Anda di halaman 1dari 11

Perbedaan Tatalaksana Kanker Kolorektal Kanan dan Kiri

Anugrah P. Masloman
Merlyna Savitri

Pendahuluan
Kanker kolorektal adalah suatu tumor maligna yang muncul dari jaringan
epitel dari kolon atau rektum. Kanker kolorektal ditujukan pada tumor ganas yang
ditemukan di kolon dan rektum. Kolon dan rektum adalah bagian dari usus besar pada
sistem pencernaan yang disebut juga traktus gastrointestinal. Lebih jelasnya kolon
berada dibagian proksimal usus besar dan rektum di bagian distal sekitar 5-7 cm di
atas anus. Kolon dan rektum berfungsi untuk menghasilkan energi bagi tubuh dan
membuang zat-zat yang tidak berguna.

Epidemiologi
Di Indonesia, kanker kolorektal merupakan jenis kanker ketiga terbanyak.
Pada tahun 2008, Indonesia menempati urutan keempat di Negara ASEAN, dengan
incidence rate 17,2 per 100 penduduk dan angka ini diprediksikan akan terus
meningkat dari tahun ke tahun. Studi epidemiologi sebelumnya menunjukkan bahwa
usia pasien kanker kolorektal di Indonesia lebih muda dari pada pasien kanker
kolorektal di negara maju. Lebih dari 30% kasus didapat pada pasien yang berumur
40 tahun atau lebih muda, sedangkan di negara maju, pasien yang umurnya kurang
dari 50 tahun hanya 2-8 % saja.

Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala dari kanker kolon bervariasi dan tidak spesifik dan sering
kali tidak didapatkan gejala dan tanda dini dari kanker kolorektal. Keluhan utama
pasien dengan kanker kolorektal berhubungan dengan besar dan lokasi dari tumor dan
ada tidaknya metastasis. Gejala muncul pada kanker kolorektal yang terjadi sudah
lama dan berprognosis buruk. Umumnya gejala pertama timbul karena penyulit yaitu
gangguan faal usus, obstruksi, perdarahan atau akibat penyebaran.
Gejala klinis kanker kolorektal pada lokasi tumor di kolon kiri berbeda
dengam kanan. Tumor di kolon kiri sering bersifat skirotik sehingga lebih banyak
menimbulkan stenosis dan obstruksi karena feses sudah menjadi padat. Tumor pada
kolon kiri dan rektum menyebabkan perubahan pola defekasi seperti konstipasi atau
defekasi dengan tenesmi, semakin distal letak tumor feses semakin menipis atau
seperti kotoran kambing atau lebih cair disertai darah atau lendir. Pada kanker kolon
kanan jarang terjadi stenosis karena feses masih cair. Gejala umumnya adalah
dispepsia, kelemahan umum penurunan berat badan dan anemia. Pada kanker di
kolon kanan didapatkan masa di perut kanan bawah.
Embriologi usus besar berasal dari usus tengah dan usus belakang. Bagian
traktus digestivus yang berasal dari usus tengah dimulai tepat di sebelah distal muara
duktus biliaris ke dalam duodenum dan berakhir di dua per tiga proksimal kolon
trasnversum. Bagian traktus digestivus yang embriologinya berasal dari usus tengah
mendapatkan perdarahan yang berasal dari arteri mesenterika superior. Sepertiga
distal kolon transversum, kolon descenden, kolon sigmoid, rectum dan bagian atas
kanalis analis berasal dari usus belakang dan mendapatkan perdarahan dari arteri
mesenterika inferior. Berdasarkan embriologi inilah kolon dapat dibagi menjadi 2,
yaitu kolon kanan yang terdiri dari caecum, kolon ascenden , fleksura hepatica dan
2/3 proksimal kolon transversum serta kolon kiri yang terdiri dari 1/3 distal kolon
transversum, fleksura lienalis, kolon descenden, kolon sigmoid dan rectum.
Menurut lokasi, kanker kolorektal dapat diklasifikasikan menjadi kanker
kolon kanan dan kanker kolon kiri. Lokasi tumor pada kanker kolorektal
mempengaruhi gejala klinis pada pasien. Penelitian deskriptif di Amerika Serikat
yang melibatkan 763 pasien kanker kolorektal menunjukkan 69% atau 526 pasien
diantaranya terdapat keganasan di kolon kiri dan sisanya 31% atau 237 pasien
terdapat keganasan di kolon kanan.
Penelitian lainnya di Amerika Serikat yang melibatkan 134 pasien kanker
kolorektal keturunan Puerto Rico menunjukkan distribusi dari kanker kolorektal
adalah sebagai berikut : kanker kolon kanan sebesar 22,4% atau 30 pasien, keganasan
di kolon transversum setara 1,5% atau 2 pasien, kanker di kolon kiri ditemukan pada
38,0% atau 51 pasien dan keganasan rektal setara 38,0% atau 51 pasien.

Diagnosis

Anamnesis

Sebagian besar penderita datang pada dokter dengan keluhan perubahan


kebiasaan defekasi: diare atau obstipasi, sakit perut tidak menentu, sering ingin
defekasi namun tinja sedikit, perdarahan campur lendir. Kadang-kadang gejala
yang timbul menyerupai gejala penyakit disentri. Penyakit yang diduga disentri,
setelah pengobatan tidak ada perubahan, perlu dipertimbangkan karsinoma kolon
dan rektum terutama penderita umur dewasa dan umur lanjut. Anoreksia dan berat
badan semakin menurun merupakan salah satu simtom karsinoma kolon dan
rektum tingkat lanjut.
Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik tidak banyak berperan kecuali colok dubur/Rectal


Toucher yang dilakukan pada pasien dengan perdarahan ataupun gejala lainnya.
Pada tingkat pertumbuhan lanjut, palpasi dinding abdomen kadang-kadang teraba
masa di daerah kolon kanan dan kiri. Hepatomegali jarang terjadi. Colok dubur
merupakan cara diagnostik sederhana. Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi
dinding lateral, posterior, dan anterior; serta spina iskiadika, sakrum dan coccygeus
dapat diraba dengan mudah. Metastasis intraperitoneal dapat teraba pada bagian
anterior rektum dimana sesuai dengan posisi anatomis cavum douglas sebagai
akibat infiltrasi sel neoplastik. Meskipun 10 cm merupakan batas eksplorasi jari
yang mungkin dilakukan, namun telah lama diketahui bahwa 50% dari kanker
kolon dapat dijangkau oleh jari, sehingga colok dubur merupakan cara yang baik
untuk mendiagnosa kanker kolon.

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium klinis

Pemeriksaan laboratorium terhadap karsinoma kolorektal bisa untuk


menegakkan diagnosa maupun monitoring perkembangan atau
kekambuhannya. Pemeriksaan terhadap kanker ini antara lain pemeriksaan
darah, Hb, elektrolit, dan pemeriksaan tinja yang merupakan pemeriksaan rutin.
Anemia dan hipokalemia kemungkinan ditemukan oleh karena adanya
perdarahan kecil. Perdarahan tersembunyi dapat dilihat dari pemeriksaan tinja.
Selain pemeriksaan rutin di atas, dalam menegakkan diagnosa karsinoma
kolorektal dilakukan juga skrining CEA (Carcinoma Embrionic Antigen).
Carcinoma Embrionic Antigen merupakan pertanda serum terhadap adanya
karsinoma kolon dan rektum. Carcinoma Embrionic Antigen adalah sebuah
glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang masuk ke dalam peredaran
darah, dan digunakan sebagai marker serologi untuk memonitor status kanker
kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke hepar.
Carcinoma Embrionic Antigen terlalu insensitif dan nonspesifik untuk bisa
digunakan sebagai skrining kanker kolorektal. Meningkatnya nilai CEA serum,
bagaimanapun berhubungan dengan beberapa parameter. Tingginya nilai CEA
berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2, stadium lanjut dari penyakit dan
adanya metastase ke organ dalam. Meskipun konsentrasi CEA serum
merupakan faktor prognostik independen. Nilai CEA serum baru dapat
dikatakan bermakna pada monitoring berkelanjutan setelah pembedahan.
b. Pemeriksaan laboratorium Patologi Anatomi

Pemeriksaan Laboratorium Patologi Anatomi pada kanker kolorektal adalah


terhadap bahan yang berasal dari tindakan biopsi saat kolonoskopi maupun
reseksi usus. Hasil pemeriksaan ini adalah hasil histopatologi yang merupakan
diagnosa definitif. Dari pemeriksaan histopatologi inilah dapat diperoleh
karakteristik berbagai jenis kanker maupun karsinoma di kolorektal ini.

c. Radiologi

Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan yaitu foto polos abdomen atau
menggunakan kontras. Teknik yang sering digunakan adalah dengan memakai
double kontras barium enema, yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam
mendeteksi polip yang berukuran >1 cm. Teknik ini jika digunakan bersama-
sama sigmoidoskopi, merupakan cara yang hemat biaya sebagai alternatif
pengganti kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi
kolonoskopi, atau digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien
yang mempunyai riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi. Risiko
perforasi dengan menggunakan barium enema sangat rendah, yaitu sebesar 0,02
%. Jika terdapat kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras larut air harus
digunakan daripada barium enema. Computerised Tomography (CT) scan,
Magnetic Resonance Imaging (MRI), Endoscopic Ultrasound (EUS)
merupakan bagian dari teknik pencitraan yang digunakan untuk evaluasi,
staging dan tindak lanjut pasien dengan kanker kolon, tetapi teknik ini bukan
merupakan skrining tes.

d. Kolonoskopi

Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa


kolon dan rektum. Prosedur kolonoskopi dilakukan saluran pencernaan dengan
menggunakan alat kolonoskop, yaitu selang lentur berdiameter kurang lebih 1,5
cm dan dilengkapi dengan kamera. Kolonoskopi merupakan cara yang paling
akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan
keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada
barium enema yang keakuratannya hanya sebesar 67%. Kolonoskopi juga dapat
digunakan untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari
striktur. Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana
komplikasi utama (perdarahan, komplikasi anestesi dan perforasi) hanya
muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara yang
sangat berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory bowel
disease, non akut divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding,
megakolon non toksik, striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering
terjadi pada kolonoskopi terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan
merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi
merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi diagnostic.

Tatalaksana

Kemoterapi sistemik untuk kanker kolorektal meliputi terutama


fluoropyrimidines (5-fluorouracil (5-FU) dan capecitabine oral), irinotecan, dan
oxaliplatin. Fluorouracil adalah pirimidin terfluorinasi yang bekerja terutama dengan
menghambat enzim timidilat sintetase; umumnya diberikan dengan leucovorin, yang
dianggap menstabilkan interaksi fluorouracil dengan enzim ini. Di antara pasien
kanker kolorektal metastatik diberikan dengan fluorouracil dan leucovorin, 20%
mengalami pengurangan ukuran tumor dan menunjukkan peningkatan kelangsungan
hidup secara keseluruhan dari 6 bulan sampai 12 bulan. Namun, harus ditekankan
bahwa kemoterapi ajuvan ini sebagian besar efektif pada pasien stadium lanjut
(stadium III dan IV) setelah reseksi tumor. Lebih lanjut, kemoterapi ajuvan ini telah
terbukti lebih efektif di antara pasien dengan tumor yang stabil mikrosatelit atau
tumor dengan frekuensi ketidakstabilan mikrosatelit yang rendah, oleh karena itu
pasien dengan kolorektal kanker sisi kiri lebih diuntungkan dari kemoterapi standar.

Terapi yang ditargetkan, terutama untuk kasus kanker kolorektal stadium


lanjut, telah dikembangkan dan digunakan dalam kombinasi dengan kemoterapi
konvensional yang telah meningkatkan kelangsungan hidup secara keseluruhan di
antara pasien. Sementara beberapa agen ini (bevacizumab, aflibercept, ramucirumab,
dan regorafenib) secara khusus menargetkan jalur angiogenik, yang lain (cetuximab
dan panitumumab) menargetkan jalur EGFR. Dalam terapi konvensional dan/atau
pengaturan terapi bertarget, kanker kolorektal kiri memiliki hasil yang lebih baik
daripada kanker kolorektal kanan. Menurut studi CALGB/SWOG 80405, di antara
pasien yang menerima cetuximab, kelangsungan hidup rata-rata secara keseluruhan
adalah 36 bulan untuk pasien dengan tumor sisi kiri dan 16,7 bulan untuk pasien
dengan tumor sisi kanan. Lebih lanjut, dalam uji coba NCIC CO.17 Kanada, pasien
dengan tumor sisi kiri lebih diuntungkan dari terapi cetuximab daripada pasien tumor
sisi kanan. Hasil yang sama juga diperoleh dengan percobaan CRYSTAL dan FIRE.
Dalam studi PRIME, penambahan panitumumab ke FOLFOX meningkatkan
kelangsungan hidup secara keseluruhan di antara pasien kanker kolorektal sisi kiri,
sedangkan itu tidak efektif pada pasien dengan kanker kolorektal sisi kanan. Terapi
anti-EGFR meningkatkan kelangsungan hidup secara keseluruhan pada pasien
dengan tumor KRAS wild type sisi kiri, tetapi tidak pada pasien dengan tumor wild
type sisi kanan.

Bevacizumab adalah agen lain yang umum digunakan untuk kanker kolorektal
yang menargetkan reseptor faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGFR). Setelah
pengobatan bevacizumab, sementara kelangsungan hidup keseluruhan rata-rata
adalah 31,4 bulan untuk pasien dengan tumor sisi kiri, itu adalah 24,2 bulan untuk
pasien dengan tumor sisi kanan. Dalam studi CALGB/SWOG, pasien dengan tumor
sisi kanan lebih diuntungkan dari pengobatan bevacizumab daripada pengobatan
cetuximab [75]. Sementara kombinasi bevacizumab dan kemoterapi sistemik
mengurangi mortalitas pada pasien tumor sisi kanan dan tumor sisi kiri, kombinasi
cetuximab dan kemoterapi sistemik terbukti efektif hanya pada pasien dengan tumor
sisi kiri.

Lebih lanjut, meta-analisis uji klinis telah menunjukkan bahwa pasien kanker
kolorektal dengan KRAS wild type memiliki manfaat kelangsungan hidup yang
lebih besar secara signifikan dari rezim pengobatan anti-EGFR dibandingkan
dengan terapi anti-VEGFR bila dikombinasikan dengan kemoterapi standar.
Pasien dengan kanker kolorektal metastatik memiliki kelangsungan hidup
yang lebih lama, progression-free survival (PFS) yang lebih lama, dan tingkat
kematian yang lebih rendah jika tumor mereka sisi kiri daripada sisi kanan.
Mengingat perbedaan ekspresi gen antara kanker kolorektal sisi kiri dan kanan dalam
angiogenesis dan jalur terkait reseptor faktor pertumbuhan endotel (EGFR) dan
praktik standar saat ini, perhatian secara alami telah diarahkan untuk memahami
manfaat diferensial cetuximab atau bevacizumab di seluruh lokasi tumor primer.

Pengaruh Lokasi Tumor pada Kanker Kolorektal Stadium Awal


Meskipun penelitian telah menghasilkan temuan yang beragam, bukti
menunjukkan peran prognostik dari subsitus tumor yang dapat bervariasi
berdasarkan tahap pada kanker kolorektal nonmetastatik. Di antara pasien dengan
kanker kolorektal stadium I, memiliki tumor sisi kanan telah dikaitkan dengan
disease free survival 5 tahun yang lebih baik secara signifikan, meskipun tidak
semua penelitian menunjukkan perbedaan yang signifikan. Demikian pula, pada
pasien dengan penyakit stadium II, beberapa penelitian telah menunjukkan tingkat
kekambuhan yang lebih rendah dan kelangsungan hidup yang unggul pada mereka
dengan tumor primer proksimal. Dalam kanker kolorektal stadium III , temuan
peningkatan hasil pada pasien dengan tumor distal lebih konsisten di seluruh
penelitian. Sedikit yang diketahui tentang efek prediksi lokasi tumor pada manfaat
dari kemoterapi ajuvan. Sebuah studi retrospektif kanker kolorektal stadium III
menyarankan manfaat kelangsungan hidup selektif untuk kemoterapi ajuvan pada
pasien dengan tumor sisi kanan dan wanita, tetapi tidak pada pria dengan kanker
sisi kiri. Namun, penelitian ini mendahului pengenalan oxaliplatin (pasien
menerima 5-fluorouracil/levamisole) dan tidak ada uji interaksi yang dilaporkan,
sehingga temuan tersebut tidak dapat diterapkan pada praktik saat ini. Analisis
Medicare-SEER yang lebih baru pada pasien dengan kanker kolorektal stadium II/
III menunjukkan manfaat overall survival 5 tahun untuk kemoterapi ajuvan di
antara mereka dengan tumor stadium III yang tidak bergantung pada lokasi tumor.
Saat ini, bukti yang ada tidak cukup untuk mendukung penggunaan lokasi tumor
dalam membuat keputusan tentang kemoterapi untuk kanker kolorektal stadium I
sampai III.

Daftar Pustaka
1. Arnold M, Sierra MS, Laversanne M, Soerjomataram I, Jemal A, Bray F, et al.
Global patterns and trends in colorectal cancer incidence and mortality. Gut.
2016;0:1-9
2. Bray F, Ferlay J, Soerjomataram I, Siegel RL, Torre LA , Jemal A. Globalcancer
statistics 2018: GLOBOCAN estimates of incidence and mortality worldwide
for 36 cancers in 185 countries. CA Cancer J Clin. 2018;68(6):394-424.
3. Brulé SY, Jonker DJ, Karapetis CS, et al. Location of colon cancer (right-sided
versus left-sided) as a prognostic factor and a predictor of benefit from
cetuximab in NCIC CO.17. Eur J Cancer. 2015;51(11):1405-1414.
4. Glebov OK, Rodriguez LM, Nakahara K, et al. Distinguishing right from left
colon by the pattern of gene expression. Cancer Epidemiol Biomarkers
Prev. 2003;12(8):755-762.
5. Haggar FA, Boushey RP. Colorectal cancer epidemiology: Incidence, mortality,
survival, and risk factors. Clin Colon Rectal Surg. 2009;22(4):191-7.
6. Holch JW, Ricard I, Stintzing S, Modest DP, Heinemann V. The relevance of
primary tumour location in patients with metastatic colorectal cancer: a
meta-analysis of first-line clinical trials. Eur J Cancer. 2017;70:87-98.
7. Johnson CM, Wei C, Ensor JE, Smolenski DJ, Amos CI, Levin B, et al. Meta-
analyses of colorectal cancer risk factors. Cancer Causes Control. 2014;
24:1207-22.
8. Jordan F, Grundmann N, Schenkirsch G, et al. Impact of primary tumor
localization on the efficacy of bevacizumab in metastatic colorectal cancer.
Anticancer Res. 2018;38(9):5539-5546.
9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Komite Penanggulangan Kanker Na-
sional (KPKN). Panduan Penatalaksa- naan Kanker kolorektal. KPKN,
2015;p. 4.
10. Lee MS, Menter DG, Kopetz S. Right versus left colon cancer biology:
integrating the consensus molecular subtypes. J Natl Compr Canc Netw.
2017;15(3): 411-419.
11. Loupakis F, Yang D, Yau L, et al. Primary tumor location as a prognostic factor
in metastatic colorectal cancer. J Natl Cancer Inst. 2015;107(3):dju427.
12. Missiaglia E, Jacobs B, D’Ario G, et al. Distal and proximal colon cancers differ
in terms of molecular, pathological, and clinical features. Ann Oncol.
2014;25(10):1995-2001.
13. Moritani K, Hasegawa H, Okabayashi K, Ishii Y, Endo T, Kitagawa Y.
Difference in the recurrence rate between right and left-sided colon cancer:
a 17-year experience at a single institution. Surg Today. 2014;44(9):1685-
1691.
14. Nawa T, Kato J, Kawamoto H, et al. Differences between right and left-sided
colon cancer in patient characteristics, cancer morphology and histology. J
Gastroenterol Hepatol. 2008;23(3):418-423.
15. Nguyen SP, Bent S, Chen YH, Terdiman JP. Gender as a risk factor for advanced
neoplasia and colorectal cancer: a systematic review and meta-analysis. Clin
Gastroenterol Hepatol. 2009;7: 676-81.e1, 3.
16. Rosa MD, Pace U, Rega D. Genetics, diagnosis and management of colorectal
cancer (review). Oncology Reports. 2015;34:1087-96.
17. Sjamsuhidajat. Pengelolaan Karsinoma Kolorektal (Suatu Panduan Klinis Nasional).
Jakarta: Kelompok Kerja Adenokarsinoma Kolorektal Indonesia, 2004.
18. Stintzing S, Modest DP, Rossius L, et al; FIRE-3 investigators. FOLFIRI plus
cetuximab versus FOLFIRI plus bevacizumab for metastatic colorectal
cancer (FIRE-3): a post-hoc analysis of tumour dynamics in the final RAS
wild-type subgroup of this randomised open-label phase 3 trial. Lancet
Oncol. 2016;17(10):1426-1434.
19. The National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE). Colorectal cancer:
the diagnosis and management of colorectal cancer. NICE, 2011; p.1-185.
20. Tejpar S, Stintzing S, Ciardiello F, et al. Prognostic and predictive relevance of
primary tumor location in patients with RAS wild-type metastatic
colorectal can- cer: retrospective analyses of the CRYSTAL and FIRE-3
trials [published online October 10, 2016]. JAMA Oncol. 2016.
doi:10.1001/jamaoncol.2016.3797.
21. Primrose J, Falk S, Finch-Jones M, et al. Systemic chemotherapy with or without
cetuximab in patients with resectable colorectal liver metastasis: the New
EPOC randomised controlled trial. Lancet Oncol. 2014;15(6):601-611.
22. Venook AP, Niedzwiecki D, Innocenti F, et al. Impact of primary (1º) tumor
location on overall survival (OS) and progression-free survival (PFS) in
patients (pts) with metastatic colorectal cancer (mCRC): analysis of
CALGB/SWOG 80405 (Alliance) [ASCO abstract 3504]. J Clin Oncol.
2016;34(15)(suppl).

Anda mungkin juga menyukai