Anda di halaman 1dari 12

Kritik Sastra Novel "Hujan"

Tere Liye adalah nama pena dari Darwis, beliau berasal dari pedalaman Sumatera
yang berprofesi sebagai Akuntan. Menulis baginya hanya sekedar hobi, pengisi waktu
luang. Salah satu karynya paling laris adalah berjudul "Hujan" bercerita tentang Seorang
gadis tunggal penyuka hujan yang hidup di tahun 2042.

Tere Liye telah menghasilkan belasan novel, Ia bisa di anggap salah satu penulis
yang telah banyak menelurkan karya-karya best seller. Saat ini ia telah menghasilkan
banyak karya, bahkan beberapa di antaranya telah di angkat ke layar lebar.

Darwis lahir pada tanggal 21 Mei 1979 di pedalaman Sumatera Selatan. Ia


merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara yang berasal dari keluarga petani Namun
walaupun berasal dari pedalaman, sastra adalah sastra dimanapun ia berada.

Berbeda dan menonjol dari penulis-penulis yang lain, Tere Liye memang
sepertinya tidak ingin di publikasikan ke umum terkait kehidupan pribadinya. Hal ini dapat
dilihat dalam novel karya Tere Liye di bagian belakang "tentang penulis' di novelnya,
maka tidak ada yang bisa kita temukan informasi mengenai tere liye.

Dan mungkin itu cara yang ia pilih, hanya berusaha memberikan karya terbaik
dengan tulus dan sederhana. Justru karena kesederhanaannya, tiap kita membaca lembaran
demi lembaran novelnya, kita serasa melihat di depan mata apa yang Tere Liye sedang
sampaikan.
Uniknya kita tidak akan merasa sedang di gurui meskipun dari tulisan-tulisannya
itu tersimpan pesan moral, islam serta sosial yang penting.
"Bekerja keras dan selalu merasa cukup, mencintai, berbuat baik dan selalu
berbagi, senantiasa bersyukur serta berterima kasih, maka Ia percaya bahwa kebahagiaan
itu sudah berada di genggaman kita".
Itulah sedikit kutipan yang penulis dapatkan, terkesan bahwa ia menegaskan
syukuri saja setiap apapun yang kita punya, baik itu berupa kekurangan terlebih kalau itu
suatu kelebihan. Satu lagi pelajaran berharga yang bisa kita petik dan di aplikasikan dalam
kehidupan masing-masing dari biografi Tere Liye ini. Ini Lail. Seorang gadis tunggal
penyuka hujan kesayangan Papa dan Mama, yang mereka hidup di tahun 2042 ke atas:
tahun dengan teknologi tinggi dan mutakhir.
Hal ini bisa kita jumpai di bab pertama novel ini, dimana Elijah seorang Paramedis
senior mengubah ruangan polos tempat ia praktik hanya dengan menyentuh layar tablet
nya menjadikan ruangan berisi alat medis untuk proses modifikasi ingatan. Di ruang
praktik inilah lail menceritakan tiap ingatan nya dan ia ingin melupakan hujan.
Delapan tahun yang lalu, 21 Mei 2042. Bayi ke sepuluh miliar lahir ke dunia. Saat
itu pertambahan penduduk bumi tidak dapat lagi dibendung, Ini Lyle. Seorang gadis lajang
yang menyukai hujan adalah bayi dari ayah dan ibu, yang hidup pada tahun 2042 ke atas:
teknologi tinggi dan tahun terbaru.
Hal ini bisa kita temukan di bab pertama novel, di mana Elijah, pengasuh senior,
bisa mengubah ruangan biasa yang dia praktikkan hanya dengan menyentuhkan layar
komputer tablet ke ruangan yang dilengkapi peralatan medis untuk modifikasi memori.
Lyle menceritakan setiap kenangan di ruang latihan ini, ingin melupakan dan
sedang mencari solusi atas penyebaran populasi bumi dan krisis air yang mencekik,
pertumbuhan penduduk bumi tidak bisa lagi berhenti, dan alam tiba-tiba memberikan
solusi sendiri.
Ketika dunia sedang mencari solusi atas penyebaran populasi bumi dan krisis air
yang mencekik, pertumbuhan penduduk bumi tidak bisa lagi berhenti, dan alam tiba-tiba
memberikan solusi sendiri. Lail bersama sang ibu tengah menuju ke sekolah. Saat itu
usianya tiga belas tahun. Ia sama sekali tidak tahu akan terjadi bencana besar. Sebuah
gempa bumi berkekuatan besar skala 10 richter mengguncang bumi akibat letusan sebuah
gunung purba. Bumi mengalami bencana paling mengerikan di abad kedua puluh satu itu.
Letusan gunung Purba terjadi dengan sangat dahsyat, menyemburkan material
vulkanik setinggi 80 kilometer yang menghancurkan apa saja dalam radius ribuan
kilometer. Suara letusan terdengar sampai jarak 10.000 kilometer. Letusan itu tak disangka
berhasil mengurangi jumlah penduduk di dunia hanya dalam waktu hitungan menit.
Sosok Lail yang sangat amat sedih karena kehilangan ayah dan sang ibu dan harus
hidup seorang diri . Lail tentu saja saat itu selamat. Ia tertolong oleh Esok yang berusia 15
tahun.
Keduanya sama-sama kehilangan keluarga, namun keduanya harus berjuang
bertahan hidup. Lail yang waktu itu masih berusia 13 tahun, mendadak sebatang kara.
Kedua orang tuanya meninggal dalam kejadian yang tak terlupakan oleh dunia.
Takdir membawa Lail bertemu dengan Esok. Laki-laki yang menyelamatkannya dari
reruntuhan tangga kereta api bawah tanah. Esok masih berusia 15 tahun saat itu. Siapa
sangka ibu Esok masih hidup. Namun, sang ibu kehilangan kedua kakinya Lail dan Esok
sama-sama mengalami trauma mendalam. Mereka mencoba bebas dari hal itu.
Mereka menyibukkan diri di tenda pengungsian. Sampai beberapa bulan kemudian
segalanya pulih. Esok sudah lama kehilangan ayahnya, dan setelah bencana itu, Esok pun
kehilangan ke-4 kakaknya. Sementara ibu Esok mengalami luka yang cukup parah,
sehingga kedua kakinya harus diamputasi.
Esok adalah anak yang cerdas dan baik. Ia dan Lail berteman sangat dekat
semenjak kejadian itu, Esok pun menjadi sosok kakak untuk Lail, yang kelak ia akan
menjadi sosok yang sangat berharga bagi Lail. Karena kecerdasannya, Esok diadopsi wali
kota dan disekolahkan di sebuah sekolah yang bagus. Bahkan karena kemampuannya itu,
Esok loncat kelas dan akhirnya masuk universitas unggulan.
Sayang Esok dan Lail harus berpisah kerena Esok diadopsi wali kota dan Lail harus
tinggal di panti asuhan. Meskipun begitu, keduanya amat dekat. Esok dengan
kejeniusannya direkrut menjadi tim penelitian dengan misi menyelamatkan krisis
lingkungan di bumi. Hal itu hanya Lail yang tahu. Tak dinyana, hal ini memberikan
konflik signifikan pada hubungan Lail dan Esok. Apakah keduanya bisa bersatu saat
keduanya mengetahui bahwa tidak mungkin bersama selamanya?
Pada buku Hujan merupakan cerita fiksi karena tokoh dan ceritanya merupakan
karangan penulis (khayalan penulis). Tere Liye mampu menuangkan ide dalam cerita
dengan sarat pesan moral.
Saya dikejutkan kembali dengan nama-nama tokoh yang hadir di sini, setelah
sebelumnya Ambo Uleng (dalam novel Rindu), kali ini saya bertemu dengan Esok.
Karakter remaja laki-laki yang cerdas, cekatan, dan kuat.Kenapa terkejut? Karena jarang
sekali saya menemukan nama-nama karakter dalam buku yang ketika disebutkan rasanya
unik, dan Esok pun salah satunya.
Novel dengan latar waktu dan tempat di masa depan ini memberikan penyegaran
pada tema novel-novel Indonesia zaman ini. Namun, novel ini bisa menjadi terobosan
kisah apik berlatar waktu unik. Tere Liye mencoba mendalami genre yang tidak penulis
lain gali. Hal ini memberikan nilai tambah bagi novel ini sehingga pantas kalau laris di
pasaran.
Dalam novel ini, saya menemukan banyak hal. Tentang kehilangan dan penerimaan
akan kehilangan itu sendiri, tentang persahabatan dan ketulusan dalam ikatan tersebut,
tentang perpisahan dan cara menemukan jalan keluar agar tidak melulu galau dalam
mengisi penantian panjang.
Tokoh Lail mengajarkan pada saya bahwa dengan menolong banyak oarng adalah
salah satu cara terbaik untuk merelakan kehilangan. Dengan memberi, kita sadar bahwa
kehilangn bukanlah kepahitan hidup yang harus terus diratapi.
Tidak, bukan seperti itu. Lail mengajarkan saya banyak hal. Juga Maryam. Sosok sahabat
yang humoris dan selalu sanggup mencairkan suasana, selalu berada di samping Lail baik
susah maupun senang, gadis berambut kribo yang berpikir dewasa, salah satu orang yang
menjadi alasan Lail bertahan dari lelahnya berlari dan terjatuh dengan jarak 50 kilometer
dalam hujan badai. Itu sungguh luarbiasa. Saya mau bilang kalau novel ini keren, bagus,
karena membutuhkan imajinasi yang tinggi saat membacanya.
Kali ini saya bertemu dengan Esok. Karakter remaja laki-laki yang cerdas, cekatan,
dan kuat. Kenapa terkejut? Karena jarang sekali saya menemukan nama-nama karakter
dalam buku yang ketika disebutkan rasanya unik, dan Esok pun salah satunya.

Dalam novel ini, saya menemukan banyak hal. Tentang kehilangan dan penerimaan
akan kehilangan itu sendiri, tentang persahabatan dan ketulusan dalam ikatan tersebut,
tentang perpisahan dan cara menemukan jalan keluar agar tidak melulu galau dalam
mengisi penantian panjang.
Tokoh Lail mengajarkan pada saya bahwa dengan menolong banyak oarng adalah
salah satu cara terbaik untuk merelakan kehilangan.
Dengan memberi, kita sadar bahwa kehilangn bukanlah kepahitan hidup yang harus terus
diratapi. Tidak, bukan seperti itu. Lail mengajarkan saya banyak hal.
Juga Maryam. Sosok sahabat yang humoris dan selalu sanggup mencairkan
suasana, selalu berada di samping Lail baik susah maupun senang, gadis berambut kribo
yang berpikir dewasa, salah satu orang yang menjadi alasan Lail bertahan dari lelahnya
berlari dan terjatuh dengan jarak 50 kilometer dalam hujan badai. Itu sungguh luarbiasa.
Saya mau bilang kalau novel ini keren, bagus, karena membutuhkan imajinasi yang tinggi
saat membacanya.
Bagi yang mencari novel sarat makna namun tidak membosankan, Hujan boleh
berada di tingkat atas pencarian.
Novel ini dikemas dengan ringan, alurnya memang terkesan agak lamban, tapi itu
membuat saya bisa lebih memahami setiap kejadian di dalamnya. Dan akhir yang bahagia
selalu membuat saya tersenyum setelah menyelesaikan sebuah bacaan. Esok, Lail, happy
ending.
Tere Liye menceritakan kisah rumit ini menggunakan alur mundur, dengan membuat
pembaca penasaran, bahkan harus menyelesaikan cerita untuk memahami secara
keseluruhan.

Kisah ini diceritakan dengan kalimat-kalimat yang santai dan mudah dipahami,
siapapun yang membaca kisah ini akan hanyut di dalamnya. Pada bagian belakang buku
tidak terdapat sinopsis cerita, hanya beberapa analogi dari bagian cerita yang diungkapkan
dan buku tersebut tidak mencantumkan biografi penulis.
Berawal dari pertemuan Lail dengan Elijah di sebuah ruangan terapi. Lail menemui
Elijah hanya untuk satu tujuan: ingin menghapus ingatannya tentang hujan. Lail sangat
ingin melupakan hujan, baginya hujan selalu turun dimasa tergelapnya. Bahasa pengarang
dalam novel Hujan ini menggunakan bahasa yang komunikatif, sangat mudah dipahami
dan puitis sehingga sangat menyentuh hati para pembacanya.
Nilai buku yang bisa diambil adalah, belajar tegar menghadapi permasalahan, terus
melangkah maju meskipun masalah tersebut sangat berat dipikul. Belajar menghargai
hidup, menghargai persahabatan serta belajar memahami keikhlasan. Yang utama adalah
amanat novel ini mengenai perasaan manusia.

Lail digambarkan sebagai tokoh perempuan yang selalu menunggu dan percaya
pada Esok yang tentu saja bukan kekasihnya, namun orang yang ia cintai. Pada titik
tertentu, Lail merasa sangat sakit hati dan mantap tak akan memercayai Esok lagi, maka
Lail memutuskan menghapus seluruh kenangannya dengan Esok.
Hal ini tentu saja tidak patut diteladani pembaca karena orang yang mencintai
orang lain itu seharusnya setia dan tetap memegang teguh prinsipnya sejak awal untuk tak
goyah akan perasaannya. Kelebihan novel ini menurut saya, cerita dibungkus dalam
nuansa sains-fiction, seru . seolah dibawa ke masa yang ga pernah di bayangkan
sebelumnya.
Selalu ada petuah, nasihat-nasihat dalam tiap ceritanya , salah satu nya :
"Barangsiapa yang bisa menerima, maka dia akan bisa melupakan, hidup bahagia. Tapi
jika dia tidak bisa menerima, dia tidak akan pernah bisa melupakan". Latar waktu dan
tempat nya juga keren Ceritanya punya ending yang jelas. Sampul dan warnanya bagus.
Kisah ceritanya menarik untuk disimak dan mendewasakan pikiran serta hati pembaca.
Alur cerita yang mengalir serta konflik batin yang ditonjolkan dalam novel ini
mampu membuat pembaca terhanyut dan ikut merasakan kejadian demi kejadian dengan
seksama.
Dengan latar waktu tahun 2050-an, pembaca diajak berimajinasi. Membayangkan kondisi
dunia masa depan, dengan berbagai teknologi-teknologi canggih yang di dapat.
Isi novel ini mudah dipahami oleh pembaca karena bahasa yang digunakan
sederhana dan dapat menginspirasi para pembaca, selain itu pesan dan kesan yang ada
dalam novel ini dapat mengalir ke lubuk hati dan pikiran.
Tak ada gading yang tak retak, di balik kelebihan selalu ada kekurangan, adapun
kekurangan yang terdapat dalam novel hyujan ini adalah Awal baca ngebosanin, tapi kalo
mampu bertahan akan dapat kejutan di bab berikutnya Ending nya kurang di perluas.
Penasaran dengan kisah hidup Maryam dan penduduk bumi yang sebagian besar
dipindahkan ke planet lain
Terlepas dari itu semua, novel ini sangat layak untuk dibaca oleh semua jenis umur,
baik remaja, dewasa maupun orang tua, serta dapat dibaca oleh semua lapisan masyarakat,
karena bahasa yang digunakan mudah dipahami dan nilai-nilai yang didapat akan mampu
memberikan banyak pelajaran berhargaTidak ada gading yang tidak retak.
Semua orang pasti pernah melakukan kesalahan kecil maupun besar. Tapi terlepas
dari kesalahan kecil itu, novel ini memiliki banyak kelebihan yaitu dari cara bercerita Tere
Liye yang mengalir dan mudah dimengerti, juga dari jalan ceritanya yang berbeda dari
novel fantasi kebanyakan. Novel ini bagus dibaca oleh para remaja.
Novel ini bisa menjadi media penghiburan yang apik. Kisah dalam Hujan mampu
menginspirasi pembaca dengan kisah epik dan romansanya yang tidak pasaran.
Terlebih novel ini dikarang Tere Liye. Selalu ada keunikan dari novel-novel beliau.
Bagi yang mencari novel sarat makna namun tidak membosankan, Hujan boleh berada di
tingkat atas pencarian.

Novel ini dikemas dengan ringan, alurnya memang terkesan agak lamban, tapi itu
membuat saya bisa lebih memahami setiap kejadian di dalamnya.

Dan akhir yang bahagia selalu membuat saya tersenyum setelah menyelesaikan
sebuah bacaan. Esok, Lail, happy ending. Hujan. Tentang Persahabatan. Tentang Cinta.
Tentang Melupakan. Tentang Perpisahan. Tentang Hujan.
Teks Kritik Novel "Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin"
Daun Yang Jatuh Tak Pernah membenci angin merupakan novel yang digemari pembaca
dalam kesastraan Indonesia. Ceritanya yang sangat erat dengan kehidupan yang kita jalani
menjadi pilihan bagi setiap orang untuk membacanya. Tak hanya itu, ceritanya yang
menarik mengharuskan kita agar membaca novel ini.
Novel ini mengisahkan kehidupan kakak beradik Tania dan Dede yang harus putus sekolah
dan menjadi pengamen karena keterbatasan ekonomi keluarga sepeninggal ayah mereka.
Mereka berdua tinggal di rumah kardus dengan ibu mereka yang sakit-sakitan. Setiap hari
mereka harus mengamen untuk memenuhi kebutuhan seharinya. Kehidupan mereka
berubah setelah bertemu dengan seorang pria bernama Danar. Danar adalah seorang
karyawan yang juga penulis buku anak-anak. Danar begitu baik, selalu membantu keluarga
Tania sehingga keluarga ini menganggapnya seperti malaikat. Tania sangat mengagumi
Danar karena selain baik, dia juga punya wajah yang menawan.

Suatu ketika Danar memberikan mereka rumah kontrakan sehingga Tania, Dede dan
ibunya tidak perlu lagi tinggal di rumah kardus. Tania dan Dede bisa kembali sekolah dan
ibunya berjualan kue. Mereka pun semakin dekat seperti keluarga. Suasana agak berubah
ketika Danar membawa teman dekatnya yang bernama Ratna. Tania merasa cemburu, ia
tidak suka melihat kedekatan Danar dengan Ratna. Rasa tidak suka itu bukan sekedar
perasaan iri seorang adik tapi Tania kecil belum bisa menerjemahkan apa arti perasaan itu.
Walaupun pada saat itu, Tania anak gadis yang masih dikepang dua, tapi Tania sudah
merasakan perasaan tersebut.
Kebahagiaan mereka berkurang saat ibu Tania meninggal. Berat sekali bagi Tania
menerima kenyataan bahwa kedua orang tuanya telah tiada dan sekarang ia yang harus
bertanggung jawab menjaga adiknya. Untung saja ada Danar yang selalu berada di
samping mereka. Setelah ibu nya meninggal Tania berjanji pada dirinya akan terus
mengikuti apa yang dikatakan oleh Danar. Tania tumbuh menjadi gadis yang cantik dan
pintar. Ia berhasil mendapatkan beasiswa ke Singapura. Sederet prestasi berhasil ia raih
dalam studinya. Semua pengalaman hidup yang telah Tania alami menjadikannya lebih
dewasa dari gadis-gadis lain seumurannya. Perasaannya terhadap Danar juga semakin
jelas. Lambat laun Tania tahu, perasaan itu bernama cinta.

Tapi cinta Tania terhadap Danar tidaklah mudah. Bertahun-tahun mereka bersama dalam
status kakak adik, terlebih lagi mereka terpaut usia 14 tahun. Bagi Tania, jatuh cinta
kepada pria yang jauh lebih tua darinya cukup membuatnya pusing. Sisi remajanya
membuatnya ingin mengekspresikan perasaannya meskipun ia tidak tahu apakah Danar
memiliki perasaan yang sama dengannya atau tidak. Keadaan semakin sulit saat Danar
memutuskan untuk menikah dengan Ratna. Tania patah hati. Ia memutuskan untuk tidak
hadir dalam pernikahan mereka meskipun Danar dan Ratna telah membujuknya. Dan pada
saat itu, dia mengingkari janji yang dia buat, pada saat ibunya meninggal bahwa Tania
akan menuruti setiap perkataan Danar. Semua itu lenyap, karena Tania yang terlalu marah
dengan kenyataan.
Beberapa waktu berselang, Tania tahu bahwa kehidupan rumah tangga Danar dan Ratna
tidak bahagia. Ratna bercerita kepada Tania bahwa Danar telah banyak berubah. Danar
menjadi pendiam dan sering kali tidak berada di rumah. Ratna tahu ada sesuatu yang
menghalangi mereka, ada seseorang di antara ia dan Danar tapi ia tidak pernah tahu
siapakah bayangan itu. Dari cerita Dede akhirnya Tania tahu bahwa Danar juga mencintai
Tania. Danar menuliskan perasaannya dalam novel "Cinta Pohon Linden" yang tidak
pernah selesai ia tulis. Perbedaan usia yang cukup jauh membuat Danar merasa tidak
pantas mencintai Tania. Tidak seharusnya ia mencintai gadis kecil seperti Tania.
Ketika Tania dan Danar sama-sama tahu perasaan mereka masing-masing, semua sudah
terlambat. Biar bagaimanapun Danar telah menikah dengan Ratna. Dan Tania tidak bisa
untuk memaksakan keadaan dan Tania tahu bahwa Ratna harus bahagia karena dia tidak
bersalah dalam semua ini Akhirnya Tania kembali ke Singapura dan memutuskan untuk
meninggalkan semua cerita cintanya.
Kelemahan novel ini antara lain;
menurut saya ceritanya klise dan umum digunakan oleh penulis-penulis lain, kemudian
ceritanya hampir sama dengan sinetron. Pada saat pertama kali membaca novel, berkali-
kali saya lewatkan bagian-bagian yang terasa membosankan. Terlihat membosankan
karena ceritanya yang sudah umum. Berbeda dengan karya Tere Liye yang lain, yang
meskipun sederhana tapi bisa terasa istimewa lewat penuturannya yang apa adanya. Tapi
tetap saja novel ini memberikan pelajaran. Terutama filosofi "daun yang jatuh tak pernah
membenci angin". Apapun yang kita alami, jangan pernah menyalahkan keadaan. Seburuk
apa pun keadaannya, kita harus bisa menerimanya dengan lapang dada.
Kelemahan lain dari novel ini sepertinya Tere Liye tidak memakai Editor atau penyunting
dalam penerbitan novelnya, saya tidak melihat nama editor. Oleh karenanya, terdapat
beberapa kalimat rancu dan kurang efektif di dalamnya. Apalagi tanda bacanya banyak
sekali yang terlewatkan. Tapi, semua itu tidak mengurangi makna ceritanya.
Novel ini cukup membuka mata kita bahwa cinta tak pernah mengenal usia dan cinta butuh
suatu kejujuran sekalipun pahit rasanya harus kita katakan sebelum akhirnya cinta itu
justru menyakiti orang-orang yang kita sayangi. Novel ini dibuat seperti teka-teki pada alur
cerita dan pada nama tokohnya, sehingga membuat pembacanya penasaran untuk terus
membaca novel ini sampai selesai. Meskipun begitu, alur campuran yang digunakan
kadang cukup membuat pembacanya menjadi cukup kesulitan. Bagian akhir cerita yang
tidak digambarkan secara jelas juga membuat pembacanya menafsirkan ending yang
berbeda-beda sesuai kemauannya.
Kelebihan novel ini antara lain:
Tere Liye berhasil mengajak pembaca untuk memiliki logika berpikir yang lebih rasional
dan berbeda. Mengambil kesimpulan tidak hanya dari satu sudut pandang, tapi lihatlah
sudut pandang lainnya. Dengan demikian, segalanya akan terasa adil dan masuk akal. Dan
kamu akan menerima segala sesuatunya dengan lapang dada tanpa membantah, seperti
daun yang tidak pernah membenci angin yang menerbangkannya ke sana kemari. Kita
harus menerima takdir dan garis kehidupan yang ditentukan Tuhan. Karena apa pun yang
terjadi, hidup harus terus berjalan.
Bahasa yang digunakan dalam novel ini cukup puitis, penggunaan bahasanya sangat tepat,
sehingga mampu menyentuh hati dan membuat imajinasi muncul ketika membacanya.
Meski ada beberapa gaya bahasa yang mungkin akan sulit dipahami bagi kaum awam.
Bahasa percakapan dalam novel ini bersifat narasi dan dialog, sehingga ketika
membacanya tidak memberikan efek jenuh atau kebosanan, malah terlihat sangat
bervariatif, segar, dan menarik.
Selain menarik dan bikin baper setiap kali membacanya, karya Tere Liye ini dapat
memberikan pemahaman kepada kita khususnya pada remaja saat ini, bahwa cinta itu tak
pernah mengenal usia dan butuh sebuah kejujuran. Kita tidak boleh membenci orang yang
telah membuat kita jatuh cinta kepadanya meskipun kita telah tersakit. Dan ketika kita
m3ncintai seseorang, jangan pernah malu untuk mengatakannya dan kita harus tetap
bersyukur dengan apa yang ditakdirkan oleh Tuhana. Meskipun hal tersebut bukan tang
kita inginkan, tapi yakinlah Tuhan tahu apa yang terbaik bagi kita. Novel ini juga
mengajarkan kita supaya tidak membenci atas apa yang ditakdirkan Tuhan.
Contoh Esai

Menyetiai Siswa Miskin

Sudah jelek, miskin, kurang cerdas, dan hidup lagi! Begitulah Tukul sering berolok-olok.
Anak-anak seperti itulah yang dari tahun ke tahun memenuhi sekolah-sekolah yayasan
kami. Apakah mesti merasa sial mengelola sekolah semacam ini? Adakah alasan untuk
menyetiai siswa-siswanya?

Untuk apa sekolah dibangun? Ini pertanyaan penting dalam menyikapi realitas sekolah
kami yang sebagian besar dipenuhi anak-anak miskin. Sekolah adalah ruang mengolah
hidup. Di sekolah seseorang ditumbuhkembangkan kepribadiannya. Jadi semestinya tak
masalah dengan anak macam apa pun di sekolah, termasuk yang ringkih modal hidupnya.
Namun, jujur saja, tidak mudah menyetiai siswa macam ini.

Siswa yang miskin, lusuh, kurang cerdas lagi, sering disikapi sebagai kesialan.
Sesungguhnya yang lebih sial adalah ketika mereka tidak mendapat kesempatan mengolah
hidupnya dengan belajar di sekolah. Anak-anak semacam itulah yang banyak penulis
jumpai di kelas.

Mereka adalah representasi anak bangsa yang dikalahkan karena kemiskinan. Untung saja
yayasan berkomitmen memberi ruang bagi mereka. Kami berharap sekolah kami memberi
kesempatan bagi tumbuh kembangnya kepribadian mereka.

Kemiskinan menjadikan mereka kurang cerdas. Sebagian besar dari mereka adalah lulusan
sekolah yang tak memiliki tradisi studi yang baik. Jadi tak mudah mengajak mereka
bertekun di kelas. Oleh karena itu, kami sadar terlalu berat menggusur prestasi siswa
sekolah favorit yang leluasa merekrut anak-anak cerdas, berkecukupan, dan memiliki
tradisi studi yang baik.

Satu hal yang kami perjuangkan adalah menghentikan ”kesialan” jalan hidup anak-anak
kami. Kalau ada satu dua lulusan kami yang akhirnya bisa bersaing dengan anak-anak dari
sekolah favorit, itu sudah luar biasa.
Kalau ada anak-anak kami yang lulus dengan kesadaran pentingnya peduli terhadap
perjuangan nasib diri sendiri, itu menjadi kepuasan kami sebagai pendidik. Kami pandang
mereka telah menyingkap tempurung hidupnya karena kemiskinan. Bukankah ini hakikat
pendidikan yang berjuang menyingkap keterbelengguan diri?

Bagi kami yang telah lama bergulat dengan anak-anak miskin, ada banyak pergulatan
hidup sebagai pendidik selama mendampingi mereka. Seorang sahabat kami dibuat
menangis ketika siswinya tak mau ikut ujian karena lebih memilih bekerja demi
menghidupi keluarganya.

Sahabat lain merasakan kebermaknaan sebagai pendidik ketika menjemput paksa sejumlah
siswa agar mau mengikuti ujian meski belum melunasi uang sekolah.

Yang lain lagi merasa lega ketika semua siswanya bisa mengikuti ujian meski untuk itu ia
harus mengemis kepada para donatur demi biaya ujian para siswanya. Ada juga yang
bersyukur sekaligus geli karena beberapa kali harus rela menjual burung peliharaan untuk
biaya akomodasi lomba para siswanya.

Pada realitas semacam itu, anak-anak miskin di sekolah sesungguhnya menjadi penuntun
dalam pergulatan hidup seorang guru. Mereka seperti menciptakan outbound bagi tumbuh
kembangnya jiwa kami sebagai pendidik. Mereka ”memaksa” kami untuk mengajar
dengan cara sesederhana dan sekreatif mungkin. Lemahnya daya nalar serta rendahnya
daya tahan untuk bertekun di kelas mendidik kami untuk semakin sabar.

Anak-anak itu membantu kami melompati batas-batas hidup (boundaries of life) sebagai
pendidik. Mereka adalah penolong kami yang nyata untuk menjumput kebermaknaan
hidup sebagai pendidik. Bersama anak miskin, kami tidak hanya menjadi guru yang
mengajarkan pengetahuan. Lebih dari itu mereka membantu kami belajar menjadi manusia
yang sempurna.

Meski demikian, tak banyak guru yang sempat menjumput kebermaknaan hidup bersama
siswa-siswanya yang miskin. Banyak guru dari sekolah kaya lagi favorit tak rela pindah ke
sekolah miskin. Mereka merasa dibuang ketika dimutasi ke sekolah miskin. Pasalnya, di
sekolah miskin pendapatan mereka di luar gaji pokok menurun drastis, tak ada kegagahan
fisik, juga tak lagi berjumpa para murid menarik.
Arus hedonisme, konsumerisme, dan pragmatisme telah menggusur idealisme banyak
guru. Semua diukur dengan uang dan kemutakhiran fasilitas. Apalagi tahun-tahun ini
perhatian guru sering dimobilisasi oleh gaji dan beragam tunjangan. Dinamika pendidikan
yang lebih menyeruakkan penampilan semacam bangunan gedung dan beragam kegiatan
mewah membuat guru tak lagi menjumput pergulatan sebagai pendidik. Sekolah miskin
pun menjadi kesialan.

Anda mungkin juga menyukai