Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

IDENTITAS NASIONALISME

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah


Studi Pendidikan Kewarganegaraan

Dosen Pengampu:
Dr. H. Tatang Ibrahim, M.Pd.

Disusun Oleh:
Kelompok 2
Fauzan Al Zikri NIM. 1212020082
Ghina Mardhiyya Rachmaali NIM. 1212020095
Hildan Izzuddin Ansorulloh NIM. 1212020108

PROGRAM SARJANA
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami ucapkan kepada Allah swt, yang memberikan
kami nikmat kesehatan dan umur panjang sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah dengan Judul “IDENTITAS NASIONALISME” ini dengan baik.
Shalawat beriring salam kita kirimkan kepada Baginda Rasulullah saw. Dimana
karena berkat usaha dan kerja keras beliaulah kita semua dapat menuntut
pengetahuan seperti saat sekarang ini.
Selanjutnya kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang ikut terlibat
didalam penyusunan makalah ini terlebih lagi kepada dosen pengampu yang
bersedia membina kami sehingga kami dapat tertantang untuk lebih maju dan untuk
dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik mungkin.
Akhirnya, kami harapkan adanya kritikan ataupun saran yang dapat
membangun dimana setiap manusia itu tidak ada yang sempurna.

UIN Bandung, September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i


DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Identitas Nasional .................................................................. 3
B. Sejarah Kelahiran Paham Nasionalisme Indonesia ................................. 5
C. Identitas Nasional Sebagai Karakter Bangsa .......................................... 10
D. Islam dan Nasionalisme .......................................................................... 12
E. Globalisasi dan Tantangan Identitas Nasional ........................................ 13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................. 17
B. Kritik dan Saran ...................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Identitas nasional merupakan ciri khas yang dimiliki satu bangsa yang
tentunya berbeda antara satu bangsa, dengan bangsa yang lain. Indonesia adalah
salah satu Negara yang memiliki bermacam identitas nasional yang mengkhaskan
dan tentunya berbeda dengan Negara-negara lainnya. Mayoritas dari masyarakat
mengasosiakan identitas nasional mereka dengan negara dimana mereka dilahirkan.
Beragamnnya suku bangsa serta bahasa di Indonesia, merupakan suatu
tantangan besar bagi bangsa ini untuk tetap dapat mempertahankan identitasnnya.
Untuk itu, sebagai generasi muda Indonesia seharusnnya sudah mengetahui apa itu
identitas nasional bangsa kita. Namun pada kenyataannya masih banyak generasi
muda indonesia yang belum tahu tentang apa itu identitas nasional dan apa saja
wujud dari identitas nasional bangsa Indonesia itu sendiri.
Seringkali kita marah ketika aset identitas nasional kita direbut atau ditiru
oleh Negara lain, tapi dalam pengaplikasiannya kita sebagai warga negara
Indonesia hanya bersikap pasif dan enggan untuk menggembangkannya. Identitas
Nasional merupakan pengertian dari jati diri suatu Bangsa dan Negara, Selain itu
pembentukan Identitas Nasional sendiri telah menjadi ketentuan yang telah di
sepakati bersama. Menjunjung tinggi dan mempertahankan apa yang telah ada dan
berusaha memperbaiki segala kesalahan dan kekeliruan di dalam diri suatu Bangsa
dan Negara sudah tidak perlu di tanyakan lagi, Terutama di dalam bidang Hukum.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat beberapa rumusan masalah
yang harus terselesaikan, diantaranya:
1. Apa pengertian identitas nasional?
2. Bagaimana sejarah kelahiran paham nasionalisme Indonesia?
3. Apa identitas nasional sebagai karakter bangsa?
4. Apa Islam dan nasionalisme?
5. Bagaimana globalisasi dan tantangan identitas nasional?

1
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, terdapat beberapa tujuan penulisan,
diantaranya:
1. Mengetahui pengertian identitas nasional.
2. Mengetahui sejarah kelahiran paham nasionalisme Indonesia.
3. Mengetahui identitas nasional sebagai karakter bangsa.
4. Mengetahui Islam dan nasionalisme.
5. Mengetahui globalisasi dan tantangan identitas nasional.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Identitas Nasional


Istilah identitas nasional (national identity) berasal dari kata identitas dan
nasional. Identitas (identity) secara harfiah berarti ciri-ciri, tanda-tanda atau jatidiri
yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain
(ICCE, 2005: 23). Sedangkan kata nasional (national) merupakan identitas yang
melekat pada kelompok- kelompok yang lebih besar yang diikat oleh kesamaan-
kesamaan, baik fisik seperti budaya, agama, bahasa maupun non fisik seperti
keinginan, cita-cita dan tujuan. Istilah identitas nasional atau identitas bangsa
melahirkan tindakan kelompok (collective action yang diberi atribut nasional) yang
diwujudkan dalam bentuk-bentuk organisasi atau pergerakan-pergerakan yang
diberi atribut-atribut nasional (ICCE, 2005: 25).
Menurut Kaelan (2007: 35), identitas nasional pada hakikatnya adalah
manisfestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek
kehidupan satu bangsa (nation) dengan ciri-ciri khas, dan dengan ciri-ciri yang khas
tadi suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam kehidupannya. Nilai-nilai
budaya yang berada dalam sebagian besar masyarakat dalam suatu negara dan
tercermin di dalam identitas nasional bukanlah barang jadi yang sudah selesai
dalam kebekuan normatif dan dogmatis, melainkan sesuatu yang terbuka yang
cenderung terus menerus berkembang karena hasrat menuju kemajuan yang
dimiliki oleh masyarakat pendukungnya.
Implikasinya adalah bahwa identitas nasional merupakan sesuatu yang
terbuka untuk diberi makna baru agar tetap relevan dan fungsional dalam kondisi
aktual yang berkembang dalam masyarakat. Artinya, bahwa identitas nasional
merupakan konsep yang terus menerus direkonstruksi atau dekonstruksi tergantung
dari jalannya sejarah. Hal itu terbukti di dalam sejarah kelahiran faham kebangsaan
(nasionalisme) di Indonesia yang berawal dari berbagai pergerakan yang
berwawasan parokhial seperti Boedi Oetomo (1908) yang berbasis subkultur Jawa,
Sarekat Dagang Islam (1911) yaitu entrepreneur Islam yang bersifat ekstrovet dan
politis dan sebagainya yang melahirkan pergerakan yang inklusif yaitu pergerakan

3
nasional yang berjati diri “Indonesianess” dengan mengaktualisasikan tekad
politiknya dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Dari keanekaragaman
subkultur tadi terkristalisasi suatu core culture yang kemudian menjadi basis
eksistensi nation-state Indonesia, yaitu nasionalisme.
Identitas nasional sebagai suatu kesatuan ini biasanya dikaitkan dengan nilai
keterikatan dengan tanah air (ibu pertiwi), yang terwujud identitas atau jati diri
bangsa dan biasanya menampilkan karakteristik tertentu yang berbeda dengan
bangsa-bangsa lain, yang pada umumnya dikenal dengan istilah kebangsaan atau
nasionalisme. Rakyat dalam konteks kebangsaan tidak mengacu sekadar kepada
mereka yang berada pada status sosial yang rendah akan tetapi mencakup seluruh
struktur sosial yang ada. Semua terikat untuk berpikir dan merasa bahwa mereka
adalah satu. Bahkan ketika berbicara tentang bangsa, wawasan kita tidak terbatas
pada realitas yang dihadapi pada suatu kondisi tentang suatu komunitas yang hidup
saat ini, melainkan juga mencakup mereka yang telah meninggal dan yang belum
lahir.
Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa hakikat identitas nasional kita
sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah
Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam berbagai penataan kehidupan kita
dalam arti luas, misalnya dalam Pembukaan beserta UUD 1945, sistem
pemerintahan yang diterapkan, nilai-nilai etik, moral, tradisi serta mitos, ideologi,
dan lain sebagainya yang secara normatif diterapkan di dalam pergaulan baik dalam
tataran nasional maupun internasional dan lain sebagainya. Istilah identitas nasional
secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara
filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain.
Berdasarkan pengertian yang demikian ini maka setiap bangsa di dunia ini
akan memiliki identitas sendiri-sendiri sesuai dengan keunikan, sifat, ciri-ciri serta
karakter dari bangsa tersebut. Demikian pula hal ini juga sangat ditentukan oleh
proses bagaimana bangsa tersebut terbentuk secara historis. Berdasarkan hakikat
pengertian “identitas nasional” sebagaimana dijelaskan maka identitas nasional
suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dengan jati diri suatu bangsa atau yang lebih
popular disebut sebagai kepribadian suatu bangsa.

4
B. Sejarah Kelahiran Paham Nasionalisme Indonesia
Nasionalisme berasal dari kata nasional atau nation (bahasa Inggris) atau
natie (bahasa Belanda) yang artinya bangsa. Nasional artinya kebangsaan. Bangsa
adalah sekelompok manusia yang diam di wilayah tertentu dan memiliki hasrat
serta kemauan untuk bersatu, karena adanya persamaan nasib, cita-cita dan tujuan.
Dengan demikian nasionalisme dapat diartikan semangat kebangsaan, yaitu
semangat cinta kepada bangsa dan negara. Suatu paham yang menyadarkan harga
diri suatu kelompok masyarakat sebagai suatu bangsa. Dengan kata lain
nasionalisme adalah suatu paham yang menyatakan bahwa kesetiaan tertinggi
seseorang ditujukan kepada negara kebangsaannya.
Nasionalisme untuk pertama kalinya muncul di Eropa pada akhir abad ke-
18. Lahirnya paham nasionalisme diikuti dengan terbentuknya negara-negara
kebangsan yang dilatarbelakangi oleh faktor-faktor persamaan keturunan, bahasa,
adat-istiadat, tradisi dan agama. Akan tetapi paham nasionalisme lebih menekankan
kemauan untuk hidup bersama dalam negara kebangsaan. Rakyat Amerika Serikat
tidak menyatakan satu keturunan untuk membentuk suatu negara, sebab disadari
bahwa penduduk AS terdiri dari berbagai suku, asal usul, adat-istiadat dan agama
yang berbeda. Nasionalisme timbul karena unsur-unsur sebagai berikut:
1. Ikatan rasa senasib dan seperjuangan;
2. Bertempat tinggal dalam satu wilayah yang sama;
3. Campur tangan bangsa lain (penjajahan) dalam wilayahnya;
4. Persamaan ras (tetapi hal ini tidak mutlak);
5. Keinginan dan tekad bersama untuk melepaskan diri dari belenggu kekuasaan
absolut agar manusia mendapatkan hak-haknya secara wajar sebagai warga
negara.
Nasionalisme di Indonesia tidak hanya berakar dari kondisi Pembongkaran
abad ke-20, tetapi sebagian besar justru terus berlanjut hingga ke dalam lapisan
sejarah yang jauh lebih tua. Nasionalisme tersebut muncul dari hadirnya solidaritas
yang tinggi yaitu rasa bahwa bangsa Indonesia tidak lebih rendah dari bangsa
penjajah. Seperti keyakinan bahwa bangsa Indonesia memiliki peradaban besar
yang pernah terjadi di nusantara yaitu kerajaan Majapahit, Sriwijaya dan kerajaan-
kerajaan yang telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia dahulu mampu bersaing

5
dengan bangsa asing. Perlu diingat bahwa paham nasionalisme di Indonesia
berkembang pertama-tama di kalangan kaum terdidik Hindia Belanda yang sedikit.
Golongan terpelajar itu menyadari akan nasib bangsanya sehingga terbentuk
kepribadian, pola pikir dan etos juang yang tinggi untuk diri dari penjajahan yang
mana mereka juga sadar bahwa tujuan tersebut tidak hanya dicapai dalam
perjuangan fisik tetapi juga perjuangan politik.
Memang nasionalisme di negeri jajahan berbeda dengan nasionalisme dan
proses terbentuknya negara-bangsa di Eropa yang umumnya didasarkan pada
kesamaan ras atau bahasa. Bangsa menurut Ernest Renan adalah suatu azas-akal
yang terjadi dari dua hal, pertama rakyat itu dulunya harus bersama-sama menjalani
suatu riwayat. Kedua, rakyat sekarang harus memiliki kemauan, keinginan hidup
menjadi satu. Otto Bauer juga menjelaskan bahwa bangsa adalah suatu persatuan
perangai yang terjadi dari persatuan hal ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu.
Jadi nasionalisme adalah suatu iktikad, suatu keinsyafan rakyat bahwa rakyat itu
ada satu golongan dan satu bangsa.
Bangsa menurut Ernest Renan adalah suatu azas-akal yang terjadi dari dua
hal, pertama rakyat itu dulunya harus bersama-sama menjalani suatu riwayat.
Kedua, rakyat sekarang harus memiliki kemauan, keinginan hidup menjadi satu.
Otto Bauer juga menjelaskan bahwa bangsa adalah suatu persatuan perangai yang
terjadi dari persatuan hal ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu. Jadi
nasionalisme adalah suatu iktikad, suatu ke insyafan rakyat bahwa rakyat itu ada
satu golongan dan satu bangsa. Bangsa menurut Ernest Renan adalah suatu azas-
akal yang terjadi dari dua hal, pertama rakyat itu dulunya harus bersama-sama
menjalani suatu riwayat. Kedua, rakyat sekarang harus memiliki kemauan,
keinginan hidup menjadi satu. Otto Bauer juga menjelaskan bahwa bangsa adalah
suatu persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal ikhwal yang telah dijalani
oleh rakyat itu. Jadi nasionalisme adalah suatu iktikad, suatu keinsyafan rakyat
bahwa rakyat itu ada satu golongan dan satu bangsa.
Dampak pemerintahan kolonial Belanda terhadap struktur sosial bangsa
Indonesia dimulai tidak lama setelah berdirinya VOC pada 1602. Tujuan utama
VOC memang memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya dalam
perdagangan dan untuk mewujudkan tujuan tersebut mereka merasa perlu

6
memonopoli ekspor dan impor. Perhatian VOC yang pada mulanya belanja pada
rempah-rempah dari Maluku, segera beralih ke aktivitas dagang yang luas dan
mapan yang berpusat di Pulau Jawa. Di Pulau Jawa, VOC memperoleh hak-hak
istimewa yang awalnya terbatas oleh pemegang otoritas lokal. Awalnya VOC
menggunakan sistem pemerintahan tidak langsung yang tidak memerlukan banyak
biaya dan prinsipnya adalah pendayagunaan struktur kekuasaan pribumi untuk
kepentingan VOC itu sendiri. Lebih tepatnya mempertahankan sekaligus
memperkuat kedudukan maupun kekuasaan kaum ningrat Jawa yang diatur.
Kekuasaan kaum ningrat Jawa tersebut diperkokoh dengan kekuatan militer
Belanda yang siap mendukung mereka melawan rakyat Jawa selama mereka
mengurus kepentingan VOC.
Akibatnya, masyarakat Jawa sungguh-sungguh kehilangan keseimbangan
dan kaum tani yang semula kuat tidak dapat lagi mengekang perilaku sewenang-
wenang dari kaum elite ningrat. Sejak saat itu pemerintahan VOC memusatkan
konsentrasi di Jawa dan bersifat ototoriter. Hal tersebut mengingat tipologi
penjajahan Belanda di Indonesia yang bersifat kapitalisme setengah kikir dan
bercorak menindas, berbeda dengan imperialisme Inggris di India dan imperialisme
Amerika di Fillipina yang cenderung royal terhadap negara jajahannya. Adanya
pembagian kedudukan antara pihak Belanda, golongan pedagang Asia Timur dan
kaum ningrat menjadikan golongan pribumi semakin tereksploitasi karena kaum
ningrat telah diberikan kekasaan yang luas dalam bidang ekonomi atas kaum petani.
Keseluruhan sistem pemerintahan seperti itu bekerja dalam rangka
mengeksploitasi desa sebanyak mungkin. Penduduk desa dipaksa untuk
menyerahkan sebagian besar hasil panennya dan melakukan kerja paksa pada
bidang-bidang non-pertanian secara besar-besaran. Mohammad Hatta juga
menambahkan bahwa, dimata perekonomian kapitalis, Indonesia merupakan
perkebunan besar. Eksploitasinya berdasarkan dua faktor yang menguntungkan,
yaitu tanah yang subur dan upah yang murah. Sedangkan produksinya tidak
dilakukan untuk memuaskan keperluan di dalam negeri, melainkan untuk pasar
dunia yang menjamin keuntungan sebesar-besarnya.

7
Kondisi tersebut merupakan reaksi berupa tantangan dan perlawanan rakyat
untuk mengusir penyerang. Jadi kolonialisme dan imperialisme tersebut
menimbulkan reaksi semangat kebangsaan yang berupa perasaan senasib dan
sepenanggungan serta tanpa kehendak dan tekad untuk lepas dari tekanan sebagai
inti dari nasionalisme di Indonesia. Titik tolak kebangkitan nasionalisme di
Indonesia diawali dengan kemenangan Jepang (Asia) melawan Rusia (Eropa) pada
tahun 1905 yang mematahkan pandangan bahwa orang Barat lebih tinggi
kedudukannya dari orang timur. Perang yang dimenangkan oleh Jepang ini
membuat bangsa-bangsa di Asia sadar bahwa sebenarnya mereka tidak kalah
kehebatannya dari bangsa-bangsa Eropa atau Barat. Standar akal budi dan
kemajuan universal seolah-olah hanya ada pada bangsa Barat.
Tak berselang lama dari kemenangan Jepang atas Rusia (1905) tersebut
nasionalisme di Indonesia tumbuh begitu cepat seiring munculnya Budi Utomo
yang juga menjadi pelopor organisasi perjuangan. Corak perjuangan Budi Utomo
yang dibangun oleh Sutomo lulusan STOVIA dan Wahidin Sudirohusodo tersebut
dipengaruhi oleh politik etis Belanda yang melahirkan priyayi baru jawa atau
priyayi rendahan yang tidak bisa bersekolah karena kondisi ekonomi Jawa yang
saat itu terpuruk. Ricklefs menyebutkan bahwa kalangan priyayi jawa yang baru
atau yang lebih rendah memandang pendidikan sebagai kunci menuju kemajuan.
Pada tahun 1909, seorang lulusan OSVIA bernama Tirtoadisuryo
mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia. Sarekat Dagang Islamiyah ini
juga menjadikan paham nasionalisme semakin tumbuh dengan pesat di Indonesia.
Pada tahun 1912, organisasi tersebut mengubah namanya menjadi Sarekat Islam
(SI) yang mana dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto. Sejak itu SI berkembang pesat
dan untuk yang pertama kalinya tampak adanya basis rakyat walaupun sulit untuk
dikendalikan dan hanya berlangsung sebentar. Tidak seperti Budi Utomo, SI
berkembang ke daerah-daerah di luar Jawa, tetapi Jawa tetap menjadi pusat
kegiatannya. HOS Tjokroaminoto pun dianggap sebagai Ratu Adil "raja yang adil"
yang ada dalam ramalan tradisi-tradisi Jawa yang disebut Erucakra. Akan tetapi SI
kemudian pecah menjadi dua golongan karena infiltrasi dari paham komunisme
yang dibawa oleh Henk Sneevliet dan mempengaruhi pola pemikiran Semaun yang

8
pada 1915 dipindah tugaskan dari SI Surabaya ke SI Semarang yang kemudian
bergabung dengan ISDV.
Pada bulan Mei 1920 ISDV berganti nama menjadi Perserikatan
Kommunist di India dan pada 1924 berganti lagi menjadi Partai Komunis
Indonesia. Akan tetapi PKI kemudian bubar seiring dengan adanya pemberontakan
di Jawa pada tahun 1926-1927. Setelah hancurnya PKI muncullah pemimpin-
pemimpin baru, dan perhatian utama tertuju pada Sukarno sebagai putra seorang
Jawa dan Bali. Pada 1927, Soekarno dan tujuh tokoh bangsa lainnya mendirikan
PNI pada 4 Juli 1927 dan bertepatan dengan hari kemerdekaan Amerika yang secara
sadar dipilih oleh Soekarno karena keterkaitannya dengan sejarah dunia. Adapun 3
dari 8 tokoh yang mendirikan PNI adalah mantan aktivis Perhimpunan Indonesia
dan memiliki idealisme yang sama dengan pemuda di tanah air. Nasionalisme yang
dibawa oleh Sukarno dan beberapa tokoh PNI lainnya yaitu nasionalisme yang
secara konseptual bersifat eklektis yang menggabungkan aspek-aspek partikular di
negeri ini dan aspek-aspek universal dari pemikiran Barat.
Nasionalisme yang dikembangkan para tokoh pergerakan mampu berbicara
atas nama bangsa dan membela rakyat kecil. Meskipun para tokoh pergerakan
tersebut berasal dari kalangan kecil elite sosial yang dididik dalam sistem kolonial,
mereka mengkritisi banyak nilai kolonial dan tidak menganggapnya sebagai nilai-
nilai masyarakat modern yang seharusnya ada. Retor Kaligis juga menambahkan
bahwa Sukarno dan Mohammad Hatta tidak menginginkan kehidupan berbangsa
yang dikembangkan di Indonesia seperti pelaksanaan Revolusi Perancis yang
menumbuh suburkan borjuisme dan tidak memberikan kekuasaan bagi rakyat kecil,
meski pada awalnya berjuang bersama-sama dengan kaum borjuis menumbangkan
rezim feodal. Rakyat kecil hanya memperoleh kebebasan, sedangkan persamaan
dan persaudaraan cuma menjadi slogan. Soekarno menekankan agar nasib kaum
marhaen Indonesia jangan seperti rakyat jelata Perancis di masa Revolusi Perancis.
Kini meski kolonialisme fisik telah berakhir, kontruksi sosial yang mereka bangun
masih tetap ada pada masyarakat Timur, termasuk di Indonesia. hubungan Kristen-
Islam, dikotomi pribumi-non pribumi, inferioritas Timur dan superioritas Barat
merupakan warisan kontruksi sosial yang dibangun saat kolonialisme yang terus
berlanjut hingga saat ini

9
C. Identitas Nasional Sebagai Karakter Bangsa
Setiap bangsa memiliki identitasnya dengan mememahami identitas di
harapkan akan memahami jati diri bangsa sehingga menumbuhkan kebanggaan
sebagai bangsa. Karakter berasal dari bahasa latin “kharakter, kharaselen, kharar’’.
Dalam arti karakter kata bersifat kejiwaan akhlak, menurut Max Weber (dikutip
Mambura, 1983: 3) cara yang terbaik untuk memahami sesuatu masyarakat adalah
memahami tingkah laku anggota nya dan cara memahami perilaku anggota adalah
dengan memahami kebudayaan mereka yaitu sistem makna mereka. Manusia
adalah makhluk yang selalu mencari makna terus menerus atas semua tindaknya
makna selalu menjadi orientasi tindakan manusia mencari dan berusaha
menjelaskan logika dari tingkah laku sosial masyarakat tertentu melalui
kebudayaan mereka sendiri.
Dalam masyarakat berkembang atau masyarakat dunia ketiga pada
umumnya menghadapi tiga masalah pokok yaitu natioun-building, stabilitas politik
merupakan masalah yang terkait dengan realitas saat ini yaitu ancaman
disentragisasi sedangkan masalah pembangunan ekonomi adalah masalah yang
terkait dengan masa depan yaitu dalam konteks Indonesia masyarakat adil dan
makmur. Atas nama identitas yang sudah di bangun oleh para pendahulu tercabut
dan hilang sehingga identitas bukan sesuatu yang hanya di pertahankan namun juga
selalu berproses mengalami perkembangan pembentukan identitas Indonesia juga
mengalami hal demekian.
Negara bangsa adalah Negara yang lahir dari kumpulan bangsa-bangsa
Negara Indonesia sulit terwujud apabila para raja bersikukuh dengan otoritas
dirinya dan ingin mendirikan negaranya sendiri. Keadaan demikian tentu
mengindikasikan ada hal yang sangat kuat yang mampu menyatukan beragam
otoritas tersebut dari penjelasan ini dapatlah di katakan bahwa identitas bangsa
Indonesia adalah pancasila itu sendiri sehingga dapat pula dikatakan bahwa
pancasila adalah karakter nilai-nilai tersebut bersifat esoteric ketika terjadi proses
komunikasi relasi dan interaksi.

10
Gotong royong sebagai bentuk perwujudan dari kemanusiaan dan persatuan
Indonesia yang tidak di temukan di Negara lain kerja bakti bersama dan ronda
adalah salah satu contoh nyata karakter yang membedakan bangsa Indonesia
dengan bangsa lain:
1. Identitas meliputi nilai norma dan simbol ekspresi sebagai ikatan sosial untuk
membangun solidaritas dan konvesivitas sosial digunakan untuk menghadapi
kekuatan luar yang menjadi simbol ekspresi yang memberikan pembenaran
baik tindakan pada masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang,
sedangkan nasional berasal dari bangsa sendiri atau meliputi diri bangsa jadi
identitas nasional Indonesia ialah jati diri yang membentuk bangsa yaitu
berbagai suku bangsa, agama, bahasa Indonesia.
2. Perubahan karakter bangsa harus berangkat dari tindakan nyata yang kita
lakukan dalam mencapai sebuah bentuk karakter bangsa Indonesia yang
berasal dari nilai-nilai luhur kebudayaan yang sesungguhnya. Seperti yang saya
tuliskan di atas, kesalahan terbesar kita yang menyebabkan mulai hilangnya
karakter bangsa adalah terlupakannya nilai-nilai kebaikan yang ditanamkan
oleh orangtua kita semenjak kita dalam masa kanak-kanak, berawal dari
melupakan hal-hal kecil tersebutlah berakibat pada penghalalan terhadap
kesalahan besar yang dilakukan ketika kita mulai beranjak dewasa. Kapan
terakhir kali kita membuang sampah pada tempatnya? Kapan terakhir kali kita
menyeberang jalan di jembatan penyeberangan? Sudah berapa kali kita
berbohong? Kapan terakhir kali kita mengatakan “permisi” di depan
kerumunan orang? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi sebuah sentilan
yang mungkin kita anggap tidak ada substansinya dengan masalah karakter
bangsa. Hal tersebutlah yang menyebabkan mulai hilangnya ikatan sosial antar
masyarakat bangsa kita. Aristoteles mengatakan bahwa seseorang yang baik
tidak hanya mempunyai satu kebajikan, sikap dan tindak tanduk orang tersebut
adalah panduan moralita dalam segala hal (Hersh, et.al., 2009: 86). Seorang
yang berkarakter harus mampu memancarkan kebajikan yang berasal dari
kesamaan antara ucapan, sikap, dan perbuatan. Apa yang selama ini dilakukan
oleh bangsa kita untuk menemukan kembali karakter bangsa yang berada pada
titik nadir ini adalah baru pada tahap ucapan. Para teoritikus kita begitu asyik

11
berdialektika dan berucap bahwa bangsa kita sedang terpuruk, namun secara
tidak sadar sikap dan perbuatannya justru menyalahi teori-teori yang
diucapkannya selama Indonesia hanya mampu.

D. Islam dan Nasionalisme


Nasionalisme adalah suatu sikap politik dari masyarakat suatu bangsa yang
mempunyai kesamaan kebudayaan, dan wilayah serta kesamaan cita-cita dan
tujuan, dengan itu masyarakat suatu bangsa akan merasakan adanya kesetiaan yang
mendalam kepada bangsa itu sendiri. Nasionalisme diperlukan bagi seluruh
masyarakat Indonesia termasuk umat Islam, akan tetapi jika ada hal yang
kontradiktif antara sikap nasionalisme atau toleransi dengan ajaran Islam itu sendiri
maka agama harus di dahulukan dengan tidak mengartikan antinasionalisme.
Islam dan nasionalisme adalah dua sisi mata uang yang saling memberikan
makna. Keduanya tidak bias diposisikan secara dikotomi atau terpisahkan.
Nasionalisme selalu meletakkan keberagaman dan pluralitas sebagai konteks utama
yang darinya dapat melahirkan ikatan dasar yang menyatukan sebuah Negara dan
bangsa. Sebagai umat Islam hendaknya percaya bahwa nasionalisme tidak
bertentangan dengan Islam dan bahkan merupakan bagian dari Islam itu sendiri.
Dalam Al Qur’an surat Al-Baqarah ayat 126 diceritakan bahwa Nabi Ibrahim As
berdoa kepada Allah SWT agar negeri Mekkah dijadikan negeri yang aman dan
negeri yang diberi rezeki. Hal ini menunjukkan bahwa rasa kecintaan terhadap
bangsa (negeri) sudah ada ketika jaman Nabi Ibrahim As, tercermin dari doa yang
dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim: “dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: Ya
Tuhanku, Jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki
dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah
dan hari kemudian”.
Rasulullah Saw bersabda yang artinya “Cinta tanah air itu sebagian dari
iman”. Sejalan dengan firman Allah dan Hadits Nabi di atas, Hasan Al Bana
berpendapat bahwa menjadi seorang muslim yang baik, tidak berarti menjadi
seorang yang anti nasionalisme, karena nasionalisme tidak bertentangan dengan
ajaran Islam, melainkan keduanya bersenyawa.

12
Jadi dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nasionalisme yang
dimaksud mengandung nilai tentang kecintaan terhadap tanah air, mempererat
persaudaraan, dan bela Negara untuk membebaskan diri dari kolonialisme,
Nasionalisme dalam arti demikian, tentu tidak bertentangan dengan ajaran
Islam. Sebaliknya bahkan merupakan bagian dari Islam karena mencerminkan
nilai-nilai universalnya. Nasionalisme yang ditolak Islam adalah sikap fanatisme
dan kecintaan yang berlebihan terhadap bangsa dan Negara sehingga menimbulkan
banyak kemudharatan (bahaya) bagi pihak lain.

E. Globalisasi dan Tantangan Identitas Nasional


Kata “globalisasi” diambil dari kata global, yang artinya adalah universal.
Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali tergantung dari sisi mana
orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau
proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara
di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau
kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan
budaya masyarakat.
Globalisasi adalah proses penyebaran unsur-unsur baru, khususnya yang
menyangkut informasi secara mendunia melalui media cetak dan elektronik.
Khususnya, globalisasi terbentuk oleh adanya kemajuan di bidang komunikasi
dunia. Ada pula yang mendefinisikan globalisasi sebagai hilangnya batas ruang dan
waktu akibat kemajuan teknologi informasi. Globalisasi terjadi karena faktor-faktor
nilai budaya luar, seperti:
1. Selalu meningkatkan pengetahuan;
2. Patuh hukum;
3. Kemandirian;
4. Keterbukaan;
5. Rasionalisasi;
6. Etos kerja;
7. Kemampuan memprediksi;
8. Efisiensi dan produktivitas;
9. Keberanian bersaing; dan

13
10. Manajemen resiko.
Globalisasi terjadi melalui berbagai saluran, di antaranya:
1. Lembaga pendidikan dan dan ilmu pengetahuan;
2. Lembaga keagamaan;
3. Indutri internasional dan lembaga perdagangan;
4. Wisata mancanegara;
5. Saluran komunikasi dan telekomunikasi internasional;
6. Lembaga internasional yang mengatur peraturan internasional; dan
7. Lembaga kenegaraan seperti hubungan diplomatik dan konsuler.
Globalisasi berpengaruh pada hampir semua aspek kehidupan masyarakat.
Ada masyarakat yang dapat menerima adanya globalisasi, seperti generasi muda,
penduduk dengan statussosial yang tinggi, dan masyarakat kota. Namun, ada pula
masyarakat yang sulit menerima atau bahkan menolak globalisasi seperti
masyarakat di daerah terpencil, generasi tua yang kehidupannya stagnan, dan
masyarakat yang belum siap baik fisik maupun mental. Unsur globalisasi yang
sukar diterima masyarakat adalah sebagai berikut:
1. Teknologi yang rumit dan mahal;
2. Unsur budaya luar yang bersifat ideologi dan religi;
3. Unsur budaya yang sukar disesuaikan dengan kondisi masyarakat.
Unsur globalisasi yang mudah diterima masyarakat adalah sebagai berikut:
1. Unsur yang mudah disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat;
2. Teknologi tepat guna, teknologi yang langsung dapat diterima oleh
masyarakat;
3. Pendidikan formal di sekolah.
Globalisasi membawa dampak positif dan negatif terhadap perubahan sosial
dan budaya suatu masyarakat. Pada era globalisasi saat ini Identitas Nasional
menemui banyak sekali tantangan, misalnya saja seperti:
1. Lunturnya nilai-nilai luhur di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Contoh: pudarnya sikap kekeluargaan seperti gotong royong, selain itu orang-
orang lebih bersikap acuh tak acuh kepada sesama, dan tidak peduli dengan
keadaan disekitarnya.

14
2. Nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila belum sepenuhnya digunakan
sebagai acuan sikap dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya seperti
mencontek saat ujian, membuang sampah di sembarang tempat, dan masih
banyak lagi contoh yang lainnya.
3. Memudarnya rasa nasionalisme dan patriotisme. Contoh dari hal tersebut
adalah ketika seseorang lebih bangga menggunakan barang-barang atau produk
asing daripada produk yang dihasilkan oleh bangsa sendiri, lalu contoh yang
lainnya adalah ketika seseorang lebih membanggakan budaya asing daripada
budaya yang ada pada bangsa sendiri. Tentunya hal tersebut akan sangat
menyedihkan bila hal itu benar-benar terjadi. Padahal banyak orang asing yang
begitu bangga ketika memakai produk-produk buatan Indonesia dan
kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia sampai mereka rela
mempelajari kebudayaan-kebudayaan yang ada. Jadi kita sebagai warga negara
Indonesia harus bangga dengan semua yang dimiliki oleh Indonesia.
Lalu upaya yang seperti apa yang dapat kita lakukan untuk mempertahankan
Identitas Nasional? Upaya yang dapat kita lakukan adalah dengan cara sebagai
berikut:
1. Mempererat persatuan dan kesatuan dengan tetap menjaga silaturahmi dengan
sesama, tidak besikap individualisme, apabila ada orang yang mebutuhkan
bantuan kita menolongnya dengan ikhlas, karena sejatinya kita adalah makhluk
sosial yang pasti sangat membutuhkan bantuan orang lain di dalam
menjalankan sebuah kehidupan bermasyarakat.
2. Dengan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila. Dengan
cara tidak mencontek saat ujian, mematuhi peraturan yang ada, dan masih
banyak lagi hal-hal yang dapat kita lakukan dalam mempertahankan Identitas
Nasional walaupun itu dengan hal-hal yang kecil. Karena, suatu hal yang besar
pastilah berawal dari hal yang kecil. Jadi, jangan malu untuk melakukan hal-
hal kecil yang bersifat positif tersebut. Malulah ketika kalian melakukan
sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang terantum dalam nilai-nilai
Pancasila.

15
3. Dengan mengembangkan rasa cinta tanah air atau rasa nasionalisme pada diri
kita. Misalnya seperti membaca buku-buku tentang perjuangan para pahlawan,
lebih mencintai produk lokal dengan cara bangga menggunakan produk buatan
lokal, selain itu kita juga dapat mempelajari kebudayaan-kebudayaan yang ada
pada daerah tempat tinggal masing-masing agar budaya tersebut tetap lestari
dan tidak luntur atau bahkan hilang dimakan oleh zaman.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari beberapa pembahasan di atas bisa diambil menjadi beberapa simpulan
diantaranya:
1. Identitas nasional suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dengan jati diri suatu
bangsa atau yang lebih popular disebut sebagai kepribadian suatu bangsa.
2. Lahirnya paham nasionalisme diikuti dengan terbentuknya negara-negara
kebangsan yang dilatarbelakangi oleh faktor-faktor persamaan keturunan,
bahasa, adat-istiadat, tradisi dan agama.
3. Negara bangsa adalah Negara yang lahir dari kumpulan bangsa-bangsa Negara
Indonesia sulit terwujud apabila para raja bersikukuh dengan otoritas dirinya
dan ingin mendirikan negaranya sendiri.
4. Nasionalisme adalah suatu sikap politik dari masyarakat suatu bangsa yang
mempunyai kesamaan kebudayaan, dan wilayah serta kesamaan cita-cita dan
tujuan, dengan itu masyarakat suatu bangsa akan merasakan adanya kesetiaan
yang mendalam kepada bangsa itu sendiri.
5. Globalisasi adalah proses penyebaran unsur-unsur baru, khususnya yang
menyangkut informasi secara mendunia melalui media cetak dan elektronik.

B. Kritik dan Saran


Dari pemaparan kami di atas mungkin banyak kekeliruan atau kesalahan
dalam penuliasan, oleh karena itu kami mohon sarannya agar kami bisa belajar dan
memperbaiki kesalahan kami. Atas kekurangannya kami mohon maaf.

17
DAFTAR PUSTAKA

Adams, Ian. (2004). Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik dan Masa
Depannya. Yogyakarta: Qalam.

Chotib. (2007). Sikap Nasionalisme. Jakarta: Bumi Citra.

George, McTurnan Kahin. (2013) Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Depok:


Komunitas Bambu.

Hering, Bob. (2003). Soekarno Bapak Indonesia Merdeka: Sebuah Biografi 1901-
1945. Jakarta: Hasta Mitra.

https://www.kompasiana.com/ramadhansuryailmiawan8657/5b4ca7c1caf7db20d3
3883b2/sejarah-nasionalisme-di-indonesia?page=2 (diakses pada hari
Sabtu tanggal 11 September 2021 Pkl. 07.00 WIB).

Kaelan, M.S. (2007). Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Paradigma.

Parakitri, T. Simbolon. (1995). Menjadi Indonesia: Akar-Akar Kebangsaan


Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Smith, A.D. (2003). Nasionalisme: Teori, Ideologi, Sejarah. Jakarta: Erlangga.

18

Anda mungkin juga menyukai