Anda di halaman 1dari 56

1

DIKTAT HUKUM KEWARISAN ISLAM

OLEH

Dr. Fal. AROVAH WINDIANI, SH, MH

PROGRAM STUDI HUKUM STRATA 1


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2021
2

DAFTAR IS

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I Tinjauan Umum tentang Kewarisan

A. Definisi Kewarisan, ................................................................................. 5

B. Dasar Hukum Kewarisan,

1. An Nisa ayat 7.................................................................................... 7

2. An Nisa ayat 11.................................................................................. 7

3. An Nisa ayat 12................................................................................... 8

4. An Nisa ayat 176................................................................................. 9

5. Hadits- Hadits
1). Ibn Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.............. 9
2). Jabir yang diriwayatkan oleh Abu Daud ……………………….. 10
3). Huzail bin Syurhabil menurut riwayat kelompok perawi Hadits
selain Muslim ............................................................................. 11
4). Hadits dari Imran ibnu Husain menurut Tarmizi………………. 11
5). Hadits Nabi dari Qabiash ibn Zuib menurut riwayat perawi
yang lima selain an- Nasa-i…………………………………… 12
6). Abu Hurairah menurut riwayat Abu Daud……………………. 12
7). Hadits Nabi dari Ibnu ‘Amir al Husaini dengan Riwayat Abu Daud dan
Tarmizi dan Ibu Majah...................................................………. 12
8). Hadits Nabi dari Sa’ad bin Waqas menurut riwayat al-Bukhari.... 13
9). Hadits Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat al-Bukhari…… 13
10). Hadits nabi dari Jabir ibn ‘Abdullah menurut riwayat Ibn Majah…. 14
C. Rukun dan Syarat Kewarisan,.................................................................. 15
3

1. Ahli Waris............................................................................................ 15
2. Pewaris (Muwarits).............................................................................. 15
3. Harta Warisaan (Maurats).................................................................... 15
D. Sebab-sebab Terjadinya Kewarisan......................................................... 17
1. Masa Sebelum Islam………………………………………………. 18
2. Masa Islam ………………………………………………….. 19

E. Asas-asas Kewarisan Dalam Islam.......................................................... 21


1). Asas Ijbari..................................................................................... 21
2). Asas Ijbari dari Segi Jumlah Harta yang beralih.......................... 22
3). Asas Ijbari dari segi kepada siapa harta itu beralih...................... 22
4). Asas Ijbari dari seg siapa yang menerima peralihan harta........... 22
5). Asas Bilateral................................................................................ 23
6). Asas Individual............................................................................. 23
7). Asas Keadilan Berimbang............................................................ 24
F. Kewarisan Sebab Kematian..................................................................... 26

BAB II Pewaris………………………………………………………………. 27

A. Pengertian Pewaris (Muwarits)……………………………………… 27


B. Kategorisasi kematian………………………………………………. 28
C. Agama………………………………………………………………… 28
D. Hubungan Hukum dengan Ahli Waris…………………………………. 30

BAB III Ahli Waris ………………………………………………………….. 35

A. Ahli Waris ………………………………………………………………… 35


B. Pengelompokkan Ahli Waris……………………………………………… 35
C. Agama ............................................................................................................ 40
D. Halangan Hukum............................................................................................ 41
1. Perbudakan ............................................................................................... 41
4

2. Pembunuhan……………………………………………………………. 42
3. Berlainan agama...................................................................................... 44
E. Besarnya Bagian.............................................................................................. 45
1. An-Nisa ayat 11:
a.Garis hukum.......................................................................................... 46
b.Identifikasi............................................................................................ 46
2. An-Nisa ayat 12....................................................................................... 47
Garis hukum............................................................................................. 48
3. An-Nisa ayat 176 .................................................................................... 48
Garis hukum............................................................................................. 49
4. Pasal 176………………………………………................................... 49
Garis hukum……………………………………………………………. 50
5. Pasal 178………………………………………................................. 50
Garis hukum………………………………………................................ 51
6. Pasal 179…………………………………………………………….. 51
Garis hukum…………………………………………………………… 51
7. Pasal 180…………………………………………............................. 51
8. Garis hukum……………………………..…………………………………51
9. Pasal 181…………………………………………………………….. 52
Garis hukum…………………………………….................................... 52
10. Pasal182……………………………………
Garis hukum………………………………………………………………….52
F. Penentuan agama Ahli waris …………………………………………… 53

Waris dalam gambar …………………………………………………….. 54


5

BAB I
TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARISAN

A. Definisi

Sistem Kewarisan Islam adalah merupakan satu sistem yang diciptakan oleh Allah.
Sebagai satu sistem yang bulat dan utuh, ia menggambarkan adanya paduan kesatuan yang
mantap dari berbagai anasir yang terjalin, terkait dan saling mendukung serta saling
menguatkan satu sama lain.

Kewarisan Islam adalah merupakan satu sub sistem kekeluargaan Islam, sistem
kekeluargaan Islam adalah bagian dari sistem hukum Islam. Sistem hukum Islam adalah
bagian dari sistem Islam yang total, bulat dan utuh yang ditetapkan oleh Allah.

Dalam literatur sering digunakan kata “waris”, warisan, dan kewarisan. Kata tersebut
berasal dari bahasa Arab, akan tetapi dalam praktek ada juga digunakan kata yang berasal dari
bahasa Indonesia sendiri, yaitu “pusaka”. Dalam bahasa Indonesia “waris” berarti orang yang
berhak menerima harta pusaka (peninggalan) orang yang telah meninggal.1
Menurut kamus hukum berarti orang yang menggantikan kedudukan almarhum atau
almarhumah adalah mempertanggung jawabkan atau mengambil alih semua hak dan
kewajiban dari almarhum atau almarhumah.2

Menurut Hasby ash – shiddiqy hukum waris yang dikutip oleh Ahmad Rofiq adalah
hukum yang mengatur siapa-siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian penerimaan
setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya. Berbeda dengan dua definisi di atas Wirjono
Projodikoro menjelaskan, warisan adalah soal apa dan bagaimana berbagai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia akan meninggal akan beralih
kepada orang lain yang masih hidup.3
1
WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm. 1148.
2
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum (Semarang: Aneka Ilmu, 1997), hlm. 898.
3
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Indonesia (Jakarta : Raja Grafika Persada, 1997), hlm. 356.
6

Hukum kewarisan sering dikenal dengan istilah Faraid, bentuk jamak dari kata faridah,
kata farida berasal dari kata farada yang berarti ketetapan atau ketentuan. Ilmu faraid adalah
ilmu yang memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam. Hal ini didasarkan atas Sabda
Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i dan Daru Quthni:

‫ فَإنِّى ا ْم ُرٌؤ َم ْقبُوْ ضٌ َوال ِع ْل ُم‬,‫اس‬


َ َّ‫ض َوعَلَّ ُموْ هَا الن‬ َ ‫ َوتَ َعلَّ ُموْ ا الفَ َراِئ‬,‫اس‬
َ َّ‫تَ َعلَّ ُموا القُرْ انَ َوعَلَّ ُموْ هُ الن‬
‫ض ِة فَالَ يَ ِجدَا ِن َأ َحدًا ي ُْخبِ ُرهَا‬
َ ‫ك َأ ْن يَ ْختَلِفَ ْاثنَا ِن فِى الفَ ِر ْي‬ ٌ ْ‫َمرْ فُو‬
ُ ‫ع َويُو ِش‬

“Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang-orang, pelajarilah ilmu faraidh dan
ajarkanlah ilmu itu kepada orang-orang, karena aku adalah manusia yang akan direnggut (wafat),
sesungguhnya ilmu itu akan dicabut dan akan timbul fitnah hingga kelak ada dua orang
berselisihan mengenai pembagian warisan, namun tidak ada orang yang memutuskan perkara
mereka”.

‫ تعلمو ا ا الفرا ئض وعلمو ها فا نها‬:‫وعن ابي هريرة ان النبي صلى هللا عليه وسلم قال‬
‫نصف العلم وهو ينس وهو اول شيئ ينز ع من امتي‬.

Artinya: dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW. Bersabda: “pelajarilah faraidh dan ajarkanlah
kepada manusia, karena faraidh adalah separo dari ilmu dan akan dilupakan. Faraidhlah ilmu
yang pertama dicabut dari umatku”. (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni).

Berdasarkan kedua Hadits ini, Jumhur ulama Fikih berpendapat bahwa mempelajari ilmu
faraid hukumnya adalah fardhu kifayah yaitu suatu kewajiban kolektif yang jika dilakukan oleh
satu orang maka komunitas yang terkait lepas dari kewajiban tersebut, namun jika tidak
seorangpun yang melaksanakannya maka mereka seluruhnya berdosa.4
Hukum kewarisan menurut kompilasi Hukum Islam adalah hukum yang mengatur
tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewarisan, menentukan siapa-
siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing (Pasal 171 Instruksi
Presiden No, 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)). Soepomo menyatakan
4
Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta : Ikhtiar Baru Hoeve, 1997), hlm. 308.
7

bahwa warisan itu: “….memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses penerusan dan
pengoperan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda
(inmaterial goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada keturunannya. Proses ini
telah mulai sejak waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi “akuut” manakala
orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya Bapak atau Ibu adalah suatu peristiwa yang
penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses
penerusan atau pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut5.

B. Dasar Hukum Kewarisan

Hukum kewarisan Islam pada dasarnya bersumber kepada ayat al-Quran dan beberapa
ucapan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW dalam sunnahnya. Adapun ayat-ayat yang
mengatur tentang hukum kewarisan adalah:

1. An-Nisa ayat 7

َ‫وْ ن‬ŠŠُ‫َان َواَأل ْق َرب‬


ِ ‫د‬Š ِ‫ َركَ ْال َوال‬Š َ‫يْبٌ ِم َّما ت‬Š ‫َص‬
ِ ‫ا ِء ن‬Š ‫ك ْال َوالِ َد ِن َواَأل ْق َربُوْ نَ َولِلنِّ َس‬
َ ‫َصيْبٌ ِم َّما ت ََر‬
ِ ‫ال ن‬ ِ ‫لِل َّر َج‬
)‫ضا (النساء‬ َ ْ‫ص ْيبًا َم ْفرُو‬ِ َ‫ِم َّما قَ َّل ِم ْنهُ َأوْ َكثَ َر ن‬
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapa dan kerabatnya, dan
orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapa dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.

2. An-Nisa ayat 11:

َ ‫ َر‬Š َ‫ا ت‬ŠŠ‫ا َم‬ŠŠَ‫ق ْاثنَتَ ْي ِن فَلَه َُّن ثُلُث‬


‫ك‬ َ ْ‫ُوصي ُك ُم هَّللا ُ فِي َأوْ ال ِد ُك ْم لِل َّذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ األ ْنثَيَي ِْن فَِإ ْن ُك َّن نِ َسا ًء فَو‬
ِ ‫ي‬
َ ‫اح ٍد ِم ْنهُ َما ال ُّس ُدسُ ِم َّما تَ َر‬
‫ِإ ْن‬Š َ‫ ٌد ف‬Š َ‫ك ِإ ْن َكانَ لَهُ َول‬ ِ ‫ف َوألبَ َو ْي ِه لِ ُكلِّ َو‬
ُ ْ‫اح َدةً فَلَهَا النِّص‬ ِ ‫َت َو‬ ْ ‫َوِإ ْن َكان‬
ِ ‫ ِد َو‬Š‫ ُدسُ ِم ْن بَ ْع‬Š‫الس‬
‫يَّ ٍة‬Š‫ص‬ ُ ُ‫ َواهُ فَأل ِّم ِه الثُّل‬Šَ‫هُ َأب‬Šَ‫ ٌد َو َو ِرث‬Šَ‫هُ َول‬Šَ‫لَ ْم يَ ُك ْن ل‬
ُّ ‫ َوةٌ فَأل ِّم ِه‬Š‫هُ ِإ ْخ‬Šَ‫انَ ل‬ŠŠ‫ِإ ْن َك‬Šَ‫ث ف‬
َ ‫ُوصي بِهَا َأوْ َدي ٍْن آبَاُؤ ُك ْم َوَأ ْبنَاُؤ ُك ْم ال تَ ْدرُونَ َأيُّهُ ْم َأ ْق َربُ لَ ُك ْم نَ ْفعًا فَ ِر‬
َ‫ان‬ŠŠ‫ةً ِمنَ هَّللا ِ ِإ َّن هَّللا َ َك‬Š‫يض‬ ِ ‫ي‬
)‫َعلِي ًما َح ِكي ًما (النساء‬
5
Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Paramita, 1977), hal. 81.
8

“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :


bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahgian dua orang anak perempuan; dan jika
anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo
harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini
adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”

3. An-Nisa ayat 12

‫ َر ْكنَ ِم ْن‬Š َ‫ ُع ِم َّما ت‬Š ُ‫ك َأ ْز َوا ُج ُك ْم ِإ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَه َُّن َولَ ٌد فَِإ ْن َكانَ لَه َُّن َولَ ٌد فَلَ ُك ُم الرُّ ب‬ ُ ْ‫َولَ ُك ْم نِص‬
َ ‫ف َما ت ََر‬
َ Šَ‫ ُع ِم َّما ت‬Šُ‫ا َأوْ َدي ٍْن َولَه َُّن الرُّ ب‬Šَ‫صينَ بِه‬
‫ ٌد‬Šَ‫انَ لَ ُك ْم َول‬ŠŠ‫ِإ ْن َك‬Šَ‫ ٌد ف‬Šَ‫ر ْكتُ ْم ِإ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَ ُك ْم َول‬Š ِ ‫بَ ْع ِد َو‬
ِ ‫صيَّ ٍة يُو‬
‫ةً َأ ِو‬Šَ‫ث َكالل‬ُ ‫و َر‬ŠŠُ‫ ٌل ي‬Š‫انَ َر ُج‬ŠŠ‫ا َأوْ َد ْي ٍن َوِإ ْن َك‬ŠŠَ‫ونَ بِه‬Š‫وص‬ ُ ُ‫يَّ ٍة ت‬Š‫ص‬ ِ ‫فَلَه َُّن الثُّ ُم ُن ِم َّما ت ََر ْكتُ ْم ِم ْن بَ ْع ِد َو‬
‫ث‬ ٌ ‫ا ْم َرَأةٌ َولَهُ َأ ٌخ َأوْ ُأ ْخ‬
ِ ُ‫ َر َكا ُء فِي الثُّل‬ŠŠ‫ت فَلِ ُكلِّ َوا ِح ٍد ِم ْنهُ َما ال ُّس ُدسُ فَِإ ْن َكانُوا َأ ْكثَ َر ِم ْن َذلِكَ فَهُ ْم ُش‬
)‫صيَّةً ِمنَ هَّللا ِ َوهَّللا ُ َعلِي ٌم َحلِي ٌم (النساء‬ َ ‫صى بِهَا َأوْ َد ْي ٍن َغي َْر ُم‬
ِ ‫ضا ٍّر َو‬ َ ‫صيَّ ٍة يُو‬ ِ ‫ِم ْن بَ ْع ِد َو‬
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak,
Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
9

saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau
sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah
Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”

4. An-Nisa ayat 176

‫ك‬
َ ‫ر‬Šَ
َ ‫ا ت‬Š‫ف َم‬ ُ Š‫ص‬ ْ ِ‫ا ن‬Šَ‫ت فَلَه‬ ٌ ‫هُ ُأ ْخ‬Šَ‫ ٌد َول‬Šَ‫ْس لَهُ َول‬ َ ‫ك لَي‬ َ َ‫ك قُ ِل هَّللا ُ يُ ْفتِي ُك ْم ِفي ْال َكاللَ ِة ِإ ِن ا ْم ُرٌؤ هَل‬ َ َ‫يَ ْستَ ْفتُون‬
‫ اال‬Š‫ َوةً ِر َج‬Š‫انُوا ِإ ْخ‬ŠŠ‫ك َوِإ ْن َك‬َ ‫ َر‬Šَ‫ا ِن ِم َّما ت‬ŠŠَ‫َوهُ َو يَ ِرثُهَا ِإ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهَا َولَ ٌد فَِإ ْن َكانَتَا ْاثنَتَ ْي ِن فَلَهُ َما الثُّلُث‬
ِ ‫َونِ َسا ًء فَلِل َّذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ األ ْنثَيَي ِْن يُبَي ُِّن هَّللا ُ لَ ُك ْم َأ ْن ت‬
)‫َضلُّوا َوهَّللا ُ بِ ُك ِّل َش ْي ٍء َعلِي ٌم (النساء‬
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah hukum fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai
anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan
oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki
dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang
saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat.
Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”

5. Sedangkan hadits Nabi Muhammad SAW yang berhubungan dengan hukum kewarisan
adalah :

1). Dari ibn Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
10

‫ الحقوا الفرائض‬:‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬: ‫عن أبن عباس رضي هللا عنهما قال‬
)‫بأهلها فما بقى فهو ألولى رجل ذكر (متفق عليه‬6
Dari Ibn Abbas ra, dia berkata, Rasulullah saw bersabda : berikanlah faraidh (bagian yang
telah ditentukan dalam al-Qur’an) kepada yang berhak menerimanya dan selebihnya
berikanlah kepada keluarga laki-laki terdekat (Muttafaq alaih)

2). Dari Jabir yang diriwayatkan oleh Abu Daud

‫رأة من‬ŠŠ‫ خرجنا معرسول هللا صلى هللا عليه وسلم حتى جئنا ام‬: ‫عن جابر بن عبد هللا قال‬
‫ابت بن‬ŠŠ‫ا ث‬ŠŠ‫ان بنت‬ŠŠ‫ول هللا هات‬ŠŠ‫ا رس‬Š‫األنصار فى األسواق فجاءت المرأة بابنتين لها فقالت ي‬
‫اال إال‬ŠŠ‫ا م‬ŠŠ‫دع لهم‬ŠŠ‫ه فلم ي‬ŠŠ‫ا كل‬ŠŠ‫ير اثهم‬ŠŠ‫قيس قتل معك يوم أحد وقد استقاء عمهما مالهما وم‬
‫لى هللا‬ŠŠ‫ول هللا ص‬ŠŠ‫ال رس‬ŠŠ‫ فق‬،‫ال‬ŠŠ‫ا م‬ŠŠ‫ فو هللا ال تنكحان إال ولهم‬،‫أخده فما ترى يا رسول هللا‬
)‫يكم هللا فى أوالدكم‬ŠŠ‫اء (يوص‬ŠŠ‫ورة النس‬ŠŠ‫زلت س‬ŠŠ‫ ون‬: ‫ال‬ŠŠ‫ ق‬،‫ك‬ŠŠ‫ يقض هللا فى ذل‬: ‫عليه وسلم‬
‫ا‬ŠŠ‫ال لعمهم‬ŠŠ‫اجبها فق‬ŠŠ‫رأة وص‬ŠŠ‫وا إلى الم‬ŠŠ‫ أدع‬:‫لم‬ŠŠ‫ه وس‬ŠŠ‫لى هللا علي‬ŠŠ‫ فقال رسول هللا ص‬.‫األية‬
7
)‫أعطهما الثلثين وأعطى أمهما الثمن وما بقى فهو لك (رواه أبو داود‬

“Dari Jabir bin Abdullah dia berkata, janda Said ibn Rabi’ datang kepada Rasulullah
bersama dua orang anak perempuannya, lalu dia berkata : “Ya, Rasulullah ini dua orang
anak perempuan Sa’ad yang telah gugur dalam peperangan bersamamu di Uhud. Paman
mereka mengambil harta peninggalan ayah mereka dan tidak memberi apapun untuk
mereka. Keduanya tidak mungkin kawin tanpa harta. Rasulullah berkata : Allah akan
menetapkan hukum dalam kejadian itu. Sesudah itu turun surat An-Nisa (‫)يُوصيكم هللا فى أوالدكم‬.
Kemudian Rasulullah memanggil paman mereka tersebut dan berkata : “berikanlah dua
6
Al-Bukhariy, Shahih al Bukhariy IV, (Cairo, Daarwa Mathba’ al-Sya’biy) hlm. 181 dan Muslim dalam al-
Nawawiy, Syarhu Shahih Muslim, (Cairo, al-Mathba’ah al Mishriyah) hlm. 53, dikutip langsung (atau tidak
langsung) oleh Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta : Kencana, 2004), hlm. 12.
7
Ibid.
11

pertiga untuk dua orang anak Sa’ad, seperdelapan untuk jandanya dan sisanya adalah
untukmu”. (Hadits riwayat Abu Daud).

3). Hadits dari Huzail bin Syurhabil menurut riwayat kelompok perawi Hadits selain Muslim

‫ف‬Š‫ال للبنت النص‬Š‫ة ابن وأخت فق‬Š‫ى عن بنت وابن‬Š‫و موس‬Š‫ئل أب‬Š‫ال س‬Š‫عن هزيل بن شرحبيل ق‬
‫ال‬ŠŠ‫ى فق‬ŠŠ‫ولألخت النصف وأت ابن مسعود فسيتابعني فسئل ابن مسعود وأخبر بقول أبي موس‬
‫ة‬ŠŠ‫لم لالبن‬ŠŠ‫ه وس‬ŠŠ‫لى هللا علي‬ŠŠ‫بي ص‬ŠŠ‫ى الن‬ŠŠ‫لقد ضللت إذا وما أنا من المهتدين أقضي فيها بما قض‬
‫ول ابن‬ŠŠ‫اه بق‬ŠŠ‫وس فأخبرن‬ŠŠ‫النصف والبنة ابن السدس تكملة الثلثين وما بقي فلألخت فأتينا أبا م‬
.‫مسعود فقال ال تسألوني ما دام هذا الحبر فيكم‬
“Dari Huzail bin Syurahbil dia berkata, Abu Musa ditanya tentang kewarisan cucu
perempuan dan saudara perempuan. Abu Musa berkata: “untuk anak perempuan seperdua
dan untuk saudara perempuan seperdua. Datanglah kepada Ibnu Mas’ud; dia tentu juga
akan mengatakan seperti itu pula”. Kemudian ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan ia
menjawab: “Saya menetapkan atas dasar apa yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad
saw, yaitu: untuk anak perempuan seperdua, untuk cucu seperenam untuk melebihi dua
pertiga dan selebihnya adalah untuk saudara perempuan”.

4). Hadits dari Imran ibnu Husain menurut Tarmizi

‫الي‬ŠŠ‫ات فم‬ŠŠ‫عن عمران بن حصين أن رجال أتى النبي صلى هللا عليه وسلم فقال إن ابن ابني م‬
8
)‫من ميراثه فقال لك السدس (رواه أبو داود‬
Dari Imran bin Husain, bahwa telah datang seorang laki-laki kepada Nabi Saw, dia
berkata : cucu laki-laki saya telah meninggal dunia, apa yang saya dapatkan dari harta
peninggalannya”, Nabi bersabda: “Untukmu seperenam” (Hadits Riwayat Abu Daud)

8
Ibid., hlm. 13.
12

5). Hadits Nabi dari Qabiash ibn Zuib menurut riwayat perawi yang lima selain anNasa-
i

‫ك في‬Š‫ا ل‬Š‫ا م‬Š‫ال له‬Š‫ال فق‬Š‫ا ق‬Š‫ير اثه‬Š‫عن قبيضة بن ذؤيب قال جائت الجدة إلى أبي بكر تساله م‬
‫أل‬ŠŠ‫تى أس‬ŠŠ‫ارجعي ح‬ŠŠ‫يء ف‬ŠŠ‫لم ش‬ŠŠ‫ه وس‬ŠŠ‫كتاب هللا شيء وما لك في سنة رسول هللا صلى هللا علي‬
‫ا‬ŠŠ‫لم فأعطاه‬ŠŠ‫ه وس‬ŠŠ‫الناس فسأل الناس فقال المغيرة بن شعبة حضرت رسول هللا صلى هللا علي‬
‫ال‬Š‫ا ق‬ŠŠ‫ل م‬Š‫ال مث‬ŠŠ‫اري فق‬ŠŠ‫لمة األنص‬Š‫د بن مس‬Š‫ام محم‬Š‫يرك فق‬Š‫ك غ‬Š‫السدس فقال أبو بكر هل مع‬
9
)‫المغيرة بن شعبة فأنفذه لها أبو بكر (رواه الترمدى وأبو داود‬
Dari Qubaidah, dari Zuaib dia berkata, seorang nenek datang kepada Abu Bakar meminta
hak warisan dari cucunya. Abu Bakar berkata: “Dalam kitab tidak disebutkan sesuatu
untukmu dan juga tidak ada dalam sunnah Nabi. Pulang sajalah dulu, nanti saya tanyakan
kepada yang lain kalau ada yang mengetahui”. Kemudian Abu Bakar menanyakan kepada
para sahabat kalau-kalau ada yang mengetahui. Mughirah ibn Su’bah berkata: “Saya
pernah menghadiri Rasulullah yang memberikan hak warisan sebanyak seperenam”, Abu
Bakar bertanya: “Apakah ada yang lain yang mengetahui selain kamu?”. Abu bakar
bertanya. Muhammad ibn Maslamah tampil dan mengatakan seperti yang dikatakan
Mughirah. Kemudian Abu Bakar melaksanakannya” (Hadits riwayat Tarmizi dan Abu
Daud)

6). Hadits Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat Abu Daud

)‫عن أبي هريرة أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال القاتل ال يرث (أبو داود‬
“Seorang yang membunuh tidak berhak mendapatkan warisan (dari orang yang
dibunuhnya)” (Hadits riwayat Abu Daud)

7). Hadits Nabi dari Ibnu ‘Amir al Husaini dengan riwayat Abu Daud dan Tarmizi dan Ibn
Majah

9
Ibid., hlm. 14.
13

‫ال‬ŠŠ‫عن عمرو بن مسلم عن طاووس عن عائشة قالت قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم الخ‬
)‫وارث من ال وارث له (رواه الترمذى و أبو داود و ابن ماجة‬

“Saudara laki-laki dari ibu adalah ahli waris bagi seseorang yang tidak ada ahli warisnya”
(Hadits riwayat Tirmizi, Abu Daud dan Ibn Majah)

8). Hadits Nabi dari Sa’ad bin Waqas menurut riwayat al-Bukhari

‫بي‬ŠŠ‫انى الن‬ŠŠ‫وت فأت‬ŠŠ‫ه على ام‬ŠŠ‫عيت من‬ŠŠ‫ا فأس‬ŠŠ‫ مرضت بمكة مرض‬: ‫عن سعد بن أبى وقاص قال‬
‫نى‬ŠŠ‫نى إال ابنت‬ŠŠ‫يرا وليس يرث‬ŠŠ‫ يا رسول هللا إن لى ماال كث‬: ‫صلى هللا عليه وسلم وعودنى فقلت‬
‫ة‬ŠŠ‫تركهم عال‬ŠŠ‫ الثلث كثير إنك أن تركت ولدك أغنياء حير من أن ت‬: ‫ قال‬،‫أفأتصدق يثلثى مالى‬
10
)‫يتكففون الناس (رواه البخارى‬
Sa’ad berkata kepada Nabi Muhammad SAW: “Saya mempunyai harta yang banyak dan
saya hanya mempunyai seorang anak perempuan. Apakah akan saya sedekahkan dua
pertiga dari harta saya itu?”. Nabi menjawab: “tidak”, Sa’ad bertanya lagi
“sepertiganya?” Nabi menjawab: “sepertiga adalah cukup banyak. Sesungguhnya bila
engkau meninggalkan anakmu dalam berkecukupan lebih baik dari pada meninggalkannya
dalam keadaan kekurangan hingga meminta-minta kepada orang lain. (Hadits riwayat
Bukhari)

9). Hadits Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat al-Bukhari

‫المؤمنين من‬Š‫ا أولى ب‬Š‫ال أن‬Š‫لم ق‬Š‫ه وس‬Š‫عن أبي هريرة رضي هللا عنهم عن النبي صلى هللا علي‬
‫ه (رواه‬ŠŠ‫اال فلوثت‬ŠŠ‫رك م‬ŠŠ‫اؤه ومن ت‬ŠŠ‫ا قض‬ŠŠ‫اء فعلين‬ŠŠ‫ترك وف‬ŠŠ‫ه دين ولم ي‬ŠŠ‫ات وعلي‬ŠŠ‫هم فمن م‬ŠŠ‫أنفس‬
)‫البخارى‬
Dari Abi Hurairah ra. Dari Nabi Saw bersabda : Saya adalah lebih utama bagi seseorang
muslim dari diri mereka sendiri. Siapa yang meninggal dan mempunyai utang dan tidak ada
10
Ibid., hlm. 15.
14

meninggalkan sesuatu untuk membayarnya, maka sayalah yang akan membayarnya. Barang
siapa yang meninggalkan harta, maka harta itu adalah untuk ahli warisnya (Hadits riwayat
Bukhari)

10). Hadits Nabi dari Jabir ibn ‘Abdullah menurut riwayat Ibn Majah,

‫رث‬ŠŠ‫لم ال ي‬ŠŠ‫ه وس‬ŠŠ‫عن جابر بن عبد هللا والمسور ابن مخرمة قاال قال رسول هللا صلى هللا علي‬
11
)‫الصبي حتى يستهل صارخا قال واستهالله أن يبكي ويصيح أو يعطس (رواه ابن ماجة‬

“Seseorang bayi tidak berhak menerima warisan kecuali bila ia bergerak dengan
pekikan. Gerakkannya diketahui dari tangis, teriakan dan bersin” (Hadits Ibn Majah).

Beberapa ayat al-Quran di atas telah mengatur dasar hukum kewarisan Islam. Tentang
siapa saja yang berhak terhadap harta warisan serta jumlah pembagian juga terdapat dalam ayat
tersebut. Dalam hadits pun terdapat dasar hukum kewarisan dan penjelasan terhadap ketentuan
ayat. Kemudian tentang kemusyrikan-kemusyrikan pengertian juga telah dijelaskan di sana.
Sementara ijmak dan ijtihad para sahabat, imam-imam mazhab dan mujtahid-mujtahid
kenamaan mempunyai peranan yang tidak kecil sumbangannya terhadap pemecahan-pemecahan
masalah mawaris yang belum dijelaskan oleh nash-nash yang sharih. Misalnya, status saudara-
saudara yang mewarisi bersama-sama dengan kakek. Di dalam al-Quran hal itu tidak dijelaskan.
Yang dijelaskan hanyalah status sadara-saudara bersama-sama dengan ayah atau bersama-sama
dengan anak laki-laki yang dalam kedua keadaan ini mereka tidak mendapatkan apa-apa lantara
terhijab. Kecuali dalam masalah kalalah mereka mendapat bagian. Menurut pendapat
kebanyakan sahabat dan imam-imam mazhab yang mengutip pendapat Zaid bin Tsabit, saudara-
saudara tersebut mendapat pusaka secara muqasamah dengan kakek.12

C. Rukun dan Syarat Kewarisan


11
Ibid., hlm. 16.
12
Faturrahman, Op.cit, hlm. 33.
15

Proses peralihan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup
dalam hukum kewarisan Islam mempunyai rukun 13
dan syarat-syarat14. Sebagian syarat
mengikuti rukun, dan sebagian berdiri sendiri. Rukun waris ada tiga, yaitu:

1. Ahli Waris

Yaitu orang yang akan mewarisi harta warisan si mati karena memiliki dasar/sebab
kewarisan seperti karena adanya hubungan darah (nasab) atau perkawinan dengan si mati. 15 Otje
Salman dan Mustofa Haffas mengemukakan pengertian waris “Orang yang akan
mewaris/menerima harta peninggalan.16
Dari pengertian waris yang dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa waris adalah
orang yang masih hidup yang mempunyai hubungan dengan orang yang meninggal, sebagai
sebab mendapatkan kewarisan baik dalam bentuk hubungan karena kekerabatan, perkawinan,
ataupun memerdekakan budak. Disamping adanya hubungan kekerabatan dan perkawinan,
mereka baru berhak menerima warisan dengan syarat-syarat sebagai berikut :
a. Ahli waris itu telah atau masih hidup pada waktu meninggalnya pewaris.
b. Tidak ada hal-hal yang menghalangi secara hukum untuk menerima warisan.
c. Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih dekat.17

2. Pewaris (Muwarits)

13
Rukun adalah sifat yang tergantung keberadaan hukum padanya dan sifat yang termasuk ke dalam hukum
itu sendiri seperti takbiratul ihram adalah salah satu rukun shalat dan ia berada dalam shalat itu sendiri. Tidak ada
rukun, hukum menjadi tidak sah. Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 264.
14
Syarat adalah sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum, tapi ia tidak berada di luar hukum
tersebut seperti wudhu’ merupakan syarat sah shalat, tapi wudhu’ itu berada di luar shalat, ada wudhu’ tidak mesti
ada shalat. Dari definisi ini terdapat persamaan antara rukun dan syarat yaitu keduanya sama-sama menentukan
keberadaan dan keabsahan suatu hukum. Ibid, hlm. 264.
15
Muslich Maruzi, Pokok-pokok Ilmu Waris (Semarang : Mujahidin, 1981), hlm. 11, dikutip langsung
(atau tidak langsung) oleh Yati N. Soelistijono dan Neng Djubaedah, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia
( Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 10.
16
Otje Salman dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam (Bandung : Refika Aditama, 2002), hlm. 4.
17
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 211.
16

Mengenai muwarits ini secara tertulis diatur dalam Pasal 171 (b) Kompilasi Hukum Islam
“Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan
putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan”.

Muwarits adalah pemilik harta yang sah atau orang yang mewariskan hartanya. Syaratnya
adalah pewaris benar-benar telah meninggal dunia. Hal ini memenuhi prinsip kewarisan akibat
kematian yang berarti bahwa harta pewaris beralih kepada ahli warisnya setelah kematiannya,
baik secara haqiqiy ataupun secara hukum.18 Mati haqiqiy yaitu mati (meninggal dunia) dalam
kenyataan sebenarnya dengan berpisahnya ruh dengan jasadnya. Sedangkan mati menurut
hukum adalah mati atau meninggal dunia yang ditetapkan berdasarkan ketetapan pengadilan. Hal
ini bisa karena seseorang tidak diketahui lagi keberadaannya dan tidak ada indikasi tentang
hidupnya.

3. Harta Waris (Maurûts)


Harta yang diwariskan, disebut juga peninggalan dan warisan, yaitu harta atau hak yang
dipindahkan dari yang mewariskan kepada pewaris.19
Ketiga unsur tersebut merupakan lingkaran kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan menjadi
asas yang fundamental (rukun) terjadinya kewarisan. Jika salah satu unsurnya tidak ada,
mengakibatkan tidak berlakunya suatu kewarisan.
Pusaka mempunyai berfungsi untuk menggantikan kedudukan dalam memiliki harta benda
antara orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang ditinggalkan pengertian tersebut
tidak sekali-kali terjadi bila orang yang bakal digantikan kedudukannya masih ada dan berkuasa
penuh terhadap harta miliknya atau orang yang bakal menggantikannya tidak terwujud pada saat
pergantian terjadi. Apabila antara keduanya terdapat hal-hal yang menurut sifatnya menjadi
penghalang.
Oleh karena itu pewarisan mempunyai 3 (tiga) syarat:
a. Kematian orang yang mewariskan, baik kematian secara nyata ataupun kematian secara
hukum, misalnya seorang hakim memutuskan kematian seseorang yang hilang.
Keputusan itu menjadikan orang yang hilang sebagai orang yang mati secara hakiki, atau
18
Amir Syarifuddin, Ibid. hlm. 26.
19
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, Jilid 14 (Bandung : Al-Ma’arif), hlm. 240.
17

mati menurut dugaan seperti seseorang memukul seorang perempuan yang hamil
sehingga janinnya gugur dalam keadaan mati, maka janin yang gugur itu dianggap hidup
sekalipun hidupnya belum nyata.
b. Pewaris itu hidup setelah orang yang mewariskannya mati, meskipun hidupnya itu secara
hukum, misalnya kandungan. Kandungan itu secara hukum dianggap hidup, karena
mungkin ruhnya belum ditiupkan. Apabila tidak diketahui bahwa pewaris itu hidup
sesudah orang yang mewariskan mati, seperti tenggelam, atau terbakar atau tertimbun,
maka di antara mereka itu tidak ada waris mewarisi jika mereka termasuk orang-orang
yang saling mewarisi dan harta masing-masing dari mereka itu dibagikan kepada ahli
waris yang masih hidup.
c. Bila tidak ada penghalang yang menghalangi pewarisan.20

D. Sebab-Sebab Terjadinya Kewarisan

Di dalam kitab-kitab fiqh, istilah sebab mewaris dikenal dengan sebutan Asbabul Mirats,
sedangkan penghalang mewarisi disebut dengan Mawani’al Irtsi.
Kata sebab sendiri berasal dari bahasa Arab as-sabab, secara etimologi berarti hal yang
memungkinkan sampainya sesuatu kepada tujuan. Dari kata inilah, jalan dinamakan sebagai as-
sabab, karena jalan bisa menyampaikan seseorang kepada tujuan.21
Secara terminologi, Imam al Amidi, tokoh usul fikih Mazhab Syafii, mendefinisikan
sebab dengan “sifat yang zahir (nyata) yang dapat diukur yang ditunjukkan oleh dalil sam’i (Al-
Quran dan/atau hadits) yang keberadaannya menjadi pengenal bagi hukum syar’i.22
Adapun mawani’ adalah bentuk jama’ dari kata mani’ berasal dari bahasa Arab yang
melarang, yang mencegah. Istilah ini dipahami dalam usul fikih dengan arti sesuatu yang adanya
mengakibatkan tidak adanya hukum, atau karena adanya mani’ mengakibatkan hilangnya
hukum. Misalnya adanya najis pada badan atau pakaian orang yang sedang melakukan shalat
mengakibatkan tidak ada hukum (sah) nya shalat.

20
Ibid, hlm. 241.
21
, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta : PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2000), hlm. 1616.
22
Ibid.
18

Bertolak dari uraian di atas apabila dikaitkan dengan konteks kewarisan dapat ditarik
kesimpulan bahwa, sebab adalah jalan seseorang untuk dapat menjadi ahli waris, sedangkan
penghalang adalah hal-hal yang dapat menafikan seseorang untuk bisa mewarisi, meskipun pada
mulanya telah ada sebab mewarisi.
Perkembangan hukum kewarisan sebelum Islam sangat dipengaruhi oleh sistem sosial
yang dianut oleh masyarakat yang ada.

1). Masa Sebelum Islam

Pada masa ini hubungan darah ditentukan pada saat adanya kelahiran yang bersifat
alamiah. Namun demikian, sebelum adanya Islam diturunkan (jahiliyah) hubungan darah
tidaklah menjamin seseorang ahli waris mendapatkan ahli waris. Hal ini dikarenakan budaya
masyarakat Arab (zaman jahiliyah) mengukur keberadaan seseorang berdasarkan kekuatan fisik.
Bahkan keunggulan dan keterampilan memanggul senjata demi keunggulan dan keterampilam,
menjadi taruhan martabat dan prestasi seseorang konsekuensi dari keadaan yang demikian adalah
mempengaruhi sitem hukum kewarisan yaitu anak yang masih kecil (belum bisa berperang) dan
anak perempuan dilarang mewarisi peninggalan keluarganya.
Kejadian-kejadian yang diperlakukan pada waktu itu terhadap perempuan memang
diskriminatif, di mana kaum perempuan tidak disederajatkan dengan kaum laki-laki, bahkan
kaum perempuan tidak ubahnya dengan barang yang dapat ditukar dan diperjual-belikan.
Ibu Katsir mengutip Ibn Abbas berikut ini:
“Apabila seseorang laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan seorang janda, maka ahli
warisnya melemparkan pakaian di depan janda tersebut guna mencegah orang lain
mengawininya, jika janda itu cantik segeralah dikawininya. Tetapi jika janda tersebut jelek,
ditahannya hingga waktunya meninggal dan kemudian diwarisi harta peninggalannya.”
Praktek semacam ini telah mendarah daging dalam masyarakat, bahkan hingga masa awal-awal
Islam, kebiasaan tersebut masih terus berlangsung.23

Dasar-dasar pewarisan sebelum Islam adalah:


23
A. Rofiq, op.cit, hlm. 361.
19

a. Pertalian Kerabat
Pertalian kerabat di sini tidak berlaku mutlak, melainkan hanya lak-laki dewasa saja yang
diberi hak. Mereka yang mendapat hak waris adalah anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan
anak laki-laki paman.
b. Pengangkatan Anak (tabanni)
Pengangkatan anak dalam tradisi jahiliyah merupakan perbuatan lazim yang telah
mengakar dalam masyarakat. Dan kehadiran anak angkat tersebut dimasukkan sebagai keluarga
besar bapak angkatnya, yang status hukumnya sama dengan anak kandung. Praktis, hubungan
kekeluargaan dengan ayah kandungnya terputus. Dan apabila salah satu dari keduanya
meninggal dunia maka yang lain tidak dapat mewarisi harta peninggalannya.24
c. Janji Prasetia (Wala)
Janji setia ditempuh dengan melakukan perjanjian kerja sama antara dua orang atau lebih.
Seseorang menyatakan sungguh-sungguh kepada orang lain untuk saling mewarisi apabila salah
satu pihak meninggal dunia. Tujuannya adalah untuk kerjasama, saling menasihati dan yang
terpenting adalah memperoleh rasa aman.
Apabila salah satu pihak yang melakukan janji setia meninggal dunia maka pihak lain
mewarisi harta yang ditinggalkannya dengan ketentuan menerima 1/6 bagian dan didahulukan
penerimaannya. Setelah itu baru dibagikan kepada ahli waris lainnya.

2). Masa Islam

Islam diturunkan untuk menyempurnakan ajaran sebelumnya, baik masa jahiliyah


maupun masa awal Islam diturunkan. Mengenai hukum kewarisan masa jahiliyah sudah
dijelaskan di atas. Sedangkan pada masa awal Islam yang dijadikan sebab-sebab mewarisi
adalah:
Pertalian kerabat, janji setia, adopsi atau pengangkatan anak ditambah hijar (dari Mekkah
ke Madinah) dan Muakhan (ikatan persaudaraan antara orang-orang Muhajirin dan orang-orang
Anshor).

24
A. Rofiq,. op.cit., hlm. 365.
20

Ketika Islam sempurna diturunkan yang diteruskan hanyalah sebab pertalian kerabat,
sedangkan yang lainnya ditiadakan dengan demikian dapat dijelaskan bahwa sebab-sebab
mewarisi dalam Islam adalah:

a. Hubungan darah
Sebab mewarisi hubungan darah pada masa Islam mengalami pembaharuan, yaitu semua
ahli waris yang ada hubungan darah baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak diberi hak
untuk menerima bagian menurut jauh dekatnya kekerabatannya. Bahkan bayi yang masih berada
dalam kandungan pun mempunyai hak yang sama dengan yang sudah dewasa. Namun dalah hal
ini berlaku ketentuan ahli waris yang lebih dekat dapat menutupi (menghijab) ahli waris yang
jauh. Sesuai ketentuan Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Dalam Islam ada ketentuan bahwa hubungan
kerabat ditentukan kepada garis ibu dan ayah, sehingga sering disebut juga dengan sistem
bilateral atau parental.
Yang termasuk hubungan keluarga dengan hubungan keturunan dalam konteks kewarisan
ialah 1) furu’al-mayyit, yaitu anak dan cucu hingga hingga ke bawah. 2) asl al-mayyit, yaitu
bapak/ibu/kakek dan nenek ke atas. 3) al-hawasyi, yaitu saudara dari yang meninggal, baik
sekandung, saudara sebapak, maupun saudara seibu.25

b. Hubungan semenda (hubungan perkawinan)


Perkawinan yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan baik menurut
hukum agama dan kepercayaan maupun hukum negara menyebabkan saling mewarisi, apabila
salah satunya meninggal dunia.
Untuk mengetahui adanya perkawinan tersebut, hanya dapat dibuktikan melalui Akta
Nikah yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

c. Al-Wala (memerdekakan hamba sahaya)


Al-Wala adalah hubungan kewarisan karena seseorang memerdekakan hamba sahaya,
atau melalui perjanjian tolong menolong. Laki-laki disebut mu’tiq dan perempuan disebut
mu’tiqah, bagiannya 1/6 dari harta warisan pewaris.
25
Ensiklopedi Hukum Islam, op.cit., hlm. 309.
21

Dalam Kompilasi Hukum Islam sebab ketiga ini tidak dicantumkan, karena dalam
kehidupan sekarang ini, lebih-lebih di Indonesia perbudakan tidak diakui lagi keberadaannya.
Karena itu sebab-sebab saling mewarisi menurut Kompilasi Hukum Islam terdiri dari dua
hal. Pertama, karena hubungan darah, dan kedua, karena hubungan perkawinan. (Pasal 174 ayat
(1) KHI).
Dalam hal kewarisan terdapat banyak unsur, di antaranya adalah pewaris dan ahli waris.
Ahli waris ialah orang yang berhak mendapat bagian dari harta peninggalan. 26 Sedangkan dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf (c) disebutkan:
“Ahli waris adalah orang yang mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.”

E. Asas-Asas Kewarisan dalam Islam


Beberapa asas atau prinsip dasar dalam hukum pewarisan Islam yang dijadikan dasar pula
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) antara lain terdiri dari 5 (lima) asas yaitu:27

1. Asas Ijbari
Secara etimologi ijbari berarti “paksaan”. Secara terminologi dalam hubungannya dengan
hukum kewarisan berarti “peralihan; harta dari seseorang yang telah mati kepada ahli warisnya
berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak pewaris
atau ahli waris”28
Adanya asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam tersebut terlihat dari segi bahwa ahli
waris terpaksa menerima kenyataan perpindahan harta kepada dirinya sesuai dengan yang telah
ditentukan.
Sejumlah harta yang ditinggalkan pewaris disadari atau tidak, di sana sudah terdapat dari
masing-masing ahli waris dan harta itu secara otomatis akan beralihan kepada masing-masing
ahli waris ahli waris. Hal ini dapat dipahami dari surat an-Nisa ayat 7

26
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2000) hlm. 72.
27
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut
Hukum Perdata (BW) (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hlm. 120.
28
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau
(Jakarta: Gunung Agung, 1984), cet. Ke-1, hlm. 18.
22

‫ك ْال َوالِدَا ِن َواأل ْق َربُونَ ِم َّما قَ َّل‬ ِ َ‫ك ْال َوالِدَا ِن َواأل ْق َربُونَ َولِلنِّ َسا ِء ن‬
َ ‫صيبٌ ِم َّما تَ َر‬ َ ‫َصيبٌ ِم َّما ت ََر‬
ِ ‫ال ن‬ ِ ‫لِل ِّر َج‬
‫َصيبًا َم ْفرُوضًا‬ ِ ‫ِم ْنهُ َأوْ َكثُ َر ن‬

Adanya asas kewarisan dalam hukum Islam dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu segi peralihan
harta, segi jumlah harta yang beralih dan segi kepada siapa harta itu beralih.29

a. Ijbari dari segi jumlah harta yang beralih

Ijbari dari segi jumlah peralihan harta berarti jumlah harta yang beralih kepada ahli waris itu
sudah tertentu bagiannya masing-masing, oleh itu baik pewaris maupun ahli waris tidak
berhak menambah atau menguranginya ataupun menentukan lain. Hal ini dapat dipahami dari
kata “mafrudhah” yang artinya menurut etimologi ditentukan atau diperhitungkan.

b. Ijbari dari segi kepada siapa harta itu beralih.

Orang yang berhak menerima harta peninggalan pewaris itu sudah ditentukan secara pasti
sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusia pun yang dapat mengubahnya, termasuk
pewaris atau ahli waris sendiri, maupun hakim dan penguasa sekalipun tidak berhak untuk
menentukan lain.
c. Ijbari dari segi siapa yang menerima peralihan harta
Orang-orang yang akan menerima harta warisan sudah ditentukan, yakni yang mempunyai
hubungan nasab dan hubungan perkawinan. Ketentuan-ketentuan ahli waris ini dapat dilihat
dalam pengelompokkan-pengelompokkan ahli waris dalam surat an-Nisa ayat 11, 12 dan 176.
ketentuan yang sudah pasti tersebut tidak dapat diubah dan digantikan kepada siapapun untuk
menempati posisi yang telah ditetapkan.

2. Asas Bilateral

29
Amir Syarifudin, Ibid, hlm. 19.
23

Dalam hukum kewarisan Islam asas bilateral berarti seseorang yang menerima hak
kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat dari garis keturunan laki-laki
dan pihak kerabat dari keturunan perempuan. Dasar dari asas bilateral yang dianut oleh hukum
kewarisan dalam ini dapat dipahami dari firman Allah surat an-Nisa ayat 7 sebagaimana yang
telah disebutkan sebelumnya. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa seorang anak laki-laki mendapat
bagian dari peninggalan ayah dan ibunya, begitu juga dengan anak perempuan, dia berhak atas
peninggalan kedua orang tuanya.

3. Asas Individual

Hukum kewarisan Islam mengajarkan kepada bahwa hukum kewarisan itu juga
berasaskan individual. Yang dimaksud dengan asas individual tersebut dalam hubungannya
dengan hukum kewarisan adalah: bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara
perorangan. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang dapat dibagi-bagi,
kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada masing-masing ahli waris yang berhak menurut
kadar bagian masing-masing. 30
Adapun maksud dari dimiliki secara perorangan ini adalah bahwa setiap harta yang
didapat dari kewarisan ini dipunyai secara penuh dan dia berhak dan berkuasa atas harta tersebut
tanpa terikat dengan ahli waris atau orang lain.
Asas individual hukum Islam ini diperoleh dari aturan ayat al-Qur’an mengenai
pembagian harta warisan. Ayat 7 surat an-Nisa menjelaskan secara garis besar tentang hak laki-
laki untuk menerima warisan dari orang tua atau keluarga dekatnya, begitu juga halnya dengan
anak perempuan. Selanjutnya pada surat an-Nisa ayat 11, 12 dan 176 menjelaskan secara rinci
hak masing-masing ahli waris menurut bagian tertentu dan pasti. Dalam bentuk yang tidak tentu
pun seperti bagian anak laki-laki bersama dengan anak perempuan seperti disebutkan pada ayat
11 dan bagian saudara laki-laki bersama dengan saudara perempuan dalam ayat 176, yang
dijelaskan perimbangan pembagian mereka, yaitu satu orang laki sama dengan bagian dua orang
perempuan.

30
Ibid, hlm. 21.
24

4. Asas Keadilan Berimbang

Pengertian “adlu” dikaitkan dengan materi khususnya yang berhubungan dengan hokum
kewarisan adalah “keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang
diperoleh dengan keperluan dan kegunaan”. 31

Secara umum dapat dikatakan bahwa laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan,
sebagaimana yang dinyatakan dalam surat an-Nisa ayat 11

)‫للذكر مثل حظ أنثيين (النساء‬


Hak ini ditetapkan karena di atas pundak laki-laki terpikul tanggung jawab yang ganda,
yaitu terhadap dirinya dan terhadap keluarganya sendiri yang di sana juga termasuk perempuan
itu sendiri. Jadi bila dikaitkan pendapatan yang diperoleh dan tanggung jawab laki-laki, maka
pihak laki-laki akan merasakan manfaat yang sama seperti yang dirasakan oleh perempuan.
Dari pengertian adil yang dikemukakan oleh Amir Syarifudin dalam hubungannya
dengan hukum kewarisan, asas keadilan berimbang yang dianut oleh hukum kewarisan Islam itu
dapat dilihat dari dua segi:

1) Keseimbangan antara hak dan kewajiban


Yang pertama dapat dilihat dari pembagian laki-laki dan perempuan, bahwa keduanya
mendapat hak yang sama untuk mendapatkan harta kewarisan, ini adalah suatu keadilan. Tetapi
mereka tidak mendapat bagian yang sama, ini adalah suatu keseimbangan yang diajarkan oleh
Islam sebab tanggung jawab perempuan. Itulah sebabnya maka Allah menetapkan agar
bagiannya lebih banyak.
Yang kedua dapat dilihat dari segi besarnya tanggung jawab pewaris kepada ahli waris.
Dalam hal ini dapat dilihat pembagian antara anak dan orang tua (ayah dan ibu) bahwa
pembagian yang diperoleh anak lebih besar dari yang diperoleh orang tua pewaris itu sendiri.

2) Keseimbangan antara yang diperoleh dengan kegunaan dan keperluan

31
Ibid, hlm. 23.
25

Keadilan berimbang jika disangkutkan dengan materi khususnya yang berhubungan


dengan hukum kewarisan adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan
antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaannya. 32 Dengan demikian asas ini
mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak yang diperoleh
seseorang dan kewajiban yang dipikulnya.
Dalam sitem kewarisan Islam, harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari
pewaris pada hakikatnya adalah pelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya. Oleh
karena itu bagian masing-masing ahli waris berimbang dengan perbedaan posisi masing-
masingnya. Seseorang laki-laki menjadi penanggung jawab kehidupan keluarga, mencukupi
keperluan hidup anak dan isterinya (QS. Al-Baqarah : 233) menurut kemampuannya (QS. At-
Thalaq: 7).
Tanggung jawab ini merupakan kewajiban yang harus dilaksanakannya, terlepas dari
persoalan apakah isterinya mampu atau tidak, anaknya memerlukan bantuan atau tidak. Terhadap
kerabat lain, tanggungjawab seseorang laki-laki juga ada (QS. Al-Baqarah : 177) berdasarkan
hak yang diperoleh dan kewajiban yang harus ditunaikan.

F. Kewarisan semata akibat kematian


Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain melalui
kewarisan, hanya berlaku setelah kematian pewaris. Maka semua bentuk peralihan sebelum
kematian, baik secara langsung ataupun setelah meninggal yang belum dilakukan di waktu
hidupnya, atau perjanjian di waktu masih hidup yang dapat berlaku setelah pewaris meninggal
dunia.
Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa pengertian kewarisan dalam Islam terbatas
pada proses peralihan harta dari orang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.
Garis-garis pokok kewarisan Islam ditetapkan oleh Allah dalam al-Quran dan dijelaskan dengan
sunah Rasulullah SAW. Di samping itu Allah memberikan pula lapangan bagi akal manusia
32
Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 23.
26

untuk berijtihad menggali dan menemukan hukum dalam hal yang pokok-pokoknya disebutkan
dalam Quran dan Hadits Rasulullah SAW. Pemilikan benda waris didasarkan pada asas bilateral
dan individual secara pasti yang besarnya berimbang berdasarkan tanggung jawab.

BAB II
PEWARIS

A. Pengertian Pewaris (Muwarits)

Pewaris yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan
hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal dunia. Mengenai pewaris ini
secara tertulis diatur dalam Pasal 171 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam “Pewaris adalah orang
27

yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan,
beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan”.
Muwarits adalah pemilik harta yang sah atau orang yang mewariskan hartanya. Syaratnya
adalah bahwa pewaris benar-benar telah meninggal dunia. Hal ini memenuhi prinsip kewarisan
akibat kematian yang berarti bahwa harta pewaris beralih kepada ahli warisnya setelah
kematiannya, baik secara haqiqi, taqdiri maupun secara hukmy, Mati haqiqi adalah hilangnya
nyawa seseorang yang semula nyawa itu sudah berujud padanya. Mati taqdiri adalah suatu
kematian yang bukan haqiqi dan juga bukan hukmy, tetapi semata-mata hanya berdasarkan
dugaan keras. Sedangkan mati hukmy (menurut hukum) adalah suatu kematian disebabkan
adanya vonis hakim, baik pada hakikatnya seseorang benar-benar masih hidup maupun dalam
dua kemungkinan antara hidup dan mati.33

B. Kategorisasi Kematian
Kematian seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam:

1. Mati Haqiqy (mati sejati).


Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa membutuhkan putusan
hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh orang banyak dengan panca indera dan
dapat dibuktikan dengan alat bukti yang jelas dan nyata.

2. Mati Hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis).

Mati Hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu kematian yang dinyatakan
atas dasar putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan. Maka dengan putusan hakim
secara yuridis muwaris dinyatakan sudah meninggal meskipun terdapat kemungkinan muwaris
masih hidup. Menurut pendapat Malikiyyah dan Hambaliyah, apabila lama meninggalkan tempat
itu berlangsung selama 4 tahun, sudah dapat dinyatakan mati. Menurut pendapat ulama mazhab
lain, terserah kepada ijtihad hakim dalam melakukan pertimbangan dari berbagai macam segi
kemungkinannya.
33
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 14, (Bandung: Al Ma’arif, 1987), hlm, 26.
28

3. Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).


Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris) berdasarkan dugaan
keras, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang dipukul perutnya atau dipaksa minum racun.
Ketika bayinya lahir dalam keadaan mati, maka dengan dugaan keras kematian itu diakibatkan
oleh pemukulan terhadap ibunya.

C. Agama

Agama merupakan identitas seseorang Identitas agama merupakan dimensi yang penting dalam
identitas seseorang. Identitas tersebut merupakan pemberian secara sosial dan budaya, bukan
hasil dari pilihan individu. Identitas agama menjadi hal yang bisa dipilih, bukan identitas yang
diperoleh saat lahir. Identitas agama ditandai dengan adanya ritual yang dilakukan oleh pemeluk
agama tersebut. Identitas agama juga ditandai dengan busana yang dipakai.34

Fungsi Identitas bagi seseorang adalah untuk interaksi, karena dalam setiap interaksi, setiap
pelaku mengambil suatu posisi dan  berdasarkan atas posisi tersebut si pelaku menjalankan
peranan-peranannya sesuai dengan corak atau struktur interaksi yang berlaku. Atribut identitas
adalah segala sesuatu yang terseleksi, yang disengaja maupun yang tidak disengaja yang berguna
untuk mengenali identitas atau jati diri seseorang.

Agama sebagai identitas menentukan hukum yang akan berlaku baginya, di dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 171 huruf b yang mendefiniskan Pewaris adalah orang yang pada saat
meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan,
(tanda koma dari Penulis) beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta
peninggalan. Agama pewaris menentukan hukum yang akan diberlakukan di dalam
penyelesaian waris, karena pewarisan muncul disebabkan adanya kematian.

34
https://id.wikipedia.org/wiki/Identitas diakses 02 Desember 2018
29

Di dalam menentukan agama, maka KHI telah memberi penjelasan di dalam Pasal 172. Ahli
waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau
amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum
dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.

Menurut Penulis pasal ini dapat digunakan untuk menentukan agama yang dianut oleh
seseorang, melalui:

a. Kartu Identitas atau;


b. pengakuan atau;
c. amalan atau;
d. kesaksian,

Sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut:

a . ayahnya atau;

b. lingkungannya.

Kaitan antara agama dengan pewarisan adalah; manakala pewaris beragama Islam maka
digunakan hukum Islam sebagai dasar penyelesaiannya sehingga manakala ahli waris tidak
beragama Islam, maka dia terhalang untuk mendapatkan hak atas harta waris. Sebagaimana
dijelaskan di dalam Hadits dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

ْ ‫سلِ ُم ا ْل َكافِ َر َوالَ ا ْل َكافِ ُر ا ْل ُم‬


‫سلِ َم‬ ْ ‫ث ا ْل ُم‬
ُ ‫الَ يَ ِر‬.

“Orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak pula mewarisi harta orang
Islam.” Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (XII/50, no. 6764), Shahiih Muslim (III/ 1233, no.
1614), Sunan at-Tirmidzi (III/286, no. 2189), Sunan Ibni Majah (II/911, no. 2729), Sunan Abi
Dawud (VIII/120, no. 2892).

E. Hubungan Hukum dengan Ahli Waris


30

Seorang pewaris yang meninggalkan anak atau keturunannya, orang tua atau urutan ke atasnya,
suami atau istri dengan syarat-syarat sebagai berikut :
a. Ahli waris itu telah atau masih hidup pada waktu meninggalnya Pewaris.
b. Tidak ada hal-hal yang menghalangi secara hukum untuk menerima warisan.
c. Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih dekat.35

Maka berkaitan dengan hal tersebut di atas, apabila dihubungkan dengan sebab atau dasar
mewarisi menurut Hazairin, seperti yang disimpulkan oleh Sayuti Thalib adalah: (a) hubungan
darah, (b) hubungan semenda atau pernikahan, (c) hubungan memerdekakan budak, (d)
hubungan wasiat untuk tolak seperjanjian termasuk anak angkat.36

Dan sehubungan dengan ahli waris sebagaimana telah dipahami secara umum tentang
pengertian ahli waris dalam paparan sebelumnya adalah orang yang berhak menerima harta
warisan dari pewaris karena adanya sebab atau dasar hubungan kewarisan, maka menurut
Hazairin, ketentuan Al-Qur’an mengenai faraidh itu menimbulkan penggolongan ahli waris
dalam dzul faraidh dan bukan dzul faraidh,37 di mana lebih rinci dan konkrit ia membagi ahli
waris tersebut dalam tiga golongan : (1) dzul faraidh, (2) dzul qarabat, (3) mawali.38

a. Harta Waris

Di dalam Kompilasi hukum Islam Pasal 171 huruf a, disebutkan bahwa Hukum kewarisan
adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya
masing-masing.

35
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 211.
36
Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 71.
37
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadits, (Jakarta: Tintamas, 1967), Buku I
Hazairin, hlm. 15.
38
Ibid, hlm. 16.
31

Definisi ini menegaskan bahwa yang berpindah atau beralih akibat kematian seseorang
kepada keluargaya adalah “hak pemilikan” dan bukan “hak dan kewajiban”. Lebih lanjut
Pasal 171 KHI memberikan perbedaan definisi antara harta peninggalan dengan harta waris.
d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang
berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
e. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya,
biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk
kerabat.

Di dalam sebuah perkawinan, terdapat kategorisasi harta dari sisi asal perolehannya yakni:

a. Harta bawaan: Harta masing-masing suami isteri yang telah dimiliki sebelum mereka
menikah baik atas usaha sendiri maupun dari pemberian.
b. Harta dapatan: Harta yang didapat sejak dan selama pernikahan tidak atas usaha bersama
atau sendiri, namun dari warisan, wasiat atau hibah untuk masing-masing.
c. Harta bersama: Harta yang dihasilkan sejak dan selama perkawinan berlangsung tidak
dipersoalkan atas nama siapa dan siapa yang mencari.

KHI menjelaskan di dalam Pasal 96


(1)      Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup
lebih lama.
(2)      Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutang
harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara
hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.

Pasal 97
Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
32

Sehingga manakala seseorang meninggal dunia maka yang dibagi adalah harta waris,
sebagaimana yang telah ditentukan di dalam Pasal 171 huruf “e”.

Untuk hutang pewaris maka ditentukan lebih dahulu kedudukan hutangnya, pakah hutang pribadi
atau hutang keluarga, manakala menjadi hutang pribadi maka diambil dari harta pribadinya yakni
dari harta bawaan dan harta dapatan serta bagian dari harta bersamanya.

Pada dasarnya menurut hukum Islam; harta kekayaan suami terpisah dari harta kekayaan
isteri. Masing-masing suami dan isteri dapat memilki kekayaan baik yang diperoleh  sebelum
perkawinan atau sesudah perkawinan. Apa yang dihasilkan suami setelah menikah tetap dikuasai
oleh suami dan bukan milik isteri, Hanya saja berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya.
Isteri apabila bekerja atas izin suami dan menghasilkan sesuatu maka penghasilan isteri
merupakan haknya, isteri tidak berkewajiban memberi kepada suami. Hanya saja isteri
berkewajiban menjaga dirinya dan harta suaminya apabila suami tidaka ada di tempat. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam ayat 34 surat an-Nisa’:

... ‫ فاالصلحت قنتت حفظت للغيب بماحفظ هللا‬...

Hal ini telah diakomodir di dalam KHI Pasal 86


(1). Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
(2). Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami
tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya.

Pasal 87
(1)  Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para
pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
(2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta
masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.
33

Dan bagi suami yang melakukan poligini maka diatur pula mengenai kedudukan harta
bersamanya yaitu di dalam Pasal 94
(1)    Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang,
masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
(2)  Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari
seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan
yang kedua, ketiga atau keempat.

Harta bersama merupakan ‘urf dalam sebuah masyarakat yang adat istiadatnya tidak
memisahkan antara hak milik suami dan isteri yang diperoleh dan selama mereka terikat dalam
perkawinan.  Dalam urusan rumah tangga tidak dipisahkan harta penghasilan suami dan
penghasilan isteri. Harta pencaharian suami bercampurbaur dengan harta penghasilan isteri.
Dalam rumah tangga seperti ini rasa kebersamaan lebih menonjol dan menganggap akad nikah
mengandung persetujuan kongsi (syirkah) dalam membina rumah tangga, bahkan lebih kuat dari
sekedar syirkah yang dikenal dalam muamalah, karena dalam perkawinan suami isteri telah
bersyarikat lahir dan batin. Dengan demikian seluruh harta yang diperoleh selama perkawinan
dianggap sebagai harta bersama suami isteri, tanpa mempersoalkan jerih payah siapa yang lebih
banyak menghasilkan dalam usaha memperoleh harta itu. Oleh karena itu sifat
kegotongroyongan lebih menonjol dalam masyarakat seperti ini. Di Indonesia, adat kebiasaan
seperti ini  menjadi lebih kuat karena telah dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan,
yaitu dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang
menyebutkan bahwa “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.
Jika salah seorang suami isteri meninggal dunia masalah pertama yang harus diselesaikan
sebelum pembagian harta warisan adalah penyelesaian pembagian harta bersama.

Untuk melihat lebih lanjut posisi harta bersama atau harta gono gini, dapat dilihat dari
kajian muamalat, bahwa harta gono gini dapat dikategorikan sebagai hasil syirkah atau join
antara suami isteri. Dalam perkawinan, suami dan isteri dipandang telah melakukan syirkah atau
kongsi. Dalam konteks konvensional, suami merupakan tulang punggung keluarga, beban
ekonomi keluarga adalah hasil pencaharian suami, sedangkan isteri sebagai ibu rumah tangga
34

bertindak sebagai manajer yang mengatur manajemen ekonomi rumah tangganya. Dalam kondisi
seperti ini, sekalipun isteri secara riil tidak bekerja menghasilkan harta, akan tetapi telah
dipandang mempunyai kongsi, menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk mengurus rumah
tangga, sehingga bekerja tidak harus selalu diartikan bekerja di luar rumah. Syirkah yang seperti
ini dalam muamalah bisa dikategorikan ke dalam syirkah abdan yang oleh hukum Islam
diperbolehkan. Lebih-lebih apabila isteri selain mengatur manajemen ekonomi rumah tangga,
juga ikut bekerja secara riil menghasilkan harta, maka syirkah seperti ini disebut syirkah inan
yang juga diperbolehkan oleh hukum Islam. Selanjutnya apabila suami isteri itu bercerai atau
salah seorang suami isteri meninggal dunia, harta bersama atau gono gini dibagi dua bagian,
sebagian untuk suami dan sebagian lagi untuk isteri.

BAB III
AHLI WARIS

A. Ahli Waris

. Pasal 171 huruf b menjelasan definisi Ahli waris adalah orang yang pada saat
meninggal dunia (seharusnya kalimat “pada saat meninggal dunia” tidak ada; Pen)
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
35

Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Menurut hukum waris
Islam, pewarisan harta waris hanya dilakukan kepada ahli waris jika tidak ada halangan yang
menyebabkan hilangnya hak kewarisan. Dalam berbagai literatur disebutkan penyebab
hilangnya hak waris antara lain pembunuhan, berlainan agama dan perbudakan.39 Dalam
Pasal 173 KHI telah ditentukan pula pihak-pihak yang hilang hak kewarisannya, yaitu
seseorang yang telah dipersalahkan : (i) telah membunuh; (ii) mencoba membunuh; (iii)
menganiaya berat pada pewaris; dan (iv) memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara
atau hukuman yang lebih berat.

B. Pengelompokkan Ahi Waris

Terdapat perbedaan di kalangan ulama dalam mengelompokkan ahli waris dan ini
terkait dengan pemahaman mereka terhadap nas-nas pewarisan. Pengelompokkan ahli waris,
yaitu: menurut ulama Sunni, dan Hazairin.

Menurut ulama Sunni pengelompokkan ahli waris kepada:

1. Ahli waris zawul furud ( ‫ ذو الفروض‬atau ashabul furud ‫))أصحاب الفروض‬, yaitu ahli waris yang
bagiannya sudah ditentukan dalam al-Qur'an dan hadits. Para ahli waris kelompok ini sudah
mempunyai bagian yang baku.

2. Ahli waris `asabah, yaitu ahli waris yang bagiannya belum ditentukan, mereka ini
menerima sisa setelah diambil bagiannya ashabul furud Iebih dahulu, atau mengambil
semua harta peninggalan apabila tidak ada ahli waris selainnya, atau ada ahli waris yang
lain tetapi mahjub.Dasar hukum ahli waris `asabah ialah sabda Nabi saw yang diriwayatkan
oleh al-Bukhari-Muslim dari Ibnu Abbas

‫ض بَِأ ْهلِهَا فَ َما بَقِ َي فَهُ َو َأِلوْ لَى َرج ٍُل َذ َك ٍر‬
َ ‫َأ ْل ِحقُوا ْالفَ َراِئ‬
39
Neng Djubaedah dan Yati N. Soelistijono, op.cit., hlm. 15. Lihat juga dalam Amir Syarifuddin, op.cit.,
hlm. 192-198.
36

Selanjutnya ulama Sunni membagi ahli waris `asabah kepada tiga macam, yaitu:

1). `Asabah binafsi (‫بالنفس‬ ‫ )عصبة‬yaitu ahli waris menjadi `asabah karena dirinya sendiri.
Mereka ini semuanya laki-laki yaitu semua kerabat pewaris yang antara dirinya dengan
pewaris tidak dihubungkan oleh perempuan. Mereka ini ialah: anak laki-laki (ibnun), cucu
laki-laki dari anak Iaki-laki dan seterusnya ke bawah (ibnul ibni wa in nazala), bapak (abun),
kakek (jaddun), saudara laki-laki sekandung (akhun syaqiq), saudara laki-laki sebapak (akhun
li ab), anak laki-laki dari sudara laki-iaki sekandung (ibnu akh syaqiq), anak laki-laki dari
saudara laki-laki sebapak (ibn akh li ab), paman sekandung (`ammun syaqiq), paman sebapak
(`ammun li ab), anak laki-laki paman sekandung (ibn `amm syaqiq), anak laki-laki paman
sebapak (ibn `amm li ab).
2). `Asabah bil ghair (‫ )عصبة مع الغير‬yaitu ahli waris perempuan (yang semula ashabul furud)
menjadi `asabah karena ditarik oleh ahli waris laki-laki yang menjadi `asabah. Antara yang
ditarik menjadi `asabah dengan yang menarik menjadi `asabah (mu'asib) adalah sederajat.
Mereka ini ialah: 1). anak perempuan bersama anak laki-laki. 2). Cucu perempuan bersama
cucu laki-laki. 3). Saudari perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung. 4).
Saudari perempuan sebapak bersama saudara laki-laki sebapak.Selain harus sederajat, ciri
yang lain dari `asabah bil ghaer adalah bagian yang laki-laki dua kali lipat dari yang
perempuan atau dua berbanding satu (lizzakari mislu haddil unsayain) Dasar hukum dari

`asabah bil ghaer adalah firman Allah: ‫يين‬ŠŠ‫االنث‬ ‫ظ‬ŠŠ‫ل ح‬ŠŠ‫ذكر مث‬ŠŠ‫يكم هللا فى اوالدكم لل‬ŠŠ‫يوص‬
)11 :‫(النساء‬Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa apabila anak laki-laki mewarisi bersama
anak perempuan, maka bagian satu anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.
Karena anak laki-laki menerima bagian sisa maka hal ini menunjukkan bahwa anak
perempuan apabila bersama anak laki-laki juga menerima sisa (`asabah). Baca juga ayat 176
surat an-Nisa sebagai dasar hukum `asabah bagi saudari ketika mewarisi bersama saudara.

3). `Asabah ma'al gaer (‫ )عصبة مع الغير‬yaitu ahli waris perempuan yang dijadikan `asabah oleh
orang lain, ahli waris yang menjadikannya sebagai `asabah, bukan `asabah tetapi ahli waris
37

perempuan juga (zawul furud). Ahli waris `asabah jenis ini terbatas hanya saudari sekandung
atau saudari sebapak yang mewarisi bersama anak perempuan atau cucu perempuan, yang
menjadi `asabah ialah saudari sekandung atau sebapak dan yang menjadikan ia sebagai
`asabah ialah anak perempuan atau cucu perempuan. Dalam hal ini anak peremuan atau cucu
perempuan menerima bagiannya sebagai ashabul furud sedangkan saudari menerima sisanya.
Dasar hukum dari `asabah ma'al gaer ialah hadis dari Ibnu Mas'ud yang menjelaskan
pembagian harta warisan yang ahli warisnya itu anak perempuan, cucu perempuan dan
saudari perempuan:

‫س َع ِن ْالهُزَ ي ِْل ب ِْن ُش َرحْ بِي ٍل قَا َل َجا َء َر ُج ٌل ِإلَى َأبِي ُمو َسى‬ ٍ ‫ان ع َْن َأبِي قَ ْي‬ ُ َ‫َح َّدثَنَا َو ِكي ٌع َح َّدثَنَا ُس ْفي‬
ِ ‫ف َولُِأْل ْخ‬
‫ت‬ ُ ْ‫ت النِّص‬ ِ ‫ب فَقَااَل لِ ْلبِ ْن‬ ٍ ‫َو ُسلَ ْي َمانَ ْب ِن َربِي َعةَ فَ َسَألَهُ َما ع َْن ا ْبنَ ٍة َوا ْبنَ ِة ا ْب ٍن َوُأ ْخ‬
ٍ ‫ت َأِل‬
َ َ‫ال فََأتَى ا ْبنَ َم ْسعُو ٍد فَ َسَألَهُ َوَأ ْخبَ َرهُ بِ َما قَااَل فَق‬
‫ال اب ُْن‬ َ َ‫ت ا ْبنَ َم ْسعُو ٍد فَِإنَّهُ َسيُتَابِ ُعنَا ق‬ ِ ‫ف َوْأ‬ ُ ْ‫النِّص‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ ‫ضى َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ضي بِ َما ق‬ ِ ‫ت ِإ ًذا َو َما َأنَا ِم ْن ْال ُم ْهتَ ِدينَ َسَأ ْق‬
ُ ‫ضلَ ْل‬
َ ‫َم ْسعُو ٍد لَقَ ْد‬
ِ ‫ف َواِل ْبنَ ِة ااِل ب ِْن ال ُّس ُدسُ تَ ْك ِملَةَ الثُّلُثَي ِْن َو َما بَقِ َي فَلُِأْل ْخ‬
‫ت‬ ُ ْ‫لِاِل ْبنَ ِة النِّص‬

Dalam hadits di atas disebutkan bahwa bagi satu anak perempuan mendapat setengah, bagi
cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam untuk menyempurnakan bagian dua pertiga,
dan sisanya untuk saudari perempuan. Oleh karena saudari diberikan bagian sisa, berarti
saudari ketika mewarisi dengan anak perempuan atau cucu perempuan berstatus sebagai
'asabah.

3. Ahli waris zawul arham (‫االرخام‬ ‫ )ذو‬yaitu karib kerabat pewaris atau orang yang mempunyai
hubungan nasab dengan pewaris yang tidak terrnasuk ashabul furud atau pun `asabah. Di
kalangan ulama sunni sendiri diperselisihkan apakah zawul arham berhak mewarisi atau tidak,
bagi yang berpendapat bisa mewarisi tetapi mereka sepakat bahwa zawul arham baru menerima
warisan setelah tidak ada seorang pun ahli waris dari ashabul furud atau `asabah, selain suami
atau isteri (zawul arham bisa mewarisi dengan suami atau isteri).Adapun ahli waris zawul arham
38

antara lain:- Keturunan dari anak perempuan- Keturunan dari cucu perempuan pancar laki-laki-
Ayahnya ibu (kakek dari pihak ibu)- Keturunan dari semua saudari- Keturunan dari saudara
seibu- Keturunan yang perempuan dari saudara sekandung dan sebapak- Paman seibu-
Keturunan yang perempuan dari paman- Bibi (saudari perempuannya ayah)- Semua
saudara/saudari ibu (khal dan khalah)

Menurut Hazairin membagi ahli waris ke dalam tiga kelompok, yaitu:

1. Zawul Fara'id, yaitu ahli waris yang mempunyai bagian tertentu dan dalam keadaan tertentu.
2. Zawul Qarabat, ahli waris yang mendapat bagian yang tidak tertentu jumlahnya, atau
memperoleh bagian sisa
3. Mawali, ialah ahli waris pengganti, yaitu ahli waris yang menggantikan seseorang untuk
memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang digantikan, karena orang
yang digantikan itu telah meninggal lebih dahulu sebelum pewaris meninggal. Adapun yang
menjadi mawali yaitu: keturunan anak pewaris (cucu dan seterusnya ke bawah); keturunan
saudara pewaris, keturunan paman pewaris, keturunan orang yang mengadakan perjanjian
mewaris.Mawali dalam konsep Hazairin sama dengan ahli waris pengganti dalam hukum
perdata Barat (BW) dan hukum adat

Hazairin lebih lanjut membagi para ahli waris berdasar kelompok keutamaannya ke dalam empat
(4) kelompok. Selama kelompok keutamaan pertama ada maka kelompok keutamaan kedua,
ketiga, dan keempat tidak berhak mendapat warisan. Dengan demikian kelampok keutamaan
kedua baru berhak mendapat warisan apabila kelampok keutamaan pertama sudah tidak ada,
demikian seterusnya. Empat kelompok keutamaan tersebut yaitu:

Keutamaan pertama:
1. Anak-anak: laki-laki dan perempuan, sebagai zawu al-furud atau sebagai zawu al-qarabat,
beserta mawali bagi mendiang anak laki-laki dan perempuan.
2. Orang tua (ayah dan ibu) sebagai zawu al-faraid3. Janda atau duda sebagai zawu al-faraid.
39

Keutamaan kedua:
1. Saudara: laki-laki dan perempuan, sebagai zawu al-faraid maupun sebagai zawu al-qarabat,
beserta mawali bagi mendiang saudara/saudari
2. Ibu sebagai zawu al-faraid
3. Ayah sebagai zawu al-qarabat
4. Janda atau duda sebagai zawu al-faraid

Keutamaan ketiga:
1. Ibu sebagai zawu al-faraid
2. Ayah sebagai zawu al-qarabat
3. Janda atau duda sebagai zawu al-faraid

Keutamaan keempat:
1. Janda atau duda sebagai zawu al-faraid
2. Mawali untuk ibu
3. Mawali untuk ayah40

Dari KHI Pasal-pasal 174. 181, 182 dan 185, dapat dilihat bahwa ahli waris tersebut terdiri atas :

1. Ahli waris laki-laki, ialah ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, kakek dan suami.

2. Ahli waris perempuan, yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan, nenek dan isteri

3. Ahli waris yang dimungkinkan sebagai ahli waris pengganti adalah seperti cucu laki-laki atau
perempuan dari anak laki-laki atau perempuan

C. Agama

40
http://portaldefinisi.blogspot.co.id/2012/08/ahli-waris.html diakses tg 2 November 2019
40

. Pasal 171 huruf ‘c’ Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam
dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Lebih lanjut diatur pula Pasal 172 Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui
dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang
baru lahir atau anak yang belum di\ewasa, beragama menurut ayahnya atau
lingkungannya.

Agama sangat menentukan perolehan ahli waris terhadap harta waris hal ini berdasarkan
ketentuan:

Hadits dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

‫ث ْال ُم ْسلِ ُم ْال َكافِ َر َوالَ ْال َكافِ ُر ْال ُم ْسلِ َم‬
ُ ‫الَ يَ ِر‬.

“Orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak pula mewarisi harta orang
Islam.” Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (XII/50, no. 6764), Shahiih Muslim (III/ 1233, no.
1614), Sunan at-Tirmidzi (III/286, no. 2189), Sunan Ibni Majah (II/911, no. 2729), Sunan Abi
Dawud (VIII/120, no. 2892).

D. Halangan Hukum

Penghalang mendapat kewarisan

Kata al mawani adalah bentuk jamak dari kata mani yang menurut bahasa mani artinya
penghalang. Sedangkan yang dimaksud dengan manawi’ul irtsi adalah penghalang terlaksananya
waris mewarisi.41

41
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 20.
41

Menurut Fathur Rahman, pengertian penghalang kewarisan adalah tindakan atau hal-hal
yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mempusakai beserta adanya sebab-sebab dan
syarat-syarat mempusakai.42

Dalam redaksi yang lain Dian Khairul Umam menyatakan pengertian penghalang
kewarisan adalah suatu keadaan yang menjadikan tertutupnya peluang seseorang untuk
mendapatkan kewarisan. Adapun orang yang terhalang untuk mendapatkan warisan ini adalah
orang yang memenuhi sebab memperoleh warisan.43

Dalam kewarisan ada pihak yang saling mewarisi dan ada juga pihak yang terhalang
dalam hal mendapatkan warisan. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pihak yang terhalang
dalam hal mewarisi telah dicantumkan secara eksplisit dalam Pasal 174.

Maka hal lainnya dengan halangan dalam mewarisi, ditentukan secara implisit dalam
Pasal 171 huruf (c), yaitu:”beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli
waris”. Dalam kutipan pasal ini dapat diuraikan beberapa sebab yang menjadi halangan dalam
mewarisi.

Keadaan yang menyebabkan seseorang ahli waris tidak dapat memperoleh harta warisan
ialah:

1. Perbudakan

Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun
dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik
tuannya. Baik budak itu sebagai Qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan
merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian
pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak). Alhasil,
semua jenis budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan
mereka tidak mempunyai hak milik.44

42
Fatchur Rahman, Op.Cit, hlm. 83.
43
Dian Khairul Umam, Fiqh Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 30.
44
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Op.Cit, hlm. 24.
42

Para Faradhiyun telah bulat pendapatnya untuk menetapkan bahwa perbudakan itu
adalah suatu hal yang menjadi pusaka mempusakai, berdasarkan adanya petunjuk umum dari
suatu nash yang sharih yang menafikan kecakapan bertindak seorang budak dalam segala
bidang, yakni firman Allah dalam surat An-Nahl : 75.

ُ ِ‫ب ٱهَّلل ُ َمثَالً ع َۡب ۬ ًدا َّممۡ لُو ۬ ًكا اَّل يَ ۡق ِد ُر َعلَ ٰى َش ۡى ۬ ٍء َو َمن رَّزَ ۡقنَ ٰـهُ ِمنَّا ِر ۡزقًا َح َس ۬نًا فَه َُو يُنف‬
ُ‫ق ِم ۡنه‬ َ ‫ض َر‬ َ
)٧٥( َ‫ڪثَ ُرهُمۡ اَل يَ ۡعلَ ُمون‬ ۡ ‫ ۚۥنَ‌ ۡٱل َحمۡ ُد هَّلِل ۚ‌ِ بَ ۡل َأ‬ ‫ِس ۬ ًّرا َو َج ۡه ًر ۖا‌ ه َۡل يَ ۡستَ ُو‬

Artinya “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak
dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari Kami,
lalu Dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan,
adakah mereka itu sama?segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada
mengetahui”.

Mahfum ayat tersebut menjelaskan bahwa budak tidak cakap mengurusi hak milik
kebendaan dengan jalan apa saja. Dalam soal pusaka mempusakai terjadi di satu pihak
melepaskan hak-hak kebendaan dan di satu pihak yang lain menerima hak milik kebendaan.45

2. Pembunuhan

Pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris oleh pewarisnya menyebabkan ia terhalang
haknya untuk mewarisi. KHI merumuskan dalam Pasal 173 yang berbunyi “seorang terhalang
menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
dihukum karena:

a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada
pewaris.
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah
melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun penjara atau
hukuman yang lebih berat.”

45
Fatchur Rahman, Op.Cit, hlm. 84.
43

Rumusan tersebut cukup lengkap dan dapat menerangkan kategori atau klasifikasi
pembunuhan dalam terminologi fiqh seperti pembunuhan sengaja (al-‘amd). Adapun huruf b
adalah pembaharuan hukum yang apabila dilacak dasar-dasarnya karena memfitnah adalah
perbuatan yang resikonya lebih berat daripada pembunuhan, seperti yang terdapat dalam firman
Allah dalam surat al-Baqoroh ayat 91.46

Jumhurul fuqoha telah sepakat pendapatnya untuk menetapkan bahwa pembunuhan itu
pada prinsipnya menjadi penghalang mempusakai bagi si pembunuh terhadap harta peninggalan
orang yang telah dibunuhnya.47

Seseorang yang melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap pewarisnya, maka


terhalang untuk mendapatkan warisan dari orang yang dibunuhnya tersebut. Tentang bentuk-
bentuk pembunuhan tersebut terbagi kedalam dua bentuk, yaitu sebagai berikut:

a. Pembunuhan secara hak dan tidak melawan hukum, yaitu pembunuhan yang pelakunya tidak
dianggap melakukan kejahatan dan dosa. Yang termasuk kedalam pembunuhan ini adalah:
1) Pembunuhan terhadap musuh dalam medan perang
2) Pembunuhan dalam melaksanakan hukuman mati
3) Pembunuhan dalam membela jiwa, harta atau kehormatan.
b. Pembunuhan secara tidak hak dan melawan hukum, yaitu pembunuhan yang dilarang oleh
agama dan terhadap pelakunya dikenakan sanksi dunia dan/atau akhirat.48

3. Berlainan agama

Yang dimaksud dengan berlainan agama adalah berlainan agama yang menjadi
kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan. Misalnya agama
orang yang bakal mewarisi adalah bukan Islam, baik agama Nasrani maupun Atheis yang tidak
mengakui agama yang hak sedangkan agama orang bakal diwarisi harta peninggalannya adalah
Islam.49

46
Amir Syarifudin, Op.Cit,. hlm. 193.
47
Fathur Rahman, Op.Cit, hlm. 85.
48
Amir Syarifuddin, Op.Cit, hlm. 194.
49
Fathur Rahman, Op.Cit, hlm .95.
44

Dalam KHI tidak menegaskan bahwa perbedaan agama antara ahli waris dan pewarisnya
sebagai penghalang mewarisi. Hal tersebut sudah ditegaskan dalam Pasal 171 huruf (b) yang
menyatakan:

“pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau dinyatakan meninggal
berdasarkan putusan pengadilan, beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta
peninggalan.”

Para ulama ahli fiqih di antaranya al Imam Abu Hanifah, al Imam Malik, al Imam Syafi’i,
dan al Imam Hambali telah bersepakat bahwa berlainan agama antara orang yang mewarisi
dengan orang yang mewariskan merupakan salah satu penghalang mewarisi. Berlainan agama
terjadi antara Islam dengan agama lainnya terjadi antara satu agama dengan satu syariat yang
berbeda.50

Sebagaimana Hadits Nabi Muhammad Saw:

‫ال يرث المسلم الكا فر وال الكا فر المسلم‬

Artinya “orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafirpun tidak dapat
mewarisi harta orang Islam”. (HR. Al Imam Bukhari dan al Imam Muslim).

Hukum ini merupakan ketetapan banyak para ulama ahli fiqih sebagai pengalaman keumuman
Hadits di atas. Apabila seseorang yang mati meninggalkan anak-anak laki-laki yang kafir dan
pamannya yang Islam, niscaya harta peninggalannya akan diberikan semuanya kepada
pamannya, sehingga anak laki-laki itu tidak akan mendapat warisan apa-apa dari ayahnya.51

F. Besarnya Bagian

1. An-Nisa ayat 7:

1). Garis Hukum:

50
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Op.Cit, hlm. 46.
51
Ibid, hlm. 48.
45

a. Bagi anak laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapa baik sedikit atau
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan
b. Bagi kerabat laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan dari kerabatnya baik sedikit
atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan
c. Bagi anak perempuan ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapa baik sedikit atau
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.
d. Bagi kerabat perempuan ada hak bagian dari harta peninggalan kerabatnya baik sedikit
atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.

2). Identifikasi

a. Menentukan hak waris bagi anak dan kerabat laki-laki karena di zaman jahiliyah anak
laki-laki baru mendapat waris manakala bisa naik kuda dan memanah.
b. Menentukan hak waris bagi anak dan kerabat perempuan, karena di zaman jahiliyah
perempuan tidak punya hak hidup apatah lagi hak warsi.
c. Hak waris ditentukan dengan lahir dalam keadan hidup “bayi lahir mengeak mendapat
waris”. Meski belum dketahui jenis kelaminnya.
d. Belum menentukan besarnya bagian karena baru menentukan pemberian hak
waris.
e. Pembagian waris hukumnya fardlu yakni terkait dengan hak Allah untuk
membagi.

2. An-Nisa ayat 11:

1). Garis hukum:

a. Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) bagian untuk seorang
anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.
46

b. Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) bagian untuk 2 orang
anak perempuan atau lebih maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan
c. Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) bagian untuk seorang
anak perempuan saja, maka ia memperoleh separo harta
d. Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) bagian untuk dua orang
ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan
e. Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) bagian untuk ibunya
mendapat sepertiga jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi
oleh ibu-bapanya (saja).
f. Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) bagian untuk ibunya
mendapat seperenam jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan mempunyai
beberapa saudara.
g. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya.
h. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka
yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu
i. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.

2). Identifikasi

a. Allah menggunakan kata “wasiatkan”, untuk menghalau wasiat dari orang tua
b. Ayat ini menentukan bagian waris anak dan orangtua.
c.3 garis hukum untuk anak dan 3 garis hukum untuk orang tua.
d. Perempuan (anak perempuan saja dan ibu) selalu dalam kedudukan dzul
faroid (bagian pasti).
e.Bagian anak laki-laki yang lebih besar tergantung dari bagian anak perempuan
yang lebih kecil.
f. Bagian anak ibu dengan angka 1/6 dan 1/3 dengan kelipatan 3.
47

g. Bapak hanya mendapatkan bagian pasti manakala pewaris punya anak, selain
dalam kondisi tersebut bapak berkedudukan sebagai asobah atau dzul qarabat.
h. Pembagian waris setelah diikeluarkan untuk pembayaran hutang dan wasit

An-Nisa ayat 12

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah
dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja)
atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat
yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat
(kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-
benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”

Garis Hukum:

a. Bagi suami mendapatkan seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri jika
istri tidak mempunyai anak.
b. Bagi suami mendapatkan seperempat dari harta yang ditinggalkan oleh isteri jika
istri mempunyai anak.
c. Pembagian waris sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya.
48

d. Bagi istri mendapatkan seperempat dari harta yang ditinggalkan oleh suami jika
suami tidak mempunyai anak.
e. Bagi istri mendapatkan seperdelapan dari harta yang ditinggalkan oleh suami
jika suami mempunyai anak.
f. Pembagian waris sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya.
g. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
h. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu
saja) atau saudara perempuan (seibu saja), lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu.
i. Pembagian waris sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya.
j. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun

1. An-Nisa ayat 176


‫ت فَلَهَا نِصْ فُ َما تَ َركَ َوهُ َو يَ ِرثُهَا ِإ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهَا َولَ ٌد‬ ٌ ‫ْس لَهُ َولَ ٌد َولَهُ ُأ ْخ‬
َ ‫ك قُ ِل هَّللا ُ يُ ْفتِي ُك ْم فِي ْال َكاللَ ِة ِإ ِن ا ْم ُرٌؤ هَلَكَ لَي‬َ َ‫يَ ْستَ ْفتُون‬
‫لُّوا‬Š‫َض‬ ِ ‫ْن يُبَيِّنُ هَّللا ُ لَ ُك ْم َأ ْن ت‬Šِ ‫ ظِّ األ ْنثَيَي‬Š‫ ُل َح‬Š‫ذ َك ِر ِم ْث‬Š‫ل‬ َ ‫فَِإ ْن َكانَتَا ْاثنَتَي ِْن فَلَهُ َما الثُّلُثَا ِن ِم َّما تَ َر‬
َّ ِ‫ا ًء فَل‬Š‫ اال َونِ َس‬Š‫ َوةً ِر َج‬Š‫ك َوِإ ْن َكانُوا ِإ ْخ‬
)‫َوهَّللا ُ بِ ُك ِّل َش ْي ٍء َعلِي ٌم (النساء‬
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah hukum fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki
mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi
jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-
49

saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak
bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu,
supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”

Garis Hukum:
a. kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak.
b. bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya
c. bagi saudaranya yang laki-laki mempusakai seluruh harta
d. jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan
e. jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan,
maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara
perempuan.
f. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah
Maha mengetahui segala sesuatu

KOMPILASI HUKUM ISLAM


Pasal 176

Di dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai pebagian waris diatur di adalam Pasal 176 “Anak
perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih
mereka bersama-sama mendapzt dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-
sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu
dengan anak perempuan”.

Garis Hukum:

a. Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian


b. Anak perempuan bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua
pertiga bagian
50

c. anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-
laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan

Pasal 177

Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak,

ayah mendapat seperenam bagian. *

Garis Hukum:

a. Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak,

b. Ayah mendapat seperenam bagian bila pewaris ada anak*

Pasal 178

(1) Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila
tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga
bagian.

(2) Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda
bila bersama- sama dengan ayah.

Garis Hukum:

a. Ibu mendapat seperenam bagian bila pewaris ada anak.


b. Ibu mendapat seperenam bagian bila pewaris ada dua saudara atau lebih.
c. Ibu mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak ada anak atau dua orang saudara
atau lebih
d. Ibu mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak dua orang saudara atau lebih
51

e. Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda
bila bersama- sama dengan ayah

Pasal 179

Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan
bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagaian.

Garis Hukum:

a. Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak,


b. Duda mendapat seperempat bagian, bila pewaris meninggalkan anak.

Pasal 180

Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila
pewaris meninggalkan anak maka janda mendapat seperdelapan bagian.

Garis Hukum:

a. Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak


b. Janda mendapat seperdelapan bagian bila pewaris meninggalkan anak

Pasal 181

Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki
dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila
mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga
bagian.
52

Garis Hukum:

a. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki
dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian.
b. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki
dan saudara perempuan seibu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama
mendapat sepertiga bagian.

Pasal 182

Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai
satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ua mendapat separoh bagian.
Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung
atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga
bagian.

Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung


atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara
perempuan.

Garis Hukum:

a. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai
satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separoh bagian.
b. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai
dua atau lebih saudara perempuan kandung atau seayah, maka mereka bersama-
sama mendapat dua pertiga bagian.
c. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai
saudara perempuan bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah,
maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan
53

Penentuan agama Ahli waris

Pasal 172

Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau

amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum

dewasa,beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.

Waris dalam gambar:

PEWARIS

HUBUNGAN DALAM PERKAWINAN


54

PEREMPUAN

An Nisa ayat 7

c
d

a c

1/6 d 1/6 sisa e 1/3 sisa f 1/6


bp ibu

An Nisa ayat 11
55

a b c
2:1 2/3 1/2

a 1/2

c.Hutang & wasiat An Nisa ayat 12 g &/ h


1/6 1/6

e 1/8 1/3

f Hutang & wasiat

ä ä b1 b2

a
56

An Nisa ayat 33
c

d1 d2

c1 c2

An Nisa ayat 176


½ terbuka 2/3 2:1

Anda mungkin juga menyukai