Kelompok 10
Disusun oleh :
Ade Rahmawati 200610220004
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan
terselesaikannya penulisan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Ransum untuk Kelinci” dengan
tepat waktu. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Bapak Dr. Ir. Hendi
Setiyatwan, M.Si. dan Bapak Muhammad Rifqi Ismiraj, S.Pt., M.Sc. pada mata
kuliah Nutrisi Ternak Unggas dan Non Ruminansia di Universitas Padjadjaran.
Selain itu, kami juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi
pembaca.
Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir.
Hendi Setiyatwan, M.Si. dan Bapak Muhammad Rifqi Ismiraj, S.Pt., M.Sc. selaku
dosen pengampu mata kuliah Nutrisi Ternak Unggas dan Non Ruminansia. Tugas
yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait
bidang yang ditekuni kami. Kami juga mengucapkan terima kasih pada semua
pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Kami jauh dari kata sempurna. Dan ini merupakan langkah yang baik dari
studi yang sesungguhnya. Oleh karena itu, dengan keterbatasan waktu dan
kemampuan yang kami miliki, maka kritik dan saran yang membangun senantiasa
kami harapkan semoga makalah ini dapat berguna bagi kami khususnya dan
pihak lain yang berkepentingan pada umumnya.
Tim Penulis
ii
DAFTAR ISI
Bab Halaman
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Identifikasi masalah........................................................................................2
1.3 Tujuan.............................................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................3
PEMBAHASAN.....................................................................................................3
2.1 Perilaku Makan Kelinci..................................................................................3
2.2 Faktor yang Mempengaruhi Asupan Pakan...................................................3
2.3 Ransum Untuk Kelinci...................................................................................6
2.4 Standar Kebutuhan Nutrien dan Energi Pakan...............................................8
BAB III..................................................................................................................10
KESIMPULAN.....................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Damron (2006), kelinci merupakan salah satu komoditas yang mudah
untuk dikembang biakkan, membutuhkan modal rendah, biaya produksi relatif
rendah, pemeliharaan yang mudah. Ternak kelinci mengalami peningkatan pada
tahun 2016 dibandingkan pada tahun 2015 yaitu 8,93% sebesar 1,2 juta ekor
(Ditjen PKH, 2016). Produksi daging kelinci juga mengalami peningkatan pada
tahun 2016 sebanyak 16,86%. Kelinci merupakan salah satu hewan yang
dijadikan sebagai alternatif sumber protein hewani. Kelinci memiliki potensi,
antara lain ukuran tubuh yang kecil sehingga tidak memerlukan banyak ruang
pada kandang, tidak memerlukan biaya yang sangat besar dalam investasi ternak,
umur dewasa singkat (4 - 5 bulan) kemampuan berkembang biak yang tinggi dan
masa penggemukan yang singkat (kurang dari 2 bulan sejak sapih) (El-Raffa,
2004).
Pakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dalam pemeliharaan
ternak. Tingkat keberhasilan usaha peternakan ditentukan oleh pakan yang
diberikan. Pemberian pakan dalam usaha peternakan perlu memperhatikan
pemilihan bahan pakan sebagai penyusun ransum yang sesuai dengan kondisi dan
kemampuan fisiologis pencernaan (Dewi, 2006). Jenis pakan untuk kelinci dapat
berupa hijauan, sayuran maupun konsentrat. Pakan konsentrat untuk kelinci dapat
diberikan dalam bentuk pelet. Pelet merupakan bentukan ransum pakan ternak
yang telah diolah sedemikian rupa dan dibuat berbentuk silinder kecil
(Hardjosubroto dan Astuti, 1993 yang disitasi oleh Suparno dkk., 2009).
1.3 Tujuan
1. Mengetahui perilaku makan kelinci
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi asupan pakan kelinci
3. Mengetahui pakan dan ransum kelinci
4. Mengetahui standar kebutuhan nutrien dan energi pakan kelinci
v
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perilaku Makan Kelinci
Perilaku makan kelinci merupakan aspek penting dalam pemeliharaan kelinci.
Ketika diberi hijauan, kelinci mengunyah dengan giginya dan gerakan rahang
dalam mengunyah mencapai sekitar 120 kali per menit. Proses pengunyahan ini
menyebabkan struktur sel hijauan menjadi hancur. Di alam liar, kelinci cenderung
memiliki perilaku makan selektif, memilih daun segar yang lembut pada tanaman
muda. Selain itu, kelinci memiliki periode pemberian makan utama pada pagi dan
malam hari, serta melakukan cecotrophy 3-8 jam setelah makan.
yang diberikan (Chruch dan Pond, 1988). Pemberian ransum atau pakan
disamping harus memenuhi zat-zat nutrisi yang dibutuhkan dengan jumlah yang
tepat, pakan tersebut harus memenuhi syarat-syarat seperti aman untuk
dikonsumsi, palatabel ekonomis dan berkadar gizi yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan ternak (Afriyanti, 2002).
Palatabilitas merupakan hasil keseluruhan dari faktor-faktor yang menentukan
apakah dan sampai dimana suatau pakan menarik bagi ternak. Faktor-faktor
tersebut adalah bau, rasa, bentuk dan temperatur pakan (Lawrence, 1990). Pond et
al. (1995) mendefinisikan palatabilitas sebagai daya tarik suatu pakan atau bahan
pakan untuk menimbulkan selera makan dan langsung dimakan oleh ternak.
Palatabilitas biasanya diukur dengan cara memberikan dua atau lebih pakan
kepada ternak sehingga ternak dapat memilih dan memakan pakan mana yang
lebih disukai. Palatabilitas ransum merupakan faktor penting dalam sistem
cafeteria feeding.
2. Suhu lingkungan
Kelinci sangat rentan terhadap suhu lingkungan yang panas sehingga
menyebabkan panas tubuh akan bertambah yang berdampak pada penurunan
konsumsi pakan dan peningkatan konsumsi air. Suhu yang tinggi menyebabkan
kelinci menjadi stres sehingga dapat menurunkan kualitas produksi dan
memperlambat pertumbuhan kelinci. Pada temperatur lingkungan yang cukup
tinggi, pola konsumsi kelinci akan berubah. Jumlah asupan pakan akan menurun,
namun asupan minum akan meningkat. Lingkungan yang ideal untuk kelinci
memiliki temperatur berkiasr antara 9-19oC. Stephan (1980) melaporkan bahwa
asupan pakan 19% lebih tinggi pada suhu lingkungan 5°C daripada 18°C, dan
18% lebih rendah pada suhu 30°C daripada 18°C.
3. Energi Ransum
Selama masa pertumbuhan, kelinci membutuhkan protein dan energi untuk
mencukupi kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan (Prasetiawan, 2009).
Sumber energi yang dibutuhkan oleh kelinci diperoleh dari pakan dan dapat
berupa pati. Pati akan dimetabolisme menjadi glukosa yang kemudian digunakan
vii
sebagai sumber energi. Pemberian pakan pada kelinci dapat berupa pelet, karena
akan memudahkan kelinci dalam mencerna pakan, meningkatkan konsumsi dan
efisiensi pakan serta menurunkan jumlah pakan yang tercecer.
Pemberian pakan dengan bahan pakan sumber energi yang berbeda akan
berpengaruh terhadap tingkah laku kelinci ditinjau dari panjang dan pendek waktu
makan, coprophagy dan aktivitas harian lainnya. Pakan yang terkonsumsi akan
mengalami proses perombakan oleh lambung, kemudian terjadi penyerapan di
dalam usus halus. Nutrien yang diserap akan diteruskan ke organ-organ tubuh
untuk menunjang kebutuhan hidup dan aktivitas ternak. Aktivitas makan ternak
akan meningkat seiring dengan kebutuhan energi yang digunakan sebagai respon
dari kondisi tubuh dan keadaan lingkungan, sehingga waktu yang digunakan
untuk melakukan akivitas makan akan semakin panjang. Pemberian pakan dengan
sumber energi yang tinggi diharapkan mampu meningkatkan ketersediaan nutrien
yang mudah dicerna dalam pakan, merangsang pertumbuhan mikroba serta
mempersingkat waktu tinggal pakan di dalam lambung sehingga tingkah laku
makan dan coprophagy dapat berlangsung lebih cepat.
4. Bentuk Fisik Ransum
De Blas and Mateos (1998) menyatakan bahwa kebutuhan nutrisi untuk
reproduksi dan pertumbuhan pada kelinci dapat diformulasikan dalam bentuk
pellet yang dapat menghasilkan pertumbuhan dan performa reproduksi yang baik.
Poole (1987) menyatakan bahwa kebutuhan konsumsi bahan kering ransum pellet
pada kelinci sebanyak 5% dari bobot badan. Ternak kelinci lebih menyukai
ransum dalam bentuk pellet dibandingkan ransum bukan pellet (Haris et al.,
1983). Pemberian ransum sebaiknya lebih banyak diberikan sore hari
dibandingkan pemberian siang ataun pagi hari karena kelinci termasuk binatang
malam (Rismunandar, 1981).
5. Ukuran partikel dan serat kasar
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi nilai cerna karbohidrat seperti umur dan
jenis karbohidrat dalam ransum, proses dalam pabrik dan ada tidaknya suplemen
enzim (Blas dan Gidenne, 1998). Kecernaan tepung dipengaruhi oleh umur
viii
kelinci. Makin tua umur kelinci maka kemampuan mencerna tepung semakin
tinggi. Disebutkan bahwa kelinci umur 5 minggu bila diberikan jagung maka
koefisien cerna energinya 90%, sedangkan pada umur 8 dan 11 minggu
mempunyai koefisien cerna masing-masing 94% dan 96%.
Serat kasar merupakan bahan penyusun pakan yang penting pada ransum kelinci.
Kandungan serat kasar pada ransum kelinci berkisar antara 150-500 g/kg berat
badan (Gidenne et al., 1998). Selanjutnya dikatakan bahwa fermentasi serat kasar
terjadi setelah aktivitas ileum. Pencernaan serat kasar sebelum mencapai usus
buntu pada kelinci antara 7-19%. Penghancuran serat kasar akhirnya ditentukan
oleh aktivitas mikroba, lama waktu pakan berada di caecum dan oleh komposisi
kimia serat kasar.
2.3 Ransum Untuk Kelinci
Menurut sireger (1994), ransum diartikan sebagai salah satu atau beberapa
jenis bahan pakan yang diberikan untuk seekor ternak selama sehari semalam.
Ransum harus memenuhi zat gizi yang dibutuhkan ternak untuk berbagai fungsi
tubuhnya, misalnya hidup pokok, produksi, maupun reproduksi. Tillman et al
(1991), menambahkan bahwa makanan ternak mengandung zat gizi untuk
keperluan kebutuhan energi dan fungsi – fungsi tubuhnya, akan tetapi kandungan
zat gizi pada masing – masing makanan ternak berbeda – beda. Para ahli
makanan ternak telah mencoba mendiskripsikan perihal makanan ternak dan zat
– zat gizi yang dikandungnya, sehingga memungkinkan digunakan dalam
menyusun ransum dengan cara yang sederhana. Nomen klatur internasional telah
membagi makanan ternak dalam 8 kelas yaitu: forage kering, pasture ( hijauan),
silase, makanan sumber energi, makanan sumber protein, makanan sumber
mineral, makanan sumber vitamin, dan makanan aditif.
Ransum kelinci terdiri dari dua macam yaitu konsentrat dan hijauan. Ransum
konsentrat mempunyai nilai kecernaan yang lebih tinggi dari hijauan. Kandungan
serat kasar dalam ransum konsentrat relatif rendah. Ransum hijauan mengandung
serat kasar relatif tinggi (Williamson dan Payne, 1993).
ix
1. Hijauan
Hijauan adalah bahan makanan yang mengandung SK 18% atau lebih
(dihitung dari bahan kering ). Angka batasan ini hanya sekedar patokan
penolong, karena didalam praktek sering didapatkan hal – hal yang berada
diluar batasan ini. Kualitas hijauan sangat bervariasi yang disebabkan oleh
beberapa perbedaan dalam spesies, umur, kesuburan tanah, sumber – sumber
air dan lain sebagainya (Parakkasi, 1986). Walaupun kelinci termasuk
dalam kelompok hewan herbivora, tetapi sistem alat pencernaannya tida
sesempurna hewan ruminansia di dalam mencerna selulosa, kelinci akan
mengonsumsi dalam jumlah yang lebih banyak karena hanya sedikit energi
yang dapat dimanfaatkan (Lebas, 1983; Owen, 1981).
Peningkatan daya guna selulosa agar dapat dimanfaatkan secara optimum
dilakukan melalui coprophagy. Hijauan yang masih belum tercerna secara
sempurna dan zat makanan lain akan dimakan kembali dengan cara
mengonsumsi kotorannya. Sifat coprophagy ini biasa dimulai pada umur 3
minggu, saat dimana kelinci untukk pertama kalinya mulai mencoba
memakan hijauan. Pada kelinci yang telah didomestikasi, sifat ini dilakukan
malam hari dan pada kelinci liar di siang hari saat berada di dalam sarangnya.
Keuntungan dari sifat coprophagy ini adalah kebutuhan vitamin B hampir
selalu terpenuhi dan beberapa jenis asam amino penting makin banyak yang
masuk. Kotoran yang dimakan kembali adalah yang lembek, biasanya
berwarna kecoklatan.
Salah satu jenis hijauan yang sering diberikan seperti rumput lapangan, daun
kacang panjang, daun lamtoro, daun duri, daun kembang sepatu, daun ubi
jalar, daun pepaya, daun jakung, dan daun kacang tanah. Selain itu, berikan
juga sisa-sisa limbah sayuran seperti kangkung, kol, sawi, caisim, wortel,
selada dan lainnya. Pemberian pakan hijauan dilakukan setelah sayuran
dilayukan terlebih dahulu. Proses pelayuan pada rumput hijauan dilakukan
untuk mengurangi kadar air. Kadar air pada sayuran dapat menyebabkan
urine kelinci berbau menyengat, menyebabkan diare, kembung perut, gatal-
x
Energi merupakan unsur yang penting bagi ternak. Bila energi kurang, protein
akan diubah menjadi energi dan energi mempunyai cadangan dalam bentuk
lemak. Energi berkaitan erat dengan konsumsi protein. Dimana kebutuhan protein
berbeda sesuai dengan umur, tipe dan macam ternak serta produksi ternak
tersebut. Energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kelinci 2500-2900 kkal
xi
(Aak, 1980). Untuk peningkatan bobot kelinci pedaging dapat sesuai dengan yang
diinginkan, pemberian pakan harus diatur agar seimbang pakan hijauan dan
konsentrat. Biasanya, pada peternakan kelinci intensif, hijauan diberikan sebanyak
60-80%, sedangkan konsentrat sebanyak 20-40% dari total jumlah pakan yang
diberikan (Priyatna, 2011).
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Blakely, J., & Bade, D. H. (1992). Pengantar Ilmu Peternakan. (B. Hardjosubroto,
Penerjemah, & W. 1994 Aplikasi Pemuliaan Ternak di Lapangan,
Ed.). Jakarta: Gramedia.
Blas, E., & Gidenne, T. (1998). Digestion of starch and sugars. The nutrition of
the rabbit, 17-38.
Blas, E., and T. Gidenne. 1998. Digestion of starch and sugars. In: J. C. De Blas,
and J. Wiseman (ed.) The Nutrition of the Rabbit. pp 17–38.
Commonwealth Agricultural Bureaux, Wallingford, U.K.
Cheeke, P. R. (1987). Rabbit Feeding and Nutrition. Academic Press Inc.,
Orlando.
De Blas, J. C., and G. G. Mateos. 1998. Feed formulation. In: J. C. De Blas, and J.
Wiseman (ed.) The Nutrition of the Rabbit. pp 241–253.
Commonwealth Agricultural Bureaux, Wallingford, U.K.
De Blas, J.C. and Mateos, G.G. (1998) Feed Formulation. In: de Blas, C. and
Wiseman, J., Eds., The Nutrition of the Rbbit, Commonwealth
Agricultural Bureau, Wallingfold.
Gidenne, T., Bellier, R., & Van Eys, J. (1998). Effect of the dietary fibre origin on
the digestion and on the caecal fermentation pattern of the growing
rabbit. Animal Science, 66(2), 509-517.
Harris, D. J. ; Cheeke, P. R. ; Patton, N. M., 1983. Feed preference studies with
rabbits fed fourteen different fresh greens. J. Appl. Rabbit Res., 6
(4): 120-122
Lawrence, T. L. J. (1990). Influence of palatability on diet assimilation in non-
ruminants. Feedstuff evaluation., 115-146
LEBAS,F. (1983). Small scale rabbit production. Feding and Management
system. World riview of anim. Prod. Vol. 26:11-17
xiv