Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

ISU-ISU HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

DOSEN PEMBIMBING
Sri Hidayani, S. H., M. Hum.

DISUSUN OLEH
Rismada Anggun Syafitri (198400039)
Anita Amelia (198400057)
Redzky Eka Alfandi (198400063)
Fernando Gabriel (198400093)
Yunita M Br Tinambunan (198400127)
Frans Deo Sianipar (178400139)
Lydia Sihotang (198400247)
Martawati Butar Butar (208400105)
Bepry Anju Tarigan (198400371)
Ridho Luis Imanuel Waruwu (198400363)

UNIVERSITAS MEDAN AREA


FAKULTAS HUKUM
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
pembuatan makalah ini dengan judul “Isu-isu Hukum Perlindungan Konsumen”.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum
Perlindungan Konsumen. Dalam makalah ini membahas tentang Pengertian Isu,
Pengertian Perlindungan Konsumen, Periklanan dan Perlindungan Konsumen
(Iklan Obat), Layanan Purnajual dan Perlindungan Konsumen, Hak Atas
Kekayaan Intelektual, Asuransi, dan Produk Pangan yang Membahayakan
Konsumen.

Kami menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kekurangan dalam


penyusunan makalah ini, baik dari segi isi maupun penulisannya. Untuk itu kritik
dan saran dari dosen pembimbing yang bersifat membangun senantiasa kami
harapkan demi penyempurnaan makalah ini dimasa yang akan datang.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada dosen


pembimbing mata kuliah Hukum Perlindungan Konsumen sehingga makalah ini
dapat terselesaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami, pembaca
maupun pihak-pihak yang membutuhkan.

Medan, 27 Oktober 2021


DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................................1
KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
DAFTAR ISI......................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..............................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................................4
1.3 Tujuan Penulisan..........................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Isu................................................................................................................6
2.2 Pengertian Perlindungan Konsumen.............................................................................6
2.3 Periklanan dan Perlindungan Konsumen (Iklan Obat)..................................................7
2.4 Perjanjian Standar dan Perlindungan Konsumen..........................................................7
2.5 Layanan Purnajual dan Perlindungan Konsumen..........................................................9
2.6 Hak Atas Kekayaan Intelektual .....................................................................................9
2.7 Asuransi.........................................................................................................................10
2.8 Produk Pangan yang Membahayakan Konsumen.........................................................11

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan....................................................................................................................20
3.2 Saran .............................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................21
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebagian besar predikat konsumen di peroleh sebagai konsekuensi
mengonsumsi barang dan/atau jasa suatu melalui transaksi konsumen (consumen
transaction). Transaksi konsumen adalah peralihan barang/jasa, termasuk di
dalamnya peralihan kenikmatan dalam menggunakannya.
Transaksi konsumen merupakan suatu perikatan, yang terutama
bersangkut paut dengan perikatan keperdataan. Dalam kacamata hukum perdata,
perikatan transaksi konsumen itu tidak serta merta terjadi begitu saja. Ada prolog
yang mendahuluinya. Perikatan konsumen merupakan pelaksanaan dari perikatan
sebelumnya, yang dapat di sebut pra transaksi konsumen. Setelah transaksi
konsumen dilaksanakan, masih ada perikatan lain yang harus dipenuhi kedua
belah pihak, yang dapat disebut pasca transaksi konsumen.
Pertama sekali yaitu tahap pratransaksi konsumen yang biasanya ditandai
oleh penawaran dari penjual kepada calon pembelinya. Tahap berikutnya adalah
pelaksanaan dari transaksi konsumen. Isu yang banyak di permasalahkan pada
tahap ini adalah eksistensi dari perjanjian standar atau perjanjian baku. Tahap
ketiga dari proses transaksi konsumen ini adalah perikatan setelah perihal
barang/jasa yang pokok di lakukan, dan inilah yang biasanya disebut layanan
purnajual (after-sales-service). Di sini terkait pada perlindungan hukum bagi
konsumen.

1.2 Rumusan Masalah


Untuk mengkaji dan mengulas tentang Isu-Isu Hukum Perlindungan
Konsumen di Indonesia, maka diperlukan subpokok yang saling
berhubungan, sehingga kami membuat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan isu?
2. Apa yang dimaksud dengan perlindungan konsumen?
3. Bagaimana pengertian dari periklanan dan perlindungan konsumen
(iklan obat)?
4. Apa itu perjanjian standard dan perlindungan konsumen?
5. Apa itu layanan purnajual dan perlindungan konsumen?
6. Bagimana dengan hak atas kekayaan intelektual?
7. Bagaimana dengan asuransi?
8. Bagaimana produk pangan yang membahayakan konsumen?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui definisi dari isu dengan benar.
2. Untuk mengetahui pengertian perlindungan konsumen menurut
undang-undang dan para ahli dengan tepat.
3. Untuk memahami bagaimana periklanan dan perlindungan konsumen
(iklan obat).
4. Untuk memahami bagaimana perjanjian standard dan perlindungan
konsumen.
5. Untuk memhami bagaimana layanan purnajual dan perlindungan
konsumen.
6. Untuk memahami hak atas kekayaan intelektual.
7. Untuk memahami asuransi.
8. Untuk memahami bagaimana produk pangan yang membahayakan
konsumen.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Isu


Pengertian Isu adalah suatu pertanyaan tentang fakta, nilai, atau kebijakan
yang dapat di perdebatkan. Jadi dari pengertiannya makna isu menjurus kepada
adanya suatu masalah dalam suatu organisasi, lembaga, kelompok yang
membutuhkan penanganan. Jadi sebenarnya dari pengertiannya isu mengacu
kepada adanya suatu bibit permasalahan yang kemudian menyebabkan timbulnya
perdebatan.
Isu merupakaan perbedaan pendapat yang diperdebatkan, masalah fakta,
evaluasi, atau kebijakan yang penting bagi pihak-pihak yang berhubungan. Lalu
yang terakhir didefinisikan bahwa isu merupakan sebuah konsekuensi dari
tindakan yang diusulkan seseorang atau pihak lain yang dapat membawa dampak
dalam negosiasi pribadi dan penyesuaian, sipil dan criminal litigasi, atau hal yang
dapat menjadi sebuah masalah dari kebijakan publik melalui legislatif aturan
tindakan.
Isu bisa meliputi masalah, perubahan, peristiwa, situasi, kebijakan atau
nilai yang tengah berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Munculnya sebuah
isu dapat disebabkan oleh ketidakpuasan sekelompok masyarakat, terjadinya
peristiwa dramatis, perubahan sosial, serta kurang optimalnya kekuatan
pemimpin.
Dari apa yang dijelaskan diatas, terlihatlah bahwa pengertian isu menjurus
pada adanya masalah dalam suatu perusahaan atau organisasi yang membutuhkan
penanganan. Disebutkan diatas terdapat beberapa kesamaan makna bahwa setiap
perusahaan tidak pernah mengharapkan akan munculnya isu. Ketika isu mulai
muncul dalam sebuah perusahaan atau organisasi, maka dapat dipastikan akan
terjadi kesenjangan perusahaan dengan publiknya.
Terkait dengan makna isu, berdasarkan hasil analisisnya, Rushefky (1990)
secara tajam dan vulgar sampai pada suatu kesimpulan bahwa kita lebih sering
menyelesaikan masalah yang kurang tepat daripada menemukan masalah yang
tepat. Pernyataan tersebut jelas memberikan indikasi bahwa pengenalan masalah
merupakan persoaian yang sangat krusial, bahkan Jones memberikan tempat pada
urutan yang paling awal. Kejelasan masalah akan memberikan dampak pada cara
penyelesaian masalah yang sebenarnya, sehingga kebijakan yang ditempuh tidak
memperoleh resistensi publik. Karenanya, pengenalan dan pemaknaan isu
(masalah publik) menjadi masalah yang harus dicermati.1
Banyak orang beranggapan bahwa masalah kebijakan sebagai sesuatu
yang datang dengan sendirinya "given", tetapi masalah perlu dicari dan memang
masalah tersebut memang benar-benar sebagai sebuah masalah. Karena itu para
pembuat kebijakan harus dapat mengidentifikasi masalah dengan benar. Itulah
sebabnya maka tidak setiap isu dapat masuk ke dalam sebuah agenda pemerintah.
Sebenamya para pembuat kebijakan harus mencari dan menentukan identitas
masalah kebijakan yang embrionya dari sebuah isu, yang dilakukan dengan susah
payah.

1
Sudiyono, 2006, Isu : Sebuah Technical Term Dalam Ilmu Kebijakan, Manajemen Pendidikan,
hlm. 4.
2.2 Pengertian Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.2 Menurut Pasal
1 butir 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau
jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Kepuasan dan ketidakpuasan serta ketidaknyamanan pelanggan/konsumen adalah
merupakan respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian yang dirasakan
antara harapan sebelumnya dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah
pemakaiannya.
Bertolak dari penetapan asas-asas tersebut, dapatlah diberikan pengertian
tentang hukum konsumen atau hukum perlindungan konsumen berupa
serangkaian norma-norma yang bertujuan melindungi kepentingan konsumen atas
pemenuhan barang dan atau jasa yang didasarkan kepada manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.3
Perlindungan terhadap konsumen sangat terkait dengan adanya
perlindungan hukum, perlindungan konsumen mempunyai beberapa aspek hukum
yang menyangkut suatu materi untuk mendapatkan perlindungan ini bukan
sekedar perlindungan fisik melainkan hak-hak konsumen yang bersifat abtrak.4
Hak-hak yang telah dibentuk ini diharapkan dapat mewujudkan keseimbangan
dalam memberikan perlindungan bagi konsumen dan juga dapat menjamin suatu
barang dan/atau pelayanan jasa, sehingga dapat terciptanya perekonomian yang
sehat tanpa menimbulkan penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku usaha
kepada konsumen.
Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen
yang memuat asas-asas kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga
mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Bahwa berdasarkan
pengertian-pengertian istilah mengenai hukum perlindungan konsumen sangat
menentukan perlindungan hukum terhadap para konsumen, karena semakin
luasnya pengertian istilah tertentu yang terdapat dalam hukum perlindungan
konsumen akan semakin besar kemungkinan bagi konsumen untuk mendapatkan
perlindungan hukum. Perluasan pengertian mengenai hukum perlindungan
konsumen yang demikian juga berakibat dimungkinkannya bagi konsumen untuk
menuntut pelaku usaha yang menyebabkan adanya kerugian yang di alamai oleh
para konsumen, baik yang terkait secara langsung maupun yang tidak terkait
secara langsung dalam suatu perjanjian.
Adapun tujuan perlindungan konsumen menurut pasal 3 Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah :
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan
dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

2
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
3
N.H.T. Siahaan, Op.Cit, h. 34.
4
M.Shidqon Prabowo, Perlindungan Hukum Jamaah Haji Indonesia, Rangkang, Yogyakarta,
2010 h. 38.
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan
menuntut hak-hak sebagi konsumen;
d. Menumbuhkan unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta
akses untuk mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung
jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, kemanan, dan
keselamatan konsumen.
Dalam pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan suatu
pembangunan nasional yang sebagaimana telah disebutkan di dalam pasal 2
sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada merupakan akhir
yang harus dicapai dalam melaksanakan pembangunan di bidang hukum
perlindungan konsumen.

2.3 Periklanan dan Perlindungan Konsumen (Iklan Obat)


Diantara kita sekian banyak sektor, bidang kesehatan merupakan sektor
yang relatif lebih lengkap pengaturannya dalam melindungi konsumen
dibandingkan bidang-bidang lainnya. Sekalipun demikian, khusus mengenai
periklanan, pada akhir 1992, Menteri Kesehatan RI pernah melontarkan suatu
kritikan yang sangat tajam terhadap iklan obat-obatan yang beredar dimasyarakat,
khususnya yang ditayangkan ditelevisi. Menurutnya, semua iklan itu
menyesatkan.5
Dapat dibayangkan jika sinyalemen Menteri Kesehatan ini benar, berarti
dari iklan obat-obatan yang disiarkan dia televisi, tidak satupun yang memberikan
informasi yang jujur. Itu baru di satu media, belum dimedia lainnya, seperti media
audio dan media cetak yang tersebar di seluruh Indonesia.
Sesungguhnya apa yang diungkapkan Menteri Kesehatan sejak lama
menjadi keluhan pengamat dan aktivis perlindungan konsumen. Frekuensi
keluhan itu terus meningkat, terutama sejak diperbolehkannya kembali siaran
iklan di televisi. Namun keluhan-keluhan demikian biasanya tidak mendapat
publikasi yang luas karena berbagai pertimbangan komersial.
Dibandingkan dengan instansi-instansi lainnya, Depertemen Kesehatan
sebenarnya memiliki rambu-rambu pengaman yang relatif lebih lengkap dalam
melindungi konsumen. Departemen ini mempunyai lembaga tersendiri yang
mengawasi peredaran dan penggunaan obat (termasuk obat tradisional), makanan,
kosmetika dan alat kesehatan. Tugas demikian dibebankan kepada Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM).
Untuk melakukan pengawasan demikian, khususnya yang berkaitan
dengan periklanan diterbitkan Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan
Menteri Penerangan (No. 252/Menkes/SKB/VIII/80 dan No.
122/Kep/Menpen/1980) tentang Pengendalian dan Pengawasan Iklan Obat,
Makanan, Minuman, Kosmetika, dan Alat Kesehatan (OMKA). Menurut Surat
Keputusan Bersama itu, Menteri Kesehatan berkewajiban mengawasi materi
periklanan sesuai dengan kriteria teknik medis dan etis, sedangkan Menteri
5
Ibid., hlm. 113.
Penerangan melakukan pengawasan materi secara umum. Untuk itu selanjutnya
dibentuk panitia khusus/bersama, yang keanggotannya berasal dari dua
departemen serta kalangan periklanan dan anggota masyarakat lainnya. Namun,
ide yang diamanatkan Surat Keputusan Bersama tersebut tidak ditindaklanjuti.
Panitia yang dimaksud tidak pernah dibentuk dan konsekuensinya, surat
keputusan itu tidak dapat dijadikan dasar pegangan penertiban periklanan OMKA.
Dengan dihapuskannya instansi Departemen Penerangan dalam struktur
pemerintahan saat ini, tampaknya amanat tersebut tinggal menjadi kenangan.
Selain mengacu kepada ketentuan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan, dalam melakukan pengawasan Direktorat Jenderal POM
sampai sekarang masih mendasarkan diri pada Ordonansi Pemeriksaan Bahan-
Bahan Farmasi (Staatsblad 1936 No. 660). Sesuai namanya, ordonansi tersebut
tidak secara khusus mengatur masalah periklanan. Ordonansi itu memerlukan
penjabaran lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
tingkatannya. Masalah iklan obat, misalnya antara lain diatur dalam Surat
Keputusan Menteri Kesehatan No. 0282-3/A/SK/XI/90 tentang Kriteria
Terperinci, Kelengkapan Permohonan dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Jadi.
Dalam ketentuan yang disebutkan terakhir disyaratkan bahwa setiap iklan
obat harus memuat informasi sesuai dengan persetujuan yang diberikan
Departemen Kesehatan pada saat obat itu didaftarkan. Jenis obat yang boleh
diiklankan hanyalah jenis obat bebas dan terbatas, bukan obat keras. Selain itu
sejak 1989 naskah iklan obat-obatan harus diserahkan pula kepada Direktorat
Jenderal POM untuk mendapatkan persetujuan.
Untuk obat-obatan tradisional, tidak diperkenankan untuk diiklankan
selama belum didaftarkan di Departemen Kesehatan (Pasal 3 Peraturan Menteri
Kesehatan No. 246/Menkes/Per/V/1990). Dalam peraturan itu juga ditegaskan
bahwa iklan yang diberikan tidak boleh menyimpag dari apa yang disetujui dalam
pendaftaran. Dalam praktinya, ternyata banyak sekali iklan yang ditayangkan
diberbagai media yang melenceng jauh dari naskah yang diserahkan ke dan
disetujui oleh Direktorat Jenderal POM. Ironisnya, ancaman sanksi yang
diberikan Departemen Kesehatan mulai dari teguran, pembatalan pendaftaran,
sampai dengan pencabutan izin usaha industri obat yang bersangkutan, sama
sekali tidak membuat “kecut” pelakunya.6
Tidak adil rasanya bila segala beban penyimpangan harus dipersalahkan
sepenuhnya ke pihak produsen obat-obatan. Saat ini dapat dipastikan semua iklan
obat di televisi yang pernah dipersoalkan oleh Menteri Kesehatan diserahkan
pembuatannya kepada perusahaan periklanan (production house). ditempat inilah
iklan itu diprodusi, sebelum akhirnya disebarluaskan ke media yang diingini.
Dalam memproduksi iklan, pihak perusahaan periklanan pun dikawal ketat
oleh kode etik yang ditandatangani oleh lima asosiasi (termasuk Persatuan
Perusahaan Periklanan Indonesia) pada 17 Sepetember 1981. Tata Krama dan
Tata Cara Periklanan Indonesia ini lalu disempurnakan, dengan penandatanganan
oleh tujuh instansi pada 19 Agustus 1996. Ketujuh instansi tersebut adalah sebagai
berikut :
(1) Asosiasi Perusahaan Media Luar Ruang Indonesia (AMLI)
(2) Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia (Aspindo),
(3) Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI),
6
Ibid., hlm. 115.
(4) Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI),
(5) Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI),
(6) Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), dan
(7) Yayasan Televisi Republik Indonesia.

Untuk obat-obatan, kode etik periklanan juga mensyaratkan iklan harus


sesuai dengan indikasi jenis produk yang disetujui oleh Departemen Kesehatan.
Selain itu, iklan tidak boleh memuat kata-kata yang berisi janji penyembuhan
penyakit, tetapi hanya boleh menyatakan membantu menghilangkan gejala
penyakit. Juga tidak boleh mencantumkan kata-kata “aman”, “tidak berbahaya”,
atau “bebas risiko” tanpa keterangan lengkap yang menyertainya. Pemakaian
tenaga profesional kesehatan sebagai model iklan, seperti dokter, perawat, ahli
farmasi, rumah sakit, atau atribut-atribut profesi medis lainnya juga dilarang.
Dari sebagian kecil rumusan kode etik itu saja tampak betapa banyak iklan
obat yang tidak memenuhi persyaratan. Iklan obat yang “tidak sehat” seperti itu
tentu saja merugikan perusahaan obat sejenis, tetapi (lebih-lebih) merugikan
konsumen yang tidak berhati-hati.7
Mayoritas konsumen di Indonesia masih terlalu rentan dalam menyerap
informasi iklan yang “tidak sehat”. Oleh karena itu, sangat riskan kiranya bila
tidak diadakan pengawasan yang memadai dan konsumen dibiarkan menimbang-
nimbang serta memutuskan sendiri iklan apa yang pantas untuk dipercaya. Cara
berpikir yang dalam hukum dikenal sebagai caveat emptor (let the buyer beware)
demikian hanya cocok untuk negara kapitalis abad ke-19, yang dinegara asalnya
(Inggris dan Amerika Serikat) sudah pula ditinggalkan.
Posisi yang tidak berimbang antara produsen dan konsumen akan mudah
disalahgunakan (machtpositie) oleh pihak yang lebih kuat. Apalagi jika pihak
produsen yang lebih kuat itu didukung oleh fasilitas yang memungkinkannya
bertindak secara monopolistis.
Lolosnya penayangan iklan yang menyesatkan (dalam hal ini, iklan obat-
obatan) membuktikan, mekanisme pengawasannya masih berjalan dengan baik.
Sebagaimana diuraikan diatas surat keputusan bersama dari dua menteri (1980)
menyatakan pengawasan perikalanan di bidang OMKA dilakukan oleh panitia
tersendiri. Keberadaan panitia seperti itu kiranya cukup urgen untuk diwujudkan
karena memudahkan dalam melakukan koordinasi. Kendati demikian, terlebih
dahulu perlu dijabarkan secara jelas batas kewenangan panitia tersebut, agar tidak
tumpang-tindih dengan mekanisme pengawasan serupa yang dimiliki instansi di
jajaran departemen lain.
Dasar hukum pembentukan panitia bersama diatas tentu akan lebih baik
jika tidak berbentuk surat keputusan bersama. Bentuk peraturan demikian tidak
dikenal dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, dan
keputusan setingkat menteri seperti itu tidak berwenang mencantumkan sanksi.
Sebagai perbandingan di Amerika Serikat badan yang mengawasi masalah
makanan dan obat (The Food and Drug Administration) dibentuk berdasarkan
produk hukum setingkat undang-undang. Demikian juga badan yang
kewenangannya antara lain mengawasi masalah periklanan (The Federal Trade
Commission), juga dibentuk berdasarkan undang-undang.8
7
Ibid.
8
Ibid.
Dalam Bab VIII Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,
sesungguhnya ditegaskan bahwa Pemerintah berwenang untuk melakukan
pembinaaan dan pengawasan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan
upaya penyelenggaraan kesehatan. Selanjutnya dinyatakan bahwa pembinaan dan
pengawasan tersebut akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Ini berarti
dibuka kesempatan untuk membentuk suatu badan pegawasan yang lebih bergigi,
khususnya dalam hal periklanan dibidang OMKA dengan dasar hukum yang lebih
sesuai.

2.4 Perjanjian Standar dan Perlindungan Konsumen


Perjanjian standar (baku), sebenarnya dikenal sejak zaman Yunani Kuno.
Plato (423-347 SM), misalnya pernah memaparkan praktik penjualan makanan
yang harganya ditentukan secara sepihak oleh si penjual , tanpa memperhatikan
perbedaan mutu makanan tersebut. Dalam perkembangannya, tentu saja
penentuan secara sepihak oleh produsen/penyalur produk (penjual), tidak lagi
sekadar masalah harga, tetapi mencakup syarat-syarat yang lebih detail. Selain itu,
bidang-bidang yang diatur dengan perjanjian standar pun makin bertambah luas.
Menurut sebuah laporan dalam Harvard Law Review pada 1971, 99 persen
perjanjian yang dibuat di Amerika Serikat berbentuk perjanjian standar. Di
Indonesia, perjanjian standar bahkan merambah ke sektor properti dengan cara-
cara yang secara yuridis masih kontroversial. Misalnya, diperbolehkan sistem
pembelian satuan rumah susun (strata title) secara inden dalam bentuk perjanjian
standar.
Tentu saja fenomena demikian tidak selamanya berkonotasi negatif.
Tujuan dibuatnya perjanjian standar untuk memberikan kemudahan (kepraktisan)
bagi para pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, bertolak dari tujuan itu,
Mariam Darus Badrulzaman lalu mendefinisikan perjanjian standar sebagai
perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.9
Sutan Remi Sjahdeini mengartikan perjanjian standar sebagai perjanjian
yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak
yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau
meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya
yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal
yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Sjahdeini menekankan, yang
dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut, melainkan klausul-klausulnya.10
Di satu sisi, bentuk perjanjian seperti ini sangat menguntungkan, jika
dilihat dari beberapa banyak waktu, tenaga dan biaya yang dapat dihemat. Akan
tetapi, di sisi yang lain bentuk perjanjian seperti ini tentu saja menempatkan pihak
yang tidak ikut membuat klausul-klausul di dalam perjanjian itu sebagai pihak
yang baik langsung maupun tidak sebagai pihak yang dirugikan, yakni di satu sisi
ia sebagai salah satu pihak dalam perjanjian itu memiliki hak untuk memperoleh
kedudukan seimbang dalam menjalankan perjanjian tersebut, di sisi yang lain ia
harus menurut terhadap isi perjanjian yang disodorkan kepadanya.11

9
Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat dari Perjanjian Baku
(Standar), Binacipta, 1986, hlm. 58.
10
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para
Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, 1993, hlm. 66.
Sebenarnya, perjanjian standar tidak perlu selalu dituangkan dalam bentuk
formulir walaupun memnag lazim dibuat tertulis. Contohnya dapat dibuat dalam
bentuk pengumuman yang ditempelkan di tempat penjual menjalankan usahanya.
Jadi, perjanjian standar adalah perjanjian yang ditetapkan secara sepihak, yakni
oleh produsen/penyalur (penjual), dan mengandung ketentuan yang berlaku umum
(massal), sehingga pihak yang lain (konsumen) hanya memiliki dua pilihan:
menyetujui atau menolaknya.
Adanya unsur pilihan ini oleh sementara pihak dikatakan perjanjian
standar tidaklah melanggar asas kebabasan berkontrak (pasal 1320 jo. 1338
KUHPerdata). Artinya, bagaimanapun pihak konsumen masih diberi hak untuk
menyetujui (take it) atau menolak perjanjian yang diajukan kepadanya (leave it),
Itulah sebabnya, perjanjian standar ini kemudian dikenal dengan nama take it or
leave it contract.
Karena lahir dari kebutuhan akan kebutuhan efisiensi serta efektivitas
kerja, maka bentuk perjanjian baku ini pun memiliki karakteristik yang khas yang
tidak dimiliki oleh perjanjian yang lain pada umumnya, antara lain perjanjian
baku dibuat oleh salah satu pihak saja dan tidak melalui suatu bentuk
perundingan, isi perjanjian yang telah distandardisasi, klausul yang ada di
dalamnya biasanya merupakan klausul yang telah menjadi kebiasaan secara luas
dan berlaku secara terus-menerus dalam waktu yang lama.
Perjanjian baku banyak memberikan kauntungan dalam penggunaannya,
tetapi dari berbagai keuntungan yang ada tersebut terdapat sisi lain dari
penggunaan serta perkembangan perjanjian baku yang banyak mendapat sorotan
kritis dari para ahli hukum, yaitu sisi kelemahannya dalam mengakomodasikan
posisi yang seimbang bagi para pihaknya. Kelemahan-kelemahan perjanjian baku
ini bersumber dari karakteristik perjanjian baku yang dalam wujudnya merupakan
suatu perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak dan suatu perjanjian
terstandardisasi yang menyisakan sedikit atau bahkan tidak sama sekali ruang bagi
pihak lain untuk menegosiasikan isi perjanjian itu. Sorotan para ahli hukum dari
berlakunya perjanjian baku selain dari segi keabsahannya adalah adanya klausul-
klausul yang tidak adil dan sangat memberatkan salah satu pihak.
Jika ada yang perlu dikuatirkan dengan kehadiran perjanjian standar, tidak
lain karena dicantumkannya klausul eksonerasi (exemption clause) dalam
perjanjian tersebut. Klausul eksonerasi adalah klausul yang mangandung kondisi
membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya
dibebankan kepada pihak produsen/penyalur produk (penjual).
Mariam Darus Badrulzaman, dengan istilahnya klausul eksonerasi,
memberikan definisi terhadap klausul tersebut sebagai klausul yang berisi
pembatasan pertanggungjawaban dari kreditor, terhadap risiko dan kelalaian yang
mesti ditanggungnya.
Demikian juga David Yates, yang lebih memilih menggunakan istilah
exclusion clause, memberikan definisi any term in a contract restricting,excluding
or modifyng aremedy or a liability arisng out of breech of a contractual
obligation12 yang diterjemahkan secara bebas sebagai setiap bagian dari suatu

11
Sriwati, Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Baku, Yustika, Vol. III No. 2
Desember 2000, hlm. 176.
12
David Yates, Exclusive Clauses in Contract, Sweet & Maxell, London, 1982, hlm.1 dalam
Sriwati, op, cit.,hlm. 182.
perjanjian yang mambatasi, membebaskan atau merekayasa ganti rugi atau
tanggung jawab yang timbul dar pelanggaran terhadap suatu perjanjian.
Dalam penertiannya yang lebih luas David Yates menunjuk pada yurisprudensi
dalam buku Bentsen v. Taylor, Sons & Co (1893) dan Bahama International Trust
Co. V. Threadgold (1974) yang mengemukakan bahwa exemption clause diartikan
sebagai .....a caluse in contract or a term in a notice which appears to exclude or
restrict a liability or a legal duty that would otherwise arise, yang jika
diterjemahkan secara bebas adalah klausul yang kehadirannya untuk
membebaskan atau membatasi tanggung jawab yang mungkin saja muncul.
Menurut Engels13 menyebut adanya tiga bentuk yuridis dri perjanjian
dengan syarat-syarat eksonerasi. Ketiga bentuk yuridis tersebut terdiri atas:
a. Tanggung jawab untuk akibat-akibat hukum, karena kurang baik dalam
melaksanakan kewajiban-kewajiban perjanjian.
b. Kewajiban-kewajiban sendiri yang biasanya dibebankan kepada pihak
untuk mana syarat dibuat, dibatasi atau dihapuskan (misalnya, perjanjian
keadaan darurat).
c. Kewajiban-kewajiban diciptakan (syarat-syarat pembebasan oleh salah
satu pihak dibebankan dengan memikulkan tanggung jawab pihak yang
lain yang mungkin ada untuk kerugian yang diderita pihak ketiga.

Dari berbagai definisi yang ada tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
klausul pembebasan adalah klausul yang memberikan pembatasan atau
pembebasan tanggung jawab hukum salah satu pihak atas segala bentuk
ketidakterpenuhinya kewajiban atas perjanjian tersebut.

Contoh dari klausul tersebut adalah:


- Adanya pembebasan tanggungjawab pihak pengembang dalam perjanjian
pembelian rumah, dalam hal pengembang tidak dapat memenuhi janjinya
untuk melaksanakan penyelesaian pembangunan atas rumah yang dibeli,
tepat pada waktunya.
- Adanya pembatasan tanggung jawab ganti rugi bagi perusahaan
pengangkutan berkaitan dengan kehilangan barang bawaaan penumpang.
- Adanya pembatasan terhadap tanggung jawab terhadap kecelakaan
jasmani yang diderita oleh penumpang.

Namun dalam kenyatannya, kenutuhan masyarakat berjalan dalam arah


yang berlawanan dengan keinginan hukum. Pendapat Pitlo ini mengingatkan kita
pada pendapat Hondius, yang dalam disertasinya menyatakan bahwa perjanjian
standar itu mengikat berdasarkan kebiasaan (gebruik) yang berlaku di lingkungan
masyarakat dan lalu lintas perdagangan.
Kemudian Stein mencoba memecahkan masalah ini dengan
mengemukakan pendapat, bahwa perjanjian standar dapat diterima sebagai
perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en
13
R.H.J. Engels, Syarat-syarat eksonerasi atau syarat-syarat untuk pengecualian tanggung jawab,
termuat dalam Compendium Hukum Belanda, Leiden April 1978, hlm. 159-192, dalam Az
Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Diadit Media, 2001, hlm. 100.
vertrouwen) yang membangkitkan keyakinan, para pihak mengikatkan diri pada
perjanjian itu. Jika debitur menerima dokumen perjanjian itu, berarti secara
sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut. Akhirnya, dapat disebutkan pendapat
yang lebih tegas dari Asser Rutten, yang mengatakan perjanjian standar itu
mengikat karena setiap orang yang menandatangani suatu perjanjian hatus
dianggap mengetahui dan meyetujui sepenuhnya isi kontak tersebut.
Dalam UUPK, istilah klausul eksonerasi sendiri tidak ditemukan, yang ada
adalah “klausul baku”. pasal 1 angka 10 mendefinisikan klausul baku sebgai
setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang dipersiapkan dan ditetapkan
dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Jadi yang ditekankan adalah prosedur paembuatannya ayang bersifat sepihak,
bukan mengenai isinya. Padahal, pengertian “klausal eksonerasi” tidak sekedar
mempersoalkan prosedur pembuatannya, melainkan juga isinya yang bersifat
pengalihan kewajiban atau tanggung jawab pelaku usaha.
Pasal 18 ayat (1) huruf (a) UUPK menyatakan pelaku usaha dalam
menawar-kan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang
membuat atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian jika menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Ketentuan
huruf (b) dan seterusnya sebenarnya memberikan contoh bentuk-bentuk
pengalihan tanggung jawab itu, seperti pelaku usaha dapat menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen, atau menolak penyerahan kembali uang
yang dibayar, dan sebagainya.
Apakah dengan demikian, klausul baku sama dengab klausul eksonersi?
Jika melihat kepada ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUPK, dapat diperoleh jawaban
sementara bahwa kedua istilah itu berbeda. Artinya, Klausul baku adalah klausul
yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha, tetapi isinya tidak boleh mengarah kepad
klausul eksonerasi. Pasal 18 ayat (2) mempertegas pengertian tersebut, dengan
mengatakan bahwa klausul baku harus diletakkan pada tempat yang mudah
terlihat dan dapat jelas dibaca dan mudah dimengerti. Jika hal-hal yang disebutkan
dalam ayat (1) dan (2) itu tidak dipenuhi, maka klausul baku itu menjadi batal
hukum.14
Tidak disitu saja pengaturan tentang klausul baku ini berhenti karena
terhadap pelanggaran yang dilakukan berkaitan dengan tidak dipenuhinya
ketentuan pada pasal 18 ini juga diartikan ancaman sanksi pidana sebagaimana
diatir pada pasal 62 UUPK ayat (1) :
“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8,
pasal 9, pasal 10, pasal 13 ayat (2), pasal 15, pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c, dan ayat (2), dan pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).
Di Amerika Serikat, misalnya pembatasan wewenang pelaku usaha untuk
membuat klausul eksonerasi lenih banyak diserahkan kepada inisiatif
konsumen.Jika ada konsumen yang merasa dirugikan, berdasarkan Uniform
Commercial Code 1978, ia dapat mengajukan gugatan kem pengadilan.15 Putusan-
putusan pengadilan inilah yang kemudian di jadikan masukan perbaikan legislasi

14
Ibid.
15
Ibid., hlm. 123.
yang telah ada, termasuk sejauh mana pemerintah dapat campur tangan dalam
penyusunan kontrak.
Di Belanda, perjanjian standar dimasukkan pengaturannya dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang baru. Di situ dinyatakan bahwa bidang-
bidang usaha yang boleh menerapkan perjanjian standar harus ditentukan dengan
peraturan dan perjanjian itu baru di tetapkan. Kemudian penetapan, perubahan,
atau pencabutan itu baru memperoleh kekuatan hukum setelah mendapat
persetujuan Menteri Kehakiman.
Bagi kita di Indonesia, ketentuan yang membatasi wewenang pembuatan
klausul eksonerasi ini belum diatur secara tegas dalam undang-undang. Ketentuan
satu-satunya baru ditemukan dalam UUPK, walaupun di situ digunakan istilah
“klausul baku” yang ternyata berbeda pengertiannya dengan “klausul eksonerasi”.
Secara umum, memang dapat ditunjuk beberapa pasal yang ada dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Salah satunya adalah pasal 1337, yang
menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak boleh dibuat bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum. Sekalipun demikian, untuk
dapat menguji sejauh mana perjalanan itu bertentangan, perlu diproses melalui
gugatan di pengadilan. Padahal, kekuatan yurisprudensi dalam sistem hukum
Indonesia tidak seperti yang berlaku di negara-negara Anglo Saxon/Anglo
Amerika.Dengan demikian, langkah yang ditempuh oleh Belanda, yakni dengan
membuat ketentuan khusus mengenai tata cara pembuatan perjanjian standar,
kiranya dapat dipertimbangkan untuk ditiru. Selain dengan mencantumkannya
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, juga dapat dimuat dalam undang-
undang khusus yang mengatur mengenai perlindungan konsumen.
Dengan adanya pengaturan terhadap Perlindungan Konsumen terutama
pada peraturan yang berkaitan dengan klausul baku sedikit banyak menya-darkan
masyarakat bahwa mereka sebagai pihak dalam perjanjian memiliki hak yang
(semestinya) sejajar dengan pihak lainnya dalam perjanjian baku.16
Serta paling tidak memberikan gambaran bahwa perlu adanya suatu sarana bagi
peningkatan perlindungan terhadap penggunaan perjanjian baku dan segala
atributnya, yang tentu saja merugikan salah stu pihak pada perjanjian. Di mana
pengaturan ini merupakan tonggak awal bagi adanya keseimbangan dalam
penempatan pihak pada sutu perjanjian.
Meski demikian penggunaan perjanjian baku atau jika dapat dikatakan
lebih luas ketidakseimbangan daya tawar para pihak merupakan suatu hal yang
sangat sulit untuk diawasi atau dikendalikan, karena hal ini berkaitan dengan
adanya unsur perlindungan dari kepentingan pihak yang lebih besar daya
tawarnya untuk melindungi kepentingannya, serta adanya kebutuhan dari pihak
yang berdaya tawar lebih rendah untuk menerima isi dari perjanjian itu.
Secara sederhana dapat kita katakan bahwa yang kuat adalah yang menang
masih berlaku, yang bisa kita hindari, dengan adanya pengaturan terhadap
pemakaian perjanjian baku itu adalah adanya eksploitasi atau keadaan yang
sedemikian merugikan bagi pihak yang lemah akibat adanya penggunaan paksaan
maupun penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang lebih kuat.
16
Sriwati, op. cit., hlm. 191.
2.5 Layanan Purnajual dan Perlindungan Konsumen
Layanan purnajual (after sales servive) merupakan kepentingan konsumen
yang sangat vital dewasa ini. Perkembangan teknologi yang sangat cepat,
misalnya pada teknologi perangkat komputer, sering membuat produsen harus
mengubah tipe-tipe produknya mengikuti selera dan kebutuhan konsumen yang
terus berganti dalam waktu yang singkat yang dapat mengakibatkan apabila
terjadi kerusakan dari suatu tipe produk konsumen menghadapi kendala dalam
memperbaiki barangnya karena ketiadaan suku cadang.
Masalah lain yang menyangkut layanan purnajual adalah soal garansi
dalam jangka waktu tertentu yang diberikan produsen/penyalur produk (penjual)
atau kordinator kepada konsumennya. Tampak masalah layanan purnajual adalah
masalah perlindungan konsumen yang tidak dapat dipisahkan dengan tahapan-
tahapan transaksi konsumen lainnya.
Perluasan subjek yang dapat dimintai tanggungjawabnya telah pula
diterapkan diberbagai negara. Di lingkungan Eropa, misalnya dinyatakan dalam
pasal 3 Pedoman Masyarakat Eropa, tanggung jawab produk adalah tanggung
jawab pembuat produk cacat yang bersangkutan, yakni17 :
1. Produsen bahan-bahan mentah atau komponen dari produk itu.
2. Setiap orang yang memasang nama, merek perusahaan atau memberikan
tanda khusus untuk pembeda produknya dengan produk lain.
3. Setiap orang yang mengimpor produk untuk dijual, disewakan atau
dipasarkan (tanpa mengurangi tanngung jawab si pembuat produk).
4. Setiap pemasok produk, jika si pembuatnya tidak diketahui atau pembuat
produkunya diketahui tetapi pengiimpornya tidak diketahui.

Pengaturan tentang tanggungjawab produk ini belum ada pengaturnya di


Indonesia. Tim Kerja Naskah Akademis Badan Pembinaan Hukum Nasional
pernah menyarankan agar dikembangkan sistem baru pertanggungjawaban hukum
atas produk adapaun tujuan dari pengembangan itu adalah untuk :
1. Memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap penggunaan
produk yang cacat.
2. Mengembalikan keseimbangan masyarakat akibat penggunaan dan
beredarnya produk cacat.
3. Memudahkan proses pembuktian akibat penggunaan produk yang cacat.
4. Meningkatkan mutu produk yang beredar,sehingga dapat mencapai tujuan
peruntukan dan penggunaannya.

Tanggung jawab produk merupakan bagian dari transaksi konsumen yaitu


tahap ketiga (pasca transaksi konsumen). Membatasi tanggung jawab produk
hanya pada pergantian atas produk yang cacat berarti tidak memberi banyak
kemajuan bagi perlindungan konsumen. Sejak dahulu, sudah menjadi kewajiban
produk untuk menjamin barang yang dijualnya itu bebas dari cacat
tersembunyi.Jaminan ini merupakan salah satu perikatan yang otomatis
dibebankan kepada produsen/penyalur produk (penjual) atau kreditor. Jaminan
undang-undang ini pun dalam praktek dicoba untuk diminimalisasi dengan
17
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm. 174 dalam
Shidarta, idbid., hlm 125.
pernyataan sepihak (klausul eksonerasi) seperti “barang sudah dibeli tidak dapat
dikembalikan”.
Dalam Pasal 19 UUPK secara jelas telah diatur, pelaku usaha wajib
mengganti kerugian atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian yang diderita
konsumen akibat mengkonsumsi barang ata jasa. Ganti rugi ini bersifat serta-
merta dan diberi jangka waktu tujuh hari setelah tanggal transaksi namun
ketentuan ini berbeda dengan ketentuan masa garansi dalam Pasal 27 UUPK.
Layanan purnajual sebenarnya meliputi permasalahan yang lebih luas,dan
terutama mencakup masalah kepastian atas. Dalam Pasal 25 UUPK menyatakan
bahwa pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya
berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya satu tahun wajib
menyediakan suku cadang dan atau fasilitas purnajual dan wajib memenuhi
jaminan atau garansi sesuai dengan yg diperjanjikan. Pada penyelesaian kasus
purnajual dalam pasal 25 UUPK ini masih memerlukan penuntutan ganti rugi dan
atau gugatan konsumen konsumen.
Dalam Pasal 27 huruf E UUPK memberi batas waktu kadaluarsa untuk
melakukan penuntutan atau gugatan itu selama empat tahun sejak barang itu dibeli
atau setelah lewat masa garansi. Untuk kepentingan perlindungan
konsumen,pemerintah membentuk tim pemeriksa yang terdiri atas unsur
kepolisian,kejaksaan, Ditjen Bea dan Cukai, Ditjen Pajak, Ditjen Industri Logam
Mesin Elektronika dan Aneka, dan Ditjen Perdangan Dalam Negeri. Tim ini akan
bekerja sama dengan asosiasi pelaku usaha terkait dan lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat serta masyarakat konsumen pada umumnya.
Pelaku usaha yang menurut tim pemeriksa melakukan pelanggaran dapat
dikenakan sanksi administratif, yakni pencabutan izin usaha industri (IUI) atau
tanda daftar industri (TDI) dan bagi importir yang melanggar, sanksinya berupa
pencabutan angka pengenal importir (API) atau angka pengenal importir terbatas
(APIT).

2.6 Hak Atas Kekayaan Intelektual


Hak atas kekayaan intelektual ( intellectual property rights) dalam garis
besarnya mencakup antara lain hak cipta, merek, paten, dan desain produk
industri. Tiga jenjs hak yang terakhir dikenal juga sebagai hak milik industri
(industrial property rights). Di luar itu, sering juga disebutkan jenis lain dari hak
atas kekayaan intelektual, seperti layout design, undisclosed information (trade
secret), dan sebagainya.18
Hak atas kekayaan intelektual adalah hak-hak yang di berikan kepada
pelaku usaha untuk monopoli. Oeh karena itu, tifak mengherankan jika dalam
pasal 50 Undang-undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak sehat, dinyatakan bahwa larangan monopoli itu tidak
berlaku untuk perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual,
seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian
elektronika terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan
waralaba.
UUPK tidak mengatur lagi bidang hak atas kekayaan intelektual (HAKI)
ini. Maksudnya, UUPK secara khusus mengecualikan pengaturan hak-hak
konsumen yang muncul dalam bidang HAKI (lihat penjelasan umum UUPK). Ini
18
Ibid., hlm. 129.
berarti, untuk mengetahui hak-hak konsumen bidang tersebut, kita perlu melihat
pengaturannya dalam undang-undang yang lain, yakni;19
1. Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten
2. Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek
3. Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Ketiga undang-undang tersebut di lengkapi pula dengan peraturan
pelaksanaanya. Sementara untuk desain produk industri sampai Sekarang belum
di atur secara khusus dalam suatu undang- undang.
Dilihat dari kacamata konsumen, sebenarnya konsumen hanya
berkepentingan agar ciptaan, merek, dan paten yang diterapkan untuk suatu
barang atau jasa, adalah benar benar seperti apa yang ditampilkan. Konsumen
akan dirugikan jika ciptaan, merek, dan paten itu ternyata tidak seperti yang
dibayangkan karena dipalsukan oleh pelaku usaha.
Hukum di bidang HAKI ini termasuk substansi hukum yang sangat pesat
perkembangannya. Ironisnya, perkembangan ini bukan karena perkembangan
untuk melindungi konsumen, tetapi terlebih-lebih untuk melindungi produsen,
khususnya yang ada di liar negeri. Hal ini secara jelas tampak dari dimasukkannya
perjanjian mengenai Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights
(TRIPs) sebagai salah satu perjanjian utama yang dihasilkan dengan perundingan
Putaran Uruguay (Uruguay Round, 1986-1996). Indonesia menyatakan terikat
pada hasil Putaran Uruguay itu setelah diadakan ratifikasi, Oktober 1994
(Undang-Undang No. 7 Tahun 1994.20
Karena perjanjian Putaran Uruguay ini diadakan dalam kerangka
pembentukan Badan Perdangan Dunia (World Trade Organization) yang menjadi
pergantian GATT, maka prinsip-prinsip GATT dalam bidang HAKI ini juga
diterapkan. Prinsip-prinsip itu antara lain adalah prinsip:21
1. national treatment, yakni pemilik hak atas kekayaan intelektual (HAKI)
asing harus diberi perlindungan yang sama dengan warga Negera dari
negara yang berangkutan.
2. most favoured-nation atau non-diskiriminasi antara pemilik HAKI asing
dari suatu negara dibandingkan dengan pemilik HAKI asing dari negara
lain.
3. transparancy, yang memaksa negara anggota untuk lebih terbuka dalam
ketentuan perundangan-undangan dalam pelaksanaan aturan nasional
dalam bidang perlindungan HAKI.
Satu ketentuan yang barang kali termasuk baru dalam masalah HAKI ini,
dan sangat erat kaitannya dengan perlindungan konsumen adalah tentang indikasi
geografis dan indikasi asal, menganai hal ini UUPK mencantumkannya dengan
pasal 9 ayat (1) huruf h.
Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 memberikan pengertian tentang
indikasi geografis sebagai: “ ........ tanda yang menunjukkan daerah asal suatu
barang yang karena faktor lingkungan geografis termasuk alam, faktor manusia,
atau faktor kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan ciri dan kualitas
19
Ibid., hlm. 130.
20
Ibid., hlm. 130 – 131.
21
Ibid., hlm. 131.
tertentu pada barang yang dihasilkan. Indikasi geografis ini bukan termasuk
merek, melainkan tanda, misalnya berupa etiket atau label yang diletakkan pada
barang yang dihasilkan. Tanda tersebut dapat berupa nama, tempat, daerah atau
wilayah, kata, gambar, huruf atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut.
Contoh dari barang yang berindikasi geografis adalah anggur Champaigne
yang artinya diproduksi oleh produsen anggur dari derah Champaigne , Prancis.
Produsen dan pelaku usaha anggur manapun di luar daerah itu tidak diperkenalkan
memakai label “anggur Champaigne” dalam produk mereka. Untuk kondisi di
Indonesia, mungkin kita juga dapat menggunakan prinsip yang sama untuk
produk seperti “dodol Garut” atau “martabak Bangka” walaupun boleh jadi
penerapannya tidak sesederhana seperti dibayangkan.22
Sangat menarik, bahwa dalam indikasi geografis menurut pasal 56 ayat (2)
Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 dapat juga diajukan oleh kelompok
konsumen dari barang-barang tersebut. Di Indonesia memang belum lazim
terbentuk asosiasi atau kelompok dari barang-barang tertentu. Di masa mendatang
akan ada kelompok konsumen yang menyebut dirinya sebagai “pecinta dodol
Garut” atau “konsumen tembakau Deli” yang secara sepihak bersedia mengajukan
permintaan perlindungan indikasi geografis atas produk yang mereka konsumsi.
Istilah lain yang diatur dalam Undang-Undang No.15 Tahun 2001 adalah
tentang indikasi asal. Dari Pasal 59, dapat disimpulkan ada dua faktor
pembedanya dengan indikasi geografis, yaitu
(1) indikasi asal tidak didaftarkan, sekalipun memenuhi semua unsur untuk
disebut sebagai indikasi geografis, dan
(2) indikasi asal itu meliputi produk baik berupa barang atau jasa.

Faktor pertama memberikan petunjuk, indikasi asal tidak perlu didaftarkan


karena secara otomatis akan dilindungi. Oleh karena itu, seharusnya istilah
“pemegang hak” tidak digunakan karena memang tidak ada orang yang secara
khusus dapat disebut sebagai pemegang hak atas indikasi asal itu. Akan lebih
tepat jika digunakan istilah “pemakai hak”.
Pemakai hak atas indikasi asal dapat saja meningkat haknya menjadi
pemegang hak, tetapi harus melalui putusnya pengadilan. Berbekal putusan itu, ia
dapat menghentikan kegiatan usaha dari pelaku usaha lainnya.
Catatan lain terhadap indikasi asal ini adalah penggunaan kata barang dan
jasa. Padahal dalam indikasi geografis, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001
menyebutkan indikasi itu hanya untuk produk barang. Kesalahan ini tentu cukup
fundamental dan sangat berpengaruh terhadap upaya perlindungan hak-hak
konsumen.

2.7 Asuransi
Yusuf Shofie23 mengutarakan bahwa bisnis perasuransian di Indonesia
hampir sama tuanya dengan bisnis perbankan. Nama-nama perusahaan asuransi
jiwa seperti, Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 tergolong perusahaan
22
Ibid., hlm. 131 – 132.
23
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Intrumen-Instrumen Hukumnya, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2003), hlm. 161.
asuransi yang cukup dikenal masyarakat. Nama-nama terkenal lainnya seperti
Dharmala Manulife, Lippo Life, New Hampshire Agung, Asuransi Cigna
Indonesia, Asu- ransi Astra Buana, Asuransi Jiwa Buana Putra, Sewu New York
Life, dan sebagainya, tak mau kalah dalam persaingan bisnis ini.Dibandingkan
industri perbankan, industri perasuransian kurang banyak mendapat perhatian
konsumen. Sebagian besar konsumen cenderung memisahkan sebagian
penghasilannya untuk disimpan di bank daripada digunakan untuk asuransi.
Konsumen masih sering merasakan bahwa asuransi tak melindungi aktivitasnya,
bahkan cenderung merugikannya, meskipun kesan itu tak semuanya benar.
Ditinjau dari sudut sifat dan berlakunya, asuransi dibedakan menjadi dua
jenis. Pertama, asuransi yang bersifat suka rela (voluntary), misalnya asuransi
kebakaran, asuransi kendaraan bermotor, asuransi jiwa, dan lain-lain. Kedua,
asuransi yang bersifat wajib (compulsory) berdasarkan ketentuan undang-undang,
misalnya pertanggungan wajib kecelakaan penumpang (Undang-Undang No. 33
Tahun 1964), pertanggungan wajib kecelakaan lalu lintas jalan (Undang-Undang
No. 33 Tahun 1964), Jaminan Sosial Tenaga Kerja (diselenggarakan PT Astek
berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992), Asuransi Sosial Pegawai Negeri
(dikelola PT Taspen berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1981),
Asuransi ABRI/ASABRI (dikelola berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 67
Tahun 1991).
Terbitnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen memberi jaminan supaya hak-hak tertanggung lebih diperhatikan.
Keluhan-keluhan konsumen sekarang sudah terjawab dengan hadirnya undang-
undang perlindungan konsumen, yang dibuat dalam semangat reformasi, selain
memberi perlindungan kepada konsumen, juga menempatkan mereka dalam
posisi tawar yang lebih kuat.
Dalam undang-undang ini ditegaskan juga hak konsumen untuk
memperoleh informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa yang dibelinya, serta hak untuk didengar pendapat dan
keluhannya atas barang/atau jasa yang digunakan. Masih banyak hak-hak yang
diatur dalam UU sehingga posisi konsumen semakin kuat. Sebagai pihak yang
berjanji, tertanggung dan penanggung memiliki posisi yang setara dan tidak ada
yang dibawah dan di atas. Hak-hak lainnya yang ditegaskan dalam Undang-
Undang.

No. 8 Tahun 1999 antara lain adalah :


1. Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan
3. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan sengketa secara patut.
4. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
5. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
6. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan-ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.

Secara umum prinsip-prinsip/asas-asas yang berlaku dalam perjanjian


asuransi, yaitu :
1. Prinsip Indemnity, yaitu perjanjian asuransi bertujuan memberikan ganti
rugi terhadap kerugian yang diderita oleh tertanggung yang disebabkan
oleh bahaya sebagaimana ditentukan dalam polis.
2. Prinsip kepentingan (insurable interest) yaitu pihak yang bermaksud akan
mengasuransikan sesuatu harus mempunyai kepentingan dengan objek
yang diasuransikan. Kepentingan mana dinilai dengan uang .
3. Prinsip kejujuran yang sempurna (utmost good faith) yaitu kewajiban
tertanggung menginformasikan segala sesuatu yang diketahuinya
mengenai objek yang dipertanggungkan secara benar.
4. Prinsip subrogasi (subrogation), yaitu bila tertanggung telah menerima
ganti rugi ternyata mempunyai tagihan kepada pihak lain, maka
tertanggung tidak berhak menerimanya, dan hak itu beralih kepada
penanggung.

Sebagai contoh mengenai isi perjanjian (polis) asuransi, mengenai hal-hal


yang biasanya dituangkan dalam polis asuransi jiwa dan ketentuan/syarat-syarat
umum polis dan harus diperhatikan adalah sebagai menguraikan berikut.
(1) Pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian, meliputi: penanggung
(perusahaan asuransi jiwa), pemegang polis (tertanggung/konsumen),
pihak yang ditunjukuntuk menerima uang pertanggungan (suami/istri,
anak dan/atau orang tua).
(2) Jenis asuransi/pertanggungan jiwa yang diikuti konsumen. Untuk ini
diperlukan pemahaman konsumen terhadap produk-produk asuransi jiwa
yang ditawarkan. Jangan heran, terdapat pula produk asuransi jiwa yang
dikemas dengan program beasiswa berencana. Jenis asuransi ini
memberikan beasiswa untuk anak konsumen (tertanggung) pada waktu
yang telah ditentukan selama masa pertanggungan. Apabila konsumen
meninggal dunia dalam masa pertanggungan, di samping menerima uang
pertanggungan, anak konsumen akan tetap menerima beasiswa pada waktu
yang telah ditentukan dalam polis.
(3) Jumlah uang pertanggungan sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
(4) Besarnya premi yang dibayarkan hendaknya dihitung dan dipahami secara
Besarnya jumlah uang pertanggungan ini akan berpengaruh pula terhadap
besarnya premi yang dibayarkan.teliti oleh konsumen sesuai dengan
kemampuan keuangan konsumen. Terlalu mudah menurut besarnya premi
yang ditawarkan petugas asuransi (tanpa memperhitungkan kemampuan
finansial) akan membuat kesulitan bagi konsumen di kemudian hari,
misalnya akan terjadi penunggakan pembayaran premi asuransi.
(5) Masa berlakunya polis (masa pertanggungan) berkisar 10, 15 atau 20
tahun.Penetapan lamanya masa pertanggungan atas dasar kesepakatan
kedua belah pihak, dengan sendirinya sama dengan masa pembayaran
premi asuransi jiwa yang diikuti konsumen.
(6) Manfaat asuransi, yakni sejumlah pembayaran dan/atau kompensasi yang
menjadi hak konsumen atau pihak yang ditunjuk untuk menerima
pembayaran, baik karena terjadinya risiko kematian pada tertanggung atau
berakhirnya masa pertanggungan (insurance period). Besarnya manfaat
yang diperoleh tertanggung atau pihak yang ditunjuk bergantung pada
jenis asuransi jiwa yang diikuti. Pemahaman konsumen terhadap produk
asuransi jiwa mutlak sangat diperlukan.
(7) Tata cara pembayaran manfaat asuransi. Dalam hal tertanggung meninggal
dunia, maka pihak yang ditunjuk untuk menerima manfaat asuransi segera
mengajukan klaim pembayaran/pencairan manfaat asuransi. Pengajuan
klaim dilengkapi persyaratan:
(a) polis asuransi jiwa;
(b) bukti pembayaran premi terakhir;
(c) bukti identitas yang bersangkutan;
(d) surat keterangan dokter/pejabat yang berwenang menerangkan
sebab- sebab meninggalnya tertanggung.
(8) Tata cara penagihan/pembayaran premi asuransi. Sebaiknya konsumen
tetap mewaspadai (caveat emptor), atas berbagai bentuk pelayanan
pembayaran premi, seperti penagihan premi ke alamat rumah/kantor
konsumen, penagihan premi lewat kartu kredit, dan sebagainya, pada
hakikatnya merupakan salah satu bentuk pemasaran produk asuransi.
(9) Pembatalan polis sering dilakukan secara sepihak oleh perusahaan asuransi
dalam hal terpenuhinya satu atau lebih syarat, sebagai berikut:
(a) Pemegang polis memberikan keterangan atau pernyataan tidak
jujur atau sengaja dipalsukan pada waktu mengisi formulir-
formulir yang disiapkan terlebih dahulu oleh perusahaan asuransi.
Pemberian keterangan/pernyataan tersebut diberikan sebelum
diterbitkannya pols(perjanjian) asuransi;
(b) Selambat-lambatnya dalam masa leluasa (grace period) (biasanya
kurang lebih 3 bulan) sejak tertunggaknya pembayaran
premi,tertanggung belum juga melunasi pembayarannya.

(10) Penolakan pembayaran klaim manfaat asuransi terjadi dalam hal ;


(a) tertanggung meninggal dunia karena bunuh diri:
(b) tertanggung meninggal dunia karena kejahatan yang dilakukannya;
(c) tertanggung meninggal dunia karena perkelahian, kecuali sebagai
pihak yang membela diri.

Pada tahun 1996-1998 YLKI (Yayasan Lembaga Asuransi


Indonesia)menerima beberapa pengaduan asuransi yang dapat diringkas sebagai
berikut:")
(1) Penyelewengan uang pembayaran premi konsumen oleh petugas/karyawan
asuransi, yang berakibat dilakukannya "pemutihan" polis asuransi
konsumen dengan kondisi yang baru. Premi yang akan dibayarkan menjadi
lebih tinggi dari sebelum dilakukan pemutihan.
(2) Ketidakadilan substansi syarat-syarat/ketentuan umum polis, yaitu bila
(permanent partial ability) diberikan santunan sesuai persentase dalam
tertanggung mengalami kecelakaan yang berakibat cacat tetap sebagian
tabel polis, sebaliknya bila berakibat cacat total tetap (permanent total
disability ) tidak diberikan santunan apa pun.
(3) Penetapan atau pematokan kurs secara sepihak terhadap klaim nilai tuni
(menjual polis) dan klaim jatuh tempo (berakhirnya masa pertanggungan
pada polis asuransi jiwa yang dipertanggungkan dengan mata uang asing
terutama US $ (Dolar Amerika Serikat), padahal polis dan syarat-syarat
ketentuan umum polis menentukan bahwa pembayaran premi asuransi atau
klaim asuransi diperhitungkan menurut kurs tengah Bank Indonesia atan
kurs yang berlaku sesuai pengumuman otoritas moneter pada saat jatuh
tempo.

Menurut Aloysius R. Entah salah satu pakar hukum perjanjian dan


akademisi di Malang menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan "asas kebebasan
berkontrak" yang melahirkan perjanjian baku termasuk polis asuransi secara
umum dibatasi atau dikendalikan oleh ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
1. Pasal 1337 BW menentukan: suatu kausa adalah terlarang, apabila kausa
itu dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan moral atan
dengan ketertiban umum. Pasal ini ditafsirkan bahwa isi atau klausul-
klaued suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,
moral.dan/atau ketertiban umum.
2. Pasal 1338 ayat (3) BW menentukan semua perjanjian yang dibuat pihak-
pihak harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
3. Pasal 1339 BW menentukan: perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat
untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk
segala sesuatu yang menurut sifat dari persetujuan itu diharuskan oleh
kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang.

2.8 Produk Pangan yang Membahayakan Konsumen


Keamanan pangan merupakan salah satu faktor penting yang harus
diperhatikan dalam konsumsi sehari-hari. Dengan demikian, sesungguhnya
pangan selain harus tersedia dalam jumlah yang cukup, harga yang terjangkau
juga harus memenuhi persyaratan lain, yaitu sehat, aman, dan halal. Jadi, sebelum
pangan tersebut didistribusikan harus memenuhi persyaratan kualitas, penampilan
dan cita rasa, maka terlebih dahulu pangan tersebut harus benar-benar aman untuk
dikonsumsi. Artinya, pangan tidak boleh mengandung bahan berbahaya seperti
cemaran pestisida, logam berat, mikroba pantogen ataupun tercemar oleh bahan-
bahan yang dapat mengganggu kepercayaan ataupun keyakinan masyarakat
misalnya tercemar bahan berbahaya.
Keamanan pangan di Indonesia masih jauh dari kata aman, konsumen
pada umumnya belum mempedulikan atau belum mempunyai kesadaran tentang
keamanan makanan yang mereka konsumsi. Hal ini juga menyebabkan produsen
makanan semakin mengabaikan keselamatan konsumen demi memperoleh
keuntungan sebanyak banyaknya. Sebagai contoh, masih banyak produsen
makanan yang senang menggunakan zat pewarna tekstil untuk berbagai produk
makanan dan minuman karena pertimbangan ekonomis. Akhirnya konsumen
dengan senang dan tanpa sadar mengonsumsi produk-produk makanan tersebut
karena penampilan yang menarik dengan harga yang lebih murah. Padahal
pewarna tersebut merupakan bahan yang berbahaya yang menjadi sumber dan
penyebab keracunan.24
Teknologi pangan telah mampu membuat makanan-makanan sintetis,
menciptakan berbagai zat pengawet makanan, zat addictives, dan zat-zat flavor.
Zat-zat kimia tersebut merupakan zat-zat yang ditambahkan pada produk-produk
makanan sehingga produk tersebut lebih awet, indah, lembut, dan lezat. Produk-
produk inilah yang disukai konsumen untuk dikonsumsi.25
Agar pangan yang aman tersedia secara memadai, perlu diupayakan
terwujudnya suatu sistem pangan yang mempu memberikan perlindungan kepada
masyarakat. Dengan perkataan lain, harus memenuhi persyaratan keamanan
pangan. Pada dasarnya melalui suatu mata rantai proses yang meliputi produksi,
penyimpanan, pengangkutan, peredaran hingga tiba di tangan konsumen.26
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK) telah dinyatakan secara tegas klausul tentang tanggung jawab
yang harus diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen. Dalam Pasal 19 ayat
(1) disebutkan, bahwa Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi
atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi
barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Akan tetapi, di dalam Pasal 27 UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, dirumuskan bahwa pelaku usaha yang memproduksi
barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen,
apabila :
a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak
dimaksudkan untuk diedarkan;
b. Cacat timbul akibat tidak ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi
barang;
c. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
d. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli
atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan;
e. Cacat timbul dikemudian hari.
Indonesia melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menetapkan 9 (sembilan) hak konsumen, sebagai
penjabaran dari pasal-pasal yang bercirikan negara kesejahteraan, yaitu Pasal 27
ayat (2) dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.27
Beberapa jenis produk seperti pangan atau obat-obatan pada dasarnya
bukanlah produk yang membahayakan, tetapi mudah tercemar atau mengandung
racun, yang apabila lalai atau tidak berhati-hati dalam pembuatannya atau bahkan
memang lalai untuk tetap mengedarkan atau sengaja tidak menarik produk pangan
yang sudah kadaluarsa.
Dengan demikian, perlindungan hukum terhadap konsumen yang
diberikan negara memang haruslah segera dapat diimplementasikan dalam
kerangka kehidupan ekonomi. Hal ini penting, mengingat bahwa perlindungan

24
Ibid., hlm. 79-80
25
Ibid.
26
John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen terhadap
Produk Pangan Kadaluarsa, Pelangi Cendekia, Jakarta, 2007, hlm. 60.
27
Inosentius Samsul, op. cit., hlm. 7.
konsumen haruslah menjadi salah satu perhatian yang utama karena berkaitan erat
dengan kesehatan dan keselamatan masyarakat sebagai konsumen.28

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perlindungan hukum terhadap konsumen diperlukan karena konsumen
dalam posisi yang lemah. Perbedaan kepentingan antara pelaku usaha dan
konsumen menyebabkan gangguan fisik, jiwa atau harta konsumen dan tidak
diperolehnya keuntungan optimal dari penggunaan barang dan/atau jasa tersebut
dan miskinnya hukum yang melindungi kepentingan konsumen. Dengan adanya
perlindungan hukum bagi konsumen, diharapkan dapat memberikan kedudukan
hukum yang seimbang antara konsumen dengan pelaku usaha. Hal tersebut cukup
beralasan karena selama ini kedudukan konsumen yang lemah jika dibandingkan
dengan pelaku usaha.
28
John Pieris, op. cit., hlm. 69.
Pentingnya perlindungan hukum terhadap konsumen diatur dalam undang-
undang adalah untuk mencegah timbulnya masalah dikemudian hari karena setiap
orang baik sendiri maupun secara bersama-sama dalam keadaan apapun pasti
menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Secara umum
ada empat hak dasar konsumen yang harus dilindungi, yaitu: hak untuk
mendapatkan keamanan (the right to safety), hak untuk mendapat informasi (the
right to be informed); hak untuk memilih (the right to choose) dan akhirnya hak
untuk didengar (the right to be heard). Perlindungan hukum terhadap konsumen
dapat dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi (no conflict/pre purchase)
dan/atau pada saat setelah terjadinya transaksi (conflict/post purchase).
Adapun tujuan perlindungan konsumen menurut pasal 3 UUPK adalah :
meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri; mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang atau jasa; meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak- haknya
sebagai konsumen; menciptakan perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi; menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab
dalam berusaha; meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan konsumen.

3.2 Saran
Hukum perlindungan konsumen sangat dibutuhkan di Indonesia, antara
lain : bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu
masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era
demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat
mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka
barang dan/jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas
barang dan/jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian
konsumen; bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses
globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat
serta kepastian atas mutu, jumlah dan keamanan barang dan/atau jasa yang
diperolehnya di pasar; bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen
perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan
kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuh kembangkan
sikap perilaku usaha yang bertanggung jawab.
Kemudian saran yang terakhir adalah pembentukan hukum yang responsif,
yang dapat mengakomodir masalah-masalah yang timbul, masukan-masukan
masyarakat yang berkaitan dengan perlindungan hukum konsumen dan kepastian
lingkup perlindungan konsumen. Kemudian aparat penegak hukum harus benar-
benar serius dalam mengawasi, memproses dan menyelesaikan setiap pelanggaran
yang terjadi dengan memberikan hukuman/sanksi yang tegas dan setimpal agar
menimbulkan efek jera bagi yang melakukan pelanggaran.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Celina Tri Siwi Kristiyani. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen. Edisi ke-7.
Sinar Grafika. Jakarta.

Az. Nasution. 1995. Konsumen dan Hukum. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. 2015. Hukum Perlindungan Konsumen. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.

B. Jurnal
Sudiyono. 2006. Isu : Sebuah Technical Term Dalam Khasanah Ilmu Kebijakan.
Jurnal Manajemen Pendidikan No. 01/Th. Il/April 2006.

Anda mungkin juga menyukai