Disusun Oleh :
Kelompok 1
SDM Strategis memegang peranan penting dan signifikan dalam pengelolaan suatu
organisasi. SDM dituntut untuk mampu menerbitkan kebijakan dan langkah-langkah
strategis bagi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan objektifnya. Salah satunya ialah
berkaitan dengan kemampuan untuk menafsirkan dan mengimplementasikann serta
menaati hukum positif yang berlaku di mana organisasi tersebut berada. Keberadaan
organisasi tidak dapat terlepas dari wilayah dan konteks hukum positif setempat dan
kebijakan strategis harus disesuaikan untuk dapat memberikan suatu kepastian dan jaminan
bagi para pihak yang terkait, entah itu pemilik, pemegang saham, manajemen dan
karyawan dalam memenuhi hak dan kewajiban secara adil.
Hukum mengalami suatu perkembangan dari waktu ke waktu seiring dengan kondisi
politk, ekonomi, sosial budaya, terutama isu-isu human right yang bersifat universal. Fakta
ini tampak dari pemberlakuan hukum ketenagakerjaan di negara Amerika Serikat, yang
kemudian diadopsi oleh berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia.
1. Employment-At-Will
Faktor-faktor seperti ras,agama, asal kebangsaan, usia, dan ketidakmampuan tidak boleh
dipertimbangkan sebagai standar untuk mempekerjakan seseorang. Prinsip dasar yang
sama harus digunakan sebagai cara untuk memberhentikan karyawan. Sebagai contoh,
kenyataan bahwa seseorang berusia tertentu tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk
memberhentikannya. Terlepas dari berbagai standar kekaryawanan yang harus dihindari
berdasarkan hukum, keputusan pengadilan, dan peraturan pemerintah, kira-kira dua dari
tiga karyawan AS hampir sepenuhnya bergantung pada berlanjutnya iktikad baik para
pemberi kerja mereka. Orang-orang yang termasuk kategori ini dikenal sebagai
Employment at will. Yang bukan termasuk di sini adalah orang-orang yang dikontrak
perundingan bersama antara pekerja dan manajemen. Para guru biasanya memiliki kontrak
tahunan dan bukan merupakan employment at will. Selain itu, para karyawan yang
melaporkan tindakan illegal (whistle-blower) tidak termasuk dalam employment at will.
Employment at will adalah kontrak tidak tertulis yang tercipta ketika seorang karyawan
setuju bekerja untuk pemberi kerja, tetapi tidak ada kesepakatan mengenai seberapa lama
pihak-pihak tersebut mengharapkan hubungan kerja itu berlangsung. Umumnya. Sebagian
besar sistem hukum AS beranggapan bahwa pekerjaan para karyawan memiliki hak yang
sama untuk melepaskan pekerjaan mereka kapan saja.
Penting untuk memahami bahwa pelanggaran akan hal ini bisa menjadi faktor penghambat
dalam sebuah bisnis. Sebagai contoh, para penyandang cacat khusus itu tidak terdaftar,
sebaliknya, implementasi dari pertauran ECOC menyangkut ADA mengemukakan bahwa
seorang individu itu cacat bila ia memiliki kerusakan fisik atau mental yang secara hakiki
yang membatasi satu atau lebih satu aktivitas utama hidupnya, dikemukakan juga bahwa
kerusakan itu menyangkut penyakit fisiologis apa saja atau kondisi, atau kehilangan
anatomi yang memengaruhi satu atau lebih beberapa sistem tubuh, ataupun penyakit
mental. Dipihak lain undang-undang menetapkan secara lebih lanjut kondisi tertentu yang
tidak dianggap sebagai cacat, termasuk homoseksual, biseksualitas, ketagihan judi,
HIV/AIDS, dan penyakit-penyakit tertentu yang diakibatkan karena penggunaan obat-obat
terlarang. Menjadi cacat tidak mengualifikasikan seseorang untuk suatu pekerjaan.
Sebaliknya, undang-undang melarang tindak diskriminasi terhadap individu berkualitas.
Dengan kata lain, mereka yang dengan atau tanpa akomodasi yang wajar, dapat melakukan
fungsi-fungsi yang esensial dari jabatan tersebut. Itu berarti bahwa individu harus memiliki
keterampilan yang dituntut, latar belakang Pendidikan dan pengalaman untuk melakukan
fungsi-fungsi esensial dari kedudukan tersebut.
d. Racial Harassment
Mengatur jaminan bagi seluruh pekerja terhadap perlakuan rasis dalam seluruh aspek
ketenagakerjaan, termasuk dalam perekrutan dan promosi kerja.
e. Mix Motive Case
Mix motive case biasa terjadi akibat dari kombinasi kriteria penilaian yang diberlakukan
oleh pihak manajemen terhadap pihak atau golongan tertentu seperti jenis pekerjaan
dengan jenis kelamin, agama, ras, dan disabilitas. Contohnya : seorang pekerja ditegur
karena terlambat masuk kantor dan karena dia seseorang dengan keterbatasan fisik.
f. Seniority System
Undang-Undang dapat menindaklanjuti laporan pengaduan terhadap penerapan sistem
senioritas yang secara tidak disengaja merugikan pihak-pihak yang dilindungi oleh hukum
anti diskriminasi di tempat kerja dengan ketentuan :
(1) Sistem memang benar ada dan diterapkan
(2) Seseorang menjadi subjek dari sistem senioritas
(3) Seseorang dirugikan oleh sistem yang diterapkan
Contohnya : seorang senior yang mem-bully juniornya.
g. Race Norming
Perilaku perusahaan yang dalam proses perekrutan tenaga kerja memisahkan pelamar
berdasarkan ras, jenis kelamin, warna kulit, agama, dan suku bangsa. Penggolongan ini
dijadikan pembanding dalam penilaian tes antara kaum minoritas dan mayoritas kemudian
dijadikan acuan dalam proses pengambilan keputusan.
h. Extension to U.S. Senate and Appointed Officials
Undang-Undang memberikan perlindungan bagi pekerja yang bekerja di bidang politik.
1. Mengajukan tuntutan
Proses tersebut dimulai ketika seseorang mengajukan klaim kepada EEOC. Klaim
diskriminasi harus diajukan dalam waktu 300hari. Mahkamah Agung amerika serikat
dalam Ledbetter v. goodyear menyatakan bahwa karyawan yang mengklaim adanya
diskriminasi bayaran title VII harus mengajukan klaim mereka dalam waktu 180 hari dari
saat pertama kali menerima dugaan bayaran diskriminatif tersebut.
2. Penerimaan Tuntutan
Adalah untuk menerima tututan dan secara lisan merujuknya pada agensi Negara baian
atau local atas nama pihak yang menuntut. Jika agensi tersebut melepaskan yurisdiksi atau
tidak bisa mendapatkan solusi yang memuaskan EEOC memprosesnya pada akhir periode
3. Memberikan Pemberitahuan
4. Konfrensi Investigasi
5. Penyebab
Jika mereka tidak menemukan punyebab EEOC harus menolak tuntutan tersebut dan harus
mengeluarkan pemberitahuan hak untuk menurut kepada pihak penuntut. Orang tersebut
kemudian mempunyai 90 hari untuk mengajukan tuntutan atas namanya sendiri
6. Konsiliasi
Jika EEOC menemukan penyebab mereka mempunya waktu 30 hari untuk mengusahakan
persetujuan konsiliasi.
3. Affirmative Action
Pendekatan yang dikembangkan organisasi dengan kontrak pemerintah untuk
membuktikan bahwa karyawan dipekerjakan dalam proporsi yang sesuai dengan
keterwakilan mereka dalam pasar tenaga kerja yang relavan bagi perusahaan. Tindakan
afirmatif yang diwajibkan oleh presidential dalam tindakan diskriminasi yaitu Executive
Orders 11246 mengharuskan pemberi kerja mengambil langkah positif guna memastikan
adanya kesempatan kerja bagi pelamar dan perlakuan setara tanpa memandang ras,
keyakinan, warna kulit atau asal kebangsaan.
a. Masa Penjajahan
Periode sebelum kemerdekaan diwarnai dengan masa-masa yang suram bagi riwayat
hukum perburuhan, yakni zaman perbudakan, rodi dan poenale sanctie. Hubungan
perburuhan diisi dengan penindasan dan perlakuan di luar batas kemanusiaan yang
dilakukan oleh orang maupun penguasa pada saat itu. Mereka tidak diberikan hak apa pun;
yang mereka miliki hanyalah kewajiban untuk menaati perintah. Mereka hanya dijadikan
barang atau objek yang kehilangan hak kodratinya sebagai manusia. Dalam hukum
perburuhan saat itu, dikenal adanya Panca Krida Hukum Perburuhan yang merupakan
perjuangan yang harus dicapai, yakni:
1) Membebaskan manusia Indonesia dari perbudakan, perhambaan.
2) Pembebasan manusia Indonesia dari rodi atau kerja paksa.
3) Pembebasan buruh/pekerja Indonesia dari poenale sactie.
4) Pembebasan buruh/pekerja Indonesia dari ketakutan kehilangan pekerjaan.
5) Memberikan posisi yang seimbang antara buruh/pekerja dan pengusaha.
Krida kesatu sampai dengan krida ketiga secara yuridis sudah lenyap bersamaan dengan
dicetuskannya proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
b. Masa Orde Lama
Dalam merebut kemerdekaan Indonesia, gerakan buruh memainkan peranan yang penting.
Keterlibatan mereka melalui organisasi seperti “Laskar Buruh, Kaum Buruh, dan Serikat
Buruh di Indonesia” sangat aktif dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia.
Beberapa peraturan hukum perburuhan dapat dikatakan “progresif” atau maju, yang artinya
sangat protektif atau melindungi kaum buruh, seperti :
1) UU No 33 Tahun 1947 tentang Keselamatan di Tempat Kerja.
2) UU No 12 Tahun 1948 tentang Perlindungan Buruh dan UU No 23 Tahun 1948
tentang Pengawasan Perburuhan, yang mencakup banyak aspek perlindungan bagi buruh,
seperti larangan diskriminasi di tempat kerja, ketentuan 40 jam kerja dan 6 hari kerja
seminggu, kewajiban perusahaan untuk menyediakan fasilitas perumahan, larangan
mempekerjakan anak di bawah umur 14 tahun, termasuk juga menjamin hak perempuan
mengambil cuti haid 2 hari dalam sebulan dan cuti melahirkan 3 bulan.
3) UU No 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan
Majikan yang sungguh amat terasa nuansa demokratis dalam ketentuan pasal-pasalnya,
termasuk sebuah UU tahun 1956 yang meratifikasi Konvensi ILO No. 98 tentang Hak
Berorganisasi sekaligus menjamin lebih jauh lagi memberi serikat buruh status hukum
4) UU No 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, disusul UU
Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta yang memberikan
proteksi yang sangat kuas kepada para buruh atau pekerja dengan kewajiban meminta izin
kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) untuk Pemutusan Hubungan
Kerja.
c. Masa Orde Baru
Masa Orde Baru mewarisi kondisi politik dan ekonomi yang porak poranda sehingga
Presiden Soeharto memprioritaskan penciptaan kestabilan politik, ekonomi, dan hukum.
Untuk mengembalikan citra negara hukum, dikeluarkan Tap MPRS No.XX yang
menetapkan sumber tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan Republik Indonesia, harus melaksanakan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen, yaitu Pancasila.
Ciri utama akomodasi buruh majikan-negara selama Orde Baru adalah kontrol negara yang
sangat kuat atas organisasi buruh dan pengingkaran terus-menerus kelas buruh sebagai
kekuatan sosial. Serikat Pekerja ditunggalkan dalam SPSI (Serikat Pekerja Seluruh
Indonesia). Merujuk pada UU No.18 Tahun 1956 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 98
Tahun 1949 mengenai Berlakunya Dasar daripada Hak untuk Berorganisasi dan Berunding
Bersama, serta Peraturan Menakertranskop No 8/EDRN/1974 dan No. 1/MEN/1975
perihal Pembentukan Serikat Pekerja/Buruh di Perusahaan Swasta dan Pendaftaran
Organisasi Buruh terlihat bahwa pada masa ini kebebasan berserikat tidak sepenuhnya
dilaksanakan oleh pemerintah. Peran militer dalam praktiknya sangat besar dalam
penyelesaian perselisihan perburuhan.
d. Masa Reformasi
Sejak berakhirnya masa Orde Baru, peluang untuk lahirnya gerakan buruh dimulai dengan
dibukanya kebebasan berserikat, meskipun tetap hanya satu serikat yang diakui
pemerintah. Pada masa ini SPSI melahirkan jaringan perburuhan yang dimotori oleh LSM
dengan aksi-aksi menolak militerisme dan menolak UU Ketenagakerjaan No 25 Tahun
1997 tentang ketenagakerjaan.
LSM memegang peranan penting dalam membangun jaringan dan menggerakkan (isu-isu)
buruh. Tergabung dalam jaringan yang dinamai KPHP (Komisi Pembaruan Hukum
Perburuhan), LSM menyatakan secara sistematis dan substansial bahwa undang-undang
tersebut belum memuat hak-hak dasar buruh seperti jaminan atas pekerjaan, kebebasan
berorganisasi, dan mogok Lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan yang adil.
Langkah-Langkah Strategis :
a. Law enforcement
Salah satu aspek penting dalam rangka law enforcement/ penegakan hukum adalah proses
pembudayaan, permasyarakatan, dan Pendidikan hukum (law socialization and law
education). Perusahaan harus mampu menjalankan keseluruhan aktivitas bisnis sesuai
dengan aturan dan perundangan yang berlaku. Pihak Departemen Tenaga Kerja bekerja
sama dengan pihak penegak hukum harus melakukan supervise secara berkala untuk
mengecek dan mengevaluasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan.
b. Affirmative action
Perusahaan harus mengusahakan kesetaraan bagi semua karyawan khususnya mengenai
treatment, gaji, dan fasilitas (penyediaan alat keselamatan/safety.
c. Training education
Untuk semua lapisan baik foreigners maupun local. Well educated bagi semua orang
mengenai hukum. Character and attitude building bagi semua karyawan.
d. Cross cultural education/understanding
Merupakan perpaduan atau kolaborasi budaya organisasi dan kearifan local. Belajar
mengenai kebudayaan satu sama lain, terutama bagi warga asing dalam bentuk seminar
atau kegiatan tertentu. Mengikuti dan komitmen atas kontrak yang telah disepakati bersama
agar semua karyawan patuh terhadap kontrak dan konsekuensi, komitmen terhadap kontrak
harus dipelajari secara cermat oleh semua karyawan.
e. Do and don’t
Setiap anggota perusahaan mulai dari top management sampai pada bottom line harus bisa
menjalankan prinsip bisnis, apa yang harus diperhatikan, dijalankan, dan apa yang tidak
perlu “jangan” dilakukan.
1. Arief Subyantoro, Manajemen Sumber Daya Manusia Strategi, Penerbit Andi, Penerbit
CV Andi Offset,Yogyakarta
2. Dessler, Gary : Manajemen Sumber Daya Manusia
3. https://hr.proxsisgroup.com/5-tips-perencanaan-tenaga-kerja-
strategis/#:~:text=Perencanaan%20tenaga%20kerja%20strategis%20adalah,tepat%2C%2
0pada%20waktu%20yang%20tepat.
4. https://en.wikipedia.org/wiki/The_End_of_Work