Anda di halaman 1dari 8

Biografi Para Pahlawan

Disusun Oleh:

Fikri Al-Ghifari Muh. Rayyan


Mayada Nasyrah Tul Husnah
Mirna Afriani Rahmat
Muh. Fajri Farid Saenab Mu’Min
Ummi Kalzhum
1. Cut Nya Dhien

Asal Muasal Cut Nya Dhien

Kelahiran dan Masa Awal Cut Nya Dhien Cut Nyak Dhien adalah keturunan bangsawan Aceh, lahir pada
1848 di kampung Lam Padang Peukan Bada, wilayah VI Mukim, Aceh Besar. Saat menginjak usia 12
tahun, ia dijodohkan dengan Teuku Ibrahim Lamnga, putra Teuku Po Amat, Uleebalang Lam Nga XIII.
Suaminya seorang pemuda berwawasan luas dan taat kepada agama. Dari pernikahan tersebut, mereka
dikaruniai seorang anak laki-laki.

Dalam riwayat sejarah Aceh, Teuku Ibrahim berjuang melawan kolonial Belanda. Atas alasan itu, Teuku
Ibrahim seringkali meninggalkan Cut Nyak Dhien dan anaknya. Setelah berbulan-bulan meninggalkan
Lam Padang, Teuku Ibrahim datang untuk menyerukan perintah mengungsi dan mencari perlindungan di
tempat yang aman. Cut Nyak Dhien bersama penduduk lainnya kemudian meninggalkan Lam Padang
pada 29 Desember 1975. Pada 29 Juni 1878, Teuku Ibrahim wafat. Kematian sang suami membuat Cut
Nyak Dhien terpuruk. Namun, kejadian itu tak membuatnya putus asa, sebaliknya menjadi alasan kuat
Cut Nyak Dhien berjuang menggantikan sosok suaminya.

Awal Mula Keterlibatan Cut Nya Dhien

Selepas kematian suaminya, Cut Nyak Dhien menikah lagi dengan Teuku Umar, cucu dari kakek Cut Nyak
Dhien. Tidak hanya diikatkan dengan tali pernikahan, tetapi keduanya bersatu untuk memerangi
penjajah. Bukan karena semata-mata ingin mendapatkan sosok kepala rumah tangga di dekatnya, tetapi
Cut Nyak Dhien beralasan ingin berjuang bersama dengan laki-laki yang mengizinkannya terjun ke medan
perang untuk melawan Belanda. Cut Nyak Dhien bersama Teuku Umar menguatkan barisan para pejuang
untuk kembali mengusir kape Belanda dari bumi Aceh. Keduanya melakukan pertempuran dengan
semangat juang membara. Salah satu keberhasilan mereka yakni merebut kembali kampung halaman
Cut Nyak Dhien. Teukur umar juga berpura-pura tunduk kepada Belanda demi mendapatkan pasokan
persenjataan yang kemudian mereka gunakan untuk kembali menyerang penjajah.

Akhir Perjuangan Cut Nya Dhien

Kemudian, Teuku Umar gugur dalam medan laga di Meulaboh. Suami keduanya itu gugur karena itikad
penyerangannya telah diketahui Belanda sejak awal. Meskipun orang-orang terkasihnya telah
meninggalkannya, Cut Nya Dhien terus melangsungkan pertempurannya selama enam tahun. Ia
bergerilya dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Selama itu, ia bersama rakyat dan pejuang lainnya,
dihadapkan pada penderitaan, kehabisan makanan, uang, dan pasokan senjata. Cut Nyak Dhien dengan
keadaan fisiknya yang mulai renta terus berupaya melarikan diri dari Belanda. Meskipun pada saat itu,
pasukan tempurnya melemah karena ancaman Belanda. Sayangnya, panglima pasukannya, Pang Laot
berkhianat. Ia bersama-sama Belanda mencari keberadaan Cut Nyak Dhien. Mereka berhasil
menemukan persembunyian Cut Nyak Dhien dan kemudian membawanya ke Kutaradja. Atas permintaan
Pang Laot kepada Belanda, Cut Nyak Dhien mendapat perlakuan baik oleh Belanda. Gubernur Belanda di
Kutaradja, Van Daalen, tidak menyenangi hal tersebut sehingga Cut Nyak Dhien diasingkan ke pulau
Jawa, tepatnya Sumedang pada 1907. Setahun, masa pengasingannya, Cut Nyak Dhien mengembuskan
napas terakhirnya. Ia menjadi salah satu sosok wanita Indonesia yang patut dicontoh keberaniannya.
Sejak tanggal 2 Mei 1964, Cut Nyak Dhien dianugerahi sebagai pahlawan nasional.

2. Tuanku Imam Bonjol

Asal Muasal Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat pada 1 Januari 1772. Ibunya bernama dan
Hamatun Sementara ayahnya Khatib Bayanuddin Shahab adalah ulama yang berasal dari Sungai
Rimbang. Muhammad Shahab kemudian memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan
Tuanku Imam. Kemudian Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam salah satu pemimpin dari Harimau nan
Salapan menunjuknya sebagai Imam bagi kaum Padri di Bonjol. Inilah yang membuat nama Muhammad
Shabab akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.

Keterlibatan Tuanku Imam Bonjol dalam Perang Padri

Perseteruan Kaum Padri yaitu para ulama dengan Kaum Adat dalam penerapan agama Islam di bumi
Minang sempat menimbulkan perpecahan. Perpecahan ini begitu serius di tengah pembahasan
mengenai ritual adat yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Pada 1803, Haji Miskin, Haji Sumanik, dan
Haji Piobangingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna yang dijalankan oleh masyarakat
Minangkabau. Perseteruan membawa penyerangan Pagaruyung oleh Tuanku Pasaman pada tahun 1815,
dengan pecahnya pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Kekuatan Kaum Padri membuat
Kaum Adat bersekutu dengan Belanda dan dimulailah campur tangan sekutu pada peperangan ini.
Sebagai imbalan, Belanda meminta beberapa daerah untuk diberikan sebagai daerah kekuasaan mereka.
Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch kemudian membuat taktik dengan mengadakan Perjanjian
Masang pada 1824 dengan Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai. Namun kemudian perang berubah di
mana Kaum adat dan Kaum Padri bersatu dengan dibuatnya Plakat Puncak Pato di Tabek Patah. Mereka
bersatu untuk melawan Belanda karena kenyataan bahwa keberadaan penjajah justru menyengsarakan
Rakyat Minangkabau. Pengepungan terhadap Tuanku Imam Bonjol berlangsung sangat lama hingga
membutuhkan pasukan dari Batavia. Pada akhirnya Tuanku Imam Bonjol menyerah dengan syarat agar
sang anak Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.

Akhir Hayat Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol akhirnya menyerah pada 25 Oktober 1837 dan diasingkan ke Cianjur. Setelah itu,
Tuanku Imam Bonjol kembali dipindah ke Ambon pada tahun 1839 dan kemudian ke Minahasa hingga
akhir hayatnya. Tuanku Imam Bonjol meninggal pada 8 November 1864 dalam usia 92 tahun dan
dimakamkan di Desa Lota, Pineleng.
3. Pangeran Diponogoro

Asal Muasal Pangeran Diponogoro

Pangeran Diponegoro lahir 11 November 1785 di Yogyakarta, dengan nama asli Raden Mas Ontowiryo.
Putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono III.

Perang Diponogoro

Pada pertengahan bulan Mei 1825, Smissaert memutuskan untuk memperbaiki jalan-jalan kecil disekitar
Yogyakarta. Namun, pembangunan jalan yang awalnya dari Yogyakarta ke Magelang melewati Muntilan
dibelokkan melewati pagar sebelah timur Tegalrejo dan Belanda memasang patok-patok perbaikan jalan
di sepanjang makam leluhur Pangeran Diponegoro.

Ulah Belanda inilah yang memancing kemarahan Pangeran Diponegoro dan rakyat setempat. Akhirnya,
Pangeran Diponegoro mengganti patok-patok tersebut dengan tombak sebagai tanda pernyataan perang
terhadap Belanda.

Pangeran Diponegoro melancarakan strategi perang melawan Belanda selama lima tahun. Ia
menggunakan taktik gerilya dengan melakukan pengelabuan, serangan kilat, dan pengepungan tak
terlihat. Sedangkan untuk melawan dan mengalahkan pasukan Diponegoro, Belanda yang dipimpin oleh
Jenderal Hendrik De Kock menerapkan strategi Benteng Stelsel yaitu dengan mendirikan benteng di
setiap daerah yang dikuasai dan dihubungkan dengan jalan agar komunikasi serta pergerakan pasukan
bergerak lancar.

Pada akhirnya, strategi Benteng Stelsel ini berhasil memecah pasukan lawan sehingga lebih mudah untuk
dikalahkan. Dimana, pada tahun 1829 Kyai Mojo sebagai pemimpin spiritual pemberontakan ditangkap,
menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo
menyerah kepada Belanda.

Akhir Hayat Pangeran Diponogoro

Akhirnya, pada 28 Maret 1830 Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di
sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya
dilepaskan. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado lalu dipindahkan
ke Makasar hingga wafatnya di Benteng Roterdam pada 8 Januari 1855.
4. Jendral Soedirman

Asal Muasal Jendral Soedirman

Soedirman lahir di Purbalingga, Jawa Tengah 24 Januari 1916. Beliau memiliki seorang ayah bernama
Karsid Kartawiuraji dan ibunya bernama Siyem. Karena Soedirman lahir dari keluarga yang kurang
mampu, jadi orang tuanya merelakan Soedirman diadopsi oleh pamannya yang bernama Raden
Cokrosunaryo.

Perjuangan Jendral Soedirman pada Perang Gerilya

Pada 19 Desember 1948, Yogyakarta mampu dilumpuhkan dan dikuasai pasukan Belanda. Bahkan,
Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta dan beberapa pejabat Indonesia ditangkap pihak Belanda.
Hal ini membawa Jenderal Sudirman untuk meninggalkan Yogyakarta untuk gerilya.

Selama gerilya Jenderal Sudirman dan pasukan berjalan untuk berpindah-pindah tempat. Mereka
berjalan cukup jauh dengan menyebrangi sungai, gunung, lembah, dan hutan. Para pejuang juga
melakukan penyerangan ke pos-pos yang dijaga Belanda atau saat konvoi.

Gerilya yang dilakukan pasukan Indonesia merupakan strategi perang untuk memecah konsentrasi
pasukan Belanda. Kondisi itu membuat pasukan Belanda kewalahan, apalagi penyerangan dilakukan
secara tiba-tiba dan cepat. Adanya taktik ini membuat TNI dan rakyat yang bersatu berhasil menguasai
keadaan dan medan pertempuran. Puncaknya terjadinya serangan 1 Maret 1949 serentak di seluruh
wilayah Indonesia dan berhasil memukul mundur pihak Belanda.

Akhir Hayat Jendral Soedirman

Jenderal Soedirman wafat pada 29 Januari 1950, karena memiliki penyakit tuberkulosis yang sudah lama
ia derita. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta.

5. Sultan Hasanuddin

Asal Muasal Sultan Hasanuddin

Sultan Hasanuddin lahir di Gowa, Sulawesi Selatan pada 12 Januari 1631. Beliau adalah sultan Gowa
ke-16 dan terlahir dengan nama Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto
Mangape. Kegigihan dan keberaniannya dalam melawan Belanda membuat Belanda memberikannya
julukan "Ayam Jantan dari Timur".

Perjuangan Sultan Hasanuddin

Pada tahun 1666 kembali terjadi peperangan karena Belanda melanggar perdamaian dan merugikan
Gowa. Sultan Hasanuddin menyerang kapal-kapal Belanda dan menenggelamkannya. Belanda kemudian
melakukan serangan balasan. Perang terjadi secara besar-besaran antara pasukan Gowa yang dipimpin
Sultan Hasanuddin dan Belanda yang dipimpin Cornelis Speelman.

Pada tanggal 18 November 1667, di Bongaya, Sultan Hasanuddin yang sudah terdesak dengan berbagai
pertempuran terpaksa menandatangani perjanjian Bongaya. Perjanjian tersebut ternyata sangat
merugikan Gowa sehingga Sultan Hasanuddin tetap memberikan perlawanan pada Belanda. Namun
serangan-serangan tersebut tidak berarti karena Belanda sudah sangat kuat.

Akhir Hayat Sultan Hasanuddin

Pada tanggal 12 Juni 1669 Belanda berhasil menguasai Benteng Somba Opu. Sultan Hasanuddin wafat
pada usia 39 tahun pada tanggal 12 Juni 1670. Hingga akhir hayatnya, Sultan Hasanudin tetap tidak mau
menyerah pada Belanda.

6. Ir. Soekarno

Asal Muasal Ir. Soekarno

Ir. Soekarno atau akrab dipanggil Bung Karno lahir pada 6 Juni 1901 di Surabaya, Jawa Timur dengan
nama kecilnya Kusno Sosrodihardjo. Bung Karno adalah anak dari pasangan Raden Soekemi
Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai.

Perjuangan Ir. Soekarno

Rasa Nasionalisme Soekarno mulai tumbuh pesat ketika bersekolah di Surabaya dan tinggal di rumah
Tjokroaminoto. Di sana Soekarno mulai berkenalan dengan paham dan konsep pemikiran seperti
pemikiran barat dan pemikiran Islam. Tahun 1926 Soekarno mendirikan Algeemene Studie Club di
Bandung. Organisasi ini yang kemudian menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan
Soekarno pada 4 Juli 1927, dengan rumusan ajaran Marhaenisme. Usaha yang dilakukan Soekarno
membuat PNI tumbuh dan berkembang di Jawa maupun di luar Jawa. Akibatnya aktivitas Soekarno di
PNI, Belanda menangkapnya pada 29 Desember 1929. Soekarno kemudian dipenjarakan di Sukamiskin,
Bandung. Ia baru dibebaskan pada 31 Desember 1931.

Setelah bebas, Soekarno bergabung dengan Partindo (Partai Indonesia) yang merupakan pecahan dari
PNI dan memimpinnya. Hal ini mengakibatkan dirinya kembali ditangkap Belanda dan diasingkan ke
Ende, Flores pada 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu. Di Bengkulu Soekarno berhasil
kabur dan menuju Padang. Kemudian menyeberangi Selat Sunda dan kembali ke Jakarta pada Juli 1942.
Perjuangan panjang Soekarno bersama tokoh-tokoh pendiri bangsa lainnya tidak sia-sia untuk membuat
Indonesia merdeka dari penjajahan. Bersama dengan Mohammad Hatta, Soekarno memproklamasikan
kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Akhir Hayat Ir. Soekarno

Kesehatan Soekarno mulai menurun sejak bulan Agustus 1965. Setelah bertahan selama lima tahun
dengan penyakitnya, Soekarno meninggal dunia di RSPAD Jakarta pada tanggal 21 Juni 1970. Soekarno
disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar dekat makam ibunya, Ida Ayu Nyoman
Rai.

7. Pattimura

Asal Muasal Pattimura

Pattimura lahir pada 8 Juni 1783 di Saparua, Maluku, lahir sebagai anak keturunan bangsawan dari Raja
Sahulau. Sebuah kerajaan yang berada di Teluk Seram Selatan.

Perjuangan Pattimura

Setelah penandatanganan Perjanjian Inggris-Belanda pada 13 Aguistus 1814, kepulauan Maluku kembali
di bawah kekuasaan Belanda. Seluruh rakyat Saparua melakukan perlawanan kepada Belanda untuk
mempertahankan daerahnya. Perlawanan tersebut terjadi pada 14 Mei 1817. Kebanyakan rakyat Maluku
memilih Thomas Matulessy sebagai Kapitan Pattimura untuk memimpin pemberontakan tersebut. Sejak
saat itu Thomas Matulessy dikenal sebagai Kapitan Pattimura.

Di bawah pimpinannya, Benteng Duustede berhasil direbut dari tangan Belanda dan semua tentaranya
tewas, termasuk Residen Van den Berg. Berdasarkan buku Kumpulan Pahlawan Indonesia (2012) oleh
Mirnawati, Belanda membalas peristiwa itu dengan membawa senjata modern. Pada tanggal 11
November, Pattimura ditangkap Belanda dan Benteng Duustede kembali dikuasai Belanda.

Akhir Hayat Pattimura

Pada saat dibawa ke Ambon, Belanda membujuk Pattimura untuk bekerja sama, namun dirinya menolak.
Hal tersebut menimbulkan kemarahan Belanda dan memutuskan untuk menghukum mati Pattimura.
Sehari sebelum hukuman mati, Belanda masih terus membujuk Pattimura untuk mau bekerja sama
dengan Belanda. Namun, tetap ditolak oleh Pattimura.

Akhirnya Pattimura tewa pada 16 Desember 1817 karena hukuman gantung di Benteng Victoria, Ambon.

8. Haji Agus Salim

Asal Muasal Haji Agus Salim

Haji Agus Salim merupakan anak dari pasangan Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab. Lahir di Gadang,
Sumatera Barat, 8 Oktober 1884.
Perjuangan Haji Agus Salim

Pada tahun 1906, HAJI AGUS SALIM Berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Konsulat Belanda
di sana. Pada periode inilah HAJI AGUS SALIM berguru pada Syeh Ahmad Khatib, yang masih merupakan
pamannya. HAJI AGUS SALIM kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja
sebagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar dan
dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya
menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Surat Kabar Fadjar Asia. Dan
selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie
Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu HAJI AGUS SALIM terjun dalam dunia politik
sebagai pemimpin Sarekat Islam. Pada tahun 1915, HAJI AGUS SALIM bergabung dengan Sarekat Islam
(SI), dan menjadi pemimpin kedua di Sarekat Islam (SI) setelah H.O.S. Tjokroaminoto.

Peran HAJI AGUS SALIM pada masa perjuangan kemerdekaan RI antara lain:

● Anggota Volksraad (1921-1924)


● Anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945
● Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947
● Pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Mesir pada
tahun 1947
● Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947
● Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949

Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga
kerap kali digelari “Orang Tua Besar” (The Grand Old Man). Ia pun pernah menjabat Menteri Luar Negeri
RI pada Kabinet Presidensil dan di tahun 1950 sampai akhir hayatnya dipercaya sebagai Penasehat
Menteri Luar Negeri RI. Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun
penanya tajam dan kritikannya pedas namun HAJI AGUS SALIM masih mengenal batas-batas dan
menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik. Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia
mengarang buku dengan judul: Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu
diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.

Akhir Hayat Haji Agus Salim

Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai