Anda di halaman 1dari 19

Dampak Sosial dan Kemiskinan Masyarakat Akibat Korupsi

MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Pendidikan Budaya Anti Korupsi
Yang dibimbing oleh Bapak Ns. Supono., MKep., Sp.MB

Oleh:
Kelompok 3/2D
1. AMELIA ERINTYA P17210203125
2. VALENTINA FEBRIANTI F. P17210204154
3. DILA ROSITA P17210204157
4. IRMA ULFIANA P17210204170
5. INTANIA CAHYA A. P17210204171
6. KRISNA DWI NAVYANTO P17210204176
7. FRISCA ILMA SILVIA P17210204178
8. SITI NUR CHOLIS A. P17210204179
9. MARISSA DWI ASIH P. P17210204184
10. SAIDAH FITRI P17210204185

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI D-III KEPERAWATAN MALANG KELAS LAWANG
JANUARI 2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Dampak Sosial dan Kemiskinan Masyarakat Akibat Korupsi” dengan baik.
Selama penyusunan makalah ini penulis mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada
dosen mata kuliah Pendidikan Budaya Anti Korupsi..
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Penulis mengucapkan
maaf jika makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena penulis menyadari
dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan. Kritik serta saran yang
membangun sangat penulis harapkan.
Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua khususnya pembaca sebagai tambahan pengetahuan.

Malang, 20 Februari 2022.

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii

DAFTAR ISI...............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ..........................................................................................5

1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................6

1.3. Tujuan .......................................................................................................6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tindak Pidana Korupsi..............................................................................8

2.2. Dampak Korupsi Terhadap Sosial dan Kemiskinan.................................. 10

BAB III PEMBAHASAN

3.1. Contoh Kasus ............................................................................................ 15

3.2. Pembahasan............................................................................................... 17

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan ................................................................................................18

4.2 Saran........................................................................................................... 18
..........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

iii
iv
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Korupsi di tanah negeri, ibarat “warisan haram” tanpa surat wasiat. Ia tetap
lestari sekali pun diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku dalam tiap orde
yang datang silih berganti. Hampir semua segi kehidupan terjangkit korupsi.
Apabila disederhanakan penyebab korupsi meliputi dua faktor yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan penyebab korupsi yang
datang dari diri pribadi sedang faktor eksternal adalah faktor penyebab terjadinya
korupsi karena sebab-sebab dari luar. Faktor internal terdiri dari aspek moral,
misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu,aspek sikap atau perilaku
misalnya pola hidup konsumtif dan aspek social seperti keluarga seperti keluarga
yang dapat mendorong seseorang untuk berperilaku korupsi.Faktor eksternal bisa
dilacak dari aspek ekonomi misalnya pendapatan atau gaji tidak mencukupi
kebutuhan, aspek politis misalnya instabilitas politik, kepentingan , politis, meraih
dan mempertahankan kekuasaan, aspek managemen dan organisasi yaitu
ketiadaan akuntabilitas dan transparansi,aspek hukum, terlihat dalam buruknya
wujud perundang-undangan dan lemahnya penegakkan hukum serta aspek sosial
yaitu lingkungan atau masyarakat yang kurang mendukung perilaku anti
korupsi.Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan
keberhasilannya dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagai suatu
proses perubahan yang direncanakan mencakup semua aspek kehidupan
masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan pembangunan terutama ditentukan oleh
dua faktor, yaitu sumber daya manusia, yakni (orang-orang yang terlibat sejak
dari perencanaan sampai pada pelaksanaan) dan pembiayaan. Diantara dua faktor
dua faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor manusianya.

Indonesia merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari


keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya, negara
tercinta ini dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah
merupakan sebuah negara yang kaya malahan termasuk negara yang miskin.Salah
satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya.Kualitas

5
tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga
menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya.

Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat


penyelenggara negara menyebabkan terjadinya korupsi. Korupsi di Indonesia
dewasa ini sudah merupakan patologi sosial (penyakit sosial) yang
sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan
bermasyarakat,berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian
materiil keuangan negara yang sangat besar. Namun yang lebih memprihatinkan
lagi adalah terjadinya perampasan dan pengurasan keuangan negara yang
dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggota legislatif dengan dalih studi
banding, THR, uang pesangon dan lain sebagainya di luar batas kewajaran.

Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan negara demikian terjadi


hampir di seluruh wilayah tanah air. Hal itu merupakan cerminan rendahnya
moralitas dan rasa malu, sehingga yang menonjol adalah sikap
kerakusan .Persoalannya adalah dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban
lain  kalau kita ingin maju, korupsi harus diberantas.Jika tidak berhasil
memberantas korupsi,atau paling tidak mengurangi sampai pada titik yang paling
rendah maka jangan harap Negara ini akan mampu mengejar
ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara yang
maju. Karena korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat
membawa negara ke jurang kehancuran.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan korupsi?


2. Bagaimana dampak korupsi dibidang sosial dan kemiskinan masyarakat
3. Bagaimana contoh kasus korupsi dibidang sosial dan kemiskinan
masyarakat.
1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan korupsi


2. Untuk mengetahui dampak korupsi dibidang sosial dan kemiskinan
masyarakat

6
3. Untuk mengetahui bagaimana contoh kasus korupsi dibidang sosial dan
kemiskinan masyarakat

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tindak Pidana Korupsi

2.1.1 Definisi

Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan


merusak. Hal ini disebabkan korupsi memang menyangkut segi moral,
sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur
pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena
pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau
golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya.

Kartono menjelaskan Korupsi adalah tingkah laku individu yang


menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan
pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi demi
keuntungan pribadi, salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan
pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan
menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya
dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri
sendiri.

Yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang


yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara dan juga setiap orang yang
dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara hal ini sudah tercantum
sesuai pasal 2 dan 3 UU No.31 Tahun 1999.

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana


Korupsi, yang berlaku terhitung mulai tanggal 16 Agustus 1999 yang
kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang

8
Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tujuan dengan diundangkannya
Undang-Undang Korupsi ini sebagaimana dijelaskan dalam konsiderans
menimbang diharapkan dapat memenuhi dan mengantisipasi
perkembangan dan kebutuhan hukum bagi masyarakat dalam rangka
mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap tindak pidana
korupsi yang sangat merugikan keuangan, perekonomian negara pada
khususnya serta masyarakat pada umumnya. (Hartanti, 2005)

2.1.2 Penyebab

Manusia dewasa ini sedang hidup di tengah kehidupan material yang


sangat mengedepan. Ukuran orang disebut sebagai kaya atau berhasil
adalah ketika yang bersangkutan memiliki sejumlah kekayaan yang
kelihatan di dalam kehidupan sehari-hari. Ketika seseorang menempati
suatu ruang untuk bisa mengakses kekayaan, maka seseorang akan
melakukannya secara maksimal. Di dunia ini, banyak orang yang
mudah tergoda dengan kekayaan. Persepsi tentang kekayaan sebagai
ukuran keberhasilan seseorang, menyebabkan seseorang akan mengejar
kekayaan itu tanpa memperhitungkan bagaimana kekayaan tersebut
diperoleh. Dalam banyak hal, penyebab seseorang melakukan korupsi
yaitu

(1) Lemahnya pendidikan agama, moral, dan etika,


(2) tidak adanya sanksi yang keras terhadap pelaku korupsi,
(3) Tidak adanya suatu sistem pemerintahan yang transparan (good
governance),
(4) Faktor ekonomi,
(5) Manajemen yang kurang baik dan tidak adanya pengawasan yang
efektif dan efisien serta,
(6) Modernisasi yang menyebabkan pergeseran nilai-nila kehidupan
yang berkembang dalam masyarakat. (Putu Ariesta Wiryawan)

2.1.3 Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi

9
Pengaturan pidana dalam tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal
413-437 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang disingkat menjadi
KUHP, selain itu ada juga peraturan lain yang mengatur tentang tindak
pidana korupsi diluar KUHP yaitu yang terdapat pada Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pertanggungjawaban pidana dalam delik korupsi lebih luas dari hukum
pidana umum. Hal itu nyata dalam hal, kemungkinan penjatuhan pidana
secara in absentia seperti yang terdapat dalam Pasal 23 ayat 1 sampai
ayat 4 UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 38 ayat 1, 2 ,3 dan 4 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Perampasan barang- barang yang telah disita bagi terdakwa yang


telah meninggal dunia sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah
lagi seperti yang terdapat dalam Pasal 23 ayat 5 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan Pasal 38 ayat 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahkan kesempatan banding
tidak ada. Perumusan delik dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sangat luas ruang
lingkupnya, terutama yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 butir a dan b
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penafsiran kata
“menggelapkan” pada delik penggelapan yang diatur dalam Pasal 415
KUHP oleh yurisprudensi baik di Belanda maupun di Indonesia sangat
luas. Uraian mengenai perluasan pertanggungjawaban pidana tersebut
di atas dilanjutkan di bawah ini, pasal ini diadopsi menjadi Pasal 8
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 2001. (Putu
Ariesta Wiryawan)

2.2 Dampak Korupsi Terhadap Sosial dan Kemiskinan

10
Bagi masyarakat miskin korupsi mengakibatkan dampak yang luar biasa dan
saling bertaut satu sama lain. Pertama, dampak langsung yang dirasakan oleh
orang miskin yakni semakin mahalnya jasa berbagai pelayanan publik, rendahnya
kualitas pelayanan, dan pembatasan akses terhadap berbagai pelayanan vital
seperti air, kesehatan, dan pendidikan. Kedua, dampak tidak langsung terhadap
orang miskin yakni pengalihan sumber daya milik publik untuk kepentingan
pribadi dan kelompok, yang seharusnya diperuntukkan guna kemajuan sektor
sosial dan orang miskin, melalui pembatasan pembangunan. Hal ini secara
langsung memiliki pengaruh kepada langgengnya kemiskinan.

1. Mahalnya Harga Jasa dan Pelayanan Publik


Praktek korupsi yang terjadi menciptakan ekonomi biaya tinggi. Beban yang
ditanggung para pelaku ekonomi akibat korupsi disebut high cost economy.
Dari istilah pertama di atas terlihat bahwa potensi korupsi akan sangat besar
terjadi di negara-negara yang menerapkan kontrol pemerintah secara ketat
dalam praktek perekonomian. Alias memiliki kekuatan monopoli yang besar,
karena rentan sekali terhadap penyalahgunaan. Yang disalahgunakan adalah
perangkat-perangkat publik atau pemerintahan dan yang diuntungkan adalah
kepentingan-kepentingan yang bersifat pribadi.
Kondisi ekonomi biaya tinggi ini berimbas pada mahalnya harga jasa dan
pelayanan publik, karena harga yang ditetapkan harus dapat menutupi kerugian
pelaku ekonomi akibat besarnya modal yang dilakukan karena penyelewengan
yang mengarah ke tindak korupsi.
2. Pengentasan Kemiskinan Berjalan Lambat
Jumlah penduduk miskin (hidup di bawah garis kemiskinan) di Indonesia
pada Maret 2011 mencapai 30,02 juta orang (12,49 persen), turun 1,00 juta
orang (0,84 persen) dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2010
yang sebesar 31,02 juta orang (13,33 persen). Selama periode Maret 2010-
Maret 2011, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang sekitar 0,05 juta
orang (dari 11,10 juta orang pada Maret 2010 menjadi 11,05 juta orang pada
Maret 2011), sementara di daerah perdesaan berkurang sekitar 0,95 juta orang
(dari 19,93 juta orang pada Maret 2010 menjadi 18,97 juta orang pada Maret
2011) (BPS: 1 Juli 2011).

11
Pengentasan kemiskinan dirasakan sangat lambat. Hal ini terjadi karena
berbagai sebab seperti lemahnya koordinasi dan pendataan, pendanaan dan
lembaga. Karena korupsi dan permasalahan kemiskinan itu sendiri yang pada
akhirnya akan membuat masyarakat sulit untuk mendapatkan akses ke
lapangan kerja yang disebabkan latar belakang pendidikan, sedangkan untuk
membuat pekerjaan sendiri banyak terkendala oleh kemampuan, masalah
teknis dan pendanaan.
3. Terbatasnya Akses Bagi Masyarakat Miskin
Korupsi yang telah menggurita dan terjadi di setiap aspek kehidupan
mengakibatkan high-cost economy, di mana semua harga-harga melambung
tinggi dan semakin tidak terjangkau oleh rakyat miskin. Kondisi ini
mengakibatkan rakyat miskin semakin tidak bisa mendapatkan berbagai
macam akses dalam kehidupannya.
Harga bahan pokok seperti beras, gula, minyak, susu dan sebagainya saat ini
sangat tinggi. Kondisi ini mengakibatkan penderitaan khusunya bagi bayi dan
anak-anak karena ketercukupan gizinya kurang. Untuk mendapatkan bahan
pokok ini rakyat miskin harus mengalokasikan sejumlah besar uang dari sedikit
pendapatan yang dimilikinya.
Rakyat miskin tidak bisa mengakses jasa dengan mudah seperti: pendidikan,
kesehatan, rumah layak huni, informasi, hukum dsb. Rakyat miskin lebih
mendahulukan mendapatkan bahan pokok untuk hidup daripada untuk sekolah.
Kondisi ini akan semakin menyudutkan rakyat miskin karena mengalami
kebodohan. Dengan tidak bersekolah, maka akses untuk mendapatkan
pekerjaan yang layak menjadi sangat terbatas, yang pada akhirnya rakyat
miskin tidak mempunyai pekerjaan dan selalu dalam kondisi yang miskin
seumur hidup. Situasi ini layak disebut sebagai lingkaran setan.
4. Meningkatnya Angka Kriminalitas
Dampak korupsi, tidak diragukan lagi dapat menyuburkan berbagai jenis
kejahatan dalam masyarakat. Melalui praktik korupsi, sindikat kejahatan atau
penjahat perseorangan dapat leluasa melanggar hukum, menyusupi berbagai
oraganisasi negara dan mencapai kehormatan. Di India, para penyelundup yang
popular, sukses menyusup ke dalam tubuh partai dan memangku jabatan

12
penting. Di Amerika Serikat, melalui suap, polisi korup menyediakan proteksi
kepada organisasi-organisasi kejahatan dengan pemerintahan yang korup.
Semakin tinggi tingkat korupsi, semakin besar pula kejahatan.
Menurut Transparency International, terdapat pertalian erat antara korupsi
dan kualitas serta kuantitas kejahatan. Rasionya, ketika korupsi meningkat,
angka kejahatan yang terjadi juga meningkat. Sebaliknya, ketika korupsi
berhasil dikurangi, maka kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum
(law enforcement) juga meningkat. Jadi bisa dikatakan, mengurangi korupsi
dapat juga (secara tidak langsung) mengurangi kejahatan lain dalam
masyarakat.
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penegakan hukum di suatu negara
selain tergantung dari hukum itu sendiri, profesionalisme aparat, sarana dan
prasarana, juga tergantung pada kesadaran hukum masyarakat. Memang secara
ideal, angka kejahatan akan berkurang jika timbul kesadaran masyarakat
(marginal detterence). Kondisi ini hanya terwujud jika tingkat kesadaran
hukum dan kesejahteraan masyarakat sudah memadai.
5. Solidaritas Sosial Semakin Langka dan Demoralisasi
Korupsi yang begitu masif yang terjadi membuat masyarakat merasa tidak
mempunyai pegangan yang jelas untuk menjalankan kehidupannya sehari-hari.
Kepastian masa depan yang tidak jelas serta himpitan hidup yang semakin kuat
membuat sifat kebersamaan dan kegotong-royongan yang selama ini dilakukan
hanya menjadi retorika saja.
Masyarakat semakin lama menjadi semakin individualis yang hanya
mementingkan dirinya sendiri dan keluarganya saja. Mengapa masyarakat
melakukan hal ini dapat dimengerti, karena memang sudah tidak ada lagi
kepercayaan kepada pemerintah, sistem, hukum bahkan antar masyarakat
sendiri.
Orang semakin segan membantu sesamanya yang terkena musibah atau
bencana, karena tidak yakin bantuan yang diberikan akan sampai kepada yang
membutuhkan dengan optimal. Ujungnya mereka yang terkena musibah akan
semakin menderita. Di lain sisi partai-partai politik berlomba-lomba
mendirikan posko bantuan yang tujuan utamanya adalah sekedar mencari

13
dukungan suara dari masyarakat yang terkena musibah atau bencana, bukan
secara tulus meringankan penderitaan dan membantu agar lebih baik.
Solidaritas yang ditunjukkan adalah solidaritas palsu. Sudah tidak ada lagi
keikhlasan, bantuan yang tulus, solidaritas yang jujur apa adanya. Kondisi ini
akan menciptakan demoralisasi, kemerosotan moral dan akhlak khususnya bagi
generasi muda yang terus menerus terpapar oleh kepalsuan yang ditunjukkan
oleh para elit politik, pejabat penguasa, penegak hukum, artis dan selebritis
yang setiap hari bisa dilihat dari berbaga macam media. (Kurniadi, 2011)

14
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 CONTOH KASUS:

Pada 6 Desember 2020, KPK menetapkan Mantan Menteri Sosial Juliari


Batubara sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan sosial penanganan
pandemi Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020. Penetapan
tersangka Juliari saat itu merupakan tindak lanjut atas operasi tangkap tangan
yang dilakukan KPK pada Jumat, 5 Desember 2020. Usai ditetapkan sebagai
tersangka, pada malam harinya Juliari menyerahkan diri ke KPK. Selain
Juliari, KPK juga menetapkan Matheus Joko Santoso, Adi Wahyono, Ardian
I M dan Harry Sidabuke sebagai tersangka selalu pemberi suap.

Menurut KPK, kasus ini bermula dari adanya program pengadaan bansos
penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kemensos tahun 2020 dengan
nilai sekitar Rp 5,9 Triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dengan
2 periode. Juliari sebagai menteri sosial saat itu menunjuk Matheus dan Adi
sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pelaksanaan proyek
tersebut dengan cara penunjukkan langsung para rekanan dan diduga
disepakati ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus
disetorkan para rekanan kepada Kemensos melalui Matheus. Untuk setiap
paket bansos, fee yang disepakati oleh Matheus dan Adi sebesar Rp 10.000
per paket sembako dari nilai Rp 300.000 per paket bansos. Pada Mei sampai
November 2020, Matheus dan Adi membuat kontrak pekerjaan dengan
beberapa suplier sebagai rekanan yang di antaranya Ardian I M dan Harry
Sidabuke dan juga PT RPI yang diduga milik Matheus. Penunjukkan PT RPI
sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui Juliari dan disetujui oleh
Adi. Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga
diterima fee Rp 12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh
Matheus kepada Juliari melalui Adi. Dari jumlah itu, diduga total suap yang
diterima oleh Juliari sebesar Rp 8,2 miliar. Uang tersebut selanjutnya dikelola
Eko dan Shelvy N selaku orang kepercayaan Juliari untuk digunakan
membayar berbagai keperluan pribadi Juliari. Kemudian pada periode kedua

15
pelaksanaan paket bansos sembako, terkumpul uang fee dari Oktober sampai
Desember 2020 sekitar Rp 8,8 miliar. Sehingga, total uang suap yang
diterima oleh Juliari menurut KPK adalah sebesar Rp 17 miliar. Seluruh uang
tersebut diduga digunakan oleh Juliari untuk keperluan pribadi.

Atas perbuatannya itu, Juliari disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a


atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo
Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Divonis 12 tahun penjara Juliari divonis 12 tahun
penjara dan denda Rp 500 juta oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Senin (23/8/2021). Majelis hakim menilai
Juliari terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
diubah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001. Selain itu, hakim juga
menjatuhkan pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp
14.590.450.000 atau sekitar Rp 14,59 miliar. Jika tidak diganti, bisa diganti
pidana penjara selama dua tahun. Hak politik atau hak dipilih terhadap Juliari
pun dicabut oleh hakim selama empat tahun. Hal memberatkan Juliari
menurut hakim perbuatannya dapat dikualifikasi tidak kesatria, ibaratnya
lempar batu sembunyi tangan. Kemudian Berani berbuat tidak berani
bertanggung jawab. Bahkan menyangkali perbuatannya. Hakim juga menilai
perbuatan Juliari dilakukan dalam keadaan darurat bencana nonalam yaitu
wabah covid-19.

Sementara yang meringankan, Juliari belum pernah dijatuhi pidana. Ia juga


sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat. Hakim juga
menilai Juliari telah divonis oleh masyarakat telah bersalah padahal secara
hukum terdakwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap. Selama persidangan kurang lebih 4 bulan
Juliari hadir dengan tertib, tidak pernah bertingkah dengan macam-macam
alasan yang akan mengakibatkan persidangan tidak lancar. Juliari dan kuasa
hukumnya Maqdir Ismail pikir-pikir terlebih dahulu atas vonis tersebut.

16
"Kami sudah sempat berdiskusi sedikit dengan terdakwa, untuk menentukan
sikap kami akan coba mengambil sikap terlebih dahulu untuk pikir-pikir yang
mulia," ujar Maqdir Ismail. Vonis ini lebih berat dibandingkan tuntutan jaksa
KPK. Sebelumnya, Juliari dituntut 11 tahun dan denda Rp 500 juta subsider
enam bulan kurungan oleh Jaksa KPK. Jaksa menilai Juliari terbukti
menerima suap dalam pengadaan paket bansos Covid-19 wilayah
Jabodetabek 2020 sebesar Rp 32,48 miliar. Selain itu, Juliari juga dituntut
pidana pengganti sebesar Rp 14,5 miliar dan hak politiknya dicabut selama
empat tahun. Dalam tuntutannya, jaksa menyebut mantan Mensos ini
memerintahkan dua anak buahnya, yaitu Matheus Joko dan Adi Wahyono,
untuk meminta fee Rp 10.000 tiap paket bansos Covid-19 dari perusahaan
penyedia.

3.2 PEMBAHASAN

Dari kasus program pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket


sembako di Kemensos tahun 2020 dengan nilai sekitar Rp 5,9 Triliun terlihat
begitu besarnya dampaknya pada masyarakat, khususnya dari segi sosial dan
kemiskinan. Dilihat dari berbagai dampak yang ditimbulkan, di masa pandemi
covid-19 banyak masyarakat yang harus kehilangan pekerjaan yang
menimbulkan meningkatnya angka pengangguran di Indonesia. Berdasarkan
data BPS atau Badan Pusat Statistik 2020 lalu, TPT (Tingkat Pengangguran
Terbuka) mencapai 7,07 persen dari 138,22 juta angkatan kerja. Artinya
terdapat 9,77 juta penduduk pengangguran terbuka.

Tingginya angka pengangguran mempengaruhi masyarakat terutama pada


faktor kemiskinan. Praktek korupsi menciptakan ekonomi biaya tinggi yang
membebankan masyarakat yang berimbas pada kebutuhan hidup sehari-hari
dan juga sasaran bansos covid 19 di tujukan pada masyarakat tidak mampu
tidak tepat sasaran.

17
BAB 1V

PENUTUP

4.1 kesimpulan

korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara


(perusahaan, organisasi, yayasan dan sebagainya) utnuk keuntungan
pribadi atau orang lain. Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara. Penyebab seseorang yang melakukan
korupsi ada beberapa macam, salah satunya seperti lemahnya pendidikan
agama, moral dan etika serta faktor ekonomi. Kemudian bagi masyarakat
miskin korupsi mengakibatkan dampak yang luar biasa dan saling bertaut
satu sama lain.

4.2 saran

Korupsi mengakibatkan melambatnya pertumbuhan ekonomi


negara, meningkatkan kemiskinan serta menurunkan tingkat kebahagiaan
masyarakat di suatu negara. Dengan disusunnya makalah ini, diharapkan
para pembaca setelah membaca makalah ini mampu mengaplikasikan
tindakan anti korupsi didalam kehidupan sehari-hari.

18
DAFTAR PUSTAKA

Hartanti, E. (2005). Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.

Putu Ariesta Wiryawan, M. T. (n.d.). ANALISIS HUKUM PENYEBAB


TERJADINYA TINDAK PIDANA KORUPSI DAN
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANANYA. Bagian Hukum Pidana,
Fakultas Hukum, Universitas Udayana, 1-5.

https://id.scribd.com/document/400049153/MAKALAH-DAMPAK-KORUPSI

19

Anda mungkin juga menyukai