Anda di halaman 1dari 13

SISTEM INTEGRASI TERNAK DAN KELAPA SAWIT DENGAN

MEMANFAATKAN LIMBAH SEBAGAI PAKAN, PUPUK, DAN BIOGAS

RESUME

MATA KULIAH
INTEGRASI TERNAK DALAM EKOSISTEM

DISUSUN OLEH :
ADRINA MAULIDA PUTRI 217040010

DOSEN PENGAMPU :

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PETERNAKAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2022
SISTEM INTEGRASI TERNAK DAN KELAPA SAWIT DENGAN
MEMANFAATKAN LIMBAH SEBAGAI PAKAN, PUPUK, DAN BIOGAS

Integrasi sapi sawit merupakan usaha yang saling menguntungkan dengan


memanfaatkan limbah kebun, limbah hasil ikutan pengolahan buah kelapa sawit
dan dari limbah ternak sapi. Kebun kelapa sawit menyimpan bahan pakan berupa
hijauan yang dapat menambah ketersediaan bahan pakan bagi ternak. Hijauan
tersebut antara lain tanaman penutup tanah dan gulma. Beberapa jenis tanaman
legum yang juga merupakan tanaman pakan yang diintroduksi atau sengaja
ditanam dalam sistem perkebunan dengan istilah tanaman penutup tanah adalah
Collopogonium mucunoides, Centrocema pubescent, Pueraria javanica,
Psophocarpus palutris, Collopogonium caerulium, dan Mucuna cochinensis,
Mucuna bracteata (Mudhita et al., 2016).

Gambar 1. Jenis-jenis Hijauan di Perkebunan Kelapa Sawit

Tanaman penutup tanah seperti Puero merupakan tanaman jenis leguminosa


yang memiliki kandungan nutrien yang cukup tinggi sehingga dapat dimanfaatkan
sebagai pakan ternak sapi karena memiliki palatabilitas dan nilai kecernaan yang
lebih tinggi dibandingkan Kalopo dan Mukuna. Jenis hijauan di bawah tanaman
kebun kelapa sawit dipengaruhi berkisar 40-60% oleh jenis tanah kebun kelapa
sawit, persaingan dari gulma lain dan intensitas cahaya yang masuk di lahan
(Mudhita, 2017).
Gambar 2. Integrasi Kelapa Sawit dan Ternak Sapi

Berdasarkan kandungan nutrien hijauan kelapa sawit di perkebunan sawit


seperti di Perusahaan, Kelompok Tani, dan Kebun Rakyat memberikan nilai
kandungan nutrien yang berbeda-beda. Sehingga dapat dilihat bahwa perusahaan
sawit memiliki kandungan PK yang lebih tinggi dan kandungan serat yang juga
tidak terlalu tinggi. Limbah kebun kelapa sawit seperti pelepah dan daun dapat
digunakan untuk pakan hijauan. Limbah hasil olahan buah kelapa sawit seperti
bungkil dan lumpur (solid) dapat dijadikan sebagai pakan. Kotoran sapi
digunakan sebagai pupuk organik bagi kebun kelapa sawit. Limbah cair pabrik
kelapa sawit dapat digunakan sebagai pupuk dan biogas (Mudhita, 2017).

Gambar 3. Kandungan Nutrien Hijauan di Kelapa Sawit

Pelepah daun sawit merupakan salah satu limbah perkebunan kelapa sawit
yang dapat dijadikan pakan alternatif yang belum dimanfaatkan sebagai pakan
secara optimal dan ketersediannya yang melimpah. Daun kelapa sawit
menghasilkan hijauan segar yang dapat diberikan langsung ke ternak baik dalam
bentuk segar maupun dalam bentuk awetan seperti silase atau amoniasi. Proses
fermantasi menjadi alternatif utama dalam pengolahan pelepah daun kelapa sawit
agar dapat dimanfaatkan oleh ternak sebagai pakan hijauan.
Berikut skema proses pengolahan pelepah dan daun kelapa sawit :

Gambar 4. Proses Pengolahan Pelepah Daun Kelapa Sawit

Proses pengolahan dengan fermentasi terhadap pelepah daun kelapa sawit


mampu meningkatkan palatabilitas, nilai nutrien, dan masa simpan yang relatif
lama bahkan hingga bertahun-tahun tanpa mengalami penurunan nilai nutrisi.
Pelepah kelapa sawit yang diambil pasca panen untuk diolah sebagai pakan ternak
mengandung nilai gizi tinggi, pemberian pelepah dan daun sawit sebagai
substitusi hijauan pada pakan sapi potong sampai tingkat 60% mampu
meningkatkan bobot badan ternak sapi potong dibanding hanya diberi hijauan dan
lebih efisien dalam penggunaan pakan.

Gambar 5. Kandungan Nutrisi Daun Pelepah Kelapa Sawit

Lumpur sawit merupakan limbah yang dihasilkan dalam proses pemerasan


buah sawit untuk menghasilkan minyak sawit kasar atau crude palm oil (CPO).
Lumpur sawit dihasilkan dengan dua cara yaitu dengan "slurry separator" atau
dengan "decanter".

Gambar 6. Proses Pengolahan Lumpur Sawit


Sistem "decanter" akan menghasilkan lumpur sawit yang agak padat
(meskipun masih mengandung air yang tinggi, sekitar 70-80%) sedangkan lumpur
yang dihasilkan dengan "slurry separator" bentuknya encer sekali, sehingga
biasanya dialirkan dan ditampung di kolam pembuangan. Sifat fisik yang
demikian ini menimbulkan masalah dalam pengangkutan lumpur sawit.
Fermentasi dilakukan dengan menggunakan Aspergillus niger karena lebih mudah
tumbuh pada media lumpur sawit dan nilai gizi hasil fermentasi dianggap cukup
baik. Enzim yang dihasilkan selama proses fermentasi ini diharapkan dapat
memecah serat yang cukup tinggi di dalam lumpur sawit menjadi molekul
karbohidrat yang lebih sederhana, sehingga meningkatkan jumlah energi yang
dapat dimetabolisme oleh ternak.

Gambar 7. Kandungan Nutrien Lumpur Sawit Fermentasi


Bungkil Inti Sawit (BIS) merupakan salah satu hasil samping (by product)
pabrik pengolahan minyak sawit dan lebih banyak diekspor, belum banyak
dimanfaatkan untuk memperkuat industri pakan ternak dalam negeri. Hasil
penelitian Widiawati et al., (2009), penggunaan BIS sampai 30% dalam
konsentrat sapi perah dapat meningkatkan produksi susu sebesar 15%. Rata-rata
peternak sapi perah memberikan konsentrat sebanyak 7 kg/ekor/hari dengan
kandungan protein berkisar 8,94-13,5%.

Gambar 8. Proses Pengolahan Bungkil Inti Sawit

Hasil penelitian membuktikan bahwa proses fermentasi bungkil inti sawit


menyebabkan meningkatnya kandungan protein disebabkan karena adanya kerja
dari mikroba dan adanya penambahan protein yang terdapat didalam sel mikroba
itu sendiri. Proses fermentasi meningkatkan kadar protein, kecernaan bahan
kering, dan penurunan serat. Kandungan nutrien yang didapat meningkat selama
proses fermentasi pada bungkil inti sawit, sehingga sangat baik diberikan kepada
ternak sebagai pakan tambahan baik untuk ternak ruminansia maupun unggas.
Gambar 9. Kandungan Nutrisi BIS Fermentasi

Limbah cair pabrik kelapa sawit merupakan salah satu jenis limbah organik
agroindustri berupa air, minyak dan padatan organik yang berasal dari hasil
samping proses pengolahan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit untuk
menghasilkan crude palm oil (CPO). Proses pengolahan kelapa sawit menjadi
minyak kelapa Sawit (CPO) akan menghasilkan limbah cair dalam jumlah yang
cukup besar (Nasution, 2004). Limbah cair pabrik kelapa sawit berwarna
kecoklatan, terdiri dari padatan terlarut dan tersuspensi berupa koloid dan residu
minyak. Proses ektraksi minyak tidak menggunakan bahan kimia sehingga Palm
Oil Mill Effluent / POME / LCPKS tidak beracun namun dapat mencemari
lingkungan. POME bersifat asam (pH 3-4), kental, mengandung Chemical
Oxygen Deman (COD), dan Biological Oxygen Demand (BOD). Kandungan
Hara yang dimiliki POME dibutuhkan di lahan terdegradasi. Pengolahan POME
melalui 4 kolam yaitu kolam lemak (fat pit), kolam pendingin (cooling pond),
kolam anaerobik (anaerobik pond), dan kolam pematangan limbah (maturity
pond).
Gambar 10. Kandungan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit
Biogas merupakan gas yang dihasilkan dari limbah cair pabrik kelapa sawit
(POME) oleh mikroorganisme dalam kondisi anaerobik (Panji, 2013). Proses
perombakan asam asetat, karbon dioksida, dan gas hidrogen menggunakan bakteri
metan menghasilkan gas metana dan karbon dioksida. Produksi biogas akan
mengurangi efek GRC, pencemaran udara, dan hasil samping berupa pupuk padat
dan cair. Sistem Biodigester terdiri dari pengolahan awal, bio-digester, dan kolam
sedimentasi.

Gambar 11. Komposisi Biogas

Biogas yang dihasilkan melalui proses anaerobik terkumpul dibawah cover


(penutup) digester pada kolam tertutup atau bagian atap tangki pada sistem tangki
(CSTR). Sistem tangki memiliki kapasitas penyimpanan biogas hingga (30 menit-
3 jam) sedangkan kolam tertutup (1 hari-2 hari). Biogas terbentuk secara alami
ketika limbah cair kelapa sawit (POME) teruarai pada kondisi anaerob. Proses
pengolahan Biogas :
Gambar 12. Proses Pengolahan Biogas
Pembuatan Pupuk Organik merupakan pengolahan lanjut konversi POME
menjadi Biogas. Effluent dari fermentor biogas masih mengandung bakteri
pendegradasi metana dan karbondioksida yang merupakan salah satu bakteri
penambat nitrogen dibutuhkan aktivator yang dapat menambah mikroorganisme
didalam pupuk organik aktif. Proses pembuatan pupuk dilakukan menggunakan
larutan Effective Microorganisme 4 (EM-4).

Gambar 13. Kandungan Pupuk


Gambar 14. Proses Pengolahan Pupuk dari POME

Gambar 15. Alat Pembuatan Pupuk Cair Organik dari POME

Proses pembuatan pupuk organik secara skematik disajikankan pada gambar


tersebut terlihat jelas bahwa pembuatan pupuk organik merupakan pengolahan
lanjut konversi LCPKS menjadi biogas. Effluent yang digunakan sebagai bahan
baku pembuatan pupuk organik aktif sudah melewati proses degradasi anaerob di
tangki fermentor pengolahan biogas. Effluent dari fermentor biogas masih
mengandung bakteri pendegradasi metana dan pendegradasi karbondioksida, yang
ternyata merupakan salah satu bakteri penambat nitrogen.
Uji coba pupuk cair organik dilakukan terhadap tanaman jagung dimulai
dari penyiapan media, penanaman, pemeliharaan dan pemupukan, pemanenan,
pengambilan data tanaman. Setelah dilakukan pemupukan maka dilakukan
pengambilan data. Pengambilan data tanaman jagung diambil secara acak,
walaupun demikian pada kenyataannya bila dilihat secara visual, baik tanaman
maupun buah jagungnya terlihat memiliki ukuran yang seragam. Berdasarkan
tabel dilihat bahwa ukuran batang, daun, dan buah memiliki panjang dan diameter
yang cukup besar seperti buah jagung pada umumnya yang menggunakan pupuk
komersial, sehingga hal ini menunjukkan bahwa pupuk cair organik asal POME
memiliki pengaruh yang baik pada pertumbuhan tanaman jagung. Produk
pembuatan pupuk organik aktif memiliki kandungan unsur hara yang menyerupai
pupuk organik dan menunjukkan hasil yang bagus pada percobaan tanaman.

Anda mungkin juga menyukai