Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH FARMAKOEKONOMI

KELOMPOK 6
“ STUDI KASUS COST EFFECTIVENESS ANALYSISIS ( CEA ) “

DISUSUN OLEH

Adnan Muhammad Nur 21344158


Nelvia Helsinta 21344160
Yuliana Kusumawati 21344261
Ayu Nur Azzizah 21344163
Ayu Dian Lestari

PROGRAM STUDI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah ini
dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran
maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca
praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 15 Maret 2022

Penyusun

2
3
BAB I
LATAR BELAKANG

1.1 Latar Belakang


Kebutuhan akan kesehatan merupakan kebutuhan yang utama untuk hidup seseorang. Jika
seseorang tidak sehat, akan menyebabkan pengeluaran biaya bagi orang tersebut karena
menurunnya kemampuan untuk menikmati hidup, memperoleh penghasilan, atau bekerja dengan
efektif. Kesehatan yang lebih baik memungkinkan seseorang untuk memenuhi hidup yang lebih
produktif, meningkatkan pendapatan perkapita, meningkatkan ekonomi negara. Dalam dunia
kesehatan juga tidak luput dengan keterbatasan. Jumlah dokter, perawat, obat-obatan, tempat tidur
untuk perawatan rawat inap sering mengalami keterbatasan sedangkan permintaan berbagai
sumber daya di sektor kesehatan meningkat. Keadaan seperti itu menyebabkan ada sebagian orang
di dunia tidak mendapatkan apa yang mereka butuhkan, disebabkan antara lain karena tidak
mampu mengeluarkan biaya, karena barang sudah habis, kurangnya sumber daya manusia,
perbedaan letak geografis, ketidakseimbangan pertumbuhan penduduk, terjadinya bencana alam
atau lain sebagainya. Keterbatasan yang terjadi merupakan masalah yang berat yang harus diatasi.
Dengan masalah keterbatasan tersebut mendorong manusia untuk membuat pilihan antara
berbagai alternative yang paling menguntungkan. Dalam membuat pilihan tersebut maka dapat
dikaitkan dengan ilmu ekonomi. Ilmu ini mengakaji semua biaya dan manfaat dari perbaikan pola
alokasi sumber daya yang ada. Kegiatan yang dilaksanakan juga harus memenuhi kriteria efisiensi
(Cost Effective). Salah satu bagian dalam ilmu ekonomi yang berkaitan dengan perbandingan antara
konsekuensi dari dua atau lebih rangkaian alternative dari suatu keputusan adalah evaluasi ekonomi
Biaya (cost) dari terapi obat merupakan konsep dari biaya yang menawarkan sumber daya
barang atau jasa/pelayanan. Untuk mengalokasikan sumber daya yang tersedia, perlu dilakukan
analisis ekonomi yang terkait dengan pelayanan kesehatan. Cara komprehensif untuk menentukan
pengaruh ekonomi dari alternatif terapi obat atau intervensi kesehatan lain yaitu dengan analisis
farmakoekonomi yang berupa cost effectiveness analysis (CEA) atau analisis efektivitas biaya. CEA
dapat memperkirakan biaya tambahan keluaran atau outcome, karena tidak ada ukuran sejumlah
uang atau outcome klinik yang menggambarkan nilai dari outcome tersebut. CEA merupakan
metode evaluasi ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dalam memilih
alternatif terbaik (Andayani, 2013)
Berdasarkan alasana tersebut, makalah ini kami buat untuk memberikan penjelasan dan
pemahaman dalam mempelajari Cost Effectiveness Analysis (CEA).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian Cost Effectiveness Analysis (CEA) ?
2. Apa konsep dasar Cost Effectiveness Analysis (CEA) ?
3. Apa manfaat dari Cost Effectiveness Analysis (CEA) ?
4. Bagaimana perhitungan Cost Effectiveness Analysis (CEA)?

4
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengertian Cost Effectiveness Analysis (CEA).
2. Untuk mengetahui konsep Cost Effectiveness Analysis (CEA).
3. Untuk mengetahui manfaat dari Cost Effectiveness Analysis (CEA).
4. Untuk mengetahui perhitungan Cost Effectiveness Analysis (CEA)

1.4 Manfaat
Penyajian materi ini memenuhi tugas kelompok mata kuliah Farmakoekonomi dan diharapkan dapat
menjadi sarana pembelajaran serta memberikan informasi dan pengetahuan tentang Cost
Effectiveness Analysis (CEA).

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cost Effectiviness Analysis ( CEA)


CEA merupakan suatu metoda yang didesain untuk membandingkan antara outcome
kesehatan dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan program tersebut atau intervensi
dengan alternatif lain yang menghasilkan outcome yang sama. Outcome kesehatan
diekspresikan dalam terminologi yang obyektif dan 6 terukur seperti jumlah kasus yang diobati,
penurunan tekanan darah yang dinyatakan dalam mmHg, dan lain-lain dan bukan dalam
terminologi moneter. Dalam evaluasi ekonomi pengertian efektivitas berbeda dengan
penghematan biaya, dimana penghematan biaya mengacu pada persaingan alternatif program
yang memberikan biaya yang lebih murah, sedangkan efektivitas biaya tidak sematamata
mempertimbangkan aspek biaya yang lebih rendah. Dalam mempertimbangkan pilihan suatu
produk ataupun jenis pelayanan kesehatan yang akan dipilih tetap harus mempertimbangkan
efektivitas biaya bila: CEA membantu memberikan alternatif yang optimal yang tidak selalu
berarti biayanya lebih murah. CEA membantu mengidentifikasi dan mempromosikan terapi
pengobatan yang paling efisien. CEA sangat berguna bila membandingkan alternatif program
atau alternatif intervensi dimana aspek yang berbeda tidak hanya program atau intervensinya
tetapi juga outcome klinisnya ataupun terapinya. Dengan melakukan perhitungan terhadap
ukuran efisiensi ( cost effectiveness ratio ), alternatif dengan perbedaan biaya, rate efikasi yang
berbeda dan rate keamanan maka perbandingan akan dilakukan secara berimbang. Outcome
kesehatan yang digunakan sebagai denominator pada cost effectiveness ratio dapat dinyatakan
dalam satuan unit seperti jumlah tahun yang berhasil diselamatkan atau indeks dari kegunaan
atau kebutuhan seperti QALYs. Banyak orang menggunakan QALYs sebagai denominator
outcome CUA, tetapi saat ini banyak ahli telah merekomendasikan pada CEA sedapat mungkin
menggunakan QALY (Quality adjusted life years).

2.2 Prinsip Dasar Cost Effectiveness Analysis


Terdapat beberapa metode analisis biaya yakni Cost Benefit Analysis (CBA) dan Cost
Effectiveness Analysisi (CEA). Keduanya mengevaluasi unsur ekonomi dengan melihat input dan
output. Unsur masukan dalam CEA dan CBA dinyatakan dalam bentuk besarnya biaya yang
dibutuhkan untuk menyelenggarakan program, misalnya Rp 1.000.000,-, Rp 2.000.000,- dan

6
seterusnya. Unsur keluaran berupa manfaat CBA yang dihasilkan dinyatakan dalam nilai uang,
Sedangkan pada CEA unsur keluarannya berupa ketepatan (effectiveness) dalam menyelesaikan
masalah, dinyatakan dalam ukuran tertentu yang untuk bidang kesehatan adalah berupa
parameter kesehatan (Jacobs, 1987).
Cost Effectiveness Analysis (CEA) digunakan apabila benefit sulit ditransformasikan
dalam bentuk uang sehingga CEA sangat baik untuk mengukur efisiensi di bidang sosial,
khususnya bidang kesehatan yang bersifat program atau intervensi pada tingkat daerah.
Sesungguhnya untuk bidang kesehatan memberikan nilai rupiah bagi setiap hasil yang diperoleh
tidaklah mudah. Sekalipun misalnya dua program sama-sama berhasil memperpendek atau
mempersingkat lama perawatan, misalnya dari lima menjadi dua hari, namun nilai tiga hari yang
berhasil ditekan tersebut tidak sama antara satu program dengan program yang lain. Untuk
orang yang kebetulan tidak mempunyai pekerjaan, tentu nilai rupiahnya akan jauh lebih kecil
jika dibandingkan dengan seseorang yang kebetulan menjabat menjadi seorang manajer. Karena
kesulitan mengubah hasil program kesehatan ke dalam bentuk nilai uang, maka tidak
mengherankan kalau bidang kesehatan banyak menggunakan teknik analisis efektifitas biaya
atau CEA.
Beberapa ciri pokok CEA menurut Azwar, A (1989) adalah sebagai berikut :
a. Bermanfaat untuk mengambil keputusan.
CEA berguna untuk membantu pengambilan keputusan dalam menetapkan
program terbaik yang akan dilaksanakan. Dengan ciri ini jelaslah bahwa CEA
terutama diterapkan sebelum suatu program dilaksanakan, jadi masuk dalam tahap
perencanaan.
b. Berlaku jika tersedia dua atau lebih program.
CEA tidak dapat dipergunakan jika berhadapan dengan satu program saja. Perlu
ada program lain sebagai perbandingan, misalnya program butuh biaya Rp
1.000.000,- yang apabila dilaksanakan akan berhasil menyembuhkan 300 pasien.
Program B butuh biaya Rp 1.000.000,- yang apabila dilaksanakan akan berhail
menyembuhkan 500 pasien. Dengan adanya program B sebagai pembanding akan
tampak bahwa program B lebih tepat dari program A karena dengan biaya yang
sama berhasil menyembuhkan pasien lebih banyak.
c. Mengutamakan unsur input (masukan) dan unsur output (keluaran).

7
Pada CEA yang diutamakan hanya unsur masukan yang dibutuhkan oleh program
serta unsur keluaran yang dihasilkan oleh program. Unsur lainnya, seperti proses,
umpan balik dan lingkungan agak diabaikan.
d. CEA terdiri dari tiga proses, yaitu :
1) Analisis biaya dari setiap alternatif atau program.
2) Analisis efektifitas dari tiap alternatif atau program. Analisis hubungan atau ratio
antara biaya dan efektifitas alternatif atau program.
Prinsip dasar dari Cost-effectiveness analysis (CEA) menurut Shepard adalah cara untuk
merangkum health benefits dan sumber daya yang digunakan dalam programprogram
kesehatan sehingga para pembuat kebijakan dapat memilih diantara itu. CEA merangkum semua
biaya program ke dalam satu nomor, semua manfaat program (efektivitas) menjadi nomor
kedua, dan menetapkan aturan untuk membuat keputusan berdasarkan hubungan diantara
keduanya. Metode ini sangat berguna dalam analisis program kesehatan preventif, karena
metode ini menyediakan mekanisme untuk membandingkan upaya yang ditujukan kepada
populasi dan penyakit yang berbeda. CEA membutuhkan langkah yang sedikit merepotkan
dibandingkan cost-benefit analysis, karena CEA tidak berusaha untuk menetapkan nilai moneter
untuk health outcomes dan benefits. Sebaliknya, CEA mengungkapkan manfaat kesehatan yang
lebih sederhana, lebih deskriptif, seperti years of life yang diperoleh.
Untuk melaksanakan CEA, harus ada satu atau beberapa kondisi di bawah ini:
a. Ada satu tujuan intervensi yang tidak ambigu, sehingga ada ukuran yang jelas dimana
efektifitas dapat diukur. 15 Contohnya adalah dua jenis terapi bisa dibandingkan dalam
hal biayanya per year of life yang diperoleh, atau, katakanlah, dua prosedur screening
dapat dibandingkan dari segi biaya per kasus yang ditemukan. Atau;
b. Ada banyak tujuan, tetapi intervensi alternatif diperkirakan memberikan hasil yang
sama. Contohnya adalah dua intervensi bedah memberikan hasil yang sama dalam hal
komplikasi dan kekambuhan.
Dalam evaluasi ekonomi, pengertian efektivitas berbeda dengan penghematan biaya,
dimana penghematan biaya mengacu pada persaingan alternatif program yang memberikan
biaya yang lebih murah, sedangkan efektivitas biaya tidak semata-mata mempertimbangkan
aspek biaya yang lebih rendah (Grosse, 2000).

8
CEA membantu memberikan alternatif yang optimal yang tidak selalu berarti biayanya
lebih murah. CEA membantu mengidentifikasi dan mempromosikan terapi pengobatan yang
paling efisien (Grosse, 2000).
CEA sangat berguna bila membandingkan alternatif program atau alternatif intervensi
dimana aspek yang berbeda tidak hanya program atau intervensinya, tetapi juga outcome
klinisnya ataupun terapinya. Dengan melakukan perhitungan terhadap ukuran-ukuran efisiensi
(cost effectiveness ratio), alternatif dengan perbedaan biaya, rate efikasi dan rate keamanan
yang berbeda, maka perbandingan akan dilakukan secara berimbang (Grosse, 2000).
Cost Effectiveness Analysis digunakan apabila benefit sulit ditransformasikan dalam
bentuk uang sehingga CEA sangat baik untuk mengukur efisiensi di bidang sosial, khususnya
bidang kesehatan yang bersifat program/intervensi pada tingkat kabupaten/kota. Ada 2 macam
analisis efektivitas biaya, yaitu :
a. Analisis jangka pendek Merupakan analisis yang dilakukan untuk jangka waktu kurang
dari 1 tahun. Analisis jangka pendek ini merupakan analisis yang paling banyak dan
sering dilakukan. Dalam analisis jangka pendek ini biaya satuan (unit cost) dihitung dari
biaya depresiasi.
b. Analisis jangka panjang Merupakan analisis yang dilakukan untuk jangka waktu lebih
dari 1 tahun. Dalam analisis jangka panjang ini biaya satuan (unit cost) yang digunakan
adalah berupa 16 nilai discounted unit cost, dimana dalam perhitungannya tanpa
mempertimbangkan biaya depresiasi.
2.3 Kegunaan Cost Effectiveness Analysis
Analisis efektivitas biaya merupakan alat utama untuk membandingkan biaya intervensi
kesehatan dengan keuntungan kesehatan yang diharapkan. Intervensi dapat dipahami sebagai
aktivitas apapun, dengan menggunakan berbagai input, yang bertujuan untuk meningkatkan
kesehatan. CEA sering digunakan untuk mengukur efisiensi dari macam-macam program dengan
tujuan yang sama.

17 Gambar 1. Different programs in the same objective

9
Kadang-kadang CEA juga digunakan untuk mengukur efisiensi dari sumber daya
(masukan) satu atau lebih dari satu program dengan derajat tujuan (hierachy of objectives).
Keuntungan CEA dibandingkan CUA dan CBA adalah perhitungan unsur biaya lebih sederhana,
dan cukup peka sebagai salah satu alat pengambil keputusan. Kerugiannya adalah hasil keluaran
yang berupa efek program tidak diperhitungkan
Kadang-kadang CEA juga digunakan untuk mengukur efisiensi dari sumber daya
(masukan) satu atau lebih dari satu program dengan derajat tujuan (hierachy of objectives).
Keuntungan CEA dibandingkan CUA dan CBA adalah perhitungan unsur biaya lebih sederhana,
dan cukup peka sebagai salah satu alat pengambil keputusan. Kerugiannya adalah hasil keluaran
yang berupa efek program tidak diperhitungkan.

2.4 Kelebihan dan Kelemahan Cost Effectiveness Analysis


A. Kelebihan
1. Mengatasi kekurangan dalam Cost Benefit Analysis saat benefit sulit ditransformasikan dalam
bentuk uang sebab dalam CEA dilakukan perhitungan perbandingan outcome kesehatan dan
biaya yang digunakan jadi tetap dapat memilih program yang lebih efektif untuk dilaksanakan
meskipun benefitnya sulit untuk diukur.
2. Hemat waktu dan sumber daya intensif CEA memiliki tahap perhitungan yang lebih sederhana
sehingga lebih dapat menghemat waktu dan tidak memerlukan banyak sumber daya untuk
melakukan analisis.
3. Lebih mudah untuk memahami perhitungan unsur biaya dalam CEA lebih sederhana sehingga
lebih mudah untuk dipahami. Meskipun demikian CEA masih cukup peka sebagai salah satu alat
pengambil keputusan.
4. Cocok untuk pengambilan keputusan dalam pemilihan program. CEA merupakan cara
memilih program yang terbaik bila beberapa program yang berbeda dengan tujuan yang sama
tersedia untuk dipilih. Sebab, CEA memberikan penilaian alternatif program mana yang paling
tepat dan murah dalam menghasilkan output 18 tertentu. Dalam hal ini CEA membantu
penentuan prioritas dari sumber daya yang terbatas.
5. Membantu penentuan prioritas dari sumber daya

10
B. Kelemahan
1. Alternatif tidak dapat dibandingkan dengan tepat Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa
sulitnya ditemui CEA yang ideal, dimana tiap-tiap alternatif identik pada semua kriteria, sehingga
analisis dalam mendesain suatu CEA, harus sedapat mungkin membandingkan
alternatifalternatif tersebut.
2. CEA terkadang terlalu disederhanakan. Pada umumnya CEA berdasarkan dari analisis suatu
biaya dan suatu pengaruh misalnya rupiah/anak yang diimunisasi. Padahal banyak program-
program yang mempunyai efek berganda. Apabila CEA hanya berdasarkan pada satu ukuran
keefektifan (satu biaya dan satu pengaruh) mungkin menghasilkan satu kesimpulan yang tidak
lengkap dan menyesatkan.
3. Belum adanya pembobotan terhadap tujuan dari setiap program. Akibat belum adanya
pembobotan pada tujuan dari setiap program sehingga muncul pertanyaan “biaya dan pengaruh
mana yang harus diukur?”. Pertanyaan ini timbul mengingat belum adanya kesepakatan
diantara para analis atau ahli. Disatu pihak menghendaki semua biaya dan pengaruh diukur,
sedangkan yang lainnya sepakat hanya mengukur biaya dan pengaruh-pengaruh tertentu saja.
4. Cost Effectiveness Analysis terkadang terlalu disederhanakan Seharusnya ada pembobotan
terhadap tujuan dari setiap proyek karena beberapa tujuan harus diprioritaskan.
2.5 Tahap Penghitungan Cost Effectiveness Analysis
Tahapan dalam menghitung Cost Effectiveness Analysis (CEA) yaitu sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi unsur biaya dari alternatif program yang ada.
b. Menghitung total cost atau present value cost dengan rumus:
c.

d.

e. Menghiitung objective atau output yang berhasil.


f. Menghitung cost effectiveness ratio (CER):

g.

h. Membandingkan CER dari masing-masing alternatif program.


i. Memilih CER yang terkecil dari program untuk direkomendasi.

11
BAB III
REVIEW JURNAL
3.1 Perbandingan Analisis Biaya Penggunaan Antibiotik Seftriakson tunggal
dengan kombinasi Antibiotik Lain Pada Pasien Pneumonia komunitas
Pada penelitian ini, obat antibiotik yang digunakan adalah seftriakson tunggal dan
seftriakson dengan antibiotik kombinasi lain sebagai terapi pengobatan pneumonia komunitas
(Depkes RI, 2013) yang dilakukan di RS X tahun 2020 dengan membandingkan penggunaan obat
antibiotik menggunakan Analisis Efektivitas Biaya atau Cost Effectiviness Analysis (CEA). Analisis
efektivitas biaya (CEA) adalah analisis evaluasi ekonomi yang dapat dipakai untuk mengambil
langkah kebijakan dengan memilih kemungkinan terbaik di antara beberapa alternatif yang
tersedia dan sering digunakan terhadap beberapa alternatif dengan tujuan atau hasil yang sama
(Andayani, 2013). Efektif tidaknya diukur dalam unit-unit keluaran seperti jumlah kesembuhan
pasien, jumlah tindakan yang dilakukan, kematian yang dapat dihindari atau lainnya dan biaya
pelayanan kesehatan konsumen sebagai biaya langsung dan tidak langsung (Nalang, 2018).

1. Metode penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan memakai hasil data retrospektif
yang diuraikan dalam bentuk tabel dengan metode Cost Effectiveness Analysis (CEA). Data
ditinjau berdasarkan perspektif pasien. Penelitian ini menggunakan total biaya medik langsung
(direct medical cost) yaitu keseluruhan biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien selama
mendapatkan perawatan di RS X dan efektivitas pemakaian obat antibiotik yang kemudian
dianalisis dengan menggunakan metode CEA yaitu dengan melakukan perhitungan ACER dan
Implemental Cost Effectiveness Analysis (ICER) (Ahmad Fuad, 2011). Adapun rumusnya dapat
dijelaskan sebagai berikut:

12
Populasi pada penelitian ini yaitu pasien CAP di RS X. Sampel pada penelitian ini yaitu
pasien rawat inap dengan penyakit CAP pada ≥ 18 h S X j h sebanyak 114 yang menggunakan
obat antibiotik seftriakson tunggal 35 pasien dan kombinasi seftriakson dengan antibiotik lain
sebanyak 48 pasien sehingga pasien yang di inklusi sebanyak 83 pasien dan pasien yang di
eksklusi sebanyak 31 pasien. Dari hasil eksklusi 31 pasien di eksklusi karena terapi antibiotiknya
tidak menggunakan seftriakson; pasien dengan menggunakan antibiotik tunggal lain selain
seftriakson; data pasien dengan rekam medik tidak mempunyai data keuangan. Penelitian ini
dilakukan di bagian Rekam Medik dan Administrasi Keuangan RS X. Penelitian dilakukan pada
Bulan November 2020 sampai dengan Februari 2021. Kriteria inkulusi dan eksklusi (Irawan,
Reviono, & Harsini, 2019):
a. Inklusi Kriteria inklusi adalah pasien CAP dengan rentang umur ≥ 18 h antibiotik
dengan data rekam medis yang lengkap dan menjalani rawat inap (nonICU).
b. Eksklusi Kriteria eksklusi adalah pasien dengan data rekam medis yang tidak lengkap.
Pasien CAP yang mengakhiri masa perawatan atau pulang secara paksa dengan kondisi
yang belum terkontrol, meninggal saat perawatan dan rujukan ke Rumah Sakit lain.
Pasien dalam keadaan kondisi hamil dan menyusui.

2. Hasil Penelitian dan pembahasannya


Antibiotik yang digunakan Pasien Pneumonia
Hasil penelitian oleh peneliti lain menunjukkan pasien dengan penggunaan antibiotik
lebih tinggi menggunakan seftriakson tunggal dibandingkan dengan kombinasi seftriakson
dengan antibiotik lain (Sari, Nuryastuti, Asdie, Pratama, & Estriningsih, 2017). Namun, hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa terapi antibiotik yang lebih banyak digunakan di RS X periode
2020 oleh pasien pneumonia adalah kombinasi seftriakson dengan antibiotik lain. Pada tabel 2
menunjukkan pemakaian kombinasi seftriakson dengan antibiotik lain memberikan hasil 57,83%
kemudian dan pasien pneumonia dengan seftriakson tunggal sebesar 42,17%.

13
Perbandingan Efektivitas Penggunaan Terapi Antibiotik
Berdasarkan data dari unit rawat inap yang didapat dari lamanya waktu pasien CAP yang
dirawat di RS. X periode tahun 2020 menunjukkan adaya variasi efektivitas pada hasil terapi
antibiotik antara seftriakson tunggal dengan seftriakson dengan kombinasi antibiotik lain. Hasil
penggunaan antibiotik dikatakan efektifitas apabila pasien yang menggunakan terapi antibiotik
tersebut memiliki lama rawat inap tidak lebih dari 4 hari (Kuswandi, 2019). Perbandingan
efektivitas penggunaan terapi antibiotik di RS. X periode 2020 penelitian ini dapat dilihat pada
tabel 6. Berdasarkan hasil penelitian perbandingan efektivitas penggunaan terapi antibiotik
dapat dilihat bahwa antibiotik seftriakson dengan antibiotik kombinasi memiliki efektifitas yang
rendah yaitu sebesar 43,75% dan antibiotik seftriakson tunggal memiliki efektifitas yang lebih
tinggi yaitu sebesar 54,28% dan jumlah ini sudah sesuai dengan lamanya rawat inap pasien di
RS. X. Dari hasil diatas dapat dilihat bahwa pengunaan antibiotik seftriakson tunggal memiliki
jumlah pasien yang lebih dominan dan lebih efektif dengan lama perawatan selama 1-4 hari.

Biaya Pengobatan Langsung


Parameter biaya yang di analisis pada CEA adalah harga obat, harga jasa perawatan,
harga rawat inap, harga tes diagnostik, harga visit dokter dan harga kunjungan UGD.
Berdasarkan data yang diperoleh dari pasien rawat inap penderita CAP di RS X periode Tahun
2020 yaitu, biaya medis langsung yang terdiri dari harga antibiotik, harga non antibiotik, harga

14
radiologi dan harga laboratorium, harga tindakan medis dan ruangan serta harga IGD. Jumlah
harga pengobatan langung dari pasien CAP yang mendapat terapi antibiotik seftriakson tunggal
dan seftriakson dengan kombinasi antibiotik lain dapat dilihat pada tabel 7.

Berdasarkan hasil penelitian, biaya langsung yang paling besar adalah harga pengobatan
pada pasien yang menggunakan seftriakson dengan antibiotik kombinasi lain dengan status
pembayaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dimana total biaya keseluruhan adalah Rp.
216.083.111 dengan rata-rata Rp. 4.501.731. Total biaya paling minim adalah pasien yang
memakai antibiotik seftriakson dengan metode pembayaran JKN dan total biaya sebesar Rp.
112.459.553 dengan rata-rata Rp. 3.213.130. Biaya antibiotik dan non antibiotik atau obat
penyerta adalah biaya farmasi yang langsung dibayarkan oleh pasien. Besarnya harga yang
didapat dari unit farmasi dipengaruhi oleh jumlah obat yang digunakan dan alat kesehatan
(alkes) yang ditujukan untuk pasien.
Analisis Efektivitas Biaya

15
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 8 menunjukkan hasil perhitungan
Average Cost Effectiveness Analysis (ACER) pada terapi antibiotik seftriakson tunggal didapatkan
hasil sebesar Rp. 281.113/hari dan pada terapi dengan antibiotik seftriakson dengan kombinasi
antibiotik lain Rp. 720.276/hari. Berdasarkan nilai ACER yang diperoleh, menunjukkan bahwa
hasil terapi antibiotik seftriakson tunggal lebih cost effectiveness dibandingkan dengan terapi
antibiotik seftriakson dengan kombinasi antibiotik lain, karena hasil menunjukkan biaya
terendah dengan menggunakan terapi antibiotik seftriakson.
Cost-Effectiveness adalah alternatif biaya paling murah harus dicari atau alternatif yang
paling efektif relevan. Namun, cost-effectiveness tidak selalu menunjukkan hanya pilihan yang
paling murah atau yang paling efektif (Setiawan, Endarti, & Suwantika, 2017). Average Cost
Effectiveness Analysis (ACER) dimana cost digambarkan dalam biaya kumulatif yang diukur
dalam penelitian, untuk pemberian terapi alternatif dan efektivitas dalam NA (Natural Unit) dari
hasil yang diinginkan dalam pelayanan kesehatan. Incremental Cost- Effectiveness Ratio (ICER)
didefinisikan sebagai ratio perbedaan antara biaya dengan dua alternatif untuk membedakan
dalam efektivitas antara alternatif dan cara perhitungan. Hasil yang di dapat dari ICER berbeda
dengan ACER, dimana hasil menunjukkan biaya untuk memproduksi atau mencapai suatu unit
peningkatan dalam outcome, yang berkaitan untuk dasar pemilihan dibandingkan dengan rata-
rata biaya per outcome.

16
Berdasarkan Tabel 9 diatas, menunjukkan bahwa pada terapi SFT terhadap SFT dengan
antibiotik kombinasi lain atau SFT dengan antibiotik kombinasi lain terhadap SFT tidak perlu
dilakukan perhitungan RIEB/ICER. Karena pada terapi SFT terhadap SFT dengan antibiotik
kombinasi lain masuk kedalam tabel dominasi dan didominasi, artinya dengan efektivitas yang
sama dapat menggunakan terapi antibiotik seftriakson dengan biaya lebih rendah dari
seftriakson dengan antibiotik kombinasi lain. Hal ini menunjukkan bahwa terapi antibiotik
seeftriakson tunggal menjadi pilihan yang lebih cost effectiveness tanpa perlu dilakukan AEB.
Biaya yng dikeluarkan dengan penggunaan terapi antibiotik seftriakson lebih rendah yaitu
sebesar Rp. 281.113/hari dengan rata- rata lama perawatan 4 hari. Sedangkan pada penggunaan
terapi SFT dengan antibiotik kombinasi lain terhadap SFT masuk kedalam tabel didominasi,
artinya tidak perlu dilakukan AEB sehingga tidak perlu dipertimbangkan sebagai alternatif lain
sebagai terapi. Biaya yang dikeluarkan dengan penggunaan terapi antibiotik SFT dengan
antibiotik kombinasi lain lebih tinggi yaitu sebesar Rp. 720.276/hari dengan rata-rata lama
perawatan 3 hari. Hal ini menunjukkan bahwa terapi SFT dengan antibiotik kombinasi lain lebih
tinggi biaya yang dikeluarkan tetapi lebih efektivitas secara lama perawatan.

3.2 Analisis Efektifitas Biaya (Cost Effectitiveness Analysis) Pengobatan


Pneumonia Menggunakan Antibiotik Seftriakson Dan Sefotaksim Di RSUP
Prof DR.R.D Kandaou Manado
Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado pada bulan
November 2017 - Maret 2018. Jenis rancangan penelitian yang dilakukan ialah penelitian
deskriptif dengan pengambilan data secara retrospektif yang didasarkan pada catatan rekam
medik.

Analisis Data
Data Data dianalisis secara deskriptif dalam bentuk tabel. Setelah data terkumpul dan
telah dilakukan proses editing, selanjutnya dilakukan perhitungan biaya medik langsung. Data ini
dapat digunakan untuk menghitung rata-rata atau Analysis Cost-Effectiveness Ratio (ACER)
seperti rumus berikut ini (Andayani, 2013):

17
semakin rendah biaya dan semakin tinggi efektivitas maka semakin costeffective terapi
antibiotik tersebut, sehingga pilihan terapi tersebut merupakan pilihan yang terbaik. Hasil dari
CEA dapat disimpulkan dengan ICER (Incremental Cost-Effectiveness Ratio) seperti rumus
dibawah ini:

Jika perhitungan ICER menunjukkan hasil negatif atau semakin kecil, maka suatu
alternatif obat tersebut lebih efektif dan lebih murah, sehingga pilihan terapi tersebut
merupakan pilihan yang terbaik

Hasil Dan Pembahasan


Analisis Efektivitas Biaya Biaya Medik Langsung (Direct Medical Cost)

18
Berdasarkan Tabel 3, total biaya medik langsung dengan biaya terkecil yaitu Rp.
2.894.108 dan total biaya medik langsung terbesar yaitu Rp. 4.573.232. Total direct medical cost
penggunaan antibiotik seftriakson untuk ke-20 pasien yaitu sebesar Rp. 75.727.000 dengan
direct medical cost per pasien yaitu Rp. 3.786.350. Perbedaan biaya medik langsung dari
masing-masing pasien dikarenakan lamanya pasien dirawat di rumah sakit, karena semakin lama
pasien dirawat di rumah sakit maka semakin besar biaya yang harus dikeluarkan pasien.

Berdasarkan Tabel 4, total biaya medik langsung dengan biaya terkecil yaitu Rp.
2.901.202 dan total biaya medik langsung terbesar yaitu Rp. 4.199.285. Total direct medical cost
penggunaan antibiotik sefotaksim untuk ke-20 pasien yaitu sebesar Rp. 70.856.245 dengan
direct medical cost per pasien yaitu Rp. 3.542.812.

19
Efektivitas Terapi

Berdasarkan Tabel 7, Persentase efektivitas terapi antibiotik pada pasien pneumonia


yang dirawat inap di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari – Desember 2017
untuk terapi antibiotik Seftriakson menunjukan efektivitas sebesar 85 % dan Sefotaksim
menunjukan efektivitas 100%. Efektivitas adalah keberhasilan pengobatan suatu obat untuk
mencapai target respiration rate (RR) kembali ke angka normal. Angka normal untuk anak usia 1-
5 bulan ialah 25 – 40 x per menit dan pada bayi 6 bulan – 5 tahun ialah 20-30 x per menit
(Charbek, 2015). Untuk melihat efektivitas terapi penggunaan antibiotik Seftriakson dan
Sefotaksim pada pasien pneumonia rawat inap di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode
Januari – Desember 2017 ditinjau dari parameter respiration rate (RR).

Perhitungan Efektivitas Biaya Berdasarkan ACER

Berdasarkan Tabel 6 nilai ACER Seftriakson memiliki angka lebih tinggi yaitu sebesar Rp.
44.545 dibandingan dengan Sefotaksim yang memiliki nilai ACER sebesar Rp. 35.428. Nilai ACER
menunjukan bahwa setiap peningkatan 1% efektivitas / outcome dibutuhkan biaya sebesar
ACER. Semakin rendah nilai ACER dan semakin tinggi efektivitas maka semakin cost-effective
terapi antibiotik tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa terapi menggunakan antibiotik
Sefotaksim adalah obat yang paling cost-effective untuk terapi pengobatan pasien pneumonia
balita rawat inap di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou.
Perhitungan Efektivitas Biaya Berdasarkan ICER

20
Berdasarkan Tabel 7 diperoleh nilai ICER terkecil pada antibiotik Sefotaksim yaitu Rp -
16.235. Nilai ICER yang diperoleh merupakan besarnya biaya tambahan yang diperlukan untuk
memperoleh perubahan satu unit efektivitas pada pasien pneumonia. Jika perhitungan ICER
menunjukkan hasil negatif atau semakin kecil, maka suatu alternatif obat tersebut lebih efektif
dan lebih murah, sehingga pilihan terapi tersebut merupakan pilihan yang terbaik. Pengobatan
pneumonia menggunakan antibiotik Sefotaksim menunjukan hasil negatif sehingga dapat
disimpulkan bahwa Sefotaksim adalah obat yang paling costeffective untuk terapi pengobatan
pasien pneumonia rawat inap di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou.

21
BAB V
KESIMPULAN

1. Cost Effectiveness Analysis (CEA) adalah Analisis Efektifitas Biaya merupakan suatu metode
farmakoekonomi untuk memilih dan menilai program atau obat yang terbaik pada beberapa
pilihan terapi dengan tujuan yang sama
2. Berdasarkan hasil penelitian Jurnal A rata-rata total biaya medis pada seftriakson sebesar Rp.
3.213.130,- dan seftriakson dengan antibiotik kombinasi lain sebesar Rp. 4.501.731,-. Dan
berdasarkan nilai ACER, antibiotik yang paling cost effectiveness pada terapi antibiotik
seftriakson tunggal sebesar Rp. 281.113/hari dibandingkan dengan terapi seftriakson dengan
antibiotik kombinasi lain sebesar Rp. 720.276/hari.
3. Berdasarkan hasil penelitian Jurnal B, dapat disimpulkan bahwa terapi antibiotik Sefotaksim
merupakan terapi yang lebih cost-effective dibandingkan dengan seftriakson yang dapat dilihat
dari nilai ACER Sefotaksim sebesar Rp. 35.428 dan nilai ICER sebesar - Rp. 16.235.

22
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Fuad, (2011). Farmakoekonomi Pisau Analisis Terbaru Dunia Farmasi. (C.
Gautama,Ed.). Jakarta: Samitra Media Utama.
Andayani, T. M. (2013). Farmakoekonomi prinsip dan metodologi. Yogyakarta: Bursa Ilmu.
Balitbangkes. (2013).
Riset Kesehatan Dasar. Retrieved 21 December 2021 from
https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/ download/general/Hasil Riskesdas 2013.pdf Depkes RI.
(2009). Pedoman Pelaksanaan Program Rumah Sakit Sayang Ibu dan Bayi. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. (2013). Pharmaceutical Care untuk penyakit infeksi saluran pernafasan. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Irawan, R., Reviono, R., & Harsini, H. (2019). Correlation Between Copeptin and PSI with
Intravenous to Oral Antibiotic Switch Theraphy and Length of Stay in Community-Acquired
Pneumonia.
Jurnal Respirologi Indonesia, 39(1), 44–53. Retrieved from https://doi.org/10.36497/jri.v39i1.40
Katarnida, S. S., Murniati, D., &
Katar, Y. (2016). Evaluasi Penggunaan Antibiotik Secara Kualitatif di RS Penyakit Infeksi
Sulianti Saroso, Jakarta. Sari Pediatri, 15(6), 369–376. Retrieved from
https://doi.org/10.14238/sp15.6.2014.36 9-76
Kuswandi. (2019). Resistansi Antibiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Lorensia, A. (2018). Buku Ajar Farmakoekonomi: Menghadapi Tingginya Lonjakan Biaya
Pengobatan Yang Mengancam Kestabilan Perekonomian. Surabaya: CV MBrother . Mandell, L.
A., Wunderink, R. G., Anzueto, A., Bartlett, J. G., Campbell, G. D., D , N , … Wh , G 2007
Infectious Diseases Society of America/American Thoracic Society Consensus Guidelines on the
management of community-acquired pneumonia in adults. Clinical Infectious Diseases,
44(SUPPL. 2). Retrieved 22 December 2021 from https://doi.org/10.1086/511159
Monica, S., Irawati, S., & Setiawan, E. (2018). Kajian Penggunaan, Ketepatan, dan Biaya
Antibiotik pada Pasien Rawat Inap Anak di Sebuah Rumah Sakit Umum di Surabaya. Indonesian
Journal of Clinical Pharmacy, 7(3), 194–208.
Nalang, A. (2018). Analisis efektivitas biaya (cost effectiveness analysis) pengobatan pneumonia
menggunakan antibiotik seftriakson dan sefotaksim di RSUP Prof. Dr. RD Kandou Manado.
Pharmacon, 7(3). Retrieved from https://doi.org/10.35799/pha.7.2018.205 99
PDPI. (2014). Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia (2nd ed.). Jakarta: Badan
Penerbit FKUI. PDPI 2020 Pr “P rh Dokter Paru Indonesia (PDPI) Outbreak Pneumonia di
Tiongkok.

23
Rusmini, H. (2016). Gambaran penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia dengan
menggunakan metode Gyssens di rawat inap rumah sakit umum daerah (RSUD) H. Abdul
Moeloek Tahun 2015. Jurnal Medika
Malahayati, 3(2), 61–64. Retrieved from https://doi.org/10.33024/jmm.v3i2.2009 Sari, I. P.,
Nuryastuti, T., Asdie, R. H., Pratama, A., & Estriningsih, E. (2017). Perbandingan Pola Terapi
Antibiotik pada Community- Acquired Pneumonia (CAP) di Rumah Ssakit Tipe A dan B. Jurnal
Manajemen Dan Pelayanan Farmasi, 7(4), 168–174. S
etiawan, D., Endarti, D., & Suwantika, A. (2017). Farmakoekonomi modeling. Purwokerto: UM
Purwokerto Press.
T Yoga Artha Pranaya, T. (2014). Hubungan Paparan Kabut Asap Dengan Kejadian Pneumonia
Pada Anak Usia 3-8 Tahun di Ruangan INAP Anak di RSUD Arifin Achmad Pekan Baru tahun
2014. STIKES Perintis Padang. Retrieved from https://doi.org/10.15416/ ijcp.2018.7.3.194
Ulfa, C. F., Supadmi, W., Perwitasari, D. A., & Yuniarti, E. (2021). Correlation Between
Appropriateness Prescribing Antibiotics and Clinical Improvement on Hospitalized Patients with
Community Acquired Pneumonia Based on The Gyssens Method. Jurnal Ilmu Kefarmasian
Indonesia, 19(1), 30–38.

24

Anda mungkin juga menyukai