Anda di halaman 1dari 105

BAHAN AJAR FIQIH

Kelas x
I. Materi Pembelajaran
A. Ibadah Kurban
1. Pengertian Kurban
Kurban adalah menyembelih hewan dengan niat beribadah untuk
mendekatkan diri kepada Allah Swt. dengan syarat-syarat dan waktu
tertentu.
2. Hukum Kurban
Sebagian ulama berpendapat bahwa berkurban itu hukumnya wajib,
sedangkan Jumhur Ulama (sebagian besar ulama) berpendapat hukum
berkurban adalah sunat muakkad.
3. Waktu dan Tempat Menyembelih Kurban
Waktu yang ditetapkan untuk menyembelih kurban yaitu sejak selesai
shalat Idul Adha (10 Dzulhijjah) sampai terbenam matahari tanggal
13 Dzulhijjah.
4. Ketentuan Hewan kurban
Hewan yang dapat dipergunakan untuk kurban adalah unta, sapi,
kerbau dan kambing atau domba. Adapun hewan-hewan tersebut
dapat dijadikan hewan kurban dengan syarat telah cukup umur dan
tidak cacat, misalnya pincang, sangat kurus, atau sakit.Seekor
kambing atau domba hanya untuk kurban satu orang, sedangkan
seekor unta, sapi atau kerbau masing-masing untuk tujuh orang.
5. Pemanfaatan Daging Kurban
Daging kurban sebaiknya dibagikan kepada fakir miskin berupa daging
mentah segar, dengan ketentuan sebagai berikut:
1) 1/3 untuk yang berkurban dan keluarganya
2) 1/3 untuk fakir miskin
3) 1/3 untuk hadiah kepada masyarakat sekitar atau disimpan agar
sewaktu-waktu bisa dimanfaatkan
6. Sunat dalam Menyembelih
Pada waktu menyembelih hewan kurban, disunatkan:
a. Melaksanakan sunah-sunah yang berlaku pada penyembelihan
biasa, seperti: membaca basmallah, membaca shalawat,
menghadapkan hewan ke arah qiblat, menggulingkan hewan ke
arah rusuk kirinya, memotong pada pangkal leher, serta
memotong urat kiri dan kanan leher hewan.
b. Membaca takbir ( )
c. Membaca doa sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah saw.
d. Orang yang berkurban menyembelih sendiri hewan kurbannya.
Jika ia mewakilkan kepada orang lain, ia disunatkan hadir ketika
penyembelihan berlangsung.

B. Akikah
1. Pengertian Akikah
Akikah adalah binatang yang disembelih pada saat hari ketujuh atau
kelipatan tujuh dari kelahiran bayi disertai mencukur rambut dan
member nama pada anak yang baru dilahirkan.
2. Hukum Akikah
Akikah hukumnya sunat bagi orang tua atau orang yang mempunyai
kewajiban menanggung nafkah hidup si anak.
3. Syariat Akikah
Disyariatkan Akikah lebih merupakan perwujudan dari rasa syukur
akan kehadiran seorang anak. Sejauh ini dapat ditelusuri, bahwa yang
pertama dilaksanakan Akikah adalah dua orang saudara kembar, cucu
Nabi Muhammad saw. dari perkawinan Fatimah dengan Ali bin Abi
Thalib, yang bernama Hasan dan Husein.
4. Jenis dan Syarat Hewan Akikah
Akikah untuk anak laki-laki dua ekor dan untuk anak perempuan
seekor. Adapun binatang yang dipotong untuk Akikah, syarat-
syaratnya sama seperti binatang yang dipotong untuk kurban. Kalau
pada daging kurban disunatkan menyedekahkan sebelum dimasak,
sedangkan
daging Akikah sesudah dimasak.
5. Waktu Menyembelih Akikah
Penyembelihan Akikah dilakukan pada hari ketujuh dari kelahiran
anak. Jika hari ketujuh telah berlalu, maka hendaklah menyembelih
pada hari keempat belas. Jika hari keempat belas telah berlalu, maka
hendaklah pada hari kedua puluh satu.

I. Materi Pembelajaran
A. Kepemilikan
Kepemikian adalah suatu harta atau barang yang secara hukum dapat
dimiliki oleh seseorang untuk dimanfaatkan dan dibenarkan untuk
dipindahkan penguasaannya kepada orang lain. Menjaga dan
mempertahankan hak milik hukumnya wajib.
Sebab-sebab Kepemilikan
a. Barang atau harta itu belum ada pemiliknya secara sah (Ihrajul
Mubahat).
b. Barang atau harta itu dimiliki karena melalui akad (bil Uqud),
c. Barang atau harta itu dimiliki karena warisan (bil Khalafiyah)
d. Harta atau barang yang didapat dari perkembangbiakan (minal
mamluk).
Macam-Macam Kepemilikan
a. Kepemilikan penuh (milk-taam), yaitu penguasaan dan pemanfaatan
terhadap benda atau harta yang dimiliki secara bebas dan dibenarkan
secara hukum.
b. Kepemilikan materi, yaitu kepemilikan seseorang terhadap benda atau
barang terbatas kepada penguasaan materinya saja.
c. Kepemilikan manfaat, yaitu kepemilikan seseorang terhadap benda
atau barang terbatas kepada pemanfaatannya saja, tidak dibenarkan
secara hukum untuk menguasai harta itu.
Ihrazul Mubahat dan Khalafiyah
a. Ihrazul Mubahat adalah bolehnya seseorang memiliki harta yang tidak
bertuan (belum dimiliki oleh seseorang atau kelompok).

b. Khalafiyah ( )
1). Pengertian Khalafiyah
Khalafiyah adalah bertempatnya seseorang atau sesuatu yang
baru ditempat yang lama yang sudah tidak ada dalam berbagai
macam hak.
2). Macam-macam Khalafiyah
a) Khalafiyah Syakhsyun ’an syakhsyin yaitu kepemilikan suatu
harta dari harta yang ditinggalkan oleh pewarisnya
b) Khalafiyah syai’un ‘an syai’in adalah kewajiban seseorang
untuk mengganti harta / barang milik orang lain yang
dipinjam karena rusak atau hilang sesuai harga dari barang
tersebut.

Ihyaul Mawat
Ihyaul Mawat ialah upaya untuk membuka lahan baru atas tanah
yang belum ada pemiliknya. Misalnya, membuka hutan untuk lahan
pertanian, menghidupkan lahan tandus menjadi produktif yang
berasal dari rawa-rawa yang tidak produktif atau tanah tandus lainnya
agar menjadi produktif.

B. Akad
Akad adalah transaksi atau kesepakatan antara seseorang (yang
menyerahkan) dengan orang lain (yang menerima) untuk pelaksanaan
suatu perbuatan.
Rukun Akad dan Syarat Akad
Adapun rukun akad adalah :
a. Dua orang atau lebih yang melakukan akad (transaksi) disebut Aqidain.
b. Sighat (Ijab dan Qabul).
c. Ma’qud ‘alaih (sesuatu yang diakadkan).
Macam-macam Akad
a. Akad lisan, yaitu akad yang dilakukan dengan cara pengucapan lisan.
b. Akad tulisan, yaitu akad yang dilakukan secara tertulis
c. Akad perantara utusan (wakil), yaitu akad yang dilakukan dengan
melalui utusan atau wakil kepada orang lain
d. Akad isyarat, yaitu akad yang dilakukan dengan isyarat atau kode
tertentu.
e. Akad Ta’athi (saling memberikan), akad yang sudah berjalan secara
umum.

I. Materi Pembelajaran
A. Jual Beli
1. Pengertian dan Dasar hukum Jual Beli
Jual beli adalah suatu transaksi tukar menukar barang atau harta yang
mengakibatkan pemindahan hak milik sesuai dengan syarat dan rukun
tertentu. Dasar hukum jual beli bersumber dari Al-Qur’an dan Al-
Hadis :
Firman Allah Swt :

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”


(QS. Al Baqarah/2 : 275).
2. Syarat dan Rukun Jual Beli
a. Rukun Jual Beli
1) Ada penjual.
2) Ada pembeli.
3) Ada barang atau harta yang diperjualbelikan.
4) Ada uang atau alat bayar yang digunakan sebagai penukar
barang.
5) Ada lafadz ijab qabul, yaitu sebagai bukti akan adanya kerelaan dari
kedua belah pihak.
b. Syarat Barang yang Diperjualbelikan
1) Barang itu suci, artinya bukan barang najis.
2) Barang itu bermanfaat.
3) Barang itu milik sendiri atau milik orang lain yang telah
mewakilkan untuk menjualnya.
4) Barang itu dapat diserahterimakan kepemilikannya.
5) Barang itu dapat diketahui jenis, ukuran, sifat dan kadarnya.
c. Syarat Penjual dan Pembeli
1) Berakal sehat, orang yang tidak sehat pikirannya atau idiot
(bodoh), maka akad jual belinya tidak sah.
2) Atas kemauan sendiri, artinya jual beli yang tidak ada unsur
paksaan.
3) Sudah dewasa (Baligh), artinya akad jual beli yang dilakukan
oleh anak-anak jual belinya tidak sah, kecuali pada hal-hal
yang sifatnya sederhana atau sudah menjadi adat kebiasaan.
Seperti jual beli es, permen dan lain-lain.
4) Keadaan penjual dan pembeli itu bukan orang pemboros
terhadap harta, karena keadaan mereka yang demikian itu
hartanya pada dasarnya berada pada tanggung jawab walinya.
.
3. Jual Beli yang Terlarang
a. Jual beli yang sah tapi terlarang, antara lain:
1) Jual beli yang harganya diatas/dibawah harga pasar dengan
cara menghadang penjual sebelum tiba di pasar.
2) Membeli barang yang sudah dibeli atau dalam proses tawaran
orang lain.
3) Jual beli barang untuk ditimbun supaya dapat dijual
dengan harga mahal di kemudian hari, padahal masyarakat
membutuhkannya saat itu.
4) Jual beli untuk alat maksiat:
5) Jual beli dengan cara menipu.
6) Jual beli yang mengandung riba.

b. Jual beli terlarang dan tidak sah, yaitu :


1) Jual beli sperma binatang.
2) Menjual anak ternak yang masih dalam kandungan induknya.
3) Menjual belikan barang yang baru dibeli sebelum
diserahterimakan kepada pembelinya.
4) Menjual buah-buahan yang belum nyata buahnya,

B. Khiyar
Khiyar ialah : memilih antara melangsungkan akad jual beli atau
membatalkan atas dasar pertimbangan yang matang dari pihak penjual
dan pembeli.
1. Jenis-jenis Khiyar
Khiyar ada 3 macam, yaitu :
a. Khiyar Majlis, artinya memilih untuk melangsungkan atau
membatalkan akad jual beli sebelum keduannya berpisah dari
tempat akad.
b. Khiyar Syarat, yaitu khiyar yang dijadikan syarat waktu akad
jual beli, artinya si pembeli atau si penjual boleh memilih antara
meneruskan atau mengurungkan jual belinya selama persyaratan
itu belum dibatalkan setelah mempertimbangkan dalam dua atau
tiga hari.
c. Khiyar Aibi, yaitu memilih melangsungkan akad jual beli atau
mengurungkannya bilamana terdapat bukti cacat pada barang.

C. Musaqah, Muzaraah, Dan Mukhabarah


1. Musaqah
a. Pengertian Musaqah
Musaqah merupakan kerja sama antara pemilik kebun atau tanaman
dan pengelola atau penggarap untuk memelihara dan merawat
kebun atau tanaman dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya
menurut kesepakatan bersama dan perjanjian itu disebutkan
dalam aqad.
b. Hukum Musaqah
Hukum musaqah adalah mubah (boleh).
c. Rukun Musaqah
1. Pemilik dan penggarap kebun.
2. Pekerjaan dengan ketentuan yang jelas baik waktu, jenis, dan
sifatnya.
3. Hasil yang diperoleh berupa buah, daun, kayu, atau yang
lainnya. Buah, hendaknya ditentukan bagian masing-masing
(yang punya kebun dan tukang kebun) misalnya seperdua,
sepertiga, atau berapa saja asal berdasarkan kesepakatan
keduanya pada waktu akad.
4. Akad, yaitu ijab qabul baik berbentuk perkataan maupun
tulisan.
2. Mukhabarah
a. Pengertian Mukhabarah
Mukhabarah adalah kerjasama antara pemilik lahan dengan
penggarap sedangkan benihnya dari yang punya tanah . Pada
umumnya kerjasama mukhabarah ini dilakukan pada tanaman
yang benihnya cukup mahal, seperti cengkeh, pala, vanili, dan
lain-lain. Namun tidak tertutup kemungkinan pada tanaman yang
benihnya relatif murah pun dilakukan kerjasama mukhabarah .
b. Pengertian Muzarah
Muzarah adalah kerjasama antara pemilik lahan dengan
penggarap sedangkan benihnya dari penggarap. Pada umumnya
kerjasama muzaraah ini dilakukan pada tanaman yang benihnya
relatif murah, seperti padi, jagung, kacang, kedelai dan lain-lain.

D. Syirkah
1. Pengertian dan Macam-Macam Syirkah
Syirkah adalah suatu akad dalam bentuk kerjasama antara dua orang
atau lebih dalam bidang modal atau jasa, untuk mendapatkan
keuntungan.
2. Macam-Macam Syirkah
Secara garis besar syirkah dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Syirkah amlak (syirkah kepemilikan) Syirkah amlak ini terwujud
karena wasiat atau kondisi lain yang menyebabkan kepemilikan
suatu aset oleh dua orang atau lebih.
b. Syirkah uqud (Syirkah kontrak atau kesepakatan), Syirkah uqud
ini terjadi karena kesepakatan dua orang atau lebih kerjasama
dalam syarikat modal untuk usaha, keuntungan dan kerugian
ditanggung bersama. Syirkah uqud dibedakan menjadi empat
macam :
l) Syirkah ‘inan (harta).
Syirkah harta adalah akad kerjasama dalam bidang
permodalan sehingga terkumpul sejumlah modal yang
memadai untuk diniagakan supaya mendapat keuntungan.
2) Syirkah a’mal (serikat kerja/ syirkah ’abdan)
Syirkah a’mal adalah suatu bentuk kerjasama dua orang
atau lebih yang bergerak dalam bidang jasa atau pelayanan
pekerjaan dan keuntungan dibagi menurut kesepakatan.
Contoh : CV, NP, Firma, Koperasi dan lain-lain.
3) Syirkah Muwafadah
Syirkah Muwafadah adalah kontrak kerjasama dua orang atau
lebih, dengan syarat kesamaan modal, kerja, tanggung jawab,
beban hutang dan kesamaan laba yang didapat.
4) Syirkah Wujuh (Syirkah keahlian)
Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang
memiliki reputasi baik serta ahli dalam bisnis.
3. Rukun dan Syarat Syirkah
Rukun dan syarat syirkah dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Anggota yang berserikat, dengan syarat : baligh, berakal sehat,
atas kehendak sendiri dan baligh, dan mengetahui pokok-pokok
perjanjian.
b. Pokok-pokok perjanjian syaratnya :
- Modal pokok yang dioperasikan harus jelas.
- Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga harus jelas.
- Yang disyarikatkan (objeknya) tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariat Islam.

c. Sighat, dengan Syarat : Akad kerjasama harus jelas sesuai dengan


perjanjian.

E. Mudharabah Dan Murabahah


1. Mudharabah
a. Pengertian Mudharabah
Mudharabah adalah suatu bentuk kerjasama perniagaan dimana si
pemilik modal menyetorkan modalnya kepada pengelola dengan
keuntungan akan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan
dari kedua belah pihak sedangkan jika mengalami kerugian akan
ditanggung oleh si pemilik modal.
b. Rukun Mudharabah
Rukun mudharabah yaitu:
▪ Adanya pemilik modal dan mudhorib
▪ Adanya modal, kerja dan keuntungan
▪ Adanya shighot yaitu Ijab dan Qobul
c. Macam-Macam Mudharabah
Secara umum mudharabah dapat dibagi menjadi dua macam yaitu
1) Mudharabah muthlaqah
Di mana pemilik modal (shahibul mǎl) memberikan
keleluasaan penuh kepada pengelola (mudhǎrib) untuk
mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang
dianggapnya baik dan menguntungkan. Namun pengelola
tetap bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sesuai
dengan praktik kebiasaan usaha normal yang sehat.
2) Mudharabah muqayyadah
Di mana pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan
kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan
jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya.
2. Murabahah
Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan
harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh
penjual dan pembeli. Pembayaran atas akad jual beli dapat dilakukan
secara tunai maupun kredit. Hal yang membedakan murabahah
dengan jual beli lainnya adalah penjual harus memberitahukan kepada
pembeli harga barang pokok yang dijualnya serta jumlah keuntungan
yang diperoleh

F. Salam (Jual Beli Sistem Inden Atau Pesan)


1. Pengertian Salam
Menurut istilah jual beli model salam yaitu merupakan pembelian
barang yang pembayarannya dilunasi di muka, sedangkan penyerahan
barang dilakukan di kemudian hari.
2. Rukun dan Syarat Jual Beli Salam
Dalam jual beli salam, terdapat rukun yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Pembeli (muslam).
b. Penjual (muslam ilaih).
c. Modal / uang (ra’sul maal).
d. Barang (muslam fiih). Barang yang menjadi obyek transaksi harus
telah terspesifikasi secara jelas dan dapat diakui sebagai hutang.
Sedangkan syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut:
a. Pembayaran dilakukan dimuka (kontan).
b. Dilakukan pada barang-barang yang memiliki keriteria jelas.
c. Penyebutan kriteria barang dilakukan saat akad dilangsungkan.
d. Penentuan tempo penyerahan barang pesanan.
e. Barang pesanan tersedia pada saat jatuh tempo.
f. Barang pesanan adalah barang yang pengadaannya dijamin
pengusaha.
I. Materi Pembelajaran
A. HIBAH
1. Pengertian dan Hukum Hibah
Hibah adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada orang lain
diwaktu ia hidup tanpa adanya imbalan sebagai tanda kasih sayang.
2. Rukun dan Syarat Hibah
a. Pemberi Hibah (Wahib)
Syarat-syarat pemberi hibah (wahib) adalah sudah baligh,
dilakukan atas dasar kemauan sendiri, dibenarkan melakukan
tindakan hukum dan orang yang berhak memiliki barang.
b. Penerima Hibah (Mauhub Lahu)
Syarat-syarat penerima hibah (mauhub lahu), diantaranya :
Hendaknya penerima hibah itu terbukti adanya pada waktu
dilakukan hibah. Apabila tidak ada secara nyata atau hanya ada
atas dasar perkiraan, seperti janin yang masih dalam kandungan
ibunya maka ia tidak sah dilakukan hibah kepadanya.
c. Barang yang dihibahkan (Mauhub)
Syarat-syarat barang yang dihibahkan (Mauhub), diantaranya : jelas
terlihat wujudnya, barang yang dihibahkan memiliki nilai atau harga,
betul-betul milik pemberi hibah dan dapat dipindahkan status
kepemilikannya dari tangan pemberi hibah kepada penerima hibah.
d. Akad (Ijab dan Qabul), misalnya si penerima menyatakan “saya
hibahkan atau kuberikan tanah ini kepadamu”, si penerima menjawab,
“ya saya terima pemberian saudara”.
3. Macam-macam Hibah
Hibah dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu :
a. Hibah barang adalah memberikan harta atau barang kepada
pihak lain yang mencakup materi dan nilai manfaat harta atau
barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada tendensi (harapan)
apapun. Misalnya menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan
sebagainya.
b. Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar
dimanfaatkan harta atau barang yang dihibahkan itu, namun
materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah.
Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah
hanya memiliki hak guna atau hak pakai saja. Hibah manfaat
terdiri dari hibah berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah seumur
hidup (al-amri). Hibah muajjalah dapat juga dikategorikan
pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka waktu tertentu,
barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.
4. Mencabut Hibah
Jumhur ulama berpendapat bahwa mencabut hibah itu hukumnya
haram, kecuali hibah orang tua terhadap anaknya, sesuai dengan
sabda Rasulullah saw. :

“Tidak halal seorang muslim memberikan suatu barang kemudian


ia tarik kembali, kecuali seorang bapak kepada anaknya” (HR. Abu
Daud).
Sabda Rasulullah saw. :
Artinya: “Orang yang menarik kembali hibahnya seperti anjing yang
muntah lalu dimakannya kembali”

Hibah yang dapat dicabut, di antaranya sebagai berikut :


a. Hibahnya orang tua (bapak) terhadap anaknya, karena bapak
melihat bahwa mencabut itu demi menjaga kemaslahatan
anaknya.
b. Bila dirasakan ada unsur ketidakadilan di antara anak-anaknya,
yang menerima hibah..
c. Apabila dengan adanya hibah itu ada kemungkinan menimbulkan
iri hati dan fitnah dari pihak lain.

B. SHADAQAH DAN HADIAH


1. Pengertian dan Dasar Hukum Shadaqah dan Hadiah
Shadaqah adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada orang
lain tanpa adanya imbalan dengan harapan mendapat ridla Allah Swt.
Sementara hadiah adalah akad pemberian harta milik seseorang
kepada orang lain tanpa adanya imbalan sebagai penghormatan atas
suatu prestasi. Shadaqah itu tidak hanya dalam bentuk materi, tetapi
juga dalam bentuk tindakan seperti senyum kepada orang lain
termasuk shadaqah.
Hukum hadiah-menghadiahkan dari orang Islam kepada orang diluar
Islam atau sebaliknya adalah boleh karena persoalan ini termasuk
sesuatu yang berhubungan dengan sesama manusia (hablum minan
naas).
2. Hukum Shadaqah dan Hadiah
a. Hukum shadaqah adalah sunah
b. Hukum hadiah adalah mubah artinya boleh saja dilakukan dan
boleh ditinggalkan.
3. Perbedaan antara Shadaqah dan Hadiah
a. Shadaqah ditujukan kepada orang terlantar, sedangkan hadiah
ditujukan kepada orang yang berprestasi.
b. Shadaqah untuk membantu orang-orang terlantar memenuhi
kebutuhan pokoknya, sedangkan hadiah adalah sebagai kenang-
kenangan dan penghargaan kepada orang yang dihormati.
c. Shadaqah adalah wajib dikeluarkan jika keadaan menghendaki
sedangkan hadiah hukumnya mubah (boleh).
4. Syarat-syarat Shadaqah dan Hadiah
a. Orang yang memberikan shadaqah atau hadiah itu sehat akalnya
dan tidak di bawah perwalian orang lain. Hadiah orang gila, anak-
anak dan orang yang kurang sehat jiwanya (seperti pemboros)
tidak sah shadaqah dan hadiahnya.
b. Penerima haruslah orang yang benar-benar memerlukan karena
keadaannya yang terlantar.
c. Penerima shadaqah atau hadiah haruslah orang yang berhak
memiliki, jadi shadaqah atau hadiah kepada anak yang masih
dalam kandungan tidak sah.
d. Barang yang dishadaqahkan atau dihadiahkan harus bermanfaat
bagi penerimanya.
5. Rukun Shadaqah dan Hadiah
a. Pemberi shadaqah atau hadiah.
b. Penerima shadaqah atau hadiah.
c. Ijab dan Qabul artinya pemberi menyatakan memberikan,
penerima menyatakan suka.
d. Barang atau Benda (yang dishadaqahkan/dihadiahkan).

C. WAKAF
1. Pengertian Wakaf
Wakaf yaitu memberikan suatu benda atau harta yang dapat diambil
manfaatnya untuk digunakan bagi kepentingan masyarakat menuju
keridhaan Allah Swt.
2. Rukun Wakaf
a. Orang yang memberikan wakaf (Wakif).
b. Orang yang menerima wakaf (Maukuf lahu).
c. Barang yang yang diwakafkan (Maukuf).
d. Ikrar penyerahan (akad).
3. Syarat-syarat Wakaf
a. Orang yang memberikan wakaf berhak atas perbuatan itu dan atas
dasar kehendaknya sendiri.
b. Orang yang menerima wakaf jelas, baik berupa organisasi atau
perorangan.
c. Barang yang diwakafkan berwujud nyata pada saat diserahkan.
d. Jelas ikrarnya dan penyerahannya, lebih baik tertulis dalam akte
notaris sehingga jelas dan tidak akan menimbulkan masalah dari
pihak keluarga yang memberikan wakaf.
4. Macam-macam Wakaf
Wakaf dibagi menjadi dua macam, yaitu :
a. Wakaf Ahly (wakaf khusus), yaitu wakaf yang khusus
diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, seorang atau lebih, baik
ada ikatan keluarga atau tidak. Misalnya wakaf yang diberikan
kepada seorang tokoh masyarakat atau orang yang dihormati.
b. Wakaf Khairy (wakaf untuk umum), yaitu wakaf yang
diperuntukkan bagi kepentingan umum. Misalnya wakaf untuk
Masjid, Pondok Pesantren dan Madrasah.
5. Perubahan Benda Wakaf
Menurut Imam Syafi’i menjual dan mengganti barang wakaf dalam
kondisi apapun hukumnya tidak boleh, bahkan terhadap wakaf khusus
(waqaf Ahly) sekalipun, seperti wakaf bagi keturunannya sendiri,
sekalipun terdapat seribu satu macam alasan untuk itu.Sementara
Imam Maliki dan Imam Hanafi membolehkan mengganti semua
bentuk barang wakaf, kecuali masjid. Penggantian semua bentuk
barang wakaf ini berlaku, baik wakaf khusus atau umum (waqaf
Khairy), dengan ketentuan :
a. Apabila pewakaf mensyaratkan (dapat dijual atau digantikan
dengan yang lain), ketika berlangsungnya pewakafan.
b. Barang wakaf sudah berubah menjadi barang yang tidak berguna.
c. Apabila penggantinya merupakan barang yang lebih bermanfaat
dan lebih menguntungkan.
d. Agar lebih berdaya guna harta yang diwakafkan.
1. Materi Pembelajaran
A. Wakalah
1. Pengertian Wakalah
Wakalah menurut bahasa artinya mewakilkan, sedangkan menurut
istilah yaitu mewakilkan atau menyerahkan pekerjaan kepada orang
lain agar bertindak atas nama orang yang mewakilkan selama batas
waktu yang ditentukan.
2. Hukum Wakalah
Asal hukum wakalah adalah mubah, tetapi bisa menjadi haram bila
yang dikuasakan itu adalah pekerjaan yang haram atau dilarang oleh
agama dan menjadi wajib kalau terpaksa harus mewakilkan dalam
pekerjaan yang dibolehkan oleh agama.
Kebolehan mewakilkan ini pada umumnya dalam masalah muamalah.
Misalnya mewakilkan jual beli, menggadaikan barang, memberi
shadaqah / hadiah dan lain-lain. Sedangkan dalam bidang ‘Ubudiyah
ada yang boleh dan ada yang dilarang. Yang boleh misalnya
mewakilkan haji bagi orang yang sudah meninggal atau tidak mampu
secara fisik, mewakilkan memberi zakat, menyembelih hewan
kurban dan sebagainya. Sedangkan yang tidak boleh adalah
mewakilkan Shalat dan Puasa serta yang berkaitan dengan itu seperti
wudhu.
3. Rukun dan Syarat Wakalah
a. Orang yang mewakili / yang memberi kuasa.
Syaratnya : Ia yang mempunyai wewenang terhadap urusan
tersebut.
b. Orang yang mewakilkan / yang diberi kuasa.
Syaratnya : Baligh dan Berakal sehat.
c. Masalah / Urusan yang dikuasakan.
Syaratnya jelas dan dapatdikuasakan.
d. Akad (Ijab Qabul). Syaratnya dapat
dipahami kedua belah pihak.
4. Syarat Pekerjaan yang Dapat Diwakilkan
a. Pekerjaan tersebut diperbolehkan agama.
b. Pekerjaan tersebut milik pemberi kuasa.
c. Pekerjaan tersebut dipahami oleh orang yang diberi kuasa.
5. Habisnya Akad Wakalah
a. Salah satu pihak meninggal dunia
b. Jika salah satu pihak menjadi gila
c. Pemutusan dilakukan orang yang mewakilkan dan diketahui oleh
orang yang diberi wewenang
d. Pemberi kuasa keluar dari status kepemilikannya.

B. Shulhu
1. Pengertian Sulhu
Sulhu menurut bahasa artinya damai, sedangkan menurut istilah yaitu
perjanjian perdamaian diantara dua pihak yang berselisih.
Sulhu dapat juga diartikan perjanjian untuk menghilangkan dendam,
persengketaan atau permusuhan (memperbaiki hubungan kembali).
2. Hukum Sulhu
Hukum sulhu atau perdamaian adalah wajib, sesuai dengan ketentuan-
ketentuan atau perintah Allah Swt, didalam Al-Qur’an :
“Sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada

Allah supaya kamu mendapat rahmat” (Qs. Al Hujurat : 10).

“Perdamaian itu amat baik” (QS. An Nisa’ : 128).


3. Rukun dan Syarat Sulhu
a. Mereka yang sepakat damai adalah orang-orang yang sah
melakukan hukum.
b. Tidak ada paksaan.
c. Masalah-masalah yang didamaikan tidak bertentangan dengan
prinsip Islam.
d. Jika dipandang perlu, dapat menghadirkan pihak ketiga. Seperti
yang disintir dalam Q.S. An Nisa’ : 35.
4. Macam-macam Perdamaian
Dari segi orang yang berdamai, sulhu macamnya sebagai berikut :
a. Perdamaian antara muslim
b. Perdamaian antara muslim dengan non muslim
c. Perdamaian antara Imam dengan kaum bughat (Pemberontak yang
tidak mau tunduk kepada imam).
d. Perdamaian antara suami istri.
e. Perdamaian dalam urusan muamalah dan lain-lain.

1.Materi Pembelajaran
A. Dhaman
1. Pengertian Dhaman
Dhaman adalah suatu ikrar atau lafadz yang disampaikan berupa
perkataan atau perbuatan untuk menjamin pelunasan hutang seseorang.
Dengan demikian, kewajiban membayar hutang atau tanggungan itu
berpindah dari orang yang berhutang kepada orang yang menjamin
pelunasan hutangnya.
2. Syarat dan Rukun Dhaman
Rukun Dhaman antara lain :
- Penjamin (dhamin).
- Orang yang dijamin hutangnya (madhmun ‘anhu).
- Penagih yang mendapat jaminan (madhmun lahu).
- Lafadz / ikrar.
B. Kafalah
1. Pengertian Kafalah
Kafalah adalah menanggung atau menjamin seseorang untuk dapat
dihadirkan dalam suatu tuntutan hukum di Pengadilan pada saat dan
tempat yang ditentukan.
2. Syarat dan Rukun Kafalah
Rukun kafalah sebagai berikut:
Kafil, yaitu orang berkewajiban menanggung.
Ashiil, yaitu yaitu orang yang berhutang atau orang yang ditanggung
akan kewajibannya.
Makful Lahu, yaitu orang yang menghutangkannya.
Makful Bihi, yaitu orang atau barang atau pekerjaan yang wajib
dipenuhi oleh orang yang ihwalnya ditanggung (makful ‘anhu).
3. Macam-macam Kafalah
Kafalah terbagi menjadi dua macam, yaitu kafalah jiwa dan kafalah
harta.
Kafalah jiwa dikenal pula dengan sebutan dhammul wajhi (tanggungan
muka), yaitu adanya kewajiban bagi penanggung untuk menghadirkan
orang yang ditanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (makful
lahu). Seperti ucapan :”Aku jamin dapat mendatangkan Ahmad dalam
persidangan nanti”. Ketentuan ini boleh selama menyangkut hak
manusia, namun bila sudah berkaitan dengan hak-hak Allah maka tidak
sah kafalah, seperti menanggung/mengganti dari had zina, mencuri dan
qishas.
4. Berakhirnya Kafalah
Kafalah berakhir apabila kewajiban dari penanggung sudah
dilaksanakan dengan baik atau si makful lahu membatalkan akad
kafalah karena merelakannya.
I. Materi Pembelajaran
A. RIBA
Riba yang berasal dari bahasa arab, artinya tambahan (ziyadah),
yang berarti: tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman.
Sementra menuut Istilah riba adalah pengambilan tambahan baik dalam
transaksi jual beli, maupun pinjam meminjam secara batil atau
bertentangan dengan prinsip mua’amalat dalam Islam. Hukum melakukan
riba adalah haram menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ menurut ulama.
Macam-macam Riba
Para ulama Fikih membagi riba menjadi empat macam, yaitu:
a. Riba Fadl
Riba fadl adalah tukar menukar atau jual beli antara dua buah barang
yang sama jenisnya, namun tidak sama ukuranya yang disyaratkan
oleh orang yang menukarnya, atau jual beli yang mengandung unsur
riba pada barang yang sejenis dengan adanya tambahan pada salah
satu benda tersebut.
b. Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah yaitu mengambil keuntungan dari pinjam meminjam
atau atau tukar-menukar barang yang sejenis maupun yang tidak
sejenis karena adanya keterlambatan waktu pembayaran.
c. Riba Qardi
Riba qardi adalah meminjamkan sesuatu dengan syarat ada
keuntungan atau tambahan dari orang yang meminjam.
d. Riba Yad
Riba yad yaitu pengambilan keuntungan dari proses jual beli dimana
sebelum terjadi serah terima barang antara penjual dan pembeli sudah
berpisah.

B. BANK
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak.

Jenis-jenis Bank
Jenis perbankan dewasa ini dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu segi
fungsi, kepemilikan, status, dan cara menentukan harga atau bunga.
a. Dilihat dari Segi Fungsi
Menurut UU Pokok Perbankan Nomor 10 Tahun 1998, jenis bank
menurut fungsinya adalah sebagai berikut.
1) Bank Umum, yaitu bank yang dapat memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran.
2) Bank Perkreditan Rakyat, adalah bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran.
b. Dilihat dari Segi Kepemilikan
Jenis bank berdasarkan kepemilikannya dapat dibedakan sebagai
berikut:
1) Bank milik pemerintah
Contoh bank milik pemerintah adalah Bank Mandiri, Bank
Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank
Tabungan Negara (BTN). Contoh bank milik pemerintah daerah
antara lain Bank DKI, Bank Jabar, Bank Jateng, Bank Jatim,
Bank
DIY, Bank Riau, Bank Sulawesi Selatan, dan Bank Nusa Tenggara
Barat.
2) Bank milik swasta nasional
Contoh bank milik swasta nasional antara lain Bank Central Asia,
Bank Lippo, Bank Mega, Bank Danamon, Bank Bumi Putra,
Bank Internasional Indonesia, Bank Niaga, dan Bank Universal.
3) Bank milik koperasi
Bank milik koperasi merupakan bank yang kepemilikan saham-
sahamnya oleh perusahaan yang berbadan hukum koperasi.
Contoh bank milik koperasi adalah Bank Umum Koperasi
Indonesia (Bukopin).
4) Bank milik asing
Bank milik asing merupakan cabang dari bank yang ada di luar
negeri, atau seluruh sahamnya dimiliki oleh pihak asing (luar
negeri). Contoh bank milik asing antara lain ABN AMRO Bank,
American Express Bank, Bank of America, Bank of Tokyo,
Bangkok Bank, City Bank, Hongkong Bank, dan Deutsche Bank.
5) Bank milik campuran
Bank milik campuran merupakan bank yang sahamnya dimiliki
oleh pihak asing dan pihak swasta nasional dan secara mayoritas
sahamnya dipegang oleh warga Negara Indonesia.
c. Berdasarkan jenis atau sistem pengelolaannya, bank dapat
dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
1) Bank Konvensional (dengan sistem bunga)
2) Bank Syariah (Bank dengan prinsip Bagi Hasil)

Bank Syariah
Bank syariah adalah suatu bank yang dalam aktivitasnya; baik dalam
penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya
memberikan dan mengenakan imbalan atas dasar prinsip syariah.
a. Produk Perbankan Syariah
1) Produk penyaluran dana
▪ Prinsip Jual Beli (Ba’i)
Transaksi jual beli dibedakan berdasarkan bentuk
pembayarannya dan waktu penyerahan barang, seperti:
- Pembiayaan Murabahah
- Salam
- Istishna
▪ Prinsip Sewa (Ijarah)
▪ Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
- Musyarakah
- Mudharabah
C. ASURANSI
Asuransi adalah perjanjian pertanggungan bersama antara dua orang atau
lebih. Pihak yang satu akan menerima pembayaran tertentu bila terjadi
suatu musibah, sedangkan pihak yang lain (termasuk yang terkena
musibah) membayar iuran yang telah ditentukan waktu dan jumlahnya.
Asuransi dalam Islam terdapat beberapa istilah, antara lain takaful
(bahasa Arab), ta’min (bahasa Arab) dan Islamic insurance (bahasa
Inggris). Istilah-istilah tersebut pada dasarnya tidak berbeda satu sama
lain yang mengandung makna pertanggungan atau saling menanggung.
Namun dalam praktiknya istilah yang paling populer digunakan sebagai
istilah lain dari asuransi dan juga paling banyak digunakan di beberapa
negara termasuk Indonesia adalah istilah takaful.

BAHAN AJAR FIQIH


KELAS XI

1.Materi Pembelajaran
A. Hukum Nikah
1. Pengertian Dan Hukum Nikah
a. Pengertian Nikah
Nikah artinya suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahramnya
hingga menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya,
dengan menggunakan lafadz inkah atau tazwij atau
terjemahannya.
Dalam pengertian yang luas, pernikahan merupakan ikatan lahir
dan batin yang dilaksanakan menurut syariat Islam antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan, untuk hidup bersama dalam satu
rumah tangga guna mendapatkan keturunan.
b. Hukum Pernikahan
Pernikahan merupakan perkara yang diperintahkan syari’at Islam,
demi terwujudnya kebahagiaan dunia akhirat. Allah berfirman
dalam surat an-Nisa’ ayat 3:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil


terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.” (QS. An Nisa: 3)

Jumhur ulama menetapkan hukum menikah menjadi lima yaitu :


1. Mubah
Hukum asal pernikahan adalah mubah. Hukum ini berlaku bagi
seseorang yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang
mewajibkan nikah atau mengharamkannya.
2. Sunnah
Hukum ini berlaku bagi seseorang yang memiliki bekal untuk
hidup berkeluarga, mampu secara jasmani dan rohani untuk
menyongsong kehidupan berumah tangga dan dirinya tidak
khawatir terjerumus dalam praktik perzinaan atau
muqaddimahnya (hubungan lawan jenis dalam bentuk apapun
yang tidak sampai pada praktik perzinaan).
3. Wajib
Hukum ini berlaku bagi siapapun yang telah mencapai
kedewasaan jasmani dan rohani, memiliki bekal untuk
menafkahi istri, dan khawatir dirinya akan terjerumus dalam
pebuatan keji zina jika hasrat kuatnya untuk menikah tak
diwujudkan.
4. Makruh
Hukum ini berlaku bagi seseorang yang belum mempunyai
bekal untuk menafkahi keluarganya, walaupun dirinya telah
siap secara fisik untuk menyongsong kehidupan berumah
tangga, dan ia tidak khawatir terjerumus dalam praktik
perzinaan hingga datang waktu yang paling tepat untuknya.
Untuk seseorang yang mana nikah menjadi makruh untuknya,
disarankan memperbanyak puasa guna meredam gejolak
syahwatnya. Kala dirinya telah memiliki bekal untuk menafkahi
keluarga, ia diperintahkan untuk bersegera menikah.
5. Haram
Hukum ini berlaku bagi seseorang yang menikah dengan
tujuan menyakiti istrinya, mempermainkannya serta memeras
hartanya.

B. PERSIAPAN PELAKSANAAN PERNIKAHAN


1. Meminang atau Khitbah
Khitbah artinya pinangan, yaitu permintaan seorang laki-laki kepada
seorang perempuan untuk dijadikan istri dengan cara-cara umum
yang sudah berlaku di masyarakat. Firman Allah dalam Q.S Al-
Baqarah : 235

“Dan tak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran yang baik atau harus menyembunyikan keinginan
mengawini mereka dalam hatimu … (QS. Al-Baqarah : 235).
1. Cara mengajukan pinangan
- Pinangan kepada gadis atau janda yang sudah habis masa
iddahnya dinyatakan secara terang-terangan.
- Pinangan kepada janda yang masih berada dalam masa iddah
thalaq bain atau ditinggal mati suami tidak boleh dinyatakan
secara terang-terangan. Pinangan kepada mereka hanya
boleh dilakukan secara sindiran. Hal ini sebagaimana Allah
terangkan dalam surat al-Baqarah ayat 235 di atas.

2. Perempuan yang boleh dipinang


Perempuan-perempuan yang boleh dipinang ada tiga, yaitu :
- Perempuan yang bukan berstatus sebagai istri orang.
- Perempuan yang tidak dalam masa ’iddah.
- Perempuan yang belum dipinang orang lain.
Rasulullah Saw. bersabda:

Artinya: “Janganlah salah seorang diantara kamu


meminang atas pinangan saudaranya, kecuali peminang
sebelumnya meninggalkan pinangan itu atau memberikan ijin
kepadanya" (HR.Bukhari dan Muslim)

Tiga kelompok wanita di atas boleh dipinang, baik secara


terang-terangan atau sindiran.

2. Melihat Calon Istri atau Suami


Melihat perempuan yang akan dinikahi disunnahkan oleh
agama. Karena meminang calon istri merupakan pendahuluan
pernikahan. Sedangkan melihatnya adalah gambaran awal untuk
mengetahui penampilan dan kecantikannya, hingga pada akhirnya
terwujud keluarga yang bahagia.
Beberapa pendapat tentang batas kebolehan melihat seorang
perempuan yang akan dipinang yaitu:
a. Jumhur ulama berpendapat boleh melihat wajah dan kedua
telapak tangan, karena dengan demikian akan dapat diketahui
kehalusan tubuh dan kecantikannya.
b. Abu Dawud berpendapat boleh melihat seluruh tubuh.
c. Imam Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, muka
dan telapak tangan.

C. MAHRAM ATAU PEREMPUAN YANG HARAM DINIKAHI


Mahram adalah orang, baik laki-laki maupun perempuan yang haram
dinikahi. Adapun sebab-sebab yang menjadikan seorang perempuan
menjadi haram dinikahi oleh seseorang laki-laki dapat dibagi menjadi
dua yaitu:
1. Sebab Haram Dinikah untuk Selamanya
Dapat dibagi menjadi empat yaitu:
1) Wanita-wanita yang haram dinikahi karena nasab. Mereka
adalah:
a) Ibu
b) Nenek secara mutlak dan semua jalur ke atasnya
c) Anak perempuan dan anak perempuannya beserta semua jalur
ke bawah
d) Anak perempuan dari anak laki-laki dan perempuannya
beserta semua jalur ke bawah
e) Saudara perempuan secara mutlak, anak-anak perempuan
dan anak perempuannya anak laki-laki dan saudara
perempuan tersebut beserta jalur ke bawah.
f) Bibi dari jalur ayah secara mutlak beserta jalur ke atasnya
g) Bibi dari jalur ayah secara mutlak beserta jalur ke atasnya
h) Anak perempuan saudara laki-laki secara mutlak
i) Anak perempuan anak laki-laki, anak perempuannya anak
perempuan beserta jalur ke bawahnya.

2) Wanita-wanita yang haram dinikahi karena pertalian nikah, mereka


adalah:
a) Isteri ayah dan Istri kakek beserta jalur ke atasnya, karena
Allah SWT berfirman dalam (QS. An-Nisā': 22

Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang


telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang
telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan
dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”
(QS. An-Nisā': 22)

b) Ibu Istri (ibu mertua) dan nenek ibu istri


Anak perempuan istri (anak perempuan tiri), jika seseorang
telah menggauli ibunya, anak perempuan istri (cucu
perempuan dari anak perempuan tiri), anak perempuan anak
laki-laki istri (cucu perempuan dari anak laki-laki tiri),
karena Allah SWT berfirman :
Artinya: (diharamkan atas kalian menikahi) ibu-ibu istri
kalian (ibu mertua), anak-anak perempuan istri kalian yang
ada dalam pemeliharan kalian dari istri yang telah kalian
gauli, tetapi jika kalian belum campur dengan istri kalian itu
(dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kalian
mengawininya” (QS.An-Nisā': 23).
3) Wanita-wanita yang haram dinikahi karena susuan.
Mereka adalah :
a) Ibu-ibu yang diharamkan dinikahi karena sebab nasab
b) Anak-anak perempuan
c) Saudara-saudara perempuan
d) Para bibi dari jalur ayah
e) Para bibi dari jalur ibu
f) Anak perempuannya saudara laki-laki
g) Anak perempuannya saudara perempuan.

4) Wanita yang haram dinikahi lagi karena sebab li’an


Li’an adalah persaksian seorang suami sebagaimana berikut,
"Aku bersaksi kepada Allah, atas kebenaran dakwaanku bahwa istriku
telah berzina." Persaksian ini diulangi hingga 4 kali, kemudian
setelahnya ia berkata, "Laknat Allah akan menimpaku seandainya aku
berdusta dalam dakwaanku ini."
Bisa disimpulkan bahwa suami yang mendakwa istrinya
berzina, dikenai salah satu dari 2 konsekuensi. Pertama; didera 80
kali bila ia tidak bisa menghadirkan saksi. Kedua; li’an, yang
dengan persaksian tersebut ia terbebas dari hukuman dera.
Walaupun dengan li’an seorang suami terbebas dari hukuman
dera, akan tetapi efek yang diakibatkan dari li’an tersebut, ia
harus berpisah dengan istrinya selama-lamanya.

2. Sebab Haram Dinikahi Sementara


Ada beberapa sebab yang menjadikan seorang wanita tidak
boleh dinikahi sementara waktu. Bia sebab tersebut hilang, maka
wanita tersebut boleh dinikahi kembali. Sebab-sebab tersebut
adalah:
1) Pertalian nikah
Perempuan yang masih dalam ikatan perkawinan, haram
dinikahi laki-laki lain. Termasuk perempuan yang masih ada
dalam massa iddah, baik iddah talak maupun iddah wafat.
2) Thalaq bain kubra (cerai tiga)
Bagi seorang laki-laki yang mencerai istrinya dengan thalaq
tiga, haram baginya menikah dengan mantan istrinya itu, selama
ia belum dinikahi laki- laki lain, kemudian diceraikan.
Dengan kata lain, ia bisa menikahi kembali istrinya tersebut
dengan beberapa syarat berikut:
a) Istrinya telah menikah dengan laki-laki lain (suami baru).
b) Istrnya telah melakukan hubungan seksual dengan suami
barunya.
c) Istrinya dicerai suami barunya secara wajar, bukan karena
ada rekayasa.
d) Telah habis masa iddah thalaq dari suami baru.
3) Memadu dua orang perempuan bersaudara
Diharamkan bagi seorang laki-laki yang masih berada dalam
ikatan pernikahan dengan seorang perempuan menikahi
beberapa wanita berikut:
a) Saudara perempuan istrinya, baik kandung seayah maupun
seibu
b) Saudara perempuan ibu istrinya (bibi istri) baik
kandung seayah ataupun kandung seibu dengan ibu
istrinya.
c) Saudara perempuan bapak istrinya (bibi istrinya) baik
kandung seayah atupun seibu dengan bapak istrinya.
d) Anak perempuan saudara permpuan istrinya
(keponakan istrinya) baik kandung seayah maupun
seibu
e) Anak perempuan saudara laki-laki istrinya baik
kandung seayah maupun seibu
f) Semua perempuan yang bertalian susuan dengan istrinya.
Pengharaman menikah dengan beberapa wanita di atas juga
berlaku bagi seorang laki-laki yang mentalaq raj’i istrinya. Artinya,
selama istri yang tertalaq raj’i masih dalam masa ‘iddah, maka
suaminya tidak boleh menikah dengan wanita-wanita di atas.

4) Berpoligami lebih dari empat


Seorang laki-laki yang telah beristri empat, haram baginya
menikahi wanita yang kelima. Karena syara’ telah menetapkan
bahwa seorang laki-laki hanya boleh menikahi maksimal empat
orang wanita.

5) Perbedaan agama
Haram nikah karena perbedaan agama, ada dua macam :
a) Perempuan musyrik, dimana ia haram dinikahi laki-laki
muslim
b) Perempuan muslimah, dimana ia haram dinikahi laki-laki
non muslim, yaitu orang musyrik atau penganut agama
selain islam.

D. PRINSIP KAFAAH DALAM PERNIKAHAN


1. Pengertian kafaah
Kafaah atau kufu artinya kesamaan, kecocokan dan kesetaraan. Dalam
konteks pernikahan berarti adanya kesamaan atau kesetaraan antara calon suami
dan dan calon istri dari segi (keturunan), status sosial (jabatan, pangkat) agama
(akhlak) dan harta kekayaan.
2. Hukum Kafaah
Kafaah adalah hak perempuan dari walinya. Jika seseorang perempuan
rela menikah dengan seorang laki-laki yang tidak sekufu, tetapi walinya
tidak rela maka walinya berhak mengajukan gugatan fasakh (batal).
Demikian pula sebaliknya, apabila gadis shalihah dinikahkan oleh walinya
dengan laki-laki yang tidak sekufu dengannya, ia berhak mengajukan
gugatan fasakh. Kafaah adalah hak bagi seseorang. Karena itu jika yang
berhak rela tanpa adanya kafaah, pernikahan dapat diteruskan.

Beberapa pendapat tentang hal-hal yang dapat diperhitungkan dalam


kafaah, yaitu:
1) Sebagian ulama mengutamakan bahwa kafaah itu diukur dengan
nasab (keturunan), kemerdekaan, ketataan, agama, pangkat
pekerjaan/profesi dan kekayaan.
2) Pendapat lain mengatakan bahwa kafaah itu diukur dengan
ketataan menjalankan agama. Laki-laki yang tidak patuh
menjalankan agama tidak sekufu dengan perempuan yang patuh
menjalankan agamanya. Laki-laki yang akhlaknya buruk tidak
sekufu dengan perempuan yang akhlaknya mulia.

- Kufu ditinjau dari segi agama. Firman Allah SWT QS. Al-
Baqarah 221 :
Artinya: "Janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musyrik sehingga mereka beriman, dan sungguh budak yang
beriman itu lebih baik daripada wanita-wanita musyrik,
sekali pun ia sangat menggiurkanmu. Dan janganlah kamu
menikahkan (wanita- wanita mukmin kamu) dengan pria
musyrik sehingga mereka beriman. Sungguh budak laki-laki
yang mukmin itu lebih baik daripada laki-laki musyrik
walaupun menggiurkanmu." (QS. Al-Baqarah 221)

Ayat di atas menjelaskan tentang tinjauan sekufu dari


segi agama. Yang menjadi standar disini adalah keimanan.
Ketika seorang yang beriman menikah dengan orang yang
tidak beriman, maka pernikahan keduanya tidak dianggap
sekufu.
- Kufu’ dilihat dari segi iffah
Maksud dari ‘iffah adalah terpelihara dari segala
sesuatu yang diharamkan dalam pergaulan. Maka, tidak
dianggap sekufu ketika orang yang baik dan mulia menikah
dengan seorang pelacur, walaupun mereka berdua seagama.

E. SYARAT DAN RUKUN NIKAH


1. Pengertian
Rukun nikah adalah unsur pokok yang harus dipenuhi, hingga
pernikahan menjadi sah.
2. Syarat dan Rukun Nikah
Adapun syarat dan rukun nikah ada 5. Berikut penjelasan singkatnya:
1. Calon suami, syaratnya :
a). Beragama Islam
b). Ia benar-benar seorang laki-laki
c). Menikah bukan karena dasar paksaan
d). Tidak beristri empat. Jika seorang laki-laki mencerai salah
satu dari keempat istrinya, selama istri yang tercerai masih
dalam masa ’iddah, maka ia masih dianggap istrinya. Dalam
keadaan seperti ini, laki-laki tersebut tidak boleh menikah
dengan wanita lain.
e). Mengetahui bahwa calon istri bukanlah wanita yang haram ia
nikahi
f). Calon istri bukanlah wanita yang haram dimadu dengan
istrinya, seperti menikahi saudara perempuan kandung
istrinya (ini berlaku bagi seorang laki-laki yang akan
melakukan poligami)
g). Tidak sedang berihram haji atau umrah.

2. Calon istri, syaratnya :


a). Beragama Islam
b). Benar-benar seorang perempuan
c). Mendapat izin menikah dari walinya
d). Bukan sebagai istri orang lain
e). Bukan sebagai mu’taddah (wanita yang sedang dalam
masa ‘iddah)
f). Tidak memiliki hubungan mahram dengan calon
suaminya
g). Bukan sebagai wanita yang pernah dili’an calon
suaminya (dilaknat suaminya karena tertuduh zina)
h). Atas kemauan sendiri
i). Tidak sedang ihram haji atau umrah

3. Wali, syaratnya :
a). Laki-laki
b). Beragama Islam
c). Baligh (dewasa)
d). Berakal
e). Merdeka (bukan berstatus sebagai hamba sahaya)
f). Adil
g). Tidak sedang ihram haji atu umrah

4. Dua orang saksi, syaratnya :


a). Dua orang laki-laki
b). Beragama Islam
c). Dewasa/baligh, berakal, merdeka dan adil
d). Melihat dan mendengar
e). Memahami bahasa yang digunkan dalam akad
f). Tidak sedang mengerjakan ihram haji atau umrah
g). Hadir dalam ijab qabul

5. Ijab qabul, syaratnya :


a). Menggunakan kata yang bermakna menikahi atau menikahkan.
b). Lafadz ijab qabul diucapkan pelaku akad nikah (pengantin
laki-laki dan wali pengantin perempuan).
c). Antara ijab dan qaul harus bersambung tidak boleh diselingi
perkataan atau perbuatan lain.
d). Pelaksanaan ijab dan qabul harus berada pada satu tempat
tidak dikaitkan dengan suatu persyaratan apapun.
e). Tidak dibatasi dengan waktu tertentu.

F. WALI DAN SAKSI


Wali dan saksi dalam pernikahan merupakan dua hal yang sangat
menentukan sah atau tidaknya pernikahan. Keduanya harus memenuhi syarat-
syarat tertentu. Rasulullah SAW bersabda :

Arinya: “Dari ‘Aisyah ra. ia berkata: “Rasulullah SAW bersabda,


siapapun perempuan yang menikah dengan tidak seijin walinya
maka batal pernikahannya, dan jika ia telah disetubuhi, maka bagi
perempuan itu berhak menerima mas kawin lantaran ia telah
menghalalkan kemaluannya, dan jika terdapat pertengkaran antara
wali-wali, maka sultanlah yang menjadi wali bagi yang tidak
mempunyai wali.” (HR. Imam yang empat)

Wali Nikah
a. Pengertian Wali
Seluruh madzab sepakat bahwa wali dalam pernikahan adalah
wali perempuan yang melakukan akad nikah dengan pengantin laki-
laki yang menjadi pilihan wanita tersebut.
b. Kedudukan Wali
Sabda Rasulullah SAW :
“Janganlah seorang perempuan menikahkan perempuan lain, dan
jangan pula ia menikahkan dirinya sendiri (HR. Ibnu Majah dan ad-
Daruquṭni)
Senada dengan riwayat di atas, dalam hadis lain Rasulullah Saw.
bersabda:
Artinya : “Tidaklah sah pernikahan kecuali dengan wali yang
dewasa dan dua orang saksi adil”. (HR.Tirmiżi)
c. Syarat-syarat wali :
1) Merdeka (mempunyai kekuasaan)
2) Berakal
3) Baligh
4) Islam
Bapak atau kakek calon pengantin wanita yang
dibolehkan menikahkannya tanpa diharuskan meminta izin
terlebih dahulu padanya haruslah memenuhi syarat-syarat
berikut:
1) Tidak ada permusuhan antara wali mujbir dengan anak gadis
tersebut
2) Sekufu’ antara perempuan dengan laki-laki calon suaminya
3) Calon suami itu mampu membayar mas kawin
4) Calon suami tidak cacat yang membahayakan
pergaulan dengan calon pengantin wanita seperti buta
dan yang semisalnya

d. Macam Tingkatan Wali


Wali nikah terbagi menjadi dua macam yaitu wali nasab
dan wali hakim. Wali nasab adalah wali dari pihak kerabat.
Sedangkan wali hakim adalah pejabat yang diberi hak oleh
penguasa untuk menjadi wali nikah dalam keadaan tertentu dan
dengan sebab tertentu.
Berikut urutan wali nasab, dari yang paling kuat memiliki
hak perwalian hingga yang paling lemah.
1) Ayah
2) Kakek dari pihak bapak terus ke atas
3) Saudara laki-laki kandung
4) Saudara laki-laki sebapak
5) Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
6) Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak
7) Paman (saudara bapak) sekandung
8) Paman (saudara bapak) sebapak
9) Anak laki-laki dari paman sekandung
10)Anak laki-laki dari paman sebapak
11)Hakim

d.1. Wali Mujbir


Wali mujbir adalah wali yang berhak menikahkan
anak perempuannya yang sudah baligh, berakal, dengan
tiada meminta izin terlebih dahulu kepadanya. Hanya
bapak dan kakek yang dapat menjadi wali mujbir.
d.2. Wali Hakim
Wali hakim adalah kepala negara yang beragama
Islam. Dalam konteks keindonesiaan tanggung jawab ini
dikuasakan kepada Menteri Agama yang selanjutnya
dikuasakan kepada para pegawai pencatat nikah. Dengan
kata lain, yang bertindak sebagai wali hakim di Indonesia
adalah para pegawai pencatat nikah.
Sebab-sebab perempuan berwali hakim yaitu
1) Tida ada wali nasab
2) Yang lebih dekat tidak mencukupi syarat sebagai wali dan
wali yang lebih jauh tidak ada
3) Wali yang lebih dekat ghaib (tidak berada di tempat/berada
jauh di luar wilayahnya) sejauh perjalanan safar yang
membolehkan seseorang mengqashar shalatnya
4) Wali yang lebih dekat sedang melakukan ihram / ibadah haji
atau umrah
5) Wali yang lebih dekat masuk penjara dan tidak dapat
dijumpai
6) Wali yang lebih dekat tidak mau menikahkan
7) Wali yang lebih dekat secara sembunyi-sembunyi tidak mau
menikahkan
(tawari)
8) Wali yang lebih dekat hilang, tidak diketahui tempatnya
dan tidak diketahui pula hidup dan matinya (mafqud)

d.3. Wali adhal


Wali adhal adalah wali yang tidak mau menikahkan
anaknya/cucunya, karena calon suami yang akan menikahi
anak/cucunya tersebut tidak sesuai dengan kehendaknya.
Padahal calon suami dan anaknya/cucunya sekufu.
Dalam keadaan semisal ini secara otomatis
perwalian pindah kepada wali hakim. Karena
menghalangi-halangi nikah dalam kondisi tersebut
merupakan praktik adhal yang jelas merugikan calon
pasangan suami istri, dan yang dapat menghilangkan
kedzaliman adalah hakim.
Apabila adhalnya sampai tiga kali, maka
perwaliannya pindah pada wali ab’ad bukan wali hakim.
Kalau adhal-nya karena sebab yang logis menurut hukum
Islam, maka apa yang dilakukan wali dibolehkan. Semisal
dalam beberapa keadaan berikut:
1) Calon pengantin wanita (anaknya/cucunya) akan
menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu
2) Mahar calon pengantin wanita di bawah mahar mitsli
3) Calon pengantian wanita dipinang oleh laki-laki lain
yang lebih pantas untuknya

Saksi Nikah
a. Kedudukan Saksi
Kedudukan saksi dalam pernikahan yaitu :
a. Untuk menghilangkan fitnah atau kecuriagaan orang lain
terkait hubungan pasangan suami istri.
b. Untuk lebih menguatkan janji suci pasangan suami istri.
Karena seorang saksi benar-benar menyaksikan akad
nikah pasangan suami istri dan janji mereka untuk saling
menopang kehidupan rumah tangga atas dasar maslahat
bersama.
Seperti halnya wali, saksi juga salah satu rukun
dalam pernikahan. Tidak sah suatu pernikahan yang
dilaksanakan tanpa saksi.

b. Jumlah dan Syarat Saksi


Saksi dalam pernikahan disyaratkan dua orang laki-
laki. Selanjutnya ada dua pendapat tentang saksi laki-laki dan
perempuan. Pendapat pertama mengatakan bahwa pernikahan
yang disaksikan seorang laki-laki dan dua orang perempuan
syah. Sedangkan pendapat kedua mengatakan tidak syah.
Pendapat pertama yang menegaskan bahwa pernikahan yang
disaksikan seorang laki-laki dan dua orang perempuan syah
bersandar pada firman Allah ta’ala:
Artinya: "Angkatlah dua orang saksi laki-laki diantara kamu jika
tidak ada angkatlah satu orang laki-laki dan dua orang
perempuan yang kamu setujui." (QS. Al Baqarah : 282)

Pendapat pertama ini diusung oleh kalangan ulama pengikut


madzhab Hanafiyyah.

c. Syarat-syarat saksi dalam pernikahan


1) Laki-laki
2) Beragam Islam
3) Baligh
4) Mendengar dan memahami perkataan dua orang yang melakukan
akad
5) Bisa berbicara, melihat, berakal
6) Adil

G. IJAB QABUL
Ijab yaitu ucapan wali (dari pihak perempuan) atau wakilnya sebagai
penyerahan kepada pihak pengantin laki-laki. Sedangkan qabul yaitu ucapan
pengantin laki-laki atau wakilnya sebagai tanda penerimaan.
Adapun syarat-syarat ijab qabul adalah sebagai berikut :
a) Orang yang berakal sudah tamyiz
b) Ijab qabul diucapkan dalam satu majelis
c) Tidak ada pertentangan antara keduanya
d) Yang berakad adalah mendengar atau memahami bahwa keduanya
melakukan akad
e) Lafaz ijab qabul diucapkan dengan kata nikah atau tazwij atau
yang seperti dengan kata-kata itu
f) Tidak dibatasi dengan waktu tertentu misalnya setahun, sebulan dan
sebagainya.

H. MAHAR
1. Pengertian dan Hukum Mahar
Mahar atau mas kawin adalah pemberian wajib dari suami
kepada istri karena sebab pernikahan. Mahar bisa berupa uang,
benda, perhiasan, atau jasa seperti mengajar Al Qur’an. Firman
Allah dalam (QS. An Nisa 4)
Artinya: “Bayarkanlah mahar kepada perempuan yang kamu
nikahi sebagai pemberian hibah/tanda cinta (QS. An Nisa 4)
2. Ukuran Mahar
Salah satu kewajiban suami kepada istri adalah memberikan
mahar. Mahar merupakan simbol penghargaan seorang laki-laki
kepada calon istrinya. Dalam banyak riwayat dijelaskan bahwa
mahar bisa berupa benda (materi) atau kemanfaatan (non materi).
Rasulullah Saw. menganjurkan kesederhanaan dalam memberikan
mahar.
3. Macam-macam Mahar
Jenis mahar ada dua, yaitu:
1). Mashar Musamma yaitu mahar yang jenis dan jumlahnya
disebutkan saat akad nikah berlangsung.
2). Mahar Mitsil yaitu mahar yang jenis atau kadarnya diukur
sepadan dengan mahar yang pernah diterima oleh anggota
keluarga atau tetangga terdekat kala mereka melangsungkan
akad nikah dengan melihat status sosial, umur, kecantikan, gadis
atau janda.
4. Cara Membayar Mahar
Pembayaran mahar dapat dilaksanakan secara kontan (‫ )ﺣﺎﻻ‬atau
dihutang. Apabila kontan maka dapat dibayarkan sebelum dan sesudah
nikah. Apabila pembayaran dihutang, maka teknis pembayaran mahar
sebagaimana berikut:
1). Wajib dibayar seluruhnya, apabila suami sudah melakukan
hubungan seksual dengan istrinya, atau salah satu dari
pasangan suami istri meninggal dunia walaupun keduanya
belum pernah melakukan hubungan seksual sekali pun.
2). Wajib dibayar separoh, apabila mahar telah disebut pada
waktu akad dan suami telah mencerai istri sebelum ia
dicampuri. Apabila mahar tidak disebut dalam akad nikah,
maka suami hanya wajib memberikan mut’ah.

I. MACAM-MACAM PERNIKAHAN TERLARANG


1. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah ialah nikah yang dilakukan oleh seseorang
dengan tujuan melampiaskan hawa nafsu dan bersenang-senang
untuk sementara waktu. Nikah mut’ah pernah diperbolehkan oleh
Nabi Muhammad Saw. akan tetapi pada perkembangan
selanjutnya beliau melarangnya selama-lamanya. Banyak teks
syar’i yang menjelaskan tentang haramnya nikah mut’ah.
2. Nikah Syighar (kawin tukar)
Nikah syighar adalah seorang perempuan yang dinikahkan
walinya dengan laki-laki lain tanpa mahar, dengan perjanjian
bahwa laki-laki itu akan menikahkan wali perempuan tersebut
dengan wanita yang berada di bawah perwaliannya.
3. Nikah Tahlil
Gambaran nikah tahlil adalah seorang suami yang
menthalaq istrinya yang sudah ia jima', agar bisa dinikahi lagi
oleh suami pertamanya yang pernah menjatuhkan thalaq tiga
(thalaq bain) kepadanya.
Nikah tahlil merupakan bentuk kerjasama negatif antara
muhallil (suami pertama) dan muhallal (suami kedua). Nikah tahlil
ini masuk dalam kategori nikah muaqqat (nikah dalam waktu
tertentu) yang terlarang sebagaimana nikah mut’ah. Dikatakan
demikan karena suami kedua telah bersepakat dengan suami
pertama untuk menikahi wanita yang talah ia thalaq tiga,
kemudian suami kedua melakukan hubungan seksual secara
formalitas dengan wanita tersebut untuk kemudian ia thalaq, agar
bisa kembali dinikahi suami pertamanya.
4. Nikah beda Agama
Penjelasan tentang nikah beda agama ini dijelaskan dalam
QS. AL-Baqarah : 221.
Artinya: “Jangan nikah perempuan-perempuan musyrik (kafir)
sehingga mereka beriman, sesunguhnya hamba sahaya yang
beriman lebih baik dari perempuan musyrik, meskipun ia menarik
hatimu (karena kecantikannya) janganlah kamu nikahkan
perempuan muslimah dengan laki-laki musyrik sehingga ia
beriman.” (QS. AL-Baqarah : 221) .

J. HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI


1. Kewajiban Bersama Suami Istri
a. Mewujudkan pergaulan yang serasi, rukun, damai, dan saling
pengertian;
b. Menyanyangi semua anak tanpa diskriminasi
c. Memelihara, menjaga, mengajar dan mendidik anak
d. Kewajiban suami
e. Kewajiban memberi nafkah

2. Kewajiban bergaul dengan istri secara baik ( Q.S. an-Nisa : 19)


a. Kewajiban memimpin keluarga (Q.S. an-Nisa’ : 34)
b. Kewajiban mendidik keluarga (Q.S. at-Taḥrim : 6)

3. Kewajiban Isteri
a. Kewajiban mentaati suami
b. Kewajiban menjaga kehormatan (Q.S. an-Nisā’ : 34)
c. Kewajiban mengatur rumah tangga
d. Kewajiban mendidik anak (Q.S. al-Baqarah : 228)

K. THALAQ DAN KHULUK


Thalaq
1.Pengertian dan hukum Thalaq
Thalaq ialah melepaskan tali ikatan nikah dari pihak suami
dengan menggunakan lafadz tertentu. Dalam Islam thalaq
merupakan perbuatan yang halal tapi sangat dibenci oleh Allah
SWT. Rasulullah bersabda dalam satu hadis yang diriwayatkan Ibnu
Umar r.a.:

Artinya: Dari Ibn Umar r.a dari Nabi Saw. bersabda:


Perkara halal yang dibenci Allah adalah ṭalāk” (HR. Abu
Dawud, dan al Hakim)

Berdasar hadis di atas hukum thalaq adalah makruh. Akan


tetapi hukum tersebut bisa berubah dalam kondisi-kondisi tertentu.
Berikut penjelasan ringkasnya:
a. Hukum thalaq menjadi wajib, bila suami istri
sering bertengkar dan tidak dapat didamaikan.
b. Hukum thalaq menjadi sunnah, jika suami tidak sanggup
memberi nafkah.
c. Hukum thalaq menjadi haram, jika thalaq akan
mendatangkan madharat yang lebih besar bagi
kedua belah pihak (suami istri).
2. Syarat dan Rukun Thalaq
Rukun thalaq ada tiga yaitu suami, istri, dan ucapan thalaq.
Adapun syarat- syarat dari setiap ketiganya sebagaimana berikut:
 Suami yang menjatuhkan thalaq
1). Ada ikatan pernikahan yang sah dengan istri
2). Baligh
3). Berakal
4). Tidak paksa
 Istri (dithalaq)
1). mempunyai ikatan pernikahan yang sah dengan suami.
2). Masih dalam masa iddah thalaq raj’i yang dijatuhkan
sebelumnya.
3. Macam-macam Thalaq
a. Ditinjau dari proses menjatuhkannya.
1). Thalaq dengan ucapan
Thalaq dengan ucapan terbagi menjadi dua:
a). Sarih (tegas). Yaitu mengungkapkan lafadz thalaq yang tidak
mungkin dipahami makna lain kecuali thalaq. Semisal ungkapan
seorang suami keapada istri yang ia thalaq,“Engkau sudah berpisah
denganku”
b). Sindiran. Yaitu mengungkapkan satu lafadz yang memiliki
kemungkinan makna thalaq atau yang lainnya. Semisal ungkapan
seorang suami kepada istri yang ia thalaq,”Pulanglah engkau ke
rumah orang tuamu.” Thalaq dengan sindiran harus disertai niat
menthalaq.
2). Thalaq dengan tulisan
3). Thalaq dengan isyarat. Jenis thalaq ini hanya berlaku bagi orang
yang tidak dapat berbicara atau menulis.

b. Ditinjau dari segi jumlahnya


1. Thalaq satu, yaitu thalaq satu yang pertama kali dijatuhkan
suami kepada istriya.
2. Thalaq dua yaitu thalaq yang dijatuhkan suami kepada
istrinya untuk yang kedua kalinya.
3. Thalaq tiga ialah thalaq yang dijatuhkan suami kepada
istrinya untuk yang ketiga kalinya.

Pada thalaq satu dan dua, suami boleh rujuk kepada istri
sebelum masa iddah berakhir atau dengan akad baru bila masa
iddah telah habis. Akan tetapi pada thalaq tiga, suami tidak
boleh rujuk dengan istrinya kecuali jika ia telah menikah dengan
laki-laki lain, pernah melakukan hubungan biologis dengannya,
kemudian ia dicerai dalam kondisi normal. Bukan karena adanya
konspirasi antara suami baru yang mencerainya dengan suami
sebelumnya yang menjatuhkan thalaq tiga padanya –sebagaimana
hal ini terjadi pada nikah tahlil yang diharamkan syariat-.
c. Ditinjau dari segi keadaan istri
1. Thalaq sunah, yaitu thalaq yang dijatuhkan kepada istri yang
pernah dicampuri ketika istri:
1) Dalam keadaan suci dan saat itu ia belum dicampuri
2) Ketika hamil dan jelas kehamilannya
2. Thalaq bid’ah yaitu thalaq yang dijatuhkan kepada istri ketika istri:
1) Dalam keadaan haid
2) Dalam keadaan suci yang pada waktu itu ia sudah
dicampuri suami Thalaq bid’ah hukumnya haram
3. Thalaq bukan sunah dan bukan bid’ah yaitu thalaq yang
dijatuhkan kepada istri yang belum pernah dicampuri dan
belum haidh (karena masih kecil)

d. Ditinjau dari segi boleh atau tidaknya rujuk


1. Thalaq raj’i yaitu thalaq yang dijatuhkan suami kepada istri
dimana istri boleh dirujuk kembali sebelum masa iddah
berakhir.
2. Thalaq bain, yaitu thalaq yang menghalangi suami untuk
rujuk kembali kepada istrinya. Thalaq bain ini terbagi
menjadi dua:
1) Thalaq bain kubra, yaitu thalaq tiga
2) Thalaq bain sughra
Thalaq yang menyebabkan istri tidak boleh dirujuk, akan
tetapi ia boleh dinikahi kembali dengan akad dan mas
kawin baru, dan tidak harus dinikahi terlebih dahulu oleh
laki-laki lain, seperti thalaq dua yang telah habis masa
iddahnya.

Khuluk
Khuluk adalah perceraian yang timbul atas kemauan istri dengan
mengembalikan mahar kepada suaminya. Khuluk disebut juga dengan thalaq
tebus.
1. Rukun Khuluk:
a. Suami yang baligh, berakal dan dengan kemauannya
b. Istri yang dalam kekuasaan suami. Maksudnya istri tersebut
belum dithalaq suami yang menyebabkannya tidak boleh dirujuk.
c. Ucapan yang menunjukkan khuluk
d. Bayaran yaitu suatu yang boleh dijadikan mahar
e. Orang yang membayar belum menggunakan hartanya, baik istri
maupun orang lain.
2. Besarnya tebusan khulu':
Tebusan khulu’ bisa berupa pengembalian mahar –sebagian atau
seluruhnya- dan bisa juga harta tertentu yang sudah disepakati suami istri.
Adapun terkait besar kecilnya tebusan khulu’, para ulama berselisih
pendapat:
- Pendapat jumhur ulama: Tidak ada batasan jumlah dalam
tebusan khulu’. Dalil yang mereka jadikan sandaran terkait
masalah ini adalah firman Allah dalam surat al-Baqarrah ayat
229 –sebagaimana tersebut di atas-.
- Pendapat sebagian ulama: Tebusan khulu’ tidak boleh melebihi
mas kawin yang pernah diberikan suami.

3. Dampak syar’i yang ditimbulkan khulu’


Ketika terjadi khulu’, maka suami tidak bisa merujuk istrinya,
walaupun khulu’ tersebut baru masuk kategori thalaq satu ataupun dua dan
istri masih dalam masa iddahnya. Seorang suami yang ingin kembali kepada
istrinya setelah terjadinya khulu’ harus mengadakan akad nikah baru
dengannya.

L. FASAKH
Secara bahasa fasakh berarti rusak atau putus. Adapun dalam
pembahasan fikih fasakh adalah pemisahan pernikahan yang dilakukan
hakim dikarenakan alasan tertentu yang diajukan salah satu pihak dari
suami istri yang bersangkutan.

Sebab –sebab fasakh


1. Tidak terpenuhinya syarat-syarat akad nikah, semisal seseorang
yang menikahi wanita yang ternyata adalah saudara
perempuannya.

2. Munculnya masalah yang dapat merusak pernikahan dan


menghalangi tercapainya tujuan pernikahan, sebagaimana
beberapa hal berikut:
- Murtadnya salah satu dari pasangan suami istri
- Hilangnya suami dalam tempo waktu yang cukup lama
- Miskinnya seorang suami hingga tidak mampu memberi
nafkah keluarga
- Dipenjarakannya suami, dan beberapa hal lainnya.

M. IDDAH
Iddah ialah masa tenggang atau batas waktu untuk tidak menikah
bagi perempuan yang dicerai atau ditinggal mati suaminya.
a. Macam-macam iddah :
1. Iddah Istri yang dicerai dan ia masih haid, lamanya tiga kali suci.
2. Iddah Istri yang dicerai dan ia sudah tidak haidh, lamanya tiga
bulan
3. Iddah Istri yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan
sepuluh hari bila ia tidak hamil.
4. Iddah Istri yang dicerai dalam keadaan hamil lamanya sampai
melahirkan
5. Iddah Istri yang ditinggal wafat suaminya dalam keadaan hamil
masa iddahnya menurut sebagian ulama adalah iddah hamil
yaitu sampai melahirkan.

b.Kewajiban Suami Istri Selama Masa Iddah


1. Kewajiban Suami
Suami yang mencerai istrinya berkewajiban memberi belanja
dan tempat tinggal selama iddahnya belum berakhir. Berikut
penjelasan singkatnya:
- Perempuan yang dicerai dengan tahlaq raj’i berhak
mendapatkan belanja dan tempat tinggal.
- Perempuan yang dithalaq bain dan ia dalam keadaan
hamil berhak memperoleh nafkah dan tempat tinggal.
- Perempuan yang ditalaq bain dan tidak hamil berhak
memperoleh tempat tinggal saja dan tidak berhak
memperoleh belanja.
- Perempuan yang ditinggal wafat suami baik hamil atau
tidak, ia tidak berhak memperoleh uang belanja atau
tempat tinggal karena ia mendapat warisan dari harta
peninggalan suaminya.
2. Kewajiban istri selama masa iddah
Wanita yang dicerai suaminya wajib menetap di rumah
suaminya selama iddahnya belum berakhir.

c.Tujuan Iddah
1. Menghilangkan keraguan tentang kosongnya rahim bekas istri.
2. Untuk memudahkan proses rujuk antara suami dan bekas
istrinya.
3. Untuk menjaga perasaan keluarga mantan suami yang sedang
berkabung (ini terkait dengan iddahnya wanita kala ditinggal
mati suaminya).

N. HADANAH
Hadanah adalah memelihara anak dan mendidiknya dengan baik.
1. Syarat-syarat Hadanah
a. Berakal.
b. Beragama.
c. Medeka.
d. Baligh.
e. Mampu mendidik.
f. Amanah.
2.Tahap-tahap Hadanah
Jika suami istri bercerai maka kepengurusan anak mengikuti aturan
sebagaimana berikut:
a. Jika anak masih kecil dalam pangkuan ibunya, maka ibu lebih
berhak memeliharanya.
b. Anak yang sudah dapat bekerja, pemeliharaannya dipasrahkan
kepada anak tersebut, apakah ia akan memilih ibunya atau
bapaknya. Ia bebas dengan pilihannya.

O. RUJUK
Rujuk adalah kembalinya suami kepada istrinya yang telah dicerai, bila
istrinya masih dalam masa iddah.

1. Hukum Rujuk
Hukum asal rujuk adalah boleh (jaiz), kemudian berkembang
sesudai dengan keadaan yang menggiringi proses rujuk tersebut.
Berikut rangkuman hukum rujuk:
a. Haram, apabila rujuk mengakibatkan kerugian atau kemadharatan
di pihak istri.
b. Makruh, apabila bercerai lebih bermanfaat daripada rujuk.
c. Sunnah, apabila rujuk lebih bermanfaat dibanding meneruskan
perceraian
d. Wajib, hukum ini dikhususkan bagi laki-laki yang beristri lebih
dari satu jika salah seorang dithalaq sebelum gilirannya
disempurnakan.

2. Syarat dan Rukun Rujuk :


a. Untuk istri, apabila:
a) Sudah pernah dicampuri
b) Thalaq yang dijatuhkan adalah talaq raj’i
c) Dalam massa iddah
b. Untuk suami apabila:
a) Islam
b) Baligh
c) Berakal
d) Tidak dipaksa
c. Sighat/ucapan rujuk dari suami
Sighat rujuk yang diucapkan suami kepada istrinya bisa bernada
tegas, dan juga bisa bernada sindiran. Untuk sighat rujuk dengan
nada sindiran dibutuhkan niat, hingga benar-benar bisa dideteksi
bahwa sang suami telah benar-benar meminta kembali istrinya.

3. Saksi dalam Masalah Rujuk


Saksi dalam rujuk sama dengan syarat saksi dalam thalaq, yaitu dua
orang laki-laki yang adil.
4. Hikmah Rujuk
a. Rujuk akan mewujudkan ajaran kedamaian dalam Islam.
b. Rujuk akan menghindari pecahnya hubungan kekerabatan.
c. Rujuk akan menyelamatkan pendidikan anak-anak.
d. Rujuk akan menghindarkan diri dari gangguan jiwa.
e. Rujuk akan menghindarkan diri dari praktik dosa.
f. Rujuk akan kembali menjadi ladang amal suami untuk
menunaikan kewajiban yang sempat ia tinggalkan sementara
waktu akibat perceraian.
1.Materi Pembelajaran

A. ILMU MAWARIS
1. Pengertian Ilmu Mawaris
Dari segi bahasa, artinya harta yang diwariskan. Adapun
makna istilahnya adalah ilmu tentang pembagian harta peninggalan
setelah seseorang meninggal dunia.
Dalam berbagai referensi yang membahas tentang
mawaris dipaparkan bahwa rukun-rukun mawarits ada 3
yaitu;
 Waris (‫ )وارث‬yaitu orang yang mendapatkan
harta warisan. Seorang berhak mendapatkan warisan
karena salah satu dari tiga sebab yaitu; pertalian
darah, hubungan pernikahan, dan memerdekakan
budak.
 Muwarris (‫ )ﻣﻮرث‬yaitu orang yang telah meninggal
dan mewariskan harta kepada ahli waritsnya. Baik
meninggal secara hakiki dalam arti ia telah
menghembuskan nafas terakhirnya. Atau meninggal
secara taqdiri (perkiraan) semisal seorang yang telah
lama menghilang (al-mafqud) dan tidak diketahui
kabar beritanya dan tempat ia berdomisili hingga pada
akhirnya hakim memutuskan bahwa orang tersebut
dihukumi sama dengan orang yang meninggal.
 Maurus (‫ )ﻣﻮروث‬yaitu harta warisan yang siap dibagikan
kepada ahli waris setelah diambil untuk kepentingan
pemeliharaan jenazah (tajhiz al-janazah), pelunasan
hutang mayit, dan pelaksanaan wasiat mayit.
Terkadang mauruts diistilahkan dengan mirats atau
irs.

2. Hukum Membagi Harta Warisan


Seorang muslim dituntut menjalankan syariat Islam sesuai
dengan apa yang telah digariskan al-Qur’an dan as-Sunnah. Setiap
muslim haruslah mentaati semua perintah ataupun larangan Allah
sebagai bukti konsistensinya memegang aturan-aturan ilahi.
Demikian halnya saat syariat Islam mengatur hal-hal yang
terkait dengan pembagian harta waris. Seorang muslim harus
meresponnya dengan baik dan mematuhi aturan tersebut. Karena
aturan warisan tersebut merupakan ketentuan Allah yang pasti akan
mendatangkan maslahat bagi semua hamba- hamab-Nya. Bahkan
Allah memperingatkan dengan keras siapapun yang melanggar
aturan-aturan yang telah ditetapkan-Nya (termasuk aturan warisan).
Hal-hal yang harus dilakukan sebelum harta warisan
dibagikan
Beberapa hal yang harus ditunaikan terlebih dahulu oleh ahli
waris sebelum harta warisan dibagikan adalah:
1) Zakat. Kalau harta yang ditinggalkan sudah saatnya
dikeluarkan zakatnya, maka zakat harta tersebut harus
dibayarkan terlebih dahulu.
2) Belanja. Yaitu biaya yang dikeluarkan untuk pengurusan
jenazah, mulai dari membeli kain kafan, upah menggali
kuburan, dan lain sebagainya.
3) Hutang. Jika mayat memiliki hutang, maka hutangnya
harus dibayar terlebih dahulu dengan harta warisan yang
ia tinggalkan.
4) Wasiat. Jika mayat meninggalkan wasiat, agar sebagian
harta peninggalannya diberikan kepada orang lain. Maka
wasiat inipun harus dilaksanakan.

Apabila keempat hak tersebut (zakat, biaya


penguburan, hutang mayat, dan wasiat mayat) sudah
diselesaikan, maka harta warisan selebihnya baru dapat
dibagi-bagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.

3. Hukum Mempelajari Ilmu Mawaris


Para ulama berpendapat bahwa mempelajari dan
mengajarkan ilmu mawaris adalah fardhu kifayah. Artinya,
jika telah ada sebagian kalangan yang mempelajari ilmu
tersebut, maka kewajiban yang lain telah gugur. Akan tetapi
jika dalam satu daerah/wilayah tak ada seorang pun yang
mau mendalami ilmu warisan, maka semua penduduk
wilayah tersebut menanggung dosa.

Artinya: “Pelajarilah al Qur’an dan ajarkanlah


kepada orang lain, dan pelajarilah ilmu faraidh dan
ajarkanlah kepada orang lain. Karena aku adalah
orang yang bakal terenggut (mati) sedang ilmu akan
dihilangkan. Hampir saja dua orang yang bertengkar
tentang pembagian warisan tidak mendapatkan
seorangpun yang dapat memberikan fatwa kepada
mereka” (HR. Ahmad, an-Nasa'i, dan ad-
Daruqutni)”.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mempelajari
ilmu mawarits tidak bisa dianggap sebelah mata, terutama bagi para
pendakwah atau penyeru kebajikan. Walaupun hukum awalnya
fardhu kifayah, akan tetapi dalam kondisi tertentu, saat tak ada
seorangpun yang mempelajarinya maka hukum mempelajari ilmu
mawarits berubah menjadi fardhu ain.

4. Tujuan Ilmu Mawaris


Tujuan ilmu mawaris dapat dirangkum dalam beberapa
poin di bawah ini
1). Memberikan pembelajaran bagi kaum muslimin agar
bertanggung jawab dalam melaksanakan syariat Islam yang
terkait dengan pembagian harta waris.
2). Menyodorkan solusi terbaik terhadap berbagai permasalahan
seputar pembagian harta waris yang sesuai dengan aturan Allah
ta’ala.
3). Menyelamatkan harta benda si mayit hingga tidak diambil
orang-orang dzalim yang tidak berhak menerimanya.

5. Sumber Hukum Ilmu Mawaris


Sumber hukum ilmu mawaris adalah al-Qur’an dan al-
Hadis. Berikut beberapa teks al-Qur’an yang menjelaskan
tentang ketentuan pembagian harta waris.
• Firman Allah ta’ala dalam surat an-Nisa ayat 7:

Artinya: "Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta


peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada
hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
(QS. an-Nisa’ : 7)
• Firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 11-12:
Adapun beberapa teks hadis yang terkait dengan pembahasan
warisan adalah:
• Sabda Rasulullah Saw.:

Artinya: ”Belajarlan ilmu faraidh (warisan) dan ajarkanlah


ilmu tersebut. Karena sesungguhnya ia merupakan setengah
dari ilmu, dan ia akan dilupakan, dan ia merupakan ilmu
yang pertama kali dicabut dari umatku.” (H.R. Ibnu Majah,
ad- Daruqutni)

6. Kedudukan Ilmu Mawaris


Ilmu mawaris mempunyai kedudukan yang sangat agung
dalam Islam. Ia menjadi solusi efektif berbagai permasalahan
umat terkait pembagian harta waris. Kala ilmu mawaris
diterapkan secara baik, maka urusan hak adam akan
terselesaikan secara baik. Semua ahli waris akan mendapatkan
haknya secara proporsional. Mereka tak akan didzalimi ataupun
mendzalimi, karena semuanya sudah disandarkan pada aturan
Allah ta’ala.
Selain apa yang terpaparkan di atas, keagungan ilmu
mawaris juga dapat kita rasakan kala mengamati ayat-ayat al-
Qur’an yang membicarakan persoalan waris. Allah
menerangkan teknis pembagian harta waris secara gamblang dan
terperinci dalam beberapa ayat-Nya. Ini merupakan indikator
yang menegaskan bahwa persoalan warisan merupakan
persoalan agung dan sangat penting.

B. SEBAB-SEBAB SESEORANG MENDAPATKAN WARISAN


Dalam kajian fikih Islam hal-hal yang menyebabkan seseorang
mendapatkan warisan ada 4 yaitu:
1) Sebab Nasab (hubungan keluarga)
Nasab yang dimaksud disini adalah nasab hakiki. Artinya
hubungan darah atau hubungan kerabat, baik dari garis atas atau
leluhur si mayit (ushul), garis keturunan (furu’), maupun
hubungan kekerabatan garis menyimpang (hawasyi), baik laki-laki
maupun perempuan. Misalnya seorang anak akan memperoleh harta
warisan dari bapaknya dan sebaliknya, atau seseorang akan
memperoleh harta warisan dari saudaranya, dan lain-lain.
2) Sebab Pernikahan yang Sah
Pernikahan yang sah adalah berkumpulnya suami istri
dalam ikatan pernikahan yang sah. Dari keduanya inilah
muncul istilah- istilah baru dalam ilmu mawaris, seperti:
dzawil furudh, ashobah, dan furudh muqaddlarah.
3) Sebab wala’ atau sebab jalan memerdekakan budak
Seseorang yang memerdekakan hamba sahaya, berhak
mendapatkan warisan dari hamba sahaya tersebut kala ia
meninggal dunia.
4) Sebab Kesamaan Agama
Ketika seorang muslim meninggal sedangkan ia tidak
memiliki ahli waris, baik ahli waris karena sebab nasab, nikah,
ataupun wala (memerdekakan budak) maka harta warisannya
dipasrahkan kepada baitul mal untuk maslahat umat Islam.

C. HAL-HAL YANG MENYEBABKAN SESEORANG TIDAK


MENDAPATKAN HARTA WARIS

Dalam kajian ilmu faraidh, hal-hal yang menyebabkan seseorang


tidak mendapatkan harta warisan masuk dalam pembahasan mawani’ul
irs (penghalang- penghalang warisan). Penghalang yang dimaksud disini
adalah hal-hal tertentu yang menyebabkan seseorang tidak mendapatkan
warisan, padahal pada awal mulanya ia merupakan orang-orang yang
semestinya mendapatkan harta waris.
Orang yang terhalang mendapatkan warisan disebut dengan
mamnu’ al-irs atau mahjub bil washfi (terhalang karena adanya sifat
tertentu). Mereka adalah; pembunuh, budak, murtad, dan orang yang
berbeda agama dengan orang yang meninggalkan harta warisnya.
Berikut penjelasan singkat ketiga kelompok manusia yang masuk dalam
kategori mamnu’ al-irs tersebut:
Pembunuh (‫)اﻟﻘﺎﺗﻞ‬
Orang yang membunuh salah satu anggota keluarganya maka
ia tidak berhak mendapatkan harta warisan dari yang terbunuh.
Dalam salah satu qaidah fiqhiyah dijelaskan:

Artinya: ”Barangsiapa yang tegesa-gesa untuk mendapatkan


sesuatu, maka ia tidak diperbolehkan menerima sesuatu tersebut
sebagai bentuk hukuman untuknya.”

Budak
Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak berhak
mendapatkan harta warisan dari tuannya. Demikian juga sebaliknya,
tuannya tidak berhak mendapatkan warisan dari budaknya karena ia
memang orang yang tidak mempunyai hak milik sama sekali.
Orang Murtad
Murtad artinya keluar dari agama Islam. Orang murtad tidak
berhak mendapat warisan dari keluarganya yang beragama Islam.
Perbedaan
Orang Islam tidak dapat mewarisi harta warisan orang kafir
meskipun masih kerabat keluarganya.

D. AHLI WARIS YANG TIDAK BISA GUGUR HAKNYA


Sebagaimana maklum adanya, dalam pembagian harta warisan
terkadang ada ahli waris yang terhalang mendapatkan harta warisan
karena sebab tertentu, dan sebagian lain ada juga yang tidak
mendapatkan harta warisan karena terhalang oleh ahli waris yang
lain. Akan tetapi ada beberapa ahli waris yang haknya untuk
mendapatkan warisan tidak terhalangi walaupun semua ahli waris
ada. Mereka adalah:
• Anak laki-laki (‫)اﺑﻦ‬
• Anak perempuan (‫)ﺑﻨﺖ‬
• Bapak (‫)أب‬
• Ibu (‫)أم‬
• Suami (‫)زوج‬
• Istri (‫)زوﺟﺔ‬

E. PERMASALAHAN AHLI WARIS


1. Klasifikasi Ahli Waris
Ahli waris adalah orang-orang yang berhak menerima
harta warisan baik laki-laki maupun perempuan. Selain beberapa
ahli waris yang haknya untuk mendapatkan warisan tidak
terhalang, diantara mereka ada yang disebut dengan beberapa
pengistilahan berikut:
• Dzawil furudh yaitu ahli waris yang mendapatkan bagian
tertentu
• Ashobah yaitu ahli waris yang mendapatkan sisa harta
warisan
• Mahjub yaitu ahli waris yang terhalang mendapatkan
harta warisan karena adanya ahli waris yang lain

Ahli waris ditinjau dari sebab-sebab penstatusan mereka


menjadi ahli waris dapat diklasifikasikan sebagaimana berikut:
1). Ahli Waris Sababiyah
Yaitu orang yang berhak menerima bagian harta warisan karena
hubungan perkawinan dengan orang yang meninggal yaitu suami
atau istri
2). Ahli Waris Nasabiyah
Yaitu orang yang berhak menerima bagian harta warisan
karena hubungan nasab atau pertalian darah dengan orang
yang meninggal. Ahli waris nasabiyah ini dibagi menjadi
tiga kelompok yaitu :
• Ushulul Mayyit, yang terdiri dari bapak, ibu, kakek,
nenek, dan seterusnya ke atas (garis keturunan ke atas)
• Furu’ul Mayyit, yaitu anak, cucu, dan seterusnya
sampai ke bawah (garis keturunan ke bawah)
• Al Hawasyis, yaitu saudara paman, bibi, serta anak-
anak mereka (garis keturunan ke samping)

Adapun ditinjau dari segi jenis kelaminnya, ahli


waris dibagi menjadi ahli waris laki-laki dan ahli waris
perempuan. Yang termasuk ahli waris laki-laki ada lima
belas orang, yaitu:
1.Suami
2. Anak laki-laki
.
3. Cucu laki-laki
4. Bapak
5. Kakek dari bapak
6. Saudara Laki-Laki Kandung
7. Saudara Laki-Laki seayah
8. Saudara Laki-Laki seibu
9. Anak laki-laki Saudara laki-laki sekandung
10. Anak laki-laki Saudara laki-laki seayah
11. Paman sekandung dengan bapak
12. Paman seayah dengan bapak
13. Anak laki-laki paman sekandung dengan bapak
14. Anak laki-laki paman seayah dengan bapak
15. Orang yang memerdekakan

Jika semua ahli waris laki-laki di atas ada semua,


maka yang mendapat warisan adalah suami, anak laki-laki,
dan bapak, sedangkan yang lain terhalang ‫جوب‬s. Adapun ahli
waris perempuan yaitu :
1. Istri
2. Anak perempuan
3. Cucu perempuan dari anak laki-laki
4. Ibu
5. Nenek dari ibu
6. Nenek dari bapak
7. Seudara perempuan kandung
8. Saudara perempuan seayah
9. Saudara perempuan seibu
10. Orang perempuan yang memerdekakan

Jika ahli waris perempuan ini semua ada, maka yang mendapat
bagian harta warisan adalah : istri, anak perempuan, ibu, cucu
perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan kandung.
Selanjutnya, jika seluruh ahli waris ada baik laki-laki
maupun perempuan yang mendapat bagian adalah suami/istri,
Bapak/ibu dan anak ( laki-laki dan perempuan ).

2. Furuḍul Muqaddarah
Furudhul muqaddarah adalah bagian-bagian tertentu
yang telah ditetapkan al-Qur’an bagi beberapa ahli waris
tertentu. Bagian- bagian tertentu, ada 6 yaitu:
1) /2
2) 1/4
3) 1/8
4) 1/3
5) 2/3
6) 1/6

3. Żawil Furuḍ
Żawil Furuḍ adalah beberapa ahli waris yang
mendapatkan bagian tertentu sebagaimana tersebut di atas.
Mereka diistilahkan juga dengan ashabul furudh. Adapun
rincian bagian-bagian tertentu tersebut sebagaimana dipaparkan
dalam al-Qur’an adalah:
a. Ahli waris yang mendapat bagian ½, ada lima ahli waris,
yaitu:
a) Anak perempuan (tunggal), dan jika tidak ada anak
laki-laki.
b) Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki selama
tidak ada :
• anak laki-laki
• cucu laki-laki dari anak laki-laki
c) Saudara perempuan kandung tunggal, jika tidak ada :
• Anak laki-laki atau anak perempuan
• Cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki
• Bapak
• Kakek (bapak dari bapak)
• Saudara laki-laki sekandung
d) Saudara perempuan seayah tunggal, dan jika tidak
ada :
• Anak laki-laki atau anak perempuan
• Cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki
• Bapak
• Kakek (bapak dari bapak)
• Saudara perempuan sekandung
• saudara laki-laki sebapak
e) Suami, jika tidak ada :
• anak laki-laki atau perempuan
• cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.

b. Ahli waris yang mendapat bagian ¼


a). Suami, jika ada:
 anak laki-laki atau perempuan
 cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-
laki

b). Istri (seorang atau lebih), jika ada :


 anak laki-laki atau perempuan
 cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-
laki

c. Ahli waris yang mendapat bagian 1/8


Ahli waris yang mendapat bagian 1//8 adalah istri baik
seorang atau lebih, jika ada :
• anak laki-laki atau perempuan
• cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
d. Ahli waris yang mendapat bagian 2/3
Dua pertega ( 2/3) dari harta pusaka menjadi bagian
empat orang :
 Dua orang anak perempuan atau lebih jika mereka
tidak mempunyai saudara laki-laki
 Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-
laki jika tidak ada anak perempuan atau cucu laki-
laki dari anak laki-laki.
 Dua orang saudara perempuan kandung atau lebih,
jika tidak ada anak perempuan atau cucu perempuan
dari anak laki-laki atau saudara laki- laki kandung.
 Dua orang perempuan seayah atau lebih, jika tidak
ada anak atau cucu dari anak laki-laki dan saudara
laki-laki seayah.

e. Ahli waris yang mendapat bagian 1/3


 Ibu, jika yang meninggal tidak memiliki anak atau
cucu dari anak laki- laki atau saudara-saudara.
 Dua orang saudara atau lebih baik laki-laki atau
perempuan yang seibu

f. Ahli waris yang mendapat bagian 1/6


Bagian seperenam (1/6) dari harta pusaka menjadi
milik tujuh orang :
 Ibu, jika yang meninggal itu mempunyai anak atau
cucu dari anak laki- laki atau dua orang atau lebih
dari saudara laki-laki atau perempuan.
 Bapak, bila yang meninggal mempunyai anak atau
cucu dari anak laki- laki.
 Nenek (Ibu dari ibu atau ibu dari bapak), bila tidak
ada ibu
 Cucu perempuan dari anak laki-laki, seorang atau
lebih, jika bersama- sama seorang anak perempuan.
 Kakek, jika yang meninggal mempunyai anak atau
cucu dari anak laki- laki, dan tidak ada bapak.
 Seorang saudara seibu (laki-laki atau perempuan),
jika yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu
dari anak laki-laki dan bapak.
 Saudara perempuan seayah seorang atau lebih, jika
yang meninggal dunia mempunyai saudara
perempuan sekandung dan tidak ada saudara laki-laki
sebapak.

Ahi waris yang tergolong dzawil furudh dan


kemungkinan bagian masing- masing adalah sebagai berikut
:
1) Bapak mempunyai tiga kemungkinan;
a) 1/6 jika bersama anak laki-laki.
b) 1/6 dan ashabah jika bersama anak perempuan atau cucu
perempuan dari anak laki-laki.
c) ashabah jika tidak ada anak.
2) Kakek (bapak dari bapak) mempunyai 4 kemungkinan
a) 1/6 jika bersama anak laki-laki atau perempuan
b) 1/6 dan ashabah jika bersama anak laki-laki atau perempuan
c) Ashabah ketika tidak ada anak atau bapak.
d) Mahjub atau terhalang jika ada bapak.
3) Suami mempunyai dua kemungkinan;
a) 1/2 jika yang meninggal tidak mempunyai anak.
b) 1/4 jika yang meninggal mempunyai anak.
4) Anak perempuan mempunyai tiga kemungkinan;
a) 1/2 jika seorang saja dan tidak ada anak laki-laki.
b) 2/3 jika dua orang atau lebih dan jika tidak ada anak laki-
laki.
c) menjadi ashabah, jika bersamanya ada anak laki-laki.
5) Cucu perempuan dari anak laki-laki mempunyai 5
kemungkinan;
a) 1/2 jika seorang saja dan tidak ada anak dan cucu
laki-laki dari anak laki-laki.
b) 2/3 jika cucu perempuan itu dua orang atau lebih dan
tidak ada anak dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.
c) 1/6 jika bersamanya ada seorang anak perempuan
dan tidak ada anak laki-laki dan cucu laki-laki dari
anak laki-laki.
d) menjadi ashabah jika bersamanya ada cucu laki-laki.
e) Mahjub/terhalang oleh dua orang anak perempuan
atau anak laki-laki.
6) Istri mempunyai dua kemungkinan;
a) 1/4 jika yang meninggal tidak mempunyai anak.
b) 1/8 jika yang meninggal mempunyai anak.
7) Ibu mempunyai tiga kemungkinan;
a) 1/6 jika yang meninggal mempunyai anak.
b) 1/3 jika yang meninggal tidak mempunyai anak atau dua
orang saudara.
c) 1/3 dari sisa ketika ahli warisnya terdiri dari suami, Ibu dan
bapak, atau istri, ibu dan bapak.
8) Saudara perempuan kandung mempunyai lima kemungkinan
a) 1/2 kalau ia seorang saja.
b) 2/8 jika dua orang atau lebih.
c) ashabah kalau bersama anak perempuan.
d) Mahjub/tertutup jika ada ayah atau anak laki-laki atau cucu
laki-laki.
9) Saudara perempuan seayah mempunyai tujuh kemungkinan
a) 1/2 jika ia seorang saja.
b) 2/3 jika dua orang atau lebih.
c) ashabah jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan.
d) 1/6 jika bersama saudara perempuan sekandung.
e) Mahjub/terhalang oleh ayah atau anak laki-laki, atau cucu
laki-laki atau saudara laki-laki kandung atau saudara
kandung yang menjadi ashabah.
10) Saudara perempuan atau laki-laki seibu mempunyai tiga
kemungkinan.
a) 1/6 jika seorang, baik laki-laki atau perempuan.
b) 1/3 jika ada dua orang atau lebih baik laki-laki atau
perempuan.
c) Mahjub/terhalang oleh anak laki-laki atau perempuan, cucu
laki-laki, ayah atau nenek laki-laki.
11) Nenek (ibu dari ibu) mempunyai dua kemungkinan
a) 1/6 jika seorang atau lebih dan tidak ada ibu.
b) Mahjub/terhalang oleh ibu.

F. ’ASHABAH
Menurut bahasa ashabah adalah bentuk jamak dari ”ashib” yang
artinya mengikat, menguatkan hubungan kerabat/nasab. Menurut syara’
’ashabah adalah ahli waris yang bagiannya tidak ditetapkan tetapi bisa
mendapat semua harta atau sisa harta setelah harta dibagi kepada ahli
waris dzawil furudh.
Ahli waris yang menjadi ashabah mempunyai tiga kemungkinan:
Pertama; mendapat seluruh harta waris saat ahli waris dzawil furudh
tidak ada.
Kedua; mendapat sisa harta waris bersama ahli waris dzawil furudh
saat ahli waris zawil ada.
Ketiga; tidak mendapatkan sisa harat warisan karena warisan telah
habis dibagikan kepada ahli waris Żawil Furuḍ.
Di dalam istilah ilmu faraidh, macam-macam ‘ashabah ada tiga yaitu:
1) ‘Ashabah Binafsihi yaitu ahli waris yang menerima sisa harta
warisan dengan sendirinya, tanpa disebabkan orang lain. Ahli
waris yang masuk dalam kategori ashabah binafsihi yaitu:
a) Anak laki-laki
b) Cucu laki-laki
c) Ayah
d) Kakek
e) Saudara kandung laki-laki
f) Sudara seayah laki-laki
g) Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
h) Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
i) Paman kandung
j) Paman seayah
k) Anak laki-laki paman kandung
l) Anak laki-laki paman seayah
m) Laki-laki yang memerdekakan budak.

Apabila semua ashabah ada, maka tidak semua ashabah


mendapat bagian, akan tetapi harus didahulukan orang-orang (para
ashabah) yang lebih dekat pertaliannya dengan orang yang
meninggal. Jadi, penentuannya diatur menurut nomor urut tersebut
di atas.
Jika ahli waris yang ditinggalkan terdiri dari anak laki-laki dan
anak perempuan, maka mereka mengambil semua harta ataupun
semua sisa. Cara pembagiannya ialah, untuk anak laki-laki
mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan.

2) Ashabah Bilghair yaitu anak perempuan, cucu perempuan,


saudara perempuan seayah, yang menjadi ashabah jika bersama
saudara laki-laki mereka masing-masing ( ‘Ashabah dengan
sebab terbawa oleh laki-laki yang setingkat ).
Berikut keterangan lebih lanjut terkait beberapa perempuan
yang menjadi ashabah dengan sebab orang lain:
a) Anak laki-laki dapat menarik saudaranya yang perempuan
menjadi ‘ashabah
b) Cucu laki-laki dari anak laki-laki, juga dapat menarik
saudaranya yang perempuan menjadi ‘ashabah.
c) Saudara laki-laki sekandung, juga dapat menarik saudaranya
yang perempuan menjadi ‘ashabah.
d) Saudara laki-laki sebapak, juga dapat menarik saudaranya yang
perempuan menjadi ‘ashabah.

Ketentuan pembagian harta waris dalam ashabah bil ghair,


“bagian pihak laki-laki (anak, cucu, saudara laki-laki) dua kali lipat
bagian pihak perempuan (anak, cucu, saudara perempuan)”.

3) ‘Ashabah Ma’algha’ir (‘ashabah bersama orang lain) yaitu ahli


waris perempuan yang menjadi ashabah dengan adanya ahli
waris perempuan lain. Mereka adalah :
a) Saudara perempuan sekandung menjadi ashabah bersama
dengan anak perempuan (seorang atau lebih) atau cucu
perempuan dari anak laki- laki.
b) Saudara perempuan seayah menjadi ashabah jika bersama
anak perempuan atau cucu perempuan (seorang atau
lebih) dari anak laki- laki.

G. HIJAB

1) Hijab hirman yaitu penghapusan seluruh bagian, karena ada


ahli waris yang lebih dekat hubungannya dengan orang yang
meninggal. Contoh cucu laki-laki dari anak laki-laki, tidak
mendapat bagian selama ada anak laki-laki.
2) Hijab nuqshon yaitu pengurangan bagian dari harta warisan,
karena ada ahli waris lain yang membersamai. Contoh : ibu
mendapat 1/3 bagian, tetapi kala yang meninggal mempunyai
anak atau cucu atau beberapa saudara, maka bagian ibu
berubah menjadi 1/6.

Dengan demikian ada ahli waris yang terhalang (tidak


mendapat bagian) yang disebut mahjub hirman, ada ahli waris
yang hanya bergeser atau berkurang bagiannya yang disebut
mahjub nuqshan. Ahli waris yang terakhir ini tidak akan
terhalang meskipun semua ahli waris ada, mereka tetap akan
mendapat bagian harta warisan meskipun dapat berkurang.
Mereka adalah ahli waris dekat yang disebut al-aqrabun. Mereka
terdiri dari : Suami atau istri, Anak laki-laki dan anak perempuan,
Ayah dan ibu.

a. Ahli waris yang terhalang :


Berikut di bawah ini ahli waris yang terhijab atau
terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat hubungannya
dengan yang meninggal. Mereka adalah:
1) Kakek (ayah dari ayah) terhijab/terhalang oleh ayah. Jika ayah
masih hidup maka kakek tidak mendapat bagian.
2) Nenek (ibu dari ibu) terhijab /terhalang oleh ibu
3) Nenek dari ayah, terhijab/terhalang oleh ayah dan juga oleh ibu
4) Cucu dari anak laki-laki terhijab/terhalang oleh anak laki-laki
5) Saudara kandung laki-laki terhijab/terhalang oleh :
a) anak laki-laki
b) cucu laki-laki dari anak laki-laki
c) ayah
6) saudara kandung perempuan terhijab/terhalang oleh :
a) anak laki-laki
b) ayah
7) saudara ayah laki-laki dan perempuan terhijab/terhalang oleh :
a) anak laki-laki
b) anak laki-laki dan anak laki-laki
c) ayah
d) saudara kandung laki-laki
e) saudara kandung perempuan
a) anak perempuan
b) cucu perempuan
8) saudara seibu laki-laki / perempuan terhijab/terhalang
oleh:
a) anak laki-laki atau perempuan
b) cucu laki-laki atau perempuan
c) ayah
d) kakek
9) Anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki
terhijab/terhalang oleh:
a) anak laki-laki
b) cucu laki-laki
c) ayah
d) kakek saudara kandung laki-laki
e) saudara seayah laki-laki
10) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
terhijab/terhalang oleh:
a) anak laki-laki
b) cucu laki-laki
c) ayah
d) kakek saudara kandung laki-laki
e) saudara seayah laki-laki
11) Paman (saudara laki-laki sekandung ayah)
terhijab/terhalang oleh :
a) anak laki-laki
b) cucu laki-laki
c) ayah
d) kakek saudara kandung laki-laki
e) saudara seayah laki-laki
12) Paman (saudara laki-laki sebapak ayah) terhijab/terhalang
oleh :
a) anak laki-laki
b) cucu laki-laki
c) ayah
d) kakek saudara kandung laki-laki
e) saudara seayah laki-laki
13) Anak laki-laki paman sekandung terhijab/terhalang oleh :
a) anak laki-laki cucu laki-laki
b) ayah
c) kakek saudara kandung laki-laki saudara seayah
laki-laki
14) Anak laki-laki paman seayah terhijab/terhalang oleh :
a) anak laki-laki
b) cucu laki-laki
c) ayah
d) kakek
e) saudara kandung laki-laki
f) saudara seayah laki-laki
15) Cucu perempuan dari anak laki-laki terhijab/terhalang
oleh :
a) anak laki-laki
b) dua orang perempuan jika cucu
perempuan tersebut tidak bersaudara laki-
laki yang menjadikan dia sebagai ashabah

H. TATA CARA DAN PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARISAN


1. Langkah-langkah sebelum pembagian harta warisan
Sebelum membagi harta warisan, terdapat beberapa
hal yang perlu diselesaikan terlebih dahulu oleh ahli waris.
Hal pertama yang perlu dilakukan saat membagi harta
warisan adalah menentukan harta warisan itu sendiri, yakni
harta pribadi dari orang yang meninggal, bukan harta orang
lain. Setelah jelas harta warisannya, para ahli waris harus
menyelesaikan beberapa kewajiban yang mengikat muwaris,
antara lain:
a. Biaya Perawatan jenazah
b. Pelunasan utang piutang
1. Hutang kepada Allah, misalnya, zakat, ibadah
haji, kafarat dan lain sebagainya.
2. Hutang kepada manusi baik berupa uang atau bentuk
utang lainnya.
c. Pelaksanaan wasiat
Wajib menunaikan seluruh wasiat muwaris selama
tidak melebihi sepertiga dari jumlah seluruh harta
peninggalan, meskipun muwaris menghendaki lebih.

2. Menetapkan ahli waris yang mendapat bagian


Pada uraian di muka sudah diterangkan tentang ketentuan
bagian masing- masing ahli waris. Di antara mereka ada yang
mendapat ½ , ¼, 1/8, 1/3, 2/3 dan 1/6. Kita lihat bahwa semua
bilangan tersebut adalah bilangan pecahan.
Cara pelaksanaan pembagian warisannya adalah dengan
cara menetukan dan mengidentifikasi ahli waris yang ada.
Kemudian menentukan di antara mereka yang termasuk :
• Ahli warisnya yang meninggal;
• Ahli waris yang terhalang karena sebab-sebab tertentu,
seperti membunuh, perbedaan agama, dan menjadi
budak.
• Ahli waris yang terhalang oleh ahli waris yang lebih
dekat hubungannya dengan yang meninggal;
• Ahli waris yang berhak mendapatkan warisan.

Cara pelaksanaan pembagian : jika seorang mendapat


bagian 1/3 dan mendapat bagian ½, maka pertama-tama kita
harus mencari KPK ( Kelipatan Persekutuan Terkecil) dari
bilangan tersebut. KPK dari kedua bilangan tersebut adalah 6,
yaitu bilangan yang dapat dibagi dengan angka 3 dan 2.
Contoh : Seorang meninggal ahli waris terdiri dari ibu, bapak,
suami, seorang anak laki-laki dan anak perempuan, kakek dan
paman.
BAHAN AJAR FIQIH
KELAS XII

1. Materi pembelajaran

A. AL HUKMUSY SYAR’I
1. Hukum Syar’i

Pengertian Hukum Syar’i


Menurut mayoritas ulama’ hukum syar’i adalah Firman (kalam) Allah
yang berkaitan dengan semua perbuatan mukallaf, yang mengandung tuntutan,
pilihan atau ketetapan.
Hadis di atas termasuk hukum syar’i karena berupa firman Allah tapi yang
berupa hadis yang menjadikan tidur, masih kecil, dan gila sebagai penghalang
kedewasaan (taklif), sehingga mereka semua tidak terkena hukum.
Dari pengertian hukmu syar’i di atas dapat diketahui dua hal :
1. Bahwa firman Allah yang tidak berkaitan dengan perbuatan orang mukalaf tidak
di namakan hukm, seperti firman yang berkaitan dengan dzat dan sifat-Nya.
2. Yang dinamakan hukm menurut ulama’ ushul atau yang disebut ushuliyun
adalah firman Allah itu sendiri sedangkan menurut ulama’ fiqih atau
fuqaha’ yang di namakan hukm adalah kandungan firman Allah.

Menurut ulama’ ushul ayat di atas disebut al hukm sedangkan menurut


ulama’ fiqih yang disebut al hukm adalah kandungan ayat tersebut yaitu
haramnya zina.

Macam-macam hukum syar’i

Menurut ulama’ uṣūl, Hukum syar’i terbagi menjadi dua macam yaitu
hukum taklīfī dan hukum wad’i.

HukumTaklīfī

a. Pengertian Hukum Taklīfī: yaitu firman Allah yang


berhubungan dengan perbuatan mukalaf yang
menghendaki tuntutan untuk melakukan atau
menjauhi atau untuk membuat pilihan. Di namakan
hukum taklīfī karena adanya pembebanan atau
tuntutan kepada manusia.

b. Macam-macam hukum Taklīfī

Mayoritas ulama’ Ushul membagi hukum taklīfi menjadi 5 :

• Ijāb :yaitu tuntutan Allah kepada mukalaf untuk melakukan


suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.

• Nadb:yaitu tuntutan Allah kepada mukalaf untuk melakukan suatu


perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti atau anjuran untuk
melakukan.

• Taḥrīm :yaitu tuntutan Allah kepada mukalaf untuk tidak


melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.

• Karāha: yaitu tuntutan Allah kepada mukalaf untuk tidak


melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti atau
anjuran untuk menjauhi.

• Ibāḥah: yaitu Permintaan Allah kepada mukalaf untuk


memilih antara melakukan atau meninggalkan suatu
perbuatan.

Menurut para ulama’ Hanafiyah, hukum taklīfī dibagi menjadi 7 bagian


dengan membagi firman Allah yang menuntut melakukan perbuatan dengan
tuntutan pasti pada dua bagian yaitu ījab dan fardu. Sedangkan karaha dibagi
menjadi dua yaitu karaha tanzīh dan karaha tahrīm.

Ulama’ Hanafi berpendapat, jika suatu perintah di dasarkan pada dalil


qat’i yaitu dalil yang berasal dari qur’an dan hadis mutawātir disebut farḍu,
jika di dasarkan pada dalil dẓanni seperti hadis ahadd disebut ijab.

Begitu pula larangan jika dasar yang di gunakan qat’i disebut karaha
tahrīm tetapi jika dasar yang di gunakan dẓanni disebut karaha tanzīh.

Dengan pembagian hukum taklīfī seperti tersebut di atas, Ulama’


Hanafiyah membagi hukum taklīfī kepada farḍu, ījāb, nadb, tahrīm, karaha tanzīh,
karaha tahrīm, dan Ibāḥah. Tetapi pada umumnya ulama sepakat membagi hukum
tersebut kepada lima bagian seperti telah disebut di atas. Kelima macam hukum
itu menimbulkan efek terhadap perbuatan mukalaf dan efek itu oleh ulama’ fiqih
dinamakan al-ahkām al-khamsah, yaitu:

1. Wajib

a. Pengertian wajib

Perbuatan yang di tuntut oleh Allah untuk di lakukan


dengan tuntutan pasti, di mana pelakunya akan mendapat
pujian sekaligus pahala dan yang meninggalkan akan
mendapat celaan atau hinaan sekaligus hukuman.

Menurut mayoritas ulama’ bahwa wajib adalah


sinonim dari fardu. Misalnya, mengerjakan
puasa.
b. Macam-macam wajib

Wajib di tinjau dari waktu pelakasanaanya terbagi menjadi dua

(1). Wajib mutlak yaitu pekerjaan yang di tuntut


untuk di lakukan tetapi syariat tidak
menentukan waktu pelaksanaanya.

Contoh : kafarat yang wajib bagi orang yang


melanggar sumpah, pelaku wajib melakukanya
kapanpun ia mau tidak terikat oleh waktu
tertentu .
(2). Wajib Muqoyyad atau Muaqot yaitu pekerjaan
yang di tuntut oleh syari’ dan harus di lakukan
pada waktu-waktu yang telah di tentukan seperti
shalat lima waktu, puasa ramadhan. Sehingga
seorang mukallaf dianggap berdosa apabila
melakukan di luar waktunya tanpa adanya
udzur.

Wajib di tinjau dari orang yang di tuntut untuk melaksanakanya.


Terbagi menjadi

1). Wajib aini ( ‫ )عين واجب‬yaitu pekerjaan yang di tuntut oleh syar’i
dan harus di laksanakan oleh masing-masing mukallaf, tidak boleh di
wakilkan mukallaf lain seperti shalat, puasa, minum khamr dsb.

2). Wajib kafa’i ( ‫ )كفاىئ واجب‬yaitu pekerjaan yang di tuntut oleh


syari’ yang harus di laksanakan oleh sebagian mukallaf seperti shalat
jenazah, menolong orang yang tenggelam dsb. Sehingga apabila tuntutan
sudah dilaksanakan oleh sebagian mukallaf maka gugur bagi mukallaf
lain.
Wajib Dilihat dari kadar pelaksanaanya terbagi dua:

1). Wajib muḥaddad, yaitu kewajiban yang


ditentukan kadar atau jumlahnya. Misalnya,
jumlah zakat yang mesti dikeluarkan,
jumlah rakaat sholat, dan lain- lain.
2). Wajib gairu muḥaddad, yaitu kewajiban yang
tidak ditentukan batas bilangannya. Misalnya,
membelanjakan harta di jalan Allah,
berjihadd, tolong-menolong, dan lain
sebagainya.

Dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentunya


perbuatan yang dituntut, wajib dapat dibagi dua:
1). Wajib mu’ayyan yaitu perbuatan wajib
yang telah ditentukan macam
perbuatannya, misalnya membaca
fatihah, atau tahiyyat dalam sholat.
2). Wajib mukhayyar yaitu wajib yang boleh
memilih salah satu dari beberapa macam
perbuatan yang telah ditentukan.
Misalnya, kifārat sumpah yang memberi
pilihan tiga alternatif antara memberi
makan sepuluh orang miskin, atau
memberi pakaian sepuluh orang miskin
atau memerdekakan budak.

2. Mandūb

a. Pengertian Mandūb: yaitu perbuatan yang di tuntut


oleh Allah dengan tuntutan tidak pasti atau dengan
kata lain segala perbuatan yang diberi pahala jika
mengerjakannya dan tidak di kenai siksa apabila
meninggalkannya, mandub ini disebut juga sunat
atau mustahab

b. Macam-macam Mandūb

1) Sunat ‘ain yaitu segala perbuatan yang


dianjurkan kepada setiap pribadi mukalaf
untuk dikerjakan, misalnya sholat sunat
rawatib.
2) Sunat kifayah, yaitu segala perbuatan yang
dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh
seseorang saja dari suatu kelompok, misalnya
mengucapkan salam, mendo’akan orang
bersin, dan lain-lain.

Selain itu, sunat juga dibagi kepada:

1) Sunat muakkad, yaitu perbuatan sunat yang


senantiasa dikerjakan oleh Rasul hanya sesekali
saja di tiggakan untuk menyatakan kepadd
umatnya bahwa perbuatan tersebut tidak wajib,
seperti shalat tahajjud dan shalat witir.
2) Sunat gairu muakkad, yaitu segala macam
perbuatan sunat yang tidak selalu dikerjakan
Rasul, misalnya bersedekah pada fakir miskin.

3. Muharram

Pengertian Muharram: yaitu Perbuatan yang di tuntut


oleh Allah untuk di tinggalkan dengan tuntutan pasti atau dengan
kata lain segala perbuatan yang apabila di lakukan mendapat
siksa dan apabila di tinggalkan mendapat pahala misalnya
mencuri, membunuh dan lain sebagainya.
Macam-macam Muharram

Secara garis besarnya haram dibagi kepada dua:

(1) Haram karena perbuatan itu sendiri, atau haram karena


zatnya (tahrīm li zātihi). Haram seperti ini pada pokoknya
adalah haram sejak semula. Misalnya, membunuh,
berzina, mencuri, dan lain-lain.

(2) Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain, atau haram


karena faktor lain yang datang kemudian. Misalnya, jual beli
yang hukum asalnya mubah, berubah menjadi haram ketika
azan jum’at sudah berkumandang. Shalat memakai pakaian
gasab. Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain pada
dasarnya perbuatanya adalah sah, karena itu perbuatanya di
hukumi sah sehingga shalat dengan memakai pakaian gasab
adalah sah hanya saja berdosa.

4. Makrūh

Pengertian Makrūh :Yaitu Perbuatan yang di


tuntut oleh Allah untuk di tinggalkan dengan tuntutan
tidak pasti atau dengan kata lain perbuatan yang bila
ditinggalkan, mendapat pahala, dan jika di lakukan tidak
mendapat dosa. Misalnya: memakan makanan yang
menimbulkan bau yang tidak sedap, shalat di kandang
unta dan lain sebagainya.

Macam-macam Makrūh

Ulama mazhab Hanafi membagi Makrūh kepada dua bagian:

a. Makrūh taḥrīm, yaitu Perbuatan yang di tuntut oleh


Allah untuk di tinggalkan dengan tuntutan pasti
tetapi dalil yang di gunakan adalah dalil ẓanni
seperti dalil yang berasal dari khabar wahid.
Contohnya melamar wanita yang sudah di lamar
orang lain atau menawar barang yang sudah dii
tawar orang lain.

Pelaku Makrūh taḥrīm akan mendapatkan dosa


hanya saja yang mengingkari tidak kafir. Karena
segala sesuatu yang di tetapkan dengan ẓann
(prasangka atau dugaan kuat) tidak dianggap kafir
jika mengingkarinya.
b. Makrūh tanzīh, yaitu Perbuatan yang di tuntut oleh
Allah untuk di tinggalkan dengan tuntutan tidak
pasti. Seperti berwudhu dari air sisa minuman
burung, memakan daging kuda dan meminum susunya.
Makruh seperti ini jika di lakukan pelakunya tidak
mendapatkan hukuman atau dosa.

5. Mubāḥ.
Yaitu perbuatan yang di bebaskan oleh Allah untuk di lakukan
ataupun di tinggalkan.
Hukum Waḍ’ī

Pengertian Hukum waḍ’ī

Yaitu firman Allah yang berhubungan dengan


perbuatan mukallaf yang menjadikan sesuatu sebagai
sebab adanya yang lain, sebagai syarat adanya yang lain
dan sebagai penghalang adanya yang lain.
Macam-macam hukum waḍ’ī

Dari pengertian di atas maka hukum waḍ’ī terbagi menjadi


sebab, syarat, dan mani’ namun sebagian ulama’ memasukan
sah, batal, azimah dan rukhsah sebagai bagian dari hukum
waḍ’ī.
1. Sebab

Menurut bahasa sesuatu yang dapat mengakibatkan sesuatu yang lain.


Menurut istilah khitab Allah yang menjadikan sesuatu sebagai
sebab ada dan tidaknya suatu hukum. Atau adanya sesuatu
menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya sesuatu
menyebabkan tidak adanya hukum. Contoh : masuknya waktu shalat
adalah menyebabkan adanya pelaksanaan shalat dengan tidak adanya
masuknya waktu tidak akan ada pelaksanaan shalat.

Macam-macam sebab :

a. Sebab yang termasuk hukum taklīfi

Seperti melihat hilal menjadi sebab wajibnya puasa


ramadhan, mencuri sebagai sebab di laksanakanya
hukum potong tangan
b. Sebab yang menjadi penyebab adanya kepemilikan,
menjadi penyebab kehalalan dan menjadi penyebab
hilangnya kehalalan, seperti menjual adalah penyebab
adanya kepemilikan, nikah menjadi penyebab adanya
kehalalan dan talaq menjadi penyebab hilangnya
kehalalan.
c. Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan berada
dalam kesanggupanya, seperti membunuh secara sengaja
sebagai sebab adanya hukum qiṣās, perjalanan jauh
menjadi sebab bolehnya tidak berpuasa pada bulan
Ramadhan. Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf
ini mengakibatkan berlakunya ketentuan hukum taklīfī,
oleh karena itu ada yang di perintahkan untuk di
lakukan dan ada yang dilarang seperti berzina yang
merupakan sebab bagi ancaman hukuman.
d. Sebab yang merupakan suatu perkara yang bukan dari
perbuatan dan berada di luar kesanggupan mukallaf,
seperti, kekerabatan adalah sebab terjadinya saling
mewarisi, bālig adalah sebab adanya taklīf.

2. Syarat
Menurut Bahasa, syarat artinya sesuatu yang menghendaki
adanya sesuatu yang lain. Menurut istilah adanya sesuatu yang
mengakibatkan adanya hukum, dan tidak adanya sesuatu itu
mengakibatkan tidak ada pula hukum, namun dengan adanya sesuatu
itu tidak mesti pula adanya hukum, atau sesuatu yang padanya
tergantung keberadaan sesuatu yang lain dan berada di luar hakekat
sesuatu yang lain itu. Misal : Wudhu adalah syarat sah shalat, dalam
arti adanya shalat tergantung pada adanya wudhu namun wudhu itu
sendiri bukanlah merupakan bagian shalat. jika tidak ada wudhu maka
tidak akan ada sah shalat, namun dengan adanya wudhu tidak mesti ada
sah shalat, karena bisa jadi seseorang berwudhu tetapi tidak melakukan
shalat. ḥaul (genap satu tahun) adalah syarat wajibnya zakat harta
perniagaan, tidak adanya haul tidak ada pula kewajiban zakat namun
dengan adanya haul tidak mesti ada wajib zakat karena bisa jadi
barang tersebut tidak mencapai nisāb. Kehaddiran dua orang saksi
menjadi syarat bagi sahnya pernikahan, namun kedua orang saksi itu
bukan menjadi bagian akad nikah.

3. Māni’ (penghalang).
Menurut Bahasa, mani’ adalah penghalang. Menurut istilah
Yaitu sesuatu yang di tetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya
hukum. Māni’ terbagi menjadi 2 :
1). Māni’ terhadap hukum yaitu sesuatu yang di tetapkan oleh
syariat sebagai penghalang bagi berlakunya hukum. seperti haidh dan
nifas adalah māni’ atau penghalang wajibnya shalat meskipun
sebabnya ada yaitu masuknya waktu. Membunuh menjadi māni’
adanya hukum yaitu mewarisi meskipun sebabnya ada yaitu
kekerabatan.
2). Māni’ terhadap sebab yaitu sesuatu yang di tetapkan syariat
sebagai penghalang bagi berfungsinya suatu sebab, sehingga sebab itu
tidak lagi mempunyai akibat hukum. Seperti berhutang menjadi māni’
atau penghalang wajibnya zakat karena tidak terwujudnya sebab yaitu
kepemilikan satu nisāb.
4. Sah

Yaitu suatu perbuatan yang di lakukan oleh mukallaf dengan


memenuhi syarat dan rukunya, contoh di dalam ibadah pelaksanaan
shalat, zakat, puasa, haji yang syarat dan rukunya terpenuhi. Contoh
dalam muamalah seperti nikah, jual beli, wakaf dsb apabila di lakukan
sesuai dngan syarat dan rukunya.
5. Batal

Yaitu suatu perbuatan yang di lakukan oleh mukallaf yang syarat dan
rukunya tidak terpenuhi, seperti shalat yang syarat maupun rukunya
tidak terpenuhi.
6. Rukhsah

Yaitu sesuatu yang dalam kondisi tertentu di syariatkan dalam rangka


memberikan keringanan terhadap mukallaf .

Rukhsah terbagi menjadi beberapa macam :

a. Di perbolehkanya melakukan sesuatu yang


dilarang ketika dalam kondisi terpaksa seperti
orang yang di paksa mengucapkan kata kafir maka
ia boleh mengucapkanya sementara hatinya
tetap dalam keadaan iman.
b. Di perbolehkanya meninggalkan kewajiban jika
ada udzur yang memberatkan mukallaf ketika
melaksanakanya. Seperti orang yang musafir di
perbolehkan tidak berpuasa.
c. Mensahkan sebagian transaksi yang syarat dan
rukunya tidak terpenuhi. Seperti akad salam.
7. Azimah

Yaitu hukum syara’ yang pokok dan berlaku untuk seluruh


mukallaf dan dalam semua keadaan dan waktu, misalnya : shalat fardhu
lima waktu sehari semalam, dan puasa pada bulan ramadhan.

Perbedaan Antara Hukum Taklīfī dengan Hukum Waḍ’ī

Dari uraian sebelumnya dapat dilihat perbedaan antara hukum


taklīfi dan hokum wadhi dari dua hal:

Dilihat dari sudut pengertiannya, hukum taklīfi adalah


hukum Allah yang berisi tuntutan-tuntutan untuk berbuat atau
tidak berbuat suatu perbuatan, atau membolehkan memilih
antara berbuat dan tidak berbuat. Sedangkan hukum waḍ’ī tidak
mengandung tuntutan atau memberi pilihan, hanya
menerangkan sebab atau halangan (māni’) suatu hukum, sah
dan batal.

Dilihat dari sudut kemampuan mukalaf untuk memikulnya,


hukum taklīfī selalu dalam kesanggupan mukalaf, baik dalam
mengerjakan atau meninggalkannya. Sedangkan hukum
waḍ’ī kadang-kadang dapat dikerjakan (disanggupi) oleh
mukalaf dan kadang- kadang tidak.

Hal-hal yang berhubungan dengan hukum syar’i

Al Hakim

a. Pangertian al- Hākim


Al Hākim adalah dzat yang mengeluarkan hukum. Dia
adalah Allah, maksudnya Dialah sebagai sumber hukum.
Allah adalah dzat yang menyuruh, melarang, mewajibkan,
mengharamkan, memberi pahala atau siksa. Dengan
demikian Al Hākim adalah Allah disebut juga syari’ (
‫ ) شارع‬.

b. Metode Mengetahui Hukum Allah

Menurut ijma’ bahwa Al Hākim adalah Allah. Tetapi


para ulama berbeda pendapat mengenai cara mengetahui
hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan perbuatan
mukallaf, mungkinkah akal bisa mengetahuinya tanpa
ada pemberitahuan dari Rasul? Menurut Madzhab
Asy’ariyah bahwa hukum-hukum Allah hanya bisa di
ketahui melalui Rasul-rasul-Nya dan kitab-Nya.
Alasan mereka adalah bahwa yang menetapkan
perbuatan seseorang itu baik atau buruk adalah syariat
dengan cara menuntut untuk melakukan atau
memperbolehkan jika perbuatan itu baik dan menuntut
untuk menjauhi jika perbuatan itu buruk. Sehingga
menurut Asyari bahwa standar baik dan buruk suatu
perbuatan adalah sayriat bukan akal.

Menurut Madzhab Mu’tazilah bahwa hukum-hukum Allah bisa


di ketahui melalui akal tanpa melalui rasul dan kitab-Nya. Karena
semua perbuatan mukallaf yang baik maupun yang buruk
mempunyai dampak, yaitu dampak baik dan dampak buruk.
Dampak inilah yang bisa di ketahui oleh akal. Sehingga
perbuatan yang berdampak buruk menurut akal itu adalah
perbuatan buruk dan sebaliknya perbuatan yang berdampak
baik menurut akal itu adalah perbuatan baik. Dari sini maka
hukum- hukum Allah mengenai perbuatan mukallaf bisa di
ketahui melalui akal.

c. Kedudukan Hakim Dalam Hukum Islam

Kedudukan Al Hākim dalam hal ini adalah Allah SWT


adalah sebagai pembuat sekaligus yang menetapkan hukum
untuk dipatuhi oleh setiap mukallaf.

Mahkūm Fīh

a. Pengertian Mahkūm fīh

Menurut para ulama’ Uṣūl yang dimaksud dengan Mahkūm


fīh adalah obyek hukum,yaitu perbuatan seorang mukallaf yang
terkait dengan perintah syari’(Allah dan Rasul-Nya), baik yang
bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan
memilih suatu pekerjaan. Contoh: suatu perintah kepada
mukallaf untuk melakukan suatu perbuatan, yaitu
melaksanakan shalat.

b. Syarat –syarat mahkum bih/fih

Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang akan di


lakukan.sehingga perintah dapat di laksanakan dengan sempurna
sesuai dengan yang di inginka Allah. Maka seorang mukallaf tidak
tidak wajib melaksankan tuntutan yang belum jelas. Seperti
perintah shalat dalam Al Qur’an andaikan tata caranya tidak di
jelaskan oleh Rasulullah maka mukallaf tidak wajib
mengerjakanya karena perbuatanya dianggap tidak jelas.

Mukallaf harus benar-benar mengetahui bahwa sumber taklif


berasal dari Allah. Sehingga ia melaksanakan berdasarkan
ketaatan dengan tujuan melaksanakan perintah Allah semata.

Perbuatan yang di tuntut harus mungkin untuk dilaksanakan


atau ditinggalkan, berkaitan dengan hal ini terdapat beberapa
persyaratan yaitu:
- Tidak sah menuntut suatu perbuatan yang mustahil di lakukan atau di
tinggalkan mukallaf, misalnya manusia di tuntut untuk terbang maka
tidak wajib di laksankan karena secara adat hal itu tidak mungkin di
lakukan.
- Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di taklifkan
untuk dan atas nama orang lain.

Mahkum ‘Alaih

a. Pengertian Mahkūm ‘alaih (yang di kenai hukum)

Yang dimaksud Mahkūm alaih adalah seseorang yang perbuatannya


dikenai hukum Allah SWT atau disebut dengan mukallaf .

b. Syarat syarat mahkūm ‘alaih

Ada dua syarat yang harus dipenuhi agar seorang mukallaf dapat ditaklif
yaitu: Mampu memahami tuntutan syara’ yang terkandung dalam Al qur’an dan
sunnah baik langsung maupun melalui orang lain. Kemampuan untuk memahami
taklif ini melalui akal. Adapun ukuran untuk menyatakan bahwa seseorang bisa
memahami tuntutan syara’ adalah baligh dan berakal, dari sini maka orang gila dan
anak kecil bebas dari tuntutan taklif karena dianggap tidak berakal, begitu pula
orang yang lupa, tidur dan tidak sadar juga terbebas tuntutan taklif karena dianggap
tidak mempunyai kemampuan memahami sesuatu.

Memiliki kemampuan atau kecakapan dalam melaksankan tuntutan


Syariat yang dalam ushul fiqih disebut Ahliyyah, yaitu seseorang yang
memiliki keahlian, kelayakan, atau kepantasan. Misalnya, seseorang dikatakan
ahli untuk mengurus masalah wakaf berarti dia pantas untuk diserahi
tanggung jawab mengurus harta wakaf.
Aliyah ada 2 macam yaitu :
1. Ahliyah ada

Yaitu mukallaf yang prilaku dan ucapanya secara syariat sudah


di nilai. Ukuran seseorang telah memiliki ahliyyah ada’ adalah
tamyiz dan berakal atau telah mencapai usia akil-baligh.
2. Al-wujub Ahliyah
Yaitu fitrah manusia yang di berikan Allah sejak dilahirkan
atau kepantasan manusia dalam mendapatkan hak dan kewajiban.
Seperti wajibnya membayar zakat fitrah bagi anak-anak, hak
untuk mendapatkan warisan bagi janin.

Kondisi manusia dalam melaksanakan tuntutan

- Tidak mempunyai keahlihan atau keahliannya hilang.

Yang termasuk kelompok ini adalah anak kecil pada


masa kecilnya dan orang gila. Mereka tidak
memiliki kemampuan untuk melaksanakan
tuntutan karena belum atau tidak sempurna
akalnya. Sehingga semua perbuatanya yang
berhubungan dengan hukum tidak sah.
- Mempunyai keahlihan tetapi belum sempurna

Yang termasuk dalam kelompok ini adalah


anak kecil yang mumayiz, sehingga tindakanya
yang berhubungan dengan hukum dianggap sah
seperti pemberianya tanpa seijin walinya.
- Memiliki keahlihan sempurna

yaitu orang yang baligh dan berakal. Sehingga


semua hukum-hukum Allah berlaku kepadanya
begitu pula akibat ketentuan-ketentuan hukum
beserta sanksi-sanksinya.

Hal-hal yang menghalangi ahliyyah ada’:

- ‘Awāriḍ samāwiyyah yaitu halangan yang


datangnya dari Allah bukan di sebabkan oleh
keinginan manusia seperti: gila, dungu,
perbudakan, sakit yang berkelanjutan kemudian
mati dan lupa.
- ‘Awāriḍ al muktasabah yaitu halangan yang
disebabkan oleh perbuatan manusia seperti
mabuk, keadaan terpaksa, banyak hutang dsb.

Dampak dari halangan ahliyatul ada’ di atas akan


menyebabkan :

- Seseorang akan kehilangan ahliyatul ada’ sama


sekali seperti orang gila, orang tidur, dan orang yang
pingsan, mereka semua secara asal tidak
mempunyai ahliyatul ada’ sehingga apa yang
mereka lakukan tidak mempunyai dampak hukum.
- Mengurangi ahliyatul ada’ seseorang, karena itulah
sebagian tindakanya sah secara syariat seperti
anak kecil yang sudah tamyiz.
- Tidak ada dampak apapun terhadap ahliyatul
ada’ ( tidak menghilangkan dan tidak juga
mengurangi), tetapi ada beberapa perubahan
hukum dalam rangka melindungi kemaslahatan,
seperti yang terjadi pada orang yang baligh,
berakal mempunyai ahliyatul ada’ secara sempurna
tetapi mempunyai banyak hutang, orang tersebut
tidak boleh menggunakan harta bendanya bukan
karena ahliyatul ada’nya hilang atau berkurang
tetapi semata-mata bertujuan melindungi harta
bendanya orang yang di hutangi.
1.Materi Pembelajaran

A. KAIDAH USUL FIKIH

Pengambilan hukum fiqih (istinbath hukm) dari al Qur’an dan


hadis yang dilakukan oleh ulama mujtahid berdasarkan atas 2 kaidah
yaitu kaidah fiqhiyah dan ushuliyah. Kaidah merupakan pedoman.
Kaidah ushuliyah berarti kaidah atau aturan untuk memahami dalil-
dalil yang berkaitan dengan pengambilan hukum yang diperoleh
dengan mempelajari bahasa yang terkandung dalam dalil tersebut.
Sedangkan kaidah fiqhiyah merupakan pengambilan hukum yang
dikaitkan dengan fakta atau substansinya. Penggunaan suatu lafadh
yang menjadi obyek dalam kajian kaidah usul fiqih banyak
macamnya, antara lain; perintah, larangan, khas,‘am, mujmal,
mubayyan, murodif dan mustarok dll. Semua itu dibutuhkan untuk
memahami ketentuan suatu lafadh yang ada dalam al-Qur’an
sehingga dengan demikian dapat menentukan hukum fiqihnya. Karena
di dalam bahasa Arab penggunaan lafadh berimplikasi terhadap
hukum. Dalam bab ini akan dipelajari penggunaan lafadh, implikasi
terhadap hukum dan aturan-aturannya.

Adapun kaidah-kaidah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

al-Amru (Perintah)

• Pengertian Al-Amru

Menurut bahasa, al-Amru secara hakiki berarti suruhan perintah, yaitu lafadh
tertentu yang menunjukkan tuntutan melakukan pekerjaan. Secara majaz al-Amru
bermakan perbuatan. Seertiungkapan dalam firman Allah : “ musyawarahkanlah dalam
sesuatu yang akan diperbuat”.

Sedangkan menurut istilah adalah:

“Al-Amru ialah tuntutan melakukan pekerjaan dari yang lebih


tinggi kepada yang lebih rendah”

Yang lebih tinggi kedudukannya adalah Syaari’ (Allah atau Rasul-Nya) dan kedudukan
yang lebih rendah adalah mukallaf. Jadi amar adalah perintah Allah atau Rasulnya
kepada mukallaf untuk melakukan suatu pekerjaan. Jika tuntutan melakukan pekerjaan
itu datangnya dari yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi kedudukannya, maka
disebut do’a atau permohonan.

Kaidah Amar

Shighat Amr menunjukkan hukum wajib

Maksudnya bahwa bentuk amr pada dasarnya menunjukkan


hukum wajib, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang
memalingkan dari hukum wajib. Contoh ayatnya dirikanlah
shalat,yang didalamnya terdapat perintah allah yang wajib
dilakukan. Jika shighat amr ada qarinah, baik qarinah muttashil (
menyatu) ataupun qarinah munfasil ( terpisah), atau adanya dalil lain
yang menunjukkan selain hukum wajib maka shighat amr tersebut
harus diarahkan kepada hukum tersebut yaitu hukum mubah atau
sunnat.

Amr juga memiliki makna lain, antara lain:


1. Untuk do’a
2. Untuk penghormatan
3. Untuk petunjuk
4. Untuk ancaman
5. Ta’jiz(melemahkan)
6. Menyerah
7. Menyesal
8. Memilih
9. Persamaan

Al-Nahyu (Larangan)

Pengertian Al-Nahyu (Larangan),

Menurut bahasa An-Nahyu berarti larangan. Sedangkan


menurut istilah ialah: “An-Nahyu (larangan) ialah tuntutan
meninggalkan perbuatan dari yang lebih tinggi kepada yang lebih
rendah (kedudukannya)”.

Kedudukan yang lebih tinggi disini adalah Syaari’ (Allah atau


Rasul Nya) dan kedudukan yang lebih rendah adalah
mukallaf.

Jadi nahi adalah larangan yang datang dari Allah atau Rasul Nya kepada
mukallaf.

Kaidah an-Nahyu

• Nahi menunjukkan haram

• Karahah

• Do’a

• Petunjuk atau bimbingan

• Meremehkan atau menghina

• Putus asa

• Mengancam

• Menghibur
B. Pengertian dan Penerapan Kaidah ’Am dan Khas

Kaidah ’Am
Pengertian ‘Am
‘Am menurut bahasa artinya merata, yang umum. Menurut i stilah
‘am adalah kata yang memberi pengertian mencakup segala sesuatu yang
terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas. Contoh ayat : “ ..bunuhlah orang-
orang musyrik “. Perintah ini diarahkan kepada semua orang musyrik
seluruhnya, tanpa dibatasi jumlah.

Dalalah Lafadh ‘Am

Jumhur Ulama, di antaranya Syafi’iyah, berpendapat bahwa


lafadh ‘Am itu dzanniy dalalahnya atas semua satuan-satuan di
dalamnya. Oleh karena itu, ketika lafadh ‘wm ditemukan, hendaklah
berusaha dicarikan pentakshisnya.
Berbeda dengan jumhur ulama’, Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
lafadh ‘wm itu qath’iy dalalahnya, selama tidak ada dalil lain yang mentakhshishnya
atas satuan- satuannya. Karena lafadh ‘wm itu dimaksudkan oleh bahasa untuk
menunjuk atas semua satuan yang ada di dalamnya, tanpa kecuali.
Kaidah-kaidah lafadh ‘am
(Lafadh ‘am yang dikehendaki keumumannya), karena ada dalil atau indikasi
yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhshish (pengkhususan).
Lafadh ‘am yang menerima pengkhususan ialah lafadh ‘am yang tidak disertai
karinah ia tidak mungkin dikhususkan dan tidak ada pula karinah yang meniadakan
tetapnya atau keumumannya. Tidak ada qarinah lafadh atau akal atau ‘urf yang
memastikannya umum atau khusus. Lafadh ‘am seperti ini dzahirnya menunjukkan
umum sampai ada dalil pengkhususannya

C. KAIDAH KHAS

Pengertian Khas

Khas ialah lafadh yang menunjukkan arti yang tertentu, khusus,


tidak meliputi arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan
dari ‘am. Suatu lafadh yang diciptakan untuk satu arti yang
sudah diketahui (ma’lum) atas individu.

Menurut istilah, definisi khas adalah:

Al-khas adalah lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada


perseorangan tertentu, seperti Muhammad. Atau menunjukkan
satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan
terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat,
sekumpulan, sekelompok, dan lafadh-lafadh lain yang menunjukkan
bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua satuan-
satuan itu.

Dengan demikian yang termasuk lafadh khas adalah ; Lafadh


yang tidak bisa mencakup lebih dari satu seperti “ Rajulun “
(seorang laki-laki), dan lafadh yang bisa mencakup ebih dari satu
tapi terbatasi. Misalnya tiga orang laki-laki.

Hukum lafadz khas dan contohnya

Lafadz khas dalam nash syara’ adalah menunjuk pada dalalah


qath’iyah (dalil yang pasti) terhadap makna khusus yang dimaksud.
Hukum yang ditunjukkan adalah qath’i selama tidak ada dalil yang
memalingkan pada makna lain.

Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah terhadap


makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah
qath’iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya
kepada makna yang lain.

Kata tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak
mungkin diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki
oleh lafadh itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qath’iy
dan dalalah hukumnya pun qath’iy.
Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor
kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafadh khas.
Karena kedua lafadh tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau
kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri. Dengan
demikian, dalalah lafadh tersebut adalah qath’iy. Tetapi menurut
Ulama Hanafiyah, dalam hadis tersebut terdapat qarinah yang
mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat
adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat
dilakukan bukan hanya dengan memberikan seekor kambing,
tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor kambing
yang dizakatkan.

Masalah Takhsis

• Pengertian takhsis

Takhshish menurut bahasa artinya menghususkan (yang


umum). Menurut istilah takhshish adalah membedakan sebagaiaan
dari sekumpulan. Atau dengan kata lain, membedakan hukum
sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadh ‘am
dengan menggunakan mukhashish. Jika yang dibedakan/
dikecualikan dari hukum itu bukan sebagian tapi keseluruhan
maka tidak disebut takhshish tetapi disebut nasakh ( mengganti
hukum).
Perangkat takhshish ( mukhashshish) dibagi dua kategori;

1. Mukhashshish muttashil : mukhashshish yang tidak berdiri


sendiri, tapi disebutkaan bersamaan dengan lafadh ‘am.
Yang termasuk dalam kategori ini adalah :
a. Istisna’ ( lafadh pengecualian ), contoh ucapan : “telah
datang para ahli fiqih kecuali Zaid”. Zaid dikeluarkan
dari hukum datangnya para ahli fiqih.
b. Syarath, Contoh ucapan : “ mulyakanlah para ahli fiqih
jika mereka bersikap zuhud”. Hal ini berarti yang
tidak bersikap zuhud tidak dimulyakan.
c. Pembatasan dengan sifat, contoh ucapan :
“mulyakanlah para ulama yan wara’”.
d. Ghoyah ( batas akhir), contoh : kemudian
sempurnakanlah puasa sampai malam.
e. Badal ba’dl min kul (pengganti sebagian dari
keseluruhn). Contoh ; “ Muliaanlah orang-orang,
yakni kaum quraisy”.

2. Mukhashshish munfashil; mukhashshish yang bisa berdiri


sendiri , tidak dituturkan bersama dengan lafadh ‘am. Contoh
mentakhsish dalam ayat thalak, ayat perintah membunuh
orarng musyrik yang ditakhsish dengan ayat kafir mu’ahad
dan sebagainya.

1) Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri


(menunggu) tiga kali quru.” (QS. Al Baqarah (2)
:228).
2) “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya.” surat AT-Talaq : 4
3) “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-
perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya Maka sekali- sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu
yang kamu minta menyempurnakannya. .” surat Al Ahzab(33):49

Dengan demikian keumuman bagi setiap wanita yang


dicerai harus beriddah tiga kali suci tidak berlaku bagi wanita
yang sedang hamil dan yang dicerai dalam keadaan belum
pernah digauli.
Mentakhshish ayat Al Qur’an dengan ayat Al Qur’an
Men takhsis Al Qur’an dengan As Sunnah
“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kamu bila ia berhadats
sampai ia berwudhu”. (Muttafaq ‘Alaihi).

Men takhsis As Sunnah dengan As Sunnah


“Pada tanaman yang disirami oleh air hujan, zakatnya
sepersepuluh”. (Muttafaq Alaihi).

Keumuman hadis di atas tidak dibatasi dengan jumlah hasil


panennya. Kemudian hadis itu ditaksis oleh hadis lain yang
berbunyi:
“Tidak ada kewajiban zakat pada taanaman yang banyaknya kurang dari 5
watsaq
(1000 kilogram)’. (Muttafaq Alaihi).
Dari kedua hadis di atas jelaslah bahwa tidak semua tanaman wajib dizakati,
kecuali yang sudah mencapai lima watsaq.
Men takhsis Al Qur’an dengan Ijma’
“Apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah
kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumuah (62) : 9)

Menurut ayat tersebut, kewajiban shalat Jum’at berlaku bagi


semua orang. Tapi para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa kaum
wanita, budak dan anak-anak tidak wajib shalat Jum’at.

Men takhsis al Qur’an dengan Qiyas


“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus dali dera, “(QS. An-Nur:2)
Men takhsish dengan pendapat sahabat
Jumhur ulama berpendapat bahwa takhsis hadis
dengan pendapat sahabat tidak diterima. Sedangkan
menurut Hanafiyah dan Hanbaliyah dapat diterima jika
sahabat itu yang meriwayatkan hadis yang di takhsis
nya. “Menurut hadis tersebut, baik laki-laki maupun
perempuan yang murtad hukumnya dibunuh. Tetapi
Ibnu Abbas (perawi hadis tersebut) berpendapat bahwa
perempuan yang murtad tidak dibunuh, hanya
dipenjarakan saja.

Pendapat di atas ditolak oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa


perempuan yang murtad juga harus dibunuh sesuai dengan
ketentuan umum hadis tersebut. Pendapat sahabat yang
mentakhshish keumuman hadis di atas tidak dibenarkan karena
yang menjadi pegangan kita, kata Jumhur Ulama, adalah lafadh-
lafadh umum yang datang dari Nabi. Di samping itu,
dimungkinkan bahwa sahabat tersebut beramal berdasarkan
dugaan sendiri.

Pengertian dan Penerapan Kaidah Mujmal dan Mubayyan

Mujmal

Secara bahasa mujmal berarti samar-samar dan


beragam/majemuk. Mujmal ialah suatu yang belum jelas, yang tidak
dapat menunjukkan arti sebenarnya apabila tidak ada keterangan lain
yang menjelaskan. Dapat juga dimengerti sebagai lafadh atau susunan
kalimat yang global, masih membutuhkan penjelasan (bayan) atau
penafsiran (tafsir). Jadi sesuatu yang belum jelas tadi bisa berupa
lafadh atau berupa susunan kalimat.

Yang termasuk lafadh mujmal adalah ;

Lafadh yang diciptakan untuk dua makna hakikat sekaligus, yakni lafadh
musytarak.

Seperti lafadh ‫ القرء‬yang menunjukkan makna “ suci” dan “haidl”.


Lafadh yang karena sebab musyabbahah (keserupaan) layak
untuk dua makna sekaligus. Misalnya lafadh ~‫ انلور‬layak untuk
darahkan kepada makan “ akal” dan “ cahaya matahari “ sekaligus.

Lafadh yang ada serupa karena proses i’lal dalam ilmu sharaf.
Misalnya lafadh ‫ المختـــار‬. lafdh ini bisa dianggap sebagai isim fail
juga isim maf’ul. Berasal dari fiil madli ‫ إحتــار‬.

Termasuk mujmal adalah lafadh mempunyai makna


secara bahasa, namun oleh syari’ ( Allah dan Rasullullah)
dipakai untuk makna istilah syar’iyah tertentu. Seperti lafadh;
shalat, zakat, haji, shaum, riba dan sebagainya. Lafadh-lafadh
ini memerlukan bayan tertentu dari syari’. Bayan bisa
berupa bayan qauly, fi’li dan taqriry. Lafadh ‫ الراس~~خون‬tidak
jelas apakah sebagai athaf ( sambungan kalimat) atau sebagai ibtida’
( permulaan kalimat). Mayoritas ulama mengarahkan ebagai
ibtida’. Contoh lain adalah kalimat : ‫ ماه~ر طبيب زي~د‬apaah artinya :
” Zaid adalah dokter yang pintar “, ataukah “ Zaid adalah
dokter dan orang yang pintar “. Kedua makna ini mungkin
dan seimbang. Lafadh ‫ ماهر‬belum jelas apakah sebagi na’at
ataukah khobar kedua dari Zaid.

D. Mubayyan

Pengertian Mubayyan

Mubayyan artinya yang ditampakkan dan yang dijelaskan.


Secara istilah berarti lafadh yang dapat dipahami maknanya berdasar
asal mulanya atau setelah dijelaskan oleh lainnya. Al Bayyan artinya
ialah penjelasan. Jadi al Bayan ialah menjelaskan lafadh atau
susunan kalimat yang mujmal.

Klasifikasi Mubayyan

Mubayyan Muttashil, adalah mujmal yang disertai penjelasan


yang terdapat dalam satu nash. Misalnya dalam QS. An Nisa’ (4)
: 176,

Lafazh mubayyan adalah mujmal yang kemudian dijelaskan


dalam satu nash; “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang
kalalah). Kemudian Allah menjelaskan makna Kalalah” dalam
kelanjutan ayat tersebut dalam satu ayat. Kalalah adalah orang yang
meninggal dunia yang tidak mempunyai anak. Makna inilah yang
diambil oleh Umar bin Khtattab, yang meyatakan: “Kalalah adalah
orang yang tidak mempunyai anak.”

Mubayyan Munfashil, adalah bentuk mujmal yang disertai


penjelasan yang tidak terdapat dalam satu nash. Dengan kata lain,
penjelasan tersebut terpisah dari dalil mujmal.

Macam-macam Mubayyan

• Bayan Perkataan

Penjelasan dengan perkataan (bayan bil qaul), contohnya pada QS Al


Baqarah (2) : 196 :

• Bayan Perbuatan

Penjelasan dengan perbuatan (bayan fi’li) Contohnya


Rasulullah melakukan perbuatan-perbuatan yang
menjelaskan cara-cara berwudhu yakni: memulai dengan
yang kanan, batas-batas yang dibasuh, Rasulullah
mempraktekkan cara-cara haji, shalat dan sebagainya. Ada

juga penjelasan dengan perk ataan dan perbuatan, sekaligus

Firman Allah dalam QS Al-Baqarah (2): 43: ‫…“ٱلصلوة وأقِ~~يموا‬dan


dirikanlah shalat…” Perintah mendirikan shalat tersebut
masih kalimat global (mujmal) yang

masih butuh penjelasan bagaimana tata cara shalat yang


dimaksud, maka untuk menjelaskannya Rasulullah naik
keatas bukit kemudian melakukan shalat hingga
sempurna, lalu bersabda: “Shalatlah kalian, sebagaimana
kalian telah melihat aku shalat” (HR Bukhari).

• Bayan dengan Tulisan

Penjelasan dengan tulisan Penjelasan tentang ukuran zakat, yang dilakukan oleh
Rasulullah dengan cara menulis surat (Rasulullah mendiktekannya, kemudian
ditulis oleh para Sahabat) dan dikirimkan kepada petugas zakat beliau.

• Bayan dengan Isyarat

Penjelasan dengan isyarat contohnya seperti


penjelasan tentang hitungan hari dalam satu bulan, yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW. dengan cara isyarat,
yaitu beliau mengangkat kesepuluh jarinya dua kali dan
sembilan jari pada yang ketiga kalinya, yang maksudnya
dua puluh sembilan hari.

Bayan dengan taqrir/tidak melarang/diam


Penjelasan dengan diam (taqrir). Yaitu ketika
Rasulullah melihat suatu kejadian, atau Rasulullah
mendengar suatu penuturan kejadian tetapi Rasulullah
mendiamkannya (tidak mengomentari atau memberi
isyarat melarang), itu artinya Rasulullah tidak
melarangnya. Kalau Rasulullah diam tidak menjawab
suatu pertanyaan, itu artinya Rasulullah masih menunggu
turunnya wahyu untuk menjawabnya.

E. Pengertian dan Penerapan Kaidah Muradif dan Musytarak

Muradif

• Pengertian Muradif

Muradif ialah beberapa lafadh yang menunjukkan satu arti. Dalm bahasa
Indonesia disebut dengan sinonim.
• Kaidah muradif

Mempertukarkan dua muradif satu sama lain itu


diperbolehkan jika dibenarkan oleh syara’. Namun kaidah ini
tidak berlaku bagi Al Qur’an, karena ia tidak boleh diubah. Bagi
madzhab malikiah, takbir salat tidak boleh dilakukan kecuali
dengan lafal “Allah akbar.” Imam Syafi’i membolehkan dengan
lafal “Allahu Akbar”. Sementara imam Abu Hanifah
membolehkan lafal “Allah Akbar” diganti dengan lafal “Allah
Al- Azim” atau “Allah Al-Ajal”.

Ulama’ yang tidak membolehkan beralasan karena adanya


halangan syar’i yaitu bersifat ta’abudi (menerima apa adanya
tidak boleh diubah). Sedang yang membolehkan, beralasan
karena adanya kesamaan makna dan tidak mengurangi maksud
ibadah tersebut.

Musytarak

• Pengertian Musytarak

Musytarak ialah satu lafadh yang menunjukkan dua makna atau


lebih. Maksudnya satu lafadh mengandung maknanya yang
banyak atau berbeda-beda.

Adapun definisi yang diketengahkan oleh para ulama’ ushul adalah antara
lain:
“Satu lafadh (kata) yang menunjukkan lebih dari satu
makna yang berbeda, dengan penunjukan yang
sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut ”

Kata musytarak tidak dapat diartikan dengan


semua makna yang terkandung dalam kata tersebut
secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan dengan arti
salah satunya. Seperti kata ‫ ق ~رء‬yang dalam pemakaian
bahasa arab dapat berarti masa suci dan bisa pula masa
haidh, lafadh ‫ عي‬bisa berarti mata, sumber mata air,
dzat, harga, orang yang memata-matai dan emas, kata ‫يد‬
musytarak antara tangan kanan dan kiri, kekuasaan kata
‫ سنة‬dapat berarti tahun untuk hijriyah, syamsiyah, bias
pula tahun masehi.

• Kaidah Musytarak
“Penggunaan musytarak menurut makna yang dikehendaki
ataupun untuk beberapa maknanya itu diperbolehkan.”

Jadi, menetapkan salah satu makna dari suatu lafadh musytarak tidak
dibatasi. Beberapa makna musytarak tersebut boleh dipergunakan. Contohnya,
kata “sujud”. Kata ini bisa berarti meletakkan kepala di tanah dan bisa pula
berarti inqiyad (kepatuhan).
• Sebab-sebab terjadinya Lafadh Musytarak
Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah arab di dalam menggunakan
suatu kata untuk menunjukkan terhadap satu makna. Seperti perbedaan dalam
pemakain kata
‫ يد‬, dalam satu kabilah, kata ini digunakan menunjukkan arti “hasta secara
sempurna”
(‫)ذراع كه‬. Satu kabilah untuk menunjukkan (‫)الساعدوالكف‬. Sedangkan kabilah
yang lain untuk menunjukkan khusus “telapak tangan”.
Terjadinya makna yang berkisar/ keragu-raguaan (
‫) تردد‬ antara makna hakiki dan majaz. Terjadinya makna yang
berkisaran/keragu-raguaan (‫)تردد‬ antara makna hakiki dan makna
istilah urf. Sehingga terjadi perubahan arti satu kata dari arti bahasa
kedalam arti istilah, seperti kata-kata yang digunakan dalam istilah syara’.
Seperti lafadh ‫ الصلة‬yang dalam arti bahasa bermakna do’a, kemudian
dalam istilah syara’ digunakan untuk menunjukkan ibadah tertentu yang
telah kita maklumi.

• Ketentuan Hukum Lafadh Musytarak


Apabila lafadh tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya
musytarak antara arti bahasa dan istilah syara’, maka yang
ditetapkan adalah arti istilah syara’, kecuali ada indikasi-indikasi
yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam
istilah bahasa.

Apabila lafadh tersebut mengandung kebolehan terjadinya


banyak arti, maka yang ditetapkan adalah salah satu arti saja
dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menunjukkan
salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah maupun
qarinah haliyah. Yang dimaksud qarinah lafdziyah adalah suatu
kata yang menyertai nash. Sedangkan qarinah haliyah adalah
keadaan/kondisi tertentu masyarakat arab pada saat turunnya
nash tersebut.

Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu


arti lafadh lafadh tersebut, menurut golongan Hanafiyah harus
dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan salah
satu artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafi’iyah
membolehkan menggunakan salah satu artinya. Contoh
Lafadh Musytarak dalam QS. Al Baqarah (2): 222

F. Pengertian dan Penerapan Kaidah Muthlaq Muqayyad

Muthlaq

Muthlaq adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat


tanpa suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS. Al
Mujadalah (58) : 3,

“Dan orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak


menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka) memerdekakan
seorang budak ….”
Lafadh “budak” diatas tanpa dibatasi, meliputi segala jenis budak, baik yang
mukmin maupun kafir.

Muqayyad

Muqayyad adalah lafazh yang menunjukkan suatu


hakikat dengan suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS.
An Nisa’ (4): 92 :
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin
(yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barang
siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaknya)
ia memerdekakan seorang budak yang beriman.”

Lafazh “budak” di atas dibatasi dengan “yang beriman”

Macam-Macam Muthlaq dan Muqayyad serta hukumnya

Lafadh yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak


ada dalil yang meng- qayyid-kannya (membatasinya). Jadi terdapat
dalil yang memberi batasan (qayyid) maka dalil itu dapat
mengalihkan ke mutlaqannya dan menjelaskan pengertiannya.
Contohnya, pada QS. An Nisa’ (4) : 11, tentang pembatasan
atau pembagian harta pusaka.

QS. Al-Maidah : 3
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi.” Lafazh
“darah” pada ayat diatas adalah muthlaq tanpa ada batasan.

G. Pengertian dan Penerapan Kaidah Dhahir dan Ta’wil

Dhahir

Secara bahasa : Yang terang (‫ )الواضح‬dan yang jelas (‫)ابلني‬. Dalam pengertian istilah,
dhahir adalah lafadh yang memiliki kemungkinan dua makna, salah satunya lebih jelas
dari makna yang lain. Atau dalam ungkapan lain dhahir adalah lafadh yang menunjukkan
atas makna dengan dilalah dhanni; yakni dimenangkan makna tersebut dan mengalahkan
dalam makna yang lain. Sehingga maknanya lafadh tersebut segera dipahami ketika
diucapkan tetapi masih ada kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh). Dilalah
dhanni adalah penunjukan makna dengan dugaan kuat, yang mencakup dilalah
lughawiyah, ‘urfiyah, dan dilalah syar’iyyah. Contoh :

Contoh
Dilalah Makna rajih/unggul Makna marjuh
Lafadh

‫ السد‬Jenis tertentu dari binatang


Lughowiyah Laki-laki pemberani
buas

‫ الغائط‬Kotoran yang keluar dari Tempat yang rendah sebagai


‘Urfiyah manusia tempat buang hajat

‫ الصلة‬Ibadah dengan tatacara


Syar’iyah Doa kebaikan
tertentu

Jadi lafadh ‫ الس ~د‬dengan makan “ jenis tertentu dari binatang buas” disebut
dhahir, karena makna yang diunggulkan. Misalnya sabda Nabi, SAW.,

‫توضؤوا من لوم البل‬ “Berwudhulah kalian karena memakan daging unta!”

Maka sesungguhnya yang zahir dari yang dimaksud dengan


wudhu adalah membasuh anggota badan yang empat dengan sifat
yang syar’i bukan wudhu yang berarti membersihkan diri.

Jika pemahaman suatu lafadh dengan makna dhahirnya


menimbulkan kejanggalan, maka lafadh yang semula makna dhahir
tersebut harus dita’wil dengan menggunakan dalil. Selanjutnya
digunakan/ diarahkan kepada makna marjuhnya ( makna yang tidak
diuggulkan). Dengan demikian lafadh yang semula dhahir menjadi
mu’awwal (yang

ditakwil). Muawwal juga disebut dhahir bid dalil.

Contoh firman Allah: ‫ بأيد بنيناها والسماء‬artinya : dan langit kami bangun
dengan “ kekuasaan “. Lafadh ‫ أيد‬adalah jama’ dari lafadh ‫ يد‬artinya
tangan. Sedangkn
mengarahkan pada makna tangan sebagaimana tubuh manusia adalah
mustahil bagi Allah. Karena Allah berifat mukhalafatu lil hawadits/
beerbeda dengan mahluk. Sebagaiman kita fahami dari akal. Maka
kita alihkan maknanya menjadi “ keuatan”.

Dari uraian ini dapat disimpuan bahwa muawwal adalah lafadh


yang menunjukkan atas makna dengan menunjukkan makna yang
marjuh ( diungguli). Sedangkan ta’wil adalah mengarahkan makna
yang dhahir kepada makna yang marjuh.

H. Pengertian dan Penerapan Kaidah Manthuq dan Mafhum

Manthuq

• Pengertian Manthuq

Mantuq adalah makna lahir yang tersurat (eksplisit) yang


tidak mengandung kemungkinan pengertian ke makna yang
lain.

• Pembagian Manthuq

Nash

Nash ialah lafadh yang bentuknya sendiri telah jelas maknanya.

Contohnya pada QS. Al Baqarah (2) : 196,

“Maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila
kamu
telah pulang kembali, itulah sepuluh (hari) yang sempurna.”

Penyifatan “sepuluh” dengan “sempurna” telah mematahkan


kemungkinan “Sepuluh” ini diartikan lain secara majaz (kiasan).
Inilah yang dimaksud dengan nash.
zahir

zahir ialah lafadh yang maknanya segera dipahami ketika


diucapkan tetapi masih ada kemungkinan makna lain yang
lemah (marjuh). Contohnya firman Allah dalam QS. Al-
Baqarah: 222

“Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci ….”

Berhenti dari haid dinamakan suci (tuhr), berwudhu dan


mandi pun disebut “tuhr”. Namun penunjukan kata “tuhr”
kepada makna kedua (mandi) lebih tepat, jelas (zahir) sehingga
itulah makna yang rajih (kuat), sedangkan penunjukan kepada
makna yang pertama (berhenti haid) adalah marjuh (lemah).

Muawwal

Mu’awwal adalah lafazh yang diartikan dengan makna


marjuh karena ada sesuatu dalil yang menghalangi
dimaksudkannya makna yang lebih rajih. Mu’awwal berbeda
dengan zahir; zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak
ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh, sedangkan
mu’awwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang
memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi masing-masing
kedua makna ini ditunjukkan oleh lafazh menurut bunyi ucapan
yang tersurat.

Dalalah Iqtida’ / Iqtida’i al Nass

Dalalah iqtida’ adalah kebenaran petunjuk lafadh kepada makna yang


tepat tapi bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Contohnya pada
QS. An Nisa (4): 23
“ diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu”

Ayat ini memerlukan adanya adanya kata-kata yang


tidak disebutkan, yaitu kata “bersenggama”, sehingga
maknanya yang tepat adalah “diharamkan atas kamu
(bersenggama) dengan ibu-ibumu.”
Dalalah Isyaroh

Dalalah Isyarah adalah kebenaran petunjuk lafadh


kepada makna yang tepat berdasarkan isyarat lafadh.
Contohnya pada QS Al Baqarah (2): 187. Ayat ini
menunjukkan sahnya puasa bagi orang-orang yang di waktu
pagi hari masih dalam keadaan junub, sebab ayat ini
membolehkan bercampur sampai dengan terbit fajar sehingga
tidak ada kesempatan untuk mandi. Keadaan demikian
memaksa kita, pagi dalam keadaan junub.

I. Mafhum

Pengertian Mafhum

Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazdh tidak


berdasarkan pada bunyi ucapan yang tersurat, melainkan
berdasarkan pada pemahaman yang tersirat.

Pembagian Mafhum

Mafhum muwafaqah (perbandingan sepadan) yaitu makna yang hukumnya sepadan


dengan manthuq

Fahwal Khitab

Fahwal khitab yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih


memungkinkan diambil hukumnya daripada mantuq. Misalnya
pada QS. al Isra (17): 23,
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua)
perkataan ‘ah’ .”

Ayat ini mengharamkan perkataan “ah” yang tentunya


akan menyakiti hati kedua orang tua, maka dengan pemahaman
perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain
seperti mencaci-maki, memukul lebih diharamkan lagi,
walaupun tidak disebutkan dalam teks ayat.

Lahnul Khitab

Lahnul Khitab yaitu bila mafhum dan hukum mantuq sama nilainya. Misalnya pada
QS. An Nisa (4): 10,

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim


secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh
perutnya … “

Ayat ini melarang memakan harta anak yatim maka dengan


pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan
lain seperti : membakar, menyia-nyiakan, merusak,
menterlantarkan harta anak yatim juga diharamkan.

Mafhum mukhalafah

Mafhum mukhalafah (perbandingan terbalik) yaitu


makna yang hukumnya kebalikan dari manthuq.

Mafhum sifat

Mafhum sifat adalah sifat ma’nawi. Contohnya pada QS. Al Hujurat (49): 6

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang


fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti … “

Ayat ini memerintahkan memeriksa dengan meneliti berita


yang dibawa oleh orang fasik. Maka dengan pemahaman
perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) bahwa berita yang
dibawa oleh orang yang tidak fasik tidak perlu diperiksa dan
diteliti.

Mafhum syarat

Mafhum syarat yaitu memperhatikan syaratnya. Contohnya seperti pada QS.


At Talaq

(65) 6 :

Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka
berikanlah
kepada mereka nafkah…..”

Dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah)


maka jika di talak dalam keadaan tidak hamil tidak perlu diberi
nafkah.

Mafhum ghayah

Mafhum ghayah.Contohnya dalam QS. Al Baqarah (2): 230,


Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin
dengan suami yang lain … “

Dengan pemahaman terbalik bila mantan istri


sudah ditalak tiga kali kemudian menikah lagi dengan lelaki
lain dan kemudian bercerai maka menjadi halal dinikahi lagi.

Mafhum hasr (pembatas, hanya)


Mafhum hasr (pembatasan).Misalnya pada QS Al Fatihah 5:
“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada
Engkaulah kami memohon pertolongan … “.

Anda mungkin juga menyukai