Anda di halaman 1dari 19

Dari Idealistik sampai Materialistik

https://prancis.fib.ui.ac.id/portfolio/dari-idealistik-sampai-dengan-materialistik/

“Pertarungan Manusia dan Hantu dalam Film Horor Indonesia Bertema Legenda Urban:
Hantu Jeruk Purut” dalam Djoko Marihandono (ed), 2012. Dari Idealistik sampai
Materialistik. FIB UI, Depok.

PERTARUNGAN MANUSIA DAN HANTU


DALAM FILM HOROR INDONESIA BERTEMA LEGENDA URBAN :
HANTU JERUK PURUT

Oleh
Suma Riella Rusdiarti

Pendahuluan

Sejak kesuksesan film Jelangkung pada tahun 2001, film Indonesia


kembali bangkit dan bergairah, khususnya film bergenre horor. Dapat dikatakan
bahwa film Indonesia saat ini didominasi oleh film horor, khususnya horor hantu.
Fenomena menarik yang layak dicatat dalam perkembangan film horor Indonesia
saat ini adalah munculnya film-film horor hantu bertemakan urban legend atau
legenda urban. Berikut ini kutipan berita di salah satu surat kabar pada saat film
Rumah Pondok Indah diluncurkan :
“Setelah Jelangkung lahir, genre horor berkembang dari legenda misteri
tradisional ke legenda urban (urban legend). Nah, kisah misteri sebuah
rumah di kawasan Pondok Indah ini tergolong legenda urban. … (Kompas,
25 Maret 2007)

Istilah legenda urban mulai memasuki wacana perfilman di Indonesia sejak


munculnya film-film horor baru ini. Legenda urban yang diangkat sebagian besar
berasal dari kota-kota besar, seperti Bandung, Semarang, Jakarta dan sekitarnya.
Beberapa film yang mengaku mengangkat legenda urban, diantaranya adalah
Rumah Pondok Indah, Hantu Bangku Kosong, Hantu Jeruk Purut, Terowongan
Casablanca, dan Suster Ngesot. Film-film berlabel “berdasarkan legenda urban”
Dari Idealistik sampai Materialistik

atau “berdasarkan kisah nyata” (label biasanya tercetak di poster-poster filmnya)


tersebut dapat dikatakan sukses secara komersial karena rata-rata mampu menarik
penonton lebih dari 500 ribu penonton (Kompas, 25 Maret 2007). Seorang
produser film horor yang produktif, Shanker dari Indika Entertainment, bahkan
menyatakan bahwa ia memiliki ambisi untuk mengangkat legenda-legenda urban
lainnya, khususnya yang bersifat horor, yang ada di Indonesia ini ke layar lebar
(Bintang Indonesia, 2007).
Tahun 2008 dan 2009 ini, film horor masih menjadi primadona dan tema
legenda urban masih muncul di beberapa film, seperti Lawang Sewu, Kesurupan,
Hantu Ambulance, Kereta Hantu Manggarai, Terowongan Rumah Sakit, Kereta
Setan Manggarai, dan Hantu Rumah Ampera. Kecenderungan itu bisa dipahami,
karena sebuah film yang mengambil “kisah nyata” atau mengadaptasi teks-teks
yang sudah beredar di tengah masyarakat memiliki keuntungan, yaitu telah
memiliki publik penonton bahkan sebelum film selesai diproduksi. Kedekatan
penonton dengan cerita-cerita legenda urban yang telah populer menjadikan
mereka sebagai publik potensial yang akan datang ke bioskop untuk sekadar
membuktikan, memuaskan rasa ingin tahu, mencocokkan imajinasi, dan berbagi
cerita yang sama dengan penonton lain di dalam gedung bioskop. Alasan inilah
yang tampaknya mendasari boomingnya adaptasi berbagai legenda urban dalam
film Indonesia kontemporer.
Hantu Jeruk Purut adalah salah satu film horor hantu Indonesia yang sukses
mengangkat tema legenda urban. Film ini adalah karya Koya Pagayo, seorang
sutradara spesialis film horor dan diproduksi oleh P.T. Indika Entertainment pada
tahun 2006.
Film Hantu Jeruk Purut bercerita tentang seorang novelis, Anna (Yulia)
yang ingin menyelesaikan tulisannya, mengungkap kisah di balik legenda urban
Hantu Jeruk Purut. Sementara itu, seorang pelajar SMU bernama Airin (Angie
Virgin) yang juga mempunyai hobi menulis sangat tertarik pada karya sang
novelis tersebut. Namun sebuah kejadian mengerikan yang melibatkan sosok
hantu tanpa kepala membuat Anna terbunuh di rumahnya. Sebelum meninggal ia
sempat menelpon dan memohon Airin untuk meneruskan tulisannya.
Dari Idealistik sampai Materialistik

Dipenuhi rasa penasaran mengenai tulisan Hantu Jeruk Purut dan amanat yang
diberikan kepadanya, Airin mengajak Nadine (Sheila Marcia) dan Valen (Samuel)
sahabatnya untuk ikut ke TPU jeruk Purut agar mendapatkan bahan untuk
menyelesaikan tulisan itu. Namun semenjak mengunjungi TPU Jeruk Purut, Airin
dan kedua temannya mulai dihantui mimpi-mimpi buruk dan diteror oleh hantu
tanpa kepala dan hantu perempuan bernama Laksmi.
Film Hantu Jeruk Purut menarik untuk dikaji. Di dalam film ini, tokoh-tokoh
manusia diteror oleh tokoh hantu karena tokoh manusia, dalam hal ini Airin dan
teman-temannya ingin mengungkap kisah di balik legenda hantu tanpa kepala,
yang tampaknya bertentangan dengan keinginan sang hantu. Ada pertarungan
kepentingan antara Airin dan hantu tanpa kepala. Pertarungan manusia dan hantu
dalam konteks legenda urban inilah yang akan dikaji dalam makalah ini dengan
pendekatan sosiologis dalam kerangka kajian film.

Pertarungan Manusia dan Hantu dalam Konteks Legenda Urban

Seorang ahli folklor Belanda, Reet Hїїmae dalam artikelnya yang berjudul
“Handling Collective Fear in Folklore” (1997:67) menyatakan bahwa manusia
dan hantu dapat bertemu dan berada di satu ruang yang sama dalam tiga
kemungkinan, pertama sosok hantu hadir dan masuk ke dunia manusia, seperti
sekolah, rumah sakit, rumah, dan sebagainya, termasuk mimpi manusia. Kedua,
manusia memasuki ruang-ruang yang menjadi wilayah atau dunia hantu, misalnya
tempat pemakaman, tempat angker, hutan rimba, puncak gunung, samudera dan
sebagainya yang menurut mitos merupakan tempat-tempat hantu atau roh
bersemayam. Ketiga, manusia dan hantu bertemu di tempat netral, misalnya jalan
raya, tempat terpencil atau tempat-tempat umum.
Ketiga kemungkinan tersebut masih memperlihatkan ruang tradisional
sebagai tempat hunian masing-masing, baik manusia maupun hantu. Padahal
dalam kenyataannya, ruang-ruang tersebut tidaklah mutlak, karena Hїїmae juga
melihat kemungkinan ruang-ruang tersebut berhimpitan atau kabur batas-
batasnya. Misalnya saja sebuah pohon tua dan besar di halaman rumah. Bisa saja
Dari Idealistik sampai Materialistik

manusia dan hantu tinggal di tempat yang sama, tetapi keduanya tidak bisa
bertemu karena berada di dua dunia yang berbeda yang dibatasi oleh dinding
supranatural. Manusia-manusia tertentu memiliki kemampuan untuk melihat
menembus dinding supranatural itu dan dapat berkomunikasi dengan hantu. Para
hantu sendiri ada yang mampu menampakkan dirinya di hadapan manusia dan
berkomunikasi, dengan berbagai tujuan. Tujuan atau latar belakang keinginan
berkomunikasi inilah, baik dari sisi manusia maupun dari para hantu, biasanya
menjadi faktor penting yang harus diketahui apabila ada keinginan untuk
mengembalikan situasi “normal”.
Pertemuan manusia dan hantu tidak akan mengakibatkan konflik yang
berarti apabila tidak terjadi pertentangan kepentingan. Konflik akan terjadi apabila
kehadiran manusia dianggap mengganggu kepentingan hantu dan sebaliknya
kehadiran sosok hantu mengganggu kepentingan manusia. Keduanya akan terlibat
dalam pertarungan untuk memenangkan kepentingannya masing-masing.
Sulit memang rasanya menerima pendapat bahwa sosok hantu yang erat
kaitannya dengan sosok yang tidak hidup lagi atau telah mati, masih memiliki
kepentingan, yang artinya masih memiliki kehendak. Kehendak tersebut bahkan
didukung dengan kekuatan “supranatural” yang sulit diterima logika manusia.
Colin Davis dalam bukunya Haunted Subjects. Deconstruction, Psychoanalisis
and The Return of the Death (2007:3) menyatakan bahwa hantu, sosok orang
mati yang hidup kembali, memiliki berbagai alasan untuk kembali lagi ke dunia
manusia. Ada kemungkinan mereka meninggal sebelum waktunya, mereka
kembali karena ada masalah belum selesai saat mereka masih hidup, adanya misi
tertentu yang bersifat “ilahi”, atau karena ada yang salah atau belum terpenuhi
dalam proses-proses simbolik pemakaman mereka sehingga roh mereka belum
bisa masuk dunia arwah. Dalam beberapa contoh cerita dan film, ada hantu-
hantu yang memang tidak ingin pergi dari dunia manusia. Mereka hidup dan
tinggal di antara dunia manusia dan dunia arwah karena beberapa alasan. Ada
yang tinggal untuk menjadi pelindung manusia, ada juga yang tinggal untuk
mengganggu manusia, bahkan ada yang cenderung jahat terhadap manusia.
Apabila pada dasarnya ketika menjadi manusia baik, maka akan menjadi hantu
Dari Idealistik sampai Materialistik

baik, demikian juga sebaliknya. Meskipun, sering pula dijumpai sosok-sosok


hantu yang pada awalnya baik, kemudian berubah jahat karena menerima
kejahatan manusia, sehingga mereka ingin membalas dendam.
Dalam konteks legenda urban, kisah-kisah yang menampilkan dinamika
hubungan manusia dan hantu ini banyak ditemukan. Legenda urban sendiri
adalah cerita-cerita rekaan dari dunia perkotaan yang dipercaya kebenarannya dan
menyebar dari mulut ke mulut atau melalui media cetak, elektronik dan internet.
(Harris, 2001: 1) Legenda urban biasanya melibatkan peristiwa-peristiwa yang
pernah terjadi pada waktu sebelumnya, seringkali memasukkan elemen humor
atau horor, yang menyebar dengan cepat dan dipercaya kebenarannya secara
populer. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Jan Harold Brunvand dalam
bukunya yang berjudul The Vanishing Hitchhiker: American Urban Legends and
Their Meanings (1981:8). Buku ini ingin menekankan dua hal penting, pertama
menegaskan bahwa istilah mitos, legenda dan folklor tidak selalu harus
berhubungan dengan masyarakat primitif atau tradisional. Kedua, Brunvand
menyatakan bahwa mempelajari dengan benar legenda urban dapat membantu kita
memahami masalah-masalah sosial dan budaya yang terjadi dalam satu
masyarakat.
Di Indonesia, istilah legenda urban baru muncul setelah dipopulerkan oleh
para pembuat film horor Indonesia kontemporer. Tidaklah mengherankan apabila
istilah legenda urban di Indonesia selalu dan hanya dikaitkan dengan kisah-kisah
horor atau menyeramkan, khususnya lagi cerita-cerita hantu yang berhubungan
dengan tempat-tempat angker. Di Jakarta saja misalnya, dapat ditemukan
tempat-tempat angker yang menjadi sumber cerita legenda urban, misalnya yang
paling terkenal adalah rumah angker di daerah Pondok Indah, rumah kentang di
jalan Prapanca, lintasan kereta Bintaro, kereta hantu Manggarai, hantu korban
kebakaran di Klender, hantu pemakaman umum Jeruk Purut, dan terowongan
Casablanca. Tidak hanya dalam film, cerita-cerita tentang hantu ini juga muncul
dalam berbagai bentuk, seperti cerita pendek, novel, film televisi, acara reality
show tentang hantu, serta majalah-majalah yang khusus membahas tentang dunia
supranatural dan mistik.
Dari Idealistik sampai Materialistik

Véronique Campion-Vincent (2001:105) menyatakan bahwa masyarakat


di setiap jaman memiliki ceritanya sendiri. Masyarakat hari ini memiliki ceritanya
sendiri yang berhubungan erat dengan keadaan, peristiwa, dan kekhasan
jamannya. Campion-Vincent juga menyatakan bahwa legenda-legenda urban atau
mitos masa kini pada umumnya merupakan sebuah mekanisme yang dipakai
masyarakat untuk menyembunyikan atau melupakan kecemasan, ketakutan,
fantasi, penolakan, dan keinginan membuat wacana baru yang tidak mendapat
tempat dalam wacana dominan yang muncul di permukaan. Artinya mekanisme
legenda urban memberi ruang pada wacana-wacana yang terepresi untuk muncul,
meskipun dalam bentuk cerita-cerita lisan . Sejalan dengan itu, Joel Best dan
Gerald T. Horiuchi (1985:8) dengan pendekatan sosiologis menyatakan bahwa
legenda urban dapat disejajarkan dengan histeria massa atau masalah sosial yang
belum terkonstruksi, masih belum memiliki bentuk. Penyebabnya diduga adalah
tekanan-tekanan sosial yang tidak mampu diselesaikan oleh individu maupun
institusi sosial yang ada. Campion-Vincent percaya bahwa pengkajian atas
legenda urban yang hidup dan menjadi bagian dari keseharian praktik budaya
masyarakat dapat mengantarkan kita pada pemahaman atas permasalahan sosial-
budaya yang melatarbelakangi kehadiran cerita-cerita tersebut.

Legenda Urban dan Hantu Pastor Tanpa Kepala: Analisis Sekuen Prolog

Film Hantu Jeruk Purut berdurasi kurang lebih 95 menit. Menit-menit


awal sebuah film yang mengangkat legenda urban biasanya dipakai untuk
memperkenalkan kisah atau hantu tertentu yang berkaitan erat dengan legenda
urbannya. Menit-menit awal ini disebut sebagai sekuen prolog. Penggunaan
sekuen prolog ini menurut Koven (Koven. 2002: 112) adalah salah satu strategi
naratif yang jamak dipakai pada film-film yang menggunakan legenda urban
sebagai dasar ceritanya. Legenda urban yang dipilih biasanya ditampilkan pada
sekuen prolog dengan durasi antara 5 sampai 15 menit sebelum sekuen pembuka
atau opening. Berikut ini adalah analisis sekuen prolog film Hantu Jeruk Purut
Dari Idealistik sampai Materialistik

untuk memperlihatkan bagaimana legenda urban dan sosok hantu yang muncul
dalam film ditampilkan.
Film Hantu Jeruk Purut memiliki prolog film sepanjang 12 menit yang
terbagi dalam dua sekuen. Prolog sebuah film adalah sekuen-sekuen yang
ditampilkan sebelum sekuen pembuka atau opening yang biasanya menyertakan
judul film, nama-nama pemain, sutradara, produser, dan pekerja film yang lain.
Sekuen pertama memperlihatkan adegan “klasik” yang selama ini beredar
dari mulut ke mulut tentang hantu pastor kepala buntung yang menghuni TPU
Jeruk Purut sedang meminta api kepada penjaga malam.

Gambar 1 Gambar 2

Sekuen ini dimulai dengan gambar long shot low angle sebuah papan
nama pemakaman: TPU Jeruk Purut (gambar 1). Kamera kemudian medium shot
ke arah pagar makam dan bergerak panning mengikuti langkah seorang penjaga
malam, kemudian close shot ketika penjaga malam duduk, menyalakan rokok, dan
menyalakan radio. Terdengar musik dan lagu “Mbah Dukun” yang menambah
suasana penuh mistis. Kamera kembali mengambil long shot penjaga malam,
kemudian zoom in penjaga yang terganggu karena radio rusak. Close shot
penjaga yang mencoba memperbaiki radio. Sesaat kemudian terdengar suara
seseorang meminjam korek, tampak sebagian jubah hitam dan tangannya. Kamera
kemudian close up wajah penjaga, tampak ekspresi ketakutan, kamera close up
potongan kepala dan tangan penjaga yang gemetar, kemudian kamera tilt up dari
kepala yang dijinjing ke tubuh berjubah, zoom out penjaga yang terperangah,
Dari Idealistik sampai Materialistik

siluet hantu kepala buntung berjubah, dan siluet TPU. Siluet tersebut dihasilkan
karena cahaya sebagian besar back light (gambar 2). Signifikasi sekuen ini adalah
sebuah sekuen pengantar yang membawa penonton pada legenda urban yang
dipilih dari sekian banyak versi yang ada, yaitu cerita penjaga malam dan hantu
yang meminjam korek api. Hantu yang dipilih adalah Hantu Pastor berkepala
buntung.
Sekuen kedua langsung membawa penonton masuk ke dalam suasana
yang khas dari dunia remaja perkotaan di tengah diskotik, musik berdentam,
gerakan-gerakan dinamis, spontan, jauh berbeda dari suasana kuburan
sebelumnya (gambar 3).

Gambar 3 Gambar 4

Kamera dinamis berganti-ganti antara close shot, close up shot, medium


shot, dan extreme close up, low angle, normal angle, high angle menggambarkan
riuh rendah suasana lantai dansa (gambar 3). Kamera medium long shot low angle
dan medium shot normal angle ke arah meja dan empat orang remaja yang
bertukar cerita. Cahaya temaram suasana diskotik, diselingi lampu sorot yang
beberapa kali mengenai wajah keempat remaja.
Percakapan empat remaja di dalam diskotik tersebut mengantarkan mereka
pada keinginan uji nyali dengan pergi ke TPU Jeruk Purut untuk membuktikan
legenda urban hantu tanpa kepala. Tetapi hanya tiga orang yang kemudian
berangkat yang dengan segera menuju lokasi. Gambar kemudian secara cepat
Dari Idealistik sampai Materialistik

beralih pada visualisasi jalan-jalan di Jakarta di waktu malam dengan kilatan


lampu-lampu mobil yang bergerak cepat (gambar 4). Gambar yang bergerak cepat
ini, sekitar 23 detik, menjadi semacam transisi antara lingkungan urban yang
dinamis dan hidup dengan lingkungan tanah pekuburan yang sunyi mencekam dan
dekat dengan dunia kematian.
Ketiga remaja ini ingin mencoba membuktikan mitos yang mengatakan
bahwa untuk bertemu hantu Pastor berkepala buntung itu harus memutari
makamnya tujuh kali. Mereka tiba di pemakaman dan melakukannya, meskipun
sempat ragu dan dipenuhi oleh rasa takut. Selanjutnya nasib mengerikan
menunggu mereka. Mereka tidak sempat bertemu dengan hantu tanpa kepala yang
mereka cari, tetapi ketiga remaja tersebut tewas mengenaskan diserang “sesuatu”
yang tak tampak. Kamera dinamis, close shot, close up shot, extreme close up
shot, low angle, high angle, editing tempo cepat berganti-ganti dari satu remaja ke
remaja yang lain ketika mereka menghadapi serangan “kekuatan” yang tak kasat
mata. Kemudian close up masing-masing korban sesaat setelah mereka tewas lalu
langsung sekejap long shot sosok hantu berjubah membawa kepalanya dan seekor
anjing di dekatnya. Selanjutnya penonton melihat nama-nama yang terlibat dalam
pembuatan film yang menandakan selesainya sekuen prolog.
Kembali mengulang pernyataan Koven bahwa penggunaan sekuen prolog
ini menurut adalah salah satu strategi naratif yang jamak dipakai pada film-film
yang menggunakan legenda urban sebagai dasar ceritanya (Koven. 2002: 112).
Legenda urban bisa ditampilkan dengan cara ostensif, yaitu diperlihatkan saja
pada penonton atau secara verbal (diceritakan saja kepada penonton oleh salah
satu tokoh atau narator), dan bisa juga secara verbal-ostensif yang menggunakan
keduanya. Strategi yang sama juga digunakan dalam beberapa film Indonesia
yang mengangkat tema legenda urban. Jelangkung menampilkan legenda yang
melatarbelakangi cerita-cerita menyeramkan di sekitar desa Angker Batu secara
ostensif-verbal melalui kisah seorang narator yang divisualisasikan dengan
gambar-gambar hitam putih yang menegaskan sebuah kisah di masa lalu.
Sedangkan film Kereta Hantu Manggarai, adegan prolognya secara ostensif
memperlihatkan pada penonton adegan seseorang yang terjebak di dalam sebuah
Dari Idealistik sampai Materialistik

gerbong kereta hantu yang dipenuhi mahluk-mahluk seram, khususnya hantu


perempuan berbaju putih.
Pada film Hantu Jeruk Purut ini, legenda urban, khususnya hantu pastor
tanpa kepala diperkenalkan kepada penonton dengan dua cara, yaitu secara
ostensif dalam sekuen pertama dan secara verbal-ostensif dalam sekuen kedua.
Sekuen prolog ini memang tidak secara langsung berhubungan dengan alur cerita
utama Anna dan Airin, namun sangat penting untuk mempersiapkan penonton
pada sebuah legenda urban yang berpotensi menghasilkan tragedi dan yang lebih
penting adalah memperkenalkan penonton pada sosok hantu yang akan ditemui di
sepanjang film tersebut. Sekuen kedua bahkan dengan tegas memperlihatkan versi
jahat hantu jeruk purut yang sekaligus memberi informasi pada penonton bahwa
akan terjadi kekejaman, adegan sadis dan banyak korban ketika manusia mencoba
memecahkan misteri hantu tanpa kepala di TPU Jeruk Purut (gambar 5).

Gambar 5

Tokoh Airin dan teman-temannya (gambar 6) baru muncul pada


menit ke-22 saat ia berkenalan dan menyatakan kekagumannya pada karya-karya
Anna, seorang penulis cerita misteri. Airin (gambar 7) digambarkan sebagai siswi
SMU, cantik, lincah, memiliki rasa ingin tahu yang besar, keras hati, gemar
membaca novel misteri dan sedang mencoba menulis novel juga. Anna adalah
penulis favoritnya. Sejak kematian Anna, Airin merasa berkewajiban untuk
meneruskan tulisan tentang Hantu Jeruk Purut seperti yang dipesankan Anna
padanya.
Dari Idealistik sampai Materialistik

Gambar 6 Gambar 7

Pertarungan Manusia dan Hantu dalam Film Hantu Jeruk Purut

Keterlibatan tokoh Airin dengan hantu Pastor tanpa kepala terjadi melalui
tokoh Anna sang penulis yang ingin mengungkap kebenaran cerita di balik kisah
hantu Pastor di TPU Jeruk Purut. Anna secara sengaja mendatangi TPU Jeruk
Purut pada malam hari untuk membuat dokumentasi suasana TPU yang beberapa
saat sebelumnya memakan korban empat remaja. Kedatangan Anna ini
merupakan bentuk kesengajaannya memasuki “ruang” kuburan yang menjadi
wilayah jamak bagi para hantu. Kedatangannya tidak sekadar ingin mendapatkan
gambar TPU Jeruk Purut, tetapi juga membawa sebuah kepentingan. Pada adegan
selanjutnya diketahui bahwa kepentingan Anna ini mengganggu kepentingan sang
hantu yang tidak ingin dibongkar identitasnya. Ketika Anna tewas, maka
perannya diantikan oleh Airin. Airinpun bersama kedua temannya dengan sengaja
memasuki TPU Jeruk Purut. Hal ini semakin menambah kemarahan hantu pastor
tanpa kepala. Di sinilah berawal pertarungan manusia dan hantu dalam film ini.
Keseluruhan cerita film ini dibangun dalam alur cerita tunggal yang
berpusat pada usaha Airin untuk memenuhi janjinya pada Anna meskipun terus
mendapat teror dari hantu tanpa kepala dan hantu Laksmi yang muncul
kemudian. Berikut ini adalah bagan posisi para tokoh yang menjelaskan hubungan
kepentingan masing-masing tokoh berdasarkan alur cerita.
Dari Idealistik sampai Materialistik

Bagan 1

(Pengirim) (Penerima)
Anna Airin

(Objek)
Cerita Hantu Jeruk Purut

Hantu Pastor tanpa kepala


(Anti Subjek)
(Subjek)
Airin

(Penentang)
Hantu Laksmi (Pendukung)
Chess, Valen, Nadine

Bagan 2

(Pengirim) (Penerima)
Kehendak Manusia Wacana Baru Cerita HJP

(Objek)
Identitas Sebenarnya
Hantu Jeruk Purut

Hantu
(Anti Subjek)
(Subjek)
Manusia

(Penentang) (Pendukung)
Hantu Laksmi Manusia
Dari Idealistik sampai Materialistik

Bagan 1dan 2 memperlihatkan adanya pertarungan “kehendak” dan


“kepentingan” antara Airin dan tokoh-tokoh hantu, khususnya hantu pastor tanpa
kepala. Tampaknya di dalam film “Hantu Jeruk Purut” ini, konflik manusia dan
hantu tidak hanya karena manusia memasuki wilayah hantu atau karena ada hantu
yang “nyasar” di wilayah manusia. Tokoh-tokoh hantu dalam film ini muncul
karena mereka masih memiliki “kehendak”. Kehendak inilah yang mendorong,
baik hantu tanpa kepala atau hantu Laksmi untuk pergi keluar jauh dari wilayah
“aslinya”, yaitu TPU Jeruk Purut ke tempat-tempat para manusia yang akan
mereka hadapi.
Ada perbedaan mendasar antara hantu Laksmi dengan hantu pastor tanpa
kepala dalam kaitannya dengan kehendak mereka menghalangi usaha Airin
mengungkap kisah di balik hantu Jeruk Purut. Hantu kepala buntung bersifat
jahat dan tidak ragu-ragu membunuh manusia yang dianggap mengganggu atau
melawan kepentingannya. Sedangkan sosok hantu Laksmi, meskipun muncul
menakut-nakuti manusia, tetapi sebenarnya tujuannya baik. Ia tidak ingin manusia
itu menjadi korban kejahatan hantu kepala buntung. Hal ini sejalan dengan
pendapat Colin Davis (2007:52), bahwa biasanya kebaikan dan kejahatan yang
menyertai satu sosok hantu, sejalan dengan kebaikan dan kejahatan yang
dimilikinya saat mereka masih hidup.
Pertarungan Airin dan Hantu Pastor tanpa kepala ini sebenarnya adalah
pertarungan antara manusia dan hantu dalam memperebutkan sebuah cerita (bagan
2). Airin menggugat keberadaan cerita lama yang dipertahankan oleh sosok
hantu, yang tampaknya menyembunyikan fakta lain yang sama sekali berbeda.
Puncak pertarungan antara Airin dan hantu tanpa kepala terjadi di sebuah
rumah sakit tua. Airin berada di situ bersama Nadine dan Chess untuk menengok
Valen yang menjadi korban kejahatan hantu tanpa kepala. Hantu tanpa kepala
mengikuti mereka hingga ke rumah sakit tersebut dan dengan sangat kejam
menghabisi nyawa Valen di depan teman-temannya. Nadine yang histeris
Dari Idealistik sampai Materialistik

kemudian dirasuki oleh hantu tanpa kepala dan segera memburu Airin. Keduanya
terlibat dalam perkelahian berdarah. Sekuen pertarungan keduanya terjadi pada
menit ke-77 di sebuah kamar mayat. Cahaya menyorot sebagai backlight dari
sebuah pintu yang terletak di kiri gambar, sehingga Nadine dan Airin hanya
tampak sebagai siluet-siluet yang bertarung sangat keras layaknya pertarungan
hidup dan mati. Suara-suara yang terdengar sepanjang pertarungan itu adalah
suara jeritan keduanya ditambah dengan suara benturan benda-benda keras yang
berjatuhan. Kedua bola mata Nadine yang kerasukan hantu tanpa kepala
menghitam dan ia juga menjadi sangat kuat karena pengaruh kekuatan
supranatural (gambar 8).

Gambar 8

Pada puncak pertarungan, kamera berpindah-pindah dengan tempo cepat


antara close up wajah Nadine, Airin, dan wajah hantu Laksmi, sehingga
ketegangan terasa memuncak. Saat detik yang menentukan, sesaat sebelum
Nadine tewas tertusuk gunting yang sebelumnya dipakai untuk menyerang Airin,
tampaknya Airin mendapatkan bantuan kekuatan dari hantu Laksmi sehingga ia
mampu menahan kekuatan Nadine yang dibantu hantu tanpa kepala. Jadi perang
terakhir terjadi antara hantu tanpa kepala dan hantu Laksmi. Keduanya
menggunakan tubuh manusia, yaitu tubuh Nadine dan tubuh Airin sebagai media
perantara. Sekuen ini diakhiri dengan kematian Nadine yang diiringi dengan
tangisan Airin dan Chess yang datang menolongnya. Namun, ketegangan belum
usai. Detik berikutnya saat jenazah Nadine dibawa oleh para perawat dengan
menggunakan kereta dorong, tiba-tiba roda kereta macet. Kamera kemudian
Dari Idealistik sampai Materialistik

menyorot mata Nadine secara extreme close-up shot yang tiba-tiba terbuka dan
kemudian lensa kamera bergerak menjauh dengan zoom out memperlihatkan
tubuh Nadine yang melayang di udara. Jeritan-jeritan para perawat, airin, dan
Chess menjadi suara yang dominan dalam sekuen ini. Jeritan-jeritan tersebut
memuncak sedemikian keras ketika tubuh Nadine berputar-putar di udara dan
sesaat kemudian kamera zoom in wajah Nadine yang berubah menyeramkan. Lalu
layar menjadi gelap dan sunyi selama 5 detik. Cukup lama untuk membuat
penonton menduga-duga adegan apa yang kemudian akan menyusul. Transisi
dalam bentuk gambar hitam dan sunyi selama lima detik ini menjadi semacam
penanda akhir pertarungan Airin dan hantu tanpa kepala.
Sekuen terakhir sebelum epilog adalah sekuen yang menjadi momentum
kemenangan Airin. Diawali dengan gambar layar laptop yang sedang diketik oleh
Airin (gambar 10). Tulisan yang muncul bersamaan dengan voice-off seorang
perempuan menyatakan bahwa “ Pada akhirnya inilah cerita sesungguhnya....saya
ingin meluruskan kesalahpahaman ini. Kesaksian ini saya sampaikan sebagai
kebenaran......”

Gambar 10 Gambar 11

Selanjutnya voice-off yang mengaku diri sebagai Laksmi ini membawa kita
pada gambar-gambar berwarna hitam putih yang merupakan visualisasi kisah di
balik misteri hantu Jeruk Purut yang selama ini disembunyikan kebenarannya
(gambar 11).
Dari Idealistik sampai Materialistik

Pengakuan hantu Laksmi:

Dahulu kala hidup seorang Pastor Belanda yang baik. Ia memiliki seorang
pelayan, perempuan setempat bernama Laksmi. Suatu hari, sepulang dari rumah
Pastor, Laksmi diserang seorang laki-laki yang mencoba memperkosanya. Pastor
mencoba menolong, tetapi tewas tertebas parang si lelaki. Laksmi pun tewas
terbunuh setelah diperkosa. Penduduk sekitar yang telah menemukan korban
mencari tersangka dan menangkap lelaki itu di rumah Pastor, sedang mencoba
mengenakan kostum Pastor. Penduduk marah dan mengeroyok lelaki itu sampai
lehernya putus. Hantu Lelaki berbaju Pastor itulah yang kini bergentayangan di
TPU Jeruk Purut.

Versi baru cerita hantu Jeruk Purut ini membuka wacana baru yang sama
sekali berbeda dengan wacana sebelumnya. Apabila legenda urban sebelumnya
menjadikan sosok Pastor sebagai hantu tanpa kepala yang jahat, maka pada
legenda urban versi baru ini sang Pastor adalah seorang pria baik yang menjadi
korban laki-laki jahat yang kemudian menjadi hantu tanpa kepala.
Perubahan identitas hantu Jeruk Purut ini sangat menarik karena melibatkan
sosok Pastor sebagai tokoh agama. Pada konvensi film horor Amerika menurut
Will Wright, dalam tulisannya yang berjudul Understanding Genres: The Horror
Films1, disebutkan bahwa tokoh agama dalam hal ini Pastor atau Pendeta sering
dimunculkan dalam film horor sebagai tokoh yang menyelesaikan masalah. Pastor
atau pendeta akan membukakan jalan pengampunan atau mengembalikan hantu-
hantu ke dunia mereka. Di dalam film Hantu Jeruk Purut, sosok Pastor
dimunculkan pada awalnya sebagai sosok hantu jahat yang tidak hadir untuk
menyelesaikan masalah, tetapi justru merupakan sumber masalah utama film.
Versi lama kisah hantu jeruk purut menempatkan sosok Pastor sebagai
hantu jahat yang bergentanyangan di TPU Jeruk Purut yang secara tradisional
dikenal sebagai tempat pemakaman kaum muslim. Hal ini tentu saja merupakan
pencitraan yang buruk bagi sosok agamawan Katolik ini. Bagi kaumnya, Pastor
adalah sosok yang “separuh” suci, mewakili tahta kerajaan Tuhan di muka bumi

1
Will Wrigth, Undestanding Genres: The Horror Films, www.The People’s Media
Company.com. Diakses pada tanggal 11 Maret 2007. Pukul 15.00.
Dari Idealistik sampai Materialistik

ini. Bagi penganut agama lain, mungkin keberadaan hantu berjubah Pastor ini
tidak jauh berbeda dengan hantu-hantu yang lain. Sebaliknya bagi penganut
Katolik yang menempatkan Pastor sebagai “imam” mereka, yang akan
membimbing mereka menuju jalan surga, bahkan dapat mengampuni dosa-dosa
mereka, penggambaran Pastor sebagai hantu yang jahat pasti sangat mengganggu
kepercayaan mereka. Film Hantu Jeruk Purut dengan demikian tampaknya
berusaha merehabilitasi citra Pastor yang sebelumnya buruk dan jahat menjadi
sosok Pastor yang “normal”, baik, dan berani membela kepentingan umatnya.
Pengungkapan identitas “sebenarnya” sang hantu berbaju pastor sebagai penjahat
keji yang tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya, mengembalikan sang
Pastor dalam identitasnya yang “semestinya” sebagai tokoh agama dalam
masyarakat.
Munculnya versi baru legenda urban hantu jeruk purut ini memperlihatkan
bahwa film tidak sekadar menjadi alat reproduksi cerita populer, tetapi film dapat
juga menjadi alat produksi cerita baru yang selanjutnya akan dapat menjadi
“realitas” baru yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat.
Dalam kaitannya dengan legenda urban, sebuah website atau laman tentang
legenda urban www.snopes.com3, menyatakan bahwa legenda urban tentang
cerita horor selalu lebih menarik perhatian karena berhubungan erat dengan
ketakutan-ketakutan yang sehari-hari harus dihadapi oleh masyarakat perkotaan
yang sudah sedemikian kompleks sulit muncul ke permukaan. Penyebabnya
diduga adalah tekanan-tekanan sosial yang tidak mampu diselesaikan oleh
individu maupun institusi sosial yang ada. Dalam kasus legenda “Hantu Jeruk
Purut”, ketakutan atau kecemasan apa yang sulit dimunculkan?

2
Laman www.snopes.com memiliki semacam tim investigasi yang bertugas melacak legenda-legenda urban
yang beredar di tengah masyarakat untuk mengetahui “tingkat kebenaran” cerita-cerita tersebut. Tidak
mengherankan apabila laman ini kerap kali menjadi rujukan bagi beberapa institusi pemberitaan ternama,
seperti CNN, ABC News, FOX News. Ahli folklor Jan Harold Brunvand sendiri menyebutkan dalam laman
resminya, bahwa www.snopes.com adalah laman legenda urban yang paling dapat dipercaya dan menjadi
rujukan bagi sebagian karya-karya ilmiahnya tentang legenda urban.
Dari Idealistik sampai Materialistik

Legenda urban hantu Jeruk Purut adalah salah satu cerita kecil yang ada di
Jakarta. Melalui analisis pertarungan manusia dan hantu dalam film ini, kita
melihat ada pertarungan dua wacana yang muncul. Wacana pertama diwakili oleh
tokoh hantu Pastor tanpa kepala yang ingin mempertahankan “cerita lama” dan
wacana kedua diwakili oleh sosok Airin yang ingin mengungkap “cerita baru”
yang selama ini ditutupi. Tokoh hantu pastor mewakili ketakutan pihak-pihak
yang tak ingin mengungkap kebenaran cerita yang sudah terkubur lama.
Sedangkan Airin mewakili kecemasan kelompok masyarakat yang selalu diteror,
diintimidasi, dihalang-halangi oleh kekuasaan ketika ingin mengungkapkan kisah
di balik sebuah cerita yang dianggap sudah selesai.

Penutup
Legenda urban tak dapat dipisahkan dari lingkungan sosial urban. Ia
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat perkotaan akan cerita dan
bercerita. Sebagai bagian dari masyarakat perkotaan, legenda urban hadir dalam
berbagai bentuk ekspresi budaya populer, seperti musik, film, televisi, dan
tersebar melalui koran, majalah atau internet. Film, baik film televisi maupun film
layar lebar banyak mengangkat legenda urban sebagai bagian dari alur kisahnya.
Selanjutnya, bagian-bagian cerita dalam film berkembang menjadi satu versi
legenda urban baru yang hidup dan tersebar di lingkungan sosial masyarakat
urban.
Dalam film Hantu Jeruk Purut ini kita melihat pertarungan Airin sebagai
penulis yang ingin mengungkap kisah di balik cerita hantu Pastor tanpa kepala
harus berhadapan dengan sang hantu tanpa kepala yang tetap ingin
mempertahankan cerita lama. Pertarungan antara manusia dan hantu dalam
memperebutkan tempat bagi sebuah cerita. Sebuah kota seperti Jakarta memiliki
banyak cerita yang tak termunculkan karena tergilas oleh cerita lain yang lebih
dominan. Tergilasnya cerita-cerita kecil itu bisa saja karena cerita tersebut
memang berskala kecil dan tidak penting. Bisa juga tergilasnya sebuah cerita
terjadi karena adanya kesengajaan “rezim wacana” tertentu yang ingin menutupi
Dari Idealistik sampai Materialistik

cerita tersebut karena dianggap membahayakan cerita lain yang selama ini
dianggap benar.
Film ini memperlihatkan pada kita bahwa di balik sebuah cerita ada
kepentingan yang berperan. Kepentingan ini berhubungan dengan pemaknaan
sebuah cerita yang selalu berubah. Pemaknaan cerita baru selalu akan
menggantikan pemaknaan cerita lama. Hanya saja untuk dapat menggantikan
pemaknaan cerita yang sudah mapan dan dominan sebuah pemaknaan baru harus
siap bertarung.

-0-

Daftar Referensi

Brunvand, Jan Harold. 1981. The Vanishing Hitchhiker: American Urban Legends
and Their Meanings. New York. Norton.
Brunvand, Jan Harold. 1984. The Choking Doberman and Other “New” Urban
Legends. New York. W.W. Norton & Company.
Brunvand, Jan Harold. 1992. “Response to Heda Jason on Urban Legend Studies”
dalam Folklore, Vol. 102, No. 1, hal. 106-107. Taylor & Francis, Ltd.
untuk Folklore Enterprises, Ltd. (http://www.jstor.org/stable/1260363)
diunduh 19 Januari 2009.
Campion-Vincent, Veronique dan j.B. Renard. 2001. Légendes Urbaines.
Rumeurs d’aujourd’hui. Paris, Petite Bibliothèque Payot.
Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia. Ilmu Gosip, dongeng, dan lain-lain.
Jakarta, P.T. Utama Grafiti.
Harris, Tom. 2001. "How Urban Legends Work." dalam HowStuffWorks.com.
(http://people.howstuffworks.com/urban-legend.htm ) diunduh 16 Januari
2009.
Hїїemae, Reet. 1997. “Handling Collective Fear in Folklore” dalam
http://www.folklore.ee/folklore/vol26/hїїemae/pdf diunduh 26 April 2008
Koven, J.Mikel. 2008. Films, Folklores, and Urban Legends, Maryland:
Scarecrow Press, Inc.

Anda mungkin juga menyukai