Anda di halaman 1dari 54

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/351900873

Membangun Pinggiran, Menyangga Ibukota: Arsitektur dan Infrastruktur Kota


Tangerang di Masa Kolonial Abad 18-20

Chapter · January 2021

CITATIONS READS

0 398

1 author:

Mushab Abdu Asy Syahid


University of Indonesia
17 PUBLICATIONS   9 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Arsitektur Islam (Islamic Architecture) View project

Arsitektur Kolonial - Pascakolonial (Colonial-Postcolonial Architecture) View project

All content following this page was uploaded by Mushab Abdu Asy Syahid on 26 July 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


MASYARAKAT MENULIS SEJARAH

Indonesia
DALAM PANTULAN LOKAL DAN SOSIAL
MASYARAKAT MENULIS SEJARAH
INDONESIA DALAM PANTULAN LOKAL DAN SOSIAL

i
ii
MASYARAKAT MENULIS SEJARAH
INDONESIA DALAM PANTULAN LOKAL DAN SOSIAL

DIREKTORAT PEMBINAAN TENAGA DAN LEMBAGA KEBUDAYAAN


DIREKTORAT JENDERAL KEBUDAYAAN
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

iii
MASYARAKAT MENULIS SEJARAH:
INDONESIA DALAM PANTULAN LOKAL DAN SOSIAL

Editor
Bondan Kanumoyoso
Kresno Brahmantyo
Tri Wahyuning M. Irsyam

Penulis
Afiliasi Ilafi I Ahmad Anfasul Marom I Bayu Amde Winata I Dara Alfira I Dewi
Diana Saraswati I Festa Kurnia Ramadhani I Hazmirullah I Heri Kusuma Tarupay
I Lailatul Dzikriyah I Muhammad Sarip I Muhammad Yusuf I Mushab Abdu Asy
Syahid I Novita Anggraini I Pramukti Adhi Bhakti I Rai Saputra I Resty Sartika
Dewi I Sandy Suseno I Ulil Abshor I Uus Rustiman I Yogi Fitra Firdaus

Layout dan Desain


Dirga Fawakih
Tirmizi

Penanggung Jawab
Andi Syamsu Rijal
Tirmizi
Agus Hemanto

Penerbit
Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Tahun 2021

ISBN: 9786237092766

Sampul depan: Banten in the 17th century.


http://warwickaseanconference.com/southeast-asia-not-passive/

iv
SAMBUTAN

DIREKTUR PEMBINAAN TENAGA DAN LEMBAGA KEBUDAYAAN

Sebagai salah satu sumber daya manusia kebudayaan, penulis sejarah telah
memainkan peran penting di tengah masyarakat. Keberadaan para penulis
sejarah ini berperan strategis dalam mengungkap, mendokumentasikan dan
menginformasikan kepada masyarakat tentang narasi masa lampau yang
penting dalam upaya menjaga ingatan bersama serta panguatan karakter
bangsa.
Untuk mewadahi semangat menulis sejarah yang dilakukan
masyarakat, khususnya bagi mereka yang tidak berlatar pendidikan jurusan
kesejarahan, Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan
menyelenggarakan Bimtek Penulis Sejarah Daring yang pesertanya
dikhususnya bagi mereka yang tidak berlatar belakang pendidikan jurusan
kesejarahan.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Bimtek Penulis Sejarah
pada tahun 2020 ragam materi yang disajikan merujuk pada Standar
Kompetensi Kerja Nasional (SKKNI) Bidang Penulis Sejarah, sehingga peserta
yang terlibat akan diproyeksikan untuk mengikuti sertifikasi profesi penulis
sejarah. Selain itu, salah satu keluaran kegiatan dalam Bimtek Penulis Sejarah
2020 adalah buku kompilasi yang memuat artikel terbaik para peserta.
Terbitnya buku ini sebagai bentuk aprsiasi kepada peserta yang telah
dengan semangat mengikuti seluruh rangkaian kegiatan Bimtek Penulis
Sejarah. Buku kami harapkan dapat memperkaya khazanah penulisan sejarah
yang diinisiasi oleh para penggiat penulisan sejarah. Dengan harapan
ekosistem penulisan sejarah yang baik, yang sesuai standar metode sejarah di
masyarakat terus bergeliat dan terus menambah, baik dalam segi kualitas
maupun kuantitas. Akhrinya saya ucapkan selamat membaca dan selamat
mendulang wawasan.

Judi Wahjudin

v
PENGANTAR TIM EDITOR

BERAGAM PERSEKTIF DALAM MENULIS SEJARAH

Sejarah selama ini diidentikkan dengan narasi tentang peristiwa yang terjadi di
masa lalu. Meskipun ada penyederhanaan dalam pengertian itu, tetapi makna
itulah yang dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Pemahaman yang seperti
itu menyebabkan sejarah menjadi salah satu cabang ilmu yang bersifat
terbuka. Apa yang dimaksud dengan cabang ilmu yang terbuka adalah bahwa
semua orang bisa memahami isi dari narasi sejarah dan juga menghasilkan
narasi sejarah sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki. Pengertian
sejarah sebagai ilmu yang terbuka telah mendorong masyarakat untuk turut
melakukan penulisan sejarah tentang tema-tema sejarah yang dekat dengan
kehidupan sehari-hari, ataupun tema-tema sejarah menarik bagi mereka.
Jika kita amati karya-karya sejarah yang banyak ditulis di Indonesia,
dapat dikatakan bahwa sekitar lima puluh persen lebih diantaranya justru
ditulis oleh mereka yang tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang
sejarah. Meskipun tidak berlatar belakang pendidikan sejarah, banyak diantara
para penulis itu memiliki kemampuan yang baik untuk melakukan penelitian
dan menulis sejarah. Dalam pengertian ini maka menjadi tidak relevan untuk
membedakan karya sejarah berdasarkan latar belakang akademis penulisnya,
yaitu buku sejarah yang ditulis oleh sejarawan dan buku sejarah yang
dihasilkan oleh masyarakat awam. Adanya pembedaan seperti itu justru akan
menyebabkan kita kehilangan potensi yang besar dari para penulis sejarah
yang baik dan berbakat yang justru tidak pernah secara khusus mengenyam
pendidikan sejarah.
Buku ini berisi kumpulan tulisan dari para penulis yang tidak berlatar
belakang pendidikan sejarah. Latar belakang dari tulisan-tulisan yang
terkumpul dalam buku ini adalah tugas yang dikerjakan oleh para peserta yang
mengikuti kegiatan “Bimbingan Teknis Untuk Penulis Sejarah” yang
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia. Tujuan dari kegiatan bimbingan teknis

vi
ialah untuk memberi bekal pengetahuan meneliti bagi para penulis non-
sejarawan yang selama ini telah menghasilkan karya-karya sejarah.
Pelaksanaan Bimbingan Teknis menjadi penting karena dengan memberikan
bekal pengetahuan tentang metode dan penulisan sejarah, maka para penulis
non-sejarawan yang terlibat dalam kegiatan ini mendapat bekal untuk
menghasilkan karya-karya yang sesuai dengan standar akademis.
Ada banyak tema yang diajukan oleh peserta bimbingan teknis. Tema-
tema itu sebagian besar diantaranya yang bukan tema sejarah sejarah
konvensional. Sebagai orang-orang yang berlatar belakang non-sejarah, para
penulis dalam kumpulan tulisan ini memiliki perspektif yang sangat beragam.
Hal ini disebabkan karena latar belakang ilmu mereka yang juga beragam,
sehingga mempengaruhi cara mereka memilih tema dan menuliskan tema itu.
Apa yang menarik adalah bahwa tema-tema yang mereka angkat adalah tema-
tema baru yang selama ini tidak banyak digarap oleh para sejarawan. Selain
itu, cara para penulis dalam kumpulan tulisan ini menarasikan tema yang
mereka angkat juga memunculkan perspektif baru dalam memahami sejarah
Indonesia.
Buku kumpulan tulisan ini patut disambut dengan hangat. Munculnya
para penulis non-sejarawan yang meminati sejarah sebagai tema tulisan patut
didukung, karena dengan demikian maka historiografi sejarah Indonesia tidak
lagi hanya bergantung pada produktivitas para sejarawan. Dengan bekal bekal
bimbingan teknis yang telah didapat oleh para penulis di dalam buku ini,
terlihat bahwa kualitas penulisan dari para non-sejarawan yang telah
mendapatkan bekal pengetahuan tentang metode dan penulisan sejarah tidak
berbeda dengan karya-karya sejarah yang ditulis oleh sejarawan. Lebih jauh
lagi, tema-tema sejarah yang dikemukakan dalam buku ini telah memberi
pemahaman baru bahwa sejarah Indonesia dapat ditulis dengan menggunakan
perspektif yang selama ini kurang dikembangkan oleh sejarawan Indonesia.

Bondan Kanumoyoso

vii
DAFTAR ISI

Sambutan Direktur Pembinaan Tenaga Dan Lembaga


Kebudayaan – v

Pengantar Tim Editor - vi


Hazmirullah
Asing di Telinga, Bukan untuk Dilupakan: Kabupaten-Kabupaten Lama di
Priangan pada Abad XVII hingga XIX - 1

Mushab Abdu Asy Syahid


Membangun Pinggiran, Menyangga Ibukota: Arsitektur dan Infrastruktur Kota
Tangerang di Masa Kolonial Abad 18-20 - 55

Bayu Amde Winata


Nadi Sumatra yang Terlupakan: Pekanbaroe 1800 – 1950 - 97

Dewi Diana Saraswati


Rumah Tahanan (Rutan) Kebonwaru Sebagai Penanda Kota Bandung: Sejarah
Bangunan 1927 – 1990 - 131

Lailatul Dzikriyah
Modernisasi Kota Baja: Pt Krakatau Steel 1970-2005 - 171

Novita Anggraini
Manggarai; Kota Kereta, Pengendali Banjir, hingga Lapak Prostitusi - 209

Sandy Suseno
Benteng Wolio: Supremasi Kekuatan Maritim Kesultanan Buton di Nusantara
Bagian Timur pada Abad 16 -17 - 253

Ulil Abshor
Menelusuri Jejak Maritim di Jungpara - 295

Afiliasi Ilafi
Peran Pabrik Gula Sumberharjo dalam Perkembangan Sosial Ekonomi Tahun
1998 – 2018 – 337

viii
Yogi Fitra Firdaus
Antara Peranakan dan Totok: Pengaruh Nasionalisme Tiongkok dalam
Kelompok Kristen Tionghoa di Jawa Barat Tahun 1900-1940 - 379

Muhammad Sarip
Kerajaan Martapura Dalam Literasi Sejarah Kutai 400–1635 - 423

Ahmad Anfasul Marom


Legacy Pathok Negoro: Melacak Jejak Politik dan Agama Kasultanan Yogyakarta
(1755-1830) - 481

Heri Kusuma Tarupay


Petruk Jadi Ratu: Periode Revolusi di Karesidenan Surakarta dalam Serial
Gagaklodra 1948 - 563

Resty Sartika Dewi


Kerajaan Islam Sintang - 603

Dara Alfira
Menelusuri Jejak Sejarah Sultan Iskandar Muda di Negeri Meureudu
Kabupaten Pidie Jaya Aceh - 649

Rai Saputra
Sejarah Pemikiran Ekonomi Sultan Muhammad Kaharuddin III
(Periode 1931 – 1958) - 691

Pramukti Adhi Bhakti


Rumah Makan Madrawi Peran dan Kiprahnya di Bandung Tahun 1890-1987
- 723

Uus Rustiman
Karel Albert Rudolf Bosscha 1865-1928 : Tokoh Motivasi & Inspirasi Bagi
Masyarakat Pangalengan Bandung Jawa Barat - 753

Festa Kurnia Ramadhani


Sudarmini Sang Penebas: Potret Perempuan Penebas Padi di Pedesaan Klaten
(1960-an Sampai 1990-an) – 781

Muhammad Yusuf
Arung Palakka dalam Perspektif Indonesia - 831

ix
MEMBANGUN PINGGIRAN, MENYANGGA IBUKOTA:
ARSITEKTUR DAN INFRASTRUKTUR KOTA TANGERANG DI MASA KOLONIAL
ABAD 18-20

Oleh
Mushab Abdu Asy Syahid

LATAR BELAKANG
Berbagai teori baru dalam ilmu perkotaan terus berupaya merumuskan jenis,
model, karakter, morfologi fisik, hingga citra dan identitas kota-kota di
Indonesia. Bermacam label seperti Third World, Global South, dan near-South
mencoba untuk menggambarkan proses dinamis yang terus berlangsung di
kota-kota pada negara berkembang (Simone, 2014: 1-2). Studi semacam ini
tidak terlepas dari penggunaan konsep dualisme inti/pusat (core atau center)
dan pinggiran (periphery) yang dianggap eksis pada kota dan negara. Hal ini
tercermin pada hadirnya pembagian jenis negara maju dan negara
berkembang, hingga formasi kota inti dan kota pinggiran yang digaungkan
sejak era teoretisi perkotaan John Friedman (1966).
Di sisi lain, pesatnya pertumbuhan kota-kota modern di dunia saat ini
kerap membuat sebuah kota sukar dipahami secara jelas, apalagi hanya
dikurung ke dalam satu teori-konsep yang solid dan definitif. Proses interaksi
global dan lokal yang intensif juga mencairkan dualisme pusat-pinggir dan
global-lokal. Kita jadi bertanya apakah sekian rumus ini mampu
mempertahankan citra fisik dan identitas kota (kalau ada), serta menjawab
tantangan kiwari dan masa depan.
Akan tetapi, mempelajari bidang ilmu sejarah kota untuk memahami
lingkungan binaan kita hari ini masih sangat relevan, karena sebuah identitas
kota terbentuk dari lapisan kesinambungan waktu yang membawa berbagai isu
laten yang eksis sejak awal kehadirannya. Dalam kerangka dualisme ruang kota
pusat dan pinggir, arah pembangunan di daerah pinggiran seringkali
merupakan hasil kontestasi, negosiasi, hingga pemaksaan yang berlangsung di
ibukota yang lebih dominan alih-alih menentukan nasibnya sendiri yang
terbawa sejak masa lampau. Daerah perbatasan menjadi target pembangunan

55
pusat sebagai distribusi kekuasaan dan modal hingga hegemoni dalam
menerapkan kebijakan tertentu. (Aschroft, et. al, 2007)
Fenomena “pusat” dan “pinggir” di Indonesia dapat diamati dari
contoh populer seperti dikotomi antara Pulau Jawa dan luar Jawa yang
menunjukkan ketimpangan pembangunan infrastruktur, ekonomi dan sosial-
budaya nasional. Dalam skala lebih kecil, Jakarta sebagai ibukota mengalami
problem yang mirip dengan wilayah kota pinggiran (hinterland) sekitarnya,
seperti Tangerang, Bogor, Depok, dan Bekasi. Kota-kota ini menjadi wilayah
penyangga yang mendukung pembangunan ekonomi, sosial, dan politik
ibukota sejak jaman Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, bahkan juga masih
‘dibayang-bayangi’ Jakarta di masa kini. (Irsyam, 2017).
Di masa pascakemerdekaan terutama periode pascareformasi setelah
tahun 1998, banyak kota pinggiran yang telah bermekaran dan menjadi kota-
kota yang maju dan independen seiring implementasi kebijakan otonomi
daerah. Kemajuan itu juga menghadirkan beragam masalah dan tuntutan baru
seperti kebutuhan untuk mengonstruksikan dan memperkuat kekhasan,
identitas dan citra kota, salah satunya melalui penyusunan narasi historiografi
yang disusun secara independen demi mengabsahkan eksistensi kota tersebut
sejak masa lampau.
Berbagai upaya menemu-kembali peninggalan masa lampau seperti
warisan budaya benda dan tak-benda, pengangkatan kisah para tokoh pejuang
heroik di daerah, penulisan kembali peristiwa-peristiwa sekitar, serta adat-
istiadat dan budaya lokal dirayakan dan difasilitasi. Para pemangku kebijakan
di Pemerintah Daerah wilayah Jabodetabek pun turut menyoroti kepentingan
ini, dan memberikan perhatian khusus melalui berbagai perangkat regulasi dan
tindakan pelestarian sesuai Undang-Undang Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010.1

1
Hal ini dapat kita amati dari kebijakan Pemerintah Kota Depok dan Bekasi yang
baru membentuk Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) masing-masing di tahun 2019 dan 2020 untuk
menyelenggarakan studi dan rekomendasi penetapan terhadap Objek Diduga Cagar Budaya
(ODCB) menjadi Cagar Budaya. Kota-kota lain telah menyusun Peraturan Daerah (Perda) yang
khusus mengatur pelestarian Cagar Budaya; antara lain Perda Kota Tangerang No. 3 Tahun
2018 dan Perda Kota Bogor No. 17 Tahun 2019. Pemerintah Kota Tangerang Selatan juga
tengah giat bekerja sama dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten dalam program
inventarisasi beberapa bangunan tua peninggalan Hindia-Belanda di wilayahnya untuk
dilestarikan. Adapun Kabupaten Bekasi sempat mengadakan sertifikasi mandiri untuk

56
Sayangnya, kesadaran ini tidak benar-benar diiringi oleh keseriusan
mengkaji sumber informasi sejarah, sehingga banyak aspek tidak tergali
dengan baik akibat kurangnya kedalaman terhadap kajian sejarah kota yang
komprehensif. Hal tersebut berdampak pada substansi kebijakan yang
normatif dan teknis tanpa memiliki landasan historis yang kuat mengapa suatu
obyek dinilai penting bagi pembentukan identitas kota dan pengaruhnya
terhadap pendidikan, sosial, dan ilmu pengetahuan, selain karena faktor
pertimbangan usia.
Masalah ini contohnya terlihat pada Daftar Bangunan/Benda dan
Kawasan Cagar Budaya yang disusun di dalam Lampiran Peraturan Daerah Kota
Tangerang No. 3 tahun 2018 tentang Cagar Budaya. Daftar ini banyak
memasukkan nama obyek benda dan bangunan yang belum jelas tingkat
signifikansinya, bahkan mungkin tidak dikenal oleh masyarakat banyak. Melalui
obrolan ringan baru-baru ini, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan kota ini
pun mengakui kebingungan ketika hendak mencari keunikan dan kekhasan
lokal yang bisa merangkum jati diri dan budaya asli dari kota ini, kalau yang
‘asli’ tersebut memang benar-benar ada.
Ditambah lagi, warisan arsitektur benteng yang berperan vital dalam
membentuk citra “Benteng” bagi kota ini juga telah lama hilang akibat
penghancuran dan pengabaian, yang secara tidak langsung seolah-olah
Tangerang kehilangan identitasnya sendiri (Syahid & Kurniawan, 2018).
Warisan teknologi semacam bangunan benteng, dan juga peninggalan lainnya,
perlu dilihat keterkaitan historisnya terhadap posisi Tangerang sebagai wilayah
batas dan pinggiran di antara Jakarta dan Banten.
Oleh sebab itu, pada tulisan ini saya tertarik untuk mengangkat sejarah
pembangunan kota dan arsitektur di kota Tangerang sebagai daerah pinggiran
yang menyokong kebutuhan ibukota Jakarta yang tercermin terutama di masa
kolonial abad 18-20. Toponimi “Tangerang” sendiri ditengarai berasal dari
aksara Sunda, tanggeran atau tatengger, yang bermakna tanda atau tugu.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi III, tengger juga berarti
tegak, kokoh, diam, seperti halnya tugu (Pusat Bahasa, 2017).

pembentukan calon anggota TACB, tetapi hingga tulisan ini selesai dibuat, rencana tersebut
tidak lagi terdengar.

57
Sebuah tugu tanda yang dimaksud konon memang pernah didirikan di
wilayah Grendeng di sisi barat Sungai Cisadane untuk membatasi wilayah
kekuasaan Kesultanan Banten dan teritori maskapai dagang VOC Batavia di
abad ke-17. Sebuah tengeran yang sejak awal membawa takdir dan fungsinya
sebagai sebuah pembatas ini lantas mengonstruksikan citra Tangerang sebagai
daerah perbatasan dan pinggiran, pun juga menjadi tempat tinggal bagi
penduduk multietnis yang menghuni pinggiran luar kota, seperti komunitas
etnis Betawi Ora yang sering diasosiasikan dengan Betawi pinggiran (De
Bevolking van de Regentschappen Batavia, Meester Cornelis en Buitenzorg,
Maret 1933: 10), hingga orang-orang Cina Benteng yang dipandang marjinal
karena sudah tidak memiliki darah murni keturunannya dibandingkan Cina
Totok maupun Cina Peranakan lainnya yang tinggal di kota-kota besar.
(Purwanto, 2012)
Sumber klasik seperti Babad Sunda Tina Layang Parahyang tahun 1407
yang dikutip oleh Geocities (2005), Edi Purwanto (2012), Ravando (2014), serta
catatan perjalanan kenamaan Tome Pires, Suma Oriental (1511-1515)
menyebutkan bahwa Sungai Cisadane di Tangerang sejak abad 15-16 telah
berperan sebagai jalur transportasi kapal kargo dan jung yang berasal dari
berbagai penjuru negeri seperti Melayu, Portugis, Jawa, hingga kaum Tionghoa
yang selanjutnya dikenal dengan sebutan konotatif “Cina Benteng”.
Sebelum masuknya VOC, awal mula pembentukan pusat kota
Tangerang diduga berkembang dari sebuah area Kampung Muara di ujung hilir,
serta Kampung Kalipasir di tengah bentangan aliran Sungai Cisadane. Hulu
sungai ini berasal dari anak-anak sungai di Bogor hingga menghilir di Tanjung
Burung. Wilayah tepi sungai ini berfungsi sebagai tempat transit dan transaksi
kapal-kapal dagang sebagaimana kota tepi sungai pada umumnya.
Tangerang juga menjadi satu dari enam pelabuhan dagang
internasional yang penting di bawah Kerajaan Sunda (Pakuan Pajajaran) pada
abad 15-16; selain juga Sunda Kelapa, Banten, Pontang, Cigede, dan Cimanuk.
Wilayah ini hidup karena aktivitas perekonomian yang membentuk area
permukiman, perkebunan, dan pasar penduduk multietnis di Kampung
Kalipasir. Komoditas jual-beli utamanya antara lain beras, merica cochin, cabai
Jawa, daging, hewan, buah-buahan, sayuran, dan bermacam jenis kain.
Seorang penjelajah berkebangsaan Belanda bernama Cornelis de
Bruijn yang melewati pos Benteng Tangerang sekitar tahun 1701-1706

58
mencatat bahwa Cisadane memiliki aliran deras untuk rakit bambu membawa
hewan dan sayuran. Tangerang juga telah memiliki struktur kota yang baik dan
dipimpin seorang kapten (paybou atau prabu) sebagai tokoh masyarakat
(Cortesão, 1944: 166-171). Hingga pada 28 Januari 1611, VOC Belanda masuk
ke Tangerang melalui perjanjian yang meminta izin pada Pangeran Jayakarta
untuk membangun pondok (loge) dan pabrik (factorie) di sebuah wilayah di
timur Sungai Cisadane. (Gerlach, 1859)
Di antara keenam pelabuhan di Sunda, Banten dan Sunda Kelapa
menjadi dua kota pelabuhan terbesar yang mengapit pelabuhan Tangerang
yang diduga berada di Kampung Muara, Teluk Naga. Keduanya terus
berkembang bahkan ketika masing-masing dikuasai oleh Fatahillah (Kota
Jayakarta) serta Syarif Hidayatullah dan Maulana Hasanudin (Kesultanan
Banten) sebagai pengaruh politik dari Demak dan Cirebon pada tahun 1527.
Meskipun pelabuhan Tangerang tergolong penting, pola tatanan fisik kota ini
tidak mirip dengan karakteristik kota tradisional lainnya di pulau Jawa.
Hasil penelusuran saya dalam membaca peta Tangerang abad 18-21
tidak dapat menemukan adanya keraton, masjid agung, atau alun-alun sebagai
elemen terbuka di pusat kota. Tangerang sejak awal tidak benar-benar
dibangun sebagai ‘kota pelabuhan sentral’, karena Sungai Cisadane dijadikan
sebagai pembatas geografis alami antara dua wilayah kekuasaan Kesultanan
Islam setelah era Kerajaan Sunda-Padjajaran. Kampung Muara dan daerah
Teluk Naga yang diduga merupakan asal muasal kedatangan etnis Tionghoa di
Tangerang saat ini sayangnya juga tidak menyisakan artefak arkeologis dan
bukti peninggalan sejarah berarti.

RUMUSAN MASALAH
Dari apa yang telah saya jabarkan di atas, saya menggarisbawahi
perlunya melakukan kajian yang lebih komprehensif terhadap sejarah
perkembangan kota Tangerang khususnya pada masa kolonial sepanjang abad
18-20, karena pada periode tersebut berlangsung berbagai pembangunan
teknologi dan infrastruktur kota besar-besaran yang bukan atas kebijakan
politik penguasa setempat, namun justru atas kehendak penguasa kolonial
Eropa di Batavia untuk menyangga keperluan ibukota. Bingkai penulisan
sejarah kota Tangerang selama ini akhirnya selalu menceritakan besarnya dua

59
pusat kekuasaan di antara kota ini (Banten dan Batavia) yang mengakibatkan
kurangnya karya historiografi yang secara produktif menceritakan tentang
Tangerang itu sendiri secara merinci dan mendalam.
Teknologi arsitektur dan infrastruktur kota tidak terlepas dari konteks
politik, ekonomi, sosial, dan budaya pada masa ia dibangun. Selain berfungsi
secara teknis, struktur-struktur ini juga berperan membangun citra dan
identitas kota sebagai laboratorium inovasi dan penanaman nilai-nilai
modernitas kolonial di wilayah pinggiran. Dominasi pusat kolonial memang
terus berubah wujud dan pendekatan di setiap jamannya, yang tercermin dari
objek fisik bangunan yang didirikan. Tetapi sebenarnya pembangunan itu
memiliki pola dan motif yang sama untuk menjadikan pinggir sebagai
penyangga dan pemenuh kebutuhan ibukota.

RUANG LINGKUP MASALAH


Pada tulisan ini, saya hendak mendeskripsikan sejarah singkat kota
Tangerang melalui kajian terhadap beberapa contoh teknologi arsitektur dan
infrastruktur kota yang dibangun sepanjang abad 18 hingga abad 20. Saya
menduga bahwa melalui aktivitas pendudukan, pengawasan, dan pelayanan,
hadirnya implementasi teknologi arsitektur dan infrastruktur kota yang
dibangun oleh penguasa kolonial berkontribusi besar dalam kepentingannya
mengonstruksikan citra pinggiran dan fungsi penyangga pada daerah
Tangerang. Sudut pandang intelektual lokal tentu berperan penting dalam
merefleksikan sejarah dan kebudayaan daerahnya sendiri.
Teknologi yang saya maksudkan pada tulisan ini lebih merujuk kepada
obyek-obyek material fisik yang paling konkret, yang dalam beberapa contoh
akan dibongkar sistem pengoperasiannya dalam menyukseskan program
koloni Eropa di tanah pinggiran. Di samping itu, teknologi sebagai sebuah
“metode” juga berpotensi menggambarkan cara pandang masyarakat koloni,
cara menata kehidupan mereka, sistem administrasi pemerintahan, dan aspek
lain yang lebih luas yang berpengaruh dalam membentuk semangat
kebudayaan (culture), sense akan bangsa (nation), serta jati diri (identity)
pascakolonial. (Mrázek, 2002)
Saya akan mengambil beberapa objek material yang menonjol dan
berdampak signifikan terhadap perkembangan kota. Sebagian fasilitas ini

60
masih dapat ditemukan dan berfungsi, antara lain lembaga pemasyarakatan
(penjara) sejumlah tiga buah; serta Bendungan Pasar Baru lengkap dengan
struktur pintu air inlet-outlet. Selain itu, terdapat infrastruktur yang telah
dikembangkan, seperti jalan raya dan stasiun kereta api. Keberlanjutan
eksistensi sejak jaman kolonial menjadikan beragam fasilitas ini sebagai
warisan sekaligus "beban sejarah" yang tidak dapat terbagi-bagi ke dalam
suatu lingkup spasial-temporal yang sempit belaka.
Benteng dan pos pengawasan di Tangerang, di sisi lain, meskipun
artefak fisiknya sudah tidak lagi tersisa tetap saja tidak bisa diabaikan dari
pembahasan ini, karena kehadiran struktur benteng berperan esensial dalam
pembentuk citra kota Tangerang, yang memorinya terpatri kuat dan masih
terbayang-bayang di masyarakat. Arsitektur benteng telah menjadi landmark
akumulatif atas agenda-agenda pengawasan VOC terhadap aktivitas
perniagaan di antara hulu hilir Sungai Cisadane hingga kebun dan pabrik-pabrik
gula tebu di pinggiran Batavia.
Obyek arsitektur dan infrastruktur kota yang akan disebutkan di tulisan
ini yaitu: (1) arsitektur benteng dan pos pengawas sepanjang abad 17-18 ketika
VOC berkuasa; serta infrastruktur kota seperti (2) jalur transportasi kereta api
dan jalan raya; (3) sistem irigasi bendungan dan pintu air; hingga (4) fasilitas
penjara di abad 19-20 selama Tangerang di bawah kekuasaan Pemerintahan
Kolonial Hindia-Belanda.

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN


Tulisan ini berusaha memperkecil jurang kepenulisan sejarah
perkembangan kota dan pembangunan teknologi arsitektur di Tangerang. Akan
tetapi, perlu dicatat bahwa tulisan ini tidak serta merta hendak menguatkan
eksistensi dualisme pusat dan pinggir di daerah, yang hal tersebut malah
membentuk wacana kontraproduktif karena itu berarti mengamini apa yang
dikehendaki oleh penguasa kolonial terdahulu.
Upaya ini justru menjadi salah satu upaya retrospektif penulis dalam
menggali sebab-sebab pembentukan konstruksi daerah pinggiran akibat
agenda-agenda kolonialisme, membongkar strategi dan motif-motif di balik ide
tentang pembangunan, sehingga menjadi modal untuk merenungkan kembali
citra dan identitas dengan ada dan/atau tiadanya teknologi tersebut di ruang

61
kota, serta menjadi bekal dalam mencari suatu pemahaman alternatif tentang
sejarah kebudayaan dan identitas kota di Indonesia pada umumnya.

KAJIAN PUSTAKA
Kajian sejarah mengenai Tangerang lebih banyak berorientasi dan
berfokus pada wilayah sekitar Jakarta dan Pulau Jawa lebih luas, seperti Gerrit
Knaap (2007) dan Peter J.M. Nas. Gerrit Knaap (2007) mempelajari dengan baik
arsip-arsip peta dan cetak biru bangunan-bangunan VOC di abad 17-18 di
seluruh penjuru Pulau Jawa dan Madura, di antaranya juga menyinggung
tentang daerah Tangerang. Knaap (2007) menyediakan berbagai informasi
mendasar terkait perkembangan awal kota, tapi tidak menjelaskan lebih
merinci bagaimana dinamika sosial, selain juga lebih menekankan Tangerang
sebagai bagian dari ibukota Batavia.
Sejauh yang saya temukan, belum ada historiografi yang membahas
secara komprehensif mengenai sejarah lingkungan binaan di Tangerang pada
masa kolonial, meskipun Tangerang seringkali disinggung dalam historiografi
kolonial yang berpusat pada Batavia. Beberapa karya ilmiah tentang Tangerang
antara lain skripsi S-1 Herwin Sumarda (1982) dan tesis Ravando Lie (2014)
yang berfokus pada Masa Revolusi tahun 1946-1949. Wahidin Halim (2005)
pernah menulis buku sejarah Tangerang, meskipun sumber-sumber
informasinya patut dipertanyakan.
Penelitian sejarah dan ilmu sosial-budaya terkini tentang Kota
Tangerang seperti Mona Lohanda (2000) dan Treshnawaty (2015) masih
berfokus pada komunitas Cina Benteng sebagai kelompok etnis yang dianggap
"unik" sekaligus juga menjadi kelompok minoritas di kota pinggiran sejak
Batavia, akan tetapi dinamika dan kondisi lingkungan binaan tempat mereka
hidup jarang dijelaskan merinci, serta peran kelompok masyarakat etnis lain di
kawasan pusat kota pada masa lampau tidak benar-benar terwakilkan.
Dengan demikian, memang belum banyak kajian sejarah yang
membahas teknologi arsitektur dan infrastruktur kota Tangerang secara
khusus di masa kolonial. Lebih banyak kajian sejarah arsitektur dengan etnis
atau agama tertentu, seperti Arsitektur Rumah Betawi Ora di Tangerang
Selatan (Kusumawardhani, 2012). Hendola & Priadi (2017) dan Lukito & Syahid

62
(2017) juga menggali sejarah Masjid Jami Kalipasir, bangunan ibadah muslim
pertama di pusat kota.
Berbagai tulisan populer di berbagai kanal informasi belum digarap
serius karena kualitas data dan informasinya memiliki kredibilitas yang rendah
akibat sumber aslinya yang tidak bisa dilacak lebih lanjut, atau hanya mengutip
dari sumber sekunder lainnya.
METODE PENELITIAN
Saya melakukan penelitian sejarah lingkungan binaan di kota
Tangerang dengan mengikuti kaidah metode heuristik yang dilengkapi dengan
aktivitas kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Pendekatan multidisiplin
dan kerangka pascakolonialisme juga menjadi pisau analisis saya dalam
membaca peristiwa dan motif pembangunan di wilayah pinggiran, sehingga
tulisan ini sedikit banyak meminjam kerangka pengetahuan dari bidang ilmu
pascakolonial, arsitektur, serta perkotaan.
Saya banyak memanfaatkan koleksi peta kolonial dalam menghasilkan
data penelitian ini, mengingat aktivitas kartografi atau pemetaan di jaman
kolonial adalah salah satu praktik dominasi yang mencerminkan konstruksi dan
persepsi pembuatnya dalam mengklaim tanah jajahan, sehingga juga
digunakan sebagai alat pedoman yang efektif menentukan hierarki pusat dan
pinggiran, serta proses pendudukan, eksploitasi, dan kendali atas koloni.
(Aschroft, Griffith & Tiffin, 2000: 28-30) Pembacaan terhadap sumber-sumber
informasi primer berupa peta-peta lama sangat membantu dalam memahami
pandangan dan persepsi penguasa kolonial.

SUMBER SEJARAH
Penelitian ini lebih banyak mengandalkan koleksi digital berbagai jenis
sumber sejarah. Sumber primer antara lain terdiri dari arsip-arsip hasil
pindaian digital mengenai kebijakan regulasi pemerintah daerah yang meliputi
Surat Keputusan (SK) dan Peraturan Daerah (Perda). Selain itu, melakukan
penulisan sejarah juga dapat dilakukan secara efisien dengan memanfaatkan
fasilitas Big Data berupa koleksi digital yang tersedia dan dapat diakses secara
daring dan terbuka.
Beragam sumber primer seperti arsip tekstual, peta-peta, sketsa, cetak
biru (blue-print), dan koleksi foto periode kolonial Hindia-Belanda saya

63
temukan dan kumpulkan dari situs-situs berdomain publik, antara lain Atlas of
Mutual Heritage; Universitaire Bibliotheken Leiden; Koninklijk Instituut voor
Taal-, Land- en Volkenkunde atau KITLV; Tropen Museum; Delpher;
Rijksmuseum Amsterdam; Nederlandsche Fotomuseum; Colonial Architecture
& Town Planning; Koleksi F. de Haan dalam Arsip Nasional Republik Indonesia
(ANRI); Khazanah Pustaka Nusantara Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia dan lain-lain.
Melalui Delpher, saya mendapatkan beragam jenis sumber informasi
primer di masa kolonial, seperti buku, jurnal ilmiah Hindia-Belanda, majalah,
koran/surat kabar, dan buletin radio. Sumber sekunder lainnya dari beragam
penyedia seperti buku, book chapter, artikel jurnal, prosiding temu ilmiah, dan
kanal informasi daring seperti berita populer dengan tingkat kredibilitas tinggi
saya dapatkan secara open access atau langganan berbayar.
Laporan dan hasil penelitian tugas akhir berupa skripsi S-1, tesis
magister S-2, dan disertasi doktor S-3 dari institusi perguruan tinggi seperti
Universitas Indonesia (UI) dan University of Leiden juga menjadi sumber
informasi ilmiah yang mendukung kelengkapan data, baik yang telah maupun
yang belum diterbitkan dengan tetap melalui proses kritik sumber.

PEMBAHASAN
Tulisan ini akan dibagi ke dalam beberapa bab sesuai dengan periode.
Saya akan membaginya ke dalam tiga periode; antara lain (1) Periode
Pendudukan Awal, yang menggambarkan konfrontasi awal dengan maskapai
dagang VOC Batavia yang berlangsung sepanjang abad 17, (2) Periode
Pengawasan, yang diimplementasikan oleh VOC sebagai kelanjutan dari
pendudukan dan Pemerintahan Hindia-Belanda di abad 18-19, hingga (3)
Periode Pelayanan, yang diwakili dengan pembangunan fasilitas irigasi,
lembaga pemasyarakatan di pertengahan abad 19 hingga awal abad ke-20.
Pembagian tahap ini tidak benar-benar berdasarkan pada kurun waktunya
secara kronologis dan terpisah dengan baku.

64
PENDUDUKAN AWAL DAN UPAYA MENGUASAI PINGGIRAN BATAVIA

Sewaktu Tangerang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banten,


kedatangan Verenigde Oost-Indie (VOC) telah memicu konflik ekonomi dan
politik yang kompetitif dalam mendominasi pasar dan teritori, sampai akhirnya
VOC membumihanguskan Jayakarta di tahun 1619. Setidaknya ada dua tahap
awal VOC merebut wilayah Tangerang, yaitu di antara tahun 1682-1684 dan
tahun 1752-1774. Tahap pertama terjadi ketika perang VOC dan Banten di
tahun 1682-1684.
VOC memanfaatkan konflik internal antara Sultan Ageng Tirtayasa
(1631-1692) dan anaknya, Pangeran Sultan Haji yang menghasilkan
kesepakatan untuk menggeser teritori Banten sampai separuh distrik Kampung
Grendeng (Knaap, 2007: 223-229). Pangeran Soegiri (1673), seorang putra
Sultan Ageng yang lain, kemudian mendirikan sebuah tugu (tanggeran atau
nanggeran) berinskripsi aksara Arab Jawi di kampung ini sebagai saksi bisu
yang menuturkan perjuangan kaum muslim di Bumi Parahyang. Tugu ini juga
berfungsi menjadi batas wilayah kekuasaan Banten dan Batavia. (DKM Jami
Kalipasir, 2016)
Tahap kedua perebutan wilayah berlangsung di tahun 1747 ketika
Gubernur-Jenderal Baron van Imhoff menerapkan kebijakan unilateral
annexation di wilayah sekitar Batavia (Ommelanden). VOC kembali mencaplok
lahan sejauh 600 roeden (2,2 kilometer) ke arah barat Sungai Cisadane yang
akhirnya memaksa Banten menyerahkan seluruh distrik Grendeng (Nationaal
Archief, 4. VMF 849.14, 1778). VOC juga mengklaim ini telah disepakati “kedua
delegasi yang ditunjuk bersama” (Knaap, 2007: 223-229). Hal ini semakin
berjalan mulus dengan keterlibatan VOC di perang perebutan tahta di
Kesultanan Banten yang memecah belah kekuatan bumiputera dan
menguatkan peran VOC (Ota, 2003). Pencaplokan teritori ini lantas juga
disambut dengan perjuangan rakyat Tangerang di tahun 1747 yang dipimpin
Kyai Tapa dan Ratu Bagus Buang di sekitar 6 kilometer barat Sungai Cisadane.

65
Perbandingan batas wilayah Tangerang antara Banten dan Batavia
Sumber: Bibliotheque Nationale de France, DCP SH PF 192 DIV2 P13, 1774

Di kedua tahap inilah koloni Eropa menggunakan teknik dan metode


baru dalam membagi wilayah kekuasaan di Hindia Timur, yaitu dengan cara
mengganti tradisional yang berpatokan pada bentang geografis alami seperti
sungai, gunung, atau hutan menjadi pengukuran geometris yang mendudukkan
batas alam secara baku dan rasional. Batas teritori baru telah membelah
Banten, Batavia, dan Buitenzorg secara garis lurus jika dilihat dari peta Pulau
Jawa tahun 1774. Penguasa kolonial mendefinisikan aspek teritorialitas di
tanah jajahan dengan menggunakan aparatus modern (colonial modernity)
berupa kartografi dan geometri. (Bibliotheque Nationale de France, DCP SH PF
192 DIV2 P13, 1774)
Wilayah sebelah barat Batavia disebut juga sebagai westerwijk
(“western quarter”) atau westelijke Ommelanden yang terbentang dari Kali
Krukut hingga Tangerang sebagai perbatasan Banten. Wilayah ini juga meliputi
daerah Cikande setelah Daendels menguasai Banten tahun 1808 (ANRI, K26).
Masyarakat Betawi, Sunda, Jawa, dan Tionghoa telah bertinggal di sini sebelum
VOC datang, tetapi setelah VOC mengusir mereka, para pendatang baru
memerlukan izin tinggal. Kelompok yang loyal terhadap Kompeni seperti
aliansi militer atau mantan budak diberikan lahan kampung secara khusus ,
seperti Bugis-Makassar, Ambon, Jawa, Bali, dan Melayu.

66
Adapun tercatat di arsip Dagh Register 4 Maret 1680, keturunan
Soetadilaga I-VII ditunjuk sebagai seorang regent (bupati) di Tangerang dan
diberi gelar “Aria van Tangerang” secara turun-temurun (1684-1809),
meskipun informasi ini memunculkan anakronisme sejarah apabila
dibandingkan dengan sumber lisan hikayat Nyukcruk Galur Mapay Patilasan
(DKM Jami Kalipasir, 2016). “Aria” sendiri merupakan gelar pemimpin lokal
yang berada di bawah kendali Belanda. (Bataviaasch nieuwsblad, 1913)
Komunitas orang Tionghoa “Cina Benteng” juga berkontribusi
mengaktifkan aktivitas jual-beli di pasar pelabuhan. Populasi mereka
meningkat di Tangerang terutama setelah huru-hara dan pembantaian orang
Tionghoa di Batavia tahun 1740, yang menjadikan mereka diaspora ke daerah
pinggiran (Vermeulen, 2010: 136-137). Tindakan containment yang membagi
tempat tinggal masyarakat berdasarkan etnisnya serta aktivitas militer dan
ekonomi menyebabkan VOC perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap isu
keamanan di wilayah kekuasaannya, terutama di daerah pinggiran.

POS-POS BENTENG YANG MENGINTAI PINGGIRAN


Tangerang saat ini sering dikenal dengan sebutan Kota “Benteng”. Hal
ini memang dikarenakan terdapat beberapa jenis bangunan benteng yang
didirikan di tepi hulu, tengah, dan hilir Sungai Cisadane yang difungsikan
sebagai pos-pos pertahanan militer sejak tahun 1684. Benteng-benteng
tersebut antara lain pos Ciampea dan Westergouw di hulu; pos Quala di hilir;
dan pos Tangerang di antara keduanya jika mengacu pada peta wilayah barat
(westerwijk) Batavia di tahun 1752-1774 dan peta Otto Frans Nicolaas Marci di
tahun 1770. (ANRI, K29)
Pada tahun 1701-1706, seorang pengelana bernama Cornelis de Bruijn
pernah melewati pos Tangerang yang berlokasi di dekat pertemuan kanal
Mookervaart dan Sungai Cisadane, seraya melukiskan kondisi lingkungan
sekitarnya (Rijksmuseum, RP-T-1964-352; 353; & 359). Menurut sketsa yang
Bruijn gambarkan, struktur pos ini pada awalnya hanya berbentuk bangunan
sederhana yang didirikan dengan fitur tembok berbahan dasar tanah (earth
work ) dan pagar -pagar kayu runcing semi -permanen (palisade ). Pos ini juga
telah memiliki menara pengawas (ronduyt) yang lebih menghadap jalur sungai
dan mampu mengawasi aliran Sungai Cisadane yang menjadi batas
teritori dengan Banten.

67
Karena situasi yang masih bersitegang di perbatasan antara kolonial
dan rakyat Banten terutama di Grendeng, pos ini kemudian dirancang kembali
menjadi benteng yang lebih kokoh di tahun 1708-1709 untuk berjaga-jaga
terhadap potensi kerusuhan di masa depan. Ukurannya diperbesar dan
diperkuat menggunakan batu bata berdinding setebal 20 kaki, dan proses
pembangunan renovasi dilakukan oleh para serdadu Bugis dan Makassar
bawaan VOC, sehingga benteng ini juga dikenal sebagai “Benteng Makassar”.
(Knaap, 2007: 223-224)
Benteng Makassar atau Benteng Tangerang yang baru memiliki elemen
arsitektural baru berupa dua buah bastion yang menjorok ke sisi timur, yaitu
sisi di mana kebun-kebun kopi (caffei), lada (peper), dan tebu (zuyker) milik
penduduk Tionghoa dan etnis lainnya berada yang dimanfaatkan untuk
penggarapan tanah verponding hingga tanah partikelir. (ANRI, B40) Di dalam
tembok benteng yang besar ini diisi oleh beberapa unit bangunan dan fasilitas
yang cukup lengkap untuk para pasukan pengamanan bertinggal, antara lain
rumah tinggal komandan yang berdekatan dengan lokasi bastion; kantor pos
militer; rumah sakit; pabrik penyimpanan mesiu (powder mill); gudang
amunisi; hingga fitur lonceng sebagai penanda rutinitas bagi para serdadu.
(Nationaal Archief, 4. VEL 1218).

68
Sketsa Post Tangerang tahun 1706 dilihat dari sisi utara/timur laut karya Cornelis de
Bruijn. Sumber: Rijksmuseum Amsterdam, RP-T-1964-353

Rancangan Benteng Tangerang tahun 1708-1709 (kiri) dan kondisi benteng di tahun
1739. Sumber: Gerrit Knaap (2007) dan Atlas for Mutual Heritage

69
Peta wilayah barat Batavia sekitar tahun 1752-1774 yang menunjukkan sebaran
pabrik gula tebu (lingkar hitam) dan permukiman di sepanjang tepi Sungai
Cisadane, serta pos-pos benteng pertahanan yang ditunjukkan sesuai nomor urut
antara lain: (1) Pos Quala, (2) Pos Tangerang, (3) Pos Westergouw, dan (4) Pos
Ciampea. Sumber: ANRI K29, telah diolah kembali.

70
Sepanjang pertengahan abad ke -18 , tercatat beberapa kali
pemberontakan dan perang yang berlangsung sengit di sekitar Banten dan
Tangerang. Salah satu peristiwa penting di sekitar benteng ini adalah huru-hara
pemberontakan orang Tionghoa di tahun 1740, yang diawali dari kota tembok
Batavia hingga meluas ke wilayah -wilayah pinggiran . Mary Heidhues (2009 )
mengisahkan secara merinci mengenai pengalaman seorang perwira asal
Jerman bernama Johann Heinrich Schröder yang bekerja di bawah VOC sekitar
tahun 1736-1744.
Dari catatan perjalanan tersebut, Schröder mengaku menjadi
“pangeran kecil” yang mengatur dan bertanggung jawab terhadap pos Benteng
Tangerang. Schröder ditugaskan Gubernur-Jenderal VOC Adriaan Valckenier di
tahun 1739 memimpin pasukan yang terdiri dari 80 orang serdadu dan 1
pendeta atau domine. Mereka berasal dari Jawa, Bali, Makassar, dan Madura.
Para bekas serdadu ini kelak di masa selanjutnya banyak bermukim di area
lahan sekitar benteng dan membentuk komunitas Kampung Baru dan
Kampung Makassar. Kegiatan mereka sehari-hari di dalam benteng antara lain
menyediakan pasokan ransum dan melaporkan kegiatan pada pejabat tinggi di
Batavia secara rutin setiap pekan. Menurut Schröder, Benteng Tangerang
adalah tempat yang nyaman ditinggali, ditambah saat itu kota ini memiliki latar
pemandangan gunung yang indah. Setidaknya kesenangan itu ia rasakan
hingga pada bulan Oktober 1740 saat kerusuhan berlangsung 12 jam sejak
pemberontakan orang Cina di Batavia.
Para pemberontak yang sama-sama terdiri dari orang Cina berteriak
dengan membawa tombak dan merangsek pos penjagaan Benteng Tangerang,
serta berupaya menguasai pabrik bubuk mesiu di dalam benteng. Dari arah
dalam, Schröder mendengar dentuman meriam di kota, seiring berlangsungnya
serangan balik kepada para pemberontak setelah mereka berhasil dipukul
mundur keluar gerbang benteng.
Sejumlah meriam yang telah dipersiapkan oleh Schröder sebulan
sebelumnya serta meriam-meriam dari Garnisun Belanda ditembakkan ke arah
para pemberontak dan berhasil meluluhlantakkan mereka hingga jasad-jasad
bergelimang di tanah dalam jumlah yang besar. Meskipun jumlah orang-orang
Cina ini lebih besar daripada pasukan VOC, mereka kalah jauh dari segi
teknologi senjata.

71
Kota Tangerang saat itu sudah hancur dipenuhi kobaran api dan mayat-
mayat di Sungai Cisadane. Pabrik-pabrik pengolahan gula tebu juga hancur dan
akses makanan menjadi sulit. Sejak saat itu, Schröder diperintahkan VOC
untuk kembali ke Batavia dan menyerahkan tanggung jawab pos benteng
kepada seorang letnan lainnya.
Selain pos Benteng Tangerang yang menjadi landmark kota yang
utama, mekanisme kontrol terhadap lalu lalang para penduduk di perbatasan
dan aliran sungai juga dipantau ketat melalui pos penjagaan terdepan di ujung
bibir atau hilir Sungai Cisadane di Kampung Muara, Tangerang. Pos ini ditulis
dalam peta-peta lama dengan nama Quala, yang memiliki artikulasi yang sama
dengan kata quaal, qual, kwal, yang berarti “kuala” atau “muara”.
Pos Benteng Quala telah lama dibangun bersamaan dengan pos
Benteng Tangerang setidaknya sejak konflik dengan Kesultanan Banten di
tahun 1682 di sisi pesisir utara Banten. Pos ini berukuran lebih kecil dan
berbentuk yang lebih sederhana jika dibandingkan dengan Benteng Tangerang,
selain itu tembok pos quala juga dirancang tanpa elemen bastion, sehingga
lebih menekankan fungsi pengawasan lalu lintas ketimbang pertahanan militer
yang bersifat ofensif.
Meskipun demikian, pos quala tetap tersusun atas lapisan tembok
benteng yang diperkuat dengan adanya perluasan area serta modernisasi
bentuk dan material strukturnya seiring meningkatnya gelombang
pemberontakan rakyat Banten tahun 1750-1752 setelah huru-hara orang Cina
di Batavia. (Knaap, 2007: 223-229). Di dalam pos ini tersedia sedikit fasilitas
unit bangunan seperti rumah tinggal dan kantor militer untuk komandan
serdadu yang bekerja dan bertinggal di situ. (Nationaal Archief, 4. VEL 1219)
Pada masa selanjutnya, hasil survei yang dipimpin C.A. von Luepken
sekitar tahun 1762-1764 serta lukisan Johannes Rach tahun 1770-1772 dan
tahun 1775 menunjukkan kondisi benteng yang masih digunakan secara prima
dan terjadi pengembangan konstruksi dibandingkan dengan tahun 1739,
antara lain terlihat pada jalur perairan seperti kanal selokan berukuran kecil
yang mengelilingi kawasan sekitar benteng dan menyambung dengan Sungai
Cisadane . Adapun unit bangunan di dalam benteng tidak banyak mengalami
perubahan. (Perpustakaan Nasional RI BW 57 & BG 01)

72
Pos penjagaan quala tahun 1764 (kiri) dan Pos Benteng Tangerang tahun 1767 (kanan).
Sumber: Gerrit Knaap, Grote Atlas van VOC II

Pada peta-peta abad 18-19 buatan VOC pusat kotanya ditulis dengan
nama Veldschald yang berarti fieldwork atau “tanah garap” (ANRI, N3 & B111).
Tanah-tanah di pusat kota Tangerang memang kebanyakan dimiliki oleh orang
Cina Benteng. Mereka sejak awal juga telah menguasai bisnis pabrik
pengolahan gula tebu. Laporan tanggal 26 Juni 1739 menggambarkan wilayah
ini disebut sebagai milik 'Tuntiongqua' (atau “Tionghoa”).
Akan tetapi sebenarnya ada juga persil lahan yang dikelola oleh koloni
berkebangsaan Eropa tahun 1752 (ANRI, H76) serta kalangan bumiputera,
seperti Kampung Babakan milik Regent Cianjur yang menggarap kebun kopi
tahun 1804 (ANRI, G14). Lahan-lahan di tepi Sungai Cisadane juga banyak
difungsikan sebagai pabrik penggilingan tebu (zuykermolen); antara lain
Babakan, Parangkuda, Selapajang, Kedaung, Kampung Pisang, Teluknaga,
Kampung Melayu, hingga Lengkong. (ANRI, K29)

73
Lukisan yang menggambarkan situasi di dalam (atas) dan di luar (bawah) Benteng
Makassar di Tangerang sekitar tahun 1763-1772. Sumber: Atlas for Mutual Heritage

74
Aria Soetadilaga selaku bupati (regent ) atau “Aria van Tangerang ”
dan penguasa lokal di kota ikut berperan membantu VOC dalam mengawasi
lahan- lahan perkebunan di bawah kendali maskapai dagang pada abad ke-
18, khususnya pada tanah -tanah yang dimiliki oleh orang bumiputera . Pada
tahun 1798, Heemraden Batavia juga melaporkan bagian selatan Tangerang
ikut diawasi oleh Aria van Tangerang (ANRI , H2). Keluarga Aria sendiri
tinggal bersama penduduk muslim lainnya di sebuah kampung kecil di Kalipasir
dan hidup berdampingan dengan komunitas Cina Benteng.
Pada peta Tangerang tahun 1780, keluarga Aria Soetadilaga diduga
memiliki kandang ternak sapi serta telah membangun masjid jami yang masih
eksis hingga saat ini (Lukito & Syahid, 2017). Di dekatnya terdapat pasar yang
lapaknya didominasi koloni Eropa VOC bernama Engelhard yang disusul
kemudian oleh keluarga Aria , serta keluarga Lim dan Oey yang merupakan
anggota dewan Tionghoa (raden Chineezen) di Tangerang. (ANRI, H47)

MODA TRANSPORTASI DAN PERPINDAHAN SUMBER DAYA

Memasuki abad baru setelah bubarnya VOC, warisan fisik dan kultural
dari maskapai dagang ini kemudian dikelola oleh pemerintahan kolonial
Hindia-Belanda. Tanah-tanah di Tangerang banyak diperjualbelikan dan
dilelang Herman Willem Daendels selaku Gubernur-Jenderal. Pembelinya
antara lain orang Eropa dan Cina Benteng, seperti Pasar Baru yang dimiliki Von
Lutzow Amstelveen van Teisseire serta Land Gerendeng (ANRI, F16).
Menurut Mona Lohanda dalam liputan Mahandis Yoanata Thamrin
(2019), penjualan lahan-lahan VOC ini dilakukan sebagai upaya untuk
menghasilkan likuiditas demi mendanai kepentingan militer akibat
berlangsungnya Perang Napoleon. Opsir Cina tercatat banyak memiliki lahan di
Tangerang terutama di bagian timur dan utara seperti Teluk Naga, Selapajang,
Kedaung, Sepatan, Kramat, Kapuk, Tanjungburung, hingga Batuceper.
Warisan bangunan juga banyak ditinggalkan karena dirasa tidak cocok
dengan kebutuhan jaman, salah satunya ketika Daendels memerintahkan
penghancuran benteng dan tembok di wilayah Batavia dan sekitarnya.

75
Termasuk halnya di Tangerang, pos-pos benteng di tepi Sungai Cisadane
dihancurkan, dan pada era selanjutnya lokasi Benteng Tangerang secara
khusus dijadikan sebagai kompleks bangunan kantor Asisten Residen yang
mengatur wilayah afdeeling Tangerang. Fase ini menandai arah dan
pendekatan baru dalam menyelesaikan masalah pembangunan dan sosial-
politik di Hindia-Belanda.
Wilayah pusat Veldschans Tangerang di tahun 1819 telah memiliki
akses jalan perempatan di depan bekas bangunan benteng yang terus
menyambung ke pasar dan Kampung Makassar di bibir sungai Cisadane
dekat kanal Mookervaart . Perbaikan infrastruktur jalan ini berlangsung seiring
dengan kebijakan “napoleonik ” Daendels yang memerintahkan rakyat
bumiputera untuk membangun akses De Groote Post Weg atau Jalan Raya Pos
Anyer -Panarukan sepanjang 1808 - 1811 yang juga dipersiapkan melawan
rencana invasi Inggris (ANRI, B111).
Pergantian rezim dan arah kebijakan, termasuk juga lahirnya praktik
tanam paksa atau cultuurstelsel (1835 -1940 ) di abad ke -19 tetap saja
mengeksploitasi lahan jajahan dan rakyat bumiputera demi memakmurkan
pusat, sampai akhirnya dikeluarkan Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet)
oleh Engelbertus de Waal dan Undang -Undang Gula (Suikerwet ) tahun 1870
yang menghilangkan kewajiban penyetoran hasil bumi gula tebu, walaupun
pada faktanya praktik tanam paksa masih terus saja dilakukan.
Pembangunan jalan , jembatan , hingga transportasi kereta api
selama beberapa dekade ke depan membangkitkan arus lalu -lintas hasil
pertanian dan perkebunan di pinggiran ke kota ; mempermudah distribusi
sumber daya alam hasil tanam paksa serta komoditas lainnya dari dan ke
Batavia . Pada masa itu, jalur kereta api sama sekali belum pernah hadir di
benua Asia hingga tahun 1868, yaitu 20 tahun setelah Raja Belanda Willem I
memerintahkan kebijakan pada tahun 1842 untuk membangun jalur kereta api
di Hindia-Belanda dimulai dari Pulau Jawa.

76
Peta jaringan kereta api di Batavia (atas), kereta api di antara Tangerang dan Tanah
Tinggi yang dinaiki serdadu Belanda di tahun 1946, dan rumah pengawas kereta di
tahun 1893. Sumber: Heritage KAI dan KITLV 36C314

Rencana tersebut memakan waktu selama 35 tahun lebih untuk


merangkai lebih dari 325 kilometer sampai tersambung ke seluruh titik kota
penting di Jawa. Kereta api dan tram saat itu dianggap menjadi temuan paling
berguna dan favorit sepanjang peradaban manusia. Teknologi penghubung
antarwilayah pusat dan daerah ini juga menjadi populer di kalangan rakyat
bumiputera, dan pesatnya mobilitas serta migrasi dari daerah mempengaruhi
tingkat kemajuan di pusat kekuasaan di Jawa. Fasilitas kereta api ini terbagi
atas kelas-kelas gerbong berdasarkan etnis: Kelas I orang Eropa, Kelas II untuk
Timur Asing, dan Kelas III untuk rakyat bumiputera yang paling banyak menaiki
moda ini. (Mrázek, 2002)

77
Pembangunan jalur kereta api di Tangerang dan Banten sendiri dimulai
pada bulan April 1896, ketika rancangan undang-undang diajukan kepada
Tweede Kamer der Staten-Generaal atau Dewan Perwakilan Negara Umum
Hindia-Belanda untuk membangun jalur kereta api dari Batavia via rute Duri-
Tanah Abang-Kebayoran-Rangkasbitung-Serang-Cilegon-Anyer Lor, dengan
bercabang ke arah Tangerang melalui Weltevreden dan Tanah Abang. Jalur
diperpanjang ke arah Tangerang karena saat itu wilayah tersebut telah menjadi
pusat perdagangan yang ramai, sedangkan pada wilayah Banten lainnya
diharapkan memenuhi kebutuhan penduduk terlantar di pinggiran Batavia.
Pembangunan jalur rel kereta api dari Batavia ke Anyer dan Banten
akhirnya disahkan melalui Undang-Undang wetten voor den aanleg der
staatsspoor- en tramwegen Wet 15 Juni 1896 dalam Staatsblad No. 18.
Fasilitas stasiun, kereta api dan rel hasil rancangan Staatspoorwagen ini selesai
dibangun dan dibuka untuk umum pada 2 Januari 1899 untuk rute Duri-
Tangerang, yang diikuti oleh pembukaan ruas jalur kereta api Duri-
Rangkasbitung pada 1 Oktober 1899. Pada waktu yang sama, kereta trem pun
mulai dibangun di Batavia.
Penguasa kolonial sebenarnya memiliki agenda lain dalam
menciptakan moda transportasi baru bagi masyarakat koloni di Banten.
Menurut H. L. Van der Lely dalam De Ingenieur (1896), pembukaan akses
terhadap area pedalaman ini juga menguntungkan secara politis bagi
pemerintah Hindia-Belanda dalam mengadakan kontrol dan monitoring ketat
demi mengawasi elemen masyarakat bumiputera yang dianggap dweepzieke
atau pemberontak fanatik.
Rudolf Mrázek (2002) berpendapat bahwa orang-orang fanatik yang
dimaksud dalam konteks Banten adalah para santri, yaitu kelompok pelajar
dan ulama muslim yang mendalami agama Islam, yang senantiasa dicurigai dan
dituduh subversif setiap kali mereka menaiki gerbong kelas III atau “kelas
kambing” di bagian belakang kereta api:

Zal door dezen spoorweg, zegt de Minister in de Memorie van


Toelichting, in de eerste plaats aan den inlandschen landbouw
de gelegenheid worden gegeven om zich krachtiger te
ontwikkelen, en zullen welvaart en vertier dientengevolge

78
aanmerkelijk toenemen, het laat zich tevens aanzien, dat eene
aansluiting van Bantam aan het zich thans over bijna geheel
Java uitstrekkende spoorwegnet, en de daarvan te verwachten
veelvuldiger aanrakingen met de overige bewoners van dit
eiland de bevolking minder vatbaar zullen maken voor den
invloed der dweepzieke elementen, die in dit gewest meer dan
elders aanwezig zijn, en die van de zijde der Indische Regeering
steeds een nauwlettend toezicht vorderen, waarvan de
uitoefening door het bezit van een goed en snel middel van
gemeenschap ongetwijfeld zeer zal worden gebaat.

“Dengan adanya jalur kereta api ini, menurut keterangan


menteri [Hindia-Belanda] dalam Memorie van Toelichting
(Explanatory Memorandum), akan membantu dan
memberikan kesempatan bagi lahan-lahan pertanian
bumiputera untuk berkembang lebih giat lagi, sehingga hasil
pertaniannya akan meningkatkan kesejahteraan dan
kegembiraan [masyarakat]. Dan nampaknya dengan
terhubungnya Banten ke dalam jaringan perkeretaapian yang
meluas hampir ke seluruh Jawa kini, serta semakin tingginya
frekuensi kontak mereka dengan penduduk lainnya di pulau ini
membuat mereka menjadi tidak mudah dibujuk atau
dipengaruhi oleh elemen-elemen [rakyat] fanatik yang banyak
berada di daerah ini daripada di tempat lainnya sehingga
menyita pengawasan ketat Pemerintah Indis (Indische
Regeering); yang tidak diragukan akan sangat diuntungkan
dengan pelaksanaan *pembangunan jalur kereta api+ ini.”2

Antisipasi tersebut juga dilakukan untuk bersiaga demi terjadinya


penyerangan ke Batavia sewaktu-waktu, terutama setelah peristiwa
pemberontakan ulama dan petani rakyat Banten di tahun 1888 (Kartodirdjo,
2014). Cara-cara pengawasan seperti ini ikut mendorong hadirnya kebijakan
Politik Etis (Ethische Politiek) yang sudah dihembuskan sejak tahun 1901 serta
kebijakan desentralisasi atau otonomi daerah (Desentralisatie wet) di tahun

2
H. L. van der Lely, “Spoorweg van Batavia naar Anjer met zijtakken naar Tangerang
en Weltevreden”, dalam De Ingenieur, 11b, No. 22 1896. Terjemahan bebas dari bahasa Belanda
ke bahasa Indonesia.

79
1911 terhadap wilayah-wilayah “Kota Moeka” Batavia yang bertendensi untuk
membentuk masyarakat etis.

Eksploitasi atas tanah partikelir kembali dievaluasi setelah hadirnya


infrastruktur kereta api, dibuatnya berbagai asosiasi dan perkumpulan pabrik-
pabrik di Tangerang, serta inventarisasi penghasilan komoditas melalui tabel
statistik untuk mengestimasi kuantitas keuntungan yang bisa didapat dari
daerah pinggiran. aporan tahunan sindikat umum produsen gula di Jawa.
Misalnya, terdata di tahun 1908 beberapa pabrik gula di Parung Kuda,
Kedaung, Cikokol, Tanah Tinggi, Selapajang Timur dan Selapajang Barat,
Teluknaga, hingga Kampung Melayu di Tangerang belum masuk ke dalam
keanggotaan. Saat itu, jumlah total anggota biasa asosiasi mencapai 159
pemilik, dengan anggota luar biasa sejumlah 77 pemilik di seluruh Pulau Jawa
(Archief voor de Java-suikerindustrie, 1908). Di tahun 1917, jumlah penduduk
di Afdeeling Tangerang telah mencapai 414.506 jiwa, dengan total hasil panen
padi kering sekitar 2.130.510 pikul, sedangkan jumlah pikul yang dipanen per
100 jiwa mencapai 514 pikul. Jumlah ini masih tergolong rendah jika dilihat
dari kualitas varietas padi yang dihasillkan. (Lohman, 1919)
Pembangunan yang semakin masif di berbagai daerah sekitar Batavia
pada awal abad ke-20 menimbulkan mendesak kebutuhan pemerintah untuk
mengadakan pengembalian tanah partikelir menjadi domain negara melalui
regulasi yang mewajibkan pemilik tanah untuk berkontribusi terhadap biaya
pembangunan dalam proyek-proyek publik yang berpotensi meningkatkan nilai
properti milik mereka. Tidak akan ada pemilik tanah yang dapat menolak
kebijakan ini dan sistem ini akan lebih murah menanggung biaya pembelian
tanah partikelir, dibandingkan dengan harus membeli langsung atau
pengambilalihan yang terjadi di wilayah Tangerang sekitar ujung Mookervaart
dan Sungai Cisadane karena pemerintah ingin membangun infrastruktur irigasi
di wilayah ini. (D. Mulder, 1917)

SISTEM IRIGASI PENYANGGA

Arah pembangunan daerah Tangerang sebagai wilayah penyangga


yang melayani (service) ibukota Batavia turut berorientasi sesuai program
Politik Etis di abad 20, antara lain irigasi, edukasi dan transmigrasi. Program

80
irigasi ditunjukkan melalui sistem dan teknologi bendungan dan pintu air
terbaru , sedangkan program transmigrasi didukung sarana transportasi
memadai seperti jalan raya dan kereta api, dan program edukasi difasilitasi
melalui pendirian institusi pendidikan dan disiplin seperti sekolah dan penjara.
Perbaikan sistem irigasi di wilayah Tangerang raya mencakup wilayah
barat dan timur yang luas, meliputi aliran Sungai Cidurian di perbatasan
karesidenan Banten hingga Sungai Cisadane yang bertemu dengan kanal
Mookervaart di ujung barat Batavia. Pekerjaan ini menunjukkan hubungan
antara dua sungai serta dua kepentingan pengairan kota pusat dan pinggiran.
Sebenarnya, perluasan kanal Mookervaart dan Sungai Cisadane di Tangerang
telah lama dicanangkan oleh Dinas Pekerjaan Umum Hindia-Belanda atau BOW
(Burgerlijke Openbare Werken) sejak tahun 1872 yang tertulis di dalam arsip
No. 7656, namun rencana tersebut terus dibiarkan karena kurangnya tenaga
ahli pengelola air di Batavia.
Terdapat tiga titik wilayah pekerjaan, antara lain di barat daya (Sungai
Cidurian dan Cimanceuri), barat (34.500), dan timur 22.500 (Sungai Cisadane).
Kedua area tersebut membentuk kawasan irigasi yang membentang hingga ke
pantai. Selain itu, beberapa sodetan sungai dibuat di beberapa titik untuk
meningkatkan kapasitas pembuangan air banjir, serta beberapa tanggul baru
akan dibangun seperti di sisi utara Kresek . Melalui bendungan yang akan
dibangun di Cisadane dan Cidurian akan memungkinan diperoleh kapasitas
irigasi yang cukup untuk wilayah Tangerang yang diapit keduanya.

81
Bendungan irigasi Sungai Cidurian. Sumber: Tropen Museum No. TM-10007884

Bendungan Pasar Baru. Sumber: Tropen Museum No. TM-30048130

82
Rancangan pintu air masuk (inlet) Sangego yang menghubungkan kanal Mookervaart
Batavia ke Sungai Cisadane di Tangerang.
Sumber: De Ingenieur, Edisi 51, No. 32, 7 Agustus 1936

Terdapat dua opsi fasilitas pengairan yang akan dibangun , yaitu antara
pintu air (sluis ) atau bendungan (dam ); dan akhirnya BOW membangun
schlutsluis dan afvoersluis . Struktur schlutsluis dan afvoersluis merupakan
struktur pintu air meliputi beberapa titik struktur inlet dan outlet yang bisa
dibuka -tutup . Proyek irigasi Sungai Cisadane tahun 1922 -1928 tersebut
akhirnya dioperasikan tahun 1932 untuk mengairi ±40.663 hektar sawah
supaya meningkatkan hasil komoditas utama padi dan beras di Tangerang (
De Ingenieur , 1936). Sejarah teknologi rekayasa hidrolik ini juga bisa disimak
lebih lanjut pada jurnal De Ingenieur, Oud Batavia dr. F. de Haan dan Priangan,
“Nederlandsch-Indisch Plakaatboek” karangan J. A. van der Chijs, serta Arsip

83
Nasional Gubernur Jenderal Reiner de Klerk (1777-1780) yang menggambarkan
peta jalur pipa air di Pos Tangerang buatan Andries Teisseirre. (ANRI, F30)
Proyek irigasi yang berada di bawah nama Bevloeiïngswerken
Tangerang ini telah berlangsung sejak tahun 1925 yang dimulai dari aliran
Sungai Cidurian terlebih dahulu. Proyek ini menggunakan ukuran 17.000
"bahu" dan memakan biaya 135 gulden untuk setiap 1 bahu. Pekerjaan di
Sungai Cidurian bisa lebih cepat selesai karena di area Sungai Cisadane masih
tertunda akibat permasalahan dalam proses pembelian tanah partikelir yang
terdampak oleh pembangunan (Haagsche Courant, 15 Agustus 1925). Total
nilai pekerjaan ini mencapai 10 juta gulden, belum termasuk biaya lain yang
berhubungan dengan irigasi seperti pembukaan jalan inspeksi beraspal sejauh
total 55 km, berikut dengan 95 km jalan pedalaman yang juga akan diaspal.
Jalan raya beraspal dan jalan lingkungan desa dibangun sejalur dengan pipa
sistem pengairan ini. (De Sumatra Post, 29 Agustus 1925)
Sistem irigasi modern yang memadai akan membantu para tuan tanah
dan penduduk yang sering menjadi korban banjir akibat distribusi air yang
tidak merata. Saluran-saluran baru diharapkan dapat membuang kelebihan air
dari rawa dan mengalirkannya ke lahan-lahan subur di sepanjang sungai.
Kondisi Sungai Cidurian sendiri sebelumnya memiliki debit air yang buruk.
Budidaya pertanian yang bisa dikerjakan hanya pada jenis komoditas padi cere
dan padi tangsan yang berkualitas inferior, sedangkan varietas padi yang lebih
baik dan unggul membutuhkan waktu tumbuh lebih lama dengan jadwal
pengairan yang teratur.
Pada tahun 1926, dilaporkan pekerjaan irigasi di Rawa Patrasana yang
diperkirakan memakan biaya lebih dari 78 ribu gulden, dengan biaya
normalisasi dan tanggul di Sungai CIdurian sebesar 190 ribu gulden. Wilayah
Pasirian dan Kresek meiputi daerah irigasi tidak kurang dari 10 ribu bahu.
Rawa-rawa yang dialiri sungai Cidurian akan berfungsi untuk irigasi. Di hulu
sungai, air akan dialirkan sepanjang 40 km dengan pipa pembuangan ke Rawa
Panggang, sehingga mendapat pengairan langsung tanpa bergantung air hujan,
termasuk melingkupi area Tigaraksa. (Bataviaasch Nieuwsblad, 31 Mei 1926)

84
MENARUH KAUM KRIMINAL DAN ORANG SAKIT
Kebijakan pembangunan yang paling mencolok di daerah pinggiran
Tangerang memang membangun institusi penjara. Arsitektur penjara yang
didirikan di Tangerang pada awal abad ke-20 setidaknya sudah berjumlah
empat buah, yang lokasinya saling berdekatan satu sama lain di pusat kota!
Semua fasilitas ini didirikan di pinggiran untuk menjadi ‘tempat buangan’
narapidana dan pelaku kriminal dari Batavia. Sistem penjara di Hindia-Belanda
sendiri awalnya dibangun tahun 1872-1905 sebagai hunian pekerja paksa yang
menjalani hukuman. Di tahun 1905, penjara-penjara di daerah dibuat dengan
kamar berbagi, serta semakin digalakkan sebagai institusi penegak hukum di
tahun 1918. (Wetboek van strafrecht voor de inlanders in Nederlandsch-Indie)
Sekitar tahun 1926, banyak pemberontak nasionalis dan komunis
menjadi tahanan politik sehingga kebutuhan untuk menampung narapidana
semakin meningkat. Meningkatnya angka kriminalitas di Tangerang dan Tanah
Tinggi tercatat seiring dengan tingginya angka pengangguran dan pekerja
serabutan (Ingleson, 2010: 149-152), sehingga muncul beragam jenis penjara
di Jawa, antara lain untuk napi anak pria, anak dan wanita, serta pria dewasa.
Fasilitas penjara menjadi obyek kunjungan yang menarik bagi masyarakat
koloni Eropa. Di dalam sebuah agenda Risalah Rapat Umum Grup Nasional
Nederlandsch Indië pada 14 Januari 1928 yang diadakan di Weltevreden antara
lain memuat kegiatan pengenalan kunjungan tamasya (excursie) ke Tangerang.
Ir. H. F. W. Becking sebagai ketua pengurus memberikan pengantar dalam
mengunjungi Penjara Remaja (Jeugdgevangenis) di Tangerang.
Ir. Becking menuturkan sejarah singkat asal usul sistem penjara di
berbagai negara, bagaimana mereka memperlakukan narapidana remaja dan
anak terlantar, metode pendisiplinan, hingga mengaitkannya pada rencana
dibangunnya rumah sakit jiwa putra dan putri. Selaras dengan itu, dua dekade
berikutnya didirikan pula rumah sakit khusus penderita lepra-kusta di
Tangerang (yang kelak menjadi cikal bakal Rumah Sakit dr. Sitanala).
Ir. Becking juga menunjukkan bahwa nasib narapidana yang berasal dari
kaum bumiputera selalu mengalami masa tahanan yang dirasa terlalu lama
dan membuat mereka menderita seperti hampir mati, terutama untuk orang-
orang Timor dan Ambon . Sementara itu, Ruckert mencatat jumlah populasi
harian narapidana rata -rata mencapai 45.000 orang dan populasi tahunan
mencapai 400.000 orang, rata-rata 1% orang Eropa, dan 5-7% dari orang Cina
dan etnis Timur Asing lainnya. (De Ingenieur, 19 Mei 1928)

85
Lapas Pemuda (jeugdgevangenis) di Tangerang tahun 1935.
Sumber: KITLV No. 4272.

Ir. Becking melanjutkan dalam rapat grup Nederlandsch Indië bahwa


orang-orang di daerah Tangerang menjadi garis terdepan dalam penerapan
ide-ide modern di bidang pengawasan (surveillance) terhadap narapidana
kriminal. Wilayah pinggiran, dengan kata lain, berlaku umum sebagai sebuah
ruang laboratorium besar yang ideal untuk mengadakan eksperimen dan uji
coba penggunaan teknologi terbaru demi mengatur koloni secara etis.
Contoh konsep pengawasan modern yang paling mudah terlihat
yaitu pada model rancangan penjara jeugdgevangenis berbentuk kipas. Setiap
kipasnya terdiri atas kamar-kamar tahanan yang berjajar dengan selasar yang
ikut memanjang. Seluruh kamar narapidana memusatkan arahnya kepada satu
titik menara intai di lapangan tengah . Model ini merupakan satu contoh
mekanisme pengawasan dan kontrol (surveillance) mirip dengan panopticon di
penjara Bentham . Desain ini cukup efektif memberikan kesan pada seluruh
narapidana bahwa mereka seolah -olah senantiasa diawasi , baik dengan ada
maupun tidak adanya petugas sipir yang berkeliling.

86
Institusi penjara juga menjadi lembaga edukasi yang melatih para
narapidana mempelajari berbagai kemampuan (skill) untuk menata kualitas
hidup dan keterampilan mereka, antara lain melalui aktivitas pembelajaran
baca-tulis, ilmu-ilmu keteknikan dan transportasi, membuat anyaman topi
bambu, menjahit, olahraga, hingga bela diri. Para pemuda ini juga diajari
standar etiket bagaimana makan dan minum yang teratur (Tropenmuseum,
TM-30034011).

Sebagian aktivitas narapidana pemuda, anak dan wanita di penjara-penjara Tangerang.


Sumber: Tropen Museum

87
Berlangsungnya normalisasi-normalisasi via implementasi teknologi
yang inovatif menimalisasi buruknya praktik kolonialisme di Hindia-Belanda
terlebih di wilayah pinggiran. Agenda ini bisa diamati dari hadirnya sekian
institusi yang menghadirkan pelayanan publik yang mengembangkan
kemampuan rakyat koloni, akan tetapi dengan tujuan akhir supaya mereka
mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang Barat dari Eropa Belanda sehingga siap
diajak bekerja di bawah penguasa kolonial. Wilayah margin dianggap lebih
cocok untuk menaruh, membuang, dan menyingkirkan sekian ‘gangguan’ yang
bermasalah di ibukota Batavia.
Selain narapidana kriminal, pasien-pasien dengan penyakit berbahaya
seperti para penderita kusta juga akan ditempatkan pada kompleks rumah
sakit modern seluas 15 hektar di Tangerang supaya berjarak jauh dari Batavia
dan sedikit sekali tenaga media yang berminat ke sana. Dr. Boenjamin selaku
direktur Dinas Pengendalian Lepra (Dienst voor Leprabestijdung) menyatakan
hanya terdapat tiga dokter spesialis yang menangani pasien yang berjumlah
80.000 orang, sehingga mereka jelas kekurangan tenaga medis dan berharap
dapat menarik perhatian dokter asing. (Documentatieblad van de Afdeling
tropische producten, 16 September 1950)

KESIMPULAN
Ada benang merah yang bisa disimpulkan dari pemaparan sejarah
pembangunan arsitektur dan infrastruktur kota Tangerang sepanjang abad 18-
20. Dari beberapa contoh khusus obyek bangunan yang telah saya bahas di
atas, kita dapat membandingkan poin-poin menarik.
Pada abad 17-18, arsitektur benteng dan pos pengawasan digunakan
demi memelihara pengawasan ketat terhadap aktivitas ekonomi penduduk
hingga mengantisipasi penyerangan sewaktu-waktu di pinggiran kota. Adanya
segregasi etnis melalui pemisahan kampung-kampung, serta eksploitasi
sumber daya alam dan manusia membuat cara pusat mengendalikan pinggir
masih bersifat sangat frontal. Metode itu berubah seiring dengan perbaikan
kualitas hidup di daerah melalui sarana infrastruktur jalan, kereta api, pintu air,
hingga penjara di abad 19-20, menunjukkan bahwa aktivitas penjajahan di
periode ini memang berlangsung lebih halus, namun dualisme pusat-pinggir
telah melembaga secara sistemik dan mengakar.

88
Penguasa kolonial memanfaatkan kemajuan teknologi militer, teknik
sipil dan arsitektur seperti benteng, pos pengawas, transportasi kereta api,
hingga penjara sebagai aparatus untuk mendominasi daerah pinggiran dan
perbatasan (forms of dominance). Hal ini demi mendisiplinkan dan
menanamkan rasa takut pada rakyat pejuang, khususnya dari Banten, yang
dianggap fanatik dan tidak mudah ditertibkan. Dalam pandangan lain, benteng
dan pos pengawas ini juga menggambarkan ketakutan orang Eropa di Batavia
terhadap “irasionalitas” kaum bumiputera yang marjinal atau terpinggirkan.
Seluruh temuan ini menunjukkan bagaimana penguasa kolonial Eropa
memandang peran pusat dan daerah, baik Batavia dan Tangerang di Pulau
Jawa sebagai colonial margin. Pendudukan, pengawasan, pelayanan,
pengendalian, dan pendisiplinan sama-sama bertujuan menyangga
kepentingan ibu kota demi kemajuan, kemakmuran, dan keamanan penguasa
Hindia-Belanda. Meskipun berangkat dari pendekatan yang berbeda,
penerapan teknologi di sepanjang periode nyatanya berfokus pada
keberlangsungan optimalisasi hasil bumi dan pertanian.
Selain juga sebagai obyek-obyek material, teknologi yang
dikembangkan di tanah jajahan juga mengoperasikan konsep “kaca perspektif”
yang pernah dinyatakan oleh Rudolf Mrázek (2002) dalam Engineers of Happy
Land: Technology and Nationalism in a Colony. Kaca perspektif mengandung
makna kiasan bahwa sebagian besar fasilitas teknologi dirancang untuk
memperkenankan bangsa Eropa melakukan pemantauan terhadap tanah
jajahan secara aman di balik tembok, di atas menara intai ronduyt dan bastion,
di jendela kereta api, peta-peta, data-data statistik, wadah containment
berupa rumah sakit dan penjara, atau gawai-gawai lainnya sehingga mereka
bisa berjarak dan tidak perlu menyentuh langsung kaum marjinal yang
“ditaruh” di wilayah pinggiran. Hal ini merefleksikan bagaimana masyarakat
pada saat itu menggunakan teknologi dan berpikir tentang apa itu
kolonialisme, revolusi, dan dan identitas.
Masyarakat koloni sama-sama mengendalikan dan dikendalikan oleh
teknologi modern. Fenomena pembangunan di Hindia-Belanda juga
merefleksikan atas fenomena global di abad ke-20. Secara tidak langsung,
adanya kemajuan teknologi mendukung lahirnya semangat akan pusat baru
seiring dengan pembentukan afdeeling-afdeeling baru di wilayah sekitar
Batavia dan pulau Jawa. Aksesibilitas dan waktu tempuh yang semakin pesat

89
berkat moda transportasi kereta api dan mulusnya jalan raya mempermudah
mobilitas sosial, ekonomi, dan politik sehingga malah mencairkan batas fisik
antara pusat dan pinggiran serta antara orang-orang kota dan desa. Dengan
demikian, praktik pembangunan membuka celah daerah menjadi pusat baru
dan berpengaruh besar terhadap kesadaran akan gagasan kemerdekaan dan
nasionalisme.
Tulisan ini menjadi renungan lebih lanjut terhadap sejarah lokal di
daerah pascakemerdekaan. Setelah Indonesia merdeka, pusat ibukota yang
membawa kepentingan nasional masih mencerminkan sikap-sikap yang
mendukung kota-kota kecil sebagai penyangganya. Pembangunan bandara
internasional Jakarta di Tangerang di bawah Rencana Pembangunan Lima
Tahun (REPELITA) zaman Orde Baru. Penyanggaan kebutuhan ibu kota Jakarta
dan Banten telah sepenuhnya didukung daerah Tangerang baik dari darat
(transportasi jalan dan kereta), air (sistem irigasi pintu air), maupun udara
(bandara Soekarno-Hatta).
Pada akhirnya, Kota Tangerang yang terus berkembang di masa
pascakolonial, sebagaimana kota-kota lain, menghadirkan beragam potensi
menceritakan narasi baru atas sejarah, identitas, dan citra kebudayaannya.
Lahirnya semangat mendalami historiografi di berbagai daerah di Indonesia
akan membantu kita merenungi apa yang telah kita miliki saat ini, dan
memahami mengapa kondisi lingkungan tempat kita bertinggal saat ini.
***

90
DAFTAR PUSTAKA

Arsip dan Publikasi Resmi


Archief voor de Java-suikerindustrie: Orgaan van het Algemeen syndicaat van
suikerfabrikanten op Java. Bijblad. 11 Desember 1908.
Arsip Koleksi Peta F. de Haan, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Nomor
K26, N3, B111, B40, K29, H2, H47, H76, G14, F16, F30.
Arsip Koleksi Peta, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomor BW 57,
BG 01.
Arsip Koleksi Foto, Tropen Museum Nomor TM-30034011 hingga TM-
30034028.
Arsip Koleksi, Nationaal Archief Nomor 4. VMF 849.14, 4. VEL 1218, 4. VEL
1219.
Arsip Koleksi, Rijksmuseum Amsterdam Nomor RP-T-1964-352, RP-T-1964-353,
RP-T-1964-359.
Arsip Koleksi, Bibliotheque Nationale de France Nomor DCP SH PF 192
DIV2 P13, 1774.
De Bevolking van de Regentschappen Batavia, Meester Cornelis en Buitenzorg,
Maret 1933: 10.
Documentatieblad van de Afdeling tropische producten 16 September 1917,
hlm. 547.
Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 3 Tahun 2018 tentang Cagar Budaya.
Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 17 Tahun 2019 tentang Cagar Budaya.
Surat Keputusan Walikota Tangerang No. 430/kep.337-disporbudpar/2011
tentang Bangunan Cagar Budaya tahun 2011.
Wetboek van strafrecht voor de inlanders in Nederlandsch-Indie.
Buku/Disertasi/Tesis/Laporan Penelitian
Bill Aschroft, Griffith dan Helen Tiffin. “Cartography”, dalam Post-colonial
Studies: The Key Concepts, 2nd Edition. New York: Routledge, Taylor &
Francis Group, 2007, hlm. 28-30.
Cortesão, Armando. The Suma Oriental of Tomé Pires and The Book of
Francisco Rodrigues, an Account of The East, from The Red Sea to
Japan, Vol. 1. London: Council of Hakluyt Society, 1944, hlm. 166-171.
Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) Jami Kalipasir. Nyukcruk Mapay Patilasan
Masjid Jami Kalipasir Tangerang. Tangerang, dicetak terbatas, 2016.
Feby Hendola dan A.J. Priadi. "Masjid Jami Kali Pasir: In between 'myth' and a
need for historical accuracy", dalam C.A. Brebbia & A. Martinez

91
Boquera (ed.) Islamic Heritage Architecture. Southampton: WIT Press,
2017, hlm. 77-86.
Friedman, John. Regional Development Policy: A Case Study of Venezuela.
Cambridge: MIT Press, 1966.
Gerlach, A.J.A. (1811-1906). Fastes militaires des Indes-Orientales
Neerlandaises. Paris: Borrani: Zalt-Bommel: Jean Noman & Fils, 1859,
hlm. 20.
Halim, Wahidin. Ziarah Budaya Kota Tangerang, Menuju Masyarakat
Berperadaban Akhlakul Karimah. Jakarta: Penerbit Pendulum, 2005.
Irsyam, Tri Wahyuning M. Berkembang dalam bayang-bayang Jakarta: Sejarah
Depok 1950-1990-an. Jakarta: Yayasan Obor, 2017.
Knaap, Gerrit. Grote atlas van de verenigde oost-indische compagnie, II Java en
Madoera. Utrecht: Royal Dutch Geographical Society, 2007.
Kusumawardhani, Ratu Arum. “Liyan dalam arsitektur Betawi: Studi kasus pada
rumah Betawi Ora di Tangerang Selatan”. Tesis S-2 (tidak
dipublikasikan), Magister Sejarah & Teori Arsitektur, Program Studi
Arsitektur Univesitas Indonesia, 2012.
Ingleson, John. Perkotaan, Masalah Sosial & Perburuhan di Jawa Masa
Kolonial. Depok: Komunitas Bambu, 2013, hlm. 149.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Ed. III. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, 2017.
Kartodirdjo, Sartono. The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, Its Conditions,
Course and Sequel. A Case Study of Social Movements in Indonesia.
Amsterdam: Springer Science+Business Media, 1966.
Lohman, De Savornin. Verhouding der Sawahpadi-productie tot de dichtheid
der bevolking op Java en Madoera in en uit. 1917. Publicaties van de
Afdeeling handel, 1919, No. 1. Batavia: G. Kolff & Co., 1919.
Mrázek, Rudolf. Engineers of Happy Land: Technology and Nationalism in a
Colony. New Jersey: Princeton University Press, 2002.
Mulder, D. De terugbrenging der particuliere landerijen tot het staatsdomein,
praeadvies van D. Mulder. Vereeniging voor Studie van Koloniaal
Maatschappelijke vraagstukken. Goedgekeurd bij
Gouvernementsbesluit dd. 16 September 1916 No. 51. Weltevreden:
Albrecht & Co., 1917, hlm. 28-30.
Purwanto, Edi. Kompleksitas Kemiskinan Tionghoa Benteng. Salatiga: Program
Pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana, 2012.
Ravando. 2014. “Now is The Time to Kill All Chinese!” Social Revolution and the
Massacre of Chinese in Tangerang, 1945-1946. Master Thesis
University of Leiden, Netherland.

92
Simone, Jakarta Drawing the City Near. Minneapolis: University of Minnesota
Press, 2014.
Sumarda, Herwin. Tangerang 1946: Pemerintahan dan Rakyat. Skripsi S-1,
Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia,
1982.
Syahid, Mushab Abdu Asy. Perubahan Pusat-Pinggir Arsitektur Pascakolonial di
Tangerang: Bandara Soekarno-Hatta. Tesis S-2 (tidak dipublikasikan),
Magister Sejarah & Teori Arsitektur, Program Studi Arsitektur
Univesitas Indonesia, 2017.
Vermeulen, J. T. Tionghoa di Batavia dan huru-hara 1740, diterjemahkan dari
De Chineezen te Batavia en de Troebelen van 1740. Depok:
Komunitas Bambu, 2014, hlm. 136-137.

Artikel Jurnal
Heidhues, Mary Somer. “1740 and the Chinese Massacre in Batavia: Some
German Eyewitness Accounts”. Archipel, Volume 77 (2009): 117-147.
Lukito & Syahid. “The Conservation of Kali Pasir Jami’ Mosque in Tangerang,
Banten”, INSIST Number 2, (2017): 52-57.
Ota, Atsushi. “Banten Rebellion, 1750-1752: Factors behind the Mass
Participation”, Modern Asian Studies, Volume 37, Number 3, (2003):
613-651.
Mushab Abdu Asy Syahid dan Kemas Ridwan Kurniawan. “No Fort in Fort City:
Lost Heritage and Urban Conservation in Tangerang City.” IOP Conf.
Ser.: Earth Environ. Sci. 213 012046.
Nas, Peter J.M. (ed.). “Jabodetabek: an Indonesian-Dutch concept on
metropolitan planning of the Jakarta region”. The Indonesian City,
101-115. Dordrecht: Foris.
Thresnawaty, Euis. "Sejarah Sosial-Budaya Masyarakat Cina Benteng di Kota
Tangerang". Patanjala Volume 7, Nomor 1 (2015): 49-64.
De Ingenieur, Edisi 11b Nomor 22, 1896.
De Ingenieur, Nomor 20, 19 Mei 1928: 14.
De Ingenieur, Edisi 51, Nomor 32, 7 Agustus 1936.

Situs Web
Geocities. “Kelenteng Boen Tek Bio, Tangerang.”
http://www.geocities.com/Athens/Aegean/3666/feature/kelenteng/
boentekbio.html (Artikel tertanggal 7 Januari 2005)
Thamrin, Mahandis Yoanata. 11 Mei 2019. Benteng Makasar, Kenangan
Sepetak Pecinan Tangerang di Zaman VOC.

93
https://nationalgeographic.grid.id/read/131723482/benteng-
makasar-kenangan-sepetak-pecinan-tangerang-di-zaman- voc?
page=1 (Diakses: 29 Juli 2020)

Artikel Surat
“Bevloeiïngswerken Tangerang” dan “De Tji Sedane-werken”. Haagsche
Courant, 15 Agustus 1925.
“Bevloeiïngswerken Tangerang”. De Sumatra Post, 29 Agustus 1925.
“Bevloeiïngswerken Tangerang”. Bataviaasch Nieuwsblad, 31 Mei 1926.
“Bevloeiïngswerken Tangerang”. Bataviaasch nieuwsblad, 2 Agustus 1913.

94
PROFIL PENULIS

Mushab Abdu Asy Syahid adalah seorang lulusan S-1 dan S-2 Program Studi
Arsitektur, Universitas Indonesia. Minatnya menulis kajian-kajian isu
pascakolonial dimulai utamanya ketika ia menuntaskan tesis magisternya yang
mendalami sejarah perkembangan teknologi megastrukur terminal bandara
Soekarno-Hatta di Tangerang. Selain itu, ia juga menggemari bidang ilmu
sejarah, teori dan kritik terhadap teknologi arsitektur dan urbanisme;
arsitektur Islam dan masjid, serta bangunan pusaka dan kawasan cagar
budaya. Aktivitasnya sehari-hari ialah menjadi staf pengajar Departemen
Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Depok, di samping juga
aktif sebagai anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Depok. Mushab dapat
dihubungi melalui surelnya di mushab.syahid@gmail.com.

95
96

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai