MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Pendidikan Budaya Anti Korupsi
Yang dibimbing oleh Bapak Ns. Supono., MKep., Sp.MB
Oleh:
Kelompok 3/2D
1. AMELIA ERINTYA P17210203125
2. VALENTINA FEBRIANTI F. P17210204154
3. DILA ROSITA P17210204157
4. IRMA ULFIANA P17210204170
5. INTANIA CAHYA A. P17210204171
6. KRISNA DWI NAVYANTO P17210204176
7. FRISCA ILMA SILVIA P17210204178
8. SITI NUR CHOLIS A. P17210204179
9. MARISSA DWI ASIH P. P17210204184
10. SAIDAH FITRI P17210204185
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Dampak Sosial dan Kemiskinan Masyarakat Akibat Korupsi” dengan baik.
Selama penyusunan makalah ini penulis mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada
dosen mata kuliah Pendidikan Budaya Anti Korupsi..
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Penulis mengucapkan
maaf jika makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena penulis menyadari
dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan. Kritik serta saran yang
membangun sangat penulis harapkan.
Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua khususnya pembaca sebagai tambahan pengetahuan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
3.2. Pembahasan............................................................................................... 17
BAB IV PENUTUP
4.2 Saran........................................................................................................... 18
..........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
iii
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
Korupsi di tanah negeri, ibarat “warisan haram” tanpa surat wasiat. Ia tetap
lestari sekali pun diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku dalam tiap orde
yang datang silih berganti. Hampir semua segi kehidupan terjangkit korupsi.
Apabila disederhanakan penyebab korupsi meliputi dua faktor yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan penyebab korupsi yang
datang dari diri pribadi sedang faktor eksternal adalah faktor penyebab terjadinya
korupsi karena sebab-sebab dari luar. Faktor internal terdiri dari aspek moral,
misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu,aspek sikap atau perilaku
misalnya pola hidup konsumtif dan aspek social seperti keluarga seperti keluarga
yang dapat mendorong seseorang untuk berperilaku korupsi.Faktor eksternal bisa
dilacak dari aspek ekonomi misalnya pendapatan atau gaji tidak mencukupi
kebutuhan, aspek politis misalnya instabilitas politik, kepentingan , politis, meraih
dan mempertahankan kekuasaan, aspek managemen dan organisasi yaitu
ketiadaan akuntabilitas dan transparansi,aspek hukum, terlihat dalam buruknya
wujud perundang-undangan dan lemahnya penegakkan hukum serta aspek sosial
yaitu lingkungan atau masyarakat yang kurang mendukung perilaku anti
korupsi.Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan
keberhasilannya dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagai suatu
proses perubahan yang direncanakan mencakup semua aspek kehidupan
masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan pembangunan terutama ditentukan oleh
dua faktor, yaitu sumber daya manusia, yakni (orang-orang yang terlibat sejak
dari perencanaan sampai pada pelaksanaan) dan pembiayaan. Diantara dua faktor
dua faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor manusianya.
5
tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga
menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya.
6
3. Untuk mengetahui bagaimana contoh kasus korupsi dibidang sosial dan
kemiskinan masyarakat
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
8
Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tujuan dengan diundangkannya
Undang-Undang Korupsi ini sebagaimana dijelaskan dalam konsiderans
menimbang diharapkan dapat memenuhi dan mengantisipasi
perkembangan dan kebutuhan hukum bagi masyarakat dalam rangka
mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap tindak pidana
korupsi yang sangat merugikan keuangan, perekonomian negara pada
khususnya serta masyarakat pada umumnya. (Hartanti, 2005)
2.1.2 Penyebab
9
Pengaturan pidana dalam tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal
413-437 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang disingkat menjadi
KUHP, selain itu ada juga peraturan lain yang mengatur tentang tindak
pidana korupsi diluar KUHP yaitu yang terdapat pada Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pertanggungjawaban pidana dalam delik korupsi lebih luas dari hukum
pidana umum. Hal itu nyata dalam hal, kemungkinan penjatuhan pidana
secara in absentia seperti yang terdapat dalam Pasal 23 ayat 1 sampai
ayat 4 UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 38 ayat 1, 2 ,3 dan 4 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
10
Bagi masyarakat miskin korupsi mengakibatkan dampak yang luar biasa dan
saling bertaut satu sama lain. Pertama, dampak langsung yang dirasakan oleh
orang miskin yakni semakin mahalnya jasa berbagai pelayanan publik, rendahnya
kualitas pelayanan, dan pembatasan akses terhadap berbagai pelayanan vital
seperti air, kesehatan, dan pendidikan. Kedua, dampak tidak langsung terhadap
orang miskin yakni pengalihan sumber daya milik publik untuk kepentingan
pribadi dan kelompok, yang seharusnya diperuntukkan guna kemajuan sektor
sosial dan orang miskin, melalui pembatasan pembangunan. Hal ini secara
langsung memiliki pengaruh kepada langgengnya kemiskinan.
11
Pengentasan kemiskinan dirasakan sangat lambat. Hal ini terjadi karena
berbagai sebab seperti lemahnya koordinasi dan pendataan, pendanaan dan
lembaga. Karena korupsi dan permasalahan kemiskinan itu sendiri yang pada
akhirnya akan membuat masyarakat sulit untuk mendapatkan akses ke
lapangan kerja yang disebabkan latar belakang pendidikan, sedangkan untuk
membuat pekerjaan sendiri banyak terkendala oleh kemampuan, masalah
teknis dan pendanaan.
3. Terbatasnya Akses Bagi Masyarakat Miskin
Korupsi yang telah menggurita dan terjadi di setiap aspek kehidupan
mengakibatkan high-cost economy, di mana semua harga-harga melambung
tinggi dan semakin tidak terjangkau oleh rakyat miskin. Kondisi ini
mengakibatkan rakyat miskin semakin tidak bisa mendapatkan berbagai
macam akses dalam kehidupannya.
Harga bahan pokok seperti beras, gula, minyak, susu dan sebagainya saat ini
sangat tinggi. Kondisi ini mengakibatkan penderitaan khusunya bagi bayi dan
anak-anak karena ketercukupan gizinya kurang. Untuk mendapatkan bahan
pokok ini rakyat miskin harus mengalokasikan sejumlah besar uang dari sedikit
pendapatan yang dimilikinya.
Rakyat miskin tidak bisa mengakses jasa dengan mudah seperti: pendidikan,
kesehatan, rumah layak huni, informasi, hukum dsb. Rakyat miskin lebih
mendahulukan mendapatkan bahan pokok untuk hidup daripada untuk sekolah.
Kondisi ini akan semakin menyudutkan rakyat miskin karena mengalami
kebodohan. Dengan tidak bersekolah, maka akses untuk mendapatkan
pekerjaan yang layak menjadi sangat terbatas, yang pada akhirnya rakyat
miskin tidak mempunyai pekerjaan dan selalu dalam kondisi yang miskin
seumur hidup. Situasi ini layak disebut sebagai lingkaran setan.
4. Meningkatnya Angka Kriminalitas
Dampak korupsi, tidak diragukan lagi dapat menyuburkan berbagai jenis
kejahatan dalam masyarakat. Melalui praktik korupsi, sindikat kejahatan atau
penjahat perseorangan dapat leluasa melanggar hukum, menyusupi berbagai
oraganisasi negara dan mencapai kehormatan. Di India, para penyelundup yang
popular, sukses menyusup ke dalam tubuh partai dan memangku jabatan
12
penting. Di Amerika Serikat, melalui suap, polisi korup menyediakan proteksi
kepada organisasi-organisasi kejahatan dengan pemerintahan yang korup.
Semakin tinggi tingkat korupsi, semakin besar pula kejahatan.
Menurut Transparency International, terdapat pertalian erat antara korupsi
dan kualitas serta kuantitas kejahatan. Rasionya, ketika korupsi meningkat,
angka kejahatan yang terjadi juga meningkat. Sebaliknya, ketika korupsi
berhasil dikurangi, maka kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum
(law enforcement) juga meningkat. Jadi bisa dikatakan, mengurangi korupsi
dapat juga (secara tidak langsung) mengurangi kejahatan lain dalam
masyarakat.
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penegakan hukum di suatu negara
selain tergantung dari hukum itu sendiri, profesionalisme aparat, sarana dan
prasarana, juga tergantung pada kesadaran hukum masyarakat. Memang secara
ideal, angka kejahatan akan berkurang jika timbul kesadaran masyarakat
(marginal detterence). Kondisi ini hanya terwujud jika tingkat kesadaran
hukum dan kesejahteraan masyarakat sudah memadai.
5. Solidaritas Sosial Semakin Langka dan Demoralisasi
Korupsi yang begitu masif yang terjadi membuat masyarakat merasa tidak
mempunyai pegangan yang jelas untuk menjalankan kehidupannya sehari-hari.
Kepastian masa depan yang tidak jelas serta himpitan hidup yang semakin kuat
membuat sifat kebersamaan dan kegotong-royongan yang selama ini dilakukan
hanya menjadi retorika saja.
Masyarakat semakin lama menjadi semakin individualis yang hanya
mementingkan dirinya sendiri dan keluarganya saja. Mengapa masyarakat
melakukan hal ini dapat dimengerti, karena memang sudah tidak ada lagi
kepercayaan kepada pemerintah, sistem, hukum bahkan antar masyarakat
sendiri.
Orang semakin segan membantu sesamanya yang terkena musibah atau
bencana, karena tidak yakin bantuan yang diberikan akan sampai kepada yang
membutuhkan dengan optimal. Ujungnya mereka yang terkena musibah akan
semakin menderita. Di lain sisi partai-partai politik berlomba-lomba
mendirikan posko bantuan yang tujuan utamanya adalah sekedar mencari
13
dukungan suara dari masyarakat yang terkena musibah atau bencana, bukan
secara tulus meringankan penderitaan dan membantu agar lebih baik.
Solidaritas yang ditunjukkan adalah solidaritas palsu. Sudah tidak ada lagi
keikhlasan, bantuan yang tulus, solidaritas yang jujur apa adanya. Kondisi ini
akan menciptakan demoralisasi, kemerosotan moral dan akhlak khususnya bagi
generasi muda yang terus menerus terpapar oleh kepalsuan yang ditunjukkan
oleh para elit politik, pejabat penguasa, penegak hukum, artis dan selebritis
yang setiap hari bisa dilihat dari berbaga macam media. (Kurniadi, 2011)
14
BAB III
PEMBAHASAN
Menurut KPK, kasus ini bermula dari adanya program pengadaan bansos
penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kemensos tahun 2020 dengan
nilai sekitar Rp 5,9 Triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dengan
2 periode. Juliari sebagai menteri sosial saat itu menunjuk Matheus dan Adi
sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pelaksanaan proyek
tersebut dengan cara penunjukkan langsung para rekanan dan diduga
disepakati ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus
disetorkan para rekanan kepada Kemensos melalui Matheus. Untuk setiap
paket bansos, fee yang disepakati oleh Matheus dan Adi sebesar Rp 10.000
per paket sembako dari nilai Rp 300.000 per paket bansos. Pada Mei sampai
November 2020, Matheus dan Adi membuat kontrak pekerjaan dengan
beberapa suplier sebagai rekanan yang di antaranya Ardian I M dan Harry
Sidabuke dan juga PT RPI yang diduga milik Matheus. Penunjukkan PT RPI
sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui Juliari dan disetujui oleh
Adi. Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga
diterima fee Rp 12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh
Matheus kepada Juliari melalui Adi. Dari jumlah itu, diduga total suap yang
diterima oleh Juliari sebesar Rp 8,2 miliar. Uang tersebut selanjutnya dikelola
Eko dan Shelvy N selaku orang kepercayaan Juliari untuk digunakan
membayar berbagai keperluan pribadi Juliari. Kemudian pada periode kedua
15
pelaksanaan paket bansos sembako, terkumpul uang fee dari Oktober sampai
Desember 2020 sekitar Rp 8,8 miliar. Sehingga, total uang suap yang
diterima oleh Juliari menurut KPK adalah sebesar Rp 17 miliar. Seluruh uang
tersebut diduga digunakan oleh Juliari untuk keperluan pribadi.
16
"Kami sudah sempat berdiskusi sedikit dengan terdakwa, untuk menentukan
sikap kami akan coba mengambil sikap terlebih dahulu untuk pikir-pikir yang
mulia," ujar Maqdir Ismail. Vonis ini lebih berat dibandingkan tuntutan jaksa
KPK. Sebelumnya, Juliari dituntut 11 tahun dan denda Rp 500 juta subsider
enam bulan kurungan oleh Jaksa KPK. Jaksa menilai Juliari terbukti
menerima suap dalam pengadaan paket bansos Covid-19 wilayah
Jabodetabek 2020 sebesar Rp 32,48 miliar. Selain itu, Juliari juga dituntut
pidana pengganti sebesar Rp 14,5 miliar dan hak politiknya dicabut selama
empat tahun. Dalam tuntutannya, jaksa menyebut mantan Mensos ini
memerintahkan dua anak buahnya, yaitu Matheus Joko dan Adi Wahyono,
untuk meminta fee Rp 10.000 tiap paket bansos Covid-19 dari perusahaan
penyedia.
3.2 PEMBAHASAN
17
BAB 1V
PENUTUP
4.1 kesimpulan
4.2 saran
18
DAFTAR PUSTAKA
https://id.scribd.com/document/400049153/MAKALAH-DAMPAK-KORUPSI
19