Anda di halaman 1dari 15

FILOSOFI ILMU EKONOMI ISLAM

Ekonomi Islam Sebagai Ilmu Pengetahuan

Ekonom Islam modern seperti Khurshid telah mengembangkan pendekatan


multidisiplin dan multidimensi yang membentuk landasan konseptual ekonomi Islam
di mana standar etika dan moral Islam terintegrasi dengan kuat dengan motif
ekonomi. Berlawanan dengan ekonomi konvensional, pendekatan Islam modern ini
menghadirkan visi sosio-etis ekonomi untuk memecahkan masalah ekonomi manusia
(Bhat, 2016). Ekonomi Islam modern bertujuan untuk mengembangkan sistem baru
berdasarkan fitur-fitur berikut:

A. Ekonomi Islam adalah sub-sistem dari domain agama Islam yang lebih besar,
karena sumbernya berasal dari sumber fundamental Islam.
B. Ekonomi Islam mengatur segala aspek ekonomi dan kegiatan seperti pada sistem
ekonomi yang berlaku.
C. Mewajibkan individu untuk membatasi pilihan mereka dalam batasan etika Islam.

Khurshid mendefinisikan bahwa ekonomi Islam berkaitan dengan masalah


ekonomi manusia dari perspektif baru, menguraikan pendekatan untuk memecahkan
masalah masyarakat yang memanfaatkan sumber-sumber agama, budaya dan tradisi
Islam, meskipun juga terdapat pembelajaran dari seluruh pengalaman yang terjadi
masa lalu dan saat ini. Keunikan pendekatan Islam terletak pada integrasi aspek moral
dan material, spiritual dan duniawi, etis dan sosial-fisik kehidupan. Islam menekankan
pengembangan kemanusiaan dengan nilai-nilai sosial, bukan hanya perkembangan
materialistis (Bhat, 2016).

Pernyataan Khurshid tentang ekonomi Islam didasarkan pada aksioma


konseptual yang sepenuhnya berbeda dari kapitalisme dan sosialisme, yaitu:

A. Tauhid (persatuan dan kedaulatan Allah).


B. Rububiyyah (bahwa Allah adalah penyedia dan penopang ciptaan).
C. Khilafah (manusia sebagai wakil Allah dan bertanggung jawab di depan Allah).
D. Tazkiyah (pemurnian, pengorbanan, amal, yaitu infak).
Pandangan dunia Islam didasarkan pada aksioma tauhid, yaitu monoteisme
absolut adalah inti dari Islam; keyakinan bahwa Allah adalah Mahakuasa, Tuhan yang
Maha Segalanya, pencipta dan penopang dunia. Aksioma ini berkorelasi dengan
aksioma kesetaraan selanjutnya; semua manusia adalah ciptaan-Nya dan setara secara
inheren. Aksioma selanjutnya dari Rububiyyah yang mengacu pada pengaturan Ilahi
untuk makanan, rezeki dan mengarahkan hal-hal menuju kesempurnaan mereka.

Khilafah menjelaskan bahwa manusia adalah khalifah dan wali dari karunia-
karunia Allah dalam penciptaan, dan memegang posisi sentral di bumi ini. Semua
manusia sama dalam esensi mereka dan manusia bertanggung jawab untuk
membangun perdamaian, keadilan, kemakmuran dan ketenangan di bumi, ia
bertanggung jawab atas perbuatannya di hadapan Tuhan. Khilafah termasuk konsepsi
solidaritas universal, penerapan sumber daya sebaik mungkin dan memiliki kebebasan
untuk menjalankan kehidupan pribadinya. Aksioma tazkiyah berkaitan dengan dan
pertumbuhan menuju kesempurnaan melalui pemurnian, pengorbanan, amal yaitu
infak. Aksioma ini mengarahkan individu ke arah pengembangan diri, yang mengarah
pada kemakmuran dalam dimensi ekonomi dan sosial secara harmonis. Hasil tazkiyah
adalah falah, kemakmuran di dunia dan akhirat.
Metodologi Pembentukan Ekonomi Islam

Metodologi ekonomi merupakan sesuatu yang menjadi perhatian luas di antara


para ekonom pada tahun 1970-an dan mengalami perkembangan pada tahun 1980-an,
yang mana ia telah menjadi sub disiplin yang dikenal dalam ekonomi (Backhouse,
1994: 4). Ini membawa perdebatan baru tentang bagaimana ekonomi akan didekati
dan bagaimana teorinya dan kemudian pada tubuh pengetahuan akan dibangun
(Furqani & Haneef, 2015).

Metodologi tidak dapat diartikan sebagai metode, prosedur teknis atau


pendekatan untuk pemodelan, melainkan metodologi adalah studi tentang alasan di
balik prinsip-prinsip di mana berbagai jenis proposisi diterima atau ditolak sebagai
bagian dari tubuh pengetahuan yang tertata secara umum ataupun khusus (Machlup,
1978). Studi metodologis akan memberikan argumen serta alasan yang rasional untuk
mendukung berbagai preferensi yang diberikan oleh para ilmuan untuk membentuk
konsep, membangun model, merumuskan hipotesis dan menguji teori (Machlup,
1978).

Oleh karenanya, pembentukan metodologi akan menjadi (1) serangkaian


kriteria, aturan, prinsip, standar, rasionalisasi, argumen dan justifikasi untuk penilaian
teori, juga menguji dan membuktikan keandalan teori itu, sehingga dapat dibedakan
antara teori yang valid dan yang tidak valid (Fox 1997); dan (2) metode, teknik atau
langkah-langkah prosedural yang diperlukan untuk menilai dan membenarkan teori
yang muncul jauh setelah kriteria dan argumen ditetapkan dengan jelas.

Ekonomi Islam merupakan disiplin baru, oleh karenanya studi metodologi


memainkan peran dalam pengembangan disiplin itu sendiri. Selain itu, jika sebagian
besar ekonom Islam mengklaim bahwa teori ekonomi konvensional di-
implementasikan tidak sesuai dengan nilai dan prinsip Islam, maka tugas kita adalah
mengembangkan teori ekonomi Islam yang sesuai dengan nilai dan prinsip Islam
(Furqani & Haneef, 2015). Tanpa adanya metodologi yang tepat, ekonomi Islam tidak
dapat dijalankan dengan tepat.

Berdasarkan Furqani & Haneef (2015), terdapat tiga jenis pendekatan


metodologi dalam pembentukan ekonomi Islam, yaitu:

A. Penggunaan metodologi ushul al-fiqh yang diterapkan dalam ekonomi.


B. Penggunaan pluralitas metodologi dengan memanfaatkan berbagai metodologi
yang dikembangkan dalam tradisi barat dan Islam.
C. Metodologi arus utama ekonomi positif konvensional yang diterapkan dalam
kasus-kasus Islam.

Tipe I: Ushul al-Fiqh sebagai Metodologi Ekonomi Islam

Ushul al-fiqh atau metodologi menurunkan aturan (ahkam) yang digunakan


dalam diskusi ekonomi Islam untuk mengembangkan ekonomi Islam. Hal ini datang
dari pemahaman bahwa sifat ekonomi Islam sama dengan fiqh al-mu'amalah. Addas
(2008) mengungkapkan bahwa ekonomi Islam tidak lebih dari hasil penerapan aturan
dan perintah Islam, yaitu memasukkan fiqh ke dalam struktur ekonomi sekuler yang
lazim untuk memisahkan hal-hal yang sesuai dan tidak sesuai dengan prinsip Islam
seperti yang terjadi pada praktik ekonomi dan bisnis saaat ini.

Ekonom Islam dapat menggunakan ushul al-fiqh sebagai metodologi mereka


dan juga sebagai upaya untuk mengidentifikasi dan membangun tatanan ekonomi
yang sesuai dengan Al Quran dan tradisi Islam dengan menemukan teori dalam teks
(nusus) dan memperoleh aturan umum serta prinsip-prinsip dalam membangun teori
dan sistem ekonomi Islam yang konsisten (Yalcintas, 1987).

Pendekatan yang dapat dilakukan bisa seperti para fuqaha’ (ahli hukum)
mempraktikkan upaya untuk membangun al-qawa’id al-fiqhiyyah (prinsip hukum)
yang menjadi sumber derivasi teori ekonomi (Hasanuzzaman, 2007). Gagasan
metodologi ekonomi Islam mencerminkan bahwa teori ekonomi Islam kontemporer
masih didominasi oleh fiqh. Namun, sangat disayangkan hampir semua gagasan
metodologi tersebut didefinisikan secara sempit sebagai hukum (Furqani & Haneef,
2015). Oleh karena itu, penggunaan metodologi tidak dapat berfokus pada ekonomi
Islam sebagai ilmu sosial. Ekonomi Islam secara longgar dipandang sebagai fiqh-
nomics yang disamakan dengan fiqh atau cabang ilmu fiqh. Hal tersebut tentunya
tidak tepat, mengingat kedua subjek memiliki subjek yang berbeda. Fiqh (seperti yang
umum dipahami) mempelajari aturan praktis dan hukum yang melekat pada tindakan
manusia (ahkam al-syari'ah) seperti kewajiban (wujub), larangan (hazr), pengabaian
(ibaha), rekomendasi (nadb), atau celaan (karaha) dan sejenisnya (Moad, 2007). Di
sisi lain, ekonomi Islam membahas perilaku manusia yang jauh lebih luas. Hal ini
digunakan sebagai upaya untuk menemukan cara dan alat yang cocok untuk
menganalisis masalah ekonomi dan untuk mengetahui penyebab, konsekuensi, dan
solusi dalam kehidupan praktis. Ekonomi Islam mencakup dimensi normatif dan
positif dari analisis dan kebijakan ekonomi.

Selanjutnya, berbicara tentang metodologi, ushul fiqh tidak benar-benar sesuai


untuk menjadi metodologi ekonomi Islam. Ushul al-fiqh sebagai metodologi
bertujuan untuk memberikan standar dan kriteria pengurangan aturan fiqh dari
sumber-sumber syariah (Kamali, 1989). Objek studi ushul al-fiqh adalah tata cara
Ilahi atau bukti syariah yang merujuk pada Al Quran dan Sunnah serta dari ‘aql
(alasan) dalam menyelesaikan kasus yang secara eksplisit tidak ditunjukkan oleh
sumber-sumber utama. Sementara pengalaman, adat istiadat, dan kepentingan publik
juga diambil melalui perumusan yuristik, analisis yang mendalam dan tidak diuraikan
dengan baik dalam ushul al-fiqh seperti yang dilakukan dalam ilmu sosial.
Metodologi ekonomi Islam, akan berkaitan dengan ketiga sumber pengetahuan
tersebut, yaitu: doktrinal-wahyu, penalaran intelektual dan observasi faktual secara
menyeluruh. Objek penelitiannya akan mencakup spektrum luas (wahyu) dan perilaku
aktual manusia dalam membuat pilihan dan keputusan dalam memecahkan masalah
ekonomi. Metodologi ini tidak hanya mencoba untuk menyelidiki kerangka kerja
ideal tentang bagaimana masalah ekonomi harus dipecahkan, tetapi juga menyelidiki
cara terbaik untuk menyelesaikannya. Sementara, dimensi studi empiris ini, tidak
benar-benar dijabarkan dalam ushul fiqh (Furqani & Haneef, 2015).

Dengan keterbatasan dalam lingkup penyelidikan metodologis, maka


metodologi ushul al-fiqh bukanlah metodologi yang tepat dalam memahami realitas
praktis dari fenomena ekonomi. Oleh karena itu, metodologi ini tidak siap disubstitusi
untuk mengatasi kekurangan metodologi BaraT. Al-Faruqi (1987) melihat
ketidakcukupan ini berasal dari dua kecenderungan yang bertentangan secara
diametris pada metodologi ushul al-fiqh, yaitu; (1) kecenderungan untuk membatasi
bidang ijtihad ke penalaran legalistik, yaitu memasukkan masalah-masalah modern di
bawah kategori-kategori hukum, sehingga mengurangi mujtahid (yang juga harus
mencakup ekonom) menjadi seorang faqih (ahli hukum), dan mereduksi ilmu
pengetahuan menjadi ilmu hukum, dan (2) kecenderungan untuk menghilangkan
semua kriteria dan standar rasional dengan mengadopsi metodologi yang murni
intuitif dan esoterik, atau membatasi metodologi untuk studi teks bahasa, tradisi dan
yurisprudensi ortodoks. Dalam mengembangkan ekonomi Islam, kita harus fokus
pada implikasi dari aturan dan regulasi terhadap sistem ekonomi secara keseluruhan.
Hal ini perlu ditekankan dan mendapat perhatian yang cukup, seperti halnya pada
praktik perbankan dan keuangan Islam kontemporer.

Tipe II: Pluralisme Metodologi dalam Ekonomi Islam

Bagi para ekonom Islam, seruan untuk pluralitas metodologi datang dari fakta
bahwa epistemologi Islam mengakui berbagai sumber pengetahuan dari mana teori
dapat dinilai. Siddiqi (2001) menyatakan bahwa tradisi Islam dalam ekonomi selalu
bebas dari formalisme, berfokus pada makna dan tujuan dengan metodologi yang
fleksibel dan harus membuka kontribusi untuk mewujudkan visi Islam tentang
kehidupan yang baik. Selain itu, ekonomi Islam memiliki tugas yang lebih besar dan
lebih sulit daripada ekonomi konvensional, yaitu tujuan untuk memajukan
kesejahteraan manusia, bukan hanya menjelaskan, memprediksi atau membujuk
(Chapra, 1996).

Sebelum menerima tesis pluralisme metodologi, terdapat beberapa hal yang


perlu dijawab, yaitu apakah epistemologi Islam benar-benar mengakui pluralisme
metodologi atau hanya mengakui kemungkinan metodologi plural? Metodologi Islam
didasarkan pada epistemologi yang secara fundamental berbeda dengan epistemologi
ekonomi dominan. Metodologi ekonomi konvensional dikembangkan dari pandangan
sekuler yang memisahkan agama dari ilmu pengetahuan. Dalam metodologi Islam,
agama tidak hanya berkaitan dengan ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadi dasar
danpondasi epistemologisnya. Pemisahan agama dalam landasan epistemologi
menyiratkan perbedaan perkembangan metodologi. Berkenaan dengan pluralisme
metodologi dalam ekonomi, tidak ada posisi yang jelas apakah dimasukkannya
sumber-sumber agama dalam metodologi ilmiah dapat diterima sebagai bagian dari
pluralisme metodologi. Pluralisme tampaknya masih dicari di dalam ranah
epistemologis manusia tanpa campur tangan Ilahi.

Sejauh menyangkut metodologi Islam, ada beberapa kelemahan dan


keterbatasan metode tersebut, yang entah bagaimana tidak dapat diterima dalam
metodologi Islam. Masalah-masalah seperti (1) pengikut ketat ilmuwanisme,
empirisme, dan materialisme berpendapat bahwa tidak ada yang nyata di luar materi
dan fenomena yang diamati; (2) mereka percaya bahwa hanya fenomena yang
teramati (eksternal) yang benar, terlepas dari moral atau etika benar atau salah, baik
atau buruk; (3) ini karena sains tidak dapat memberikan jawaban (atau pada tingkat
yang lebih rendah tidak peduli) terhadap masalah moral dan etika yang berada di luar
ranah ilmiah; dan (4) sains tidak sepenuhnya objektif, netral, dan bebas nilai seperti
anggapan sebagian besar orang (Ahmad dan Ahmad, 2004).

Pluralisme metodologi mungkin mengakui keterbatasan itu, tetapi tidak ada


posisi konklusif yang harus diambil karena mungkin mencerminkan absolutisme
metodologi. Mereka benar dalam kriteria masing-masing, dan mereka salah dalam
kriteria masing-masing, Oleh karenanya, hal tersebut harus diterima sebagai bagian
dari pluralisme metodologis. Furqani & Haneef (2015), menyatakan bahwa argumen
pluralisme metodologi tidaklah masuk akal. Metodologi Islam mengakui dan
mempromosikan multiplisitas (pluralitas) metode dalam penyelidikan ilmiah, yang
mana hal itu tidak benar-benar mempromosikan pluralisme metodologi. Sebaliknya,
ia mempromosikan penyatuan metodologi (metodologi tauhid).

Epistemologi Islam memberikan kesetaraan pada semua metode penyelidikan,


dan tauhid menetapkan kerangka etika dan nilai-nilai serta arah dan tujuan yang
memastikan berbagai metode yang saling melengkapi dan akan diintegrasikan
menjadi satu. Berbagai metode tersebut digunakan untuk memperoleh pemahaman
dan interpretasi yang koheren dari kenyataan, daripada hanya melihatnya sebagai teori
yang bertentangan dengan kebenaran. Hal tersebut disebabkan karena mereka terikat
dalam tujuan dan arah terpadu untuk mencapai kebenaran tertinggi (al-haqq), yang
merupakan penyatuan beberapa kebenaran, yaitu kebenaran obyektif, kebenaran logis,
dan kebenaran wahyu (Bakar, 1984).

Type III: Metodologi Islamisasi Ekonomi (Islamization of Economics)

Pendekatan ketiga adalah metodologi dalam proyek Islamisasi ekonomi ketika


para ekonom mencoba untuk berinteraksi dan mengintegrasikan ekonomi dengan
prinsip-prinsip Islam. Program ini adalah bagian dari proyek Islamisasi pengetahuan
yang berupaya menyusun kembali seluruh warisan pengetahuan dari perspektif Islam
dengan mengadopsi konsep terbaik yang ditawarkan konvensional, kemudian
mengilhami hal-hal ini dengan prinsip Islam, dan mengembangkannya dengan nilai-
nilai Islam (Bennet, 2005).

Perkembangan ekonomi Islam sebagai suatu disiplin tidak akan dimulai dari
awal. Sebaliknya ia akan memanfaatkan perkembangan ekonomi (teori dan
metodologi) yang relatif lebih maju dan berupaya membuatnya kompatibel dengan
kerangka atau prinsip-prinsip Islam. Selain itu, terdapat beberapa kesamaan antara
ekonomi konvensional dan ekonomi Islam. Terdapat beberapa teori konvensional
yang dapat diterima, selama teori tersebut tidak bertentangan dengan struktur logis
dari pandangan dunia Islam (Chapra, 1984), atau teori yang tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, dan harus dievaluasi dalam kerangka Islam
menggunakan kriteria Islam (Haneef, 1997).

Secara konseptual, IOE tampaknya dipahami dengan cara yang sangat


dangkal, menjaga sebagian besar asumsi ekonomi konvensional dan nilai-nilai yang
mendasarinya. Kemudian menggunakan penambahan awalan Islam pada setiap
konsep atau teori dilakukan untuk mencerminkan internalisasi nilai-nilai Islam.
Terdapat beberapa respon dari ekonom Islam, diantaranya menyesalkan sikap tidak
kritis yang banyak menggunakan asumsi dasar dari teori konvensional.

Pendekatan sederhana dalam program Islamisasi ekonomi menempatkan


ekonomi Islam dalam jangkauan wacana modernis Barat dalam hal kepedulian dan
metodologi teoretis. Oleh karenanya, hal tersebut tidak dapat dikembangkan sebagai
alternatif baru yang lebih baik. Saat ini, pengembangan ekonomi Islam lebih banyak
memasukkan batas-batas teori neoklasik dengan beberapa penyesuaian untuk
memasukkan ajaran atau norma dan nilai yang mencerminkan persyaratan tertentu
dari Islam (Haneef: 1997).

Ekonomi Islam yang diharapkan mampu menjadi disiplin ilmu yang berbeda,
yang dapat menganalisis ekonomi menggunakan filosofi, konsep, kerangka kerja dan
metode analisis yang berbeda seperti yang dimaksudkan oleh proyek Islamisasi
pengetahuan, malah hampir menjadi sub-disiplin neoklasik konvensional. Alih-alih
menentang paradigma yang ada, ia berusaha untuk membenarkan praktik ilmiah dan
melegitimasi apa yang telah terjadi atas nama Islam (studi kasus). Lawson (2003)
mengatakan bahwa praktik metodologi ekonomi Islam saat ini menerima keilmuan
ekonomi yang ada dengan praktik yang membenarkan dan memperjelas rasionalitas
atas apa yang terjadi, bukannya berusaha menerapkan konsepsi ekonomi Islam yang
tepat.
Konsep Hadd Dan Fasl Huquq Vs Self Interest

Ekonomi mainstrem mengasumsikan bahwa umumnya manusia mengejar


kepentingannya sendiri (self-interest). Fungsi dan tujuan manusia tidak lain adalah
untuk menjaga keberlangsungan hidupnya (Fromm, 1990). Kepentingan diri sendiri
memiliki makna bahwa manusia adalah makhluk otonom yang mengukur nilai pada
tingkat dorongan, keinginan, dan preferensi pribadi (Ryan, 2003). Sen (1990)
menggambarkan struktur perilaku mementingkan diri sendiri menjadi tiga
karakteristik yang berbeda dan pada dasarnya bersifat independent, yaitu:

1. Self-centered welfare: kesejahteraan seseorang hanya bergantung pada


konsumsinya sendiri (dan khususnya tidak melibatkan simpati atau antipati
terhadap orang lain).
2. Self-welfare goals: tujuan seseorang adalah memaksimalkan kesejahteraannya
sendiri (tidak melibatkan dan mengaitkan kepentingan dengan kesejahteraan
orang lain).
3. Self-goal choice: setiap pilihan seseorang diikuti oleh tujuan tertentu (dan
khususnya, tidak dibatasi oleh adanya ketergantungan atau hubungan timbal
balik, karena masing-masing mengejar tujuan mereka).

Ekonomi Islam mengakui adanya kepentingan individu sebagai bagian dari


sifat manusia, tetapi tidak menganggapnya sebagai konsep absolut untuk menjelaskan
motif perilaku manusia. Hal ini karena kepentingan pribadi individu tidak eksklusif
dan tentunya semua makhluk (masyarakat, hewan, tumbuhan, dan makhluk lain)
memiliki kepentingan dan haknya masing-masing. Konsep huquq dapat menjelaskan
hubungan manusia dan alam dengan lebih baik dan secara tepat meletakkan landasan
etis dalam hubungan ini dalam kerangka Islam (Furqani, 2015).

Huquq atau dalam bentuk tunggal haqq berarti kebenaran, nyata, kepastian (al-
tsubut), benar, klaim (al-nasib wa al-haz), kewajiban dan tanggung jawab (al-wujub,
al-mas'uliyyah) (Sharbasi, 1981). Makna-makna tersebut menandakan dua dimensi
huquq. Pertama, huquq berarti hak dan tanggung jawab atau kewajiban (sebagaimana
dinyatakan dalam Al-Qur'an 6: 141; 51:19; 70:24-25). Hal ini menyiratkan bahwa
manusia memiliki hak (ikhtisas hajiz) yang berbentuk kekuasaan, namun ia juga
memiliki tanggung jawab atau kewajiban (al-wujub). Kedua, huquq juga menyiratkan
bahwa hak harus diarahkan kepada nilai atau tujuan yang lebih tinggi, seperti keadilan
(‘adl), kebenaran (ihsan) dan maslahah (menguntungkan).

Beberapa perbedaan konseptual dan implikasinya dalam mengembangkan dua


konsep tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, konsep kepentingan pribadi
didasarkan pada unitary self-view, sedangkan konsep huquq didasarkan pada holistik
dan integrated self-view. Manusia dianggap sebagai makhluk otonom yang mengukur
nilai pada tingkat impuls pribadi, keinginan dan preferensi untuk semua aktivitasnya
(Ryan, 2003). Manusia adalah pusat dari semua makhluk yang terisolasi, bercerai dan
terputus dari sumber Ilahi dan tidak bertanggung jawab kepada siapa pun kecuali
dirinya sendiri, terlepas dari unsur eksternal (masyarakat, lingkungan, dan bahkan
Tuhan). Manusia dalam unitary self-view memiliki satu identitas tunggal, baik
identitas individu (seperti dalam kapitalisme) maupun identitas sosial (seperti dalam
sosialisme).

Konsep huquq menjunjung tinggi pandangan individu yang holistik atau


terintegrasi (Furqani, 2015). Karena dirinya terdiri dari tubuh fisik (jism), roh (ruh),
jiwa (nafs), hati (qalb) dan kecerdasan ('aql), serta memiliki kehendak bebas untuk
memilih perilaku positif atau negatif. Seseorang juga memiliki identitas ganda, yakni
sebagai individu dan makhluk sosial. Hal ini menunjukkan bahwaseorang individu,
walaupun memiliki kapasitas dan kecenderungan untuk memenuhi minatnya sendiri,
pada saat yang sama juga memiliki kecenderungan dan kapasitas untuk mengejar
kepentingan masyarakat karena ia adalah makhluk sosial. Dengan kata lain, naluri
yang melayani kebajikan manusia, pengorbanan, kedermawanan, dan berbagi adalah
sesuai dengan perasaan agresivitas manusia, akuisisi material, keegoisan, dan egoisme
(Azzam, 1993).

Kedua, perilaku manusia dalam konsep self-interest adalah kesatuan dan statis,
sedangkan konsep huquq bermaka timbal balik dan dinamis. Perilaku individu dalam
konsep self-interest memiliki motif satu arah. Artinya, individu yang dimotivasi oleh
kepentingannya sendiri akan memaksimalkan utilitasnya sendiri demi mencapai
kepuasannya sendiri, bahkan dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Hal
seperti ini tersirat dalam prinsip Optimalitas Pareto, yang dipandang sebagai sesuatu
yang dieksploitasi untuk keinginan atau kepuasan individu.
Dalam konsep huquq, perilaku individu dipandang dalam perspektif
terintegrasi yang memiliki hubungan dua arah (timbal balik). Semua makhluk dalam
pandangan dunia Islam memiliki huquq tertentu. Huquq ini adalah hak diri (alami)
bawaan yang harus dihormati oleh makhluk lain dan merupakan tanggung jawab
inheren. Konsep huquq memandang perilaku individu tidak hanya termotivasi oleh
kepentingan pribadi (menuntut dan mendapatkan lebih banyak hak seseorang), tetapi
juga oleh kewajiban diri dan pengorbanan diri kepada masyarakat dan alam dengan
memberi, merawat, mempertahankan dan mengembangkannya. Hak dan kewajiban
ini merupakan hal mendasar dalam Islam yang berkaitan dengan urusan ekonomi
dalam alokasi sumber daya, serta dalam membuat pilihan dan keputusan di tingkat
mikro dan makro (Furqani, 2015).
Pentingnya Worldview Dalam Pengetahuan

Untuk pengembangan ekonomi Islam, pergeseran terminologi juga merupakan


bagian dari pergeseran paradigma dari ekonomi konvensional. Hal ini disebabkan
oleh banyaknya konsep dalam pengetahuan yang merupakan refleksi dari worldview
yang tidak mudah diterjemahkan ke dalam konsep worldview lain (Acikgenc, 1996).
Mirakhor (2007) juga mencatat bahwa paradigma ekonomi Islam akan berhasil
dibangun, dan mampu menjadi solusi masalah masyarakat, ketika analisis bahasa
yang jelas dan ketat dikembangkan. Hal ini berangkat dari keyakinan bahwa bahasa
pada dasarnya dibatasi oleh budaya dan sistem nilai. Bahasa adalah ekspresi eksternal
yang mewakili pandangan orang.

Istilah-istilah ekonomi konvensional dari rasionalitas, kepentingan pribadi,


maksimisasi utilitas, kebebasan, kelangkaan, dan persaingan tidak hanya bebas dari
nilai. Mereka muncul dalam lingkungan budaya tertentu, tradisi intelektual dan
konteks atau zaman historis dan telah dikembangkan untuk mempromosikan
worldview tertentu yang mencerminkan konsep kapitalis tertentu dari realitas
ekonomi. Oleh karena itu, mereka unik untuk sistem pemikiran tertentu, sarat nilai,
memiliki implikasi moral dan etika dan mungkin tidak relevan dengan nilai atau
tradisi Islam. Hal ini dikembangkan dalam tradisi ekonomi konvensional, yang
menurut Hodgson (1988), memberikan reduksi mekanistik atas realitas atau sistem
penjelasan teleologis--suatu upaya yang telah banyak dikritik karena ketidakmampuan
dan ambiguitasnya untuk menjelaskan kenyataan. Meskipun sekarang diakui bahwa
kenyataan jauh lebih kompleks, heterogen, beragam, dan canggih, bahasa ekonomi
dikembangkan dengan cara yang sederhana, sempit, dan reduksionis yang akan
mencegah interpretasi realitas yang komprehensif (Lawson, 2003).

Oleh karena itu, dalam kasus ekonomi Islam, kita melihat bahwa dalam
beberapa aspek signifikan, tidak memadainya bahasa asing (Inggris) dalam
menjelaskan sifat perilaku manusia. Jika komunitas intelektual tidak mampu
memodifikasi atau mengganti istilah-istilah Barat dengan istilah-istilah Islam,
kerangka analisis ekonomi Islam mungkin saja disebut menyesatkan. Dalam jangka
panjang, perlu upaya yang dilakukan dalam mengembangkan bahasa yang lebih
komprehensif (yang menggambarkan sifat, kecenderungan dan kebutuhan manusia)
dan universal (dapat diterapkan untuk semua manusia) dan pada saat yang sama juga
dapat membimbing umat manusia ke arah yang benar sesuai dengan perspektif Islam.
Dalam perspektif ini, para sarjana, seperti Al-Faruqi (1986) dan Al-Attas (1995)
merekomendasikan untuk memperkenalkan kembali istilah-istilah dan konsep kunci
Arab-Islam dalam wacana tentang Islam dalam bahasa Inggris. Istilah-istilah ini dapat
dengan tepat mencerminkan pandangan dunia Islam (pandangan filosofis), karakter
pengetahuan Islam dan menjelaskan tujuan-tujuan Islam. Secara umum, ini akan
menjadi upaya minimum, untuk mengislamkan ulang dan melawan gelombang pasang
sekularisasi pikiran Muslim.

Ini dapat dilakukan dengan melihat kembali terminologi Al-Qur'an dan dengan
menyelidiki warisan intelektual Islam (turath) untuk melihat istilah-istilah kunci yang
digunakan, dan pada saat yang sama, menampilkan kembali seluruh kearifan Islam
saat ini agar bahasanya dapat dipahami (Nasr, 1967). Istilah Al Quran berpotensi
menjadi istilah atau konsep utama ekonomi Islam, tidak hanya karena dapat dijelaskan
secara komprehensif, tetapi juga mewakili identitas berbeda dari ekonomi Islam.
Menurut Izutsu (2002), Al-Quran memiliki sistem kemandirian kata-kata di mana
semua kata, apa pun asal usulnya, telah diintegrasikan dengan interpretasi sistematis.
Pendekatan semantik terhadap Al-Qur'an dapat digunakan untuk mengembangkan
istilah-istilah kunci Islam tentang ekonomi. Analisis semantik Al Quran harus
dipahami secara terstruktur agar dapat dipahami bagaimana konsep dalam Al Quran
saling berkaitan.
Referensi

Bhat, N. N. (2016). The Economic Thougt of Khurshid Ahmad. Turkish Journal of


Islamic Economics, 3(2), 1–11.

Furqani, H. (2015). Individual and Society in An Islamic Ethical Framework:


Exploring Key Terminologies and The Micro-Foundations of Islamic Economics.
Humanomics, 31(1), 74–87. https://doi.org/10.1108/H-04-2014-0037

Furqani H, Haneef M A (2015). Methodology of Islamic economics: Typology of


current practices, evaluation and way forward. In H A El-Karanshawy et al. (Eds.), Islamic
economic: Theory, policy and social justice. Doha, Qatar: Bloomsbury Qatar Foundation
Developing

Hossein Askari, Zamir Iqbal, Noureddine Kricchene, A. M. (2014). Understanding


Development in an Islamic Framework. Journal of Islamic Economic Studies, 22(1), 1–36.

Mohamed, B., Haneef, A., & Furqani, H. (2008). Contemporary Islamic Economics:
The Missing Dimension of Genuine Islamization. Journal of Thoughts on Economics, 19(4).

Zaman, A. (2008). Islamic Economics: A Survey of the Literature.

Zarqa, M. A. (2003). Islamization of Economics: The Concept and Methodology.


JKAU, 16(1), 3–42.

Anda mungkin juga menyukai