DOSEN PEMBIMBING
Sri Hidayani, S. H., M. Hum.
DISUSUN OLEH
Rismada Anggun Syafitri (198400039)
Anita Amelia (198400057)
Redzky Eka Alfandi (198400063)
Fernando Gabriel (198400093)
Yunita M Br Tinambunan (198400127)
Frans Deo Sianipar (178400139)
Lydia Sihotang (198400247)
Martawati Butar Butar (208400105)
Bepry Anju Tarigan (198400371)
Ridho Luis Imanuel Waruwu (198400363)
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
pembuatan makalah ini dengan judul “Isu-isu Hukum Perlindungan Konsumen”.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum
Perlindungan Konsumen. Dalam makalah ini membahas tentang Pengertian Isu,
Pengertian Perlindungan Konsumen, Periklanan dan Perlindungan Konsumen
(Iklan Obat), Layanan Purnajual dan Perlindungan Konsumen, Hak Atas
Kekayaan Intelektual, Asuransi, dan Produk Pangan yang Membahayakan
Konsumen.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..............................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................................4
1.3 Tujuan Penulisan..........................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Isu................................................................................................................6
2.2 Pengertian Perlindungan Konsumen.............................................................................6
2.3 Periklanan dan Perlindungan Konsumen (Iklan Obat)..................................................7
2.4 Perjanjian Standar dan Perlindungan Konsumen..........................................................7
2.5 Layanan Purnajual dan Perlindungan Konsumen..........................................................9
2.6 Hak Atas Kekayaan Intelektual .....................................................................................9
2.7 Asuransi.........................................................................................................................10
2.8 Produk Pangan yang Membahayakan Konsumen.........................................................11
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................21
BAB I
PENDAHULUAN
1
Sudiyono, 2006, Isu : Sebuah Technical Term Dalam Ilmu Kebijakan, Manajemen Pendidikan,
hlm. 4.
2.2 Pengertian Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.2 Menurut Pasal
1 butir 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau
jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Kepuasan dan ketidakpuasan serta ketidaknyamanan pelanggan/konsumen adalah
merupakan respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian yang dirasakan
antara harapan sebelumnya dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah
pemakaiannya.
Bertolak dari penetapan asas-asas tersebut, dapatlah diberikan pengertian
tentang hukum konsumen atau hukum perlindungan konsumen berupa
serangkaian norma-norma yang bertujuan melindungi kepentingan konsumen atas
pemenuhan barang dan atau jasa yang didasarkan kepada manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.3
Perlindungan terhadap konsumen sangat terkait dengan adanya
perlindungan hukum, perlindungan konsumen mempunyai beberapa aspek hukum
yang menyangkut suatu materi untuk mendapatkan perlindungan ini bukan
sekedar perlindungan fisik melainkan hak-hak konsumen yang bersifat abtrak.4
Hak-hak yang telah dibentuk ini diharapkan dapat mewujudkan keseimbangan
dalam memberikan perlindungan bagi konsumen dan juga dapat menjamin suatu
barang dan/atau pelayanan jasa, sehingga dapat terciptanya perekonomian yang
sehat tanpa menimbulkan penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku usaha
kepada konsumen.
Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen
yang memuat asas-asas kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga
mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Bahwa berdasarkan
pengertian-pengertian istilah mengenai hukum perlindungan konsumen sangat
menentukan perlindungan hukum terhadap para konsumen, karena semakin
luasnya pengertian istilah tertentu yang terdapat dalam hukum perlindungan
konsumen akan semakin besar kemungkinan bagi konsumen untuk mendapatkan
perlindungan hukum. Perluasan pengertian mengenai hukum perlindungan
konsumen yang demikian juga berakibat dimungkinkannya bagi konsumen untuk
menuntut pelaku usaha yang menyebabkan adanya kerugian yang di alamai oleh
para konsumen, baik yang terkait secara langsung maupun yang tidak terkait
secara langsung dalam suatu perjanjian.
Adapun tujuan perlindungan konsumen menurut pasal 3 Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah :
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan
dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
2
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
3
N.H.T. Siahaan, Op.Cit, h. 34.
4
M.Shidqon Prabowo, Perlindungan Hukum Jamaah Haji Indonesia, Rangkang, Yogyakarta,
2010 h. 38.
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan
menuntut hak-hak sebagi konsumen;
d. Menumbuhkan unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta
akses untuk mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung
jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, kemanan, dan
keselamatan konsumen.
Dalam pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan suatu
pembangunan nasional yang sebagaimana telah disebutkan di dalam pasal 2
sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada merupakan akhir
yang harus dicapai dalam melaksanakan pembangunan di bidang hukum
perlindungan konsumen.
9
Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat dari Perjanjian Baku
(Standar), Binacipta, 1986, hlm. 58.
10
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para
Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, 1993, hlm. 66.
Sebenarnya, perjanjian standar tidak perlu selalu dituangkan dalam bentuk
formulir walaupun memnag lazim dibuat tertulis. Contohnya dapat dibuat dalam
bentuk pengumuman yang ditempelkan di tempat penjual menjalankan usahanya.
Jadi, perjanjian standar adalah perjanjian yang ditetapkan secara sepihak, yakni
oleh produsen/penyalur (penjual), dan mengandung ketentuan yang berlaku umum
(massal), sehingga pihak yang lain (konsumen) hanya memiliki dua pilihan:
menyetujui atau menolaknya.
Adanya unsur pilihan ini oleh sementara pihak dikatakan perjanjian
standar tidaklah melanggar asas kebabasan berkontrak (pasal 1320 jo. 1338
KUHPerdata). Artinya, bagaimanapun pihak konsumen masih diberi hak untuk
menyetujui (take it) atau menolak perjanjian yang diajukan kepadanya (leave it),
Itulah sebabnya, perjanjian standar ini kemudian dikenal dengan nama take it or
leave it contract.
Karena lahir dari kebutuhan akan kebutuhan efisiensi serta efektivitas
kerja, maka bentuk perjanjian baku ini pun memiliki karakteristik yang khas yang
tidak dimiliki oleh perjanjian yang lain pada umumnya, antara lain perjanjian
baku dibuat oleh salah satu pihak saja dan tidak melalui suatu bentuk
perundingan, isi perjanjian yang telah distandardisasi, klausul yang ada di
dalamnya biasanya merupakan klausul yang telah menjadi kebiasaan secara luas
dan berlaku secara terus-menerus dalam waktu yang lama.
Perjanjian baku banyak memberikan kauntungan dalam penggunaannya,
tetapi dari berbagai keuntungan yang ada tersebut terdapat sisi lain dari
penggunaan serta perkembangan perjanjian baku yang banyak mendapat sorotan
kritis dari para ahli hukum, yaitu sisi kelemahannya dalam mengakomodasikan
posisi yang seimbang bagi para pihaknya. Kelemahan-kelemahan perjanjian baku
ini bersumber dari karakteristik perjanjian baku yang dalam wujudnya merupakan
suatu perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak dan suatu perjanjian
terstandardisasi yang menyisakan sedikit atau bahkan tidak sama sekali ruang bagi
pihak lain untuk menegosiasikan isi perjanjian itu. Sorotan para ahli hukum dari
berlakunya perjanjian baku selain dari segi keabsahannya adalah adanya klausul-
klausul yang tidak adil dan sangat memberatkan salah satu pihak.
Jika ada yang perlu dikuatirkan dengan kehadiran perjanjian standar, tidak
lain karena dicantumkannya klausul eksonerasi (exemption clause) dalam
perjanjian tersebut. Klausul eksonerasi adalah klausul yang mangandung kondisi
membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya
dibebankan kepada pihak produsen/penyalur produk (penjual).
Mariam Darus Badrulzaman, dengan istilahnya klausul eksonerasi,
memberikan definisi terhadap klausul tersebut sebagai klausul yang berisi
pembatasan pertanggungjawaban dari kreditor, terhadap risiko dan kelalaian yang
mesti ditanggungnya.
Demikian juga David Yates, yang lebih memilih menggunakan istilah
exclusion clause, memberikan definisi any term in a contract restricting,excluding
or modifyng aremedy or a liability arisng out of breech of a contractual
obligation12 yang diterjemahkan secara bebas sebagai setiap bagian dari suatu
11
Sriwati, Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Baku, Yustika, Vol. III No. 2
Desember 2000, hlm. 176.
12
David Yates, Exclusive Clauses in Contract, Sweet & Maxell, London, 1982, hlm.1 dalam
Sriwati, op, cit.,hlm. 182.
perjanjian yang mambatasi, membebaskan atau merekayasa ganti rugi atau
tanggung jawab yang timbul dar pelanggaran terhadap suatu perjanjian.
Dalam penertiannya yang lebih luas David Yates menunjuk pada yurisprudensi
dalam buku Bentsen v. Taylor, Sons & Co (1893) dan Bahama International Trust
Co. V. Threadgold (1974) yang mengemukakan bahwa exemption clause diartikan
sebagai .....a caluse in contract or a term in a notice which appears to exclude or
restrict a liability or a legal duty that would otherwise arise, yang jika
diterjemahkan secara bebas adalah klausul yang kehadirannya untuk
membebaskan atau membatasi tanggung jawab yang mungkin saja muncul.
Menurut Engels13 menyebut adanya tiga bentuk yuridis dri perjanjian
dengan syarat-syarat eksonerasi. Ketiga bentuk yuridis tersebut terdiri atas:
a. Tanggung jawab untuk akibat-akibat hukum, karena kurang baik dalam
melaksanakan kewajiban-kewajiban perjanjian.
b. Kewajiban-kewajiban sendiri yang biasanya dibebankan kepada pihak
untuk mana syarat dibuat, dibatasi atau dihapuskan (misalnya, perjanjian
keadaan darurat).
c. Kewajiban-kewajiban diciptakan (syarat-syarat pembebasan oleh salah
satu pihak dibebankan dengan memikulkan tanggung jawab pihak yang
lain yang mungkin ada untuk kerugian yang diderita pihak ketiga.
Dari berbagai definisi yang ada tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
klausul pembebasan adalah klausul yang memberikan pembatasan atau
pembebasan tanggung jawab hukum salah satu pihak atas segala bentuk
ketidakterpenuhinya kewajiban atas perjanjian tersebut.
14
Ibid.
15
Ibid., hlm. 123.
yang telah ada, termasuk sejauh mana pemerintah dapat campur tangan dalam
penyusunan kontrak.
Di Belanda, perjanjian standar dimasukkan pengaturannya dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang baru. Di situ dinyatakan bahwa bidang-
bidang usaha yang boleh menerapkan perjanjian standar harus ditentukan dengan
peraturan dan perjanjian itu baru di tetapkan. Kemudian penetapan, perubahan,
atau pencabutan itu baru memperoleh kekuatan hukum setelah mendapat
persetujuan Menteri Kehakiman.
Bagi kita di Indonesia, ketentuan yang membatasi wewenang pembuatan
klausul eksonerasi ini belum diatur secara tegas dalam undang-undang. Ketentuan
satu-satunya baru ditemukan dalam UUPK, walaupun di situ digunakan istilah
“klausul baku” yang ternyata berbeda pengertiannya dengan “klausul eksonerasi”.
Secara umum, memang dapat ditunjuk beberapa pasal yang ada dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Salah satunya adalah pasal 1337, yang
menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak boleh dibuat bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum. Sekalipun demikian, untuk
dapat menguji sejauh mana perjalanan itu bertentangan, perlu diproses melalui
gugatan di pengadilan. Padahal, kekuatan yurisprudensi dalam sistem hukum
Indonesia tidak seperti yang berlaku di negara-negara Anglo Saxon/Anglo
Amerika.Dengan demikian, langkah yang ditempuh oleh Belanda, yakni dengan
membuat ketentuan khusus mengenai tata cara pembuatan perjanjian standar,
kiranya dapat dipertimbangkan untuk ditiru. Selain dengan mencantumkannya
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, juga dapat dimuat dalam undang-
undang khusus yang mengatur mengenai perlindungan konsumen.
Dengan adanya pengaturan terhadap Perlindungan Konsumen terutama
pada peraturan yang berkaitan dengan klausul baku sedikit banyak menya-darkan
masyarakat bahwa mereka sebagai pihak dalam perjanjian memiliki hak yang
(semestinya) sejajar dengan pihak lainnya dalam perjanjian baku.16
Serta paling tidak memberikan gambaran bahwa perlu adanya suatu sarana bagi
peningkatan perlindungan terhadap penggunaan perjanjian baku dan segala
atributnya, yang tentu saja merugikan salah stu pihak pada perjanjian. Di mana
pengaturan ini merupakan tonggak awal bagi adanya keseimbangan dalam
penempatan pihak pada sutu perjanjian.
Meski demikian penggunaan perjanjian baku atau jika dapat dikatakan
lebih luas ketidakseimbangan daya tawar para pihak merupakan suatu hal yang
sangat sulit untuk diawasi atau dikendalikan, karena hal ini berkaitan dengan
adanya unsur perlindungan dari kepentingan pihak yang lebih besar daya
tawarnya untuk melindungi kepentingannya, serta adanya kebutuhan dari pihak
yang berdaya tawar lebih rendah untuk menerima isi dari perjanjian itu.
Secara sederhana dapat kita katakan bahwa yang kuat adalah yang menang
masih berlaku, yang bisa kita hindari, dengan adanya pengaturan terhadap
pemakaian perjanjian baku itu adalah adanya eksploitasi atau keadaan yang
sedemikian merugikan bagi pihak yang lemah akibat adanya penggunaan paksaan
maupun penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang lebih kuat.
16
Sriwati, op. cit., hlm. 191.
2.5 Layanan Purnajual dan Perlindungan Konsumen
Layanan purnajual (after sales servive) merupakan kepentingan konsumen
yang sangat vital dewasa ini. Perkembangan teknologi yang sangat cepat,
misalnya pada teknologi perangkat komputer, sering membuat produsen harus
mengubah tipe-tipe produknya mengikuti selera dan kebutuhan konsumen yang
terus berganti dalam waktu yang singkat yang dapat mengakibatkan apabila
terjadi kerusakan dari suatu tipe produk konsumen menghadapi kendala dalam
memperbaiki barangnya karena ketiadaan suku cadang.
Masalah lain yang menyangkut layanan purnajual adalah soal garansi
dalam jangka waktu tertentu yang diberikan produsen/penyalur produk (penjual)
atau kordinator kepada konsumennya. Tampak masalah layanan purnajual adalah
masalah perlindungan konsumen yang tidak dapat dipisahkan dengan tahapan-
tahapan transaksi konsumen lainnya.
Perluasan subjek yang dapat dimintai tanggungjawabnya telah pula
diterapkan diberbagai negara. Di lingkungan Eropa, misalnya dinyatakan dalam
pasal 3 Pedoman Masyarakat Eropa, tanggung jawab produk adalah tanggung
jawab pembuat produk cacat yang bersangkutan, yakni17 :
1. Produsen bahan-bahan mentah atau komponen dari produk itu.
2. Setiap orang yang memasang nama, merek perusahaan atau memberikan
tanda khusus untuk pembeda produknya dengan produk lain.
3. Setiap orang yang mengimpor produk untuk dijual, disewakan atau
dipasarkan (tanpa mengurangi tanngung jawab si pembuat produk).
4. Setiap pemasok produk, jika si pembuatnya tidak diketahui atau pembuat
produkunya diketahui tetapi pengiimpornya tidak diketahui.
2.7 Asuransi
Yusuf Shofie23 mengutarakan bahwa bisnis perasuransian di Indonesia
hampir sama tuanya dengan bisnis perbankan. Nama-nama perusahaan asuransi
jiwa seperti, Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 tergolong perusahaan
22
Ibid., hlm. 131 – 132.
23
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Intrumen-Instrumen Hukumnya, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2003), hlm. 161.
asuransi yang cukup dikenal masyarakat. Nama-nama terkenal lainnya seperti
Dharmala Manulife, Lippo Life, New Hampshire Agung, Asuransi Cigna
Indonesia, Asu- ransi Astra Buana, Asuransi Jiwa Buana Putra, Sewu New York
Life, dan sebagainya, tak mau kalah dalam persaingan bisnis ini.Dibandingkan
industri perbankan, industri perasuransian kurang banyak mendapat perhatian
konsumen. Sebagian besar konsumen cenderung memisahkan sebagian
penghasilannya untuk disimpan di bank daripada digunakan untuk asuransi.
Konsumen masih sering merasakan bahwa asuransi tak melindungi aktivitasnya,
bahkan cenderung merugikannya, meskipun kesan itu tak semuanya benar.
Ditinjau dari sudut sifat dan berlakunya, asuransi dibedakan menjadi dua
jenis. Pertama, asuransi yang bersifat suka rela (voluntary), misalnya asuransi
kebakaran, asuransi kendaraan bermotor, asuransi jiwa, dan lain-lain. Kedua,
asuransi yang bersifat wajib (compulsory) berdasarkan ketentuan undang-undang,
misalnya pertanggungan wajib kecelakaan penumpang (Undang-Undang No. 33
Tahun 1964), pertanggungan wajib kecelakaan lalu lintas jalan (Undang-Undang
No. 33 Tahun 1964), Jaminan Sosial Tenaga Kerja (diselenggarakan PT Astek
berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992), Asuransi Sosial Pegawai Negeri
(dikelola PT Taspen berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1981),
Asuransi ABRI/ASABRI (dikelola berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 67
Tahun 1991).
Terbitnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen memberi jaminan supaya hak-hak tertanggung lebih diperhatikan.
Keluhan-keluhan konsumen sekarang sudah terjawab dengan hadirnya undang-
undang perlindungan konsumen, yang dibuat dalam semangat reformasi, selain
memberi perlindungan kepada konsumen, juga menempatkan mereka dalam
posisi tawar yang lebih kuat.
Dalam undang-undang ini ditegaskan juga hak konsumen untuk
memperoleh informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa yang dibelinya, serta hak untuk didengar pendapat dan
keluhannya atas barang/atau jasa yang digunakan. Masih banyak hak-hak yang
diatur dalam UU sehingga posisi konsumen semakin kuat. Sebagai pihak yang
berjanji, tertanggung dan penanggung memiliki posisi yang setara dan tidak ada
yang dibawah dan di atas. Hak-hak lainnya yang ditegaskan dalam Undang-
Undang.
24
Ibid., hlm. 79-80
25
Ibid.
26
John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen terhadap
Produk Pangan Kadaluarsa, Pelangi Cendekia, Jakarta, 2007, hlm. 60.
27
Inosentius Samsul, op. cit., hlm. 7.
konsumen haruslah menjadi salah satu perhatian yang utama karena berkaitan erat
dengan kesehatan dan keselamatan masyarakat sebagai konsumen.28
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perlindungan hukum terhadap konsumen diperlukan karena konsumen
dalam posisi yang lemah. Perbedaan kepentingan antara pelaku usaha dan
konsumen menyebabkan gangguan fisik, jiwa atau harta konsumen dan tidak
diperolehnya keuntungan optimal dari penggunaan barang dan/atau jasa tersebut
dan miskinnya hukum yang melindungi kepentingan konsumen. Dengan adanya
perlindungan hukum bagi konsumen, diharapkan dapat memberikan kedudukan
hukum yang seimbang antara konsumen dengan pelaku usaha. Hal tersebut cukup
beralasan karena selama ini kedudukan konsumen yang lemah jika dibandingkan
dengan pelaku usaha.
28
John Pieris, op. cit., hlm. 69.
Pentingnya perlindungan hukum terhadap konsumen diatur dalam undang-
undang adalah untuk mencegah timbulnya masalah dikemudian hari karena setiap
orang baik sendiri maupun secara bersama-sama dalam keadaan apapun pasti
menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Secara umum
ada empat hak dasar konsumen yang harus dilindungi, yaitu: hak untuk
mendapatkan keamanan (the right to safety), hak untuk mendapat informasi (the
right to be informed); hak untuk memilih (the right to choose) dan akhirnya hak
untuk didengar (the right to be heard). Perlindungan hukum terhadap konsumen
dapat dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi (no conflict/pre purchase)
dan/atau pada saat setelah terjadinya transaksi (conflict/post purchase).
Adapun tujuan perlindungan konsumen menurut pasal 3 UUPK adalah :
meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri; mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang atau jasa; meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak- haknya
sebagai konsumen; menciptakan perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi; menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab
dalam berusaha; meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan konsumen.
3.2 Saran
Hukum perlindungan konsumen sangat dibutuhkan di Indonesia, antara
lain : bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu
masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era
demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat
mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka
barang dan/jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas
barang dan/jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian
konsumen; bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses
globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat
serta kepastian atas mutu, jumlah dan keamanan barang dan/atau jasa yang
diperolehnya di pasar; bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen
perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan
kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuh kembangkan
sikap perilaku usaha yang bertanggung jawab.
Kemudian saran yang terakhir adalah pembentukan hukum yang responsif,
yang dapat mengakomodir masalah-masalah yang timbul, masukan-masukan
masyarakat yang berkaitan dengan perlindungan hukum konsumen dan kepastian
lingkup perlindungan konsumen. Kemudian aparat penegak hukum harus benar-
benar serius dalam mengawasi, memproses dan menyelesaikan setiap pelanggaran
yang terjadi dengan memberikan hukuman/sanksi yang tegas dan setimpal agar
menimbulkan efek jera bagi yang melakukan pelanggaran.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Celina Tri Siwi Kristiyani. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen. Edisi ke-7.
Sinar Grafika. Jakarta.
Az. Nasution. 1995. Konsumen dan Hukum. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. 2015. Hukum Perlindungan Konsumen. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
B. Jurnal
Sudiyono. 2006. Isu : Sebuah Technical Term Dalam Khasanah Ilmu Kebijakan.
Jurnal Manajemen Pendidikan No. 01/Th. Il/April 2006.