A. Ekonomi Islam adalah sub-sistem dari domain agama Islam yang lebih besar,
karena sumbernya berasal dari sumber fundamental Islam.
B. Ekonomi Islam mengatur segala aspek ekonomi dan kegiatan seperti pada sistem
ekonomi yang berlaku.
C. Mewajibkan individu untuk membatasi pilihan mereka dalam batasan etika Islam.
Khilafah menjelaskan bahwa manusia adalah khalifah dan wali dari karunia-
karunia Allah dalam penciptaan, dan memegang posisi sentral di bumi ini. Semua
manusia sama dalam esensi mereka dan manusia bertanggung jawab untuk
membangun perdamaian, keadilan, kemakmuran dan ketenangan di bumi, ia
bertanggung jawab atas perbuatannya di hadapan Tuhan. Khilafah termasuk konsepsi
solidaritas universal, penerapan sumber daya sebaik mungkin dan memiliki kebebasan
untuk menjalankan kehidupan pribadinya. Aksioma tazkiyah berkaitan dengan dan
pertumbuhan menuju kesempurnaan melalui pemurnian, pengorbanan, amal yaitu
infak. Aksioma ini mengarahkan individu ke arah pengembangan diri, yang mengarah
pada kemakmuran dalam dimensi ekonomi dan sosial secara harmonis. Hasil tazkiyah
adalah falah, kemakmuran di dunia dan akhirat.
Metodologi Pembentukan Ekonomi Islam
Pendekatan yang dapat dilakukan bisa seperti para fuqaha’ (ahli hukum)
mempraktikkan upaya untuk membangun al-qawa’id al-fiqhiyyah (prinsip hukum)
yang menjadi sumber derivasi teori ekonomi (Hasanuzzaman, 2007). Gagasan
metodologi ekonomi Islam mencerminkan bahwa teori ekonomi Islam kontemporer
masih didominasi oleh fiqh. Namun, sangat disayangkan hampir semua gagasan
metodologi tersebut didefinisikan secara sempit sebagai hukum (Furqani & Haneef,
2015). Oleh karena itu, penggunaan metodologi tidak dapat berfokus pada ekonomi
Islam sebagai ilmu sosial. Ekonomi Islam secara longgar dipandang sebagai fiqh-
nomics yang disamakan dengan fiqh atau cabang ilmu fiqh. Hal tersebut tentunya
tidak tepat, mengingat kedua subjek memiliki subjek yang berbeda. Fiqh (seperti yang
umum dipahami) mempelajari aturan praktis dan hukum yang melekat pada tindakan
manusia (ahkam al-syari'ah) seperti kewajiban (wujub), larangan (hazr), pengabaian
(ibaha), rekomendasi (nadb), atau celaan (karaha) dan sejenisnya (Moad, 2007). Di
sisi lain, ekonomi Islam membahas perilaku manusia yang jauh lebih luas. Hal ini
digunakan sebagai upaya untuk menemukan cara dan alat yang cocok untuk
menganalisis masalah ekonomi dan untuk mengetahui penyebab, konsekuensi, dan
solusi dalam kehidupan praktis. Ekonomi Islam mencakup dimensi normatif dan
positif dari analisis dan kebijakan ekonomi.
Bagi para ekonom Islam, seruan untuk pluralitas metodologi datang dari fakta
bahwa epistemologi Islam mengakui berbagai sumber pengetahuan dari mana teori
dapat dinilai. Siddiqi (2001) menyatakan bahwa tradisi Islam dalam ekonomi selalu
bebas dari formalisme, berfokus pada makna dan tujuan dengan metodologi yang
fleksibel dan harus membuka kontribusi untuk mewujudkan visi Islam tentang
kehidupan yang baik. Selain itu, ekonomi Islam memiliki tugas yang lebih besar dan
lebih sulit daripada ekonomi konvensional, yaitu tujuan untuk memajukan
kesejahteraan manusia, bukan hanya menjelaskan, memprediksi atau membujuk
(Chapra, 1996).
Perkembangan ekonomi Islam sebagai suatu disiplin tidak akan dimulai dari
awal. Sebaliknya ia akan memanfaatkan perkembangan ekonomi (teori dan
metodologi) yang relatif lebih maju dan berupaya membuatnya kompatibel dengan
kerangka atau prinsip-prinsip Islam. Selain itu, terdapat beberapa kesamaan antara
ekonomi konvensional dan ekonomi Islam. Terdapat beberapa teori konvensional
yang dapat diterima, selama teori tersebut tidak bertentangan dengan struktur logis
dari pandangan dunia Islam (Chapra, 1984), atau teori yang tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, dan harus dievaluasi dalam kerangka Islam
menggunakan kriteria Islam (Haneef, 1997).
Ekonomi Islam yang diharapkan mampu menjadi disiplin ilmu yang berbeda,
yang dapat menganalisis ekonomi menggunakan filosofi, konsep, kerangka kerja dan
metode analisis yang berbeda seperti yang dimaksudkan oleh proyek Islamisasi
pengetahuan, malah hampir menjadi sub-disiplin neoklasik konvensional. Alih-alih
menentang paradigma yang ada, ia berusaha untuk membenarkan praktik ilmiah dan
melegitimasi apa yang telah terjadi atas nama Islam (studi kasus). Lawson (2003)
mengatakan bahwa praktik metodologi ekonomi Islam saat ini menerima keilmuan
ekonomi yang ada dengan praktik yang membenarkan dan memperjelas rasionalitas
atas apa yang terjadi, bukannya berusaha menerapkan konsepsi ekonomi Islam yang
tepat.
Konsep Hadd Dan Fasl Huquq Vs Self Interest
Huquq atau dalam bentuk tunggal haqq berarti kebenaran, nyata, kepastian (al-
tsubut), benar, klaim (al-nasib wa al-haz), kewajiban dan tanggung jawab (al-wujub,
al-mas'uliyyah) (Sharbasi, 1981). Makna-makna tersebut menandakan dua dimensi
huquq. Pertama, huquq berarti hak dan tanggung jawab atau kewajiban (sebagaimana
dinyatakan dalam Al-Qur'an 6: 141; 51:19; 70:24-25). Hal ini menyiratkan bahwa
manusia memiliki hak (ikhtisas hajiz) yang berbentuk kekuasaan, namun ia juga
memiliki tanggung jawab atau kewajiban (al-wujub). Kedua, huquq juga menyiratkan
bahwa hak harus diarahkan kepada nilai atau tujuan yang lebih tinggi, seperti keadilan
(‘adl), kebenaran (ihsan) dan maslahah (menguntungkan).
Kedua, perilaku manusia dalam konsep self-interest adalah kesatuan dan statis,
sedangkan konsep huquq bermaka timbal balik dan dinamis. Perilaku individu dalam
konsep self-interest memiliki motif satu arah. Artinya, individu yang dimotivasi oleh
kepentingannya sendiri akan memaksimalkan utilitasnya sendiri demi mencapai
kepuasannya sendiri, bahkan dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Hal
seperti ini tersirat dalam prinsip Optimalitas Pareto, yang dipandang sebagai sesuatu
yang dieksploitasi untuk keinginan atau kepuasan individu.
Dalam konsep huquq, perilaku individu dipandang dalam perspektif
terintegrasi yang memiliki hubungan dua arah (timbal balik). Semua makhluk dalam
pandangan dunia Islam memiliki huquq tertentu. Huquq ini adalah hak diri (alami)
bawaan yang harus dihormati oleh makhluk lain dan merupakan tanggung jawab
inheren. Konsep huquq memandang perilaku individu tidak hanya termotivasi oleh
kepentingan pribadi (menuntut dan mendapatkan lebih banyak hak seseorang), tetapi
juga oleh kewajiban diri dan pengorbanan diri kepada masyarakat dan alam dengan
memberi, merawat, mempertahankan dan mengembangkannya. Hak dan kewajiban
ini merupakan hal mendasar dalam Islam yang berkaitan dengan urusan ekonomi
dalam alokasi sumber daya, serta dalam membuat pilihan dan keputusan di tingkat
mikro dan makro (Furqani, 2015).
Pentingnya Worldview Dalam Pengetahuan
Oleh karena itu, dalam kasus ekonomi Islam, kita melihat bahwa dalam
beberapa aspek signifikan, tidak memadainya bahasa asing (Inggris) dalam
menjelaskan sifat perilaku manusia. Jika komunitas intelektual tidak mampu
memodifikasi atau mengganti istilah-istilah Barat dengan istilah-istilah Islam,
kerangka analisis ekonomi Islam mungkin saja disebut menyesatkan. Dalam jangka
panjang, perlu upaya yang dilakukan dalam mengembangkan bahasa yang lebih
komprehensif (yang menggambarkan sifat, kecenderungan dan kebutuhan manusia)
dan universal (dapat diterapkan untuk semua manusia) dan pada saat yang sama juga
dapat membimbing umat manusia ke arah yang benar sesuai dengan perspektif Islam.
Dalam perspektif ini, para sarjana, seperti Al-Faruqi (1986) dan Al-Attas (1995)
merekomendasikan untuk memperkenalkan kembali istilah-istilah dan konsep kunci
Arab-Islam dalam wacana tentang Islam dalam bahasa Inggris. Istilah-istilah ini dapat
dengan tepat mencerminkan pandangan dunia Islam (pandangan filosofis), karakter
pengetahuan Islam dan menjelaskan tujuan-tujuan Islam. Secara umum, ini akan
menjadi upaya minimum, untuk mengislamkan ulang dan melawan gelombang pasang
sekularisasi pikiran Muslim.
Ini dapat dilakukan dengan melihat kembali terminologi Al-Qur'an dan dengan
menyelidiki warisan intelektual Islam (turath) untuk melihat istilah-istilah kunci yang
digunakan, dan pada saat yang sama, menampilkan kembali seluruh kearifan Islam
saat ini agar bahasanya dapat dipahami (Nasr, 1967). Istilah Al Quran berpotensi
menjadi istilah atau konsep utama ekonomi Islam, tidak hanya karena dapat dijelaskan
secara komprehensif, tetapi juga mewakili identitas berbeda dari ekonomi Islam.
Menurut Izutsu (2002), Al-Quran memiliki sistem kemandirian kata-kata di mana
semua kata, apa pun asal usulnya, telah diintegrasikan dengan interpretasi sistematis.
Pendekatan semantik terhadap Al-Qur'an dapat digunakan untuk mengembangkan
istilah-istilah kunci Islam tentang ekonomi. Analisis semantik Al Quran harus
dipahami secara terstruktur agar dapat dipahami bagaimana konsep dalam Al Quran
saling berkaitan.
Referensi
Mohamed, B., Haneef, A., & Furqani, H. (2008). Contemporary Islamic Economics:
The Missing Dimension of Genuine Islamization. Journal of Thoughts on Economics, 19(4).