Anda di halaman 1dari 36

Strategi Negosiasi Bisnis Beberapa Negara di Dunia

GURUH HIKMATUL AKBAR, Dr. Seno Andri,MM,M.Si


Universitas Riau, 2022

Universitas Riau
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan Ilmu Administrasi Bisnis

“Strategi Negosiasi Bisnis


Beberapa Negara
di Dunia”

Makalah

Oleh

Guruh Hikmatul Akbar

2001124650

Pekanbaru
2022
Kata Pengantar

Segala puji dan syukur di panjatkan untuk Allah SWT Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala nikmat dan karunia-Nya yang turut
serta memberikan kelancaran maupun kemudahan untuk menyelesaikan
Makalah ini. Tak lupa pula penulis mengucapkan rasa terimakasih sebesar-
besarnya kepada: Bapak Drs. Seno Andri, MM, M.Si selaku Dosen Pengampu
Mata Kuliah Negosiasi Bisnis A yang senantiasa mencurahkan segenap ilmu,
waktu, dan tenaga untuk memberikan Pelajaran,bimbingan, arahan, dan
motivasi kepada saya.

i
Daftar Isi

KATA PENGANTAR ................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
1.3 Tujuan Pembahasan .................................................................................. 2
1.4 Manfaat Pembahasan ................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 3
2.1 Proses Negosiasi Perang Dagang China dengan AS ................................. 3
2.2 Strategi Negosiasi Jepang dalam CPTPP .................................................. 9
2.3 Strategi Negosiasi Korea Utara terhadap kesepakatan Denuklirisasi
dengan AS ................................................................................................. 13
2.4 Negosiasi Normalisasi Hubungan Diplomatik AS dengan Kuba ............. 18
2.5 Strategi dan Taktik Negosiasi antara Pemerintah Thailand dan Barisan
Revolusi Nasional dalam Upaya Meredam Konflik pada Tahun 2013-
2018........................................................................................................... 20
BAB III PENUTUP ....................................................................................... 25
3.1 Studi Komperatif Negosiasi yang diterapkan 5 Negara tersebut .............. 25
3.2 Saran .......................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 32

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negosiasi menjadi salah satu hal yang sering ditemui dalam sebuah bisnis.
Kegiatan ini biasanya dilakukan untuk mendapatkan kesepakatan terbaik antara
pengusaha dengan supplier, pengusaha dengan pelanggan, pengusaha dengan
investor, dan sebagainya. Negosiasi bukan hanya masalah harga, tapi juga dapat
dilakukan dalam membuat kontrak kerja sama, ekspansi bisnis, investasi bisnis, dan
masih banyak lagi. Negosiasi ini biasanya dilakukan karena ada satu pihak yang
merasa kurang puas atau kurang sesuai terhadap suatu hal, sehingga perlu dibuat
kesepakatan ulang melalui sebuah metode negosiasi.

Proses negosiasi biasanya dilakukan antara dua pihak, namun tidak jarang
juga melibatkan pihak ketiga yang biasanya disebut negosiator atau orang yang
memiliki skill negosiasi serta etika komunikasi bisnis yang baik. Proses ini bersifat
formal dan terikat oleh waktu dan tempat yang terbatas.

Tujuan utama negosiasi adalah mendapatkan kesepakatan bersama atas


suatu hal yang diperdebatkan. Selain itu, negosiasi juga memiliki beberapa tujuan
lainnya seperti: Menyelesaikan konflik atau perdebatan yang timbul akibat
perbedaan pendapat dalam sebuah negosiasi,Mendapatkan kesepakatan dan jalan
keluar dari perbedaan pendapat,Menghindari hal-hal negatif yang dapat timbul dari
bisnis seperti perbedaan pendapat dan pertikaian karena tidak ada pihak yang ingin
mengalah dan mendengarkan pendapat pihak lain apabila terjadi masalah
dikemudian hari,Menyatukan beberapa perbedaan pendapat agar diperoleh
kesepakatan bersama.

1
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah dijabarkan sebelumnya


mengenai negosiasi. Penulis mengajukan enam rumusan masalah yang nantinya
akan menjadi fokus dari pembahasan penulis. Diantaranya sebagai berikut:
1. Bagaimana Proses Negosiasi perang dagang China dan Amerika Serikat?
2. Bagaimana Strategi Negosiasi Jepang dalam Comprehensive and Progressive
Agreement For Trans-Pacific Partnership (CPTPP)?
3. Bagaimana Strategi Negosiasi Korea Utara terhadap kesepakatan Denuklirisasi
oleh Amerika Serikat ?
4. Bagaimana Proses Negosiasi Normalisasi Hubungan Diplomatik Amerika
Serikat dengan Kuba ?
5. Bagaimana Strategi dan Taktik Negosiasi antara Pemerintah Thailand dan
Barisan Revolusi Nasional dalam Upaya Meredam Konflik ?
6. Studi Komperatif antara 5 Negara tersebut.

1.3 Tujuan Pembahasan

Adapun pembahasan ini bertujuan untuk mendapatkan keterangan dan data


yang membahas secara jelas tentang proses negosiasi dan strategi negosiasi yang
terjadi di beberapa negara dalam segala aspek. Mengetahui secara terperinci
bagaimana proses negosiasi antara negara – negara tersebut. Selain itu, mengetahui
tantangan dan hambatan yang ada dalam proses negosiasi serta strategi ataupun
langkah yang diambil untuk menghadapi tantangan dan hambatan tersebut. Dan
juga untuk melihat kejadian-kejadian apa saja yang menarik perhatian selama
proses perundingan tersebut berlangsung. Sehingga diharapkan pembahasan ini
dapat membantu para pembaca untuk mendapatkan gambaran yang jelas.

2
1.4 Manfaat Pembahasan

Penulis berharap pembahasan ini berguna untuk memberikan informasi


ataupun pemikiran mengenai proses perundingan-perundingan yang terjadi di
dunia. Sehingga para pembaca dapat memahami dan mengkritisi kebijakan ataupun
strategi yang diambil dalam proses negosiasi-negosiasi tersebut. Adapun penulis
berharap menambah wawasan bagi pembaca mengenai Negosiasi Bisnis atau
negosiasi perdagangan. Serta menjadi pegangan bagi penulis dalam upaya
pengembangan akademik.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Proses Negosiasi Perang Dagang China dan Amerika Serikat

Meningkatnya saling ketergantungan ekonomi dalam tatanan global telah


menentukan pola interaksi dalam politik internasional, baik kerjasama maupun
konflik. Munculnya konflik tidak hanya berdasarkan pada persaingan
memperebutkan sumber-sumber ekonomi yang penting melainkan juga konflik
yang terjadi akibat ketimpangan dalam pembangunan ekonomi global. Dalam
perkembangannya, konflik ekonomi akan berdampak pada tatanan politik suatu
negara (Yuniarti, 2013). Perang dagang antara AS dan Tiongkok tidak terjadi begitu
saja. Fenomena tersebut diawali sejak terpilihnya Trump menjadi Presiden AS
tahun 2016. Terpilihnya Trump menciptakan situasi dan kondisi panas terhadap
perekonomian global. Perang dagang menimbulkan berbagai asumsi negatif
terhadap gejolak perekonomian negara-negara di dunia. Dalam praktik kebijakan
ekonomi, Amerika Serikat dibawah pemerintahan Trump menerapkan prinsip
dengan mengubah tata perdagangan internasional yang semulanya bersifat
perdagangan bebas kemudian menjadi perdagangan yang dilakukan hanya antar
negara. Berbeda dengan Tiongkok dibawah pemerintahan Xi Jinping yang

3
mendukung penuh atas perdagangan bebas dunia dan membantah bahwa globalisasi
yang menyebabkan terjadinya banyak konflik di dunia (BBC, 2017).

Bertolak belakang dari kedua pemimpin negara tersebut telah menimbulkan


berbagai polemik. Berdasarkan pada laporan dari PDB Annual Growth Rate 2018
(Damayanti et al., 2018), menjabarkan bahwa perekonomi Tiongkok cenderung
lebih stabil daripada AS. Hal tersebut dibuktikan dengan rata-rata GDP Tiongkok
mencapai 6,75% dibandingkan Negosiasi Perang Dagang Amerika Serikat dan
Tiongkok AS hanya mencapai 4,2% per Juli 2018. Peristiwa ini menimbulkan
kekhawatiran AS dan menjadi sejarah baru dalam tatanan ekonomi global
(Damayanti et al., 2018). Dalam menghadapi Tiongkok, Trump berusaha
membentuk strategi ekonomi melalui kebijakan dengan menaikkan tarif terhadap
barang dari Tiongkok.

Pada tanggal 17 Januari 2018, Trump mengancam Tiongkok karena


dianggap telah mncuri Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Selain itu, pada 22
Januari 2018, Trump juga memberlakukan tarif terhadap seluruh negara di dunia
terkecuali Kanada untuk produk panel surya sebesar 30% mesin cuci impor sebesar
20%. Selain itu, AS juga menetapkan tarif sebesar 25% terhadap 1.300 produk
teknologi, transportasi, dan medis. Akan tetapi, Tiongkok langsung merespon atas
kebijakan yang diterapkan Trump dengan mengecam biaya US$1.1 miliar terhadap
impor produk sorgum asal AS pada 4 Februari 2018 (Badiri, 2020). Perang dagang
kedua negara juga dipicu oleh kenaikan tarif pajak sebesar 25% dan 10% untuk
aluminium pada 8 Maret 2018. Akan tetapi, Tiongkok langsung merespon atas
tindakan yang diterapkan AS yaitu pada tanggal 22 Maret 2018 Tiongkok
menetapkan pembatasan tarif impor sebesar US$3 miliar terhadap 128 jenis produk
asal AS termasuk komoditas agrikultur, buah-buahan, kacang-kacangan, dan babi.
Lebih lanjut, pada 4 April 2018 Tiongkok juga menetapkan tarif sebesar US$50
miliar terhadap 106 produk AS termasuk kacang kedelai, daging sapi, jagung,
beberapa pesawat terbang dan berbagai kendaraan.

4
Tidak hanya itu, Tiongkok juga menetapkan kebijakan anti-dumping tepung
sejumlah US$1 miliar yang berasal dari AS. Namun, Tiongkok juga mengajukan
keluhan kepada WTO mengenai pembebanan tarif baja oleh AS (Badiri, 2020).
Sementara itu, melihat aksi saling berbalas perang tarif ini semakin memanas dan
kedua negara berusaha untuk menemukan jalan keluar. Pada 21 April 2018 menjadi
momentum yang baik bagi perang dagang AS dan Tiongkok, di mana U.S Treasury
Secretary Steven Mnuchin menyatakan bahwa akan melakukan kesepakatan
dagang dengan Tiongkok. Dengan demikian, Tiongkok merespon niat baik tersebut
dan melakukan perundingan perdagangan bilateral di Beijing. Hal tersebut
diindikasikan pada 3-7 Mei 2018 yang mana AS dan Tiongkok melakukan
perundingan perdagangan pertama kali untuk membahas resolusi konflik dagang
yang sedang dihadapi. Pertemuan di Beijing ini menjadi momentum pertama kedua
negara menentukan jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi. Pada pertemuan
ini, AS meminta Tiongkok untuk mengurangi kesenjangan perdaganga sebesar
US$200 miliar dalam waktu dua tahun. Akan tetapi, pertemuan perundingan
pertama tersebut belum menemukan kesepakatan (Pujayanti, 2018). Lebih lanjut,
Wakil Perdana Menteri Tiongkok Liu He dan XI Jinping mengunjungi Washington
untuk melakukan pembicaraan lanjutan terhadap kesepakatan dagang kedua negara
pada 15 Mei 2018, di mana Tiongkok berencana melakukan pengehentian tarif
impor tepung asal AS. Akan tetapi, pernyataan tersebut laporan tidak benar.

Hingga pada 20 Mei 2018, kedua negara sepakat untuk menunda sementara
perang dagang dengan menangguhkan kenaikan tarif setelah Tiongkok dilaporkan
setuju untuk membeli lebih banyak barang dari AS (Sebayang, 2019). Akan tetapi,
Tiongkok berencana akan menurunkan tarif impor mobil hingga 15% dari 25%.
Namun, Trump menilai kebijakan tersebut tidak mendatangkan keuntungan bagi
negaranya, sehingga Trump menetapkan tarif 25% senilai US$50 miliar terhadap
impor Tiongkok. Oleh karenanya, munculnya babak baru perang dagang pasca
dilakukannya perundingan pertama. Pada Juni 2018, AS telah melakukan kebijakan
penaikan tarif 3 kali terhadap barang dari Tiongkok. Kedua negara saling
melakukan aksi berbalas dalam kenaikan tarifnya, seperti pada 15 Juni 2018, AS

5
menetapkan biaya impor senilai US$34 miliar terhadap 1.102 produk asal Tiongkok
dan 284 produk lainnya sejumlah US$16 miliar. Tiongkok langsung merespon atas
kebijakan yang ditetapkan AS dengan melakukan pembebanan biaya senilai US$34
miliar produk AS (Sebayang, 2019). Sementara itu, pada 10 Juli 2018 AS
mengusulkan untuk mengenakan tarif 10% senilai US$200 miliar. Akan tetapi,
pada 1 Agustus 2018 Trump meminta Perwakilan Dagang AS (USTR) untuk
menaikkan tarif impor barang dari Tiongkok menjadi 25%. Aksi berbalas perang
tarif tidak hanya berhenti begitu saja. Tiongkok merespon kebijakan AS dengan
menetapkan bea masuk 25% produk AS senilai US$16 miliar. Kebijakan dari kedua
negara tersebut diberlakukan pada 23 Agustus 2018 (BBC News Indonesia, 2018).

Melihat aksi saling berbalas tarif yang tidak ada ujungnya, membuat kedua
negara memutuskan untuk mengadakan kembali perundingan dalam menemukan
jalan keluar atas masalah yang dihadapi oleh kedua belah pihak. Bersamaan dengan
pertemuan forum G20 pada 30 November 2018, AS dan Tiongkok melaksanakan
perundingan lanjutan dan memberikan penekanan besar terhadap kebijakan
perdagangan mereka. Perundingan kedua ini menghasilkan persetujuan genjatan
senjata selama 90 hari atas biaya tarif impor baru yang berlaku pada 1 Januari 2019.
Tiongkok juga menetapkan akan meningkatkan pembelian terhadap produk
pertanian dan energi dari AS. Oleh karenanya, pada 24 Februari 2019, Trump
kembali menunda rencananya untuk menaikan biaya tarif pada barang Tiongkok
sebesar US$200 miliar menjadi 25% dari 10% dikarenakan ditemukannya
kemajuan yang substansial dalam putaran kedua perundingan perdagangan dengan
Tiongkok (Sebayang, 2019). Selanjutnya, pada 8 Mei 2019 AS dan Tiongkok
kembali melakukan negosiasi di Washington DC untuk membahas keberlanjutan
perang dagang. Namun, negosiasi Negosiasi Perang Dagang Amerika Serikat dan
Tiongkok tersebut berakhir gagal dikarenakan pemerintah AS mengatakan bahwa
Tiongkok telah mengingkari komitmennya dalam membeli produk pertanian AS.
Oleh karenanya, AS kembali menetapkan tarif yang semula 10% menjadi 25%. Hal
tersebut mengindikasikan terjadinya babak baru perang dagang kedua pihak tahun
2019 (CNN Indonesia, 2019).

6
Perundingan selanjutnya diadakan pada 29 Juni 2019 pada pertemuan KTT
G20 di Osaka, di mana kedua negara secara resmi menyetujui untuk memulai
kembali pembicaraan perdagangan setelah konsesi dari kedua pihak. Trump
menyetujui untuk tidak menaikkan tarif baru dan melakukan pelonggaran
pembatasan suplai bagi perusahaan telekomunikasi Tiongkok yaitu Huwaei
Technologies. Begitu pula dengan sebaliknya, Tiongkok menyetujui untuk
membeli lebih banyak produk pertanian AS. Akan tetapi, praktik tersebut tidak
dilaksanakan sesuai dengan permintaan AS di mana Trump mengeluhkan bahwa
Tiongkok belum menindaklanjuti perjanjian mereka untuk membeli lebih banyak
produk pertanian AS (Sembiring, 2019).

Pada putaran negosiasi berikutnya Trump, Lighthizer dan Mnunchin


berbicara kepada Wakil Perdana Menteri Tiongkok yaitu Liu He yang setuju untuk
menetapkan langkah-langkah dalam meredakan ketegangan meskipun perang
dagang kedua negara belum menemukan titik terang, tetapi para pemimpin negara
berkomitmen untuk melindungi produk dari kenaikan tarif (Safitri, 2020).
Akhirnya, kedua negara setuju untuk melakukan perudingan kembali dan
mengumumkan kesepakatan Fase I yang dilakukan selama dua hari pada 10-11
Oktober 2019 di Washington DC yang menghasilkan perjanjian bahwa Tiongkok
akan membeli produk pertanian AS senilai US$40-50 miliar setiap tahunnya dan
memperkuat ketetapan tentang kekayaan intelektual. Sebaliknya, AS menunda
kenaikan tarif impor Tiongkok yang dijadwalkan pada 15 Oktober (Costa &
Sukartha, 2020).

Pada November 2019 dilakukannya pertemuan para pemimpin global di


Santiago, Chili untuk menandatangani kesepakatan perjanjian tahap I dan menjadi
kesepakatan akhir. AS setuju untuk tidak melanjutkan ketetapan tarif 15% senilai
US$160 miliar dan menetapkan tarif 7,5% terhadap produk impor Tiongkok, tetapi
tarif 25% pada impor Tiongkok sejumlah US$250 miliar tetap dipertahankan
dengan kemajuan lebih lanjut akan dihubungkan dalam negosiasi perdagangan

7
masa depan (Costa & Sukartha, 2020). Setelah berlangsung hampir dua tahun
perang dagang antara dua kekuatan ekonomi dunia, pada 15 Januari 2020 telah
dicapai kesepakatan Tahap I untuk menetapkan “masa jeda” perang dagang antar
kedua negara. Penandatanganan tersebut dilakukan di Washington DC yang ditanda
tangani oleh Wakil Perdana Menteri Tiongkok Liu He dan Presiden Amerika
Serikat Donald Trump dan dihadiri oleh para donor terutama partai Republik dan
pemimpin bisnis, di mana Trump mengatakan bahwa kesepakatan tersebut akan
menyediakan pangggung yang lebih kuat untuk menjalin hubungan dengan
Tiongkok (BBC News Indonesia, 2020). Adapun isi dari kesepakatan tersebut
antara lain Tiongkok berkomitmen akan meningkatkan impor produk AS sebesar
US$200 miliar diatas level tahun 2017, meningkatkan pembelian produk pertanian
sebesar US$32 miliar, manufaktur sebesar US$78 miliar, energi sebesar US$52
miliar, dan jasa sebesar US$38 miliar. Selain itu, Tiongkok sepakat untuk bertindak
lebih tegas terhadap pemalsuan dan memudahkan perusahaan untuk menempuh
tindakan hukum atas pencurian rahasia dagang.

Disamping itu, AS akan mempertahankan tarif hingga 25 persen bagi


produk Tiongkok yang berkisar US$360 miliar dan Tiongkok telah mengenakan
tarif baru atas produk AS sebesar US$100 miliar. Trump menegaskan perjanjian
tersebut merupakan perjanjian Tahap I dan akan melakukan kembali perundingan
Tahap II untuk membahas mengenai kekayan intelektual Amerika Serikat
(Pramadiba, 2020). Perang dagang kedua negara akan terus berlanjut mengingat
terdapat banyak kepentingan dibalik sengketa tersebut. Pertimbangan untung rugi
menjadi instrumen penting terjadinya perang dagang tersebut dan karenanya tidak
pernah ada yang diuntungkan dari perang dagang mengingat pihak lawannya akan
melakukan hal yang sama terhadap produk dari pihak lainnya.

Hal tersebut menegaskan bahwa strategi negosiasi yang dilakukan China


ialah Negosiasi dengan Pendekatan integratif, pendekatan kolaboratif atau value-
creating, yang dimaksud dengan pendekatan integratif adalah pendekatan negosiasi
di mana pihak-pihak dalam negosiasi mencoba mencapai tujuan yang tidak

8
secara fundamental berbeda dari lawan negosiasi sehingga tujuan masing -
masing pihak dapat diintegrasikan dan dapat dicapai oleh masing-masing pihak
tanpa membuat pihak lain kalah. Pendekatan ini juga dikenal dengan istilah
pendekatan win-win , karena tidak ada pihak yang sepenuhnya kalah. Sejatinya
perang dagang merugikan kedua pihak maupun negara yang tidak terlibat juga
terkena dampaknya. Oleh karena itu, sejarah perang dagang selalu berakhir dengan
perundingan atau negosiasi yang sekiranya akan memberikan win-win solution
untuk semua pihak yang terlibat.

2.2 Strategi Negosiasi Jepang dalam Comprehensive and Progressive


Agreement For Trans-Pacific Partnership (CPTPP)

Jepang telah melakukan liberalisasi sejak tahun 1990-an. Proses


liberalisasi yang dilakukan tidaklah mudah, karena tidak lepas dari penentangan
yang terjadi di wilayah domestik Jepang , terutama pada liberalisasi produk -
produk agrikultur. Namun , dengan semakin masifnya liberalisasi yang terjadi
di dunia, Jepang tidak bisa menghindar dari proses liberalisasi tersebut. Dari
situ menarik untuk di amati, bagaimana Jepang melakukan liberalisasi
dengan tetap mempertahankan kepentingan nasionalnya dalam bidang agrikultur.
Proses liberalisasi yang terjadi di Jepang dimulai sejak melakukan negosiasi
perdagangan bebas ( Free Trade Agreement atau FTA) dengan Meksiko pada
tahun 1999. Pada tahun 2001, Jepang melakukan negosiasi FTA dengan Singapura
dalam kerangka Japan Singapore Economic Partnership Agreement (JSEPA)
yang disahkan dan diimplementasikan pada tahun 2002. Sampai tahun 2019,
Jepang telah memiliki 18 perjanjian perdagangan bebas yang telah
ditandatangani atau diimplementasikan ( Singapura, Meksiko, Malaysia, Chili,
Thailand, Indonesia, Brunei, ASEAN, Filipina, Swiss, Vietnam, India, Peru,
Australia, Mongolia, TPP12, TPP11/CPTPP, Uni Eropa ); 5 perjanjian dalam
tahap negosiasi ( ASEAN, Kolombia, Japan – China - ROK, RCEP, Turki) ;
dan 3 perjanjian yang ditunda ( Gulf Cooperation Council (GCC), Korea,
Kanada) . Perjanjian perdagangan bebas yang telah dilakukan oleh Jepang sering

9
dibuat dengan mempertimbangkan impor produk agrikultur Jepang dengan negara
terkait.

Hal tersebut menyebabkan , walaupun sudah memiliki FTA dengan


beberapa negara, pada tahun 2011 Jepang masih memiliki tarif rata-rata 5.3
persen dan rata - rata tarif sebesar 22.8 persen untuk agrikultur. Tarif tersebut
lebih tinggi dari Amerika Serikat (AS) tetapi lebih rendah jika dibandingkan
dengan Uni Eropa (Sasada, 2013: 227). Keikutsertaan Jepang dalam kerja sama
TPP didorong oleh dari pidato Perdana Menteri (PM) Naoto Kan yang berasal
dari partai DPJ pada bulan Oktober 2010 yang menginginkan untuk mengikuti
perundingan TPP. Sejak saat itu terjadi pro dan kontra di masyarakat Jepang. Pihak
pro berasal dari sektor manufaktur sedangkan pihak anti - TPP berasal dari
sector agrikultur , yang selama ini mendapatkan proteksi tinggi dari pemerintah
Jepang dalam bentuk subsidi, pengenaan tarif dan kuota. PM Kan melakukan
proses koordinasi internal dengan para anggota kabinet dengan harapan
memperoleh keputusan pada Juni 2011. Rencana tersebut tertunda setelah
terjadinya kebocoran nuklir Fukushima Daichi.

Pada masa PM Yoshihiko Noda , rencana masuk perundingan TPP


kembali digulirkan dan isu tersebut membelah kabinet PM Noda menjadi dua
blok. Blok pertama yaitu blok pendukung yang dipimpin oleh Menteri Yukio
Edanno dari Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri (METI). Blok ke
dua dipimpin oleh Menteri Michihiko Kano dari Kementerian Agrikultur,
Kehutanan dan Perikanan (MAFF). Blok ini percaya bahwa perundingan
TPP akan memaksa Jepang melakukan liberalisasi sektor pertanian yang selama
ini dilindungi (Nurdiniyah,2016: 2). Rencana PM Noda gagal untuk mencapai
konsensus sehingga Jepang tidak dapat bergabung dalam perundingan TPP.
Kegagalan tersebut juga membuat DPJ kalah dalam pemilu tahun 2012.Setelah
kekalahan tersebut, Jepang kembali dipimpin oleh LDP dengan Shinzo Abe
sebagai pemimpinnya. PM Abe menganggap TPP sebagai pilar penting dalam

10
reformasi struktur yang ada dalam kebijakan “ Abenomics ”. PM Abe secara
berhati-hati mengungkapkan keinginannya untuk mengikuti negosiasi TPP.

Namun , keinginan PM Abe terkendala karena sebelum dia menjabat,


pada tahun 2011, lebih dari 80 persen anggota LDP di Diet atau Parlemen
Jepang (166 dari 200) secara publik mengatakan tidak akan mendukung Jepang
masuk ke TPP (Sasada, 2013: 245). Organisasi agrikultur JA Zenchu yang selama
ini mendukung LDP juga menginginkan lebih dari 800 item pertanian untuk
tidak terkena dampak pengurangan tarif jika Jepang masuk dalam perjanjian
TPP.

JA Zenchu juga mengancam akan menarik dukungannya bagi LDP dan


New Komeito di pemilu House Councilors jika tetap masuk TPP dan mengikuti
prinsip penghilangan tarif tanpa pengecualian. Namun , setelah perdebatan
internal, LDP secara formal mengumumkan mendukung keputusan PM Abe dan
mengumumkan lima item produk yang harus dilindung yaitu beras, produk gula,
gandum, produk susu,dan daging sapi (Cooper dan Manyin, 2013: 278).Proses
perundingan Jepang dalam TPP yang dimulai sejak tahun 2013 hingga tahun 2015
berjalan alot,terutama pada produk sensitif agrikultur seperti isu non-tarif
intellectual property,state-owned enterprises ,dan investasi . Negosiasi TPP
akhirnya mencapai kesepakatan dengan ditandatanganinya kerja sama TPP di
Auckland, Selandia Baru pada 4 Februari 2016. Di bawah kesepakatan TPP,
Jepang akan menghilangkan tarif dalam 8575 item dengan adanya pengecualian
pada 443 item agrikultur, termasuk beras, produk gula, gandum, susu, dan
daging sapi (Kagitani, 2018: 6).

Pada tahun 2017, setelah AS keluar dari TPP, keikutsertaan Jepang dalam
kerja sama tersebut sempat dipertanyakan. Namun , ternyata Jepang
memutuskan untuk melanjutkan kerja sama dan mengambil peran penting
dalam TPP. Jepang melanjutkan kerja sama tersebut dalam kerangka
Comprehensive and Progressive Agreement for Trans -Pacific Partnership

11
(CPTPP) atau TPP11 (Sim,2017). CPTPP berhasil diwujudkan tanpa adanya
keterlibatan dari AS dan mulai berlaku sejak Desember 2018 setelah syarat
ratifikasi terpenuhi. CPTPP berbeda dengan TPP karena terdapat 22 bab dari
kesepakatan TPP yang dinegosiasi ulang dalam CPTPP yang sebagian besar
merupakan item yang diusung oleh AS.

Kesuksesan liberalisasi perdagangan yang dilakukan oleh Jepang pada


masa pemerintahan Shinzo Abe tidak lepas dari caranya untuk menyukseskan
proses tersebut. Pendekatan yang dilakukan oleh PM Shinzo Abe dengan
melakukan pembentukan badan yang mengurusi negosiasi level domestik
dan level internasional berhasil membuat proses negosiasi menjadi efektif.
Dalam level internasional , strategi negosiasi pararel dengan AS menjadi kunci
kesuksesan Jepang mempertahankan win – sets-nya dan menghasilkan
kesepakatan yang dapat diterima di dalam negeri. Strategi negosiasi pararel
dalam kasus TPP digunakan dengan baik oleh Jepang terutama karena Jepang
masuk sebagai anggota TPP pada masa pertengahan perundingan telah
berlangsung. Hal tersebut membuat Jepang mau tidak mau harus menerima
kesepakatan yang telah disepakati dalam putaran negosiasi sebelumnya. Hal
tersebut membuat Jepang membidik AS sebagai negara dengan ekonomi terbesar
di TPP untuk mempertahankan win - sets-nya. Pada negosiasi level domestik,
kesuksesan kunci PM Abe adalah melakukan reformasi terhadap lembaga
yang selama ini melakukan penentangan terhadap liberalisasi agrikultur.
Reformasi JA Zenchu yang awalnya merupakan strategi untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi di dalam negeri dalam panah Abenomic terbukti menjadi
reformasi yang membantu menyukseskan proses liberalisasi agrikultur di
Jepang. Negosiasi Jepang di level internasional tidak akan berhasil untuk
didomestikasi dalam negeri jika Jepang gagal untuk melakukan reformasi
terhadap kelompok JA Zenchu. Distribusi kekuasaan dalam bentuk jumlah
anggota partai LDP dan koalisinya Komeito di dua kamar Diet juga membantu
untuk Jepang melakukan ratifikasi disertai undang - undang penerapannya.

12
Dalam kasus liberalisasi perdagangan CPTPP , negosiasi di level dalam negeri
merupakan faktor terbesar kesuksesan proses negosiasi.

2.3 Strategi Negosiasi Korea Utara Terhadap Kesepakatan Denuklirisasi


Dengan Amerika Serikat Tahun 2017-2019

Korea Utara selama 2017 sampai 2019 telah melakukan beberapa negosiasi
dengan Amerika Serikat. Dimana dalam negosiasi tersebut, memiliki satu tujuan
akhir yang sama yaitu membuat kesepakatan yang saling menguntungkan dengan
Korea Utara berupaya mendapatkan pengurangan sanksi ekonomi dari PBB dan
Amerika Serikat. Padahal sebelumnya secara historis belum ada pemimpin negara
dari kedua negara yang mengadakan pertemuan langsung untuk membahas
hubungan bilateral kedua negara dengan protokol resmi selayaknya negara
berdaulat. Didorong dengan kepentingan masing-masing, peristiwa bersejarah yang
telah terjadi membuat negosiasi diharapkan dapat terselesaikan dengan saling
menguntungkan. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan dan diusahakan
pemerintahan Korea Utara kepada Amerika Serikat dalam bernegosiasi bersifat
untuk mendorong tuntutan dari Korea Utara terlaksana, untuk itu dalam proses awal
terbentuknya proses negosiasi Korea Utara sempat melakukan kebijakan-kebijakan
yang seakan dilakukan Korea Utara untuk membuat kesan positif dalam rencana
diadakannya 24 pertemuan resmi. Diantaranya adalah pada 21 April 2018, Korea
Utara sempat menghentikan uji coba nuklir yang dimilikinya yang pada tahun-
tahun sebelumnya Korea Utara secara berkala terus melakukan uji coba nuklir. Hal
ini mempunyai maksud bahwa Korea Utara memiliki kemauan untuk membuka
ruang diskusi dan negosiasi dengan Amerika Serikat yang nantinya tersampaikan
serta akan dijelaskan setelah ini. Selain kebijakan diatas, Korea Utara juga sempat
mengeluarkan kebijakan yang mendukung jalannya pertemuan negosiasi dengan
sempat mengembalikan atau membebaskan tiga tahanan Amerika. Mereka bernama
Kim Hak-song, Tony Kim dan Kim Dong-chul. Hal tersebut dipandang sebagai
isyarat positif menjelang pertemuan puncak bersejarah antara Trump dan Kim
Jong-un dari Korea Utara (BBC, 2018). Kemudian Korea Utara juga melakukan

13
kebijakan yang mengejutkan selain adanya pertemuan Trump dan Kim Jong-Un
yang juga merupakan kebijakan yang mengisyaratkan pertukatan pengurangan
tuntutan yaitu momen dimana terdapat ungkapan niat baik menjelang
pertemuannya dengan diadakannya penghancuran satu-satunya situs uji coba nuklir
Korea Utara yang diketahui. Disaksikan wartawan asing yang menonton Korea
Utara meledakkan bahan peledak untuk menghancurkan terowongan dan bangunan
di lokasi di pegunungan terpencil negara itu (Sang-Hun, 2018).

Pada 12 Juni 2018, pertemuan pertama antara para pemimpin Amerika


Serikat dan Korea Utara berlangsung di Singapura. Presiden Trump dan Presiden
Kim Jong Un menandatangani pernyataan bersama yang mendukung beberapa
tujuan, termasuk denuklirisasi Semenanjung Korea dan pembentukan hubungan 25
baru AS-Korea Utara. Dari pertemuan tersebut hanya menghasilkan komitmen
secara umum, yaitu : 1. Kedua negara akan membangun "hubungan baru" untuk
perdamaian dan kemakmuran. 2. Amerika Serikat dan Korea Utara akan bekerja
sama untuk membangun "rezim perdamaian yang stabil dan abadi di Semenanjung
Korea". 3. Korea Utara berkomitmen "untuk bekerja menuju Denuklirisasi total
semenanjung Korea". 4. Kedua negara akan memulihkan dan memulangkan sisa-
sisa tentara yang terbunuh selama Perang Korea 1950-53. Trump mengatakan
sisasisa tentara AS yang tewas dalam Perang Korea akan dibawa pulang. Hampir
7.800 tentara AS dinyatakan hilang atau tidak diketahui akibat Perang Korea.
Sekitar 5.300 dari mereka hilang di Korea Utara. Baik Kim dan Trump
menandatangani perjanjian untuk pemulihan sisa-sisa tentara Amerika serta
pemulangan segera dari mereka yang telah diidentifikasi (Schallhorn, 2019).
Kemudian pada 27-28 Februari 2019, Presiden AS Trump dan pemimpin Korea
Utara Kim Jong Un bertemu di Hanoi, Vietnam untuk pertemuan puncak kedua
mereka. Pembicaraan berakhir tanpa kesepakatan yang ditandatangani. Dalam
konferensi pers AS setelah KTT, Trump dan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo
menyatakan bahwa kedua belah pihak telah membuat kemajuan tetapi bahwa Korea
Utara telah menyerukan agar sanksi dicabut "secara keseluruhan" dengan imbalan
denuklirisasi parsial yang dilakukan Amerika 26 Serikat, ditolak. Negosiasi yang

14
dilakukan pun terbukti stagnan tidak menghasilkan kesepakatan yang berarti
(Masterson, 2020).

Dari Kasus ini dapat disimpulkan bahwa Korea Utara menggunakan strategi
negosiasi Exchanging Concessions. Strategi melalui bentuk taktik Exchanging
Concessions tersebut dapat dilihat dengan upaya yang dilakukan Korea Utara dalam
kebijakan-kebijakan yang diputuskan untuk mencapai jalan Denuklirisasi itu
sendiri. Korea Utara mencoba melakukan kebijakan yang jika dilihat melalui
strategi ini sesuai dimana dimulai dengan Korea Utara yang dikatakan akhirnya
sepakat untuk melakukan pertemuan secara langsung kepada Amerika Serikat
dalam membahas masalah Denuklirisasi. Padahal sebelumnya Korea Utara dikenal
sebagai negara yang tidak populer untuk hubungan diplomasi yang relatif berkerja-
sama terlebih lagi ancaman nuklir yang dimiliki Korea Utara. Hal ini pun disambut
baik oleh lawan negosiasi yaitu Amerika Serikat dimana pada awalnya Amerika
juga yang sebelumnya menerapkan sanksi serta mengawasi pergerakan militer
Pyongyang dengan disetujuinya pertemuan tersebut membuat Amerika Serikat
memprioritaskan adanya jalan bagi Denuklirisasi. Menimbang bahwa Korea Utara
dalam sepanjang tahun 2017 terus melakukan tes peluncuran senjata misil dari
Ferbruari hingga November (CSIS, 2017). Akhirnya membuat Amerika Serikat dan
PBB memberikan sanksi terhadap Korea Utara atas kebijakan mereka untuk
melakukan tes misil terbesar pada saat itu, salah satunya yaitu embargo ekonomi
(Cohen & Roth, 2017). Yang kemudian 28 menyebabkan terjadinya pertemuan
diantara keduanya dengan dua pertemuan resmi untuk membahas kesepakatan
Denuklirisasi walaupun tidak adanya kesepakatan yang terjalin (Liptak &
Diamond, 2019). Pihak Korea Utara tentu menggunakan strategi dalam
bernegosiasi dengan Amerika Serikat. Beberapa kebijakan Korea Utara yang
mengarah pada strategi Problem Solving dalam bentuk taktik Exhanging
Concessions ada sebagai berikut. Yaitu terdapat beberapa kebijakan yang
diputuskan oleh Korea Utara pada awal negosiasi yang membawa mereka bersikap
lunak sehingga mereka berharap negosiasi dapat berjalan sesuai keinginan mereka.
Beberapa kebijakan yang dilakukan Korea Utara adalah bahwa Pyongyang sempat

15
membebaskan tiga tahanan Amerika. Mereka bernama Kim Hak-song, Tony Kim
dan Kim Dongchul. Hal tersebut dipandang sebagai isyarat positif menjelang
pertemuan puncak bersejarah antara Trump dan Kim Jong-un dari Korea Utara
(BBC, 2018). Tentu saja kebijakan tersebut sangat berpengaruh bagi hubungan dan
terutama proses berjalannya negosiasi Amerika dan Korea Utara. AS pun sempat
membalas dengan mengurangi latihan militer gabungan dengan Korea Selatan pada
April 2018 (Rogers, 2018). Sehingga dengan adanya kebijakan dari masing-masing
pihak seperti yang disebutkan diatas membuat proses menuju negosiasi semakin
mudah untuk dicapai dibuktikan dengan adanya pertemuan resmi diantara pihak
Korea Utara dan Amerika Serikat untuk pertama kalinya. Kebijakan Korea Utara
lainnya yang dapat membawa kesepakatan dilihat dari taktik Exchanging
Concessions yaitu Korea Utara sempat memprioritaskan tuntutannya mengenai
sanksi yang diberikan Amerika dengan mencoba menuruti tuntutan Amerika dan
melakukan kebijakan yang cenderung menguntungkan 29 Amerika dimulai dengan
sempat menghentikan atau menangguhkan semua uji coba rudal dan akan menutup
situs uji coba nuklir pada 2018 silam yang dimana pernyataan ini keluar lewat
kantor berita negara tersebut dimana keputusan untuk menangguhkan peluncuran
rudal dibuat selama pertemuan komite pusat partai yang berkuasa, disampaikan
melalui Korean Central News Agency (Panda, BBC News, 2018). Sehingga pada
sekitar pertengahan menuju akhir tahun 2018 Korea Utara sempat menghentikan
uji coba rudal miliknya yang notabene pada tahun 2017 secara konsisten terus
melakukan uji coba senjata nuklir. Korea Utara telah mengatakan akan mengakhiri
tesnya untuk Senjata Nuklir dan Rudal Balistik Antarbenua dalam perkembangan
dramatis menuju pertemuan kedua pemimpin (McCurry, 2018). Korea Utara juga
melakukan kebijakan yang mengejutkan selain adanya pertemuan Trump dan Kim
Jong-Un yang juga merupakan kebijakan yang mengisyaratkan pertukatan
pengurangan tuntutan yaitu momen dimana terdapat ungkapan niat baik menjelang
pertemuannya dengan diadakannya penghancuran satu-satunya situs uji coba nuklir
Korea Utara yang diketahui. Disaksikan wartawan asing yang menonton Korea
Utara meledakkan bahan peledak untuk menghancurkan terowongan dan bangunan
di lokasi di pegunungan terpencil negara itu (Sang-Hun, 2018). Korea Utara

16
mengklaim bahwa mereka telah mencopot dan membongkar situs uji coba nuklir
yang diketahui publik, dengan meledakkan alat peledak dan meruntuhkan pintu
masuk didepan kru televisi internasional sebagai pertanda yang diharapkan
membawa dampak besar (Haas & Borger, 2018). Penulis ingin menunjukan bahwa
Korea Utara mencoba melakukan Exchanging Concessions untuk mendapat
perhatian dari lawan yaitu Amerika Serikat namun gagal dalam artian bahwa
setelahnya Korea Utara tidak dapat menetapkan kesepakatan. Korea Utara berani
mengambil kebijakan yang terbilang lunak di awal karena Korea Utara
membutuhkan kesan positif untuk dapat membawa posisi negosiasi dengan
Amerika Serikat ke tempat dengan peluang terjadinya kesepakatan yang besar.
Karena secara mau tidak mau ketika Amerika menuntut adanya pengurangan
produksi senjata nuklir maka Korea Utara akan melakukannya dengan memilih
prioritas mendapatkan pengurangan sanksi ekonomi dari Amerika serikat. Perihal
situasi tersebut, Amerika juga membalas kebijakan yang dibuat dengan mengurangi
latihan militer Amerika di Korea Utara setelah Korea Utara melakukan
pengurangan tuntutan yaitu menghancurkan situs menuju tempat uji coba nuklir
(Rogers, 2018). Selain itu juga kenyataan bahwa Amerika setuju untuk mengadakan
pertemuan pertama kali dan setelahnya bersama Korea Utara terlebih terdapat niat
untuk mengurangi sanksi yang diberikan ke Korea Utara adalah bentuk dari
pertukaran pengurangan tuntutan (Williams, 2018). Oleh karena itu, hal ini sesuai
dengan konsep dari Pruitt yaitu Problem Solving dalam bentuk Exchanging
Concessions, di mana disebutkan bahwa ketika negosiator melakukan pengurangan
tuntutan atau sikap mengalah, dan atas dasar itu lawan negosiasi juga melakukan
hal tersebut sebagai upaya untuk saling bekerja sama dalam menemukan win-win
solutions bahkan win-win agreements maka hal tersebut adalah bagian dari bentuk
taktik Exchanging Concessions yang dapat disebut sebagai logrolling (Pruitt &
Carnevale, 1993, p. 37). Taktik yang dilakukan Korea Utara adalah mengurangi
tuntutan ataupun keuntungan dari pihaknya untuk kemudian berdasarkan kebijakan
tersebut dapat membawa Korea Utara ke kesepakatan lebih lanjut dan membuat
lawan yaitu Amerika juga mengurangi tuntutannya sehingga hal tersebut dapat
membawa ke tujuan dari Problem Solving yaitu adanya win-win agreements.

17
2,4 Negosiasi Normalisasi Hubungan Diplomatik Amerika Serikat dengan
Kuba

Perselisihan antara AS dan Kuba sangat didominasi oleh sikap


ketidakpercayaan (distrust), terutama dari pihak Kuba kepada AS. Kondisi ini,
ditambah fakta bahwa perselisihan di antara kedua negara itu sudah berlangsung
cukup lama (lebih dari 80 tahun), secara psikologis membuat keduanya sulit untuk
menghilangkan stigma masing-masing sebagai musuh dan ancaman (threat).
Kondisi inilah yang menyebabkan perundingan selama dua hari yang
diselenggarakan pada bulan Januari 2016 diwarnai oleh sikap keras kedua belah
pihak yang bersikukuh untuk memaksakan kehendak masing-masing. Sikap hostile
yang masih membayangi kedua negara bahkan juga membuka peluang bagi
ditempuhnya pendekatan lose-lose oleh kedua belah pihak karena faktor prestige
and pride. Kalau ini terjadi, upaya pemulihan hubungan secara penuh di antara
kedua negara ini tentu akan menjadi semakin sulit.Pendekatan win-win berpeluang
untuk diterapkan dalam negosiasi pemulihan hubungan diplomatic AS – Kuba
mengingat bahwa kedua negara sebenarnya saling membutuhkan.

Kuba, yang sejak tahun 1962 mengalami tekanan akibat embargo


ekonomi AS, memerlukan akses terhadap lembaga-lembaga keuangan dan
perdagangan internasional. Kebutuhan ini antara lain tampak dari kebijakan
regulasi penanaman modal asing Kuba yang sejak tahun 2014 menunjukkan
keinginan negara tersebut untuk mengakses pasar global.

Di sisi lain, dari perspektif AS terbukanya pasar Kuba juga akan


memberikan manfaat bagi perusahaan-perusahaan AS. Dengan demikian,
kepentingan-kepentingan AS maupun Kuba pada titik ini tidaklah saling
bertentangan melainkan justru bersifat saling melengkapi. Ketika AS
mengendorkan embargo ekonomi atas Kuba, Kuba tentu diuntungkan karena
akan memiliki akses terhadap lembaga-lembaga ekonomi/keuangan

18
internasional yang bisa mendorong pertumbuhan ekonominya, sedangkan pelaku-
pelaku usaha AS pada gilirannya juga akan memiliki akses terhadap pasar Kuba
yang menguntungkan. Kepentingan Bersama (mutual interests) inilah yang
semestinya bisa dielaborasi untuk mengembangkan pendekatan integratif dalam
negosiasi. Dalam negosiasi AS – Kuba, penekanan pada profitabilitas ekonomi
ini akan membuka peluang yang cukup besar mengingat bahwa selain
kepentingan yang bersifat artifiasial (prestige and pride),sejak berakhirnya
Perang Dingin tidak ada kepentingan lain, termasuk kepentingan ideologis, yang
setara dengan kepentingan ekonomi. Berpijak pada linimasa historisnya,
perselisihan antara AS – Kuba merupakan perselisihan yang cukup
rumit.Kerumitan ini muncul karena dua hal.

Pertama, perselisihan ini mencakup skala yang cukup luas dalam arti ada
berbagai aspek yang menjadi bidang perselisihan, mulai dari persoalan embargo
ekonomi, aspek kedaulatan wilayah (Guantanamo), hak asasi manusia dan politik.
Kedua, perselisihan ini juga didominasi oleh sikap ketidakpercayaan salah satu
pihak (Kuba) terhadap AS dan sikap AS yang menganggap Kuba sebagai musuh
dan ancaman (negara pendukung terorisme). Oleh karena itu, perlu diterapkan
strategi negosiasi yang tepat untuk merespons kedua hal tersebut. Bertitiktolak dari
karakterisitik sengketa antara AS – Kuba,

Ketika Kuba, misalnya, sudah menyatakan secara terbuka bahwa


pemulihan hubungan diplomatic secara penuh dengan AS hanya bisa
diwujudkan jika AS mengembalikan Guantanamo kepada Kuba, demi harga diri
dan konsistensi, Kuba akan cenderung menganggap syarat tersebut sebagai titik
mati yang tidak bisa dinegosiasikan (non-negotiable) . Hal yang sama terjadi
ketika misalnya AS secara terbuka mensyaratkan pencabutan larangan bepergian
bagi diplomat AS di Kuba, negara itu untuk alasan yang sama akan menganggap
syarat tersebut sebagai non-negotiable.Secara teoretik, ketika telah disampaikan
secara terbuka kepada publik, syarat-syarat tersebut telah tertransformasikan
menjadi faktor-faktor yang berpotensi menggagalkan perundingan (deal-breaker).

19
Besar kemungkinan perundingan akan menemui jalan buntu ketika masing-
masing pihak bersikukuh membahas deal-breakers tersebut. Pada titik inilah
strategi pendekatan intregrative menunjukkan relevansi-nya.Strategi ini
menyangkut pentahapan perundingan di mana pihak-pihak yang berunding untuk
sementara waktu tidak mengagendakan non-negotiable conditions,melainkan
memfokuskan diri pada perundingan untuk isu-isu yang memang masih bisa
dinegosiasikan (negotiable issues) . Dengan strategi ini diharapkan kesepakatan-
kesepakatan yang dapat dicapai dalam bidang-bidang yang dapat dirundingkan
secara perlahan-lahan akan mendorong terwujudnya fleksibilitas sikap di antara
AS dan Kuba tentang isu-isu yang sebelumnya dianggap non-
negotiable.Persoalan artifisial terkait harga diri dan konsistensi pada giliran-
nya juga akan terkelola dengan baik ketika masing-masing pihak secara mutual
saling memberikan konsesi, sehingga tidak ada pihak yang merasa kalah.

2.4 Strategi Dan Taktik Negosiasi Antara Pemerintah Thailand Dan Barisan
Revolusi Nasional Dalam Upaya Meredam Konflik Tahun 2013-2018

Konflik yang terjadi antara Pemerintah Thailand dan BRN (Barisan


Revolusi Nasional), memiliki pertentangan kepentingan kedua belah pihak yang
bertikai sangat kuat. Masing-masing pihak tidak mau melepaskan tuntutan ataupun
bahkan mengurangi tuntutannya masing-masing. Sebagai suatu negara yang
berdaulat tentunya akan melakukan upaya-upaya maupun strategi dalam menjaga
keamanan dan kestabilan negara dari para pemberontak, yang mana upaya-upaya
tersebut dapat dilihat dari stategi Contending yang dilakukan pemerintah Thailand
terhadap kelompok pemberontak BRN. Melihat konflik yang berkepanjangan,
fasilitas publik banyak yang hancur bahkan sampai merenggut banyak korban, hal
tersebut tentu akan mengancam keamanan maupun stabilitas negara, maka
pemerintah terutama militer Thailand tentu merasa perlu adanya tindakan dalam
mendorong pemberontak BRN untuk mengehentikan kekerasan terutama di
wilayah selatan. Pemerintah Thailand melalui militernya menerapakan beberapa

20
strategi maupun bentuk taktik yang digunakan dalam upaya menghentikan
kekerasan yang ada di wilayah selatan yakni dengan menggunakan strategi
Contending. Strategi Contending merupakan segala macam usaha maupun upaya
yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik menurut kemauan seseorang tanpa
memperdulikan kepentingan pihak lain. Dalam strategi ini, masing-masing pihak
yang berkonflik tetap mempertahankan aspirasinya dan membujuk pihak lain untuk
mengalah. Tindakan yang bisa langsung diambil dari strategi Contending ini
diantaranya dengan mengeluarkan ancaman, menjatuhkan penalti atau hukuman,
melumpuhkan lawan, atau melakukan tindakan-tindakan yang mendahului pihak
lain untuk memperoleh aspirasi tersebut tanpa sepengetahuan pihak lawan. Strategi
Contending juga dapat dicirikan dengan adanya penolakan terhadap aspirasi pihak
lain, dan semua proses penyelesaian konflik harus menguntungkan tujuan dalam
kekerasan sehingga menyebabkan hubungan– hubungan ketegangan ataupun
ancaman. Hubungan yang tercipta dalam konflik ini adalah Zero-sum game atau
hubungan menang kalah. Dampak strategis Contending adalah menang satu pihak
dan kalah di pihak lain, atau keduanya kalah dan hancur. Seperti yang disebutkan
di atas bahwa strategi Contending sendiri memiliki bentuk taktik di dalamnya yakni
berupa Threats (ancaman), Harassment (pelecehan), Positional commitment
(komitmen posisi) ataupun Persuasive arguments (argumen yang bersifat
persuasif). Di mana semua bentuk tersebut bertujuan untuk membujuk pihak lawan
ataupun menekan lawan agar memberikan konsensi atau pemberian izin, dengan
kepentingan yang ingin dicapai dari negosiasi itu sendiri (Dean G Pruit, Peter J.
Carnevale, 1993, hal. 30-35). Dalam kasus ini, pihak pemeritah Thailand hanya
menggunakan tiga dari empat taktik yaitu Threats (ancaman), Harrasment
(pelecehan), dan Positional commitment (komitmen posisi). Upaya Pemerintah
Thailand Melalui Bentuk Taktik Threats (Ancaman) Dalam strategi Contending
sendiri threats ataupun ancaman sering dijadikan sebagai suatu langkah dalam
mencapai suatu kepentingan yang ingin dituju. Dengan memberikan ancaman
ataupun menghukum pihak lawan apabila tuntuan yang diinginkan tidak tercapai
merupakan salah satu bentuk upaya yang dapat dilakukan oleh strategi Contending
tersebut, tidak hanya dalam mencapai tujuan ataupun kepentingan digunakan

21
bentuk ancaman. Namun bentuk ancaman dari Contending itu sendiri juga biasa
digunakan untuk mendorong pihak lawan menuju ke arah negosiasi, negosiasi akan
lebih efektif apabila ancaman tersebut makin besar dan dapat memberikan tekanan
kepada pihak lawan (Pruitt & Carnevale, 1993, hal. 30-31). Bentuk-bentuk
ancaman tersebut dapat makin meningkat apabila pada masa lalu pernah melakukan
suatu ancaman untuk mencapai kepentingan yang sama kepada pihak yang dituju,
kemudian ancaman tersebut dapat lebih efisien ketika yang melakukan ancaman
tersebut memiliki kekuatan ataupun sumber daya yang dianggap cukup kuat.
Namun pada dasarnya suatu ancaman akan dapat menimbulkan sisi buruk dari apa
yang dilakukan kepada pihak lawan. Di mana hal tersebut dapat berupa suatu
pertentangan maupun kebencian yang akan berdampak terhadap ancaman itu
sendiri. Karena pada dasarnya ancaman yang diberikan tersebut tentu akan
memberikan batasan kepada pihak lawan untuk dapat melakukan kebebasan
ataupun memilih langkah upaya yang akan dilakukannya. Sehingga dengan
memberikan ancaman-ancaman tersebut kepada pihak yang dituju, tidak sedikit
mereka melakukan perlawanan terhadap pihak yang mengancam tersebut, dan juga
tidak sedikit mereka akan melakukan ancaman balasan kepada pihak yang
mengancam. Sehingga apabila strategi ini dilakukan maka tidak sedikit dampak
yang akan dirasakan, karena hal tersebut akan berpengaruh kepada jangka panjang
yang akan ditimbulkan dengan bentuk ancaman tersebut (Carnevale, 2003). Namun
memang ada beberapa langkah ancaman yang dapat diberikan agar dapat
mengurangi perlawanan ataupun kebencian yang akan ditimbulkan dari pihak yang
dituju, yaitu dengan memberikan ancaman secara tidak langsung, atau secara
diplomatis. Di mana biasanya bentuk ancaman ini dapat berupa sindiran yang
ditujukan dengan tampak memaksa, sehingga hal tersebut akan dirasakan oleh
pihak lawan ataupun pihak yang dituju, namun tidak satupun dari pendekatan ini
yang mungkin sepenuhnya dapat menangkal dari apa yang didapat oleh ancaman
itu sendiri (Pruitt & Carnevale, 1993, hal. 30-32). Upaya-upaya yang dilakukan oleh
militer Thailand dalam meredam konflik dengan menggunakan taktik Threats
(Ancaman) dapat dilihat dari pendekatan militer yang dilakukan oleh militer
Thailand salah satunya dengan memberlakukan undang-undang darurat militer

22
tahun 2004 pada masa pemerintah Thaksin Sinawatra, untuk menjadi alat hukum
dalam membantai dan mengawasi pergolakan yang terjadi di wilayah selatan
Thailand. Undang-undang tersebut diterapakan setelah terjadinya perampokan
senjata di markas militer di provinsi Narathiwat. Kemudian pada tahun 2005 terjadi
perusakan pusat-pusat listrik di provinsi Yala, yang mengakibatkan beberapa distrik
di wilayah Yala mengalami kegelapan (Pusat Berita Selatan, 2019). Pemberlakukan
undang-undang darurat di nilai langkah yang tepat demi keamanan nasional dan
keamanan publik. Undangundang darurat tersebut hingga saat ini masih diterapkan.
Undang-undang memberi wewenang kepada perwira militer untuk mencari warga
dan menangkap siapa pun yang dicurigai terlibat dalam kegiatan yang mengancam
keamanan tanpa surat perintah resmi. Dengan undang-undang ini, militer bebas
menangkap meski hanya bersenjatakan kecurigaan (Human Right Watch, 2014).
Penerapan undang-undang darurat militer ini tentu saja mengancam siapa pun
terutama gerakan pemberontak yang selama ini gencar dalam melakukan aksi
kekerasan. Diberlakukanya undang-undang darurat militer juga menciptakan
ketegangan dengan kehadiran para personel militer ditengah-tengah masyarakat.
Sebagai contoh, ancaman terhadap seorang aktivis yang bernama Faisal, saat itu
Faisal sedang mendokumentasikan para petugas militer yang kembali kerumah
bersama pria yang sempat ditahan pada juni 2017. Karena aksinya ini faisal
diancam akan ditangkap jika tidak menghapus foto-foto hasil dokumentasinya. Dan
ancaman penangkapan kerap sekali dilontarkan pihak militer kepada siapa pun yang
tidak mematuhi aturan. Akibat dari undang-undang militer ini justru
pemberontakan makin menguat, hal ini tentunya didasari atas kekecewaan
masyarakat Thailand Salatan terhadap pemerintah yang selalu mengutamakan
pendekatan militer untuk mengatasi konflik. Tahun 2015, Jenderal Prayuth Chan-
Ocha yang menjabat sebagai perdana menteri Thailand saat ini telah mengajukan
untuk di akhirnya undang-undang darurat, tetapi beliau telah mempersiapkan pasal
44 yang akan digunakan untuk menggantikan undang-undang darurat
(Puspaningtyas, 2015). Didalam pasal 44 konstitusi baru Thialand mengizinkan
perdana menteri untuk mengeluarkan perintah eksekutif guna menghalangi atau
membasmi ancaman terhadap keamanan negara. Jendral Prayuth mengatakan para

23
tentara akan dapat menangkap orang jika terjadi insiden, tanpa surat penangkapan.
Bahkan pasal ini melarang masyarakat untuk berkumpul dan membatasi media
(BBC, 2015). Bentuk-bentuk ancaman yang dilakukan militer tersebut dengan
memberlakukan undang-undang darurat militer, kemudian menerapkan instrument
militer di wilayah selatan tentunya menjadi suatu tekanan atau ancaman bagi
kelompok pemberontak terutama BRN yang disebut-sebut menjadi kelompok
gerilyawan paling kuat. Upaya tersebut dilakukan dengan tujuan mencapai atau
menciptakan suatu kepentingan bagi si pembuat ancaman yakni pemerintah
Thailand yang mana tujuan atau kepentingannya, agar para dapat membatasi ruang
gerak pemberontak untuk mengkhiri kekerasan atau dalam artian mengalah.

24
BAB III
PENUTUP

2.5 Studi Komperatif Negosiasi yang Diterapkan 5 Negara tersebut

Dari beberapa kasus negosiasi dalam pembahasan diatas bisa kita lihat
bermacam strategi negosiasi yang ditempuh oleh negara-negara tersebut. Ada yang
membuahkan hasil positif dan ada pula yang menemui jalan buntu.

Seperti China Berhasil melakukan Negosiasi Perang Dagang dengan AS


dengan Pendekatan integrative atau pendekatan negosiasi di mana pihak-pihak
dalam negosiasi mencoba mencapai tujuan yang tidak secara fundamental
berbeda dari lawan negosiasi sehingga tujuan masing - masing pihak dapat
diintegrasikan dan dapat dicapai oleh masing-masing pihak tanpa membuat pihak
China kalah maupun sebaliknya. Pendekatan ini juga dikenal dengan istilah
pendekatan win-win , karena tidak ada pihak yang sepenuhnya kalah.

Dan Negosiasi Jepang dalam Comprehensive and Progressive Agreement


For Trans-Pacific Partnership (CPTPP) juga berhasil karena Pendekatan yang
dilakukan oleh PM Shinzo Abe dengan melakukan pembentukan badan
yang mengurusi negosiasi level domestik dan level internasional berhasil
membuat proses negosiasi menjadi efektif. Dalam level internasional , strategi
negosiasi pararel dengan AS menjadi kunci kesuksesan Jepang mempertahankan
win – sets-nya dan menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima di dalam
negeri. Negosiasi Jepang di level internasional tidak akan berhasil untuk
didomestikasi dalam negeri jika Jepang gagal untuk melakukan reformasi
terhadap kelompok JA Zenchu. Distribusi kekuasaan dalam bentuk jumlah
anggota partai LDP dan koalisinya Komeito di dua kamar Diet juga membantu
untuk Jepang melakukan ratifikasi disertai undang - undang penerapannya.
Dalam kasus liberalisasi perdagangan CPTPP , negosiasi di level dalam negeri
merupakan faktor terbesar kesuksesan proses negosiasi

25
Sedangkan Korea Utara mencoba melakukan Negosiasi dengan strategi
Exchanging Concessions untuk mendapat perhatian dari lawan yaitu Amerika
Serikat namun gagal dalam artian bahwa setelahnya Korea Utara tidak dapat
menetapkan kesepakatan. Korea Utara berani mengambil kebijakan yang terbilang
lunak di awal karena Korea Utara membutuhkan kesan positif untuk dapat
membawa posisi negosiasi dengan Amerika Serikat ke tempat dengan peluang
terjadinya kesepakatan yang besar. Karena secara mau tidak mau ketika Amerika
menuntut adanya pengurangan produksi senjata nuklir maka Korea Utara akan
melakukannya dengan memilih prioritas mendapatkan pengurangan sanksi
ekonomi dari Amerika serikat. Perihal situasi tersebut, Amerika juga membalas
kebijakan yang dibuat dengan mengurangi latihan militer Amerika di Korea Utara
setelah Korea Utara melakukan pengurangan tuntutan yaitu menghancurkan situs
menuju tempat uji coba nuklir. Taktik yang dilakukan Korea Utara adalah
mengurangi tuntutan ataupun keuntungan dari pihaknya untuk kemudian
berdasarkan kebijakan tersebut dapat membawa Korea Utara ke kesepakatan lebih
lanjut dan membuat lawan yaitu Amerika juga mengurangi tuntutannya sehingga
hal tersebut dapat membawa ke tujuan dari Problem Solving yaitu adanya win-win
agreements.

Sama dengan Korea Utara , Amerika Serikat juga menemui jalan buntu
dalam negosiasi normalisasi hubungan diplomasi dengan Kuba karena .Persoalan
artifisial terkait harga diri dan konsistensi. Penyebab negosiasi menemui jalan
buntu ialah ketika masing-masing pihak bersikukuh membahas hal non negotible
tersebut. Pada titik seperti inilah seharusnya strategi pendekatan intregrative
menunjukkan relevansi-nya.Strategi ini menyangkut pentahapan perundingan di
mana pihak-pihak yang berunding untuk sementara waktu tidak mengagendakan
non-negotiable conditions,melainkan memfokuskan diri pada perundingan untuk
isu-isu yang memang masih bisa dinegosiasikan (negotiable issues) . Dengan
strategi ini diharapkan kesepakatan-kesepakatan yang dapat dicapai dalam bidang-
bidang yang dapat dirundingkan secara perlahan-lahan akan mendorong

26
terwujudnya fleksibilitas sikap di antara AS dan Kuba tentang isu-isu yang
sebelumnya dianggap non-negotiable.Persoalan artifisial terkait harga diri dan
konsistensi pada giliran- nya juga akan terkelola dengan baik ketika masing-
masing pihak secara mutual saling memberikan konsesi, sehingga tidak ada pihak
yang merasa kalah.

Berbeda dengan Pemerintah Thailand , negara ini menerapakan beberapa


strategi maupun bentuk taktik yang digunakan dalam upaya menghentikan
kekerasan yang ada di wilayah selatan yakni dengan menggunakan strategi
Contending. Strategi Contending merupakan segala macam usaha maupun upaya
yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik menurut kemauan seseorang tanpa
memperdulikan kepentingan pihak lain. Dalam strategi ini, masing-masing pihak
yang berkonflik tetap mempertahankan aspirasinya dan membujuk pihak lain untuk
mengalah. Tindakan yang bisa langsung diambil dari strategi Contending ini
diantaranya dengan mengeluarkan ancaman, menjatuhkan penalti atau hukuman,
melumpuhkan lawan, atau melakukan tindakan-tindakan yang mendahului pihak
lain untuk memperoleh aspirasi tersebut tanpa sepengetahuan pihak lawan. Strategi
Contending juga dapat dicirikan dengan adanya penolakan terhadap aspirasi pihak
lain, dan semua proses penyelesaian konflik harus menguntungkan tujuan dalam
kekerasan sehingga menyebabkan hubungan– hubungan ketegangan ataupun
ancaman. Hubungan yang tercipta dalam konflik ini adalah Zero-sum game atau
hubungan menang kalah. Dampak strategis Contending adalah menang satu pihak
dan kalah di pihak lain, atau keduanya kalah dan hancur.

3.2 Saran

Untuk menyelesaikan permasalahan – permasalahan negara tersebut diatas,


menurut penulis perlu menggunakan teori Strategies and Tactics in Negotiation,
yang ditulis dalam buku (Pruitt & Carnevale, 1993) yang berjudul Negotiation in
Social Conflict untuk membantu dalam proses negosiasi dalam permasalahan yang
ada di negara-negara tersebut diatas maupun menjawab persoalan-persoalan yang

27
ada. Dalam teori Strategies and Tactics in Negotiation ada lima strategi yang biasa
digunakan oleh para negosiator antara lain:

Pertama, Concession making, yakni dilakukan dengan cara pengurangan


tuntutan atau permintaan, sehingga dapat memberikan manfaat kepada pihak lain.
Penurunan permintaan biasanya melibatkan pengurangan dalam tujuan mendasari
tuntutan tersebut. Pruitt menyebutkan bahwa ada 3 temuan terkait dampak dari
pembuatan konsesi dalam usaha dalam menciptakan hasil dari suatu negosiasi.
1. Jika kesepakatan tercapai, peran dan ketegasan negosiator memberikan suatu
dampak yang besar. Negosiator yang malas dalam menggali suatu masalah tidak
akan mendapatkan masalah yang memuaskan.
2. Ketidakmampuan negoisator untuk memperpajang proses negosiasi biasanya
menjadi kecil kemungkinanya untuk memperoleh kesepakatan.
3. Negoisator yang menuntut terlalu banyak akan gagal dalam mencapai suatu
kesepakatan. Dan negosiator akan memperoleh nilai jika mencapai suatu
kesepakatan. Terdapat hubungan U-Shaped antara kemampuan bertahan dengan
kesepakatan yang dihasilkan (Carnevale D. G., 1993, pp. 28-29).

Kedua, Conteding, merupakan suatu strategi dalam upaya menerapakan


solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak yang lain yang berakhir
secara win-lose-solution. Cara ini biasanya dilakukan dengan menyelesaikan
masalah tanpa memeperdulikan kepentingan pihak lain. Masing-masing pihak
berebut dan mengusahakan segala cara untuk jadi pemenang tanpa harus
memperhatikan kepentingan pihak lain yang menjadi lawan politiknya (Dean G.
Pruitt, 1993, pp. 30-34), bahkan berusaha agar pihak lawan menyerah atau
mengalah. Adapun beberapa bentuk contending:
1. Ancaman (threats), merupakan suatu langkah atau upaya yang dilakukan dalam
mencapai suatu kepentingan yang ingin dituju, dengan memberikan sangsi
ancaman ataupun menghukum pihak lawan apabila tuntuan yang diinginkan
tidak tercapai, dan dapat mendorong pihak lawan ke arah negosiasi.

28
2. Gangguan (harassment), merupakan tindakan yang dapat dilakukan kepada
pihak lawan dengan memberikan sanksi ancaman yang melibatkan hukuman,
Harassment lebih bersifat nyata di bandingkan dengan opsi Threats sebelumnya,
karena dampak yang ditimbulkan dari Harassment sendiri akan lebih bersifat
nyata dan akan membuat pihak lawan lebih menuruti kemauan dari si pelaku.
3. Komitmen posisi (positional commitmen), Positional commitments atau
komitmen posisional dapat diartikan sebagai pernyataan yang diberikan berupa
tawaran, di mana biasanya pernyataan yang diberikan tidak terlepas dari
beberapa ancaman yang diberikan.
4. Argumen persuasif (persuasive arguments), ialah taktik yang di lakukan dengan
cara persuasi. Tindakan persuasi dapat dilakukan dengan meyakinkan aktor
lawan bahwa dirinya memiliki hak yang sah untuk mendapatkan hasil yang
sesuai dengan keinginanya.

Ketiga, Problem Solving, yakni strategi dengan cara mencari alternatif agar
bagaimana suatu masalah dapat dipecahkan dan dapat memuaskan aspirasi kedua
belah pihak. Tidak hanya mementingan kepentingan sendiri tetapi juga kepentingan
pihak lain agar sepenuhnya dapat mencapai tujuan dan mengatasi ketegangan dan
perasaan negatif di antara kedua belah pihak. Dalam strategi dasar ini menyarankan
agar masing-masing pihak yang terlibat konflik berusaha mempertahakan
aspirasinya, dengan catatan tetap menghormati kepentingan lawan. Adapun
beberapa bentuk taktik dalam problem solving diantaranya:
1. Expanding The Pie adalah beberapa kesepakatan win-win solutions yang
dibangun dengan meningkatkan sumber daya yang tersedia sehingga kedua
belah pihak bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan. Hal ini yang disebut
expanding the pie, jika diasumsikan sebagai suatu makanan yakni pai, maka kita
dapat membagi ataupun memperluas makanan tersebut untuk dapat dirasakan
oleh kedua belah pihak, sehingga masalah mereka dapat diselesaikan dengan
mencari cara memperbesar sumber daya yang sesuai. Contoh lainnya yakni
seperti dalam mempertimbangkan penjualan dan produksi, masalah mereka

29
dapat diselesaikan dengan mencari cara memperbesar kapasitas produksi yang
sesuai.
2. Exchanging concessions yakni cara kedua adalah bertukar konsesi yaitu hak izin
pada isu yang berbeda, dengan masing-masing pihak menghasilkan isu yang
menjadi prioritas rendah untuk dirinya dan prioritas tinggi bagi pihak lain.
3. Solving underlying concerns, merupakan cara ketiga yakni dengan memecahkan
masalah yang mendasar dengan cara pihak yang bersengketa atau pihak ketiga,
memeriksa atau bertanya mengenai kekhawatiran yang mendasari masing-
masing pihak mengambil suatu posisi dan mencari jalan untuk mencapai
perhatian (concern) tersebut. Kekhawatiran tersebut bisa didasarkan suatu
tujuan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip tertentu (Dean G. Pruitt, 1993, pp. 36-46).

Keempat, Inaction and Withdrawal, dua startegi ini pada dasarnya berbeda
dari strategi sebelumnya. Keduanya tidak mengarahkan negosiasi pada suatu
kesepakatan. Inaction, lebih cenderung diam dan tidak melakukan apa-apa. Kondisi
ini mendeskripsikan bahwa pada suatu tahap perundngan masing-masing pihak
akan menunggu tindakan pihak lain. Hal ini bisa mencerminkan beberapa
pengertian bahwa salah satu pihak ingin mengatur strategi, atau di lain sisi ingin
mengatur strategi dari putusan yang diambil oleh pihak lain. 16 Withdrawal, atau
yang juga disebut menarik diri menekankan pada suatu upaya memilih
meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik maupun psikologis (Dean G. Pruitt,
1993, pp. 26-27). Istilah Negosiasi sendiri sebenarnya sering digunakan dalam
penerapan disiplin ilmu hubungan internasional. Negosiasi dapat diartikan sebagai
diskusi antara dua pihak atau lebih dengan tujuan yang jelas yakni untuk
menyelesaikan suatu perbedaan kepentingan dan dengan demikian dapat
melepaskan diri dari konflik sosial. Pihak yang bersengketa dapat berupa individu,
kelompok, organisasi atau unit politik seperti bangsa-bangsa, negosiasi biasa
digunakan dikarenakan adanya perbedaan kepentingan antara pihak yang
bersengketa, masing-masing memiliki preferensi ataupun kepentingan yang tidak
sama antara satu sama lain, Dari beberapa teori negosiasi yang telah dijelaskan,

30
maka penelitian ini akan mengambil strategi dasar yang biasa diterapkan oleh
negosiator itu sendiri untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi, yakni
Contending di mana merupakan upaya negosiasi yang digunakan untuk membuat
pihak lawan mau mengakui ataupun menyetujui suatu kesepakatan dalam rangka
mengejar kepentingan yang diperjuangkan

31
DAFTAR PUSTAKA

Mayasari, M. D. (2019). Transformasi Pandangan Perdagangan Internasional


Amerika Serikat di Era Globalisasi. Dauliyah, 4(2), 29–49.
Morrison, W. M. (2019). China’s Economic Rise : History , Trends , Challenges ,
and Implications for the United States.
Noermanita, E. (2017). Analisis Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap
Kerjasama Turki dan Eropa Mengenai Pengungsi Suriah. Global & Policy,
5(1), 48–58. Office of the US Trade Representative. (2020). China,
Mongolia & Taiwan. Executive Office of the President.
https://ustr.gov/countries-regions/china-mongolia-taiwan
Pramadiba, I. M. (2020). Trump Enggan Melakukan Renegosiasi Kesepakatan
Dagang Dengan Cina. Tempo.
https://dunia.tempo.co/read/1341530/trump-engganmelakukan-
enegosiasi-kesepakatan-dagang-dengan-cina/full&view=ok Birnbaum,
Ben, et al., “United StatesCuba Relations: Policy Recommendations to
Advance Normalization” (2016) Graduate Policy Workshop Report.
Fandl, Kevin J., “Adios Embargo: the Case for Executive Termination of the U.S.
Embargo on Cuba” (2016) SSRN.
Galluccio, Mauro, Handbook of International Negotiation - Interpersonal,
Intercultural, and Diplomatic Perspec- tives (Springer 2015).
Hershberg, Eric & William M. LeoGrande (eds.), A New Chapter in US-Cuba
Relations Social, Political, and Economic Implications
(PalgraveMacMillan 2016).
Levine, Daniel H., “What Pope Francis Brings to Latin America” (2016) 11 Center
for Latin American & Latino Studies.
Bakry, U. S. (2016). Metode Penelitian Hubungan Internasional. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
BBC. (2018, August 4). North Korea continuing nuclear programme - UN report.
Retrieved November 28, 2020, from BBC NEWS:
https://www.bbc.com/news/worldasia-45067681

32
BBC. (2018, May 9). North Korea frees three US detainees ahead of Trump summit.
Dipetik November 17, 2020, dari BBC News:
https://www.bbc.com/news/world- us-canada-44056972
Abuza, Z. (2011). The Ongoing Insurgency in Southern Thailand: Trends in
Violence, Counter Counterinsurgency Operations, and the Impact of
National Politics. CreateSpace Independent Publishing Platform.

Agestu, I. (2015, 7 4). Militer Thailand Diduga Membunuh Empat Warga Sipil di
selatan. Retrieved from CNN Web site:
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20150407194044-106-
4904/militer-thailand-diduga-membunuh-empat-warga-sipil-di-selatan

Ahram. (2016). Thailand Akan Lanjutkan Pembicaraan Damai Dengan Pejuang


Muslim Pattani. VOA-Islam. Akbar, A. (2013, 4 5).

Kudeta Militer di Thailand. BBC. BBC. (2015, Maret 31). Retrieved from BBC
NEWS Indonesia:
https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/03/150331_thai_hukumdarura
t BBC. (2017). Eksklusif: Pemberontak Muslim utama Thailand Selatan
Siap berunding. BBC.

33

Anda mungkin juga menyukai