
Wiseman, J., Eds., The Nutrition of the Rbbit, Commonwealth
Agricultural Bureau, Wallingfold.
Gidenne, T., Bellier, R., & Van Eys, J. (1998). Effect of the dietary fibre origin on
the digestion and on the caecal fermentation pattern of the growing
rabbit. Animal Science, 66(2), 509-517.
Harris, D. J. ; Cheeke, P. R. ; Patton, N. M., 1983. Feed preference studies with
rabbits fed fourteen different fresh greens. J. Appl. Rabbit Res., 6
(4): 120-122
Lawrence, T. L. J. (1990). Influence of palatability on diet assimilation in non-
ruminants. Feedstuff evaluation., 115-146
LEBAS,F. (1983). Small scale rabbit production. Feding and Management
system. World riview of anim. Prod. Vol. 26:11-17
xiv

Leeson, S. (1986). Nutritional Considerations of Poultry During Heat Stress.


Worlds Poult Sci J, 42, 69-81.
National Research Council. (1977). Nutrient Requirement of Rabbit. National
Academy of Sciences. Washington.
Pond, W.G., D.C. Church and F.R.Pond.1995. Basic Animal Nutrition and
Feeding. 4th Ed. New York: John Wiley and Sons.
Prasetiawan, J. I. (2009). Penggunaan Wheat Pollard fermentasi dalam konsentrat
terhadap performan kelinci keturunan Vlaamse Reus Jantan.
Prasetyawan, D. 2009. Sifat Fisis dan Mekanis Papan Komposit dari Serbuk Sabut
Kelapa (Cocopeat) dengan Plastik Polyethylene. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 59 hlm.
Tillman, A. D., Hartadi, H., Reksohadiprodjo, S., Prawirokusumo, S., &
Lebdosoekojo, S. (1998). Ilmu Makanan Ternak Dasar.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Tillman, D.A., Hartadi H., Reksohadiprodjo, S., Lebdosoekojo S. 1991. Ilmu
Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Fakultas
Peternakan UGM, Yogyakarta.
Wati, A. (2010). Pengaruh substitusi jerami kacang tanah dengan silase daun
pisang (Musa Paradisiaca) dalam ransum terhadap performan
kelinci New Zealand white jantan.
Williamson, G. dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan Daerah Tropis.
Terjemahan Oleh S.G.N. Dwija,D.Gajah Mada University Press.
Yogyakarta
Stephan, K., & Abdelsalam, M. (1980). Heat-transfer correlations for natural
convection boiling. International Journal of Heat and Mass
Transfer, 23(1), 73-87.
Afriyanti, L. 2002. Daun Bawang Merah (Allium Ascalonicum L.) sebagai
Hijauan Substitusi Rumput Lapang pada Ternak Domba Ekor
Gemuk. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
xv

Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Gramedia


Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Pond, W.G., D.C. Church, and K.R. Pond, 1995. Basic Animal Nutrition and
Feeding. Fourth edition. John Wiley & Sons, New York.

Anda mungkin juga menyukai