Anda di halaman 1dari 19

PENGARUH NUTRISI PAKAN TERHADAP PUBERTAS TERNAK

RUMINANSIA

PAPER

ILMU PRODUKSI TERNAK RUMINANSIA

OLEH :
ADRINA MAULIDA PUTRI 217040010

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PETERNAKAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2022
PENGARUH NUTRISI TERHADAP PUBERTAS TERNAK RUMINANSIA

PAPER

ILMU PRODUKSI TERNAK RUMINANSIA

OLEH :
ADRINA MAULIDA PUTRI 217040010

Makalah Sebagai Tugas Mata Kuliah Ilmu Produksi Ternak Ruminansia


Program Studi Magister Ilmu Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PETERNAKAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2022
Judul : Pengaruh Nutrisi Pakan Terhadap Ternak Ruminansia

Nama / NIM : Adrina Maulida Putri / 217040010

Program Studi : Ilmu Peternakan

Diketahui Oleh
Dosen Penanggungjawab

Prof. Dr. Ir. Sayed Umar, MS


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan paper ini dengan tepat
waktu.

Adapun judul dari makalah ini adalah “Pengaruh Nutiri Pakan terhadap
Pubertas Ternak Ruminansia” yang merupakan salah satu tugas mata kuliah
Ilmu Produksi Ternak Ruminansia, Program Studi Ilmu Peternakan, Fakultas
Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada


dosen matakuliah Ilmu Produksi Ternak Ruminansia yaitu Bapak Prof. Dr. Ir.
Sayed Umar, MS yang telah membimbing penulis dalam penyelesaian makalah
ini.

Makalah ini dirasa masih belum sempurna untuk itu penulis


mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah
ini. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih.
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..........................................................................................................i

I. PENDAHULUAN........................................................................................1

1.1 Latar Belakang.........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah....................................................................................1

1.3 Tujuan......................................................................................................2

II. PEMBAHASAN...........................................................................................3

2.1 Pubertas Ternak Ruminansia...................................................................3

2.2 Pakan Ternak Ruminansia.......................................................................6

2.3 Gangguan Defisiensi Ternak Ruminansia...............................................8

III. PENUTUP...................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................12
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Permintaan daging sapi terus meningkat seiring bertambahnya pertumbuhan
penduduk, pendapatan ekonomi masyarakat, serta kesadaran akan pentingnya
mengkonsumsi daging untuk meningkatkan gizi. Hal yang dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan daging, pemerintah berupaya meningkatkan populasi sapi
potong diantaranya dengan cara meningkatkan efisiensi reproduksi dan mengatasi
kasus gangguan reproduksi. Rendahnya efisiensi reproduksi ini dapat disebabkan
oleh masih rendahnya pengetahuan peternak akan pentingnya pengaturan
reproduksi dalam usaha peternakan.
Pemahaman tanda-tanda berahi bagi peternak sapi sangat penting, karena
awal dari keberhasilan kebuntingan dimulai dari pemahaman tanda-tanda berahi
yang diikuti dengan tanda-tanda berahi yang nyata pada induk sapi yang dimiliki.
Menurut Herdis et al., (1999) peningkatan efisiensi reproduksi dapat dilakukan
dengan managemen keseluruhan, termasuk pencatatan perkawinan, deteksi birahi
yang tepat, perbaikan kualitas dan kuantitas pakan, menjaga kesehatan dan
kebersihan kandang. Pemberian energi yang tidak cukup kemungkinan merupakan
penyebab terbesar gangguan reproduksi pada ternak.
Pada sapi potong, penurunan tingkatan makanan umumnya memperlambat
timbulnya pubertas sedangkan tingkatan pakan yang tinggi dapat mempercepat
pubertas dan peningkatan berat badan (Toelihere, 1979). Wiltbank et al., 1966
menyatakan bahwa pertambahan berat badan yang lebih cepat antara waktu lahir
dan waktu disapih dan antara waktu disapih dan umur 396 hari akan mempercepat
timbulnya pubertas pada sapi-sapi dara. Defisiensi fosfor dan protein dapat
mengakibatkan ternak mengalami penundaan pubertas dan tanda-tanda berahi
yang tidak normal. Kadar calcium yang rendah dalam makanan dapat
menyebabkan ternak lambat pubertas. Penelitian pada efek nutrisi terhadap
pencapaian pubertas adalah bahwa kekurangan sebagian besar nutrisi dapat
menunda pubertas.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang terjadi di lapangan adalah masih minimnya kesadaran
dan pengetahuan para peternak terhadap pentingnya pemberian pakan yang
bernutrisi baik secara kuliatas dan kuantitas untuk mencukupi kebutuhan pakan di
masa pubertas ternak ruminansia.
1.3 Tujuan
Bertujuan untuk mengetahui bagaimana upaya yang dapat dilakukan para
peternak dalam meningkatkan efisiensi reproduksi ternak ruminansia di masa
pubertas dengan cara memperhatikan nutrisi pakan yang diberikan.
II. PEMBAHASAN

2.1 Pubertas Ternak Ruminansia


Aktivitas reproduksi merupakan suatu proses kompleks yang melalui
berbagai tahapan sebelum siklus reproduksi dimulai. Bila alat reproduksi mulai
berfungsi, maka saat pubertas ternak telah dicapai, pada saat itu alat-alat
reproduksi ternak mencapai tingkat perkembangan dan berfungsi, selanjutnya
ternak siap untuk melakukan siklus reproduksi. Salisbury et al. (1985)
menyatakan bahwa pubertas merupakan batasan umur dan waktu ternak secara
fisik dan fisiologis siap untuk melakukan perkawinan dan berkembangbiak.
Pubertas pada sapi jantan ditandai dengan telah diproduksinya hormon androgen
dan spermatozoa serta organ-organ reproduksi telah berkembang dan ternak
mampu melakukan kopulasi (Galina et al. 2007).
Awal pubertas mempunyai banyak definisi, antara lain umur ketika ternak
mulai melepaskan sel gamet (betina: pertama ovulasi) (Rawlings et al. 2003),
umur pertama kali estrus, serta umur pada saat betina mampu untuk bunting
dimana organ-organ reproduksinya mulai berfungsi (Getzewick, 2005). Suatu
ternak telah dipertimbangkan mencapai pubertas jika dia memperlihatkan estrus,
mempunyai korpus luteum yang dapat dipalpasi antara hari ke tujuh dan hari ke
15 setelah estrus dan mempunyai konsentrasi progesteron lebih dari 1 ng/ml
dalam periode tetap (Rekwort et al. 2000).

Gambar 1. Siklus Estrerus pada Ternak


Pubertas pada ternak dapat didefinisikan sebagai umur pada saat
pertamakali diekspresinya berahi yang diikuti dengan ovulasi. Pubertas terjadi
ketika gonadotropin (FSH dan LH) diproduksi pada level yang cukup tinggi untuk
memulai pertumbuhan folikel, pematangan oosit, dan ovulasi. Folikel yang
tumbuh dapat dideteksi beberapa bulan sebelum pubertas. Mendekati pubertas,
frekuensi pulsa GnRH meningkat dan menstimulir ovarium. Pertama-tama,
gelombang folikel tumbuh dan diikuti dengan atresia. Ketika frekuaensi dan
amplitudo pulsa GnRH mendekati pola dewasa, maturasi oosit dan ovulasi akan
terjadi. Semakin tinggi frekuensi GnRH pada awal munculnya pubertas
nampaknya sebagai bagian dari penurunan sensitivitas hipotalamus terhadap
pengaruh umpan balik negatif steroid ovarium yang mungkin berinteraksi dengan
atau hasil dari faktor lain. Endogenous opioids dan/atau melatonin dapat terlibat
dalam pengaturan perubahan pola-pola hormon ini.

Tabel 2. Siklus Birahi Spesies Ternak


Umur pubertas merupakan waktu dimana organ-organ reproduksi mulai
berfungsi dan perkembangbiakan dapat terjadi. Di indonesia umumnya dengan
pakan normal banyak sapi-sapi dara mencapai pubertas saat berumur 18 bulan
bahkan kadang bisa lebih awal tergantung bangsa dan berat tubuh sapi (Utomo S.,
2003). Menurut Bearden dan Fuquay (1997) menyatakan bahwa umur pubertas
ternak sapi potong di daerah tropis (Bos Indicus) 18-24 bulan, cepat lambatnya
pubertas pada sapi dipengaruhi oleh nutrisi, iklim, dan penyakit. Hal ini dapat
disebabkan karena faktor nutrisi, pertumbuhan, keturunan, dan lingkungan.
Pubertas pada ternak betina didefenisikan sebagai suatu fase atau keadaan
dimana ternak tersebut menunjukan tada-tanda estrus (berahi) pertama kali,
tingkah laku kawin dan menghasilkan sel telur atau ovulasi atas pengaruh
hormone esterogen. Menurut Feradis (2010) rata-rata umur pubertas pada
kelompok sapi dara antara 10-12 bulan, pada sapi perah antara 11-15 bulan, pada
sapi potong dengan rata-rata 9-11 bulan. Umur dan berat badan hewan sewaktu
timbul pubertas berbeda-beda menurut spesies hewan. Hewan-hewan betina muda
tidak boleh dikawinkan sampai pertumbuhan badannya memungkainkan suatu
kebuntingan dan kelahiran normal.

Tabel 3. Umur dan Bobot Badan Pubertas Ternak


Bobot badan pada saat pubertas lebih dipengaruhi oleh faktor genetik.
Faktor genetik dapat dilihat dengan membandingkan spesies atau bangsa-bangsa
dalam sepsies. Sapi potong jantan akan mengalami perkembangan organ
reproduksinya selaras dengan pertambahan umur dan perkembangan kondisi
badan ternak selama pencapaian masa pubertas dan dewasa tubuh. Pubertas
(dewasa kelamin) sapi jantan telah mengalami perkembangan aktivitas
spermatogenesis setelah mencapai umur 14-16 bulan (Vandeplassche, 1982).
Umumnya pertumbuhan dan perkembangan menjadi prasyarat penting
untuk inisiasi menuju pubertas (Rekwort et al., 2000). Menurut Getzewich (2005)
pada umumnya pubertas dicapai ketika mereka telah mencapai 40% dari bobot
badan dewasa dan aspek pakan mempunyai pengaruh yang besar. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa ternak yang diberi asupan pakan dengan
kecukupan energi dan protein menyebabkan ternak cepat tumbuh dan umur
pubertas lebih awal bisa dicapai (Son et al. 2001; Romano et al., 2005). Sapi dari
spesies Bos indicus permasalahan yang dihadapi adalah pencapaian awal umur
pubertas lebih lambat dibandingkan dengan sapi dari Bos Taurus (Sargentini et
al., 2007). Menurut Noguiera (2004) bahwa seleksi genetik, crossbreeding dan
perbaikan pakan dapat digunakan untuk mempercepat umur pertama beranak sapi
Bos indicus.
2.2 Pakan Ternak Ruminansia
Pakan adalah bahan-bahan yang dapat diberikan kepada ternak, baik berupa
bahan organik atau bahan anorganik, sebagian atau seluruhnya dapat dicerna tanpa
menganggu kesehatan, dengan tujuan untuk kelangsungan hidupnya secara
normal. Peran pakan bagi tubuh ternak yaitu untuk kebutuhan hidup pokok dan
kebutuhan produksi.

Tabel 4. Kebutuhan Pakan Ternak Ruminansia


Menurut Thoelihere (1995) bahwa faktor pakan sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan pertambahan berat badan dan kejadian pubertas
dibandingkan faktor umur. Sehingga kualitas dan kuantitas pakan merupakan
faktor paling penting yang mempengaruhi pencapaian pubertas, kelebihan pakan
akan mempercepat pubertas dan kekurangan pakan akan menunda pubertas.
Kebutuhan pakan dari tiap-tiap ternak berbeda-beda sesuai dengan jenis, umur,
bobot badan, keadaan lingkungan, dan kondisi fisiologis ternak. Pakan harus
mengandung semua nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh ternak, namun tetap
dalam jumlah yang seimbang.

Tabel 5. Kebutuhan Pakan Sapi Dara


Nutirisi memiliki pengaruh secara langsung terhadap status reproduksi
ternak ruminansia (Bindari et al., 2013). Kebutuhan energi, protein, lemak dan
mineral harus dipenuhi secara seimbang. Kelebihan ataupun kekurangan nutrisi
sama-sama memiliki efek yang kurang baik terhadap reproduksi ternak.
Konsentrat adalah pakan tambahan yang diberikan untuk melengkapi kekurangan
nutrien atau zat gizi yang terdapat dalam hijauan yang mengandung serat kasar
yang lebih sedikit dan terdiri dari karbohidrat, protein dan lemak lebih banyak
sehingga penampilan produksi ternak lebih baik. Pakan konsentrat sebagai sumber
protein (mengandung protein kasar lebih dari 20%) umumnya berasal dari biji-
bijian leguminosa (kacang-kacangan) maupun bungkilnya.
Umumnya pakan ternak ruminansia dapat dikelompokkan menjadi dua jenis
yaitu hijauan dan konsentrat. Hijauan ditandai dengan jumlah serat kasar yang
relatif lebih banyak atau bahan tidak tercerna relatif tinggi (Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian, 2001, Siregar, 1994, Williamson dan Payne, 1993). Proses
fermentasi dapat menurunkan kandungan nilai lignin dan selulosa dan mampu
meiningkatkan nilai nutrisi pada jerami tersebut, namun secara umum pemberian
jerami padi sebagai pakan tunggal tidak memenuhi syarat sebagai pakan pada sapi
(Sarnklong et al., 2010).
Mineral adalah salah satu komponen nutrisi yang memiliki peran penting
dalam pertumbuhan, kesehatan, produksi, reproduksi dan kekebalan tubuh ternak
(NRC, 2007; Suttle, 2010; Velladurai et al., 2016). Tidak seperti nutrisi yang lain,
makhluk hidup tidak dapat mensintesa mineral (Sharma et al., 2002). Mineral
dapat dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu makromineral dan mikromineral
atau trace mineral. Ruminansia membutuhkan makromineral Ca, Mg, P, K, Na, Cl
dan S, sedangkan mikromineral yang dibutuhkan ruminansia adalah kromium
(Cr), kobalt (Co), tembaga (Cu), yodium (I), besi (Fe), mangan (Mn),
molibdenum (Mo), nikel (Ni), selenium (Se) dan seng (Zn).
Efek negatif terhadap ternak yang mungkin terjadi antara lain keterlambatan
masa pubertas, meningkatkan resiko kegagalan kebuntingan dan infertilitas
(Amin, 2013). Menurut Iskandar (2011) bahwa temperatur yang tinggi (27-340 C)
dapat memperlambat proses pubertas pada sapi. Suhu yang tinggi dapat
berpengaruh terhadap tingkah laku makan, sehingga asupan nutrisi seperti protein
dan energi pada tubuh menjadi lebih rendah yang berpengaruh terhadap status
reproduksi yaitu pubertas sapi. Hal ini sejalan dengan pendapat Umiyasih dan
Anggraeny (2007) menyatakan bahwa kekurangan energi dapat menghambat
perkembangan seksual dan pubertas pada ternak.
2.3 Gangguan Defisiensi Nutrisi Ternak Ruminansia
Ternak ruminansia yang normal (tidak dalam keadaan sakit atau sedang
berproduksi), mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang terbatas sesuai dengan
kebutuhannya untuk mencukupi hidup pokok. Kemudian sejalan dengan
pertumbuhan, perkembangan serta tingkat produksi yang dihasilkannya, konsumsi
pakannya pun akan meningkat pula. Tinggi rendah konsumsi pakan pada ternak
ruminansia sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal (lingkungan) dan faktor
internal atau kondisi ternak itu sendiri (Prihatman, 2000).
Ternak dengan kondisi tubuh sangat kurus memiliki cadangan lemak yang
kurang, sehingga mengakibatkan rendahnya tingkat reproduksi. Lemak adalah
cadangan energi yang disimpan dalam tubuh ternak yang berasal dari nutrien
dalam pakan. Pada sapi muda, kekurangan konsumsi energi akan menyebabkan
pertumbuhan dan reproduksi yang terlambat (Santosa, 2012). Susilawati (2011)
menambahkan bahwa faktor yang mempengaruhi tingginya nilai S/C diantaranya
adalah faktor nutrisi dari pakan yang diberikan. Umumnya yang mempengaruhi
kesuburan betina atau gangguan reproduksi pada ternak disebabkan oleh faktor
genetik, manajemen pengelolaan (pakan), dan faktor lingkungan.
Kebutuhan nutrisi yang seimbang sangat penting untuk kelangsungan
reproduksi sapi. Menurut Winugroho (2002) bahwa jika defisiensi nutrisi berupa
protein, energi, mineral, dan vitamin akan menyebabkan late estrus, silent heat,
hingga anaestrus. Kekurangan protein dapat menimbulkan birahi yang lemah,
birahi tenang, anaestrus, kawin berulang (repeat breeding), kematian embrio dini,
absorbsi embrio yang mati oleh dinding uterus, kelahiran anak yang lemah atau
kelahiran prematur. Selain pengaruh nutrisi, defisiensi dan ketidakseimbangan
mineral juga berpengaruh terhadap kawin berulang, aktivitas ovarium, dan
rendahnya efisiensi reproduksi.
Ternak sapi betina muda yang baru dewasa kelamin membutuhkan lebih
banyak pakan dan ia akan menderita lebih banyak stress jika dikawinkan pada
umur tersebut dibandingkan dengan hewan betina yang suda dewasa tubuh.
Apabila pertumbuhan tubuhnya tidak dipicu dengan pakan yang cukup.
Kemungkinan akan terjadi kesulitan melahirkan. Seringkali peternak hanya
memberikan pakan sapi dengan kualitas rendah seperti rumput lapang, jerami
padi. Optimalisasi kinerja sapi, sebaiknya sapi diberikan pakan dengan kualitas
yang baik. Pakan yang rendah kualitas gizinya yang diberikan kepada sapi hanya
akan memburuk penampilan yaitu: pertumbuhan berat badan yang lambat,
reproduksi yang jelek dan berakibat lambat kawin, bunting, dan jarak beranak
sangat jauh, kemungkinan hilangnya berahi setelah beranak, kematian pedet
dalam kandungan (Toelihere, 1977).
Gambar 1. Gangguan Nutrisi Sapi Dara
Sejak lama diketahui bahwa makromineral berhubungan erat dengan
kemampuan reproduksi ruminansia (Underwood and Suttle, 2001; Pradhan and
Nakagoshi, 2008; Sudhir et al., 2011). Kelebihan atau defisiensi mineral dapat
mengakibatkan kawin berulang pada sapi (Das et al., 2002; Kilic et al., 2007).
Kegagalan reproduksi dapat disebabkan oleh defisiensi satu atau beberapa macam
mineral dan ketidakseimbangan antara mineral satu dengan yang lain (Moellers
dan Riese, 1988; Gupta et al., 2005). Defisiensi, ketidakseimbangan dan toksisitas
mineral tertentu akan mengakibatkan gangguan reproduksi (Sharma et al., 2007).
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pakan mempunyai pengaruh
yang nyata terhadap pencapaian umur pubertas (Al-Shami 2007; Son et al., 2001;
Romano et al. 2005; Noguiera 2004; Agustina et al. 2001). Pakan tidak hanya
berhubungan dengan syarat pencapaian bobot badan saat pubertas tetapi juga
mempengaruhi produksi dan pelepasan hormon (Swain dan Harjit, 2001).
Menurut Darmono (2009) sapi yang hampir 100% pakannya berasal dari tanaman
pakan ternak atau rumput alam akan mengalami defisiensi mineral yang dapat
menurunkan reproduktivitas.
III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan kajian diatas dapat disimpulkan bahwa pakan memiliki peran
yang sangat penting dalam sistem reproduksi ternak ruminansia. Kualitas dan
kuantitas nutrisi pakan yang diberikan kepada ternak ruminansia dapat
memberikan efek terbaik di masa pubertas ternak. Kecukupan nutrisi pakan yang
diberikan kepada ternak akan menghasilkan performa dan mencapai pada masa
pertumbuhan serta reproduksi terbaik.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Shami SA. 2007. Effect of feeding hay supplemented with concentrates on


feedlot and reproductive performance of prepubertal Hassawi heifers. J
Anim Vet Adv. 6:26-28.
Amin, R. U. 2014. Nutrition: Its Role In Reproductive Functioning Of Cattle-A
Review. Veterinary Clinical Science, 2(1), 1-9.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 2001. Teknologi Usaha Penggemukan
Sapi Potong. BPTP Ungaran. Jawa Tengah.
Bearden, J. H. Dan J. W. Fuquay. 1997. Applied Animal Reproduction. Prentice-
Hall Inc. Simon & Schuster Asia PTE, Ltd. Fourth Edition. Singapore.
Darmono. 2009. Menyiasati Peran Suplemen Logam Dan Mineral Terhadap
Kesehatan Ternak Menuju Swasembada Daging. Orasi pengukuhan
profesor riset. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Feradis. 2010. Bioteknologi Reproduksi Pada Ternak. Bandung: Alfa beta.
Galina CS, Hom MM, Molina R. 2007. Reproductive Behaviour In Bulls Raised
Under Tropical And Subtropical Conditions. 11 th. Annual Meeting of the
Society for Behavioral Neuroendoe.
Getzewich KE. 2005. Hormonal Regulation Of The Onset Puberty In Purebred
and Crossbred Holstein And Jersey Heifers. Thesis. The Virginia
Polytechnic Institute and State University.
Herdis, M., Surachman., Kusuma, I., dan Suhana, E., 1999. Peningkatan Efisiensi
Reproduksi Sapi Melalui Penerapan Teknologi Penyerentakan Birahi.
Wartazoa. 9(1): 1-6.
Iskandar. 2007. Performan Reproduksi Sapi PO Pada Dataran Rendah Dan
Dataran Tinggi Di Provinsi Jambi. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan.
15(1).
Nogueira GP. 2004. Puberty in South American Bos indicus (Zebu) cattle. Anim
Reprod Sci. 82-83: 361-372.
Rawlings NC, Evans ACO, Honaramooz A, Bartlewski PM. 2003. Antral follicle
growth and endocrine changes in prepubertal cattle, sheep and goats. Anim
Reprod Sci. 78:259-270.
Rekwort P, Ogwu D, Oyedipe E, Sekoni V. 2000. Effects of bull exposure and
body growth on onset of puberty in Bunaji and Friesian Bunaji heifers.
Reprod Nutr Dev. 40:359-367.
Salibury GW, Vandermark NC, Djanuar R. 1985. Fisiologi Reproduksi dan
Inseminasi Buatan pada Sapi. Yogyakarta (Indonesia): Universitas Gadjah
Mada Press.
Santosa, Kholid; Warsito; dan Agus A. 2012. Bisnis Penggemukan Sapi. Agro
Media Pustaka. Jakarta Selatan.
Sargentini C, Bozzi R, Rivera PD, Giorgetti A, Martini A, Lupi P, Cazzola PL,
Beltempo S, Carelli T. 2007. Onset of puberty in Maremmana heifers. Ital
J Anim Sci. 6:385-394.
Sarnklong, C., Cone, J., W. Pellikaan., W. and W. H Hendriks. 2010. Utilization
of Rice Straw and Different Treatments to Improve Its Feed Value for
Ruminants: A Review. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 23(5) : 680-692.
Son CH, Kang HG, Kim SH. 2001. Application of progesterone measurement for
age and body weight at puberty, and postpartum anestrus in Korean Native
Cattle. J Vet Med Sci. 63(12):1287-1291.
Susilawati, T. 2002. Optimalisasi Inseminasi Buatan dengan Spermatozoa Beku
Hasil Sexing pada Sapi untuk Mendapatkan Anak Jenis Kelamin sesuai
Harapan. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi. Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya. Malang.
Swain RK, Harjit K. 2001. Plasma Progesterone Levels During Prepubertal Period
And Estrous Cycle In Crossbred Heifers Fed On Two Dietary Protein
Levels. J Nuclear Agric Biol. 31(2):99-103. Abstract.
Toelihere MR. 1995. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Bandung (Indonesia):
Penerbit Angkasa.
Toelihere, M.R. 1977. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Angkasa. Bandung.
Umiyasih, U dan Y. N. Anggraeny. 2007. Petunjuk Teknis Ransum
Seimbang,
Strategi Pakan Pada Sapi Potong. Laporan Penelitian Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian Dan Pengembangan
Pertanian: Depertemen Pertanian (Jakarta).
Utomo, S. 2003. Ilmu Reproduksi Ternak. Modul kuliah. Fakultas Pertanian
Universitas Wangsa Manggala. Yogyakarta.
Vandeplassche. 1982. Reproductive Efficiency In Cattle A Guideline For Project
In Developing Countries. Rome (Italy): Food and Agricultural
Organization.
Winugroho, M. 2002. Strategi Pemberian Pakan Tambahan Untuk Memperbaiki
Efisiensi Reproduksi Induk Sapi. Balai Penelitian Ternak. Jurnal Litbang
Pertanian, 21(1) : 19-23.

Anda mungkin juga menyukai