Vademecum Kehutanan
Vademecum Kehutanan
)
di Arboretum R. Soewanda Among Prawira, Bogor
Foto sampul: Raditya Arief Gautama
Penerbit
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Penanggung Jawab
Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi
Kontributor
Abdurachman, Acep Akbar, Achmad Supriadi, Adi Santoso, Agus Ismanto, Andi Gustiani Salim,
Andianto, Ari Wibowo, Arya Soka, Asep Hidayat, Asep Sukmana, Asmanah Widiarti, Ayu Dewi Utari,
Ayun Windyoningrum, Beny Harjadi, Bintoro, Budi Hadi Narendra, Budi Leksono, Casimerus Yudi
Lastiantoro, D. Martono, Darwo, Dewi Retna Indrawati, Dhany Yuniati, Dian Anggraini Indrawan,
Djarwanto, Djeni Hendra, Dona Octavia, Donny Wicaksono, Dulsalam, Dyah Puspasari, Efrida Basri,
Endro Subiandono, Enny Widyati, Epi Syahadat, Esti Rini Satiti, Gunawan Pasaribu, Gustan Pari,
Han Roliadi, Hani Sitti Nuroniah, Haruni Krisnawati, Hendra Gunawan, Husnul Khotimah, I Wayan
S. Dharmawan, I.M. Sulastiningsih, Ignatius Adi Nugroho, Illa Anggraeni, Indah Rahmawati, Irfan
Budi Pramono, Irma Yeny, Ismatul Hakim, Ismayadi Samsoedin, Jamal Balfas, Jamaludin Malik, Jasni,
Kun Estri Maharani, Kuntadi, Lincah Andadari, Listya Mustika Dewi, Lukas Rumboko Wibowo, Lutfy
Abdullah, M. I. Iskandar, M. Muslich, Magdalena, Marfuah Wardani, Mega Lugina, Minarningsih, Mira
Yulianti, Murniati, Nana Haryanti, Neo Endra Lelana, Niken Sakuntaladewi, Nilam Sari, Nina Mindawati,
Nining Wahyuningrum, Nunung Puji Nugroho, Nurwati Hadjib, Pratiwi, Pudjo Setio, Purwanto, R.
Deden Djaenuddin, R. Garsetiasih, Ragil S.B. Irianto, Ratih Damayanti, Retisa Mutiaradevi, Retno
Agustarini, Retno Maryani, Rinaldi Imanuddin, Rosita Dewi, Rozza Tri Kwatrina, Santiyo Wibowo,
Setiasih Irawanti, Soenarno, Sona Suhartana, Sri Suharti, Subarudi, Sulistya Ekawati, Syafari Kosasih,
Sylvana Ratina, Sylviani, Tati Rostiwati, Titi Kalima, Titiek Setyawati, Totok K. Waluyo, Tri Wira Yuwati,
Tuti Herawati, Tutik Sriyati, Ujang Wawan Darmawan, Wa Ode Muliastuty Arsyad, Wahyu Catur
Adinugroho, Wesman Endom, Wida Darwiati, Yanto Rochmayanto, Yayuk Siswiyanti, Yelin Adalina, Yeni
Nuraeni, Yetti Heryati, Yulianti, Yuniawati
Fasilitator
Yayuk Siswiyanti, Maidiward, Ignatius Adi Nugroho, Ariyanto Wibowo, Dyah Puspasari, Tutik Sriyati,
Indah Rahmawati, Lusi Sartika Ginoga, Nurva Chaily, Alhusna Padmawijaya, Suhardi Mardiansyah
Foto Sampul
Raditya Arief Gautama
Siti Nurbaya
Seruan Rimba
(Mars Rimbawan)
Hawaian Forester
This is forester
Cikulele song
Cikulelei
Cikulele song
Hawaiian forester
of the hula hula dancing
Like the golden of my dream
My heart is smiling
This is forester
Cikulele song
Cikulelei
Cikulele song
Alohai.. Alohai..
until we meet again
Alohai.. Alohai..
until we meet again
SEPATAH KATA
KEPALA BADAN PENELITIAN,
PENGEMBANGAN DAN INOVASI
1. Nama :
2. Jenis kelamin :
3. Tempat/tanggal lahir :
4. Golongan darah :
6. Alamat kantor :
7. Jabatan :
Carbon Footprint (CF) merupakan suatu ukuran jumlah total dari hasil emisi karbon dioksida
yang secara langsung maupun tidak langsung disebabkan oleh aktivitas atau akumulasi yang
berlebih dari penggunaan produk dalam kehidupan sehari-hari, misalnya pembakaran bahan
bakar fosil dari penggunaan kendaraan bermotor. Terdapat 2 macam CF, yakni Footprint
Primer dan Sekunder.
Yang dimaksud dengan CF Primer adalah ukuran emisi CO2 yang bersifat langsung, dimana
emisi ini didapat dari hasil pembakaran bahan bakar fosil seperti kendaraan dan transportasi
lainnya. Sementara CF sekunder adalah ukuran emisi CO2 yang bersifat tidak langsung,
diperoleh dari daur ulang produk yang kita gunakan seperti dari penggunaan listrik dan
sebagainya.
Menghitung jejak karbon akan menolong individu untuk mengetahui seberapa besar
sumbangan emisi karbon yang telah diberikan ke bumi pada suatu periode tertentu. Contoh
penghitungan CF yang paling sederhana adalah konsumsi energi.
1. Konsumsi energi, biasanya tenaga listrik;
2. Perjalanan dengan menggunakan motor/mobil, atau
3. Perjalanan dengan menggunakan pesawat.
Nilai CF bisa ditelusuri dengan bantuan website kalkulator yang sudah tersedia secara daring.
Selain membantu menghitung pola konsumsi energi, juga tersedia informasi karbon yang
dihasilkan oleh barang-barang yang dipakai setiap hari. Setelah melakukan kalkulasi, akan
dapat dilihat konsumsi barang apa yang bisa dikurangi untuk bisa mengurangi CF harian.
Selamat mencoba, dan ikut berkontribusi menyelamatkan bumi, satu-satunya planet tempat
kita hidup saat ini.
Daftar Isi
Tabel 5.23. Suhu minimum-maksimum pengeringan berdasarkan tingkat kerusakan kayu - 355
Tabel 5.24. Bagan pengeringan kayu berbasis air - 356
Tabel 5.25. Perbedaan pengeringan kayu secara alami dan pengeringan - 357
Tabel 5.26. Hubungan antara tebal kayu dengan tebal dan jarak ganjal - 359
Tabel 5.27. Klasifikasi keterawetan kayu - 363
Tabel 5.28. Pestisida untuk pencegahan sementara untuk dolok dan kayu gergajian - 363
Tabel 5.29. Konsentrasi bahan pengawet berdasarkan berat bahan yang dilarutkan - 368
Tabel 5.30. Klasifikasi daya tahan bambu terhadap rayap tanah - 375
Tabel 5.31. Klasifikasi daya tahan bambu terhadap kayu kering - 375
Tabel 5.32. Klasifikasi daya tahan bambu terhadap jamur pelapuk - 376
Tabel 5.33. Klasifikasi berat jenis (kerapatan) rotan - 385
Tabel 5.34. Klasifikasi mutu rotan berdasarkan kekakuan (MOE) - 386
Tabel 5.35. Klasifikasi mutu rotan berdasarkan kelenturan (MOR) - 386
Tabel 5.36. Klasifikasi radius lengkung rotan - 387
Tabel 5.37. Klasifikasi daya tahan rotan terhadap kumbang bubuk - 388
Tabel 5.38. Klasifikasi daya tahan rotan terhadap rayap tanah - 389
Tabel 5.39. Sifat fisika-kimia lemak tengkawang dari beberapa jenis pohon - 391
Tabel 5.40. Analisis asam lemak tengkawang dari berbagai jenis pohon - 391
Tabel 5.41. Syarat mutu damar mata kucing secara visual - 396
Tabel 5.42. Klasifikasi mutu gondorukem - 397
Tabel 5.43. Spesifikasi persyaratan mutu gondorukem (syarat umum) - 397
Tabel 5.44. Spesifikasi persyaratan mutu gondorukem (syarat khusus) - 397
Tabel 5.45. Klasifikasi mutu shellak - 398
Tabel 5.46. Spesifikasi persyaratan mutu shellak (syarat umum) - 398
Tabel 5.47. Persyaratan mutu lak butiran - 398
Tabel 5.48. Syarat mutu arang kayu (SNI 01-1683-1989) - 413
Tabel 5.49. Syarat mutu briket arang kayu (SNI 01-6235-2000) - 414
Tabel 5.50. Syarat mutu arang aktif teknis (SNI 06-3730-1995) - 417
Tabel 5.51. Komponen kimia cuka kayu - 422
Tabel 5.52. Unsur hara makro dan mikro pupuk cair organik dari cuka kayu - 422
Tabel 5.53. Daftar SNI Komite Teknis 79-01 Hasil Hutan Kayu - 438
Tabel 5.54. Daftar SNI Komite Teknis 65-02 Hasil Hutan Bukan Kayu - 439
Tabel 5.55. Daftar SNI Komite Teknis 79-01 Hasil Hutan Kayu (Produk Lainnya) - 440
Tabel 5.56. Daftar SNI Komite Teknis 65-02 Hasil Hutan Bukan Kayu- 440
Tabel 5.57. Daftar SNI Komite Teknis 79-01 Hasil Hutan Kayu (Panel Kayu) - 441
Tabel 5.58. Daftar SNI Komite Teknis 79-01 Hasil Hutan Kayu (SNI Harmonisasi) - 442
Tabel 6.1. Kerangka kerja instrumen kinerja KPH - 458
Tabel 6.2. Kriteria dan indikator kinerja input (prasyarat) - 459
Tabel 6.3. Kriteria dan indikator kinerja proses (operasionalisasi KPH) - 460
Tabel 7.1. Kategori perhutanan sosial dan statusnya - 465
Tabel 7.2 Contoh implementasi hutan desa di Indonesia - 473
Tabel 7.3. Prinsip penyelenggaraan HKm - 479
Tabel 7.4. Beberapa model HKm yang telah berhasil - 481
Tabel 7.5. Prinsip penyelenggaraan HTR - 466
Tabel 7.6. Contoh implementasi HTR di Indonesia - 488
Tabel 7.7. Tahapan pelaksanaan kemitraan konservasi - 494
Tabel 8.1. Angka default nisbah akar - 531
Tabel 8.2. Perbandingan carbon footprint produk kayu gergajian berbagai jenis - 539
Daftar Gambar
Gambar 1.1. Sejarah vademecum kehutanan Indonesia - 2
Gambar 2.1. Sistem kehutanan disusun menurut interaksi antarkomponen biofisik dan sosial
pembentuknya - 7
Gambar 2.2. Sistem kehutanan disusun menurut interaksi antarkomponen kegiatan dalam
pengurusan hutan - 7
Gambar 2.3. Berbagai pilihan pemulihan ekosistem terdegradasi - 14
Gambar 3.1. Distribusi plot contoh dalam systematic sampling - 23
Gambar 3.2. Bentuk petak ukur permanent sampling plot (PSP) NFI - 25
Gambar 3.3. Bentuk petak ukur dalam IHMB di hutan alam - 26
Gambar 3.4. Pengukuran diameter - 27
Gambar 3.5. Bagian-bagian phi band - 27
Gambar 3.6. Bagian-bagian caliper - 27
Gambar 3.7. Bagian-bagian biltmore stick - 28
Gambar 3.8. Bagian-bagian bitterlich stick - 28
Gambar 3.9. Bagian-bagian spiegel relascope bitterlich - 29
Gambar 3.10. Cara pembacaan spiegel relascope bitterlich untuk pengukuran diameter - 29
Gambar 3.11. Criterion Dendrometer - 29
Gambar 3.12. Posisi tinggi pohon - 30
Gambar 3.13. Beberapa pengukuran tinggi pohon - 30
Gambar 3.14. Cara pengukuran tinggi pohon - 30
Gambar 3.15. Beberapa alat ukur tinggi pohon - 31
Gambar 3.16. Posisi KPH terhadap ijin pemanfaatan dan penggunaan hutan - 35
Gambar 3.17. Posisi dan keterkaitan rencana-rencana kehutanan dengan berbagai kegiatan
perencanaan lainnya - 43
Gambar 3.18. Contoh grafik sebaran pohon menurut diameter dan tinggi - 50
Gambar 4.1. Strategi pemilihan jenis tanaman - 119
Gambar 4.2. Penampang melintang akar yang berasosiasi dengan mikoriza - 194
Gambar 4.3. Contoh hama tanaman hutan - 200
Gambar 4.4. Contoh penyakit tanaman hutan - 202
Gambar 4.5. Segitiga api - 204
Gambar 4.6. Diagram alir analisis tipologi DAS - 219
Gambar 4.7. Tujuan dan sasaran pengelolaan DAS aspek tata air - 221
Gambar 4.8. Tujuan dan sasaran pengelolaan DAS aspek lahan - 221
Gambar 4.9. Tujuan dan sasaran pengelolaan DAS aspek kesejahteraan masyarakat - 222
Gambar 4.10. Siklus proses perencanaan pengelolaan DAS terpadu - 222
Gambar 4.11. Flow chart pelaksanaan pengelolaan DAS - 227
Gambar 5.1. Wesyano-alat ukur diameter pohon - 270
Gambar 5.2. Algromek-alat deteksi gerowong kayu - 271
Gambar 5.3. Struktur perencanaan pemanenan kayu - 277
Gambar 5.4. Kegiatan sebelum penebangan - 285
Gambar 5.5. Penentuan arah rebah pohon - 286
Gambar 5.6. Bentuk dan ukuran takik rebah - 267
Gambar 5.7. Takik tebang dan takik balas - 288
Gambar 5.8. Pembuatan takik rebah dan takik balas di hutan alam dan tanaman - 288
Gambar 5.9. Gergaji selang lengkung - 288
Gambar 5.10. Gergaji rantai - 289
Gambar 5.11. Timber harvester di IUPHHK-HT Eucalyptus sp di Jambi - 289
Gambar 5.12. Pengeluaran kayu dengan gaya berat pada uji coba di Kp. Cigalasar - 292
xii Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Daftar Gambar
Gambar 5.59. Tungku drum yang dilengkapi dengan proses kondensasi sistem sirkulasi - 420
Gambar 5.60. Alat pembuatan pelet kayu sistem manual - 427
Gambar 5.61. Alat pembuatan pelet kayu sistem kontinyu - 427
Gambar 5.62. Bentuk konstruksi sunggau dan cara pemasangannya - 434
Gambar 5.63. Cara pemasangan tikung - 435
Gambar 5.64. Bentuk konstruksi tingku - 435
Gambar 6.1. Pertumbuhan KPH sebagai sebuah organisasi publik - 458
Gambar 7.1. Bagan alir permohonan hutan desa kepada Menteri LHK - 464
Gambar 7.2. Bagan alir permohonan hutan desa kepada Gubernur - 470
Gambar 7.3. Bagan alir permohonan HKm kepada Menteri LHK - 477
Gambar 7.4. Bagan alir permohonan HKm kepada Gubernur - 478
Gambar 7.5. Bagan alir permohonan IUPHHK-HTR kepada Menteri LHK - 485
Gambar 7.6. Bagan alir permohonan persetujuan kemitraan kehutanan ke MenLHK - 488
Gambar 7.7. Bagan alir permohonan hutan adat kepada Menteri LHK - 508
Gambar 8.1. Bentuk plot pengukuran karbon hutan - 529
Gambar 8.2. Rumus dasar penghitungan emisi/serapan karbon pada sektor lahan - 533
Gambar 8.3. Alur proses QC umum untuk subsektor/unit pelaksana - 535
Gambar 8.4. Alur proses QA/QC umum untuk penanggung jawab IGRK Nasional - 535
Gambar 8.5. Ilustrasi sistem perdagangan izin emisi - 542
Daftar Kotak
Lampiran 1. Persyaratan tempat tumbuh beberapa jenis pohon untuk hutan tanaman di
lahan asam dan di lahan basah - 550
Lampiran 2. Kesesuaian lahan beberapa jenis pohon untuk hutan tanaman berdasarkan
klasifikasi FAO - 556
Lampiran 3. Penanganan benih ortodok - 562
Lampiran 4. Penanganan benih intermediate - 571
Lampiran 5. Penanganan benih rekalsitran - 580
Lampiran 6. Musim berbuah dan puncak buah masak beberapa tanaman hutan - 587
Lampiran 7. Jumlah benih per kg (butir) beberapa tanaman hutan - 590
Lampiran 8. Nilai kerapatan dan penyusutan beberapa jenis kayu Indonesia - 593
Lampiran 9. Persyaratan teknis kayu untuk berbagai penggunaan - 594
Lampiran 10. Sifat dan kegunaan jenis-jenis kayu perdagangan Indonesia - 595
Lampiran 11. Bagan pengeringan yang dianjurkan untuk 80 jenis kayu Indonesia - 598
Lampiran 12. Keterawetan 96 jenis kayu terhadap bahan pengawet - 600
Lampiran 13. Perbandingan karakteristik hasil hutan kayu dengan HHBK - 602
Lampiran 14. Kandungan komponen kimia lemak tengkawang (% relatif) - 603
Pohon Hopea bancana (Boerl.) Slooten
Tahun tanam: 1949
Lokasi: Arboretum R. Soewanda Among Prawira
Badan Litbang dan Inovasi, Bogor
Raditya Arief Gautama
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian
Vademecum, menurut buku The Oxford
Dictionary of Phrase and Fable, adalah
sebuah frasa dalam bahasa Latin yang
berarti ‘go with me’. Vade mecum dalam
kamus tersebut berarti sebuah buku
pegangan, panduan, pedoman yang selalu 1. Vademecum Kehutanan Indonesia 1976
tersedia untuk konsultasi, dan juga portabel yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal
atau mudah dibawa menurut Dictionary of Kehutanan, Departemen Pertanian.
English Manuscript Terminology 1450–2000 2. Manual Kehutanan 1992
(Beal, 2011). 3. Buku Panduan Kehutanan Indonesia
1998
Istilah ini menurut kamus Merriam-Webster
pertama kali digunakan pada 1629 sebagai 4. Panduan Kehutanan Indonesia 1999
sebuah judul buku “Vade Mecum: A
Selanjutnya pada tahun 2013, diinisiasi oleh
Manuall of Essayes Morrall, Theologicall.
Badan Litbang Kehutanan, Kementerian
Saat ini Vade Mecum terutama ditemui
Kehutanan, dilakukan rangkaian
pada karya-karya yang berfungsi sebagai
pembahasan untuk memperbarui materi
sebuah referensi atau panduan untuk
Panduan Kehutanan Indonesia 1999
subjek tertentu.
tersebut. Kegiatan ini menghasilkan draf
Buku Vademecum Kehutanan Indonesia Buku Panduan Kehutanan Indonesia 2014.
ini didefinisikan sebagai pedoman ringkas Draf tersebut selanjutnya disempurnakan
tentang hutan dan kehutanan Indonesia. menggunakan hasil iptek dan inovasi terkini
Buku ini diperuntukkan bagi para rimbawan yang diterbitkan menjadi Vademecum
dan para pihak yang dalam kesehariannya Kehutanan Indonesia 2020.
berkecimpung dalam kegiatan yang
memerlukan informasi tentang hutan dan
kehutanan. C. Urgensi
Sejarah dunia menunjukkan bahwa
penguasaan ilmu pengetahuan dan
B. Sejarah
teknologi (iptek) menjadi tolok ukur dalam
Sejarah vademecum kehutanan Indonesia kemajuan satu bangsa. Negara-negara
dimulai pada tahun 1971, dengan yang telah menerapkan kebijakan untuk
diterbitkannya almanak kehutanan. Dalam mengembangkan ilmu pengetahuan,
perjalanannya, almanak ini mengalami telah melahirkan teknologi-teknologi yang
perubahan menyesuaikan dengan sangat bermanfaat dan berdayaguna,
perkembangan ilmu pengetahuan dan sehingga berhasil menjadikan negaranya
praktik-praktik pengelolaan hutan, yang sebagai negara maju dan mencapai taraf
kemudian melahirkan: kesejahteraan yang lebih baik.
2 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pendahuluan
“…Tidak ada dasar lain dari kebijakan politik pengelolaan hutan maupun memerlukan
yang tepat selain bukti/fakta ilmiah terbaik informasi terkait hutan dan kehutanan.
yang ada. Hal ini khususnya berlaku dalam
bidang pengelolaan sumber daya dan Oleh karenanya ketersediaan informasi
perlindungan lingkungan.” iptek dan inovasi tentang hutan dan
kehutanan terkini yang praktis, mudah dan
Brundtland (1997) dalam Mrosovsky (1997) cepat diakses, menjadi sangat penting.
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 ini
Kutipan di atas secara tegas menyatakan hadir untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
pentingnya peran iptek dalam pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan, termasuk
sumber daya hutan di dalamnya. Indonesia
sebagai pemilik hutan hujan tropis terluas D. Ruang Lingkup
ketiga, setelah Brasil dan Kongo, tentu
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 ini
menghadapi berbagai tantangan dalam
terdiri atas 8 bab yang mencakup informasi
pengelolaannya secara berkelanjutan
konseptual dan praktis tentang hutan dan
termasuk mengelola dampak lingkungan
kehutanan Indonesia, yakni:
yang ditimbulkannya.
I. Pendahuluan
Di sinilah peran iptek sangat dibutuhkan II. Hutan, Kawasan Hutan dan Kehutanan
untuk mendukung pembangunan sektor
III. Perencanaan Kehutanan
lingkungan hidup dan kehutanan, serta
mengakomodasi perkembangan lingkungan IV. Pengelolaan Hutan
strategis yang terus terjadi. V. Teknologi Pengolahan Hasil Hutan
VI. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
Pada era teknologi 4.0 saat ini, ilmu
kehutanan tetap menjadi suatu hal yang VII. Perhutanan Sosial
relevan dan sangat dibutuhkan oleh VIII. Perubahan Iklim Sektor Kehutanan
semua pihak yang berkecimpung dalam
Bahan Bacaan
Beal, P. (2011). Dictionary of English Manuscript Terminology 1450–2000. Diambil kembali dari
https://www.oxfordreference.com/view/10.1093/acref/9780199576128.001.0001/
acref-9780199576128
Knowles, E. ed. (2006). The Oxford Dictionary of Phrase and Fable. (2006). Diambil kembali dari
https://www.oxfordreference.com/view/10.1093/acref/9780198609810.001.0001/
acref-9780198609810
Merriam-Webster. (2020). Dictionary. Diambil kembali dari https://www.merriam-webster.com/
dictionary/vade%20mecum
Mrosovsky, N. (1997). IUCN’s credibility critically endangered. Nature 389, 436. https://doi.
org/10.1038/38873.
Aktivitas Masyarakat di Hutan Nipah
Efendi Agus Waluyo
BAB II
HUTAN, KAWASAN
HUTAN, DAN
KEHUTANAN
“Definisi kerja” ini mendefinisikan hutan Kehutanan sebagai sistem mengandung arti
sebagai “suatu areal lahan lebih dari 6,25 sistem pengurusan yang bersangkut paut
ha dengan pohon-pohon lebih tinggi dari dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil
5 meter pada waktu dewasa dan tutupan hutan yang diselenggarakan secara terpadu
kanopi lebih dari 30 persen”. Keputusan (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999).
untuk memperluas menjadi 6,25 ha sebagai
luas areal minimum suatu lahan untuk hutan Sebagai sebuah sistem, kehutanan
dapat digambarkan dalam bentuk
menurut “definisi kerja” didorong oleh
diagram ketergantungan antarkomponen
pertimbangan pengukuran dan penafsiran
sistem dilihat dari bentuk hubungan
visual: 6,25 ha adalah areal terkecil yang antarkomponen biofisik dan sosial (Gambar
dapat diukur dengan satelit, diplotkan 2.1) dan hubungan antarkegiatan dalam
pada 0,25 cm2, dan dipetakan pada skala pengurusan hutan (Gambar 2.2)
penafsiran 1:50.000 (KLHK, 2018).
Kehutanan, dalam Suhendang (2013), pada
kehidupan sehari-hari dapat mengandung
berbagai arti dan lazimnya berhubungan
dengan kegiatan, ilmu pengetahuan,
profesi, dan sistem. Kehutanan sebagai
kegiatan mengandung arti kegiatan
yang bersangkutan dengan hutan dan
pengurusannya, serta pengelolaan hutan
secara ilmiah untuk kelangsungan hasil
berupa benda dan jasa (Shadily dalam Gambar 2.2. Sistem kehutanan disusun menurut
interaksi antarkomponen kegiatan dalam
Endang, 2013). pengurusan hutan (Suhendang, 2013)
Kehutanan sebagai ilmu pengetahuan
membahas berbagai hal yang berkenaan B.2. Kawasan Hutan
dengan praktik pembangunan,
pengelolaan, pengonservasian hutan secara Indonesia mengenal istilah kawasan hutan.
Kawasan ini menurut Undang-Undang
berkelanjutan. Kehutanan sebagai profesi
Nomor 41 Tahun 1999 pasal 1 angka 3,
berkenaan dengan ilmu pengetahuan, seni,
adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan
praktik, dalam membangun, mengelola, atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk
menggunakan, mengonservasi hutan dan dipertahankan keberadaannya sebagai
sumber daya lain nya. hutan tetap. Namun sejak 21 Februari
2012, frasa “ditunjuk dan atau” dalam pasal
1 angka 3 tersebut tidak lagi mempunyai
kekuatan hukum mengikat berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/
PUU-IX/2011.
Menurut hukum Indonesia, wilayah atau
kawasan yang secara sah ditetapkan
sebagai “Kawasan Hutan” berada di bawah
kewenangan Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan. Kawasan Hutan
Gambar 2.1. Sistem kehutanan disusun menurut memiliki wilayah yang ditutupi hutan atau
interaksi antarkomponen biofisik dan sosial “berhutan” dan wilayah yang tidak ditutupi
pembentuknya (Suhendang, 2013) hutan atau “tidak berhutan”.
8 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Hutan, Kehutanan dan Kawasan Hutan
Pohon-pohon yang umum dijumpai pada m dpl. Vegetasinya campuran jenis hutan
semua tipe HRG adalah Garcinia spp., Shorea malar basah seperti Dacrycarpus imbricatus,
spp., Palaquium spp., Campnosperma Palaquium, Planchonela dengan jenis
auriculatum, dan Eugenia spp. Sedangkan pohon tahan api Casuarina junghuhniana
jenis pohon pada pole forest yang biasanya dan jenis endemik Eucalyptus europhylla
dijumpai di kubah gambut adalah Eugenia yang di beberapa tempat mendominasi.
spp., Calophyllum costulatum, Shorea
spp., Pandanus atrocarpus dan jenis-jenis Tegakan terbaik dari hutan ini dapat
Pandanus lainnya (Rieley & Ahmad-Shah, ditemukan di Gunung Mutis, Pulau Timor.
1966 dalam Gunawan et al., 2012). Di Jawa Timur, semua gunung tinggi
dengan elevasi di atas 1400 m dpl tertutup
oleh hutan Casuarina junghuhniana.
F.5. Hutan Kerangas Hutan ini merupakan puncak suksesi yang
bermula dari kebakaran, diikuti dengan
Di daerah hutan hujan pada lahan datar dan
pertumbuhan kembali jenis ini.
hutan hujan bukit rendah, seringkali terlihat
dari udara mosaik-mosaik kanopi hutan
yang berbeda dari hutan di sekelilingnya. F.7. Savana Monsun
Warnanya hijau kelabu dengan permukaan
yang seragam dan dengan tinggi pohon Savana merupakan ekosistem khas wilayah
yang relatif sama. dengan curah hujan rendah. Ekosistem ini
terdapat di Jawa Timur, Bali Barat, NTB,
Mosaik-mosaik ini adalah hutan kerangas NTT, Sulawesi Tenggara dan Papua bagian
yang umumnya terdapat dalam kawasan tenggara. Ekosistem savana didominasi oleh
hutan hujan dataran rendah pada elevasi padang rumput atau semak pendek dengan
0-800 m, terutama di Kalimantan, Sumatra pohon-pohon yang tumbuh terpencar
dan Papua, pada tanah podsol (spodosol). dan jarang, dengan tajuk yang tidak
Tanah biasanya sangat miskin hara dan bersentuhan. Jenis rumput yang dominan
masam. Air yang mengalir dari hutan di ekosistem savana adalah Heteropogon
kerangas biasanya bening tetapi berwarna contortus (Kartawinata, 2013).
seperti air teh.
Komposisi flora hutan kerangas bervariasi F.8. Hutan Tanaman
tergantung kedalaman tanah dan
Menurunnya produktivitas hutan alam
ketersediaan air. Secara umum jenis-jenis
sementara kebutuhan kayu semakin
tumbuhan yang dapat ditemukan di hutan
meningkat, mendorong pemerintah
kerangas diantaranya Casuarina nobilis,
membangun hutan tanaman. Menurut FAO
Cotylelobium burckii, C. Malayanum,
(2018) dalam Forest Resources Assessment
Cratoxylum glaucum, C. Arborescens,
(FRA) 2020, hutan tanaman didefinisikan
Combretocarpus rotundatus, Dacrydium
sebagai hutan yang pada saat dewasa
elatum. Terdapat pula jenis-jenis pohon
sebagian besar terdiri dari pohon-hasil
dari famili Dipterocarpaceae seperti Shorea
penanaman dan/atau pembibitan secara
balangeran, S. Coriacea, dan S. Havilandii
sengaja. Hutan tanaman dikelola secara
(Kartawinata, 2013).
intensif, yang pada saat dewasa terdiri dari
satu atau dua spesies, memiliki satu kelas
F.6. Hutan Pegunungan Monsun umur, dan jarak pohon yang teratur. Hutan
yang ditanami untuk tujuan restorasi atau
Tipe hutan ini disebut juga hutan perlindungan ekosistem dan hutan yang
pegunungan musiman. Terutama terdapat menyerupai hutan alam pada saat tegakan
di Nusa Tenggara pada elevasi 1000-1200
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 13
Hutan, Kehutanan dan Kawasan Hutan
penebangan liar; perambahan dan okupasi dialami oleh sebuah ekosistem (Bradshaw,
lahan pada kawasan hutan serta kebakaran 1987). Degradasi mendorong terjadinya
hutan. Meski bukti juga menunjukkan pengurangan nilai salah satu atau kedua
bahwa kebakaran hutan adalah akibat dari atribut tersebut, bahkan tidak jarang
deforestasi dan degradasi hutan. Penyebab melenyapkannya. Ekosistem terdegradasi
lainnya seperti pembangunan infrastruktur, biasanya akan berupaya menyembuhkan
permintaan untuk ekspor kayu bulat, dirinya sendiri melalui proses alami dari
pertumbuhan dan kepadatan penduduk, suksesi primer (Miles dan Walton, 1993).
urbanisasi dan perluasan daerah perkotaan, Suksesi alami pada ekosistem darat
harga-harga komoditas (kayu bulat, kelapa berlangsung lebih lambat, bahkan dapat
sawit, batu bara, bauksit, dan nikel), amat sangat lambat, karena degradasi tidak
aksesibilitas geografis Indonesia terhadap
jarang menyisakan substrat yang bersifat
pasar, kemiskinan, keamanan penguasaan
merusak yang tidak dapat diperbaiki sendiri
lahan dan konflik, serta upah dan pekerjaan
oleh alam (Bradshaw, 2002).
pasca panen. (KLHK, 2018).
Ada beberapa istilah yang umum digunakan
H. Rehabilitasi, Remediasi, Reklamasi, dalam memulihkan ekosistem terdegradasi
Reboisasi dan Restorasi yaitu rehabilitasi, remediasi, reklamasi,
reboisasi dan restorasi. Penjelasan empat
Sebuah ekosistem memiliki dua atribut istilah pertama dapat ditemukan pada
utama, yaitu struktur dan fungsi, yang Oxford English Dictionary (1971) dalam
dapat digunakan untuk menentukan Bradshaw (2002) dan disederhanakan
dan menggambarkan kerusakan yang seperti Gambar 2.3.
Rehabilitasi didefinisikan sebagai the action simpan air tanah. Karena itu terjadinya
of restoring a thing to a previous condition pergeseran spesies atau komunitas tanaman
or statue. Definisi itu mirip dengan definisi bukanlah sebuah masalah yang perlu
restorasi. Perbedaannya adalah rehabilitasi dipikirkan jalan keluarnya. Waktu biasanya
tidak memiliki implikasi kesempurnaan menjadi kendala utama, hasil reboisasi
sama sekali karena ekosistem yang biasanya harus dapat dirasakan dalam
direhabilitasi tidak diharapkan menjadi waktu singkat. Waktu yang terlalu panjang
serupa atau sesehat ekosistem sebelum berarti akan memperlama terjadinya erosi
terdegradasi (Francis et al., 1979), upaya- dan meningkatkan dampak offsite erosion.
upaya yang dilakukan hanya bertujuan
mengubah gatra-gatra komunitas tanaman Kata restoration bermakna to act of
saja (Young & Chan, 1997). Definisi yang restoring to former state or position or to
lebih tepat untuk rehabilitasi lahan adalah an unimpaired or perfect condition. Kata
perbaikan-perbaikan yang dilakukan pada to restore bermakna to bring back to the
lahan atau ekosistem yang terdegradasi original state or to healty or vigorous state.
(Box, 1978; Wali, 1992). Pada awalnya restorasi dimaknai sebagai
proses untuk memulihkan lingkungan yang
Remediasi adalah the act of remedying rusak akibatkan aktivitas manusia menjadi
sedangkan to remedy adalah to rectify, to ekosistem semula yang dinamis (Jakson
make good. Pada remediasi yang ditekankan et al., 1995), yang kemudian diperluas
adalah prosesnya bukan hasil akhirnya. menjadi proses yang membantu pemulihan
Membuat kondisi lebih baik, atau membuat dan pengelolaan integritas ekosistem
kondisi yang sudah bagus menjadi semakin (SER, 1996). Yang dimaksud integritas
bagus, sama sekali tidak mengandung ekosistem adalah keterpaduan antara
implikasi menuju kondisi asal. Dalam keragaman hayati, proses-proses dan
remediasi dikenal pula istilah bioremediasi struktur ekosistem, konteks regional dan
yaitu penggunaan keragaman hayati untuk kesejarahan, dan praktek-praktek budidaya
meningkatkan fungsi dan mutu lingkungan yang swalanjut.
(Young dan Chan, 1997).
Memulihkan ekosistem ke kondisi semula,
Kata reklamasi berasal dari kata to reclaim yang berarti kedua atributnya sempurna
yang bermakna to bring back to proper state. dan sehat, membawa implikasi-implikasi
Sedangkan definisi umum reklamasi adalah penting. Struktur dan fungsi ekosistem
the making of land fit for cultivation, yakni yang rusak atau punah harus dikembalikan
membuat keadaan lahan menjadi lebih ke kondisi asalnya. Memulihkan struktur
baik untuk dibudidayakan, atau membuat ekosistem tanpa memulihkan fungsinya,
sesuatu yang sudah bagus menjadi lebih atau fungsinya memiliki konfigurasi
bagus. Sama sekali tidak mengandung yang tidak alami atau tidak mirip sama
implikasi pemulihan ke kondisi asal, yang sekali dengan fungsi asal, tidak dapat
lebih diutamakan adalah asas kemanfaatan disebut sebagai restorasi. Karena itu
lahan (Bradshaw, 2002). kemudian Bradshaw (2002) dan SER (2002)
menyempurnakannya menjadi semua
Reboisasi adalah kegiatan penanaman tindakan memulihkan kondisi sebuah
tanaman pada tanah-tanah yang terbuka ekosistem sedekat atau sesama mungkin
dengan tanaman native ataupun eksotik di dengan kondisi ekosistem tersebut sebelum
luar kawasan hutan. Tujuan utama reboisasi adanya degradasi yang bersifat merusak
bukanlah untuk memulihkan keberadaan atau menghancurkan.
tanaman pada suatu lokasi melainkan
mencegah erosi dan meningkatkan daya Di Indonesia, definisi rehabilitasi hutan
16 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Hutan, Kehutanan dan Kawasan Hutan
Bahan Bacaan
Biao, Z., L. Wenhua, X. (2010). Water conservation of forest ecosystem in Beijing and its value.
Ecological Economic, 69, 1416-1426.
Box, T.W. (1978). The significance and responsibility of rehabilitating drastically disturbed land. in
Reclamation of Drastically Disturbed Lands (1-10). Madiosn, Wisconsin: American Soc. of
Agronomy.
Bradshaw, A.D. (1987). The reclamation of derelict land and the ecology of ecosystems. in Ecology
(53-74). Cambridge, UK: Cambridge University Press,
Bradshaw, A.D. (2002). Introduction and philosophy. in Handbook of Ecological Restoration Vol 1:
Principles of Restoration (pp 3-9). UK: Cambridge University Press.
Cardinale, B.J., et.al. (2012). Biodiversity loss and its impact on humanity. Nature 486, 59–67.
Collins, N. M., J. A. Sayer, T. C. Whitmore. (1991). The Conservation Atlas of Tropical Forests: Asia
and The Pacific. London: Macmillian Press Ltd.
Departemen Kehutanan. (2004). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: SK.159/Menhut-II/2004
tentang Restorasi Ekosistem di Hutan Produksi yang selanjutnya dinamakan Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE). Jakarta: Dephut.
FAO. (2002). Proceedings: second expert meeting on harmonizing forest-related definitions for use
by various stakeholders. Rome: FAO.
FAO. (2018). FRA 2020: Terms and Definitions. Forest Resources Assessment Working, Paper 188.
Francis, G.R., J.R. Magnuson, H.A. Regier, and D.R. Talhelm. (1979). Rehabilitating Great Lakes
Ecosystems. Michigan: Ann Arbor Sci.
18 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Hutan, Kehutanan dan Kawasan Hutan
Foley, J.A., et.al. (2007). Amazonia revealed: forest degradation and loss of ecosystem goods and
services in the Amazon Basin. Front. Ecol. Environ. 5, 25–32.
Gunawan, H., Kobayashi, S., Mizuno, K. & Kono, Y. (2012). Peat Swamp Forest Types and Their
Regeneration in the Giam Siak Kecil-Bukit Batu Biosphere Reserve, Riau, Indonesia. Mires
and Peat, 10, 1–17.
Jackson, L.L., N. Lopoukhine, D. Hillyard. (1995). Ecological restoration: A definition and comments.
Restoration Ecology, 3(2), 71-75.
Kartawinata, K. (2013). Diversitas ekosistem alami Indoesia: Ungkapan singkat dengan sajian foto
dan gambar. Jakarta: LIPI Press dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Kementerian Kehutanan. (2004). Peraturan Menteri Kehutanan Indonesia Nomor 14 Tahun 2004
tentang Tata Cara Aforestasi dan Reforestasi dalam Kerangka Mekanisme Pembangunan
Bersih. Jakarta: Kementerian Kehutanan.
Kementerian Kehutanan. (2009). Peraturan Menteri Kehutanan Indonesia Nomor 30 Tahun 2009
tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD).
Jakarta: Kementerian Kehutanan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2018). Status Hutan dan Kehutanan Indonesia.
Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kremen, C. (2005). Managing ecosystem services: what do we need to know about their ecology?
Ecol. Lett. 8, 468–479.
Lafortezza, R., G. Carrus, G. Sanesi, C, Davies. (2009). Benefits and well-being perceived by people
visiting green spaces in periods of heat stress. Urban Forestry & Urban Greening, 8, 97-108.
[MA] Millennium Ecosystem Assessment. (2005). Ecosystems and human well-being: Synthesis.
Millennium Ecosystem Assessment Series. Washington, D.C.: Island Press.
Miles, J. and D.W.H. Walton. (1993). Primary Succession on Land. Oxford, UK: Blackwell Sci. Publ.
Noor, Y. R., M. Khazali, I. N.N. Suryadiputra. (1999). Panduan pengenalan mangrove di Indonesia.
Bogor: PKA/WI-IP.
Posa, M.R.C., Wijedasa, L.S. & Corlett, R.T. (2011). Biodiversity and conservation of tropical peat
swamp forests. BioScience, 61(1), pp. 49-57.
Prentice, R.C. (2011). The peatland biodiversity management toolbox: A handbook for the
conservation and management of peatland biodiversity in Southeast Asia. A Compilation.
ASEAN Peatland Forests Project -Rehabilitation and Sustainable Use of Peatland Forests in
Southeast Asia. Jakarta: ASEAN Secretariat and the Global Environment Centre.
Republik Indonesia. (1967). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kehutanan.
Republik Indonesia. (1999). Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67.
Republik Indonesia. (2002). Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 119.
Republik Indonesia. (2004). Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Republik Indonesia. (2011). Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 56, Jakarta.
Republik Indonesia. (2014). Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2016 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Ekosistem Gambut. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 260.
Republik Indonesia. (2015). Peraturan Pemerintah Nomor 108 tahun 2015. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 330, Jakarta.
Republik Indonesia. (2020). Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2020 tentang Rehabilitasi dan
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 19
Hutan, Kehutanan dan Kawasan Hutan
Reklamasi Hutan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 37, Jakarta.
Rieley, J.O. (2007). Tropical Peatland – the amazing dual ecosystem: coexistence and mutual benefit.
In: Rieley, J.O., Banks, C.J. and Radjagukguk, B. (2007). Carbon-climate-human interaction on
tropical peatland. Proceedings of The International Symposium and Workshop on Tropical
Peatland, Yogyakarta, 27-29 August 2007, EU CARBOPEAT and RESTORPEAT Partnership.
Yogyakarta: Gadjah Mada University and University of Leicester United Kingdom.
Rieley, J.O. and Page, S.E. (eds). (2005). Wise use of tropical peatlands: Focus on Southeast Asia.
ALTERRA. Wageningen: Wageningen University and Research Centre and the EU INCO -
STRAPEAT and RESTORPEAT Partnerships.
Schwab, J.C. ed. (2009). Planning the Urban Forest: Ecology, Economy, and Community Development.
Chicago, I.L.: American Planning Association.
Society for Ecological Restoration Science & Policy Working Group (SER). (2002). The SER Primer on
Ecological Restoration. Retrieved from www.ser.org
Society for Ecological Restoration Science (SER). (1996). The SER Primer on Ecological Restoration.
Retrieved from www.ser.org
Suhendang, E. (2013). Pengantar ilmu kehutanan: Kehutanan sebagai ilmu pengetahuan, kegiatan
dan bidang pekerjaan. (ed.2). Bogor: PT Penerbit IPB Press.
Tyrvainen, L., H. Silvennoinen, O. Kolehmainen. (2003). Ecological and aesthetic values in urban
forest management. Urban Forestry & Urban Greening, 1(3), 135-149.
Wali, M.K. (1992). Ecology of the rehabilitation process. in Ecosystem Rehabilitation (pp 3-26). SPB
The Hague: Academic Publishing.
Whitmore, T. C. (1984). Tropical Rain Forest of The Far East. Second Edition. Oxfrod: Oxford
University Press.
Whitmore, T. C. (1998). An Introduction to Tropical Rain Forests. Second Edition. New York: Oxford
University Press.
Young, T. and F. Chan. (1997). Key questions in restoration ecology. Growing Points, 1(6), 2.
Yule, C.M (2010). Loss of biodiversity and ecosystem functioning in Indo-Malayan peat swamp
forests. Biodivers Conserv 19, 393–409.
Heavenly Morning ITCIKU
Kalimantan Timur
Agustina Dwi Setyowati
BAB III
PERENCANAAN
HUTAN
Hutan adalah sumber daya hayati atau 2. Optimalisasi aneka fungsi hutan
merupakan hasil dari proses biologis yang (konservasi, lindung, dan produksi)
berwujud kumpulan flora, fauna, mikroba, untuk mencapai manfaat lingkungan,
dan tempat tumbuhnya, yang berinteraksi sosial, budaya, dan ekonomi, yang
dalam hubungan kehidupan yang disebut seimbang dan lestari;
ekosistem. Sebagai suatu ekosistem, 3. Meningkatkan daya dukung daerah
hutan memiliki daya dukung tertentu yang aliran sungai;
harus dijaga keseimbangannya agar dapat 4. Meningkatkan kemampuan/kapasitas
lestari. Kekeliruan dalam menentukan dan keberdayaan masyarakat kehutanan
pemanfaatan yang melebihi daya dukung secara partisipatif, berkeadilan, dan
tersebut akan menganggu dan merusak berwawasan lingkungan sehingga
kelestariannya. Agar secara ekonomi, mampu menciptakan ketahanan sosial
ekologi dan sosial memberi manfaat dan ekonomi serta ketahanan terhadap
maksimal dan lestari sangat diperlukan akibat perubahan eksternal;
pengetahuan tentang perencanaan hutan. 5. Meningkatkan distribusi manfaat
kehutanan yang berkeadilan dan
Kehutanan adalah sistem pengurusan berkelanjutan.
yang bersangkut paut dengan hutan,
kawasan hutan, dan hasil hutan yang Perencanaan kehutanan dilaksanakan
diselenggarakan secara terpadu. Hutan secara transparan, bertanggung gugat,
menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun partisipasi, terpadu, serta memperhatikan
1999 didefinisikan sebagai suatu kesatuan kekhasan dan aspirasi daerah. Perencanaan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi kehutanan ini meliputi kegiatan:
sumber daya alam hayati yang didominasi 1. Inventarisasi hutan,
pepohonan dalam persekutuan alam 2. Pengukuhan kawasan hutan,
lingkungannya, yang satu dengan lainnya 3. Penatagunaan kawasan hutan,
tidak dapat dipisahkan. Pengurusan hutan 4. Pembentukan wilayah pengelolaan
ini bertujuan untuk memperoleh manfaat hutan, dan
yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran 5. Penyusunan rencana kehutanan.
rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Sebagai suatu ekosistem, hutan memiliki Perencanaan hutan merupakan tahapan
daya dukung tertentu yang harus dijaga penting dalam pengelolaan hutan sebagai
keseimbangannya agar dapat lestari. pedoman dan arah guna menjamin
tercapainya tujuan penyelenggaraan
Perencanaan kehutanan merupakan bagian kehutanan yaitu pengelolaan hutan lestari
dari pengurusan hutan, dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
untuk memberikan pedoman dan arah rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
yang menjamin tercapainya tujuan
penyelenggaraan kehutanan sesuai dengan Perencanaan hutan merupakan bagian
amanat UU 41 tahun 1999, yaitu: dari pengurusan hutan untuk memperoleh
1. Mempertahankan keberadaan hutan landasan kerja dan landasan hukum agar
dengan luasan yang cukup dan sebaran terwujud ketertiban dan kepastian hukum
yang proporsional; dalam pemanfaatan hutan sehingga
22 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perencanaan Kehutanan
b. Bentuk dan Ukuran Plot Sampling permanent sampling plot (PSP) NFI; 1 Ha
PSP berbentuk bujursangkar (100 m x 100
Bentuk petak ukur yang sering digunakan m) terbagi kedalam 16 Record Unit (RU)
dalam inventarisasi hutan yaitu jalur, ukuran 25 m x 25 m yang didalamnya
empat persegi panjang, bujur sangkar dan terdapat sub-plot lingkaran dengan jari-jari
lingkaran. Jalur merupakan bentuk petak 1 m untuk pengukuran semai, jari-jari 2 m
ukur yang pertama kali digunakan dan untuk pengukuran pancang, jari-jari 5 m
diketahui mengandung kesalahan sampling untuk pengukuran tiang dan rotan muda,
yang cukup besar yang bersumber pada jari-jari 10 m untuk pencatatan rotan tua
pengukuran pohon-pohon ditepi jalur. dan bambu, dan petak ukur bujur sangkar
Bentuk empat persegi panjang kemudian 25 m x 25 m untuk pengukuran pohon.
dikembangkan, dimana jalur tidak diukur
seluruhnya melainkan diselang-seling Pada IHMB, petak ukur hutan alam
antara diukur dan tidak diukur. berbentuk empat persegi panjang dengan
lebar 20 m dan panjang 125 m. Di dalam
Dalam perkembangan selanjutnya, bentuk plot contoh tersebut, dibuat 4 buah sub-
petak ukur persegi panjang berubah plot, yaitu sub-plot untuk pengukuran
menjadi bujur sangkar. Bentuk petak pancang berbentuk lingkaran dengan jari-
ukur persegi panjang dan bujur sangkar jari 2,82 m, sub-plot untuk pengukuran
ini mempunyai peluang untuk terjadi tiang berbentuk bujur sangkar berukuran
bias, karena tidak mudahnya membuat 10 m x 10 m, sub-plot untuk pengukuran
sudut yang benar-benar tegak lurus di pohon kecil berbentuk bujur sangkar
lapangan serta cukup besarnya error pada berukuran 20 m x 20 m, dan sub-plot untuk
pengukuran pohon-pohon tepi. Bentuk pengukuran pohon besar berbentuk empat
petak ukur lingkaran dikembangkan untuk persegi panjang berukuran 20 m x 125 m
memperbaiki kekurangan tersebut. Bentuk (Gambar 3.3).
petak ukur lingkaran memiliki beberapa
kelebihan, disamping masalah error juga Pada hutan tanaman, petak ukur berbentuk
mudah diaplikasikan di lapangan khususnya lingkaran dengan jari-jari 7,94 m untuk
jika batas petak ukur tidak perlu dibuat pengukuran tegakan umur 0 – 10 tahun,
permanen dilapangan. jari-jari 11,28 m untuk pengukuran tegakan
umur 11 - 20 tahun, dan jari-jari 17,8 m
Kombinasi petak ukur bujur sangkar dan untuk pengukuran tegakan umur diatas 20
lingkaran (Gambar 3.2) digunakan pada tahun.
Gambar 3.2. Bentuk petak ukur permanent sampling plot (PSP) NFI
26 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perencanaan Kehutanan
a) Phi Band
Phi band (Gambar 3.5) merupakan alat
ukur diameter pohon yang paling sering
digunakan, dapat juga digunakan sebagai
alat ukur jarak/panjang karena selain
memiliki skala diameter dalam centimeter
(cm) dan meter (m) juga memiliki skala
pengukur jarak/panjang dalam cm, meter,
dan inchi. Cara penggunaannya cukup
mudah, lilitkan/lingkarkan phiband pada
posisi pengukuran diameter di batang
Gambar 3.3. Bentuk petak ukur dalam IHMB pohon dan baca skalanya.
di hutan alam
b) Caliper (Apitan Pohon)
Caliper (Gambar 3.6) terdiri dari berbagai
c. Aspek Pengukuran macam, dahulu terbuat dari kayu (disebut
dengan wooden beam), kemudian
Parameter-parameter dimensi pohon/ dikembangkan caliper dari berbagai bahan
tegakan yang sering dilakukan pengukuran dasar seperti besi, stainless steel, dan
dalam kegiatan inventarisasi hutan antara yang kemudian paling populer adalah dari
lain umur, diameter, tinggi total, tinggi kayu alumunium.
pertukangan, luas bidang dasar, volume
total, volume kayu pertukangan, bentuk Cara penggunaan caliper:
batang, dan riap. Meskipun demikian, • Apitkan kaki tetap dan kaki bergerak
terdapat dua parameter yang paling sering pada batang pohon yang akan diukur,
dilakukan pengukuran, yaitu diameter dan kemudian catat diameternya.
tinggi pohon. • Pengukuran dilakukan dua kali, yaitu
pada sisi lainnya yang tegak lurus
1) Diameter dengan pengukuran pertama.
• Hasil pengukuran diameter adalah rata-
Pengukuran diameter pohon pada dasarnya rata dari kedua pengukuran di atas.
merupakan pengukuran panjang garis
antara dua titik pada garis lingkaran batang
pohon yang melalui titik pusat lingkaran
batang pohon tersebut. Diameter pohon
yang pada umumnya diukur adalah diameter
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 27
Perencanaan Kehutanan
Gambar 3.5.
Bagian-bagian phi band
E F
Alat-alat yang sering digunakan untuk mengukur tinggi pohon (Gambar 3.15), diantaranya
adalah 1) Christen Meter, 2) Suunto Clino Meter, 3) Abney Level, 4) Blume Leis, 5) Haga
Hypsometer, 6) Trupulse, 7) Spiegel Relascope Bitterlich, dan 8) Criterion Dendrometer.
Penatagunaan hutan adalah kegiatan Fungsi pokok kawasan hutan ini dibahas
penetapan fungsi kawasan hutan, lebih luas pada Bab IV Pengelolaan Hutan.
pemanfaatan kawasan hutan dan
penggunaan kawasan hutan sesuai dengan C.3. Tahapan Kegiatan
fungsinya: kawasan hutan suaka alam (cagar Suatu wilayah yang memenuhi kriteria sesuai
alam dan suaka margasatwa), kawasan dengan fungsi kawasan hutan kemudian
hutan pelestarian alam (taman nasional, dilakukan penunjukan dan selanjutnya
taman hutan raya dan taman wisata alam), ditetapkan oleh Pemerintah sesuai dengan
kawasan hutan taman buru, kawasan hutan ketentuan peraturan perundang-undangan.
lindung, kawasan hutan produksi (hutan Perubahan fungsi kawasan hutan sangat
produksi terbatas, hutan produksi tetap mungkin terjadi dimana ditetapkan oleh
dan hutan produksi yang dapat dikonversi). Pemerintah dengan didasarkan pada hasil
penelitian terpadu.
Penatagunaan hutan bertujuan:
a. Menyelenggarakan perencanaan, pe- Penggunaan kawasan hutan untuk
manfaatan, pengendalian pemanfaatan kepentingan pembangunan di luar kegiatan
hutan sesuai fungsinya secara kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam
serbaguna dan berkelanjutan bagi kawasan hutan produksi dan kawasan hutan
berbagai kegiatan pembangunan yang lindung tanpa mengubah fungsi pokok
diselenggarakan baik oleh pemerintah kawasan hutan dan hanya dapat dilakukan
maupun masyarakat sesuai rencana tata untuk kegiatan yang mempunyai tujuan
guna hutan yang telah ditetapkan. strategis yang tidak dapat dielakkan. Hal
b. Menyelenggarakan pemanfaatan ini dapat dilakukan dengan cara: (a) pinjam
hutan yang berwawasan lingkungan di pakai kawasan hutan dengan kompensasi;
kawasan lindung dan kawasan budidaya. (b) pinjam pakai kawasan hutan tanpa
c. Mewujudkan tertib pemanfaatan kompensasi; (c) tukar menukar kawasan
hutan yang meliputi peruntukan, hutan; dan (d) melalui proses pelepasan
penyediaan, pengadaan, penggunaan kawasan hutan.
34 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perencanaan Kehutanan
Gambar 3.16. Posisi KPH terhadap ijin pemanfaatan dan penggunaan hutan
lembaga keuangan, LSM dan Perguruan sektor kehutanan, karena KPHL dan
Tinggi. Untuk melaksanakan strategi KPHP adalah organisasi perangkat
pembangunan dan kegiatan-kegiatan daerah.
pengelolaan KPH, perlu dukungan d. Kemudahan dalam investasi
lembaga-lembaga tersebut. Harmonisasi pengembangan sektor kehutanan,
hubungan diciptakan dengan menjalin karena ketersediaan data/informasi
hubungan kerja yang baik dengan semua detail tingkat lapangan.
stakeholder. Tata hubungan kerja sangat e. Memberi jaminan dalam penanganan
terkait dengan komunikasi, koordinasi rehabilitasi hutan dan reklamasi,
dan kerjasama. Kunci koordinasi yang karena adanya kegiatan pendataan,
paling penting adalah komunikasi yang pemeliharaan, perlindungan,
baik. Kordinasi tersebut harus dimulai monitoring, dan evaluasi yang lebih
dengan membuka komunikasi sehingga intensif.
bisa berbagi informasi dan berbagi peran, f. Pengurangan perambahan, illegal
sehingga tujuan besar pengurusan hutan logging dan tindak pidana lainnya
yang baik dapat terwujud. Pada tingkat di bidang kehutanan karena adanya
pemerintah daerah hubungan antara pengelola di lapangan.
KPH dan Dinas Kehutanan Kabupaten g. Maximizing pemanfaatan sumber daya
harus harmonis. Tugas Dinas Kehutanan hutan.
Kabupaten diarahkan pada kegiatan h. Secara global mengurangi emisi
pengurusan hutan, sedangkan tugas KPH serta meningkatkan carbon stock,
diarahkan pada kegiatan pengelolaan melalui pengurangan laju deforestasi,
hutan. pencegahan kerusakan hutan dan
mempertahankan kualitas ekosistem
c. Penyusunan rencana pengelolaan hutan hutan.
di tingkat KPH sebagai penjabaran
operasional pencapaian target-target Manfaat KPH bagi pemerintah daerah:
rencana kehutanan tingkat kabupaten/ a. Kejelasan peran masing‐masing pelaku
kota, provinsi dan nasional. Penyusunan antara pembuat kebijakan (regulator)
rencana KPH meliputi: a) tata hutan dan dengan pelaksana kebijakan (operator).
penyusunan rencana pengelolaan hutan b. Jaminan supply bahan baku bagi industri
dan b) rencana strategi bisnis. Dalam hulu (industri pulp dan kertas dan/atau
pelaksanaan pengelolaan hutan, setiap industri pengolahan kayu).
unit pengelolaan hutan harus didasarkan c. Berkembangnya industri hilir (dari
pada karakteristik Daerah Aliran Sungai industri pulp dan kertas serta industri
(DAS) yang bersangkutan. pengolahan kayu) di daerah tersebut
d. Berkembangnya kesempatan kerja.
e. Meningkatnya pendapatan daerah
D.5. Manfaat Kesatuan Pengelolaan Hutan
Manfaat KPH bagi masyarakat:
Beberapa manfaat KPH bagi pemerintah a. Optimalisasi akses masyarakat terhadap
pusat: hutan.
a. Mengurangi rentang kendali dalam b. KPH menjadi salah satu jalan bagi
pengelolaan kawasan hutan kepada resolusi konflik lahan antara masyarakat,
pengelola pada tingkat tapak pemerintah dan swasta.
b. Memperjelas peran masing‐masing c. Memudahkan pemahaman perma-
pembuat kebijakan (regulator) dengan salahan riil di tingkat lapangan, sehingga
pengelola kawasan (operator). dapat ditetapkan bentuk akses yang
c. Perwujudan nyata desentralisasi di tepat bagi masyarakat.
Tabel 3.2. Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan kph dalam pembangunan KPH
dan pengelolaan hutan
Perencanaan Kehutanan
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
39
40 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perencanaan Kehutanan
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 41
Perencanaan Kehutanan
42 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perencanaan Kehutanan
3. Tahapan Kegiatan
E.3. TahapanPenyusunan
Kegiatan rencana kehutanan disusun 3) berdasarkan
Dilakukanhasil secara
inventarisasi
berkoordinasi
hutan: dengan unsur kabupaten/kota dan
Penyusunan rencana
a. Rencana kehutanan
kehutanan disusun
tingkat nasional Pemerintah serta unit pelaksana
berdasarkan
1) hasil inventarisasi
Disusun hutan:pada hasil inventarisasi
dengan mengacu teknishutan tingkat nasional,
Departemen Kehutanan bidang
dan dengan memperhatikan aspek lingkunganperencanaan
strategis; kehutanan.
a. Rencana kehutanan tingkat nasional
2) Disusun oleh instansi perencana kehutanan nasional, yang dinilai melalui
1) Disusunkonsultasi
dengan mengacu
para pihak,pada hasil oleh
dan disahkan c. Menteri;
Rencana kehutanan tingkat kabupaten/
inventarisasi hutan berkoordinasi
3) Dilakukan tingkat nasional,
dengan instansi
kota yang terkait dengan
dan dengan memperhatikan aspek
bidangkehutanan. 1) Disusun berdasarkan hasil inventarisasi
lingkungan
b. Rencanastrategis;
kehutanan tingkat provinsi hutan tingkat kabupaten/kota dan
1) Disusun
2) Disusun oleh berdasarkan hasil inventarisasi hutan
instansi perencana tingkat provinsi
memperhatikan dan kehutanan
rencana
memperhatikan rencana
kehutanan nasional, yang dinilai kehutanan tingkat nasional;
tingkat provinsi;
2) Disusun
melalui oleh para
konsultasi instansipihak,
kehutanan
dan provinsi,2)
yang dinilai melalui konsultasi
Disusun oleh instansi kehutanan
disahkanpara pihak
oleh dan disahkan oleh Gubernur;
Menteri; kabupaten/kota, yang dinilai melalui
3) Dilakukan berkoordinasi dengan konsultasi para pihak dan 46 disahkan
instansi yang terkait dengan bidang oleh Bupati/Walikota;
kehutanan. 3) Dilakukan secara berkoordinasi dengan
b. Rencana kehutanan tingkat provinsi unsur provinsi yang bersangkutan.
1) Disusun berdasarkan hasil Penyusunan rencana pengelolaan hutan
inventarisasi hutan tingkat provinsi meliputi penyusunan rencana kesatuan
dan memperhatikan rencana pengelolaan hutan pada Unit Pengelolaan
kehutanan tingkat nasional; Hutan Konservasi (KPHK), Unit Pengelolaan
2) Disusun oleh instansi kehutanan Hutan Lindung (KPHL), dan Unit Pengelolaan
provinsi, yang dinilai melalui Hutan Produksi (KPHP) mengacu pada
konsultasi para pihak dan disahkan rencana kehutanan nasional, provinsi, mau
oleh Gubernur; pun kabupaten/kota dan memperhatikan
44 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perencanaan Kehutanan
aspirasi, nilai budaya masyarakat setempat, KHDTK, pembangunan sarana dan prasarana
serta kondisi lingkungan. pendukung KHDTK serta pelaporan
pengelolaan KHDTK. Perencanaan KHDTK
Pada tingkat unit manajemen pemegang ini dilakukan melalui kegiatan inventarisasi
Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan hutan, penataan areal dan penyusunan
Kayu (IUPHHK) diwajibkan menyusun rencana pengelolaan.
rencana kerja usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu (RKUPHHK) sepuluh tahunan Inventarisasi hutan di KHDTK bertujuan
sebagai dasar penyusunan rencana kerja untuk mengetahui keadaan biofisik dan
tahunan (RKT) dengan memperhatikan potensi hutan agar dapat dilakukan
rencana pengelolaan jangka panjang KPH. penataan areal KHDTK dengan membagi
Penyusunan, penilaian, pengendalian dan dalam blok dan petak. Penyusunan rencana
evaluasi rencana kehutanan didasarkan pengelolaan dilakukan berdasarkan hasil
pada Permenhut P.42/Menhut-II/2010, inventarisasi dan penataan areal. Rencana
yang secara detail dapat dilihat pada Tabel pengelolaan KHDTK Litbang Kehutanan
3.3. harus terintegrasi dengan rencana
pengelolaan KPH dan/atau Kawasan
Selain KPH, Kawasan Hutan Dengan Konservasi.
Tujuan Khusus (KHDTK) juga merupakan
bagian dalam rencana kehutanan yang Berdasarkan peraturan Kepala Badan
digunakan untuk kegiatan penelitian dan Litbang dan Inovasi Nomor P.4/LITBANG/
pengembangan. Penyusunan rencana SET/PLA.2/2/2019, rencana pengelolaan
pengelolaan KHDTK Litbang Kehutanan KHDTK Litbang Kehutanan meliputi:
meliputi perencanaan KHDTK, pelaksanaan rencana pengelolaan jangka panjang,
kegiatan KHDTK, kerjasama pengelolaan rencana pengelolaan jangka menengah,
KHDTK, pemanfaatan hutan pada areal dan rencana pengelolaan jangka pendek.
Tabel 23.3.
Tabel Penyusunan, penilaian,
Penyusunan, pengendalian
penilaian, dan evaluasi
pengendalian rencana kehutanan
dan evaluasi rencana kehutanan
Pengendalian
Jenis Penyusunan Penilaian Pengesahan (Fasilitasi/ Evaluasi
Bimbingan)
Rencana KLHK (Ditjen PKTL) Rakor Eselon I Menteri Menteri Menteri
Kehutanan Tingkat Kemenhut
Nasional
48
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 45
Perencanaan Kehutanan
F. Perencanaan dan Pengelolaan Hutan ulayat dipegang oleh masyarakat adat yang
Berbasis Tenurial memiliki pola kepemilikan komunal (Nazir,
2012).
F.1. Pengertian
Inventarisasi data sosial ekonomi
Land tenure adalah seperangkat property masyarakat di sekitar hutan sangat penting
rights yang berhubungan dengan lahan, dan dalam proses perencanaan pengelolaan
kelembagaan yang menegakkan hak-hak hutan, tidak terkecuali data yang terkait.
tersebut. Bentuk dari land tenure merujuk Harus disadari bahwa hutan bukanlah
pada aturan, norma yang berhubungan ruang kosong yang berisi tanaman dan
dengan sejumlah entitas, seperti individu, satwa saja, tetapi di dalamnya ada manusia
sebuah lembaga publik, sebuah perusahaan yang menjadikan hutan sebagai tempat
swasta, sekelompok individu yang bertindak sandandaran hidupnya. Pengelolaan hutan
secara kolektif, pengaturan secara komunal tidak akan bisa berjalan dengan baik
atau sekelompok komunitas adat (Robinson tanpa adanya dukungan dari masyarakat
et al, 2011). sekitarnya, oleh karena itu akan sangat baik
jika penyusunan perencanaan pengelolaan
Pada prakteknya, land tenure seringkali hutan mempertimbangkan aspek tenurial
digunakan secara bergantian dengan di wilayah hutan yang akan dikelola.
property rights. Padahal secara esensial ada
perbedaan dimana property rights merujuk
pada seperangkat hak yang mengarahkan F.2.Berbagai Tipologi Tenurial dalam
pemanfaatan, pengelolaan dan pengalihan Kawasan Hutan
atau transfer asset sementara land tenure
adalah seperangkat kelembagaan dan Tenurial di dalam kawasan hutan sangat erat
kebijakan yang menentukan secara lokal kaitannya dengan keberadaan masyarakat
bagaimana lahan dan sumberdayanya dalam bentuk komunitas kampung atas
dapat diakses, siapa yang memegang hak desa di dalam dan di sekitar kawasan
dan menggunakan ataupun memanfaatkan hutan. Berdasarkan sejarah penguasaan
sumberdaya tersebut, untuk berapa lama tanahnya, tipologi desa/kampung hutan
dan di bawah kondisi seperti apa (Bruce dapat dibedakan menjadi :
et al, 2010 dalam Robinson et al, 2011). a. Desa/kampung yang telah ada di dalam
Secara umum, land tenure meliputi dua kawasan hutan sebelum penunjukan
aspek yakni sebagai dokumen legal yang kawasan. Desa/kampung ini terbentuk
berasal dari pengaturan atau pun legislasi karena kebijakan pemerintah kolonial/
pusat dan secara informal berasal dari nasional atau secara tradisional;
hak-hak kepemilikan atau penguasaan b. Desa/kampung yang ada setelah
yang dibangun secara oral dan konsensus penunjukan/penetapan kawasan hutan;
masyarakat (Robinson et al, 2011). c. Desa/kampung yang ada sebelum
perubahan fungsi kawasan/perluasan
Penguasaan lahan didefinisikan dalam dua penunjukan kawasan;
aspek yakni penguasaan dan kepemilikan d. Desa/kampung yang ada setelah
yang meliputi relasi hukum antara manusia perubahan fungsi kawasan/perluasan
dengan tanah. Penguasaan dapat dilakukan kawasan hutan.
oleh berbagai pihak baik oleh seseorang
secara individual, pemerintah maupun Berdasarkan lokasi dan aksesnya terhadap
badan-badan swasta. Aspek penguasaan kawasan hutan, tipologi desa/kampung
tersebut mengatur bentuk-bentuk hak. hutan dapat dibedakan menjadi :
Penguasaan atas tanah di Indonesia, a. Desa/kampung yang seluruh wilayah
mencakup tiga hak, yaitu hak ulayat, hak permukiman dan wilayah kelola ada
perseorangan dan badan hukum. Hak di dalam kawasan hutan/areal izin
46 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perencanaan Kehutanan
f. Melakukan dialog dengan desa yang Istilah yang sama dengan identifikasi dan
melibatkan seluruh warga, termasuk sering digunakan adalah determinasi yang
kaum perempuan. artinya penentuan. Kunci Pengenalan/
g. Proses dialog digunakan berbagai determinasi jenis pohon merupakan
media atau forum sebagai arena untuk cara analitis buatan yang memungkinkan
menyerap aspirasi kepentingan warga, pengenalan tumbuh-tumbuhan berdasar-
misalnya arisan, PKK, Karang Taruna, kan sifat-sifat yang penting dengan
Kelompok Tani dll. jalan memilih di antara sifat-sifat yang
h. Memetakan lahan-lahan masyarakat dipertentangkan, mana yang sesuai
secara partisipatif untuk memperjelas (digunakan) dan mana yang tidak sesuai
tenurial yang bermanfaat bagi (tidak digunakan).
perencanaan bila lahan tersebut belum
dipetakan. Hal-hal yang diperhatikan dalam menyusun
i. Menawarkan skema-skema yang ada, kunci determinasi adalah:
seperti hutan adat, hutan tanaman a. Kunci harus bercabang dua, dimana
rakyat, hutan desa, Hkm berdasarkan pernyataan dalam setiap bait harus
karakteristik status dan pengusaan saling bertentangan
hutan yang ada. Bila tidak ada skema b. Hindari pernyataan yang terlalu umum,
daun ukuran besar dan daun ukuran
yang pas maka perlu inovasi atau
kecil
membangun skema baru yang lebih bisa
c. Kata pertama dari setiap pernyataan di
diterima oleh kedua belah pihak dengan
dalam setiap bait haruslah identik
lebih mengedepankan kepentingan
d. Dua pernyataan di dalam setiap bait
masyarakat. harus saling bertentangan
e. Hindari penggunaan ukuran yang
tumpang tindih
G. Teknologi dalam Perencanaan f. Pernyataan yang terdapat pada bait
Kehutanan yang berurutan jangan dimulai dengan
kata yang sama
Perangkat teknologi diperlukan untuk g. Menggunakan selalu sifat-sifat
mendukung terlaksananya perencanaan makroskopis
kehutanan yang baik sehingga dapat h. Setiap bait harus diberi nomor dan atau
terwujud pengelolaan hutan yang lestari. huruf
Berbagai perangkat teknologi yang
digunakan dalam perencanaan kehutanan G.2. Tabel Volume Pohon
antara lain sebagai berikut.
Perangkat pendugaan volume pohon
G.1. Kunci Pengenalan Jenis Pohon (berupa model atau rumus/persamaan
maupun tabel) adalah salah satu perangkat
Kunci pengenalan jenis pohon merupakan penting dalam perencanaan pengelolaan
perangkat awal yang akan membantu hutan. Salah satu jenis data yang diperlukan
dalam melakukan identifikasi jenis pohon di dalam perencanaan pengelolaan hutan
lapangan sebelum diambil sampelnya untuk ialah dugaan potensi atau massa tegakan.
diidentifikasi lebih lanjut di herbarium. Pengumpulan data massa tegakan
Melakukan identifikasi tumbuhan berarti dilakukan melalui kegiatan inventarisasi
mengungkapkan atau menetapkan identitas yang selalu melibatkan pendugaan volume
suatu tumbuhan yang tidak lain adalah pohon per pohon. Oleh sebab itu, dalam
menentukan nama tumbuhan secara benar setiap kegiatan pengelolaan hutan, mutlak
dan menentukan tempat secara benar dituntut tersedianya perangkat pendugaan
dalam sistem klasifikasi. volume pohon.
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 49
Perencanaan Kehutanan
atas jumlah pohon contoh kurang dari rata- didasarkan pada umur secara berselang.
rata yang ditentukan (4 pohon), tetapi pada Misalkan tersedia tanaman berumur 2,
kelas menengah (50-100 cm) diperbanyak 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 tahun, maka obyek
lebih dari rata-rata. penelitian dipilih tanaman berumur 2, 4, 6,
8, dan 9 tahun.
2) Pemilihan pohon contoh pada hutan Agar data yang terkumpul dapat
tanaman (HTI) menampung keragaman kondisi tegakan
dan kondisi tempat tumbuh, prosedur
Pada unit-unit HTI, sebaiknya penyusunan pemilihan pohon-pohon contoh dilakukan
tabel volume dilaksanakan pada unit sebagai berikut. Pada setiap tanaman yang
pengelolaan yang sudah mempunyai sudah ditentukan sebagai obyek penelitian,
tanaman dengan sebaran umur dari muda dibuat 2 buah petak ukur berukuran 50 m
sampai “tua”. Sebaran pohon dengan umur x 50 m. Petak ukur pertama dibuat pada
“tua” bergantung pada jenis tanaman bagian areal yang berisi tegakan dengan
yang dikembangkan. Misalnya untuk kondisi pertumbuhan “baik”, dan petak
jenis eucalyptus yang ditujukan untuk ukur lainnya pada bagian tegakan dengan
pengusahaan industri pulp atau chip, kondisi pertumbuhan “rata-rata”. Pada
tanaman berumur 6 (enam) tahun atau semua pohon yang ada di dalam petak ukur
lebih sudah dapat dikategorikan sebagai dilakukan pengukuran diameter setinggi
tanaman berumur tua. dada (dbh) dan tinggi pohon.
Pemilihan obyek penelitian (tanaman yang Apabila unit HTI yang bersangkutan telah
dijadikan “sumber” pohon contoh) harus melaksanakan pembuatan dan pengukuran
mempertimbangkan daya guna dari tabel Petak Ukur Permanen (PUP) untuk
volume yang akan tersusun, yaitu agar pemantauan pertumbuhan tegakan, maka
tabel volume tersebut dapat digunakan data PUP tersebut dapat digunakan sebagai
untuk menduga massa tegakan di berbagai dasar pertimbangan pemilihan dimensi-
umur tegakan dan berbagai kondisi tempat dimensi (diameter dan tinggi) pohon-pohon
tumbuh. contoh.
Apabila tersedia 4 (empat) macam atau Berdasar data pengukuran pohon-pohon
kurang umur tanaman (misalkan 2, 3, 5, dan dalam petak-petak ukur (atau PUP) yang
7 tahun), maka semua tanaman tersebut dibuat dalam 1 obyek penelitian (satu umur
dijadikan obyek penelitian. Apabila tersedia tanaman), disusun grafik sebaran diameter
banyak umur tanaman secara berurutan dan tinggi pohon (Gambar 3.18).
maka pemilihan obyek penelitian
Gambar 3.18. Contoh grafik sebaran pohon menurut diameter dan tinggi, yang dijadikan
sebagai dasar dalam penentuan diameter dan tinggi pohon-pohon contoh
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 51
Perencanaan Kehutanan
Pada Gambar 3.18., titik-titik kecil adalah panjang 0,5 m atau 0,6 m atau 0,7 m
menggambarkan sebaran pohon menurut atau 0,8 m atau 0,9 m.
diameter dan tingginya, sedangkan garis 4) Tiap titik ujung seksi (disebut dengan
lengkung adalah grafik sebaran diameter titik pengukuran) diberi tanda dengan
dan tinggi pohon yang ditarik dengan cara kapur pohon atau cat. Ingat: pembuatan
tangan bebas (freehand method). Grafik seksi tidak dengan memotong, tetapi
sebaran diameter dan tinggi pohon dibagi hanya berupa tanda dengan kapur atau
menjadi 3 atau 4 atau 5 bagian (lihat contoh cat atau spidol.
Gambar 3.18). Patokan yang dijadikan 5) Dalam tallysheet titik-titik pengukuran
dasar dari pembagian grafik tersebut sepanjang batang diberi kode: Pxx-Byy.
adalah bahwa jumlah pohon contoh dimana xx = nomor pohon contoh, yy
yang harus dikumpulkan dari 1 lokasi = nomor titik pengukuran sepanjang
penelitian (1 unit HTI) minimal 50 pohon batang. Jadi untuk pohon contoh no. 1.
serta memperhatikan pula jumlah macam pengukuran pada pangkal diberi kode:
umur tanaman yang akan dijadikan obyek P01-B00. Titik pengukuran berikutnya
penelitian. diberi kode: P01-B01. P01-B02. P01-B03,
dan seterusnya.
6) Bagian batang di atas bebas cabang
b. Pengukuran Pohon Contoh
hingga diameter “ujung” juga dibagi
Pada setiap pohon contoh dilakukan menjadi seksi-seksi dan diukur serta
pengukuran diameter, tinggi pohon (sampai dinomori dengan cara dan ketentuan
pucuk), tinggi batang bebas cabang, dan yang sama. Kodenya meneruskan kode
diameter proyeksi tajuk. Pohon-pohon batang bebas cabang. Pada hutan alam
contoh kemudian ditebang, dan selanjutnya yang dimaksud dengan diameter “ujung”
dilakukan pengukuran tinggi tonggak adalah kayu sampai berdiameter 10 cm;
dan diameter seksi-seksi batang dengan sedangkan pada hutan tanaman (HTI)
langkah-langkah sebagai berikut: adalah sampai berdiameter 7 cm yang
1) Tinggi tonggak diukur dari permukaan dalam ilmu ukur kayu biasa dikenal
tanah. dengan sebutan ukuran “kayu tebal”
2) Di sepanjang batang yang sudah rebah (thick-wood sortimen).
dibentangkan meteran dari pangkal 7) Pengukuran seksi-seksi juga dilakukan
sampai ujung. pada cabang-cabang yang diameternya
3) Batang pokok bebas cabang “dibagi” lebih dari 10 cm (hutan alam) atau 7 cm
menjadi seksi-seksi sepanjang 1 m. (hutan tanaman). Titik-titik pengukuran
Panjang seksi terakhir (paling ujung) pada cabang ini diberi nama: Pxx-Czz-rr
bisa kurang atau lebih dari l m dan dimana xx = nomor pohon contoh, zz =
diukur dalam satuan sepersepuluh nomor cabang (diurutkan mulai cabang
meter, misalnya 0,5 m; 0,6 m; 0,7 m; terendah), rr = nomor titik pengukuran.
0,8 m; 0,9 m; 1,0 m; 1,1 m; 1,2 m; 1,3 8) Pengukuran diameter dilakukan
m; atau 1,4 m. Ketentuannya adalah menggunakan kaliper. Setiap diameter
sebagai berikut: diukur dua kali dengan ketentuan
(a) Apabila panjangnya kurang dari atau sebagai berikut: diameter terpendek
sama dengan 0,4 m digabungkan diukur terlebih dahulu, diameter kedua
dengan seksi sebelumnya, sehingga diukur dengan arah tegak lurus dari
seksi terakhir panjangnya bisa 1,1 m arah diameter terpendek. Kedua hasil
atau 1,2 m atau 1,3 m atau 1,4 m. pengukuran dicatat dalam tallysheet.
(b) Apabila panjangnya lebih dari 0,4 m, 9) Pada tiap titik pengukuran diameter
dijadikan satu seksi tersendiri dengan (baik batang maupun cabang),
52 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perencanaan Kehutanan
dilakukan pengukuran tebal kulit pada dari luas bidang dasar dan panjang
4 (empat) sisi. Pengukuran tebal kulit batang dengan (sudah barang tentu)
dilakukan dengan”mencongkel” kulit memperhatikan suatu faktor tertentu
menggunakan parang atau kapak sebagai koreksi karena batang pohon
kemudian “congkelan” kulit diukur tidak betul-betul berbentuk silindris.
dengan menggunakan sigmat (kaliper Dalam cara ini volume pohon dinyatakan
kecil). sebagai fungsi dari diameter (D) dan
10) Tebal kulit diukur dan dicatat dalam tinggi pohon (H) atau V = f( D, H)
satuan milimeter.
Kemudian karena pada umumnya
terdapat hubungan yang erat antara
c. Pengolahan Data tinggi dengan diameter, maka seringkali
volume pohon dapat diduga berdasarkan
1) Apabila pengukuran diameter dilakukan diameternya saja.
dengan mengukur keliling menggunakan
pita ukur, maka besarnya diameter diisi V = f (D)
dengan hasil transformasi menggunakan
rumus: 7) Penilaian ketelitian model pendugaan
volume pohon didasarkan pada
diameter = keliling/π atau keliling/3,14159 besarnya simpangan agregatif (SA) dan
rataan persentase simpangan rata-rata
2) Apabila pengukuran diameter dilakukan (SR). Perhitungan SA dan SR adalah
dengan menggunakan kaliper dimana sebagai berikut:
pengukuran dilakukan dua kali, maka
harus dihitung “diameter rata-rata”: SA = {(ƩVd -ƩVa) / ƩVd } x 100%
SR=[Ʃ|(Vd-Va)/ Vd x 100%] / N
diameter rata-rata= (diameter terpendek +
diameter arah tegak lurusnya)/2 di mana:
3) Dilakukan penghitungan “bidang dasar” Vd: volume dugaan (berdasar model
pada tiap titik pangkal dan ujung seksi pendugaan isi pohon),
batang dengan menggunakan rumus: Va: volume aktual (berdasar data),
N : jumlah data
G = 0,7854 x D2
Model pendugaan volume pohon yang baik
4) Isi tiap seksi batang dihitung dengan adalah persamaan yang mempunyai SA
menggunakan rumus: (G1 +G2)/2 xL kurang dari 1% dan SR kurang dari 10%.
Di mana G1 adalah bidang dasar dengan kulit 8) Setiap model pendugaan volume pohon
baris sebelumnya, G2 adalah bidang dasar yang dihasilkan dapat digunakan untuk
dengan kulit baris yang bersangkutan, dan menyusun tabel volume. Apabila model
L adalah panjang seksi yang bersangkutan. yang digunakan ialah model pendugaan
volume batang bebas cabang, maka
5) Isi pohon dihitung dengan yang dihasilkan ialah tabel volume
menjumlahkan isi semua seksi yang batang bebas cabang. Apabila model
menyusun pohon yang bersangkutan. yang digunakan ialah model pendugaan
volume seluruh pohon (sampai diameter
6) Model pendugaan volume pohon ujung tertentu misalnya 10 cm), maka
disusun dengan cara regresi yang yang dihasilkan ialah tabel volume
berangkat dari hubungan matematik seluruh pohon.
bahwa volume pohon merupakan fungsi
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 53
Perencanaan Kehutanan
peta, pengecekan antar lembar peta, Penyusunan peta digital dilakukan melalui
mempersiapkan titik ikat beserta tahapan-tahapan berikut:
koordinat, pemilahan layer, menyiapkan 1) Penyiapan coverage, penyiapan info
kodifikasi pada setiap layer, dan look up table dan filter keterangan
penyiapan sistematika penyimpanan legenda
coverage.
2) Penyusunan komposisi peta yang
2) Digitasi, dengan metode streamline meliputi setting peta, layout peta,
atau metode point. penampilan unsur coverage dalam
3) Edgematching atau penyambungan sisi komposisi peta, penampilan simbol
peta yang satu dengan sisi peta lainnya. (garis, titik, luasan dan teks), pengaturan
4) Editing, untuk mengkoreksi poligon legenda dan editing elemen komposisi
dan garis, penyusunan topologi, dan peta
pengecekan label error. 3) Penyusunan file plot
5) Atributing, yaitu memasukkan data non-
spasial yang berkaitan dengan kodifikasi
penampakan (legenda) G. 6. Sistem Informasi Manajemen
Kehutanan
Cara kerja SIG kurang lebih sama dengan
cara kerja penimpalan (overlaying) Dalam sistem pengelolaan bidang
berbagai jenis peta tematik untuk kehutanan ke depan, penggunaan
mengetahui informasi suatu wilayah. Teknologi Informasi lebih dioptimalkan
Dalam sistem ini tiap jenis atau tema data sebagai lembaga yang adaptif terhadap
akan disimpan dalam bentuk layer atau perkembangan industri 4.0. Karena
lapisan peta secara digital, sehingga untuk fungsi Teknologi Informasi adalah sebagai
keperluan pengelolaan kawasan hutan di supporting agency, maka pengembangan
suatu unit administrasi pengelolaan hutan dan penerapannya akan menyebar ke
akan terdapat layer yang masing-masing seluruh fungsi organisasi. Penerapan
memberikan informasi seperti yang ada Internet of Things (IoT) bagian dari
pada sebuah peta tematik. Industri 4.0 telah terwujud dan menjadi
kenyataan yang masih perlu ditingkatkan
Sebagai contoh SIG suatu provinsi kualitasnya. Melakukan pengumpulan
mempunyai layer yang berisi informasi dan penggunaan informasi dari berbagai
mengenai kerja HPH, areal kerja HTI, sumber dalam bentuk big data sebagai
perkebunan, transmigrasi dan pemukiman; bahan untuk membuat keputusan yang
sehingga bila kita ingin mengatahui areal lebih baik. Pengembangan teknologi
transmigrasi dan pemukiman yang berada untuk pengenalan jenis kayu, pemetaan,
diareal kerja HPH atau HTI maka SIG dapat pemanfaatan drone, pemanfaatan sensor-
membantu mengadakan overlaying dengan sensor untuk pengembangan robot
cepat dan akurat untuk mendapatkan dan dan citra satelit beresolusi tinggi serta
luas dan lokasi areal tersebut. pengembangan aplikasi akan ditingkatkan
untuk mendukung sistem pengelolaan
Dalam SIG perpetaan yang dimaksudkan bidang kehutanan.
adalah hasil dari digitalisasi peta manual
menjadi peta atau data geografis digital. Sistem informasi manajemen
Peta atau data geografis digital. Peta atau kehutanan berbasis WEB/WEB GIS
data geografis digital ini bisa berbentuk file merupakan perangkat yang mendukung
plot atau hasil cetakan jadi (hard copy). tersampaikannya informasi secara cepat
dan mudah diakses. Melalui pengembangan
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 57
Perencanaan Kehutanan
Bahan Bacaan
Badan Litbang dan Inovasi. (2019). Peraturan Kepala Badan Litbang dan Inovasi Nomor P.4/
LITBANG/SET/PLA.2/2/2019 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Hutan Dengan Tujuan
Khusus Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta: Badan Litbang dan Inovasi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Balitbanghutbun. (1998). Buku tatanan praktek pengelolaan hutan Indonesia. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan (BALITBANGHUTBUN).
Biro Perencanaan dan Keuangan. (2007). Desentralisasi kehutanan Indonesia. Jakarta: Sekretariat
Jenderal Departemen Kehutanan.
Bruce, J. (1993). Do indigenous tenure systems constrain agricultural development? Dalam T.
Bassett, & D. Crummey (Penyunt.), Land in African agrarian system. Madison: University of
Wisconsin Press.
Budiningsih, K., Ekawati, S., Sylviani, Suryandari, E. Y., & Gamin. (t.thn.). Tipologi KPH. Laporan
Penelitian, Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan.
Burley, J., Evans, J., & Youngquist, J. A. (Penyunt.). (2004). Encyclopedia of forest sciences. UK:
Elsevier Ltd.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan. (1999). Panduan kehutanan Indonesia. Jakarta:
Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia.
Departemen Kehutanan. (1992). Manual kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik
Indonesia.
Departemen Kehutanan. (2006). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.10/Menhut-II/2006
tentang Inventarisasi Hutan Produksi Tingkat Unit Pengelolaan Hutan. Jakarta: Departemen
Kehutanan.
Departemen Kehutanan. (2010). Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan upaya mitigasi terhadap
perubahan iklim. Dipetik April 1, 2010, dari www.dephut.go.id.
Direktorat Inventarisasi Sumberdaya Hutan. (2013). Potensi land swap. Workshop Penanganan
Akar Masalah Deforestasi dan Degradasi Hutan dalam Implementasi REDD+ dan RAN GRK
Sektor Kehutanan. Jakarta: Direktorat Jenderal Planologi.
Direktorat Jenderal Kehutanan. (1976). Vademecum kehutanan Indonesia. Jakarta: Direktorat
Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian.
Dirjen Planologi Kehutanan. (2010). Gambaran umum pembangunan KPH. Jakarta: Direktorat
Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan Dirjen Planologi.
Dirjen Planologi Kehutanan. (2013). Data KPH update sampai Januari 2013. Diambil kembali dari
www.kph.dephut.go.id.
Ekawati, S. (2013). Desentralisasi pengelolaan hutan lindung: Proses pembuatan dan implementasi
kebijakan. Dalam H. Kartodihardjo (Penyunt.), Kembali ke jalan lurus: Kritik penggunaan
ilmu dan praktek kehutanan Indonesia. Yogyakarta: Forci Development bekerjasama
dengan Tanah Air Beta.
FAO. ( 2000). Definition and basic principles of sustainable forest management in relation to criteria
and indicators. Dipetik Februari 2014, 2014, dari http://www.fao.org.
FAO. (2002). The state of food insecurity in the World 2002. Diambil kembali dari http://www. fao.
org/DOCREP/OO5/Y7352E/y7352e05.htm.
Franklin, S. E. (2001). Remote sensing for sustainable forest management. USA: CRC Press LLC.
Hernowo, B. (2011). Pembangunan KPH sebagai prioritas nasional. Peluncuran Buku KPH, 2
Desember. Jakarta: Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Kementerian
PPN/ BAPPENAS.
ITTO. (2003). Philipine set of criteria and indicator for sustainable forest management: Manual and
reporting framework. International Tropical Timber Organization (ITTO).
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 59
Perencanaan Kehutanan
Julian, & Dunster, K. (1996). Dictionary of natural resource management: The Comprehensive,
single source guide to natural resources management terms. Canada: UBC Press.
Kangas, A., & Maltamo, M. (Penyunt.). (2006). Forest inventory : Methodology and application.
Netherlands: Springer.
Kanninen, M., Murdiyarso, D., Seymour, F., Angelson, A., Wunder, S., & German, L. (2007). Do trees
grow on money? The implications of deforestation research for policies to promote REDD.
Forest Perspectives(4).
Karsudi, Rinekso, S., & Kartodihardjo. (2010, Agustus). Model pengembangan kelembagaan
pembentukan wilayah kesatuan pengelolaan hutan di provinsi Papua. JMHT, XVI(2), 92-100.
Kartodihardjo, H. (2008). Kerangka hubungan kerja antar lembaga sebelum dan setelah adanya
KPH: Upaya peningkatan investasi dan efektivitaspengelolaan hutan. Jakarta: GTZ.
Kartodihardjo, H., Bramastho, N., & Hariyanto, R. P. (2011). Pembangunan kesatuan pengelolaan
hutan (KPH): Konsep, peraturan perundangan dan implementasi. Jakarta: Direktorat
Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan Direktorat Jenderal
Planologi.
Kartodihardjo, H., Bramastho, N., & Hariyanto, R. P. (2013). Memahami politik adopsi hasil
penelitian sebagai strategi pengembangan KPH: Studi literatur dan pengalaman empiris.
Materi pada Ekspose Hasil Penelitian di Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, 19
September . Banjarbaru: Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. 2020. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.11/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2020 tentang
Hutan Tanaman Rakyat. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.
Kementerian Kehutanan (2011). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.5/Menhut-II/2011 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2009 tentang
Pedoman Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) pada Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu pada Hutan Produksi. Jakarta: Kementerian Kehutanan
Kementerian Kehutanan. (2006). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.67/Menhut-II/2006
tentang Kriteria dan Standar Inventarisasi Hutan. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan RI.
Kementerian Kehutanan. (2009). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.33/Menhut-II/2009
tanggal 11 Mei 2009 tentang Pedoman Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB)
pada Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi. Jakarta: Kementerian
Kehutanan.
Kementerian Kehutanan. (2010). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.42/Menhut-II/2010
tentang Sistem Perencanaan Kehutanan. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 460.
Kementerian Kehutanan. (2010). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.02/Menhut-II/2010
tentang Sistem Informasi Kehutanan. Jakarta: Kementerian Kehutanan.
Kementerian Kehutanan. (2011). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.49/Menhut-II/2011
tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) tahun 2011-2030. Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 381.
Kementerian Kehutanan. (2012). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2012
tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
1242.
Kementerian Kehutanan. (2012). Perbaikan tata kelola kehutanan Indonesia melalui pembangunan
KPH. Dipetik Februari 25, 2014, dari http://www.kph.dephut.go.id/.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2018). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Nomor P.16/MENLHK/SETJEN/KKL.1/2018 tentang Pengoperasian Pesawat
Udara Tanpa Awak Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta:
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
60 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perencanaan Kehutanan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2019). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Nomor P.41/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2019 tentang Rencana Kehutanan
Tingkat Nasional Tahun 2011-2030. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kencana, I. ( 1997). Ilmu administrasi publik. Jakarta: Rineka Cipta.
Kohl, M., Magnussen, S., & Marchetti, M. (2006). Sampling methods, remote sensing and GIS
multiresource forest inventory. New York: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Korf, B. (2002). Ethnicised entitlements in land tenure of protracted conflicts: the case of Sri Lanka.
9th Biennial IASCP Conference “ The Commons in an Age of Globalization’ . Victoria Falls,
Zimbabwe.
KPK. (2013). Nota kesepakatan bersama rencana aksi percepatan pengukuhan kawasan hutan,
Lampiran 3 : Resolusi konflik. Dipetik Februari 25, 2014, dari http://www.kpk.go.id.
Laar, A. V., & Akca, A. (Penyunt.). (2007). Forest mensuration. Netherlands: Springer.
Lestiawati, Y. (2005, Februari). Kehutanan daerah di era desentralisasi penghambat koordinasi ?
Governance Brief(5).
Mandallaz, D. (2007). Sampling techniques for forest inventories. Florida: Chapman & Hall/CRC.
Montagnini, F., & Jordan, C. F. (2005). Tropical forest ecology : The basis for conservation and
management. New York: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Nasir, M. M. (2012). Resolusi konflik terhadap sengketa penguasaan lahan dan pengelolaan sumber
daya alam. Kertas Kerja EPISTEMA (3).
Ngakan, P. O., Komarudin, H., & Moeliono, M. (2008). Menerawang kesatuan pengelolaan hutan di
era otonomi daerah. Governace Brief (38).
Nugroho, B., Kartodihardjo, H., & Soedarso, S. (2013). Pola pengelolaan keuangan badan layanan
umum daerah menuju kemandirian KPH. Jakarta: Direktorat Wilayah Pengelolaan dan
Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan Direktorat Jenderal Planologi.
Ontario Ministry of Natural Resources. (2003). Management units in Ontario: What are
management units. Dipetik Februari 25, 2014, dari www.mnr.gov.on.ca.
Republik Indonesia. (2004). Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan
Kehutanan. Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 146.
Republik Indonesia. (2007). Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82.
Republik Indonesia. (2007). Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22.
Republik Indonesia. (2008). Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 No. 16.
Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Lembaran Negara No. 244.
Republik Indonesia. (2019). Peraturan Presiden R.I Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data
Indonesia. Lembaran Negara No. 112.
Robinson, B. E., Holland, M. B., & Naughton-Treves, L. (2011). Does Secure Land Tenure save
Forests? A review of the relationship between land tenure and tropical deforestation.
CCAFS Working Paper(7).
Safitri, M. A. (2010). Forest tenure in Indonesia: The socio-legal challenges of securing communities’
rights. Leiden: Leiden University.
Safitri, M. A. (2012). Pengelolaan hutan berbasis masyarakat, konflik kehutanan dan keadilan
tenurial: Peluang dan limitasi. Makalah disampaikan dalam Semiloka Menuju Kawasan
Hutan yang Berkepastian Hukum dan Berkeadilan.
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 61
Perencanaan Kehutanan
Safitri. M.A. (2018). Keadilan Agraria di Kawasan Hutan: Menafsirkan Tanggung Jawab Negara
terhadap Reforma Agraria. Dalam Reforma Agraria di Kehutanan: Ragam Masalah dan
Tantangan. Edisi Revisi. Cahyo, E., Hakim, I., Wibowo, L. dan Ginoga, K (eds). Bogor. IPB
Press.
Scale up. (2011). KPH dan pengelolaan hutan kolaboratif. Dipetik Februari 24, 2014, dari http://
www.scaleup.go.id.
Shivje, I. G., Moyo, S., Gunby, D., & Ncube, W. (1998). National land policy framework. Draft
discussion paper, Ministry of Lands and Agriculture, Harare.
Silpakar, S. (2008). Implications of land tenure on food sufficiency in Dang District. MSc thesis
submitted to Purbanchal University.
Simon, H. (1996). Metode inventore hutan. Yogyakarta : Aditya media.
Suhendang, E. (2007). Arah dan skenario pengembangan pemantapan kawasan hutan. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Supratman. (2008). Desain model pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Kabupaten
Mamuju Provinsi Sulawesi Barat. Jurnal Perenial, 5(1).
Suprianto, T. (2012). Kesatuan pengelolaan hutan menuju pemanfaatan hutan lestari. Jakarta:
UNREDD.
Vanclay, J. K. (1994). Modelling forest growth and yield : Applications to mixed tropical forests.
Wallingford UK: CAB International.
West, P. (2009). Tree and forest measurement. New York: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Westoby , J., & Leslie, A. (1987). The Purpose of forest : The Follies of development. Oxford : Basil
Blackwell.
World Bank. (2013). Forest investment program kawasan Asia Timur dan Pasifik. Dokumen
Informasi Proyek (Project Information Document).
Yuwono, T. (2008). 2011: Finalisasi pembentukan KPH, mungkinkah? Berkaca dari pembentukan
Houtvesterij di Jawa. Diambil kembaali dari https://komunitashijauhitam.wordpress.
com/2008/11/12/2011-finalisasi-pembentukan-kph-mungkinkahby-teguh-yuwono/
Semburat Mentari di Hutan Penelitian Arcamanik
Ujung Berung, Kabupaten Bandung
Herman Prasetyo
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 63
Pengelolaan Hutan
BAB IV
PENGELOLAAN
HUTAN
A. Ruang Lingkup
Pengelolaan hutan ditujukan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat sesuai
dengan amanat Undang-Undang Dasar
1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Pengelolaan hutan di
Indonesia di atur dalam Undang-Undang
Mengukur Diameter
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Herman Prasetyo
pada Bab V. Ruang lingkup pengelolaan
hutan sesuai pasal 21 meliputi kegiatan:
1. Tata hutan dan penyusunan rencana juga tanggung jawab semua orang, mulai
pengelolaan hutan; dari sektor swasta sampai dengan anggota
2. Pemanfaatan hutan dan penggunaan masyarakat akar rumput. Pengelolaan
kawasan hutan; hutan bukan hanya mengenai ekonomi
3. Rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan kayu, atau konservasi keanekaragaman
4. Perlindungan hutan dan konservasi alam. hayati, flora atau fauna, tetapi juga
mengenai keseluruhan pengelolaan hutan.
Sejak tahun 2015 telah dilakukan perubahan Hutan dengan berbagai fungsinya harus
kebijakan untuk meningkatkan partisipasi memberikan manfaat bagi kehidupan dan
masyarakat dalam pengelolaan hutan kesejahteraan jutaan rakyat Indonesia.
dengan menciptakan struktur kepemilikan
lahan yang adil dan mengutamakan sumber Pengelolaan hutan yang awalnya
daya hutan untuk kesejahteraan rakyat berfokus pada pengelolaan kayu telah
Indonesia, seperti program Tanah Obyek dilakukan perubahan ke arah pengelolaan
Reforma Agraria (TORA) dan aktualisasi ekosistem bentang alam hutan secara
Perhutanan Sosial (PS) secara utuh dan holistik, yang mencakup perhutanan
luas, mengakui eksistensi dan memberikan sosial dan pengelolaan hutan berbasis
ruang lebih kepada Masyarakat Hukum Adat masyarakat. Kombinasi pengelolaan hutan
(MHA) untuk mengelola hutan dan sumber dan penggunaan lahan yang lebih baik
daya alam sekitarnya sesuai kearifan lokal merupakan reorientasi strategis menuju
dan pengetahuan tradisionalnya yang pengelolaan hutan yang lebih bijaksana
telah berlangsung secara turun temurun, dengan mempertimbangkan nilai-nilai adat,
serta mendorong perusahaan swasta perhutanan sosial, unsur-unsur reforma
untuk melibatkan atau bermitra dengan agraria, dan penegakan hukum.
masyarakat.
Dalam pengelolaan hutan Indonesia
Tanggung jawab pengelolaan hutan bukan terdapat istilah kawasan hutan dan
hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi area berhutan. Kawasan hutan adalah
64 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
suatu lahan yang ditunjuk sebagai hutan mana seluruh kawasan hutan di Indonesia
tetap. Pada kondisi ini lahan tersebut akan terbagi dalam wilayah-wilayah
tidak harus bervegetasikan pohon tapi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) serta
memiliki fungsi konservasi, lindung, dan akan menjadi bagian penguatan sistem
produksi yang sesuai dengan rencana tata pengurusan hutan.
ruang. Sementara area berhutan adalah
suatu lahan yang bervegetasi pohon baik Kegiatan tata hutan di KPH ini terdiri tata
terdapat di dalam kawasan hutan maupun batas, inventarisasi hutan, pembagian ke
di luar kawasan hutan. Area berhutan dapat dalam blok atau zona, pembagian petak
berupa hutan yang tumbuh secara alami dan anak petak, dan pemetaan. Tata hutan
maupun hutan buatan. ini kemudian digunakan untuk menyusun
Rencana Pengelolaan Hutan untuk jangka
Klasifikasi hutan ini berdampak pada waktu tertentu, yaitu rencana pengelolaan
kepengurusan hutan. Kegiatan Tata Hutan hutan jangka panjang dan rencana
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan pengelolaan hutan jangka pendek.
Hutan, serta Pemanfaatan Hutan dalam
rangka pengelolaan hutan diatur pada Secara teknis kegiatan tata hutan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun penyusunan rencana pengelolaan hutan
2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan khususnya pada KPH Lindung dan KPH
Rencana Pengelolaan Hutan, serta Produksi diatur dalam Peraturan Dirjen
Pemanfaatan Hutan, sebagaimana telah Planologi Kehutanan Nomor P.5/VII-
diubah dengan Peraturan Pemerintah WP3H/2012 tentang Petunjuk Teknis
Nomor 3 Tahun 2008. Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan pada Kesatuan
Tata hutan adalah kegiatan rancang bangun Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan
unit pengelolaan hutan, dengan tujuan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi
untuk memperoleh manfaat yang sebesar- (KPHP).
besarnya bagi masyarakat secara lestari.
Pembentukan wilayah pengelolaan hutan Pemanfaatan kawasan hutan dapat
tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dilakukan pada semua kawasan hutan
dengan mempertimbangkan karakteristik kecuali pada hutan cagar alam serta zona
lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi inti dan zona rimba pada taman nasional.
daerah aliran sungai, sosial budaya, Upaya untuk mendorong perbaikan
ekonomi, kelembagaan masyarakat pengelolaan hutan juga diwujudkan
setempat termasuk masyarakat hukum melalui reorientasi pemanfaatan hasil
adat dan batas administrasi pemerintahan. hutan melalui optimasi multiguna hutan
Selain itu, pengelolaan hutan juga harus dengan memanfaatkan semua potensi
mempertimbangkan hubungan antara yang terdapat di dalam hutan produksi,
masyarakat dengan hutan, aspirasi, dan baik berupa kayu, hasil hutan bukan kayu
kearifan tradisional masyarakat. maupun jasa lingkungan, sehingga hutan
produksi dapat mendukung ketahanan
Pembentukan unit pengelolaan hutan yang pangan, ketahanan energi dan ketersediaan
melampaui batas administrasi pemerintahan air yang layak konsumsi. Moratorium atas
karena kondisi dan karakteristik serta izin-izin baru, tersedianya suatu sistem
tipe hutan, penetapannya diatur secara untuk sertifikasi Pengelolaan Hutan
khusus oleh Menteri. Pembentukan unit Produksi Lestari (PHPL) yang bertujuan
pengelolaan hutan didasarkan pada kriteria untuk menghentikan pembalakan liar serta
dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri sistem lacak balak (chain of custody) yang
(pasal 17 UU Nomor 41 tahun 1999) di menjamin legalitas kayu, yang dikenal
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 65
Pengelolaan Hutan
Dalam konsep proses produksi ini, maka alam hingga kondisi potensi tegakannya
hutan sebagai pabrik dan sekaligus sebagai optimal untuk ditebang berikutnya. Cara
luaran (output) dari proses produksi. Oleh pemulihannya bisa menerapkan salah
karena itu, upaya yang dilakukan dalam satu sistem silvikultur atau kombinasi dua
proses produksi melalui penerapan teknik atau lebih sistem silvikultur sesuai dengan
silvikultur tertentu termasuk pemberian karakteritik hutan dan lahan. Ada beberapa
masukan teknologi tertentu yang dianggap sistem silvikultur dalam pengelolaan hutan
paling tepat merupakan upaya dalam proses produksi antara lain sistem silvikultur TPTI,
produksi untuk menghasilkan tegakan Tebang Pilih Tanam Jalur dengan Teknik
hutan yang paling mendekati tegakan Silvikultur Intensif (TPTJ-Silin), Tebang Pilih
hutan ideal yang dapat dibangun di tempat Tanam Rumpang (TPTR), Tebang Habis
tersebut. Tegakan ideal berdasarkan konsep Permudaan Buatan. Jika penerapan dua
pengelolaan hutan seperti ini merupakan atau lebih sistem silvikultur dalam satu unit
hutan tanaman monokultur dan satu umur manajemen, maka sistem silvikulturnya
(even aged) yang dimungkinkan memiliki disebut Multisistem Silvikultur.
pertumbuhan tegakan tertinggi, bentuk
dan kesehatan pohon yang terbaik dengan B.2. Jenis-jenis Pengelolaan Hutan Produksi
menerapkan perlakuan silvikultur terbaik Bentuk pengelolaan hutan produksi di
dan tepat di tempat tersebut. Indonesia diterapkan dalam bentuk sistem
Cara pemanenan kayu yang lazim diterapkan silvikultur. Sistem silvikultur adalah proses
dalam setiap tegakan menggunakan cara pemanenan sesuai tapak/tempat tumbuh
tebang habis, sedangkan cara peremajaan berdasarkan formasi terbentuknya hutan
permudaannya dilakukan dengan cara yaitu proses klimatis dan edaphis dari tipe-
permudaan buatan atau permudaan tipe hutan yang terbentuk dalam rangka
alami. Oleh karena itu, cara penebangan pengelolaan hutan lestari atau teknik
dan permudaan seperti ini dalam sistem bercocok tanaman hutan mulai dari memilih
silvikultur diterapkan Sistem Tebang Habis benih atau bibit, menyemai, menanam,
dengan Permudaan Buatan (THPB) atau memelihara tanaman dan memanen.
Tebang Habis dengan Permudaan Alam. Sesuai dengan asas kelestarian hasil yang
mendasari pengelolaan hutan, maka
Penggabungan prinsip pemanenan dan pemilihan sistem silvikultur memerlukan
permudaan ini diterapkan pada sistem pertimbangan yang seksama, mencakup
silvikultur di hutan alam tropika Indonesia keadaan/tipe hutan, sifat silvik, struktur,
yang kondisi tegakan hutannya berupa komposisi, tanah, topografi, pengetahuan
hutan campuran (heterogen) dan tidak profesional rimbawan, dan kemampuan
seumur (uneven-aged) yang tumbuh secara pembiayaan.
alami dengan kondisi yang masih baik. Cara
penebangan dilakukan dengan cara tebang Hutan tropika basah untuk fungsi produksi
pilih dengan limit diameter tertentu, di Indonesia, dari segi pembentukkannya
hal ini menunjukkan tebang habis untuk secara alam dan pengaruh aktifitas manusia
kondisi pohon yang berdiameter di atas terdiri atas ekosistem alam dan ekosistem
yang ditetapkan. Cara permudaannya bisa buatan yang meliputi berbagai ekosistem
diterapkan sistem permudaan alami seperti hutan yaitu:
pada sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam a. Ekosistem alam seperti hutan hujan
Indonesia (TPTI). tropika, hutan musim, hutan rawa, hutan
gambut, hutan kerangas dan Hutan
Hutan alam produksi yang kondisinya rusak, Mangrove.
maka perlu dikembalikan kondisi hutan b. Ekosistem buatan pada kawasan hutan
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 67
Pengelolaan Hutan
seperti hutan tanaman industri dan ekologi dan dampak positif bagi sosial
hutan tanaman rakyat ekonomi termasuk mempertahankan dan
meningkatkan produktivitas hutan.
Pada kawasan hutan produksi ekosistem
alam, diberikan Izin Usaha Pemanfaatan a. Tebang Pilih Indonesia (TPI)
Hasil Hutan Kayu Hutan Alam yang
selanjutnya disingkat IUPHHK-HA. Ini Sistem silvikultur TPI merupakan suatu
adalah izin usaha yang diberikan untuk sistem silvikultur meliputi cara penebangan
memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan permudaan hutan perpaduan antara:
dalam hutan alam pada hutan produksi (1) tebang dengan batas minimum diameter
melalui kegiatan pemanenan atau dari Indonesia, (2) tebang pilih Philipina
penebangan, pengayaan, pemeliharaan (selective logging), (3) penyempurnaan
dan pemasaran. hutan dengan pengayaan tanaman,
dan (4) pembinaan permudaan dengan
Sistem silvikultur yang pernah diterapkan pembebasan dari tumbuhan pengganggu.
pada kawasan hutan alam produksi di
Indonesia yaitu Sistem silvikultur TPI (Tebang Dalam TPI ini harus ada pohon inti yaitu
Pilih Indonesia, 1972-1989), TPTI (Tebang pohon-pohon yang akan membentuk
Pilih Tanam Indonesia, 1989-Sekarang), tegakan utama akan ditebang pada rotasi
Sistem TPTJ (Tebang Pilih Tanam Jalur) berikutnya. Pohon inti juga berfungsi
dan Tebang Pilih Tanam Indonesia sebagai pohon induk yang menghasilkan
Intensif (Teknik Silvikultur Intensif/SILIN). benih untuk regenerasi hutan. Pada
Sedangkan sistem silvikultur yang belum pelaksanaan penerapan di lapangan, terjadi
diterapkan adalah Sistem THPA (Tebang permasalahan kurangnya jumlah pohon
Habis dengan permudaan Alam) dan Sistem inti pada bagian-bagian tertentu karena
TPTR (Tebang Pilih Tanam Rumpang). bervariasinya kondisi hutan alam produksi.
Oleh karena itu, Direktorat Reboisasi dan
Pada kawasan hutan produksi ekosistem Rehabilitasi pada tahun 1980 mengadakan
buatan, diberikan Ijin Usaha Pemanfaatan penyempurnaan pedoman TPI khususnya
Hutan Kayu–Hutan Tanaman yang tentang pohon inti.
selanjutnya disingkat IUPHHK-HT. Ini
merupakan izin usaha yang diberikan b. Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)
untuk memanfaatkan hasil hutan berupa Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)
kayu pada hutan produksi melalui kegiatan adalah salah satu sistem silvikultur yang
penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, diterapkan pada hutan-hutan alam yang tak
pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran. seumur di Indonesia. Tujuan TPTI adalah
Sistem silvikultur yang pada saat ini telah meningkatkan produktivitas hutan alam
diterapkan pada kawasan tersebut adalah tegakan tidak seumur melalui tebang pilih
Sistem Tebang Habis dengan Permudaan dan pembinaan tegakan tinggal dalam
Buatan (THPB) yang saat ini diterapkan rangka memperoleh panenan yang lestari.
pada Hutan Jati dan HTI (Hutan Tanaman Sasaran TPTI adalah pada hutan alam
Industri). produksi di areal IUPHHK atau KPHP.
B.3. Sistem Silvikultur yang Pernah Prinsip TPTI adalah 1) sistem silvikultur
Diterapkan pada Hutan Alam Produksi untuk tegakan tidak seumur, 2) teknik
(IUPHHK HA) pemanenan dengan tebang pilih, 3)
Sistem silvikultur di hutan alam merupakan meningkatkan riap sebagai aset, dan 4)
salah satu bagian penting dari sistem PHPL mempertahankan keanekaragaman hayati.
yang dapat menjamin kelestarian produksi, Tahapan kegiatan TPTI mencakup penataan
68 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
areal kerja (PAK); inventarisasi tegakan Dengan cara demikian, areal hutan yang
sebelum penebangan (ITSP); pembukaan telah ditebang itu pada siklus tebang
wilayah hutan (PWH); pemanenan; berikutnya dapat tumbuh kembali menjadi
penanaman dan pemeliharaan tanaman tegakan hutan baru yang bernilai tinggi,
pengayaan; pembebasan pohon binaan; dengan komposisi jenis kurang lebih
serta; perlindungan dan pengamanan seperti hutan semula. Sedangkan potensi
hutan. alam lainnya dalam hutan, termasuk
Sistem silvikultur dipandang TPTI paling faktor lingkungan yang sehat dapat
sesuai untuk menjamin kelestarian manfaat dipertahankan. Wilayah hutan payau yang
jangka panjang melalui rotasi tebang serta diperbolehkan untuk diusahakan adalah
kesuburan tanah melalui siklus hara. Rotasi bagian hutan produksi, mulai dari suatu
Tebang pada TPTI 35 tahun dengan asumsi garis yang terletak pada jarak 50 m dari tepi
riap diameter 1 (satu) cm/tahun. hutan yang menghadap arah pantai, dan 10
m dari tepi hutan yang menghadap ke arah
Penerapan TPTI yaitu (a) pada hutan tepi sungai, alur air, dan jalan raya. Jalur
daratan tanah kering rotasi tebang di hutan hutan tersebut merupakan areal pelindung
30 tahun untuk diameter pohon yang yang berfungsi sebagai pelindung tanah
ditebang ≥ 40 cm pada Hutan Produksi terhadap erosi pantai, terhadap habitat
Tetap dan diameter pohon yang ditebang biota perairan seperti ikan, udang, dan
≥ 50 cm pada Hutan Produksi Terbatas; (b) sebagai sumber biji, dan lain-lain.
pada hutan rawa rotasi tebang 40 tahun
untuk diameter pohon yang ditebang ≥ 30 Rangkaian kegiatan sistem ini, adalah:
cm. Tingkat produktivitas hutan alam antara 1) Inventarisasi dan penataan hutan,
lokasi yang satu dengan lokasi lainnya
2) Penetapan letak sarana dan prasarana,
beragam. Oleh karena itu, penetapan
jatah tebangan tahunan (etat) di setiap 3) Penunjukan pohon induk dan
lokasi sesuai dengan tingkat produktivitas penyusunan rencana kerja,
tegakannya. 4) Penebangan dilaksanakan berdasarkan
siklus tebang 30 tahun dengan limit
c. Pedoman Sistem Silvikultur Hutan Payau diameter 10 cm keatas pada ketinggian
20 cm di atas pangkal akar tunjang, atau
Hutan payau atau hutan mangrove banir yang teratas. Sejumlah 40 batang
merupakan tipe hutan yang terdapat
pohon induk yang berdiamater 20 cm
di sepanjang pantai atau muara sungai,
di atas pangkal banir, berbatang lurus
yang dipengaruhi pasang surut air laut,
yaitu tergenang air laut pada waktu dengan tajuk lebat dan sehat harus
pasang, dan bebas dari genangan pada ditinggalkan pada setiap hektarnya, atau
waktu surut. Sistem Silvikultur yang dengan jarak antar pohon ± 17 m.
dipakai dalam pengusahaan hutan payau 5) Setelah penebangan, areal bekas
ialah Sistem Pohon Induk (Seed Tree tebangan yang terdapat pohon induk
Method). Penebangan dilakukan dengan harus ditutup terhadap penebangan.
meninggalkan sejumlah pohon induk 6) Pada umur 15-20 tahun setelah
sebagai usaha peremajaan hutan secara penebangan dilakukan penjarangan satu
alami, khususnya jenis pohon dalam famili kali dengan meninggalkan 1.100 pohon
Rhizophoraceae antara lain Rhizophora tiap hektarnya, dengan jarak rata-rata
spp, Bruguiera spp dan Ceriops spp. antar pohon 3 meter. Setelah itu areal
Sistem ini mengatur cara penebangan ditutup terhadap penebangan sampai
dan pemeliharaan hutan payau serta tahun ke-30.
penanaman tambahan dan perlindungan
6) Pada areal hutan payau bekas tebangan
hutan.
yang tidak teratur dapat dilakukan
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 69
Pengelolaan Hutan
dengan teknik Silvikultur yaitu Shorea banyak tenaga kerja; dan (g) pengawasan
leprosula, S. parvifolia, S. johorensis, S. lebih mudah.
smithiana, S. ovalis, S. platyclados, S.
selanica, S. macrophylla, S. javanica, S. Namun demikian sistem silvikultur THPB
palembanica, Dryobalanops sp. memiliki kelemahan seperti (a) nilai
keragaman rendah karena sifatnya yang
Daur ekonomis jenis-jenis unggulan (jenis monokultur; (b) rentan terhadap hama
target) adalah 25 tahun. Produktivitas penyakit; dan (c) dapat menimbulkan
tegakan meranti yang ditanam bisa perubahan iklim mikro akibat perubahan
mencapai di atas 3 m3/ha/tahun. Menurut vegetasi.
Darwo (2020) apabila TPTJ-SILIN dilakukan
di LOA yang rusak, maka dalam siklus tebang Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan
25 tahun dengan target volume tegakan 75 tersebut dapat menempuh langkah-langkah
m3/ha dengan penanaman seluas 100.000 (a) memperkaya keanekaragaman jenis
ha/tahun akan menghasilkan volume dan penggunaan benih unggul genetik;
kayu sebesar 7,5 juta m3/tahun. Adanya (b) konsistensi alokasi kawasan lindung,
penambahan produksi kayu sebesar 7,5 tanaman jenis unggulan dan tanaman
juta m3/tahun tersebut, maka produktivitas kehidupan; (c) meningkatkan penelitian
hutan alam bisa meningkat 1,5 kali pada dan pengembangan untuk mendapatkan
saat ini. bibit-bibit tanaman yang tahan hama
penyakit; dan (d) mempercepat penanaman
B.4. Sistem silvikultur yang Diterapkan kembali areal yang telah ditebang habis/
pada Hutan Tanaman Produksi (IUPHHK menghindari masa bera.
HT)
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
a. Tebang Habis dengan Permudaan dalam penentuan sistem silvikultur THPB
Buatan (THPB) untuk pembangunan Hutan Tanaman
Industri (HTI) adalah (a) kondisi tipologi
Pada sistem silvikultur Tebang Habis dengan lahan/tapak terutama yang menyangkut
Permudaan Buatan (THPB), semua pohon tipe kelas lahan, tingkat kesuburan, kondisi
dalam satu areal ditebang habis yang fisiogeografi, hidrologi, dan jenis tanah; (b)
kemudian ditanami kembali dengan bibit ketersediaan jenis bibit tanaman atau bahan
atau biji. Kegiatan penghutanan pada areal baku pendukung lainnya; (c) kebijakan dan
bekas tebang habis dimaksudkan untuk peraturan pemerintah yang menyangkut
memperoleh tegakan hutan baru yang teknis silvikultur pengelolaan hutan; (d)
seumur dan bernilai tinggi dengan tujuan tujuan kelas perusahaan yang terdiri
perusahaan. dari kelas perusahaan kayu pertukangan,
Sistem silvikultur THPB terpilih karena kayu serat/pulp, kayu energi, dan kelas
memiliki keunggulan (a) operasi pembalakan perusahaan hasil hutan bukan kayu; (e)
terkonsentrasi di areal kecil tetapi volume ketersediaan sumber daya teknologi,
kayu besar, biaya pembalakan per m3 sumber daya manusia dan sumber daya
lebih murah; (b) tanaman baru terdiri dari pasar yang baik.
jenis intoleran, bebas persaingan dengan 1) Pembangunan HTI dengan Sistem THPB
tegakan tua; (c) metodenya sederhana,
praktis dan mudah; (d) tegakan seumur, Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah hutan
murni, teratur, tumbuh cepat; (e) dapat tanaman yang dikelola dan diusahakan
dilakukan dengan sistem tumpang sari, berdasarkan asas kelestarian, asas manfaat
sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan asas perusahaan dalam rangka
masyarakat sekitar hutan; (f) menyerap meningkatkan potensi dan kualitas hutan
72 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
• blok pengelolaan pada CA, SM, TAHURA, tidak diperbolehkan adanya perubahan
dan TWA. berupa mengurangi, menghilangkan
fungsi dan menambah jenis tumbuhan
Zona pengelolaan pada TN terdiri atas : dan satwa lain yang tidak asli.
a. zona inti;
2. Zona Rimba adalah bagian TN yang
b. zona rimba;
ditetapkan karena letak, kondisi dan
c. zona pemanfaatan; dan/atau
potensinya mampu mendukung
d. zona lainnya sesuai dengan keperluan,
kepentingan pelestarian pada zona inti
terdiri atas :
dan zona pemanfaatan.
• zona perlindungan bahari;
• zona tradisional; 3. Zona Pemanfaatan adalah bagian dari
• zona rehabilitasi; TN yang ditetapkan karena letak, kondisi
• zona religi, budaya dan sejarah; dan/ dan potensi alamnya yang terutama
atau dimanfaatkan untuk kepentingan
• zona khusus. pariwisata alam dan kondisi lingkungan
lainnya.
Blok pengelolaan pada CA meliputi : 4. Blok Perlindungan adalah bagian
a. blok perlindungan/perlindungan bahari; dari kawasan yang ditetapkan
dan sebagai areal untuk perlindungan
b. blok lainnya. meliputi : keterwakilan keanekaragaman hayati
• blok rehabilitasi; dan ekosistemnya pada kawasan selain
• blok religi, budaya dan sejarah; dan/atau taman nasional.
• blok khusus
5. Blok Pemanfaatan adalah bagian dari
Blok pengelolaan pada SM terdiri atas : SM, TWA dan TAHURA yang ditetapkan
a. blok perlindungan/perlindungan bahari; karena letak, kondisi dan potensi
b. blok pemanfaatan; dan/atau alamnya yang terutama dimanfaatkan
c. blok lainnya. terdiri atas : untuk kepentingan pariwisata alam dan
• blok rehabilitasi; kondisi lingkungan lainnya.
• blok religi, budaya dan sejarah; dan/ 6. Zona/Blok Perlindungan bahari adalah
atau bagian dari kawasan perairan laut yang
• blok khusus. ditetapkan sebagai areal perlindungan
jenis tumbuhan, satwa dan ekosistem
Blok pengelolaan pada kawasan TAHURA serta sistem penyangga kehidupan.
dan TWA terdiri atas :
a. blok perlindungan/perlindungan bahari; 7. Blok Koleksi tumbuhan dan/atau satwa
b. blok pemanfaatan; dan/atau adalah bagian dari TAHURA yang
c. blok lainnya terdiri atas : ditetapkan sebagai areal untuk koleksi
• blok tradisional; tumbuhan dan/atau satwa.
• blok rehabilitasi; 8. Zona/Blok Tradisional adalah bagian dari
• blok religi, budaya dan sejarah; dan/ KPA yang ditetapkan sebagai areal untuk
atau kepentingan pemanfaatan tradisional
• blok khusus. oleh masyarakat yang secara turun-
temurun mempunyai ketergantungan
Pengertian zona pengelolaan taman dengan sumber daya alam.
nasional dan blok pengelolaan cagar alam, 9. Zona/Blok Rehabilitasi adalah bagian
suaka margasatwa, taman hutan raya dan dari KSA/KPA yang ditetapkan sebagai
taman wisata alam. areal untuk pemulihan komunitas hayati
1. Zona Inti adalah kawasan taman dan ekosistemnya yang mengalami
nasional yang mutlak dilindungi dan kerusakan.
92 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
10. Zona/Blok Religi, Budaya dan Sejarah Mekanisme alam adalah suatu tindakan
adalah bagian dari KSA/KPA yang pemulihan terhadap ekosistem yang
ditetapkan sebagai areal untuk kegiatan terindikasi mengalami penurunan fungsi
keagamaan, kegiatan adat-budaya, melalui tindakan perlindungan terhadap
perlindungan nilai-nilai budaya atau kelangsungan proses alami, untuk tujuan
sejarah. tercapainya keseimbangan sumber daya
11. Zona/Blok Khusus adalah bagian dari alam hayati dan ekosistemnya mendekati
KSA/KPA yang ditetapkan sebagai areal kondisi aslinya.
untuk pemukiman kelompok masyarakat Rehabilitasi ekosistem adalah suatu
dan aktivitas kehidupannya dan/atau tindakan pemulihan terhadap ekosistem
bagi kepentingan pembangunan sarana yang mengalami kerusakan fungsi berupa
telekomunikasi dan listrik, fasilitas berkurangnya penutupan lahan, kerusakan
transportasi dan lain-lain yang bersifat badan air atau bentang alam laut melalui
strategis. tindakan penanaman, rehabilitasi badan
air atau rehabilitasi bentang alam laut
e. Pemulihan Ekosistem Kawasan Konservasi
untuk tujuan tercapainya keseimbangan
Pemulihan ekosistem adalah kegiatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
pemulihan ekosistem KSA/KPA termasuk mendekati kondisi aslinya.
didalamnya pemulihan terhadap alam
Restorasi ekosistem adalah suatu tindakan
hayatinya sehingga terwujud keseimbangan
pemulihan terhadap ekosistem yang
alam hayati dan ekosistemnya di kawasan mengalami kerusakan fungsi berupa
tersebut. berkurangnya penutupan lahan, kerusakan
Pemulihan ekosistem penyusun KSA dan badan air atau bentang alam laut serta
KPA bertujuan untuk mengembalikan terganggunya status satwa liar, biota
sepenuhnya integritas ekosistem: air, atau biota laut melalui tindakan
a. kembali ke tingkat/kondisi aslinya; penanaman, rehabilitasi badan air atau
b. kepada kondisi masa depan tertentu rehabilitasi bentang alam laut, pembinaan
(Desired Future Condition/DFC) sesuai habitat dan populasi untuk tujuan
dengan tujuan pengelolaan kawasan. tercapainya keseimbangan sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya mendekati
Pemulihan ekosistem penyusun KSA atau kondisi aslinya.
KPA, antara lain meliputi kegiatan:
Pelaksanaan pemulihan ekosistem
a. perlindungan dan pengamanan KSA atau
dilakukan oleh unit pengelola dan/
KPA termasuk koridor bagi penyebaran
atau dapat dilakukan oleh pemegang
satwa liar dan transfer materi genetik;
izin setelah mendapat izin dari Menteri
b. pemulihan habitat bagi spesies satwa
dengan melibatkan masyarakat setempat.
atau tumbuhan asli atau endemik;
Pelibatan masyarakat setempat dilakukan
c. mempertahankan dan memulihkan
dalam rangka peningkatan sosial ekonomi
dinamika populasi dan struktur vegetasi; masyarakat setempat sebagai upaya
d. mengurangi atau menghilangkan keberlanjutan pemulihan ekosistem.
ancaman terhadap kerusakan ekosistem.
Pelaksanaan pemulihan ekosistem ditujukan
Pemulihan ekosistem dilakukan dengan untuk terwujudnya kondisi ekosistem asli
cara: atau kondisi masa depan yang diinginkan
a. mekanisme alam; sesuai dengan tujuan pengelolaan. Untuk
b. rehabilitasi; atau mewujudkan kondisi ekosistem asli atau
c. restorasi. kondisi masa depan yang diinginkan,
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 93
Pengelolaan Hutan
satwa sekurang-kurangnya 3 (tiga) kelas tertentu atau kelas taksa tumbuhan liar
taksa pada areal terbuka dengan luasan tertentu, untuk kepentingan sebagai
sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) hektar, sumber cadangan genetik, pendidikan,
yang bisa dikunjungi dengan menggunakan budidaya, penelitian dan pengembangan
kendaraan roda empat (mobil) pribadi bioteknologi.
dan/atau kendaraan roda empat (mobil)
yang disediakan pengelola yang aman dari Kebun Raya dapat dikelompokkan
jangkauan satwa. sebagai Kebun Botani, namun karena
pengelolaannya berada di bawah Lembaga
Kebun botani adalah lokasi pemeliharaan Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan
berbagai jenis tumbuhan tertentu, untuk penyelenggaraannya diatur tersendiri oleh
dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan, Peraturan Presiden Republik Indonesia
penelitian dan pengembangan bioteknologi, Nomor 93 Tahun 2011 Tentang Kebun
rekreasi dan budidaya. Raya, maka tidak termasuk yang diatur
Pusat rehabilitasi satwa (PRS) adalah tempat di Kementerian Lingkungan Hidup dan
untuk melakukan proses rehabilitasi, Kehutanan. Pembangunan dan pengelolaan
adaptasi satwa dan pelepasliaran ke habitat kebun raya mengacu pada Peraturan
alaminya. Presiden Republik Indonesia Nomor 93
Tahun 2011 tersebut.
Pusat penyelamatan satwa (PPS) adalah
tempat untuk melakukan kegiatan Kebun Raya adalah kawasan konservasi
pemeliharaan satwa hasil sitaan atau tumbuhan secara ex situ yang memiliki
temuan atau penyerahan dari masyarakat koleksi tumbuhan terdokumentasi
yang pengelolaannya bersifat sementara dan ditata berdasarkan pola klasifikasi
sebelum adanya penetapan penyaluran taksonomi, bioregion, tematik, atau
satwa (animal disposal) lebih lanjut oleh kombinasi dari pola-pola tersebut untuk
Pemerintah. tujuan kegiatan konservasi, penelitian,
pendidikan, wisata dan jasa lingkungan.
Pusat latihan satwa khusus (PLS) adalah Kebun Raya terdiri dari:
tempat melatih satwa khusus spesies gajah a. Kebun Raya yang menjadi kewenangan
agar menjadi terampil sehingga dapat Pemerintah Pusat;
dimanfaatkan antara lain untuk kegiatan b. Kebun Raya yang menjadi kewenangan
peragaan di dalam areal pusat latihan Pemerintah Daerah Provinsi; dan
gajah, patroli pengamanan kawasan hutan, c. Kebun Raya yang menjadi kewenangan
sumber satwa bagi lembaga konservasi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
lainnya dan/atau membantu kegiatan
kemanusiaan dan pendidikan.
E. Konservasi Keanekaragaman Hayati
Museum zoologi adalah tempat koleksi
berbagai spesimen satwa dalam keadaan E.1. Pengertian
mati, untuk kepentingan pendidikan dan
penelitian. Keanekaragaman hayati atau kehati
diterjemahkan sebagai semua makhluk
Herbarium adalah tempat koleksi berbagai yang hidup di bumi, termasuk semua
spesimen tumbuhan dalam keadaan jenis tumbuhan, binatang dan mikroba.
mati untuk kepentingan pendidikan dan Keanekaragaman hayati juga dapat dimaknai
penelitian. sebagai variabilitas di antara organisme
hidup dari semua sumber termasuk
Taman tumbuhan khusus adalah tempat ekosistem darat, laut dan perairan lainnya;
pemeliharaan jenis tumbuhan liar
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 97
Pengelolaan Hutan
pengembangan kehati dalam menyumbang spesies disusun Strategi dan Rencana Aksi
daya saing bangsa dan pemanfaatannya Konservasi (SRAK) yang memuat kondisi
secara adil dan berkelanjutan untuk spesies terkini, visi, sasaran, strategi dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat rencana aksi nasional konservasi masing-
saat ini dan generasi mendatang”. Untuk masing spesies.
mewujudkan visi tersebut, dirumuskan 4
(empat) misi berdasarkan arah kebijakan Beberapa SRAK yang telah ditetapkan
dalam mendukung pencapaian pengelolaan peraturannya diantaranya adalah:
kehati. 1. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi
Banteng (Bos Javanicus) Tahun 2010-
Misi pengelolaan kehati tahun 2015-2020 2020 yang ditetapkan dengan Peraturan
adalah: Menteri Kehutanan Nomor P.58/
1. Meningkatkan penguasaan kehati Menhut-II/2011 Tahun 2011
Indonesia menjadi milik bangsa 2. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi
Indonesia. Anoa (Bubalus depressicornis dan
2. Menjadikan kehati sebagai sumber Bubalus quarlesi) Tahun 2013-2022 yang
kesejahteraan dan keberlanjutan ditetapkan dengan Peraturan Menteri
kehidupan bangsa Indonesia. Kehutanan Nomor P.54/Menhut-II/2013
3. Mengelola kehati secara Tahun 2013
bertanggungjawab demi keberlanjutan 3. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi
kehidupan dunia. Tapir (Tapirus indicus) Tahun 2013-
2022 yang ditetapkan dengan Peraturan
Sasaran pencapaian berbagai sasaran Menteri Kehutanan Nomor P.57/
dan strategi disusun dalam bentuk 22 Menhut-II/2013 Tahun 2013
target nasional yang diselaraskan dengan 4. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi
kebutuhan nasional dan target pengelolaan Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) Tahun
keanekaragaman hayati di dunia sebagai 2013-2022 yang ditetapkan dengan
acuan bersama yang dikenal dengan Aichi Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
Biodiversity Target (AT). Kebijakan, strategi P.58/Menhut-II/2013 Tahun 2013
dan target nasional ini menjadi dasar 5. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi
penyusunan rencana aksi pengelolaan Babirusa (Babyrusa babyrusa) Tahun
kehati 2015-2020. 2013-2022 yang ditetapkan dengan
Selain itu, disusun visi pengelolaan kehati Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
paska 2020 yang diselaraskan dengan P.55/Menhut-II/2013 Tahun 2013
visi Aichi Target 2050. Visi pengelolaan 6. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi
kehati nasional pasca 2020 adalah: Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb)
“pada tahun 2050 sudah terwujudnya Tahun 2013-2022 yang ditetapkan
pengelolaan keanekaragaman hayati dalam dengan Peraturan Menteri Kehutanan
mendukung upaya pelestarian bumi yang Nomor P.56/Menhut-II/2013 Tahun
bisa memberikan manfaat penting bagi 2013
semua orang, melalui keanekaragaman 7. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi
hayati yang sudah dihargai, dilestarikan, Macan Tutul Jawa (Panthera pardus
dipulihkan dan digunakan secara bijaksana, melas) 2016-2026, berdasarkan
serta sudah dilaksanakannya pemeliharaan Peraturan Menteri LHK Nomor P.56.
jasa ekosistem”. MenLHK/Kum.1/2016
8. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi
Untuk melindungi spesies dilindungi, Rangkong Gading Indonesia Tahun 2018-
Pemerintah telah menetapkan spesies 2028 yang ditetapkan dengan Keputusan
prioritas. Perencanaan konservasi setiap Menteri LHK SK.215/MENLHK/KSDAE/
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 103
Pengelolaan Hutan
SIDAK diatur dalam Peraturan Dirjen KSDAE penebangan liar di kawasan konservasi,
Nomor P.13/KSDAE/SET/Ren.0/12/2018. t) gangguan perburuan liar di kawasan
Jenis data dalam penyelenggaraan SIDAK konservasi, u) gangguan pengambilan
adalah: hasil hutan lainnya di kawasan konservasi,
1. Data bidang pemolaan dan informasi v) penggunaan kawasan konservasi
konservasi alam tanpa izin untuk kegiatan perkebunan,
2. Data bidang kawasan konservasi w) penggunaan kawasan konservasi
3. Data bidang konservasi spesies dan tanpa izin untuk keperluan pemukiman,
genetik persawahan dan kebun campur, x)
4. Data bidang pemanfaatan jasa penggunaan kawasan konservasi tanpa
lingkungan hutan konservasi izin untuk pembangunan infrastruktur, y)
5. Data bidang bina pengelolaan ekosistem penggunaan kawasan konservasi tanpa
esensial izin untuk kegiatan pertambangan, z) hasil
6. Data bidang kesekretariatan operasi pengamanan kawasan konservasi,
aa) hasil operasi pengamanan peredaran
Ada dua jenis data yang terkait secara tumbuhan dan satwaliar, bb) penanganan
langsung maupun tidak langsung dengan perkara tindak pidana, cc) tenaga
konservasi keanekaragaman hayati, yaitu: pengamanan hutan per satuan kerja, dd)
1. Data bidang kawasan konservasi meliputi: tenaga pengamanan hutan pada kawasan
a) perencanaan pengelolaan kawasan konservasi, ee) sarana pengamanan hutan,
konservasi, b) kawasan konservasi yang ff) sebaran titik panas (hotspot) di kawasan
mendapat penetapan status internasional konservasi, gg) kebakaran hutan di kawasan
sebagai cagar biosfer, c) kawasan konservasi konservasi, hh) tenaga pengendalian
yang mendapat penetapan status kebakaran hutan, ii) peralatan tangan
internasional sebagai Situs Warisan Dunia, pengendalian kebakaran hutan, jj) peralatan
d) kawasan konservasi yang mendapat transportasi pengendalian kebakaran
penetapan status internasional sebagai hutan, kk) peralatan mesin pompa
Situs Ramsar, e) kawasan konservasi yang dan kelengkapannya untuk kebutuhan
mendapat penetapan status internasional pengendalian kebakaran hutan.
sebagai ASEAN Heritage Park, f) kawasan 2. Data bidang konservasi spesies dan
konservasi yang mendapat penetapan genetik meliputi: a) perjumpaan satwliar
status internasional sebagai UNESCO pada kawasan konservasi, b) perjumpaan
Global Geopark, g) penetapan batas tumbuhan alam pada kawasan konservasi,
kawasan konservasi, h) rekonstruksi batas c) lembaga konservasi umum, d) lembaga
kawasan konservasi, i) pemeliharaan konservasi khusus, e) penangkaran
batas kawasan konservasi, j) perencanaan tumbuhan dan satwaliar, f) pengedar
pemulihan ekosistem kawasan konservasi, tumbuhan dan satwa liar dalam negeri, g)
k) rencana dan realisasi pemulihan pengedar tumbuhan dan satwa liar luar
ekosistem kawasan konservasi, l). daerah negeri, h) kuota pemanfaatan tumbuhan
penyangga kawasan konservasi, m) desa dan satwaliar (appendiks dan non
binaan di daerah penyangga kawasan appendiks CITES), i) realisasi pemanfaatan
konservasi, n) pembinaan usaha ekonomi tumbuhan dan satwa liar (appendiks dan
produktif pada daerah penyangga kawasan non appendiks CITES), j) realisasi ekspor
konservasi, o) zona dan blok tradisional tumbuhan dan satwa liar hasil penangkaran,
kawasan konservasi, p) pemanfaatan zona k) realisasi ekspor tumbuhan dan satwa
dan blok tradisional kawasan konservasi, liar hasil pengambilan dari alam, l) PNBP
q) kemitraan konservasi, r) permasalahan dari kegiatan pemanfaatan tumbuhan
kawasan konservasi, s) gangguan dan satwa liar, m) penerimaan devisa dari
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 105
Pengelolaan Hutan
ekspor tumbuhan dan satwa liar, n) hasil 3. Hasil pengkajian, penelitian dan
assessmen aman lingkungan terhadap pengembangan jenis tumbuhan
produk rekayasa genetic, o) konflik satwa dan satwa liar yang dilindungi wajib
dan manusia, p) realisasi penggunaan diberitahukan kepada pemerintah.
SATS-DN, q) rekapitulasi kelahiran satwa 4. Pemerintah menetapkan lembaga
liar, r) rekapitulasi kematian satwa liar, s) penelitian dan atau lembaga
rekapitulasi pelepasliaran kembali satwa, t) konservasi yang bertugas
rekapitulasi sitaan satwa liar. mendokumentasikan, memelihara,
dan mengelola hasil pengkajian,
E.5. Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar penelitian dan pengembangan
Pemanfaatan jenis adalah penggunaan 5. Ketentuan tentang pengkajian,
sumber daya alam baik tumbuhan maupun penelitian dan pengembangan
satwa liar (TSL) dan atau bagian-bagiannya terhadap jenis tumbuhan dan satwa
serta hasil dari padanya dalam bentuk liar oleh orang asing di Indonesia
pengkajian, penelitian dan pengembangan; dilakukan sesuai dengan ketentuan
penangkaran; perburuan; perdagangan; peraturan perundang-undangan yang
peragaan; pertukaran; budi daya tanaman berlaku.
obat-obatan; dan pemeliharaan untuk 6. Pengkajian, penelitian dan
kesenangan. pengembangan terhadap jenis
tumbuhan dan satwa liar Indonesia
Tujuannya agar jenis tumbuhan dan satwa yang dilakukan di luar negeri dapat
liar dapat didayagunakan secara lestari dilakukan setelah memperoleh
untuk sebesar besarnya kemakmuran rekomendasi Otoritas Keilmuan.
rakyat. Pemanfaatan jenis tumbuhan dan
satwa liar dilaksanakan dalam bentuk: a) b. Penangkaran
Pengkajian, penelitian dan pengembangan, 1. Penangkaran untuk tujuan
b) penangkaran, c) perburuan, d) pemanfaatan jenis dilakukan melalui
perdagangan, e) peragaan, f) pertukaran, kegiatan:
g) budi daya tanaman obat-obatan, dan a. pengembangbiakan satwa
h) pemeliharaan untuk kesenangan. atau perbanyakan tumbuhan
Pemanfatan tumbuhan dan satwa liar secara buatan dalam lingkungan
di Indonesia diatur dalam Peraturan terkontrol; dan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999. b. penetasan telur dan atau
pembesaran anakan yang diambil
Beberapa hal penting dari setiap bentuk dari alam.
pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar 2. Penangkaran dapat dilakukan
adalah sebagai berikut: terhadap jenis tumbuhan dan
satwa liar yang dilindungi atau tidak
a. Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan dilindungi.
1. Pengkajian, penelitian dan 3. Dengan tidak mengurangi ketentuan
pengembangan dapat dilakukan yang diatur dalam Peraturan
terhadap jenis tumbuhan dan satwa Pemerintah ini, penangkaran jenis
liar yang dilindungi atau yang tidak tumbuhan dan satwa liar yang
dilindungi. dilindungi terikat juga kepada
2. Penggunaan jenis tumbuhan dan ketentuan yang berlaku bagi
satwa liar yang dilindungi untuk pengawetan jenis tumbuhan dan
kepentingan pengkajian, penelitian satwa.
dan pengembangan harus dengan izin 4. Jenis tumbuhan dan satwa liar untuk
Menteri. keperluan penangkaran diperoleh dari
106 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
yang tepat sebelum menyetujui impor Penangkaran tumbuhan dan satwa liar
organisme tersebut ke wilayah mereka. bertujuan untuk:
Protokol berisi rujukan pada pendekatan 1. Mendapatkan spesimen tumbuhan
kehati-hatian dan menegaskan kembali dan satwa liar dalam jumlah, mutu,
bahasa kehati-hatian dalam Prinsip 15 kemurnian jenis dan keanekaragaman
Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan genetik yang terjamin, untuk kepentingan
Pembangunan. Protokol juga membentuk pemanfaatan sehingga mengurangi
Balai Kliring Keamanan Hayati untuk tekanan langsung terhadap populasi di
memfasilitasi pertukaran informasi tentang alam;
organisme hasil modifikasi genetik dan 2. Mendapatkan kepastian secara
untuk membantu negara-negara dalam administratif maupun secara fisik
pelaksanaan Protokol. mengenai pemanfaatan spesimen
tumbuhan atau satwa liar
Indonesia telah meratifikasi Protokol
tersebut melalui Undang-Undang Republik Salah satu bentuk pemanfaatan Flora dan
Indonesia Nomor 21 Tahun 2004 tentang Fauna adalah Penangkaran. Penangkaran
Pengesahan Cartagena, Protokol Cartagena adalah upaya perbanyakan melalui
tentang Keamanan Hayati Atas Konvensi pengembangbiakan dan pembesaran
TentangKeanekaragaman Hayati. Peraturan tumbuhan dan satwa liar dengan tetap
Presiden Nomor 39 Tahun 2010 tentang mempertahankan kemurnian jenisnya.
Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa
Genetik (KKH PRG) memandatkan Balai Penangkaran tumbuhan dan satwa liar
Kliring Keamanan Hayati (BKKH) Indonesia bertujuan untuk:
secara organisasi berkedudukan di 1. Mendapatkan spesimen tumbuhan
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang dan satwa liar dalam jumlah, mutu,
sebelumnya dikelola oleh LIPI sehingga kemurnian jenis dan keanekaragaman
seluruh kegiatan BKKH menjadi tanggung genetik yang terjamin, untuk kepentingan
jawab KLH. pemanfaatan sehingga mengurangi
tekanan langsung terhadap populasi di
Protokol Cartagena disusun berdasarkan alam;
prinsip “pendekatan kehati-hatian” 2. Mendapatkan kepastian secara
(precautionary approach) yang berarti bila administratif maupun secara fisik
terdapat ancaman serius atau kerusakan mengenai pemanfaatan spesimen
yang tidak dapat dipulihkan, kekurangan tumbuhan atau satwa liar
ilmu pengetahuan seharusnya tidak
dipakai sebagai alasan menunda langkah Penangkaran tumbuhan dan satwa liar
pengefektifan biaya (cost effective) untuk berbentuk:
mencegah kerusakan lingkungan. 1. Pengembangbiakan satwa; yang terdiri
dari a) pengembangbiakan satwa dalam
E.6. Tata Cara Penangkaran Flora dan Fauna lingkungan terkontrol (captive breeding),
dan b) pengembangan populasi
a. Penangkaran TSL berbasis alam (wild based population
Salah satu bentuk pemanfaatan flora dan management)
fauna adalah penangkaran. Penangkaran 2. Pembesaran satwa, yang merupakan
adalah upaya perbanyakan melalui pembesaran anakan dari telur yang
pengembangbiakan dan pembesaran diambil dari habitat alam yang ditetaskan
tumbuhan dan satwa liar (TSL) dengan tetap di dalam lingkungan terkontrol dan atau
mempertahankan kemurnian jenisnya. dari anakan yang diambil dari alam
(Ranching/Rearing);
112 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
karakteristik lahan yang akan ditanami. Dalam melakukan pemilihan jenis pohon
Oleh karena itu, persyaratan tumbuh atau tanaman yang akan dikembangkan
harus sudah diketahui sebelum melakukan dalam hutan tanaman harus didasarkan
pengembangan suatu jenis pohon secara pada tujuan penanaman yang akan
luas (Mindawati,2019). dilakukan. Tujuan penanaman untuk
hutan tanaman umumnya untuk kayu
Hutan tanaman memiliki berbagai pertukangan, kayu serat, kayu energi
keunggulan dibandingkan dengan hutan serta hasil hutan bukan kayu (HHBK).
alam, diantaranya ialah : Kayu pertukangan termasuk kayu lapis,
a. Produktivitas tegakan tinggi, dengan kayu gergajian, ukiran dan sebagainya.
jumlah tanaman pada akhir panen 200- Kayu serat meliputi bahan baku pulp dan
400 pohon per ha dapat dihasilkan kayu kertas, sedangkan kayu energi meliputi
150-250 m3 per hektar melalui teknik wood pellet, kayu bakar, arang, arang aktif
Silvikultur Intensif (SILIN); dan sebagainya. Hasil Hutan Bukan Kayu
b. Kayu yang dihasilkan seragam meliputi (HHBK) diantaranya rotan, sagu, penghasil
jenis yang seragam, ukuran kayu pada getah, penghasil buah, penghasil kulit,
saat panen yang relatif sama besarnya minyak atsiri dan lain-lain. Pemanfaatan
sehingga memudahkan untuk bahan Jenis Andalan Setempat sangat disarankan
baku industri perkayuan; khususnya untuk kayu konstruksi, energi
c. Menyediakan lapangan kerja yang cukup dan pulp.
banyak mulai dari persiapan lahan,
penanaman pohon, pemeliharaan Sehubungan dengan tujuan penanaman,
sampai penebangan. Tenaga kerja maka sebelum melakukan pengembangan
yang diserap khususnya tenaga kasar suatu jenis pohon secara luas harus
(buruh) cukup banyak sehingga dapat sudah diketahui persyaratan tumbuhnya.
mengurangi pengangguran; dan Setiap spesies tumbuhan memerlukan
d. Dampak pembangunan hutan tanaman persyaratan tempat tumbuh yang berbeda-
baik langsung maupun tidak langsung beda agar mampu tumbuh secara optimal,
dapat menggerakkan perekonomian di karena masing-masing spesies mengalami
suatu lokasi. keragaman dalam pertumbuhannya (Sari &
Karmilasanti, 2015). Untuk itu pengetahuan
a. Pemilihan Jenis mengenai persyaratan tumbuh bagi suatu
Persyaratan utama dalam pemilihan jenis spesies sangat diperlukan untuk menjamin
adalah kecocokan antara persyaratan keberhasilan pengusahaan hutan.
ekologis jenis tanaman dengan sifat Informasi persyaratan tempat tumbuh
tempat tumbuhnya. Hal ini merupakan untuk jenis-jenis pohon andalan setempat
faktor penting yang perlu diperhatikan untuk rehabilitasi hutan dan lahan serta
dalam menetapkan jenis yang sesuai silvikulturnya dapat dilihat pada Atlas
untuk dikembangkan di suatu lahan. Jenis-jenis Pohon Andalan Setempat untuk
Persyaratan tempat tumbuh tersebut Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Indonesia
meliputi: ketinggian di atas permukaan (Pratiwi, Narendra, Hartoyo, Kalima, &
laut (altitude), sifat-sifat tanah (pH, Pradjadinata, 2014).
tekstur, drainase) dan iklim (curah hujan, Dalam pembangunan hutan tanaman untuk
temperatur) yang diperlukan untuk memperoleh hasil sesuai yang diharapkan,
menunjang pertumbuhannya (Pratiwi, seperti produktivitas yang tinggi, tumbuh
2006). Selain itu ketersediaan benih dalam secara baik dan normal serta daur yang
jumlah yang cukup dan penguasaan teknik ekonomis, semua jenis pohon yang akan
budidaya perlu diperhatikan. ditanam harus sesuai dengan tapak (species
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 119
Pengelolaan Hutan
site matching). Jenis yang tumbuh di areal 3. Sedikit biaya dan waktu untuk
rawa tidak akan cocok ketika ditanam pengolahan;
di lahan kering. Begitu pula jenis pohon 4. Tahan terhadap kekeringan dan tekanan
yang tumbuh di dataran rendah tidak iklim lainnya;
akan tumbuh maksimal ketika ditanam di 5. Toleran terhadap perlakuan
dataran tinggi. Jenis pohon di daerah tropik pemangkasan dan trubusan;
umumnya tumbuh kurang baik di daerah 6. Memiliki pertumbuhan awal yang cepat;
temperate dan jenis pohon yang tumbuh 7. Mempunyai percabangan rendah yang
pada daerah-daerah dengan curah hujan dapat dengan mudah dipotong dengan
tinggi kurang cocok ditanam pada daerah peralatan sederhana dan mudah
dengan curah hujan yang rendah (Khalwani, diangkut;
2012). Strategi dalam pemilihan jenis 8. Mempunyai kadar air kayu yang rendah
tanaman untuk dikembangkan di suatu sehingga mudah dikeringkan;
lahan, baik HTI, HTR maupun hutan rakyat 9. Mempunyai kegunaan lain yang dapat
dapat dilihat pada Gambar 4.1. menyokong kehidupan petani; dan
10.Mempunyai karakteristik akar yang baik
Kriteria umum dalam pemilihan jenis
untuk ditanam (Khalwani, 2012; Winrock
International, 1992), yaitu : Informasi tentang persyaratan tempat
1. Mudah beradaptasi terhadap kondisi tumbuh beberapa jenis pohon yang dapat
tanah dan iklim yang ada; dikembangkan di lahan asam, lahan basah
2. Tahan terhadap hama dan penyakit; dan lainnya dapat dilihat pada Lampiran 1.
120 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
b. Hubungan Asosiasi Antar Jenis kehadiran jenis lain (A) di dalam petak 20 x
20 m dan jenis pohon terpilih (B). Kemudian
Dalam pemilihan jenis, persyaratan tempat analisa untuk mengetahui adanya
tumbuh juga memerlukan informasi asosiasi jenis-jenis pohon dibuat dengan
mengenai hubungan asosiasi antar jenis. menggunakan metode 2x2 Contingency
Hal ini dikarenakan suatu jenis yang berada Table Mueller-Dumbois & H. Ellenberg
di hutan alam bersifat toleran atau intoleran (1974) atau disebut juga Tabel Contingency
terhadap kehadiran jenis lain, namun juga seperti berikut:
dapat terjadi interaksi hubungan yang
erat dengan satu jenis atau lebih (Sari & 1)1. Korelasi
Korelasi antar dua jenis
antar dua jenis
Maharani, 2016). Asosiasi jenis juga biasa Tabel 2.Bentuk tabel Contingency
1. Korelasi antar dua jenis
digunakan sebagai dasar dalam melakukan Tabel 4.2.Bentuk tabel contingency
Tabel 2.Bentuk tabel Contingency
klasifikasi vegetasi. Jenis A
+ -
Jenis B
Suatu jenis tumbuhan yang di tanam + a b a+b
- Jenis A c d c+d
pada lahan hutan tanaman diharapkan + -
tidak memiliki pengaruh negatif terhadap Jenis B a+c b+d N=a+b+c+d
ad - bc
b) Bila bc > ad dan d > a, maka C =
(a + b)(b + c)
ad - bc
c) Bila bc > ad dan a > c, maka C =
(a + d)(c + d)
d. Jenis-jenis Pohon Kehutanan Daur Cepat, kedalam jenis pohon tumbuh cepat
Sedang dan Lambat umumnya mempunyai daur tebang atau
panen pohon dalam waktu kurang dari 10
Kecepatan tumbuh suatu spesies tanaman tahun. Indonesia memiliki banyak jenis-
pokok atau pohon merupakan kriteria jenis pohon asli yang tumbuhnya cepat
penting dalam dasar pemilihan jenis bahkan sangat cepat bila menggunakan
karena berhubungan dengan kecepatan teknik penanaman yang tepat. Masa panen
masa panen atau kelestarian produksi. Jika atau daur tebang jenis pohon tumbuh
dilihat dari kecepatan daur tumbuhnya, sedang berkisar antara 10-30 tahun dan
spesies tanaman pokok atau pohon jenis pohon tumbuh lambat mempunyai
dapat dibedakan menjadi jenis-jenis daur tebang lebih dari 30 tahun. Umumnya
pertumbuhan cepat (fast growing spesies), kayu pertukangan, kayu untuk mebel
jenis-jenis pertumbuhan sedang dan lambat dan ukiran termasuk dalam jenis tumbuh
(moderate and slow growing) (Table 4.3). sedang dan lambat.
Jenis-jenis pohon yang dikategorikan
Daftar Pustaka
Darwo, Napitupulu, B., Harianja, A. H., & Sembiring, S. (2005). Informasi teknis
faktor-faktor keberhasilan GERHAN di Sumatera Utara. Bogor: Pusat
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 125
Pengelolaan Hutan
jenis atau provenan suatu jenis di luar berulang-ulang dari satu generasi ke
sebaran alaminya sehingga sering generasi berikutnya.
dikategorikan sebagai uji introduksi. Hal
ini disebabkan beberapa jenis belum Strategi pemuliaan yang efektif akan
dikuasai teknik silvikulturnya sedangkan melibatkan adanya 4 (empat) populasi
jenis-jenis eksotik lebih mudah ditangani untuk domestikasi jenis tanaman
dan hasilnya sudah diketahui dengan hutan, yaitu: populasi dasar, populasi
baik serta telah memenuhi persyaratan pemuliaan, populasi perbanyakan
industri. dan populasi produksi. Tujuan dari
strategi pemuliaan pohon suatu jenis
Kedua uji tersebut pada dasarnya adalah memuliakan secara progresif
bertujuan untuk mereduksi jumlah populasi dasar dan populasi pemuliaan;
spesies atau provenan menjadi membiakkan material genetik yang telah
beberapa spesies atau provenan yang dimuliakan untuk mengembangkan
telah teruji sesuai dengan tujuan yang populasi produksi; menjaga variabilitas
diinginkan pada tempat tertentu. Jenis dan ukuran populasi pada populasi dasar
atau provenan yang paling sesuai tidak dan populasi pemuliaan; dan mencapai
selalu tumbuh paling cepat dalam tujuan tersebut secara ekonomis. Dengan
kondisi tertentu, faktor lain yang dapat strategi ini, material genetik mengalami
menentukan adalah kemampuan untuk peningkatan kualitas genetiknya dari
menyesuaikan pada kondisi ekstrim, generasi ke generasi melalui proses
ketahanan terhadap serangan hama seleksi dan persilangan sehingga dapat
dan penyakit atau kemampuan untuk memenuhi permintaan benih unggul.
memproduksi benih.
a) Populasi dasar (base population)
2) Uji Keturunan (Progeny Test)
Populasi dasar adalah suatu populasi
Uji keturunan merupakan suatu cara yang terdiri dari ribuan pohon yang
untuk mengevaluasi individu melalui darinya sejumlah pohon induk dalam
perbandingan keturunan dalam suatu suatu siklus pemuliaan dapat diseleksi.
eksperimen. Hasil dari uji keturunan Semakin luas populasi dasar, akan
tersebut akan digunakan sebagai material semakin besar variasi yang dimilikinya
dasar pembangunan kebun benih yang dan akan semakin besar pula peluang
tersusun dari individu-individu terseleksi peningkatan produktivitasnya,
untuk menghasilkan benih unggul. karenanya keberhasilan program
Pengembangan dari uji keturunan pemuliaan akan sangat tergantung
dengan menggunakan materi vegetatif pada populasi dasarnya. Populasi
disebut dengan uji klon (clonal test) yang ini dapat berupa hutan alam atau
akan digunakan sebagai material dasar tanaman dimana seleksi dapat
pembangunan kebun pangkas. dilakukan. Untuk program pemuliaan,
Dalam strategi pemuliaan, uji keturunan populasi dasar hendaknya berbasis
merupakan populasi pemuliaan genetik luas.
(breeding population) yang menjadi b) Populasi pemuliaan (breeding
pusat kegiatan strategi pemuliaan population)
dari jenis yang akan dikembangkan.
Populasi pemuliaan terdiri dari pohon- Populasi pemuliaan adalah hasil
pohon terpilih dan keturunannya dalam seleksi individu pohon dari seluruh
suatu seri uji keturunan dimana siklus populasi terseleksi yang didasarkan
seleksi dan penyilangan akan dilakukan atas hasil uji genetik. Seluruh individu
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 127
Pengelolaan Hutan
dapat dikeringkan sampai pada kadar air tinggi serta diaplikasikan pada tipe
rendah sesuai klasifikasi ortodoks, tetapi buah/benih berukuran kecil hingga
peka terhadap suhu rendah. besar atau termasuk dalam buah
kering pecah (indihischent) seperti
Benih rekalsitran adalah benih yang cepat buah kapsul (misalnya: eucalyptus,
menurun viabilitasnya, saat penyimpanan benuang, puspa), buah polong
memerlukan kadar air tinggi atau sama (misalnya: sengon, jelutung, pulai)
dengan kadar air benih segar. Benih dan kerucut (misalnya: agathis,
rekalsitran tetap akan menurun viabilitasnya pinus). Pemanjatan dilakukan
dalam penyimpanan dalam media apapun. oleh pemanjat terlatih dengan
Benih rekalsitran hanya dapat disimpan menggunakan perlengkapan
sementara (maksimal 4 minggu). Sebaiknya keamanan yang memadai
setelah pengunduhan dan penanganan biji, seperti: ikat pinggang/safety
benih ini segera disemai di persemaian. belt, pengekang/harness, tali
Contoh penanganan benih jenis ortodoks, pengaman/safety line, sepatu
intermediate dan rekalsitran dapat dilihat berpaku/spikes dan helm.
pada Lampiran 2, 3 dan 4. • Pengumpulan buah di lantai hutan
digunakan untuk buah/benih
1) Pengunduhan dan pengumpulan buah
yang jatuh di bawah pohon dan
a) Waktu pengumpulan buah tidak mudah dimakan pemangsa,
tidak mudah tersebar/terbang,
Pengumpulan buah harus tidak cepat berkecambah dan
mempertimbangkan kondisi tidak cepat rusak serta berukuran
pembuahan dan indikator kemasakan. besar. Sebelum pengumpulan
Indikator kemasakan buah dapat buah terlebih dahulu lantai hutan
diketahui dengan melihat perubahan dibersihkan dan dibentangkan
warna kulit buah, bau, kelunakan lembaran plastik/jaring/terpal
buah, berat jenis, kadar air benih dan sebagai penampung. Pengumpulan
jatuhnya buah secara alami. Informasi dilakukan segera setelah buah
musim berbuah dan puncak buah jatuh dan sebelum buah terbuka,
masak beberapa tanaman hutan rusak atau berkecambah.
dapat dilihat pada Lampiran 5.
c) Penyimpanan sementara
b) Cara pengunduhan
Penyimpanan sementara dilakukan
Pengunduhan dapat dilakukan melalui jika pengumpulan buah berjangka
perontokan, pemanjatan/pemetikan, waktu panjang serta lokasi
pengumpulan buah secara khusus pengunduhan yang cukup jauh dari
atau pengumpulan buah di lantai tempat pemrosesan. Wadah yang
hutan. digunakan pada saat penyimpanan
• Perontokan buah dilakukan pada sementara adalah wadah yang berpori
buah atau biji yang berukuran (misalnya: karung goni atau keranjang).
besar dan buah yang mudah rontok Lingkungan tempat penyimpanan
serta waktu panen yang singkat, sementara harus memiliki sirkulasi
dengan cara menggoyang batang udara yang baik, terjaga dari
utama atau menggoyang cabang organisme pengganggu, terlindung
yang berbuah dengan bantuan dari hujan dan sinar matahari langsung
galah berkait dan alat lainnya. (di bawah naungan/atap).
• Pemanjatan/pemetikan buah
dilakukan pada pohon berukuran
134 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
Ruang simpan benih ortodoks dapat lain: natrium hipoklorit 1%, ethanol
menggunakan: 70% dan pestisida nabati dengan lama
a) Ruang simpan suhu kamar (suhu 25- perendaman berkisar 5-10 menit.
300C, kelembaban nisbi 70-80%).
b) Ruang simpan kering sejuk/Air 11)Pematahan dormansi atau perlakuan
Conditioning (ssuhu 18-200C, pendahuluan
kelembaban nisbi 70%). Untuk benih yang memiliki sifat
c) Ruang simpan lembab dingin/cold dormansi diperlukan perlakuan
storage (suhu 4-80C, kelembaban nisbi pendahuluan terlebih dahulu sebelum
50-60%). dikecambahkan. Dormansi adalah suatu
d) Ruang simpan kering dingin/drycold masa dimana bagian tanaman yang
storage (suhu 4-80C, kelembaban nisbi hidup, tidak tumbuh atau berkembang
40-50%). walaupun telah mendapatkan kondisi
e) Ruang simpan lemari pendingin/ lingkungan yang optimum.
refrigerator (suhu 4-60C, kelembaban
nisbi 40-50%). Terdapat beberapa tipe dormansi, yaitu:
a) Dormansi embrio: Benih dengan
9) Priming embrio yang belum berkembang
Priming dapat dilakukan pada benih optimal pada saat penyebaran benih,
berukuran kecil hingga besar terutama sehingga tidak dapat berkecambah
pada benih-benih yang sudah menurun normal dan disebut pula dengan
vigor dan viabilitasnya. Priming dapat dormansi morfologis
diterapkan pada awal, tengah atau b) Dormansi mekanis atau fisik: Embrio
akhir periode simpan. Tahap perlakuan tidak berkecambah karena terhalang
priming meliputi: pelembaban, kontrol oleh struktur penutup yang keras,
kelembaban, pengeringan antara, sehingga imbibisi air dan gas terhalang
pencucian, pengeringan akhir dan
pengemasan sesuai Tabel 4.4. Adapun metode pematahan dormansi
yang umum digunakan adalah:
10) Pengendalian hama dan penyakit a) Skarifikasi: pematahan dormansi
dengan melakukan pelukaan pada
Pengendalian hama dan penyakit benih
kulit benih yang keras, yaitu dengan
dimulai sejak pengumpulan buah, yaitu
peretakan dan pengikiran, metode ini
pengumpulan buah dilakukan di awal
tepat digunakan untuk tipe dormansi
musim panen, pengumpulan buah dari
fisik
lantai hutan harus menggunakan alas
b) Stratifikasi: perendaman dalam
serta menyeleksi kondisi buah serta
air panas dan dilanjutkan dengan
memisahkan benih dari benih rusak
perendaman dalam air dingin atau
dan kotoran. Pengendalian hama
pemanasan atau pembakaran yang
dan penyakit pada saat penyimpanan
dilanjutkan dengan pendinginan
dilakukan dengan mempertahankan
c) Perlakuan dengan larutan asam:
kadar air aman benih dan fumigasi serta
menggunakan asam sulfat (H2SO4),
pemeriksaan kesehatan benih secara
dengan cara merendam benih antara
berkala. Fumigasi dilakukan secara
5-45 menit.
berkala minimal 6 bulan sekali pada
d) After ripening: perlakuan lembab dan
wadah dan ruang simpan.
panas, metode ini tepat digunakan
Sterilisasi benih dilakukan sebelum untuk tipe dormansi embrio
perkecambahan menggunakan antara e) Perlakuan biologis: menggunakan
mikroba untuk melunakkan kulit benih
138 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
Metode Priming
Tahap kegiatan
Osmoconditioning Matriconditioning Hidrasi-Dehidrasi
1 Pelembapan benih diletakkan dalam wadah benih diletakkan
dalam wadah tertutup, berisi abu dalam wadah tertutup
tertutup yang telah gosok/serbuk gergaji yang telah berisi
berisi kertas merang + benih + air (v/v = kertas merang
berlapis jenuh 0,4 : 1 : 1) kemudian berlapis jenuh air,
larutan, dilembapkan diaduk secara dilembapkan selama
selama 72 jam merata 72 jam
2 Kontrol setiap 6 jam benih setiap 6 jam benih setiap 6 jam benih
kelembapan diaduk secara diaduk secara diaduk secara
merata selama 3 merata selama 3 merata selama 3
menit menit menit
setiap 24 jam, setiap 24 jam, setiap 24 jam,
substrat diperiksa substrat diperiksa substrat diperiksa
kelembapannya dan kelembapannya kelembapannya dan
segera tambahkan dan segera segera tambahkan
larutan agar tambahkan air air agar substrat
substrat tetap agar substrat tetap tetap lembab
lembab lembab
3 Pengeringan dikeringkan pada tidak dilakukan dikeringkan pada
antara suhu kamar selama suhu kamar selama 72
72 jam jam
4 Pencucian air mengalir air mengalir air mengalir
5 Pengeringan dikeringanginkan dikeringanginkan dikeringanginkan
akhir dan pada suhu kamar pada suhu kamar pada suhu kamar
pengemasan selama 120 jam selama 120 jam selama 120 jam
dikemas dalam dikemas dalam dikemas dalam
wadah yang sesuai wadah yang sesuai wadah yang sesuai
dengan karakter dengan karakter dengan karakter
benih benih benih
Keterangan : khusus pada perlakuan hidrasi – dehidrasi, tahap 1 sampai dengan 3 diulang
sebanyak 2 kali
cukup tinggi (29-32OC) dan kelembaban vegetatif tanaman seperti tunas, batang
tinggi (>75%). Apabila suhu udara terlalu dan akar. Tujuan dari perbanyakan
rendah, bedeng/bak tabur ditutup tanaman secara vegetatif adalah apabila
sungkup plastik. terdapat kendala dalam perbanyakan
dari biji (generatif) atau apabila ingin
2) Penyapihan. Dimulai dengan penyiapan diperoleh turunan yang mempunyai
media dalam polybag, selanjutnya semai sifat-sifat yang sama dengan induknya.
dipindahkan dari bak/bedeng tabur
ke polybag, dengan cara mencungkil Kelebihan dari benih hasil biakan
media disekitar dan di bawah semai vegetatif secara garis besar adalah benih
beserta akar-akarnya. Semai yang siap yang dihasilkan bersifat homogen, benih
disapih adalah yang telah memiliki dapat diproduksi setiap saat tanpa
minimal sepasang daun muda yang telah dipengaruhi musim, dan dapat digunakan
membuka penuh. untuk memperbanyak genotipa-genotipa
yang unggul dari satu pohon tertentu.
3) Pembibitan menggunakan cabutan/ Terdapat berbagai metode perbanyakan
stump. Bahan cabutan berupa anakan vegetatif, seperti stek, grafting, okulasi,
alam dengan tinggi 10-20 cm atau cangkok serta kultur jaringan.
memiliki 2-3 pasang daun. Anakan
sebaiknya dicabut pada musim hujan. a) Stek
Untuk mengurangi penguapan, bagian
akar diberi bahan pelembab seperti Merupakan teknik pembiakan
lumut, serbuk sabut kelapa atau arang vegetatif dengan cara perlakuan
sekam padi basah kemudian dibungkus pemotongan pada bagian vegetatif
dengan pelepah pisang atau karung. untuk ditumbuhkan sehingga dapat
Sebelum disapih ke dalam polybag, akar tumbuh dan berkembang menjadi
dan daunnya dipotong dan disisakan tanaman dewasa secara mandiri
sepertiga bagian. Letakkan pada tempat dan terlepas dari tanaman induknya.
yang teduh, atau intensitas naungan Penggolongan stek berdasarkan bahan
50%. Setelah berumur 3-4 bulan di tanaman terdiri atas stek pucuk, stek
persemaian bibit siap ditanam. batang, dan stek akar.
Faktor yang mempengaruhi
e. Perbanyakan Generatif dan Vegetatif perbanyakan stek diantaranya bahan
tanaman, asal bahan tanaman, umur
1) Perbanyakan generatif. Perbanyakan tanaman; komposisi media perakaran;
tanaman secara generatif adalah kondisi lingkungan pertumbuhan;
perbanyakan melalui biji, yang zat pengatur tumbuh dan teknik
merupakan hasil perkawinan, yaitu pelaksanaannya.
bertemunya serbuk sari (polen) dengan • Asal bahan stek: berpengaruh
sel telur (ovum), sehingga menghasilkan terhadap kemampuan berakar
zygote yang terus berkembang menjadi stek dan pertumbuhan biakannya.
biji. Biji yang telah masak fisiologis apabila Bahan stek yang masih juvenil
disemaikan akan menjadi kecambah dan (muda secara fisiologis) memiliki
terus berkembang menjadi bibit siap kemampuan berakar yang lebih
tanam. baik dari pada biakan stek yang
telah tua). Bahan tanaman yang
2) Perbanyakan vegetatif. Perbanyakan
berasal dari bagian tanaman dekat
tanaman secara vegetatif adalah
dengan akar lebih juvenil dari pada
perbanyakan melalui bagian-bagian
140 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
bahan tanaman yang berada pada tahan terhadap hama atau penyakit,
tajuk yang lebih tinggi sedangkan scions berasal dari mata
• Media perakaran: dapat berupa tunas yang akan ditempelkan (okulasi)
media padat ataupun cair. Syarat atau ranting yang akan disambungkan
utama media padat untuk (penyambungan) yang berasal dari
pengakaran harus porus, drainase tanaman yang memiliki sifat unggul
dan aerasi baik, serta steril. yang diinginkan, ke bagian root stocks.
Media pengakaran stek dapat • Okulasi, setelah dilakukan
menggunakan pasir, cocopeat, penyisipan atau penempelan mata
dan vermikulit. Pembiakan stek tunas pada root stocks, dilanjutkan
juga dapat dilakukan dengan dengan pengikatan tempelan,
menggunakan media air, yang bagian atas (pucuk) dari root stock
dikenal dengan sistem water dibiarkan tumbuh. Ada beberapa
rooting. Untuk memberikan jenis yang membutuhkan sungkup
oksigen yang diperlukan dalam untuk menjaga kelembaban.
proses pembentukan akar ke dalam Sungkup bisa menggunakan
air digunakan kompresor sebagai kantong plastik putih transparan
sistem aerasinya. Sedangkan bak agar dapat dikontrol tanpa harus
airnya dapat digunakan bak yang membuka sungkupnya. Setelah
terbuat dari semen. beberapa minggu, apabila mata
• Kondisi lingkungan pertumbuhan tunas sudah terlihat menempel
meliputi suhu, cahaya dan dengan ditandai pecahnya mata
kelembaban yang paling optimal tunas atau paling tidak masih
untuk pertumbuhan perakaran. berwarna hijau dan segar maka
Umumnya digunakan sungkup batang bagian atas dari root
untuk pembuatan stek stocks dipotong guna memberi
kesempatan kepada tunas baru
• Zat Pengatur Tumbuh (ZPT): untuk
untuk tumbuh sempurna. Apabila
menstimulir pertumbuhan akar
mata tunas sudah terlihat tumbuh
dan tunas, bagian pangkas stek
sempurna sungkup dapat dibuka
diberi zat pengatur tumbuh dari
untuk memberi kesempatan
kelompok auxin (IBA, IAA, NAA)
beradaptasi dengan lingkungan.
sedang dari kelompok sitokinin
Setelah tunas-tunas baru tumbuh
adalah kinetin, adenin, zeatin. Cara
dengan baik dan berkayu, maka
pemberian ZPT dapat mengunakan
tanaman ini sudah siap untuk di
cara oles, celup, dan perendaman
tanam di lapangan.
b) Okulasi dan sambungan (grafting) • Sambungan (grafting): adalah
menyambungkan batang bawah
Sistem okulasi dikenal dengan sebutan dan batang atas dari tanaman
menempel atau budding dimana yang berbeda sehingga tercapai
memadukan dua sumber tanaman persenyawaan sehingga terbentuk
yang berbeda dan akan membentuk tanaman baru. Ada beberapa
tanaman baru. Dalam teknik ini tahap proses pertumbuhan pada
diperlukan sumber tanaman bawah sambungan, yaitu pada kambium
(root stocks) dan sumber tanaman batang atas dan batang bawah
bagian atas (scions). Root stock pada sambungan akan terbentuk
merupakan bibit yang mempunyai kalus (sel parenchyma). Kalus
sistem perakaran yang kuat dan tersebut bersatu membentuk
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 141
Pengelolaan Hutan
F.5. Teknik Budidaya Tanaman Hutan dan semi toleran. Jenis-jenis pohon
Penghasil Kayu yang tergolong intoleran membutuhkan
cahaya penuh untuk tumbuhnya
Teknik silvikultur adalah rangkaian perlakuan sehingga diperlukan pembersihan lahan
terhadap hutan untuk mempertahankan secara total. Jenis-jenis pohon yang
dan meningkatkan produktivitas hutan. tergolong semi toleran (seperti jenis-
jenis pohon Dipterokarpa) memerlukan
a. Pemilihan Jenis naungan ringan di waktu muda, dan jenis
toleran sangat membutuhkan naungan
Pemilihan jenis tanaman yang akan sehingga akan tumbuh dengan baik di
dikembangkan dalam suatu areal atau bawah naungan. Untuk jenis semi toleran
lahan hutan sangat penting karena dan toleran perlu diciptakan pra kondisi
kesalahan dalam memilih jenis dari segi iklim mikro yaitu dengan menanam
ekologi dapat menyebabkan kegagalan jenis-jenis pohon peneduh yang bertajuk
pertumbuhan jenis terpilih di lapangan. ringan terlebih dahulu sebelum tanaman
Persyaratan utama dalam pemilihan jenis pokok ditanam atau persiapan lahannya
adalah kecocokan antara persyaratan melalui pembuatan jalur-jalur tanam 2-3
ekologis jenis tanaman dengan sifat tempat meter jika lahan tanam berupa semak
tumbuhnya seperti ketinggian tempat, belukar dan padang alang-alang.
iklim: suhu, curah hujan toleransi jenis
pohon terhadap sinar matahari dan sifat- Beberapa tahapan persiapan lapangan
sifat tanah, serta ketersediaan benih dalam adalah:
jumlah yang cukup dan telah dikuasai teknik a) Pembuatan blok, petak dan anak
budidayanya. petak. Sebelum penanaman dimulai,
lahan dibagi kedalam blok berdasarkan
b. Penanaman luasan yang telah ditentukan dalam
perencanaan penanaman. Setiap blok
Penanaman tanaman hutan disesuaikan dibagi lagi kedalam petak atau anak
dengan tipe vegetasi atau kondisi tapak petak dengan luasan tertentu.
areal penanaman, sedangkan pemilihan b) Pembersihan gulma dan vegetasi
jenis pohon harus disesuaikan antara pengganggu lainnya.
persyaratan ekologis jenis terpilih dengan • Semua jenis gulma dan vegetasi
kondisi ekologis areal tanam. Persyaratan yang diduga akan mengganggu
tumbuh beberapa jenis pohon dan pertumbuhan tanaman
kesesuaian lahan dapat dilihat pada harus dikeluarkan dari areal
Lampiran 1 dan 2. Tahapan penanaman di penanaman agar tanaman bebas
lapangan umumnya terdiri dari beberapa gangguan. Cara pembersihannya
hal berikut: dapat dilakukan dengan cara
manual, kimia dan mekanis atau
1) Persiapan lapangan kombinasinya.
Persiapan lapangan bertujuan • Pembersihan lahan secara manual
untuk menciptakan prakondisi dapat dilakukan pada kondisi
bagi pertumbuhan tanaman untuk areal mulai dari fisiografi datar
meningkatkan persentase hidup.. sampai dengan agak curam
Persiapan lahan kegiatannya akan kelerengan maksimal 25%, dengan
berbeda tergantung pada sifat jenis cara menebas, mencincang
pohon yang diusahakan. Sifat jenis dan menumpuk semak belukar
pohon terdiri dari jenis intoleran, toleran serta menebang pohon-pohon
144 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
pada saat 40-50% dari tanaman pokok c) Pengendalian gulma secara kimiawi
tertutup oleh tumbuhan liar (rumput, dapat digunakan herbisida dengan
alang-alang dan belukar lainnya) hingga bahan aktif yang ramah lingkungan
sekeliling tanaman pada jarak 1 m dan jenis herbisida yang digunakan
harus bebas dari gulma. Penyiangan tergantung jenis gulma yang
dilaksanakan minimal 3-4 bulan sekali ada. Pelaksanaanya dengan cara
dalam satu tahun sampai dengan umur disemprotkan sepanjang jalur lebar
1-2 tahun, kemudian setiap 6-12 bulan 1-2 meter, dimana tanaman pokok
sekali sampai tanaman pokok lebih tinggi sebagai porosnya. Khusus untuk
dan mampu bersaing dengan tumbuhan gulma yang melilit pertama-tama
liar terutama untuk memperoleh cahaya perlu dipotong dulu dekat permukaan
matahari. Pada umumnya untuk jenis tanah, kemudian yang terpangkas
cepat tumbuh mampu bersaing dengan disemprot herbisida. Penyiangan
tanaman pengganggu setelah umur 2-3 dengan kimiawi/penggunaan
tahun dan untuk jenis lambat tumbuh herbisida bila tanaman pokok sudah
dicapai pada umur 3-4 tahun. memiliki ukuran cukup tinggi (berumur
diatas 2 tahun). Penggunaan herbisida
Cara penyiangan tanaman pengganggu harus hati-hati agar tanaman tidak
adalah sebagai berikut: terkena kabut semprotan. Dosis yang
a) Penyiangan dengan cara manual digunakan untuk gulma rerumputan 5
menggunakan sistem piringan liter / ha.
berdiameter 1-2 meter atau sistem
jalur lebar 1-2 meter, dengan tanaman 3) Pendangiran
pokok sebagai porosnya. Semua Pendangiran adalah menggemburkan
gulma yang ada dalam piringan tanah disekitar tanaman bertujuan
atau jalur dibersihkan dengan alat untuk memacu pertumbuhan tanaman.
sederhana seperti kored, cangkul, Pendangiran dilakukan pada tanaman
parang dll. Cara pembersihannya yang sudah berumur 1-3 tahun dan
dapat dilakukan dengan pembabadan diutamakan pada tanaman yang
dan pengolahan tanah. Hasil babadan mengalami stagnasi pertumbuhan,
disingkirkan dibagian luar jalur/ pada tanah bertekstur berat, tanah
piringan atau ditumpuk sekeliling yang mengandung liat tinggi dan pada
batang. Untuk gulma yang merambat, lahan-lahan yang persiapan lahannya
penyiangannya dengan memotong tidak melalui pengolahan tanah.
gulma diatas permukaan tanah. Pendangiran dilaksanakan pada waktu
b) Penyiangan gulma cara semi mekanis musim kemarau menjelang musim hujan
menggunakan cara jalur lebar 1-2 tiba dan dilaksanakan 1-2 kali dalam
meter dengan tanaman pokok sebagai satu tahun tergantung pada tingkat
porosnya. Alat yang digunakan antara tekstur tanahnya. Makin berat tekstur
lain brush cutter (Motorized Clearing tanahnya makin sering pendangiran
Saw). Alat ini dapat digunakan untuk harus dilakukan. Cara pendangiran dapat
membersihkan gulma berupa semak dilakukan secara manual pada sekitar
dan alang-alang. Caranya adalah tanaman dengan radius 25 – 50 cm.
mengayunkan alat tersebut kekanan
dan kekiri. Agar diperoleh jumlah 4) Pemupukan tanaman
potongan yang banyak, pada saat Pemupukan tanaman hutan bertujuan
pemotong bilah gergaji dimiringkan untuk memperbaiki tingkat kesuburan
membentuk sudut 10 - 20 derajat. tanah agar tanaman mendapatkan
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 149
Pengelolaan Hutan
hanya dilakukan pada hutan tanaman seluruh atau sebagian besar, berada
yang diperuntukan sebagai penghasil dibawah tajuk pohon lain dan tingginya
kayu pertukangan. Waktu, frekuensi, kurang dari 3/4 tinggi rata-rata.
intensitas dan cara pemangkasan adalah:
a) Waktu pemangkasan cabang dilakukan Waktu, frekuensi, intensitas dan metode
bersamaan dengan pelaksanaan penjarangan adalah:
penjarangan tegakan pada musim a) Waktu penjarangan dilakukan pada
kemarau. musim kemarau karena sifatnya
b) Frekuensi setiap kali dilakukan penebangan. Kriteria yang dapat
pemangkasan cabang digunakan dipakai dalam menetapkan waktu
intensitas 30% artinya 30% tinggi penjarangan yaitu dengan melihat
tajuk yang dibuang/dipangkas dan perbandingan tajuk yang masih aktif
tinggi tajuk yang tinggal setelah yaitu antara tinggi tajuk sampai batas
pemangkasan 70% dari tinggi tajuk cabang hidup (masih berperan dalam
sebelum dipangkas. fotosintesa) dengan tinggi total pohon.
c) Cara Pemangkasan: pemangkasan Untuk jenis daun lebar penjarangan
cabang harus rata dengan batang perlu dilakukan sebelum tajuk
yaitu pada letak sambungan pangkal mengecil pada saat perbandingan
cabang dengan batang pohon. Luka tajuk aktif 30-40% dan untuk jenis
bekas pangkasan sebaiknya ditutup daun jarum 40-50%. Penjarangan
dengan bahan penutup luka seperti harus dilakukan setelah beberapa saat
ter, perapin dan lain-lain untuk tajuk pohon menutup.
menghindari kontak dengan penyakit. b) Untuk jenis cepat tumbuh penjarangan
Pemangkasan cabang terlalu dalam pertama dilakukan pada kisaran
atau masih menempelnya cabang umur antara 3-4 tahun dan untuk
pada batang akan menyebabkan cacat jenis medium/menengah dan lambat
kayu atau bagian mata kayu busuk, tumbuh penjarangan dilakukan pada
dan mudah terserang penyakit. kisaran umur 5-10 tahun.
c) Frekuensi penjarangan tergantung
6) Penjarangan pada ruang tumbuh optimal yang
Penjarangan tegakan bertujuan untuk dibutuhkan tegakan. Pada umur
memacu pertumbuhan dan kualitas muda penjarangan dilakukan dengan
tegakan agar diperoleh produktivitas intensitas lemah dan berangsur-
yang tinggi. Penjarangan tegakan angsur mengarah pada penjarangan
dilakukan terutama terhadap jenis keras.
tanaman untuk tujuan produksi kayu d) Untuk menetapkan besarnya
pertukangan. Pohon-pohon yang intensitas penjarangan ada dua cara:
dimatikan dalam penjarangan terdiri • Berdasarkan intensitas penja-
dari: pohon dengan batang cacat atau rangan marginal yaitu penjarangan
sakit (bengkok angin, pangkal batang tidak mengakibatkan penurunan
berlubang atau cacat, luka terbakar, kumulatif produksi kayu
luka tebangan, benjol inger-inger, pertukangan. Untuk itu diperlukan
lubang oleng, dan sebagainya); pohon- informasi rata-rata batas
pohon yang kurang baik bentuknya maksimum bidang dasar pada
atau kualitasnya (menggarpu, bengkok, peninggi tegakan tertentu dan rata-
benjol, muntir, beralur dan bergerigi rata riap volume tegakan.
dalam); dan terhadap pohon-pohon e) Berdasarkan penjarangan menurut
tertekan yaitu pohon yang tajuknya, HART dimana dasar pertimbangannya
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 151
Pengelolaan Hutan
Tabel 5.12. Manfaat dari jenis penghasil minyak atsiri berdasarkan organ penghasil
Tabel 4.6. Manfaat dari jenis penghasil minyak atsiri berdasarkan organ penghasil
TabelJenis
5.12. Manfaat dari jenis penghasil minyakOrgan
atsiriPenghasil
berdasarkan organ penghasil
Penghasil Gubal/Ampas/ Batang/Kayu/ Akar/ Daun/ Buah/Biji/
Minyak
JenisAtsiri Getah/Resin Kulit Kayu OrganRebung
Penghasil Tangkai Daun Bunga
Penghasil Gubal/Ampas/ minyak atsiri,
Batang/Kayu/ obatAkar/
(pencer- bahan minyak
Daun/ bahan minyak
Buah/Biji/
Minyak Atsiri Getah/Resin bahan
Kulitparem,
Kayu naan, sakit
Rebung atsiri,
Tangkai Daun atsiri,Bunga
obat (penurun kepala, otot, obat demam, buah muda
minyaksakit
panas, atsiri, obatmens-
saat (pencer- bahansakit
obat minyak bahan sambal,
bahan minyak
Krangean/ bahan tonikum
parem, ) truasi,
naan, sakit atsiri, atsiri,
perut, perut bumbu
Kilemo obat (penurun kepala, per-
otot, obat demam, buah muda
penawar racun mabuk penawar racun bandrek,
panas, sakit
batang untuk saat mens-
jalanan). obat sakit bahan jamu
bahan sambal,
Krangean/
perut, tonikum
mengusir hewan) truasi, perut bumbu &
(vertigo
Kilemo
penawar racun
berbisa mabuk per- penawar racun bandrek,
lemas otot)
bahan campuran batang untuk jalanan).
bahan bahan bahan jamu
bahan
obat tradisional mengusir hewan campuran campuran obat (vertigo & obat
campuran
(jamu-jamuan), berbisa obat tradisional, lemas otot)
tradisional,
Penghasil bahan parfum,
bahan campuran bahan
tradisional, bahanparfum
fixatif bahanparfum
fixatif
Gaharu obat pengikat
atau tradisional campuran
fixatif campuran obat
kosmetika campuran obat
kosmetika
(jamu-jamuan),
(fixatif) berbagai obat
parfum tradisional, tradisional,
Penghasil bahanparfum
jenis parfum, tradisional,
kosmetika fixatif parfum fixatif parfum
Gaharu atau pengikat
bahan kos-metika fixatif kosmetika kosmetika
(fixatif) berbagai fixatif industri parfum
fiksatif
jenis parfum parfum, kosmetika
parfum,
Cendana bahan kos-metika bahan bahan
fixatif industri
kosmetika, fiksatif
kosmetika
parfum,
bahan kerajinan parfum,
Cendana bahan bahan obat (batuk,
kosmetika, kosmetika stomatik, anti-
bahan kerajinan spasmodik,saki
Kayu Putih tobat (batuk,
perut, kepala
stomatik,
pusing, anti-
encok,
spasmodik,saki
sakit gigi dan
Kayu Putih t perut, kepala
asma)
pusing, encok,
sakit gigi dan
Tabel 5.13. Persyaratan tempat tumbuh jenis penghasil minyak atsiri asma)
Tabel5.13.
Tabel 4.7. Persyaratan
Persyaratan tempat
tempat tumbuh
tumbuh jenis jenis penghasil
penghasil minyak
Persyaratan
minyak atsiri atsiri
Tumbuh
Jenis
Penghasil Minyak Tipe Iklim/
Ketinggian Temperatur
Atsiri Curah Hujan Persyaratan TumbuhKelembaban Tanah
Jenis (M Dpl) Udara (°C)
(Mm/Thn)
Tipe Iklim/
Penghasil Minyak Ketinggian Temperatur
Atsiri Curah Hujan Kelembaban
maks. Tanah
(M Dpl) Udara (°C)
(Mm/Thn)
A-B 35,12-85,99 Andosol, alluvial
Krangean/kilemo 700 - 2.300 22 – 42
3556 min.
maks. sedikit berpasir
A-B 26,77-76,69
35,12-85,99 Andosol, alluvial
Krangean/kilemo 700 - 2.300 22 – 42
3556 min. sedikit berpasir
A dan B tanah liat,
Penghasil Gaharu 0 – 2.400 28 – 34 26,77-76,69
80 - 90
1.000 – 2.000 lempung berpasir
A dan B tanah liat,
Penghasil Gaharu 0 – 2.400 28 – 34 80 - 90 tanah alkalis
D dan
1.000 E
– 2.000 lempung berpasir
Cendana 0 – 1200 10 – 35 50 - 60 solum tanah tipis
625 - 1625
dalam
tanah alkalis
D dan E
Cendana 0 – 1200 10 – 35 50 - 60 dapattanah
solum tumbuh
tipis
625 - 1625
Kayu Putih 400 1.500 – 3.000 baikdalam
di tanah
tandus/marginal
dapat tumbuh
Kayu Putih 400 1.500 – 3.000 baik di tanah
Informasi tentang pengenalan jenis; sebaran alami; habitus dan tekniktandus/marginal
budidaya dari
jenis penghasil minyak atsiri adalah sebagai berikut.
Informasi tentang pengenalan jenis; sebaran alami; habitus dan teknik budidaya dari
jenis penghasil minyak atsiri adalah sebagai berikut.
110
110
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 153
Pengelolaan Hutan
dibagian batang, cabang dan akar Sebaran pohon penghasil gaharu hasil
dari jenis tumbuhan penghasil gaharu budidaya ditemukan di 21 provinsi
sebagai respon pertahanan diri akibat di Indonesia, jenis A. malaccensis
pelukaan, dan mikroba pathogen (45%), Gyrinops versteegii (43%),
sehingga terjadi infeksi pada jaringan A. microcarpa (8%), dan 4% sisanya
kayu. adalah Aquilaria beccariana, Aquilaria
hirta, A. subsintegra, dan A. crassna.
Resin gaharu tersusun dari senyawa A. malaccensis menjadi jenis pohon
kimia utama dari kelompok penghasil gaharu yang populer
sesquiterpen dan chromones. dibudidayakan di Indonesia bagian
Senyawa sesquiterpen dan Barat, sementara di Indonesia bagian
chromones secara bersama-sama Timur adalah G. Versteegii (Turjaman
akan mengeluarkan bau khas gaharu, & Hidayat, 2017).
jika dibakar. Pohon penghasil gaharu
berasal dari famili Thymelacaceae, (c) Habitus jenis-jenis penghasil gaharu
Euphorbiaceae dan Fabaceae; genus potensial.
Aquilaria, Wikstroemia, Enkleia,
Aetoxylon, Gonystylus, dan Gyrinops. Jenis asli atau lokal pohon penghasil
gaharu yang paling banyak
(b) Sebaran alami. Secara ekologis dibudidayakan di Indonesia adalah
sebaran alami pohon penghasil gaharu sebagai berikut:
di Indonesia tersebar di wilayah hutan
Sumatra, Kalimantan, Nusa Tenggara, (1) Aquilaria malaccensis
Maluku, Sulawesi, Halmahera, Bangka Nama lokal/daerah, nama yang
dan Papua. Sedikitnya 26 jenis dikenal oleh masyarakat adalah Alim
pohon penghasil gaharu ditemukan (Batak), Halim (Lampung), Kareh
di Indonesia dari 33 jenis yang ada (Minangkabau). Pohon mencapai
di Asia. Namun, hasil observasi tinggi 40 m dan berdiameter 60 cm,
ulang menyangkut tata nama jenis, kulit batang licin berwarna keputihan.
ditemukan beberapa jenis yang jenis Daun berseling, oval sampai lanset,
sinonim. Hasil eksplorasi beberapa pangkal daun tumpul sampai runcing,
peneliti gaharu, Indonesia hanya ujung daun meruncing, permukaan
memiliki 6 dari 15 jenis Aquilaria, dan atas dan bawah daun mengkilap
7 dari 8 jenis Gyrinops, yang keduanya ukuran 7,5-12 cm x 2-5 cm, urat
telah masuk CITES Appendix II. daun bagian bawah berbulu halus,
urat daun sekunder menyirip tidak
Sebaran penghasil gaharu alam beraturan berjumlah 12-16 pasang,
terbesar di Indonesia yang sampai panjang tangkai daun 4-6 mm. Bunga
saat ini ditemukan di Papua, Papua berwarna hijau sampai kuning kusam,
Barat, dan Kalimantan. Wilayah perbungaan muncul di ketiak daun
ini menyumbang hampir 70-98% berbentuk malai, kelopak bunga
produksi nasional setiap tahunnya. berbentuk bulat telur sampai oblong
Jenis gaharu alam yang berasal dari berukuran 2-3 mm. Buah bulat telur
Kalimantan adalah jenis Aquilaria dengan bagian ujung buah membulat,
malaccensis, A. microcarpa, A. mengecil di bagian pangkal buah,
beccariana, dan A. hirta, sedangkan ukuran 3-4 x 2,5 cm, daging buah
dari Papua dan Papua Barat adalah keras (berkayu). Biji berbentuk oval
dari jenis-jenis Gyrinops spp. berbulu kemerahan
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 155
Pengelolaan Hutan
selatan Papua, Kep. Aru dan Kep. Jarak tanam yang digunakan untuk
Tanibar. pembangunan kebun benih kayu putih
adalah 3 x 1 m, sehingga dengan luasan
(c) Habitus. Pohon tinggi 10–20 m, 3 ha membutuhkan bibit sekitar 9900
pepagan berkeping-keping tidak bibit. Kebun benih tersebut mampu
teratur. Daun berbentuk jorong atau memproduksi benih 3 kg per tahun,
lanset, panjang 4,5 – 15 cm, lebar dengan viabilitas benih sebesar 80%.
0,75–4 cm, melancip di bagian pangkal Rata-rata setiap 1 gram benih berisi
atau agak bundar. Daun atau kulit jika 6000-8000 benih kayu putih.
memar akan menimbulkan bau khas
kayu putih. Perbungaan berbentuk
mayang, berbulu atau tidak berbulu; b. Jenis Penghasil Resin
kelopak bunga berbentuk mangkok,
panjang 1,5–2,5 mm; mahkota bunga Jenis penghasil resin diantaranya adalah
bundar telur, panjang 2–3 mm, rotan jernang, kesambi, damar mata kucing
berkelenjar minyak berwarna kuning; dan kemenyan. Manfaat dan persyaratan
tangkai sari bergabung 5-9 helai, tempat tumbuh dapat dilihat pada Tabel
panjang 5–10 cm; panjang tangkai 4.8 dan 4.9.
putik 7–10 mm. Buah berbentuk Pengenalan jenis, sebaran alami, habitus
lonceng dengan panjang 2,5–3 mm dan teknik budidaya jenis penghasil resin
dan lebar 3–4 mm. adalah sebagai berikut.
(d) Teknik budidaya kayu putih.
Pembiakan vegetatif dapat dilakukan 1) Rotan jernang (Daemonorops spp.)
dengan stek dan sambungan
(grafting). Pembiakan massal dengan (a) Pengenalan jenis. Rotan dari keluarga
stek dapat dilakukan untuk M.cajuputi Daemonorops (antara lain D. draco,
subsp. Cajuputi. Stek dapat berasal D. didymophylla, D. micracantha, D.
dari akar atau pucuk. Melalui mattanensis, dan D. Rubra) tergolong
pembiakan vegetatif akan dapat sebagai penghasil resin jernang.
dicapai peningkatan genetik yang Jenis D. draco merupakan jenis rotan
lebih baik daripada dengan biji dari penghasil resin jernang yang potensial
kebun benih hasil penyerbukan alam. serta bernilai komersial tinggi dari
lima jenis pohon penghasil resin
Untuk mendapatkan kadar 1,8 jernang tersebut. Resin jernang dalam
cineole dan rendemen minyak perdagangan dunia dikenal dengan
yang tinggi dilakukan persilangan nama dagang “darah naga” (dragon”s
terkendali dengan bibit berasal dari blood).
provenans Maluku. Rekomendasi ini
berdasarkan hasil pemuliaan jenis (b) Sebaran alami. Rotan penghasil
M.cajuputi subsp. Cajuputi. di kebun resin jernang sebagian besar dapat
benih Paliyan, Ponorogo, Cepu dan dijumpai terbatas dalam kawasan
Gundih yang menggunakan 82 famili hutan alam produksi dataran rendah
dari provenans Maluku, yang mampu dan pegunungan. Sebagian besar
menghasilkan kayu putih dengan hanya dijumpai di wilayah hutan
kadar 1,8-cineole berkisar antara 65– Sumatra dan Kalimantan. Di wilayah
73% dan rendemen minyak sebesar hutan Sumatra terdapat di provinsi
2,05 – 4,7%. Jambi, Riau, Sumatra Barat, Aceh,
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 161
Pengelolaan Hutan
Tabel 4.8. Manfaat dari jenis penghasil resin berdasarkan organ penghasil
Tabel 5.15. Manfaat dari jenis penghasil resin berdasarkan organ penghasil
Organ Penghasil
Jenis Daun/
Gubal/Ampas/ Batang/Kayu/
Tangkai Buah/Biji/Bunga
Getah/Resin Kulit Kayu
Daun
Rotan Resin :
Jernang - bahan pewarna (pakaian,
porcelain, kerajinan)
- penyamak kulit,
- bahan obat (luka luar, liver,
pendarahan)
- bahan kosmetika
Kesambi Kayu : Daun muda Buah makanan
- penyamakan kulit, untuk sayur
- pembersih kulit Biji :
sebelum mandi, - bahan baku biofuel,
- rebusan kulit batang - kosmetik,
untuk obat - tekstil
penghelat ulcera - farmasi,
cruris, - obat sakit punggung dan dada
- obat kudis dan saat batuk,
penyakit kulit - minyak rambut,
Batang: - bahan pembuatan dupa untuk
- bahan bakar (arang upacara kematian,
kayu), terutama - campuran mengharumkan
pem-bakaran kapur rokok
Damar Getah:
Mata - bahan baku industri (cat,
Kucing lak, ban, plastik, resin,
vernis, cam-puran resin
alkid & resin nitorselulosa),
- perekat, bahan pengisi
kertas, lilin, linoleum, batik,
- larutan pengawet, korek
api,
- bahan obat-obatan
berbentuk salep
Kemenyan Batang:
- industri farmasi,
- bahan pengawet,
- parfum,
- kosmetik,
- aromatheraphy,
- dupa,
- campuran rokok
kretek
- fiksatif industri
parfum,
- furniture
- bahan konstruksi
121
162 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
Pengenalandijenis,
sedangkan sebaran terdapat
Kalimantan alami, habitus
di dan teknik budidaya
ujung daun jenis
sertapenghasil
bagian resin
batang.
adalah sebagai berikut.
wilayah hutan provinsi Kalimantan Ukuran duri tergantung kepada letak
Tengah, Timur, Selatan dan Barat. duri. Duri yang terdapat dibagian
a. Rotan jernang (Daemonorops spp.)
1) PengenalanRotan
jenis jernang memiliki bawah tulang daun tersusun berjejer
(c) Habitus. sepanjang tulang daun dan berukuran
Rotan dari bulat
buah berbentuk keluarga
lonjong seperti (antara lain
Daemonorops D. draco, D. didymophylla, D.
micracantha, D. mattanensis, dan D. Rubra) sangat
tergolong kecil
sebagai sekitar
penghasil 0,5-1
resincm. Duri yang
jernang.
telur di bagian bawah dan sedikit
Jenis D. draco merupakan jenis rotan penghasil terdapat pada yang
resin jernang pelepah sangatserta
potensial runcing
mengerucut seperti buah salak di
bernilai komersial tinggi dari lima jenis pohon penghasil resin jernang tersebut. Resin ini
dengan panjang 1-2 cm. Duri
bagian atas. Umumnya berwarna terdiri dari dagang
dua pasang yangnaga”
terdapat
jernang dalam perdagangan dunia dikenal dengan nama “darah
coklat tua blood).
(dragon”s jika sudah matang. Buah di kedua bagian pelepah, tersusun
2)rotannya sendiri terdiri dari kulit luar
Sebaran alami secara alternate. Sedangkan duri yang
buah Rotan
yang berbentuk sisikjernang
penghasil resin sepertisebagian besar terdapat
dapat pada bagian
dijumpai batangdalam
terbatas tersusun
salak; kulithutan
kawasan bagian dalam;
alam daging
produksi buah rendah dan mengelilingi
dataran batang dengan
pegunungan. Sebagian panjang
besar hanya
dan biji. Getah
dijumpai rotanhutan
di wilayah jernang yang dan Kalimantan.
Sumatera 2-3 cm.Di wilayah hutan Sumatera
berwarna
terdapat dimerah
provinsitersebut terdapat
Jambi, Riau, Sumatera Barat, Aceh, sedangkan di Kalimantan
pada bagian
terdapat kulit hutan
di wilayah bagian luar Kalimantan
provinsi dan (d) Teknik
Tengah, budidaya
Timur, Selatanrotan jernang
dan Barat.
3)daging
Habitusbuah. (1) Penanganan benih
Rotan jernang memiliki buah berbentuk bulat Rotan jernang
lonjong memiliki
seperti telur di masa tanam
bagian
Daun
bawah dan bersifat majemuk seperti
sedikit mengerucut dan buah salak di bagian enam
selama atas. Umumnya
tahun berwarna
dan panen
berpelepah
coklat tua jikamenutupi
sudah matang.permukaan
Buah rotannya sendiri terdiri dari
dilakukan padakulit luarke
tahun buah yangmasa
tujuh,
ruas batang membentuk
berbentuk sisik seperti salak; kulittabung,
bagian dalam; panen
daging raya
buah dan biji. pertama)
(panen Getah rotanpada
pada
jernangmasa
yangpertumbuhan
berwarna merah vegetatif
tersebut terdapat pada
bulanbagian
Agustus kulit
danbagian luar dan
pada masa panen
dan tumbuhan
daging buah. rotan dapat berdiri selang (panen kedua) pada bulan
tegak, Daun
pada bersifat
satuan daun
majemukbagiandan keberpelepah menutupi
Desember.permukaan
Ciri buah yangruastelah
batang
masak
membentuk
ujung tabung, pada masa
akan termodifikasi menjadipertumbuhan
duri vegetatif dan tumbuhan rotan dapat
di pohon adalah buah telah dimakan berdiri
tegak,
kait padabantu
untuk satuan daun dan
pohon bagian ke ujung akan termodifikasi
tegaknya oleh binatang menjadi durikera,
seperti kait tupai
untuk dan
bantu pohon dan tegaknya batang.
batang. lain-lain. Hal ini diketahui dengan
Duri rotan terdapat pada bagian bawah tulang daun, pelepah dan ujung daun serta
Duri banyaknya kulit buah yang berserakan
bagianrotan
batang.terdapat pada
Ukuran duri bagian kepada letak
tergantung duri. Duri yang terdapat dibagian
bawah tulang daun, pelepah dan di bawah pohon, artinya tandan buah
sudah bisa dipanen.
122
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 163
Pengelolaan Hutan
pohon sebagai tempat hidup kutu 3) Damar mata kucing (Shorea javanica
lak dapat dikelola untuk menetapkan K&V)
berapa banyak bibit kutu lak ditularkan
pada pohon-pohon kesambi tersebut (a) Pengenalan jenis. Shorea javanica
(manajemen pohon per pohon). termasuk dalam divisi Spermatophyta
dan marga Shorea. Dalam dunia
(4) Teknik Pemeliharaan
perdagangan kayu jenis ini tergolong
Pemeliharaan untuk tanaman dalam kelompok kayu yang dikenal
kesambi ditujukan untuk dengan meranti putih. S. javanica
membentuk percabangan optimal dikenal dengan berbagai macam
dan memelihara kondisi iklim mikro nama daerah, yakni pelapar atau
di sekitar percabangan pohon. kelalar (Jawa Tengah dan Jawa Timur),
Pemeliharaan yang sangat penting wuluh atau lengah atau kapur (Subah
dilakukan pada tanaman kesambi – Pekalongan), damar puteh (Aceh),
adalah pemangkasan. Pemangkasan damar soboga (Tapanuli), damar saga
terutama dimaksudkan agar dapat (Sumatra Barat), damar kaca atau
diperoleh bentuk tanaman yang damar mata kucing (Sumatra Selatan
banyak percabangan dan ranting yang dan Lampung).
baik dan segar, serta menyediakan
(b) Sebaran alami. Penyebaran alaminya
trubusan muda yang letaknya relatif
terdapat di Pulau Jawa, Sumatra dan
rendah dari permukaan.
Kalimantan. Di pulau Jawa terdapat di
Pemangkasan yang dilakukan: (1) daerah Subah, Pekalongan; di Sumatra
Pemangkasan I dilakukan pada umur mempunyai daerah penyebaran yang
pohon 6 tahun, (2) Pemangkasan relatif luas, yaitu di Lampung, Sumatra
II dilakukan pada umur pohon 9 Barat, Riau, Sumatra Utara dan di
tahun, (3) Pemangkasan III dilakukan Kalimantan Barat. Persyaratan tempat
paling lama pada umur 10 tahun dan tumbuh damar juga terbilang mudah,
untuk selanjutnya dapat dilakukan tidak memerlukan tanah yang subur,
penularan pertama kutu lak. Teknik dapat tumbuh pada tanah yang miskin
pemangkasan cabang dapat dilakukan dan padat.
sebagai berikut:
(c) Habitus. Tanaman ini merupakan
• Cabang yang berdiameter 2 – 2,5
tanaman yang toleran terhadap tingkat
cm dilakukan pemangkasan batang,
cahaya tinggi, tapi pada tahap awal
sedang yang berdiameter ¾ - 2 cm
pertumbuhan tanaman memerlukan
pemangkasan dilakukan dekat
naungan sebagai syarat tumbuh yang
pangkal dahan. Bekas pangkasan
baik. Dari penampakannya pohon
tidak boleh pecah, agar tidak
damar merupakan raksasa rimba
menjadi sarang hama dan penyakit.
dengan tinggi mencapai tinggi 17-50
• Cabang yang mati atau sakit harus
m, diameter 210 cm dan berbanir.
dibuang atau dibenamkan
Bentuk batang pada umumnya
• Pemangkasan dilakukan pada
silindris dan lurus, tinggi batang bebas
awal musim hujan, sehingga
cabang dapat mencapai sekitar 60%
terubusan dapat cepat tumbuh
dari tinggi total. Batangnya berwarna
dan pemangkasan setinggi dada
kelabu tua sampai sawo matang,
dilakukan pada pohon yang
beralur dangkal, sedikit mengelupas,
mempunyai tinggi 6 - 10 m.
kulit hidup berwarna kuning. Pada
umur muda tajuknya relatif sangat
166 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
Tabel 5.18. Manfaat dari jenis penghasil minyak nabati berdasarkan organ penghasil
Tabel 4.10. Manfaat dari jenis penghasil minyak lemak/nabati berdasarkan organ penghasil
Organ Penghasil
Jenis Gubal/Ampas/ Batang/Kayu/ Daun/
Buah/Biji/Bunga
Getah/Resin Kulit Kayu Tangkai Daun
Tengkawang - industri makanan (margarin,
coklat, permen), obat-obatan,
- bahan pembuat lilin &
kosmetika
Kemiri Buah :
- bumbu masak, industri
- kosmetika
- farmasi,
- pengganti minyak cat, pernis
dan tinta,
- bahan bakar penerangan
- pencegah rambut rontok
(minyak rambut),
- obat sakit perut
- industri batik
biji :
- pupuk, campuran
- obat nyamuk
- dapat dibuat arang dan
arang aktif
Nyamplung Getah untuk - obat oles (sakit Biji:
menekan encok, luka - pelitur,
pertumbuhan baker, luka - minyak rambut
virus HIV potong) - minyak urut,
- bahan - obat (urus-urus, rematik).
kosmetik untuk - minyak bijinya buat biofuel
perawatan kulit Bunga:
- campuran untuk minyak
rambut
Kranji/ - bahan - pupuk hijau, Biji :
Malapari pembuatan - pakan ternak. - biodiesel,
benang atau - Ekstrak daun, - pelumas industri peny-
tali, pegagan dan samakan kulit tra-disional
- obat luka biji merupakan - pembuatan sabun, pernis,
akibat anti-septik dan cat,
sengatan penyakit kulit & - pupuk hijau
ikan beracun rematik - pakan ternak
Bunga :
- pupuk hijau, pakan ternak
129
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 169
Pengelolaan Hutan
A dan B
Nyamplung 0 - 200 18 - 33 PH 4 - 7,4
1000 - 4100
dan persyaratan
Pengenalan tempat tumbuhalami,
jenis, sebaran dapathabitus (b) Sebaran
dan teknik alami.budidayaDaerah
jenis penyebaran
penghasil
minyak/lemak
dilihat nabati
pada Tabel 4.10antara lain sebagai berikut.
dan 4.11. jenis-jenis pohon penghasil
tengkawang di Asia meliputi India,
Pengenalan
a. Tengkawang jenis,(Shorea
sebaran alami, habitus
spp.) Thailand, dan Malaysia. Sedangkan di
dan1)teknik budidaya
Pengenalan jenis penghasil minyak/
jenis Indonesia, tengkawang sebagian besar
lemak nabatiAda antara lain sebagai
14 jenis Shorea berikut.
yang dapat menghasilkan buah di
terdapat tengkawang
Kalimantan yaitu: Shorea
Barat, dan
beccariana Burck (tengkawang tengkal), Shorea lepidota sebagian (Korth.)
lainnya Blume
di (tengkawang
Kalimantan Timur,
1) Tengkawang
gunung), (Shorea spp.) (de Vriese) P.S. Ashton (tengkawang
Shorea macrophylla Kalimantan tengahhantelok),
dan Sumatra. Shorea
mecystopteryx Ridl. (tengkawang layar), Shorea palembanica Miq. (tengkawang
(a) Pengenalan
majau), Shorea jenis.pinanga
Ada 14 jenis Shorea
Scheff. (tengkawang(c) Habitus. Salah seminis
rambai), Shorea satu jenis Shorea
(de Vriese)
yang dapat menghasilkan
V.Slooten (tengkawang terendak), buahShorea singkawang
penghasil(Miq.)
tengkawang yaitu Shorea
Miq. (tengkawang
tengkawang
pinang), Shorea yaitu:stenoptera
Shorea beccariana
Burck (tengkawang stenoptera memiliki
tungkul), Shorea tinggi forma,
stenoptera pohon
Burck (tengkawang
Shorea Gybersiana, Shorea tengkal), Shorea Shorea martiana,
compressa, sampai Shorea
30 m micrantha
dengan garis Hkl. tengah
2)lepidota (Korth.) Blume (tengkawang
Sebaran alami sekitar 60 cm. Batang tegak, lurus,
gunung),
Daerah Shorea macrophylla
penyebaran (de pohon penghasil
jenis-jenis tidak tengkawang di Asia meliputi
berbanir. Permukaan batang
Vriese) P.S. Ashton
India, Thailand, (tengkawang
dan Malaysia. Sedangkan di Indonesia,
berwarnatengkawang
abu-abu sertasebagian besar
berbercak-
hantelok), Shorea mecystopteryx
terdapat di Kalimantan Barat, dan sebagian lainnya di Kalimantan
bercak. Timur, Kalimantan
Warna pepagan coklat muda.
Ridl.
tengah dan Sumatera. layar), Shorea
(tengkawang Tajuk lebat. Daun tunggal, tebal, kaku,
3)palembanica
Habitus Miq. (tengkawang besar, bulat panjang. Perbungaan
majau),Salah Shorea pinanga
satu jenis Scheff. tengkawang
Shorea penghasil yaitu Shorea
bentuk terdapat memiliki
mulai stenoptera di ujung
(tengkawang
tinggi pohon rambai),
sampai 30Shorea seminis
m dengan garis tengah sekitar 60 cm. Batang
ranting atau di ketiak tegak, lurus,
daun. tidak
Buahnya
(de Vriese)
berbanir. V.Slooten
Permukaan (tengkawang
batang berwarna abu-abu serta berbercak-bercak. Warna pepagan
bundar telur, berbulu tebal, bersayap
terendak),
coklat muda. Shorea
Tajuksingkawang
lebat. Daun (Miq.)
tunggal, tebal, kaku,
5 (3besar,
sayapbulat panjang.
besar, 2 sayap Perbungaan
kecil) Buah
Miq.
bentuk(tengkawang
mulai terdapat pinang),
di ujungShorea
ranting atau di tengkawang
ketiak daun. Buahnya
umumnya terdiritelur,
bundar dari
stenoptera Burck (tengkawang kelopak (calyx), kulit (shell), dan biji
tungkul), Shorea stenoptera forma, (kernel). 130
Shorea Gybersiana, Shorea compressa,
Shorea martiana, Shorea micrantha
Hkl.
170 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
tahan disimpan selama 1 bulan, inti < 10 cm). Bahan stek dipotong
biji mengandung minyak berwarna sepanjang 10 cm – 12 cm (minimal
kuning kecoklatan. 2 nodus). Ujung batangnya diolesi
dengan Rootone F pasta kemudian
(d) Teknik budidaya nyamplung ditanam dalam potray yang berisi
media campuran sabut kelapa dan
(1) Penanganan benih sekam padi (2:1) (v:v). Potray yang
Ekstraksi dapat dilakukan dengan 2 telah berisi setek ditempatkan pada
cara yaitu direndam dan diperam. ruang tumbuh dengan suhu < 300C
Apabila buah hasil pengumpulan dan kelembaban > 90% (menggunakan
sudah kering, maka ekstraksi dilakukan KOFFCO System).
dengan cara merendam buah selama (3) Teknik penanaman
48 jam hingga lunak. Apabila buah
yang dikumpulkan masih segar, maka Nyamplung sebaiknya ditanam mulai
ekstraksi dilakukan dengan cara jarak 50 m dari bibir pantai yang
diperam selama 2 hari sampai daging landai. Hal tersebut dilakukan dengan
buah lunak. Buah hasil perendaman pertimbangan kandungan unsur hara
atau pengeraman kemudian digosok (mengandung tanah mineral), juga
menggunakan tangan sampai pertimbangan terpaan angin dan
daging buah yang bersabut terlepas, gelombang laut yang lebih besar
selanjutnya dicuci dan dikering dibandingkan posisi di bawah jarak
anginkan pada suhu kamar selama tersebut. Pola tanam yang baik adalah
dua hari. sistem tumpang sari menggunakan
jenis tanaman semusim seperti:
Benih nyamplung memiliki kulit jagung, semangka dan kacang-
dengan tempurung yang keras, kacangan, serta ubi jalar.
sehingga perlu dilakukan skarifikasi
dengan memukul kulit tempurung Agar tanaman muda bisa bertahan dari
menggunakan alat pemukul. Dengan tiupan angin maka perlu pengikatan
cara ini benih nyamplung mulai bibit dengan seutas tali pada ajir dan
berkecambah pada hari ke 7. Benih dilindungi dengan keranjang bambu/
nyamplung yang dikecambahkan bronjong. Telah dibuat rancangan
tanpa perlakuan apapun akan bentuk bronjong yang secara
memerlukan waktu berkecambah ekonomis sesuai untuk penerapan
hingga lebih dari 30 hari. penanaman dalam skala luas (Gambar
5.6). Konsep ini telah diaplikasikan
Pembersihan dilakukan secara manual pada demplot penanaman nyamplung
untuk memisahkan benih dari kotoran pada Desa Mandiri Energi di
yang mungkin terbawa selama proses Purworejo dan Banyuwangi, karena
ekstraksi, baik berupa ranting, sayap, lahan yang ditanami pada umumnya
kulit buah, dll. Seleksi atau sortasi dalam kondisi terbuka (berhadapan
adalah memilih benih yang bernas dengan laut lepas).
(berisi), sehat (tidak terlihat adanya
bekas serangan hama/penyakit) dan 4) Kranji/Malapari (Pongamia pinnata L.)
berukuran relatif sama.
(a) Pengenalan jenis. Kranji/Malapari
(2) Teknik pembibitan vegetatif (Pongamia pinnata L.) tergolong
dalam famili leguminaceae. Nama
Bahan setek berasal dari anakan alam
dengan tinggi minimal 50 cm atau lainnya adalah: mabai (Bangka),
tanaman tingkat pancang (diameter kipahang laut (Jawa Barat), keranji
(Madura), keik (Jawa), hatehira
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 173
Pengelolaan Hutan
(Ternate), butis (Sikam Timur). Selain serta memiliki gigi tumpul yang sangat
itu sering juga disebut pongam, indian pendek.
beech, karanja, karanj, honge.
Buah berbentuk polong, berbentuk
(b) Sebaran alami. Malapari dijumpai lonjong menyerong hingga menjorong,
secara alami di Pakistan, India dan tipis berukuran 5 – 8 cm x 2 – 3,5 cm x
Sri Lanka serta seluruh Asia Tenggara 1 – 1,5 cm, halus, berkulit tebal hingga
termasuk Indonesia sampai timur laut agak mengayu, berparuh, bertangkai
Australia, Fiji dan Jepang. Tanaman pendek, merekah lambat, berisi 1 – 2
ini diintroduksi di Mesir dan Amerika biji, mesokarp berserabut, biji bulat
Serikat (Florida, Hawaii) (Anonimous, telur gepeng berukuran 1,5 – 2,5 cm
2007). Di Indonesia ditemukan x 1,2 – 2 cm x 0,8 cm, dan bermantel
tersebar luas di Pulau Sumatra bagian rapuh. Polong tidak membuka ketika
Timur (TN Berbak, Teluk Berikat masak.
– Pulau Bangka), di sekitar Pantai
Tanjung Lesung (Banten), Pantai Batu (d) Teknik budidaya malapari
Karas (Ciamis), Ujung Blambangan (TN Untuk meningkatkan pertumbuhan
Alas Purwo), Pantai Lovina (Bali Utara), bibit malapari di persemaian yang
Pantai Sembelia (Lombok Timur), dan menggunakan media tanah sub soil,
Pantai Barat Pulau Seram (Maluku). maka dilakukan inokulasi mikoriza.
(c) Habitus. Tanaman malapari Mikoriza yang digunakan adalah
berupa perdu atau pohon yang endomikoriza (Fungi Mikoriza
menggugurkan daunnya dengan Arbuskula / FMA) campuran dari jenis
percabangan tersebar. Tinggi pohon Glomus sp + Acaulospora + Gigaspora
ini berkisar antara 15 – 25 m dengan sebanyak 5 gram, inokulasi mikoriza
diameter batang mencapai 80 cm. tersebut dikombinasikan dengan
Batang berwarna abu-abu berbentuk pemberian pupuk NPK sebanyak 0,5
tegak lurus, cabang pada umumnya g per polybagPembersihan dilakukan
tidak memiliki rambut atau urat. secara manual untuk memisahkan
benih dari kotoran yang mungkin
Daun majemuk bersilangan, terbawa selama proses ekstraksi, baik
berbentuk bulat telur, menjorong atau berupa ranting, sayap, kulit buah, dll.
lonjong (elips) berukuran 5 – 22,5 cm Seleksi atau sortasi adalah memilih
x 2,5 – 15 cm, pangkalnya membundar benih yang bernas (berisi), sehat
hingga membaji, dan ujung daun (tidak terlihat adanya bekas serangan
menumpul – meruncing. Bunga hama/penyakit) dan berukuran relatif
berbau menyengat, berwarna putih sama.
hingga merah muda, bagian dalam
berwarna ungu dengan ruam hijau di d. Jenis Penghasil Nira dan Pati
tengah, dan terdapat urat kecoklatan
di bagian luarnya. Tangkai bunga Jenis penghasil nira dan pati diantaranya
berukuran 7-15 mm ditutupi oleh adalah aren, lontar, nipah dan sagu.
pinak daun yang halus dan berambut Manfaat dan persyaratan tempat tumbuh
pendek. Mahkota daun berbentuk dapat dilihat pada Tabel 4.12 dan 4.13.
bulat telur terbalik dengan panjang 11
– 18 mm. Kelopak bunga berbentuk Pengenalan jenis, sebaran alami, habitus
cangkir, panjangnya 4-5 mm, ditutupi dan teknik budidaya jenis penghasil nira
oleh rambut yang pendek dan halus dan pati antara lain sebagai berikut.
174 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
Tabel 4.12 Manfaat dari jenis penghasil nira dan pati berdasarkan organ penghasil
Organ Penghasil
Jenis
Penghasil Gubal/ Batang/Kayu/ Akar/ Daun/
Nira dan Pati Ampas/ Kulit Kayu Rebung Tangkai Daun Buah/Biji/Bunga
136
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 175
Pengelolaan Hutan
Tabel4.13.
Tabel 5.21.Persyaratan
Persyaratantempat
tumbuhtumbuh
jenis penghasil nira dan nira
jenis penghasil pati dan pati
Pengenalan jenis, sebaran alami, habitus dan teknik budidaya jenis penghasil nira dan
pati antara lain sebagai
1) Aren (Arenga berikut.
pinnata) pinnata (Wurmb), A. Undulatifolia
Bree, A. Westerhoutii Gift dan A.
a. Aren (Arenga pinnata)
(a) Pengenalan jenis. Aren termasuk Ambacang Becc. Diantara keempat
1)suku
Pengenalan jenis (pinang-pinangan).
Aracaceae jenis tersebut, A. pinnata (Wurmb)
TanamannyaAren termasuk suku Aracaceae
mirip dengan kelapa, (pinang-pinangan). Tanamannya mirip dengan
kelapa, hanya saja batang lebih terlihat kotor merupakan
dibanding kelapa jenis yang
karena paling
terbalut denganbanyak
hanya saja batang lebih terlihat kotor dikenal dan paling luas penyebaran.
ijuk sehingga pelepah daun yang sudah tua sulit diambil atau terlepas. Tanaman ini
dibanding kelapa karena terbalut A. pinnata (Wurmb) ini dikenal dengan
mempunyai banyak nama daerah seperti: bakjuk/bakjok (Aceh), pola/paula (Karo),
dengan ijuk sehingga pelepah daun nama(Sumatera
aren atauBarat),
enau. anau/hanau
bagot (Toba), agaton/bargat (Mandailing), anau/beluluk
yang sudah tua
(Lampung), sulit diambil atau
aren/lirang/nanggong (Jawa), aren/kawung (Sunda), hanau (Dayak,
terlepas. Tanaman
Kalimantan), onau (Toraja,ini mempunyai
Sulawesi), maka/nawa (b) Sebaran
– nawa (Ambon, alami.Maluku).
Wilayah penyebaran
banyakJenisnama daerah seperti: aren terletak
aren yang sudah dikenal masyarakat ada 4 jenis yaitu: Arenga antara garis lintang
pinnata20°LU
bakjuk/bakjok (Aceh), Bree,
(Wurmb), A. Undulatifolia pola/paula
A. Westerhoutii Gift– 11°LS
dan A.yaitu meliputi
Ambacang India,
Becc. Srilangka,
Diantara
(Karo),
keempat bagot
jenis (Toba),
tersebut,agaton/bargat
A. pinnata (Wurmb) merupakan Bangladesh,jenis Burma, Thailand,
yang paling banyak Laos,
(Mandailing), anau/beluluk
dikenal dan paling (Sumatra
luas penyebaran. Malaysia,
A. pinnata (Wurmb) Indonesia,
ini dikenal denganVietnam,
nama aren Hawai,
Barat), anau/hanau (Lampung), aren/
atau enau. Philipina, Guam dan berbagai pulau di
2)lirang/nanggong
Sebaran alami (Jawa), aren/kawung sekitar Pasifik. Di Indonesia tanaman
(Sunda), Wilayah
hanau penyebarannya terletak antara garis
(Dayak, Kalimantan), arenlintang 20°LUterdapat
ini banyak – 11°LS danyaitu
tersebar
meliputi India, Srilangka,
onau (Toraja, Sulawesi), maka/nawa –Bangladesh, Burma, Thailand, Laos, Malaysia, Indonesia,
hampir di seluruh wilayah nusantara,
nawaVietnam,
(Ambon,Hawai, Philipina, Guam dan berbagai pulau
Maluku). di sekitardiPasifik.
khususnya daerahDiperbukitan
Indonesia dan
lembah.
Jenis aren yang sudah dikenal
masyarakat ada 4 jenis yaitu: Arenga (c) Habitus. Tanaman aren mempunyai
137
176 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
gatal apabila kena kulit. Biji aren di India dan Sulawesi Selatan adalah
juga bisa diperoleh dengan cara jenis yang sama. Di Jawa tumbuhan ini
memeram buah-buah aren yang disebut ‘rontal’ yang mungkin berasal
telah dikumpulkan sampai kulit buah dari kata ‘ron’ yang berarti daun dan
menjadi busuk sehingga biji telah ‘tal’, jadi artinya ‘daun tal. Tergolong
terpisah dari daging buah. dalam kelas Monocotyledonae, Ordo
Plantae, Famili Arecaceae (Palmae)
Benih aren memiliki masa dormansi
yang lama. Agar cepat berkecambah, dan spesies Borassus flabellifer L,
benih direndam dalam air hangat Borassus sundaica Becc.
(suhu 50°C) selama 3 menit dan (b) Sebaran alami. Penyebaran lontar
bagian yang lunak tempat keluarnya meliputi seperempat garis keliling
tunas dikikis.
bumi dari Afrika hingga Irian Timur,
(2) Teknik penanaman mulai 10°LS (P. Rote, NTT) sampai
30°LS (India). Pada tahun 1913,
Aren mempunyai daya toleransi yang Beccari telah menetapkan 7 species
tinggi terhadap intensitas cahaya yang lontar yang berbeda di seluruh Afrika
rendah sehingga dapat berproduksi dan Asia Tenggara menurut distribusi
normal di bawah naungan. Oleh geografisnya: Borassus flabellifer
karena itu, jika ditanam di lahan L, (pesisir pantai India, Sri Lanka
terbuka, bibit yang baru ditanam dan Laos); Borassus sundaica Becc.
perlu diberi pelindung dari daun (Malaysia, Indonesia dan Bogor);
aren atau anyaman bambu. Dapat Borassus aethiopum Mart. (Pantai
pula aren ditanam bersama tanaman
Gading, Kongo dan Nigeria); Borassus
kayu-kayuan yang berfungsi
aethiopum Var. senegalenesis Becc.
sebagai peneduh pada tahap awal
pertumbuhan aren dan selanjutnya (Senegal, Mali dan Keyes); Borassus
dipelihara secara terpadu. aethiopum Var . bagamojensis Becc.
(Tanzania dan Bagamojo); Borassus
Masa produktif tanaman aren hanya deleb Becc., (Sudan tepatnya daerah
2-3 tahun. Agar produksi nira sebagai Nubia); Borassus sambiranensis
bahan baku bioetanol kontinu, aren Jum. Et perreier de la Bathie. (Utara
ditanam dalam barisan dengan selang – Barat Madagaskar); Borassus
waktu tanam antar baris 2 tahun. madagascariensis Bojer ex Jum. Et
Barisan tanaman yang tidak produktif perreier de la Bathie. (Madagaskar
diremajakan diikuti barisan berikutnya yaitu daerah sungai Morovoay, Teluk
sehingga kontinuitas produksi nira Bambetok dan Majunga); Borassus
terjamin. heineanu Becc.(New Guinea).
(c) Habitus. Pohonnya tunggal, berbatang
2) Lontar (Borassus flabellifer L, Borassus lurus, dapat mencapai tinggi 30 m atau
sundaica Becc.) lebih. Diameter batang rata-rata 1 m
dan secara keseluruhan batang sama
(a) Pengenalan jenis. Lontar, rontal, besarnya dengan rata-rata 40-50 cm
siwalan atau ental adalah jenis palem ke atas. Permukaan batang lebih halus
yang umum dikenal masyarakat. dan berwarna agak kehitam-hitaman.
Jenis ini di India disebut ‘tala’, persis Akarnya serabut, dan semuanya
sama dengan sebutan yang diberikan terdapat di dalam tanah dan hampir
masyarakat Sulawesi Selatan. Jadi tidak ada bagian akar yang terlihat.
kemungkinan besar jenis yang ada Akarnya banyak dan dapat mencapai
178 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
jarak yang rapat dan setelah satu sagu yang berkualitas, yaitu:
bulan dijarangi (12,5 x 12,5 cm • Teknik pemisahan bibit. Bibit
menjadi 25 x 25 cm; 15 x 15 cm dipisahkan dengan cara: 1)
menjadi 30 x 30 cm; 20 x 20 cm memisahkan anakan dari pohon
menjadi 40 x 40 cm). Penggunaan induknya dengan memotong pada
ZPT Suburi Liquid pada benih tanpa daerah “leher” akar (stolon) pada
kulit lebih dianjurkan dibandingkan pohon induk (Gambar 5.9); 2)
penggunaan benih utuh. anakan ditarik dengan memegang
pelepah yang sudah tua; 3) akar
(2) Teknik persemaian
yang berlebih dapat dipangkas
Terdapat 2 (dua) bentuk persemaian sepanjang 5 cm dan pelepah tua
yang cocok dengan kebutuhan dipangkas sampai panjang pelepah
pertumbuhan bibit sagu yaitu: 30 cm.
• Persemaian kolam. Persemaian • Sumber benih bibit. Kemampuan
ini dibuat pada lahan datar dan rumpun sagu menyediakan bibit
tanah tidak bersifat porous. tergantung dari jenis sagu. Untuk
Kelebihan dari bentuk persemaian sagu Ihur dan Tuni setiap kali
ini adalah mudah dan fasilitas pengambilan dapat diperoleh
yang dibutuhkan lebih sedikit. 3–4 anakan/rumpun. Sedangkan
Namun punya kelemahan yaitu: jenis Molat hanya diperoleh 1–2
biaya pemeliharaan tinggi (perlu anakan/rumpun. Beberapa daerah
penyiraman terutama pada cuaca yang dapat dijadikan sumber
yang terlalu panas) dan bibit tidak bibit adalah: Riau (Indragiri Hilir,
bisa lama di persemaian (maksimal Bengkalis, Kampar dan Kepulauan
3 bulan). Riau), Maluku (P. Seram, Buru,
• Persemaian rakit. Persemaian ini Halmahera, Bacan, Ambon dan
dibuat pada areal penanaman yang Saparua, Ambon dan Saparua) dan
dilengkapi kanal. Bibit ditempatkan Papua (Sorong, Bintuni, Jayapura,
pada rakit dengan pangkal batang Paniai, Waropen, Membramo,
sebagian terendam dalam air. Sentani, Fakfak dan Merauke).
Kelebihan dari persemaian ini
adalah persentase tumbuh bibit (4) Teknik pembibitan melalui kultur
tinggi (karena tidak tergantung jaringan
cuaca), pemeliharaan lebih mudah
Untuk mendapatkan kalus, digunakan
dan bibit dapat diangkut oleh
eksplan jaringan pucuk meristem
sampan ke lokasi penanaman,
dari anakan muda yang dikulturkan
namun kelemahannya perlu biaya
pada medium padat modifikasi MS.
pembuatan kanal
Pembibitan dengan kultur jaringan
(3) Teknik pembibitan vegetatif ini masih terkendala tingginya
keragaman embrio somatic, sehingga
Untuk keperluan perbanyakan melalui menghasilkan ukuran, warna dan
bonggol/abut/anakan digunakan tahap perkembangan yang berbeda.
kriteria permudaan sagu. Bibit sagu Efeknya akan menghasilkan planlet
diperoleh dengan cara mengambil yang masih kurang jagur, daun planlet
anakan dalam rumpun sagu. Anakan kecil memanjang dan akar sedikit tanpa
sagu secara umum disebut sebagai bulu-bulu akar. Planlet yang kurang
bonggol atau dengan nama ilmiah jagur ini akan berpengaruh terhadap
sucker, dan di beberapa daerah rendahnya keberhasilan hidup bibit
disebut dengan nama abut. Beberapa saat diaklimatisasi. Selain faktor
tahapan untuk mendapatkan bibit kejaguran planlet saat ditransfer ke
184 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
tropis sampai daerah tropis, di dataran sudah dapat dilakukan pada awal musim
rendah atau dataran tinggi. Di daerah hujan, di tempat yang tumbuh alang-
tropis, murbei dapat tumbuh sepanjang alang pencangkulan lebih dalam, agar
tahun tanpa mengalami masa istirahat, alang-alang dapat dibongkar seluruhnya
sedangkan murbei yang tumbuh di daerah dikumpulkan dan dibakar.
sub tropis mengalami masa istirahat pada
c) Penanaman, dilakukan dengan jarak
musim dingin, tetapi karena ulat sutera
tanam yang lebih rapat. Populasi yang
lebih cocok berkembang biak di tempat
disarankan 20.800 batang/ha (1,2 m x
yang beriklim sejuk, maka murbei sebagai
0,4 m) untuk pola tanam monokultur,
pakan ulat, paling ideal ditanam pada
dan minimal 10.000 batang/ha untuk
ketinggian 400–800 m di atas permukaan
pola tanam secara tumpangsari. Apabila
laut. Daerah yang mempunyai temperatur
rata-rata kepemilikan lahan masyarakat
rata-rata 21oC–23oC sangat cocok untuk
seluas 1000 m2, jumlah yang dapat
pertumbuhan murbei.
ditanam sebanyak 2.080 batang untuk
3) Teknik budidaya mendukung pemeliharaan ulat sebanyak
2 boks/periode panen daun.
Budidaya tanaman murbei merupakan dasar
d) Pemupukan. Input yang perlu
dari persuteraan alam, karena daun murbei
diperhatikan pada tanaman murbei
(Morus sp.) merupakan makanan pokok
terdiri dari pupuk kandang, urea,
ulat sutera. Kegiatan budidaya tanaman
TSP, dan KCL. Pemberian pupuk kimia
murbei mulai dari pembibitan, persiapan
dilakukan setiap enam bulan sekali
tanam, penanaman, pemeliharaan, panen
dengan perbandingan 2 urea : 1 TSP : 1
dan pasca panen yang dilakukan secara
KCL. Pada enam bulan pertama, pupuk
intensif.
diberikan sebanyak 5 g per pohon, enam
Tujuannya adalah memproduksi daun bulan kedua sebanyak 10 g per pohon,
murbei untuk pakan ulat sutera dengan dan enam bulan ke tiga dan seterusnya
produksi daun banyak dan kualitas nutrisi/ 15 g per pohon.
gizi tinggi sebagai pakan ulat, karena e) Pemanenan daun. Kebun tanaman
produksi dan kualitas tanaman murbei murbei sebagai pakan ulat diperlukan
38% berpengaruh terhadap produksi dan bukan banyaknya hasil daun, akan
kualitas kokon yang dihasilkan. tetapi kualitas daun yang berguna bagi
a) Pengadaan bibit dengan stek. Tanaman pertumbuhan dan kesehatan ulat.
murbei dapat diperbanyak dengan stek Pemanenan daun murbei pertama untuk
batang. Bahan stek yang digunakan konsumsi ulat sutera dapat dilakukan
berasal dari pohon induk umur 1 tahun sembilan bulan setelah penanaman.
lebih setelah tanam atau 3 – 4 bulan Daun untuk ulat kecil adalah daun yang
setelah pangkas, bibit dipilih dari berumur pangkas satu bulan, untuk
tanaman murbei jenis unggul yang baik, ulat besar adalah daun yang berumur
sehat, cukup umur, diameter 1 – 1,5 cm pangkas 2 – 3 bulan. Disarankan panen
dengan panjang 20 cm atau mempunyai daun dilakukan pada pagi atau sore hari
empat mata, dipotong miring 45oC dan agar daun tidak cepat kering, sebaiknya
ditanam dengan dua mata tunas di atas letak kebun dekat dengan tempat
permukaan tanah. pemeliharaan ulat.
b) Pengolahan tanah untuk penggemburan.
Sebaiknya dikerjakan pada akhir musim
kemarau sehingga penanaman murbei
194 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
F. 7. Peran Mikoriza dalam Produktivitas (Brundrett, et al, 1996 dalam Yuwati, 2019).
Hutan
Saat ini telah diketahui tujuh tipe fungi
Fungi simbiosis penting yang berperan mikoriza yang berasosiasi dengan
dalam pertumbuhan dan produktivitas tanaman, yakni Arbuscular mycorrhiza,
hutan adalah fungi mikoriza. Pengembangan Ectomycorrhiza, ectendomycorrhiza,
tumbuhan hutan berupa hutan tanaman Arbutroid mycorrhiza, Monotropoid
industri maupun hutan rakyat atau untuk mycorrhiza, Ericoid mycorrhiza, dan Orchid
rehabilitasi lahan membutuhkan bibit yang mycorrhiza (Smith & Read, 2008, dalam
berkualitas dengan perlakuan mikoriza Yuwati, 2019).
Keuntungan yang optimal terjadi bila
terdapat kesesuaian antara jenis fungi Dari tujuh tipe fungi mikoriza arbuskula
dengan jenis tanaman atau kolaborasi tersebut, yang paling banyak dikenal adalah
antara beberapa fungi atau fungi dengan dua tipe yaitu: mikoriza arbuskula (AM) dan
bakteri. ektomikoriza (ECM). Dua tipe mikoriza ini
memiliki perbedaan dalam hal morfologi
Mikoriza adalah karakteristik asosiasi dan anatomi dalam asosiasinya dengan
antara jamur dan akar tanaman yang akar. Secara umum, ciri khas pada asosiasi
memungkinkan tanaman untuk memperoleh mikoriza arbuskula adalah adanya arbuskul
air dan hara dalam kondisi lingkungan yang yang muncul pada sel korteks (Smith &
kering dan miskin unsur hara, perlindungan Read, 2008). Berbeda dengan mikoriza
dari pathogen akar dan unsur toksik secara arbuskula, ektomikoriza ditandai dengan
tidak langsung melalui perbaikan struktur adannya mantel serta hartig net pada akar
tanah. Selain berfungsi untuk memperbaiki (Gambar 4.2).
pertumbuhan tanaman di persemaian dan
lapangan serta meningkatkan resistensi Interaksi mikoriza merupakan interaksi
tanaman terhadap penyakit dan stres air, yang bersifat komplementer resiprokal
mikoriza juga melindungi tanaman dari yang memberikan keuntungan bagi fungi
pengaruh lingkungan yang kurang kondusif dan tanaman. Fungi memperoleh sumber
daya hasil fotosintesis dari tanaman untuk
mendukung proses metabolisme fungi fungi ektomikoriza dan atau fungi mikoriza
tersebut, sedangkan tanaman memperoleh abuskular adalah sebagai berikut :
berbagai manfaat dari keunikan morfologi a. Dapat membantu bibit dan tanaman
dan fisiologi fungi, sehingga keduanya menyerap unsur-unsur hara tanaman
dapat terus bertahan (survive) di relung terutama fosfor yang terikat atau dalam
(niche) ekologinya (Peay, 2016 dalam bentuk tidak tersedia dalam tanah.
Yuwati, 2019). Juga membantu penyerapan unsur-
unsur hara lainya seperti N, K, Ca, Mg.
Manfaat simbiosis ini bagi tanaman
b. Meningkatkan pertumbuhan bibit dan
antara lain meningkatkan penyerapan air
tanaman pada tanah-tanah yang kurang
dan toleransi terhadap kekeringan dan
subur/marginal.
meningkatkan mobilisasi dan transfer
c. Meningkatkan persentase bibit tanaman
nutrisi. Dengan kemampuan metabolisme
yang hidup (survival rate) di persemaian
yang dimilikinya. mikoriza dapat mengubah
dan pada saat dipindah ke lapang.
unsur-unsur yang semula dalam bentuk
d. Meningkatkan ketahanan bibit dan
molekul yang tidak dapat diserap menjadi
tanaman terhadap penyakit-penyakit
ionion mineral yang mudah diserap
tular tanah.
oleh akar tanaman. Mikoriza juga dapat
e. Meningkatkan ketahanan bibit dan
meningkatkan toleransi tanaman terhadap
tanaman terhadap cekaman air.
salinitas (Yuwati, 2019).
Waktu inokulasi fungi ektomikoriza dan
Tanaman kehutanan berasosiasi simbiotik
fungi mikoriza arbuskular yang tepat
dengan fungi ektomikoriza, fungi arbuskula
adalah pada saat penyapihan (overspin)
mikoriza atau kedua-duanya. Tanaman-
dari bak perkecambahan ke dalam polybag
tanaman yang bersimbiosis dengan
atau polytube di persemaian. Inokulan
fungi ektomikoriza antara lain yaitu
ektomikoriza pada awalnya menggunakan
Dipterokarp, Pinus, Eucalyptus, Acacia
lapisan top soil, karena dirasa kurang efisien
dll. Fungi ektomikoriza yang bersimbiosis
dan efektif, maka saat ini menggunakan
dengan tanaman hutan antara lain yaitu
spora yang dikemas dalam bentuk tablet
Scleroderma sp., Pisolithus arrhizus,
atau menggunakan miselia dalam bentuk
Cantharaleus sp., Russula sp. sp. Lactarius
alginat. Sedangkan inokulan fungi mikoriza
sp. dll.
arbuskular menggunakan spora, miselia
Inokulan fungi ektomikoriza yang umum dan akar terinfeksi yang ada di dalam
digunakan dalam produksi bibit di media tumbuh yang digunakan pada saat
persemaian yaitu Scleroderma sp. dan P. perbanyakan fungi mikoriza arbuskular .
arrhizus. Sedangkan tanaman-tanaman
Pelaksanaan inokulasi fungi mikoriza
yang berasosiasi dengan fungi arbuskula
arbuskular dapat dilakukan dengan cara
mikoriza adalah sengon, acacia, jabon, jati
media tumbuh yang telah ditempatkan
dll. Beberapa fungi mikoriza arbuskula
dalam polybag atau polytube ditugal dengan
antara lain yaitu Glomus sp., Acaulopsora
stik dengan diameter 2 cm dan kedalaman
sp., Gigaspora sp. Scutellospora, dan
lubang 3-4 cm, kemudian kecambah/bibit
Entrospora sp.
dimasukkan dalam lubang dan di sekitar
Eucalyptus sp., Acacia sp., Melaleuca sp., akar bibit tersebut dimasukkan inokulan.
Leptospermum sp. merupakan tanaman Untuk ektomikoriza diberikan 1 tablet
yang dapat berasosiasi dengan kedua spora atau 10 butir alginat, sedangkan
jenis fungi tersebut di atas. Manfaat yang untuk inokulan fungi mikoriza arbuskular
diperoleh tanaman yang berasosiasi dengan sebanyak satu sendok teh per bibit.
196 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
Spesies asing invasif adalah spesies yang Pada masa pertumbuhan dan
diintroduksi baik secara sengaja maupun perkembangannya, tanaman hutan sering
tidak disengaja dari luar habitat alaminya, mengalami gangguan berupa hama dan
bisa pada tingkat spesies, sub spesies, penyakit. Gangguan hama dan penyakit
varietas dan bangsa, meliputi organisme pada tanaman hutan merupakan salah
utuh, bagian-bagian tubuh, gamet, benih, satu kendala yang cukup rumit. Keberadaan
telur maupun propagul yang mampu hidup hama dan penyakit merupakan faktor yang
dan bereproduksi pada habitat barunya, dapat menghambat pertumbuhan tanaman
yang kemudian menjadi ancaman bagi dan pembentukan hasil.
biodiversitas, ekosistem, pertanian, sosial Kerusakan yang ditimbulkan oleh hama dan
ekonomi maupun kesehatan manusia, penyakit pada tanaman hutan dapat secara
pada tingkat ekosistem, individu maupun langsung maupun tidak langsung. Kerusakan
genetik. secara langsung akibat serangan hama dan
Untuk meminimalkan kerusakan yang penyakit antara lain dapat merusak bagian
terjadi maka perlu dilakukan upaya-upaya tanaman yang di serangnya, menghambat
untuk melindungi hutan dengan kegiatan pertumbuhan, merusak biji dan buah
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 197
Pengelolaan Hutan
Seperti yang telah disebutkan di atas dapat dibagi menjadi tiga tipe pokok yaitu
bahwa penyebab penyakit tanaman dapat gejala nekrotik yang disebabkan karena
dikelompokkan menjadi penyebab abiotik adanya kerusakan pada sel atau bagian
dan penyebab biotik. Penyebab abiotik sel atau matinya sel (klorosis, nekrosis,
disebut penyakit abiotik atau penyakit layu, gosong, mati pucuk, busuk, rebah
fisiologis atau fisiogenis, penyebab semai, kanker, dan pendarahan); gejala
penyakitnya (patogen) disebut fisiopat, hipoplastik penghambatan atau terhentinya
contoh penyebab abiotik antara lain pertumbuhan sel (kerdil, klorosis, etiolasi
kekurangan unsur hara, suhu, kelembaban, dan lain-lain); gejala hiperplastik (sapu
kemasaman tanah (iklim). Karena penyakit setan, nyali/gall/sesidium, keriting/
yang disebabkan faktor abiotik tidak menggulung, kudis, dan lain-lain).
menular maka penyakit abiotik disebut juga
penyakit tidak menular (non infectious). Tanda adalah kenampakan makroskopis dari
patogen atau organnya yang memegang
Penyakit biotik penyebab penyakitnya peranan penting bahkan lebih penting dari
antara lain mikoplasma, protozoa, virus, gejala. Tanda-tanda umumnya terbatas
bakteri, jamur, ganggang, nematoda pada penyakit yang diakibatkan oleh jamur
dan tumbuhan parasit, penyakit biotik dan bakteri misalnya adanya miselium,
disebut juga penyakit menular (infectious) karat, tepung, cacar, bercak ter, hangus,
(Semangun, 1996; Sumardi dan Widyastuti, sklerotium, lendir, tubuh buah dan lain-lain
2004; Agrios, 2005). Ciri–ciri penyakit (Alexopoulos dan Mims, 1979; Semangun,
antara lain sebagai berikut, penyebab 1996; Sumardi dan Widyastuti, 2004;
penyakit sukar dilihat oleh mata telanjang Agrios, 2005).
dan serangan penyakit umumnya tidak
langsung sehingga tanaman mati secara Para pakar menyatakan bahwa hama
perlahan–lahan. dan penyakit dapat terjadi jika pada
suatu waktu di satu tempat terdapat (1)
Adanya serangan penyakit pada tumbuhan tanaman yang rentan, (2) hama/pathogen
digambarkan dalam bentuk patologi yang ganas/virulen dan (3) lingkungan
yang khas yang disebut gejala dan tanda, yang sesuai. Interaksi ketiga komponen
gejala dan tanda inilah yang memberikan tersebut di atas biasa di gambarkan
petunjuk apakah pohon sehat atau sakit. sebagai konsep segitiga hama/penyakit
(Alexopoulos dan Mims, 1979; Semangun, (Semangun, 1996; Agrios. 2005). Apabila
1996; Agrios, 2005; Pracaya, 2008; dalam interaksi yang digambarkan dengan
Anggraeni dan Lelana, 2011). segitiga hama/penyakit, ada manusia
yang ikut campur tangan maka konsepnya
Untuk keperluan diagnosis, maka menjadi tetrahedron/limas hama/penyakit
pengertian tentang gejala dan tanda (Semangun, 1996; Agrios. 2005).
perlu diketahui dengan baik, gejala adalah
perubahan-perubahan yang ditunjukkan Informasi dan data mengenai berbagai jenis
oleh tanaman itu sendiri akibat dari adanya hama dan penyakit pada tanaman hutan
penyebab penyakit. Gejala dapat setempat dari tahun ke tahun semakin meningkat.
(lesional) atau meluas (habital, sistemik). Sejumlah hama dan penyakit yang terkenal
Gejala dapat dibedakan yaitu gejala primer ganas mampu menghabisi hingga taraf
dan sekunder. Gejala primer terjadi pada menghancurkan pertanaman. Hama dan
bagian yang terserang oleh penyebab penyakit sifatnya dinamis, satu jenis dapat
penyakit. Gejala sekunder adalah gejala dikendalikan, dapat muncul jenis lain,
yang terjadi di tempat lain dari tanaman bahkan serangan-serangan berikutnya akan
sebagai akibat dari kerusakan pada bagian muncul kembali.
yang menunjukkan gejala primer. Gejala
200 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
A C
A B
Ulat kantong (Amatissa sp., Pteroma sp., Psyche sp., Cryptothelea sp., Pagodiella sp.,
Acanthopsyche sp., Metissa plana dan Mahasena sp.)(Lepidoptera, Psyhidae), pada beberapa
tanaman hutan karena ulat kantong bersifat polifag
A B
A B C
A B
B
A C
A. kerusakan pohon akibat serangan boktor; B. Larva dalam lubang gerek; C. Bentuk larva X. festiva
D. Imago X. festiva
dalam lobang gerek;
E. Bentuk imago X.
D E festiva
A B C
A B
Gejala penyakit karat tumor pada daun, tangkai daun dan batang
A B C
A. Gejala penyakit akar merah pada batang; B. Bentuk tubuh buah; C. bentuk konidia
c.
Pengendalian Hama dan Penyakit dikembangkan. Dua kelompok tersebut
Tanaman Hutan Secara Terpadu adalah :
a. Unsur-unsur dasar PHT yang terdiri
Pengendalian hama dan penyakit terpadu dari: Pengendalian alami, Pengambilan
dimaksudkan untuk memperbaiki kuantitas sampel, Aras ekonomik, Ekologi dan
dan kualitas hasil produksi tanaman biologi.
yang diusahakan. Sedangkan tujuan dari b. Komponen PHT yang terdiri dari:
pengendalian hama dan penyakit adalah Pengendalian Kultur Teknis,
untuk mencegah terjadinya kerugian Pengendalian Hayati, Pengendalian
ekonomis serta menaikkan nilai produksi Kimiawi, Pengendalian dengan Varietas
dari tanaman yang diusahakan. Tahan, Pengendalian Fisik dan Mekanik,
Usaha pengendalian dilakukan apabila Pengendalian Dengan Peraturan.
biaya yang dikeluarkan lebih kecil daripada Adapun selengkapnya cara-cara
kerugian yang terjadi akibat serangan hama pengendalian tersebut adalah:
dan penyakit. Metode pengendalian hama
dan penyakit sangat bervariasi, tergantung a. Kultur Teknis (cara bercocok tanam) :
dari jenis hama, patogen dan tanaman • Mengatur komposisi tegakan (hutan
inangnya. campuran)
• Kerapatan tegakan
Dalam prakteknya pengendalian hama dan • Kesehatan pohon
penyakit dapat berupa : • Memilih jenis pohon yang resisten
1. Pencegahan (preventive) artinya kita terhadap hama dan penyakit.
melakukan suatu tindakan atau usaha
agar tanaman yang masih sehat terhindar b. Pengendalian Hayati
dari hama dan penyakit (sebelum adanya • Meningkatkan populasi musuh alam
hama dan penyakit). (parasitoid, predator, cendawan
2. Pengendalian kuratif (control) artinya entomopatogenik, cendawan dan
kita mengusahakan atau melakukan bakteri antagonis
tindakan-tindakan terhadap tanaman • Penggunaan pestisida nabati.
yang sudah terserang hama dan penyakit,
dengan harapan agar tanaman itu akan c. Pengendalian Kimiawi
sembuh dan normal kembali. • Penggunaan pestisida selektif baik
jenis maupun teknik aplikasi
Saat ini semua usaha pengendalian • Penggunaan pestisida sistemik
terhadap hama dan penyakit tanaman
diarahkan pada konsep pengelolaan hama d. Pengendalian Fisik dan Mekanik
dan penyakit secara terpadu (PHT), begitu • Mematikan langsung hama dan
pula sektor kehutanan mengadopsi dari bagian tanaman yang terserang.
sektor pertanian. Dimana pemerintah telah Sanitasi tegakan atau pemangkasan
menetapkan bahwa PHT sebagai kebijakan bagian tanaman yang terserang atau
dasar bagi setiap program perlindungan pemusnahan pohon yang terserang.
tanaman. Karena sifat penerapan PHT • Membuat perangkap (terutama untuk
dinamik maka perlu dilandasi oleh informasi hama) dan pembuatan barier.
dasar tentang ekosistem mau pun sistem • Merusak habitat dari hama sehingga
sosial ekonomi setempat. siklus hidupnya terputus, yaitu dengan
memusnahkan tumbuhan liar yang
Oleh karena itu dalam konsep PHT menjadi inang antara hama tersebut.
dibedakan dua kelompok pengetahuan • Penggunaan suhu tinggi, suhu rendah,
dan informasi yang perlu diketahui dan cahaya, kelembaban (mengubah
204 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
atau pembakaran awal oleh manusia. api perladangan pada saat pembakaran
Selanjutnya api yang telah terjadi tersebut pembukaan lahan yang lalai dan tak
melalui proses konveksi, konduksi dan terkendali.
radiasi menghasilkan ignisiasi atau
pemanasan terhadap bahan bakar lain di Ketiga komponen api yang saling
sekitarnya sehingga api akan terus menyala berhubungan yaitu bahan bakar, oksigen
selama bahan bakar masih ada. dan panas dapat diterangkan sebagai
berikut (1) Bahan bakar adalah semua
Pembakaran awal ini biasanya akibat bahan organik hidup atau mati yang mana
pembakaran ladang tak terkendali untuk karena sifat fisik dan kimianya sewaktu-
bertani, pembakaran peremajaan rumput waktu dapat terbakar. (2) oksigen adalah
untuk pakan ternak tak terkendali dan salah satu dari komponen udara. Ia
pembakaran lahan-lahan tidur di lahan merupakan gas tidak berwarna dan tidak
gambut untuk menunjukkan kepemilikan. berbau yang menempati sekitar 21% dari
Sebab-sebab lain yang dapat memicu volume udara yang ada di alam ini. (3)
terjadinya api awal adalah akibat panas merupakan energi yang dihasilkan
pelanggaran aturan disiplin lingkungan baik secara alami seperti energi matahari/
baik oleh perusahaan maupun masyarakat kilat/petir/halilintar ataupun hasil dari
secara perorangan. aktivitas manusia melalui penyulutan
secara langsung menggunakan korek api. Di
Contoh-contoh kasus seperti ini misalnya Indonesia, pemanasan banyak ditimbulkan
pembakaran pembukaan lahan (land oleh perlakuan manusia.
clearing) oleh perusahaan hutan tanaman
dan perkebunan, pembuangan puntung Terdapat tiga faktor kunci yang
rokok masih menyala pada saat bahan bakar mempengaruhi tingkah laku api yaitu
sangat kering oleh masyarakat, pembakaran 1) cuaca (angin, temperatur, kadar air,
untuk memasak ikan hasil pancingan dan kelembaban relatif, curah hujan), 2)
mengusir nyamuk oleh pemancing ikan dan topografi (kemiringan, aspek, deskripsi
pencari kayu galam di saat musim kemarau. lokasi, daerah ), dan 3) bahan bakar (kadar
air, spasi/jarak, tipe, volume, potensi).
Pemanasan awal akibat gejala alam pada
umumnya tidak sampai kepada tercapainya b. Intensitas Kebakaran
suhu titik bakar suatu bahan bakar karena
kadar air bahan bakar yang tinggi (> 20%). Intensitas kebakaran merupakan
Sebagai contoh, halilintar di Indonesia pada parameter penting yang digunakan untuk
umumnya terjadi di musim penghujan menentukan tingkat besarnya kebakaran
sehingga pijaran api yang terjadi dari dimana pada dasarnya ia merupakan
halilintar tidak sempat menghasilkan energi panas yang dihasilkan dari suatu
pembakaran sempurna karena kadar air kebakaran per unit panjang dari api. Untuk
bahan bakar tinggi. Untuk daerah nirtropis menghitung intensitas suatu kebakaran,
mungkin saja itu terjadi karena halilintar dapat digunakan rumus Byram yang sering
dapat terjadi di musim kering. disebut “ Intensitas Byram “.
Variabel ”W” adalah bahan bakar dalam permukaan di lahan gambut maka api
ton/ha, dan “R” adalah laju penjalaran api menjalar ke bawah permukaan. Api di bawah
(m/menit), sedangkan panas per unit area permukaan gambut lebih sulit dipadamkan
(HA) dihitung dengan rumus HA = I/R (kJ/m) daripada api di lahan kering. Demikian pula
yang terjadi di lahan batubara. Mula-mula
Intensitas kebakaran berhubungan dengan api timbul akibat aktivitas manusia yang
kerusakan hutan. Semakin tinggi intensitas lalai baik melalui pembakaran ladang tak
kebakaran hutan, semakin tinggi juga terkendali maupun kelalaian membakar dari
kerusakan hutan yang dibakarnya. Di sisi lain penduduk pendatang yang lewat melalui
intensitas api kebakaran juga berhubungan kendaraan bermotor atau berjalan kaki.
dengan kemampuan pemadaman dari regu Selanjutnya api membesar sesuai bahan
dan alat pemadam yang digunakan. bakar alang-alang dan semak belukar yang
Sifat api berbeda pada kondisi dan tipe ada. Kemudian bahan bakar permukaan
bahan bakar yang berbeda. Sifat api alang- yang terus menyala membakar lapisan
alang dan Chromolaena odorata tergolong batubara yang terbuka di permukaan dan
api kecil (< 3 m). Kecepatan menjalar api meneruskan api tersebut kedalam lapisan
permukaan di lahan gambut bervegetasi yang lebih dalam. Setelah api masuk
pakis dengan volume bobot bahan bakar kedalam lapisan batubara, selanjutnya api
12,3 kg/m2 adalah 2,6-5,2 m2/menit. menembus hingga ke lapisan batubara yang
Untuk bobot bahan bakar 15-90 kg/m2 sangat dalam. Jika telah terjadi demikian
adalah 10-18 m2/menit. maka banyak orang menganggap api
berasal dari alam, padahal api tetap berasal
Kecepatan menjalar api bawah permukaan dari kelalaian manusia di atas permukaan
gambut antara 50-150 cm/hari. Kecepatan tanah.
menjalar api permukaan di lahan gambut
bervegetasi semak belukar 6-10 m2/menit. Kebakaran permukaan (surface fire)
Pada kondisi bahan bakar sangat kering, membakar bahan-bahan yang tersebar
kecepatan menjalar api di lahan alang-alang pada permukaan lantai hutan, misalnya
adalah 250 m2/menit. Faktor-faktor yang serasah, cabang dan ranting mati yang
mempengaruhi perilaku kebakaran hutan gugur, dan tumbuhan bawah. Dalam
adalah kadar air bahan bakar, kuantitas kondisi keberadaan oksigen (O2) sangat
bahan bakar, ukuran dan susunan bahan berlimpah, terlebih dibantu adanya angin,
bakar, suhu bahan bakar, kelembaban kebakaran permukaan disertai nyala api
udara dan curah hujan, angin dan topografi. cukup besar berbentuk agak lonjong.
Keperluan air untuk pemadaman di tanah Api permukaan bergerak relatif cepat
mineral 2 lt/m2 sedangkan di lahan gambut sehingga tidak membakar semua bahan
memerlukan 800 liter air/m3. yang ada, terutama humus. Kelembaban
yang tinggi pada lapisan humus di bawah
c. Tipe Kebakaran serasah kering menyebabkan kebakaran
permukaan tidak membakar lapisan humus
Jika dikelompokan ada tiga tipe kebakaran tersebut. Kebakaran permukaan juga tidak
yaitu : (1) Kebakaran bawah (ground or meningkatkan suhu pada lapisan bahan
subsurface fire), (2) kebakaran permukaan organik dan horizon tanah di bawahnya,
(surface fire) dan (3) kebakaran tajuk (crown sehingga organisme renik di dalamnya
fire). tidak mati. Kenaikan suhu tinggi hanya
terjadi pada bagian nyala api dan itupun
Kebakaran bawah (ground fire) umumnya
tidak bertahan lama pada suatu titik
terjadi di lahan bergambut atau bahan
tertentu sehingga tidak mematikan jaringan
organik. Akibat lamanya terjadi api
batang-batang pohon hutan yang besar.
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 207
Pengelolaan Hutan
Pada pohon-pohon kecil dan perdu, api pada bagian tepi dan ekor api akan lebih
permukaan dapat mematikan bagian kulit efektif dengan menggunakan peralatan
kayu dan bagian kayu masih tetap hidup. tangan.
Tumbuhan dengan kerusakan semacam 3) Api Kebakaran Permukaan Sedang.
ini dapat bertunas dan tumbuh kembali Api ini memiliki tinggi lidah api sudah
setelah kebakaran permukaan berakhir, mencapai 2 meter. Biasanya api pada
kecuali kebakaran terjadi berkali-kali. intensitas sedang sudah mulai menjilat-
jilat batang pohon ukuran sapling
Kebakaran tajuk (crown fire) terjadi berasal
hingga tiang (pole). Intensitas panas
dari kebakaran permukaan. Kebakaran ini
mulai meninggi, regu tidak mungkin
terjadi jika lantai hutan memiliki tumbuhan
lagi mendekatinya untuk memadamkan
bawah yang tebal dan kering ditambah
secara langsung. Pemadaman langsung
banyaknya ranting-ranting dan dahan kering
hanya mungkin dilakukan dengan
tidak dipangkas termasuk kayu-kayu sisa
menunggu api merendah dan pada
tebangan. Api permukaan akan membakar
saat itulah api dipadamkan dengan
bagian-bagian atas hutan sehingga terjadi
cepat. Di dalam pemadaman secara
penyalaan api sampai ke tajuk pohon. Pada
langsung biasanya digunakan alat
jenis tanaman berdaun jarum, kebakaran
pemadam pompa. Pemadaman tidak
tajuk terjadi sangat mudah karena
langsung adalah dengan cara melokalisir
kandungan resin yang tinggi pada bagian-
api menggunakan sekat-sekat bakar
bagian pohonnya. Dengan kondisi oksigen
dadakan.
melimpah, kebakaran menimbulkan nyala
api yang besar dan dengan mudah bergerak 4) Api Kebakaran Permukaan Tinggi. Api
dari satu tajuk ke tajuk di dekatnya. Panas kelas ini memiliki tinggi lidah api hampir
yang ditimbulkan oleh nyala api yang besar mencapai tajuk pohon. Sebagian besar
dapat menurunkan kadar air bahan-nahan api telah membakar ranting-ranting
tumbuhan di dekatnya sehingga menambah pohon. Walaupun belum mencapai tajuk
kecepatan bagian-bagian tersebut terbakar, kebakaran ini sudah mematikan pohon-
menjadi kebakaran berbentuk elips yang pohon. Pemadaman secara langsung
besar. Kebakaran tajuk mematikan pohon- tidak dapat dilakukan dengan peralatan
pohon dan semak serta tumbuhan bawah tangan melainkan alat pemadam
termasuk lapisan bahan organik. pompa bertekanan tinggi disertai upaya
melokalisir areal terbakar. Pada kondisi
d. Kelas Intensitas Kebakaran tersebut api hanya akan mati setelah
bahan-bakar habis.
Jika dikelompokan, besarnya kebakaran
dapat dikelompokan sebagai berikut: 5) Api Kebakaran Tajuk. Api kebakaran tajuk
biasanya sudah membakar tajuk secara
1) Api Kebakaran Kecil. Api yang terjadi keseluruhan. Kebakaran seperti ini sudah
memiliki tinggi lidah api kurang dari 0,5 tidak bisa dipadamkan lagi walaupun
meter. Api seperti ini dapat dipadamkan dengan bantuan pesawat udara dengan
langsung pada muka dan pinggiran api bom air (water bomb). Sifat api seperti ini
dengan menggunakan peralatan tangan sangat membahayakan karena apa saja
(hand tools). yang ada di sekitarnya dapat terbakar.
2) Api Kebakaran Permukaan Rendah. Api Pada kondisi intensitas kebakaran seperti
ini memiliki tinggi lidah api mencapai 1 ini, upaya bakar balas pun sudah tidak
meter. Kombinasi pemadaman antara berlaku.
secara langsung dengan tidak langsung
dapat diterapkan sesuai dengan kondisi
lapangan. Pemadaman langsung dimulai
208 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
1. Populasi ternak di sekitar kawasan hutan. liar di dalam kawasan hutan. Teknik
Populasi ternak yang ada di sekitar hutan komunikasi sosial ini disesuaikan dengan
akan membutuhkan ketersediaan pakan kemampuan penyuluh. Bisa dilakukan
yang banyak. Semakin banyak populasi dengan mengumpulkan pemilik-pemilik
ternak maka penggembalaan ternak ternak dalam satu tempat yang sama,
di hutan juga akan meningkat untuk kemudian dilakukan penyuluhan atau
memenuhi kebutuhan pakannya. dengan cara mendatangi satu-persatu
2. Jumlah hijauan ternak yang mampu masyarakat yang memiliki hewan ternak
dihasilkan di desa sekitar hutan. (anjangsana). Kemudian mulai memberikan
Keterbatasan lahan di desa untuk pengarahan mengenai dampak
menyediakan pakan ternak yang cukup pengembalaan liar di dalam kawasan hutan
menyebabkan pemilik ternak, baik terutama kawasan yang masih memiliki
sendiri maupun bersama ternaknya, tumbuhan muda. Setelah itu memberikan
masuk ke hutan untuk mencari pakan solusi untuk menangani penggembalaan
ternak. liar di dalam kawasan, seperti menyediakan
3. Teknik memelihara ternak yang dilakukan pakan sendiri yang diambil pemilik ternak
oleh masyarakat. Secara umum, masih dari dalam kawasan tanpa membiarkan
banyak masyarakat yang menerapkan ternaknya masuk ke dalam kawasan hutan
peternakan sistem lepas, sehingga terutama hutan yang masih memiliki
penggembalaan ternak di hutan masih tanaman muda.
banyak dijumpai.
4. Intensitas pengawasan oleh pengelola Komunikasi sosial ini dapat dilakukan oleh
kawasan hutan. Pengelola kawasan siapa saja yang memilki peran penting
hutan mempunyai keterbatasan dalam dalam pengelolaan hutan. Komunikasi
mengawasi masuknya ternak di hutan. sosial dapat dilakukan oleh Mantri, Polhut,
Kepala desa, maupun LMDH (Lembaga
Penggembalaan liar pada dasarnya Masyarakat Desa Hutan). Komunikasi
dapat menurunkan tingkat kesuburan sosial kepada pemilik ternak dilakukan
lahan dan bertambahnya lahan kritis dengan cara persuasif tanpa ada unsur
yang dipercepat oleh tekanan penduduk kekerasan ataupun dibawah penekanan.
terhadap lahan, untuk keperluan pertanian Komuniasi sosial merupakan salah satu
dan peternakan. Hal ini karena sebagian cara efektif dalam mengurangi dampak
besar mata pencaharian penduduk bertambahnya penggembalaan liar.
beternak dengan pola penggembalaan liar Sehingga pada akhirnya masyarakat dapat
serta bertani dengan pola perladangan mengetahui dampak penggembalaan liar
berpindah dengan sistem tebas bakar. dan mengurangi aktifitas penggembalaan
Dalam mengantisipasi gangguan ternak liar di dalam hutan.
maka perlu adanya penghalauan hewan
ternak yang masuk ke dalam area hutan, Menurut Sila dan Nuraeni (2009),
salah satu upaya pengusiran ternak yaitu Penggembalaan liar dimungkinkan oleh
dengan Metode Represif. Metode represif kurangnya tegal pekarangan petani
adalah pengusiran ternak dari tanaman yang dapat dipakai sebagai tempat
muda dengan tujuan memberikan efek penggembalaan yang mampu menampung
jera kepada pengembala untuk tidak pertumbuhan jumlah ternak. Hutan
mengembala di sembarang tempat (Surata, merupakan satu-satunya pilihan, selain
1999). karena tersedianya rerumputan liar
sebagai hasil dari gugurnya daun di hutan
Komunikasi Sosial (Komsos) merupakan cara dan pemanenan kayu juga karena dengan
untuk mengurangi adanya pengembalaan cara ini relatif lebih murah dibandingkan
212 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
dengan cara memelihara ternak dalam yang menyebabkan kualitas dan produksi
kandang. Penggembalaan liar adalah kayu rendah, kebiasaan penggembala
kegiatan menggembalaan/menggiring yang menginginkan hijauan muda dengan
hewan ternak untuk mencari pakan di membakar hutan, akan sangat merugikan,
dalam kawasan hutan. Pengertian lain yaitu (3) Anak-anak gembala tidak cukup waktu
penggiringan hewan ternak dari kandang untuk sekolah, (4) Bagi ternak itu sendiri
ke lokasi kawasan hutan tersebut dilakukan kerugiannya adalah kesehatannya yang
oleh seseorang/kelompok dan setelah kurang terjamin karena ternak-ternak itu
masuk di kawasan hutan kelompok hewan bebas berkeliaran di hutan dan makan apa
ternak tersebut ditunggui oleh pemiliknya/ saja yang dijumpai. Sehingga dapat mudah
penggembala. Kelompok hewan ternak terserang penyakit dan juga tidak dapat
tersebut ditinggalkan oleh pemiliknya mengatur perkawinan dalam mencari
sehingga ternak-ternak tersebut bebas turunan bibit unggul. Hal ini menyebabkan
berkeliaran dan ada kemungkinan masuk mutu ternak menjadi rendah.
di tanaman muda maupun tutupan. Dan
penggembalaan model ini cenderung Penggembalaan liar ini dapat diminimalisasi
berpotensi untuk menimbulkan kerusakan. dampak kerugiannya, dengan cara
memberikan penyuluhan kepada
Jika ditinjau kembali Standar Oprasional masyarakat desa di sekitar hutan tentang hal
Prosedur (SOP) yang mengatur yang berkaitan dengan kerugian-kerugian
penggembalaan di dalam kawasan yang dapat ditimbulkan akibat adanya
menyatakan bahwa penggembalaan tidak penggembalaan liar. Selain itu perlu adanya
diperbolehkan di dalam kawasan hutan ketegasan dari pihak pengelola hutan dalam
tersebut, kecuali kawasan yang memiliki menetapkan daerah-daerah yang tidak
tegakan yang umurnya dewasa, sedangkan diperbolehkan adanya penggembalaan liar.
pada tegakan muda tidak sama sekali Dengan demikian peran pihak pengelola
diperbolehkan adanya penggembalaan liar. hutan dalam berkomunikasi dengan
masyarakat desa di sekitar hutan sangatlah
Standar Operasional Prosedur (SOP) tentang penting, untuk menunjang keberhasilan
Pengembalaan liar dalam aturan Perhutani dalam pengelolaan hutannya, serta
(2012), terdapat sistem pelaporan jika keberhasilan dalam membina masyarakat
terjadi pengembalaan liar di hutan muda desa di sekitar hutan tersebut.
atau tutupan yaitu : (1) Nomor/huruf , (2)
Tanggal dan waktu kejadian, (3) Petak yang Akibat yang ditimbulkan oleh adanya
rusak akibat penggembalaan, (4) Luas baku/ pengembalaan liar antara lain adalah bila
Ha, (5) Tanaman yang rusak, tanaman yang pengembalaan tersebut dilakukan pada
rusak meliputi jenis tanaman, jumlah pohon petak yang masih merupakan tanaman
dan luasan areal/Ha, (6) Besar kerugian muda yang dapat menimbulkan kerusakan
kawasan, (7) Penyebab kejadian, penyebab batang dan menurunkan kualitas batang.
kejadian meliputi nama penggembala, Akibat yang lain dari pengembalaan liar
jenis/jumlah hewan dan asal desa dan (8) di hutan adalah dapat menyebabkan
Kronologis kejadian penggembalaan liar. pemadatan tanah sehingga drainase tanah
menjadi buruk dan akan menghambat
Kerusakan yang diakibatkan penggembalaan pertumbuhan tanaman.
liar dapat berupa : (1) Injakan-injakan kaki
ternak yang menyebabkan tanah menjadi Untuk mengatasi kasus gangguan ternak
padat dan tidak mampu lagi menyerap (penggembalaan liar) di kawasan yang
air sehingga menimbulkan erosi yang dilindungi disarankan melakukan hal
terutama pada tanah miring, tanah longsor, berikut 1) Perlu adanya patroli rutin
serta menggagalkan usaha reboisasi, (2) untuk mengurangi adanya aktifitas
Rusaknya tegakan dan tanaman antara penggembalaan liar di dalam kawasan
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 213
Pengelolaan Hutan
melalui pendekatan fisik, kimia dan biologis. kumbang bubuk kayu kering karena
Pengendalian secara kimia selama beberapa karakternya yang mampu menghasilkan
dekade sempat digunakan dengan cara bubuk kering pada kayu atau bambu dan
ekspose bahan kimia di dalam tanah di menyisakan lapisan tipis permukaan luarnya
sekitar bahan bangunan. Namun hal ini baik larva maupun dewasanya. Kelompok
dinilai kurang efisien jika diterapkan dalam serangga ini tergolong hama penting pada
skala luas, terlebih lagi jika memperhatikan hasil hutan kayu dan olahannya seperti
aspek dampak lingkungan akibat paparan mebel dan barang kerajinan, termasuk
bahan kimia di tanah. Belakangan teknik bambu dan rotan, beberapa spesiesnya
umpan beracun banyak digunakan dan juga merusak biji-bijian dan umbi-umbian.
dinilai layak diterapkan. Pendekatan fisik Sebarannya luas menyerang di daerah
dilakukan dengan membangun penghalang tropis dan sub tropis. Faktor pembatas
fisik yang sulit ditembus oleh koloni serangan hama ini pada hasil hutan adalah
seperti bahan yang tidak mudah ditembus kandungan pati. Meskipun demikian
(Kuswanto, Ahmad, & Dungani, 2015). beberapa faktor lain seperti ukuran pori,
dan suhu serta kelembaban juga dapat
Adapun pendekatan biologis memanfaatkan memengaruhi tingkat serangan kumbang ini
musuh alami berupa mikroba patogen (Jasni & Sumarni, 2011) (Jasni, Krisdianto, &
seperti Metarhizium anisopliae dan Ozarska, 2013) (Jasni & Sumarni, 1990).
Metarhizium brunneum, Myrothecium
roridum, Beauveria bassiana (Bals.), Kumbang bubuk kayu kering mudah
Aspergillus flavus (Link), Aspergillus niger, terintersepsi pada produk hasil hutan
Aspergillus sp., Rhizopus sp., Acremonium seperti kayu, rotan atau produk lain
sp. dan Penicillium sp. (Milner & Staples, sehingga ikut tersebar ke berbagai daerah
1996) (Desyanti & Zulmardi, 2011) Selain lain. Spesies utama kumbang bubuk kayu
fungi patogen nematoda dari famili kering yang menyerang kayu di Indonesia
Steinernematidae dan Heterorhabditidae adalah Heterobostrychus aequalis Wat.
juga memberikan pengaruh terhadap Spesies lainnya adalah Sinoxylon anale L.,
rayap. Meskipun demikian, kontrol biologis Minthea rugicolis L., Lyctus bruneus Steph.,
belum terbukti secara empiris di lapangan dan Dinoderus minutus Fabr. (Jasni &
dan hanya berdasar uji laboratorium. Sumarni, 1990) (Martawijaya, 1996) (Jasni
et.al., 2013). Beberapa langkah yang dapat
Kontrol Cryptotermes dilakukan melalui dilakukan untuk menangani kumbang bubuk
pencegahan menggunakan bahan kimia kayu kering adalah dengan cara inspeksi dan
yang diaplikasikan ke material menggunakan pelapisan produk seperti cat, vernis dan
bahan kimia seperti disodium octaborate sejenisnya. Pengutipan produk atau bagian
tetrahydrate (DOT) dan chromium produk yang kecil dapat dilakukan manakala
copper arsenate (CCA) (Scheffrahn et.al., ditemukan adanya indikasi serangan
1998) dan asam borat (Barly, Ismanto, sehingga mencegah serangan yang lebih
& Martono, 2011). Perlakuan fumigasi besar. Selain itu dapat dilakukan pengaturan
juga bisa diterapkan untuk pengendalian suhu dan kelembaban di lingkungan sekitar
rayap Coptotermes maupun Cryptotermes penyimpanan produk, pemanasan kayu
(Bess, 1971). Selain itu perlakuan termal sampai suhu letal bagi kumbang sebelum
juga dapat dilakukan sebagai alternatif penggunaan atau transportasi, perlakuan
pengendalian (Woodrow & Grace, 1998). insektisida dan pilihan terakhir adalah
fumigasi (Potter, 2020)
b. Kumbang Bubuk Kayu Kering (Powder-
Post Beetle) c. Kumbang Ambrosia
Kelompok serangga ini termasuk kumbang Tidak seperti kumbang bubuk kayu kering,
dari famili Bostrichidae: Coleoptera yang kelompok kumbang ambrosia menyukai
terdiri dari sekitar 500 spesies. Disebut
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 215
Pengelolaan Hutan
pohon yang mengalami cekaman, stres atau kayu, jamur pewarna merusak warna kayu
kayu basah yang baru dipanen. Kayu berupa setelah beberapa saat permukaannya
log dari hutan rentan terserang kumbang terekspose udara. Blue stain atau jamur
ambrosia. Hampir semua jenis kayu rentan biru adalah jamur yang menyerang
serangan hama kumbang ambrosia yang permukaan kayu segar (baru ditebang).
berakibat cacat kayu berupa saluran Akibatnya permukaan kayu menjadi
lubang-lubang yang cukup rapat pada kayu. terkesan kotor, berwarna biru kehitaman
Beberapa spesies kumbang penggerek dan dan sulit dihilangkan sehingga
umumnya adalah dari Famili Scolytidae mengganggu tampilan. Penggunaan bahan
seperti Xyleborus sp., Stephanoderes kimia asam borat dan fungisida komersial
dimorphis, Poecilips sp. yang menyukai dapat digunakan untuk menghambat
log basah/segardan kelompok kumbang pertumbuhan dan serangan jamur biru
Platipodidae (Crossotarsus wallacei, (Purwanto, 2009) (Luhan, Damiri, Gustaf, &
Platypus insularis, P. trepanatus, P. biuncus) Lambung, 2017) (Barly et al., 2011).
(Noerdjito & Amir, 1986) (Sukartana, 1988).
Pencegahan serangan kumbang ambrosia f. Jamur Perusak Kayu
dapat dilakukan menggunakan insektisida
Selain degradasi warna, serangan jamur
sipermetrin (Sukartana, Martawijaya, &
pada kayu menyebabkan kerusakan
Martono, 1989).
kayu. Ada beberapa kelompok jamur
d. Penggerek Laut (Marine Borer) yang merusakkan kayu seperti pelunak,
pembusuk putih dan coklat. Jamur
Kayu yang digunakan di wilayah perairan, pembusuk menyerang selulosa dan lignin
terutama di laut dan perairan payau sebagai komponen utama bahan organik
rentan terserang organisme penggerek laut kayu. Kerusakan bagian ini menyebabkan
(marine borer). Tidak hanya kayu material kayu kehilangan kekuatan dan mudah
bambu juga rentan terserang organisme lapuk. Umumnya serangan ini terjadi di
penggerek laut (Muslich & Rulliaty, 2014). tempat yang lembab. Beberapa jenis jamur
Organisme penggerek laut berasal dari perusak yang penting pada kayu diantaranya
kelompok Molluska dari Famili Teredinidae adalah Tyromyces palustris, Polyporus sp.,
(Teredo, Bankia) yang disebut cacing kapal Pycnoporus sanguineus, Schizophyllum
dan Pholadidae (Martesia, Xylophaga). commune (Suprapti & Krisdiyanto, 2006).
Sedangkan dari kelompok Krustacea Selain itu masih ada beberapa jenis jamur
terdapat genera Limnoria, Chelura, dan yang dapat merusak hasil hutan kayu.
Sphaeroma. Kerusakan pada material Beberapa penelitian perlindungan kayu
kayu terjadi karena organisme tersebut terhadap jamur perusak menggunakan
menggunakan material kayu sebagai bahan bahan kimia menunjukkan retensi yang
makanan atau sebagai media tempat cukup tinggi sehingga kurang efisien (Barly,
tinggal (Arsyad, 2018). Upaya pencegahan Lelana, & Ismanto, 2010; Lelana, Barly, &
serangan penggerek laut dapat dilakukan Ismanto, 2011).
dengan menggunakan bahan pengawet
berbasis asam borat (CCB) (Muslich &
G.7. Perlindungan Hutan dari Daya Alam
Hadjib, 2008) (Muslich & Rulliaty, 2010)
Perlindungan hutan dari daya-daya alam
e. Jamur Pewarna Kayu
yaitu untuk mencegah dan membatasi
Selain organisme serangga, hasil hutan kerusakan pada kawasan hutan yang
utamanya kayu juga rentan terserang disebababkan oleh beberapa aktifitas
organisme yang berupa jamur pewarna alam seperti letusan gunung berapi, tanah
kayu. Meskipun tidak menyebabkan longsor, banjir, badai, kekeringan, dan
kerusakan fisik atau pembusukan pada gempa.
216 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
H. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai tata ruang yang kurang sesuai dapat
menimbulkan bencana hidrometerologi
H.1. Pengertian seperti banjir, kekeringan, dan tanah
longsor. Unit DAS adalah unit yang
Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya paling sesuai untuk analisis dan mitigasi
disebut DAS adalah suatu wilayah daratan bencana hidrometeorologi. Mitigasi adalah
yang merupakan satu kesatuan dengan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
sungai dan anak-anak sungainya, yang bencana, baik melalui pembangunan fisik
berfungsi menampung, menyimpan, dan maupun penyadaran dan peningkatan
mengalirkan air yang berasal dari curah kemampuan menghadapi ancaman
hujan ke danau atau ke laut secara alami, bencana (UU No 24 Tahun 2007).
yang batas di darat merupakan pemisah
topografis dan batas di laut sampai dengan Pengelolaan DAS melibatkan banyak
daerah perairan yang masih terpengaruh sektor sehingga harus disinkronkan
aktivitas daratan (PP No. 37 Tahun 2012). dengan Undang-Undang sektor terkait.
Pengelolaan DAS adalah upaya manusia Undang-Undang yang terkait dengan
dalam mengatur hubungan timbal balik Pengelolaan DAS antara lain: Pengelolaan
antara sumber daya alam dengan manusia Sumber Daya Air (UU No. 17 Tahun 2009),
di dalam DAS dan segala aktivitasnya, Penataan Ruang (UU No. 26 Tahun 2007),
agar terwujud kelestarian dan keserasian Pemerintahan Daerah (UU No. 23 Tahun
ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan 2014), Konservasi Tanah dan Air (UU No.
sumber daya alam bagi manusia secara 37 Tahun 2014), Penanggulangan Bencana
berkelanjutan (PP No. 37 Tahun 2012). (UU No. 24 Tahun 2007), Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Seluruh daratan terbagi habis dalam (UU No. 32 Tahun 2009), serta Undang-
DAS sehingga pengelolaan DAS harus Undang Kehutanan yang menyebutkan
memperhatikan tata ruang yang ada di secara eksplisit bahwa “Penyelenggaraan
dalamnya. Ruang adalah wadah yang kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar
meliputi ruang darat, ruang laut, dan kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan
ruang udara, termasuk ruang di dalam berkelanjutan dengan : meningkatkan daya
bumi sebagai satu kesatuan wilayah, dukung daerah aliran sungai” (UU No. 41
tempat manusia, dan makhluk lain hidup, Tahun 1999 Pasal 3.c). Disamping Undang-
melakukan kegiatan, dan memelihara Undang dari sektor terkait di atas masih ada
kelangsungan hidupnya (UU No. 26 Tahun beberapa Peraturan Pemerintah (PP) yang
2007). terkait dengan Pengelolaan DAS antara lain
tentang Pengelolaan DAS (PP No. 37 Tahun
Tata ruang adalah wujud struktur ruang
2012), Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan
dan pola ruang. Struktur ruang adalah
(PP No. 26 Tahun 2020).
susunan pusat-pusat permukiman dan
sistem jaringan prasarana dan sarana yang Sebagai tindak lanjut dari Undang-
berfungsi sebagai pendukung kegiatan Undang dan Peraturan Pemerintah maka
sosial ekonomi masyarakat yang secara dikeluarkan Peraturan Menteri yang terkait
hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pengelolaan DAS antara lain tentang
Pola ruang adalah distribusi peruntukan Perencanaan Pengelolaan DAS (Permenhut
ruang dalam suatu wilayah yang meliputi No. 60 Tahun 2013), Kriteria Penetapan
peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan Klasifikasi DAS (Permenhut No. 60 Tahun
peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. 2014), Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan
Penataan ruang adalah suatu sistem proses DAS (Permenhut No. 61 Tahun 2014), Sistem
perencanaan tata ruang, pemanfaatan Informasi Pengelolaan DAS (Permenhut No.
ruang, dan pengendalian pemanfaatan 67 Tahun 2014), Pemberdayaan Masyarakat
ruang (UU No. 26 Tahun 2007). Pengaturan dalam Pengelolaan DAS (Permenhut No. 17
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 219
Pengelolaan Hutan
Tahun 2014), Pelimpahan Sebagian Urusan dari identifikasi masalah yang terjadi baik
Pemerintah Bidang Kehutanan (Permenhut masalah tata air, lahan, dan sosial ekonomi.
No. 1 Tahun 2014), dan Pedoman Selain itu identifikasi juga dilakukan untuk
Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan mengetahui potensi yang ada di DAS
Lahan (Permenhut No. 12 Tahun 2011). tersebut ditinjau dari aspek tata air, lahan,
dan sosial ekonomi.
Pengelolaan DAS sangat erat hubunganya
dengan pengaturan tata ruang atau Identifikasi masalah dan potensi ini bisa
penggunaan ruang/lahan dalam suatu dilakukan dengan analisis tipologi DAS
bentang lahan (landscape) yang dibatasi yang terdiri dari tipologi banjir yang
oleh batas-batas topografis. Dengan merupakan resultan dari potensi banjir
demikian aspek spasial dan temporal sangat dan daerah kebanjiran, tipologi lahan yang
menonjol. Perangkat Sistem Informasi merupakan resultan dari sistem lahan dan
Geografis (SIG) dapat diaplikasikan karena penutupan lahan, tipologi sosial ekonomi
akan sangat membantu pada setiap proses yang merupakan resultan dari kerentanan
pengelolaan (perencanaan, pelaksanaan, penduduk dan kerentanan ekonomi,
monitoring, dan evaluasi). Secara spasial tipologi Daerah Tangkapan Air (DTA) yang
dan temporal SIG dapat dengan mudah merupakan resultan dari tipologi lahan
memberi gambaran tentang kondisi DAS dan tipologi sosial ekonomi, tipologi DAS
pada saat tertentu, dan apabila diperlukan yang merupakan resultan dari tipologi
dapat digunakan untuk proses-proses banjir dan tipologi DTA, tipologi wilayah
tersebut secara berulang (looping). yang merupakan resultan dari luas DAS dan
wilayah administrasi dalam DAS tersebut,
H.2. Perencanaan dan terakhir adalah tipologi pengelolaan
DAS yang merupakan resultan dari tipologi
a. Identifikasi Masalah dan Potensi DAS
DAS dan tipologi wilayah seperti yang
Perencanaan pengelolaan DAS dimulai terlihat pada Gambar 4.6.
Daerah Kebanjiran
Tipologi Banjir
Hujan Potensi Banjir
Sistem Lahan
Tipologi DAS
Tipologi Lahan
Penutupan Lahan
Tipologi DTA
Kepadatan Penduduk
Kerentanan Penduduk
Struktur Ekonomi
Tipologi
Tipologi Sosial Ekonomi
Pengelolaan
Pendapatan
DAS
Kerentanan Ekonomi
Pertumbuhan Ekonomi
Luas DAS
Tipologi Wilayah
Wilayah DAS
Gambar
Gambar4.6
1. .Diagram
Diagram alir
aliranalisis
analisistipologi DAS
tipologi DAS
(Paimin, et al, 2012)
Sumber (Source): Paimin et al. 2012.
Gambar 4.7. Tujuan dan sasaran pengelolaan DAS aspek tata air
Gambar 4.9. Tujuan dan sasaran pengelolaan DAS aspek kesejahteraan masyarakat
Kotak 4.1
Kerentanan banjir DAS Cisadane
Masalah utama DAS Cisadane adalah banjir. Banjir harus dilihat dari pasokan air banjir dan daerah kebanjiran. Metode untuk
menentukan tingkat kerentanan pasokan banjir menggunakan analisis peta system lahan, penutupan lahan, dan hujan harian
maksimum sedangkan untuk menentukan tingkat kebanjiran dianalisis dengan sistem lahan atau bentuk lahan. Dari hasil tump-
angsusun peta hujan, sistem lahan dan penutupan lahan diperoleh peta kerentanan pasokan banjir dan peta bahaya kebanjiran,
dapat dilihat lokasi yang diduga memberi pasokan banjir ke daerah hilir dan lokasi kebanjiran.
Peta sebaran hujan maksimal (kiri), Sebaran daerah pasokan banjir (tengah) dan rentan kebanjiran (kanan) di DAS Cisadane
Kabupaten Bogor sebagai daerah pemasok banjir dan sekaligus sebagai daerah kebanjiran yang paling tinggi dibandingkan den-
gan 7 (tujuh) kabupaten lainnya. Sebagai pemasok banjir, Kabupaten Bogor mempunyai areal lebih dari 76.105ha (50% dari
seluruh DAS) yang sangat rentan dan rentan. Kabupaten lain yang juga menjadi pemasok banjir adalah Kabupaten Sukabumi,
yaitu sebesar 7.723ha (5,10%). Sedangkan sebagai daerah yang mengalami kebanjiran, luas areal yang rentan dan sangat rentan
di Kabupaten Bogor sebesar 28.865ha atau 19% dari seluruh areal DAS Cisadane. Kabupaten lainnya adalah Kabupaten Tangerang
(18,8%) dan Kodya Tangerang (5,6%).
Dari hasil analisis terlihat bahwa karena Kabupaten Bogor selain menjadi daerah pemasok banjir serta daerah yang kebanjiran,
maka penanganan DAS Cisadane yang dipusatkan di Kabupaten Bogor dapat mengurangi banjir sekitar 50%. Sebagai daerah
pemasok banjir, daerah di hulu DAS Cisadane pada dasarnya mempunyai curah hujan harian maksimum >150 mm (sangat ting-
gi). Untuk itu maka pasokan air yang banyak tersebut harus diusahakan sebanyak mungkin dimasukkan ke dalam tanah. Selain
memperbaiki penutupan lahan, kegiatan penyimpanan air juga perlu dilakukan. Pada penutupan lahan seperti pertanian lahan
kering, pertanian lahan kering bercampur semak belukar dan hutan lahan kering sekunder dapat dibuat rorak atau embung untuk
menyimpan air hujan. Pembuatan rorak dan embung perlu memperhatikan kondisi keadaan tanah dan kemiringan lereng, karena
untuk tanah-tanah yang rentan longsor pembuatan rorak atau embung akan mempercepat terjadinya longsor. Sedangkan untuk
areal pemukiman dapat membuat sumur resapan.
Banjir yang terjadi di Kabupaten dan Kodya Tangerang disebabkan karena daerah tersebut kebanyakan datar (kemiringan lereng
< 2%) serta dengan penutupan lahan sawah. Seluruh daerah di Kabupaten Tangerang yang masuk dalam DAS Cisadane (28.446
ha atau 18,78%) sangat rentan terhadap banjir. Selain bentuk lahan yang datar, bentuk DAS yang menyempit pada ujungnya
menyebabkan aliran sungai melambat di daerah hilir dan mengakibatkan banjir. Dari peta penutupan lahan terlihat bahwa dari
28.500 ha Kabupaten Tangerang yang berada pada DAS Cisadane, sawah merupakan penutupan lahan yang paling luas, yaitu
seluas 9.479 ha atau 33% dari luas Kabupaten Tangerang pada DAS Cisadane. Penutupan lahan yang lainnya adalah pemukiman
(31,7%), tambak (11%) dan bandara (1%). Keempat penutupan lahan tersebut (76,7%), semuanyarentan terhadap banjir, baik
karena permukaan tanah yang menjadi kedap ataupun jenuh dengan air. Untuk itu tanpa bantuan teknik-teknik yang dapat mem-
percepat penyerapan air ke dalam tanah Kabupaten Tangerang akan sering kebanjiran. Seperti Kabupaten Tangerang, seluruh
Kodya Tangerang (8504,90 ha) juga sangat rentan terhadap bahaya banjir. Dari luasan tersebut 61% adalah pemukiman, 18%
sawah dan 17% bandara; sehingga dapat dimengerti apabila banjir selalu terjadi di Kodya Tangerang.
Untuk mengurangi volume banjir di Kabupaten dan Kodya Tangerang, pembangunan polder merupakan salah satu alternatif
yang sesuai untuk daerah perkotaan. Pembuatan sumur resapan di Kodya Tangerang harus memperhatikan kedalaman muka air
tanah. Jika daerah-daerah tersebut kedalaman muka air tanah lebih besar 6 meter, maka layak dibangun sumur resapan namun
jika kedalamannya kurang dari 6 meter, maka sumur resapan tidak efektif mengurangi banjir. Selain dari sungai Cisadane, Kodya
Tangerang juga menerima limpahan aliran dari sub DAS-Sub DAS di sekitarya. Akibatnya pada saat hujan deras limpahan aliran
sungai dari sub DAS tersebut tidak dapat masuk ke sungai utama (Sungai Cisadane) sehingga menyebabkan banjir di sekitarnya.
224 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
making. Pada saat ini kesetaraan gender b. Langkah Pelaksanaan Pengelolaan DAS
perlu menjadi perhatian para pengelola Prinsip Pengelolaan DAS
DAS, karena pada umumnya justru
wanita yang melakukan pengelolaan 1. Membuat struktur organisasi. Pada
lahan. Oleh karena itu pelibatan wanita tahapan ini perlu dilakukan identifikasi
pada program-program pengelolaan semua stakeholder yang memiliki
DAS mutlak dilakukan. peranan dan kepentingan. Identifikasi
11. Include capacity development at semua asset, kemampuan, sumber
all levels. Kegiatan peningkatan daya maupun kekurangan yang dimiliki.
kemampuan dan upaya-upaya Kemudian bentuk sebuah tim/organisasi
pemberdayaan dilakukan pada semua dengan tugas dan tanggung jawab yang
tingkatan dari tingkat nasional sampai jelas dan terukur.
b. Langkah Pelaksanaan
dengan rumah tangga. Pengelolaan DAS Dasar penyusunan organisasi yakni
12. Instil aPelaksanaan
flexible, adaptive long-term Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun
pengelolaan DAS dilakukan dengan:
approach to planning and financing. 2012 tentang Pengelolaan Daerah
1. Membuat struktur organisasi
Blue-print perencanaan pengelolaan Aliran Sungai. Pasal 2 ayat 2 disebutkan
DAS dibuat Pada tahapan ini perlumungkin
sefleksibel bahwa
dilakukan identifikasi semuaPengelolaan DASmemiliki
stakeholder yang secara utuh
menyesuaikan
peranan dankondisi
kepentingan. Identifikasi semua asset, kemampuan, sumber pada
setempat sebagaimana dimaksud daya ayat
sehingga keberhasilan
maupun kekurangan bisa lebih Kemudian bentuk sebuah tim/organisasi hilir)
yang dimiliki. 1 (dilakukan dari hulu sampai
terjamin. diselenggarakan melalui tahapan:
dengan tugas dan tanggung jawab yang jelas dan terukur.
a. perencanaan; b. pelaksanaan;
Dasar penyusunan organisasi yakni Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2012
Prinsip dasar kemitraan dilakukan dalam c. monitoring dan evaluasi; dan d.
tentang
pelaksanaan pengelolaan PengelolaanDASDaerah Aliran Sungai. pembinaan
adalah Pasal 2 ayatdan2 pengawasan.
disebutkan bahwa
Oleh sebab
Pengelolaanbahwa
adanya kesadaran DAS secara utuh sebagaimana dimaksud
masyarakat pada ayatorganisasi
itu penyusunan 1 (dilakukanpengelolaan
dari
memiliki hak hulu mendapatkan
sampai hilir) diselenggarakan
informasi melalui
DAStahapan:
seharusnyaa. perencanaan;
sesuai denganb. urutan
dan secarapelaksanaan;
aktif terlibat dalam proses
c. monitoring dan evaluasi; dan proses manajemen
d. pembinaan dandalam PP tersebut.
pengawasan.
pengambilanOleh keputusan. Semakin tinggi
sebab itu penyusunan organisasi pengelolaan DAS seharusnya
Perencanaan sesuai dengan
pengelolaan suatu DAS
kesadaran urutanmasyarakat terlibat dalam
proses manajemen padaPP tersebut.dilakukan oleh oleh Menteri untuk DAS
pelaksanaan Perencanaan
pengelolaanpengelolaan
DAS pada Lintasoleh
suatu DAS dilakukan Negara
oleh dan DASuntuk
Menteri LintasDAS
Propinsi,
akhirnya akan menumbuhkan sikap inisiatif,
Lintas Negara dan DAS Lintas Propinsi, oleh Gubernur untuk DAS dalam propinsipropinsi
oleh Gubernur untuk DAS dalam
sehingga proses pengelolaan DAS mulai dari atau Lintas
perencanaan, ataupelaksanaan,
Lintas Kabupaten/Kota
pengawasandan Bupati/Walikota untuk Kabupaten/Kota dan Bupati/
DAS dalam Kabupaten
Walikota untuk DAS dalam Kabupaten
(Kota) (PP No.
bahkan pembiayaan akan37 diinisiasi
Tahun 2012, Pasal 22 ayat 3) dengan membentuk Tim yang
oleh (Kota) (PP No. 37 Tahun 2012, Pasal 22
masyarakat terdiri
sendiridari instansi 2011).
(Perkins, terkait.
ayat 3) dengan membentuk Tim yang
terdiri dari instansi terkait.
Tabel 1. Organisasi, Fungsi dan Wewenang dalam Pengelolaan DAS Berdasarkan
PP. Fungsi
Tabel 4.14. Organisasi, 37 2012).
dan Wewenang dalam Pengelolaan DAS
Level DAS
Berdasarkan Penyusunan Monitoring dan
No Pengesahan Pelaksaana Pengawasan
Wilayah Perencana Evaluasi
Administrasi
1 Lintas Negara Menteri (Dirjen Menteri Menteri Menteri (Dirjen Menteri (Irjen)
/Lintas Propinsi terkait) (Dirjen terkait)
terkait)
2 Dalam Propinsi Gubernur dan Tim Gubernur Gubernur Gubernur (OPD Irwil Propinsi
atau Lintas Yang Dibentuk (OPD terkait) terkait)
Kabupaten/Kota Gubernur
3 Dalam Bupati /Walikota Bupati/ Bupati Bupati Irwil
Kabupaten/Kota dan Tim Yang Walikota /Walikota /Walikota (OPD Kabupaten
Dibentuk Gubernur (OPD terkait) terkait) /Kota
Kotak 4.2
Pelaksanaan restorasi DAS seraya hulu berbasis desa mandiri
melalui pengembangan agroforestri
Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu yang mempunyai peranan strategiskarenamerupakan hulu bagi tiga DAS, yaitu Serayu, Luk Ulo
dan Bogowonto, yang mengaliri setidaknya enam wilayah kabupaten di bawahnya, kondisinya saat ini mengalami kerusakan berat.
Permasalahan utama yang dihadapi hulu DAS Serayu adalah deforestasi dan degradasi lahan akibat pertanian lahan sayur dan pen-
ingkatan penggunaan pupuk pestisida.Pola penggunaan lahan tersebut telah menyebabkan tingginya laju erosi tanah, penurunan
produktivitas lahan, serta tingginya laju sedimentasi di Waduk Panglima Besar Jenderal Sudirman atau Waduk Mrica.Salah satu up-
aya yang dapat dilakukan untuk mengatasi degradasi lahan tersebut adalah melalui kegiatan rehabilitasi lahan dengan pendekatan
pola agroforestryyang dilakukandi Desa Mlandi dan Laranganlor.
Desa Mlandi dan Laranganlor adalah desa yang berlereng agak curam hingga sangat curam, dengan penutupan/penggunaan lahan
dominan tegalan, sehingga rentan terhadap degradasi lahan.Kondisi curah hujan tinggi dan sebagian besar wilayah kedua desa
berstatus agak kritis hingga kritis.Kesuburan tanah di lahan ini termasuk rendah dan tergantung pada masukan pupuk kandang
(CM/chicken manure) yang dilakukan pada awal-awal penanaman dan saat penanaman tanaman semusim.Masyarakat bermata-
pencaharian utama sebagai petani sayur. Kondisi kekritisan lahan di kedua desa sebagai berikut:
Pengembangan agroforestrydi kedua desa dilakukan dengan mengombinasikan penanaman tanaman pegunungan dengan tana-
mankopi, buah, dan sayuran. Metode ini dilakukan untuk memberi pembelajaran kepada masyarakat tentang usahatani konserva-
si, pengenalan usahatani dengan tanaman lain selain sayuran, serta pada akhirnyamengubah tanaman sayuran menjadi tanaman
yang lebih baik secara konservasi yang dilakukan secara bertahap.
Tanaman kayu yang dipilih merupakan jenis pohon yang secara alamnya tumbuh di daerah pegunungan (native species), sehingga
mudah untuk beradaptasi dengan lingkungan tumbuh baru yang mirip dengan sebaran alamnya.Daya hidup tanaman mempunyai
nilai yang bervariasi antara 0-100%.Tanaman kehutanan (kilemo/krangean, pasang, dan picis) mempunyai adaptabilitas yang sangat
baik, yaitu sebesar 100%, baik di plot Gondang Mlandi maupun di Laranganlor.
Antusiasme petani untuk menanam kopi cukup tinggi terutama bagi mereka yang telah mengikuti sekolah lapang kopi.Petani men-
getahui bahwa nilai ekonomi kopi cukup tinggi dengan harga yang lebih stabil jika dibandingkan dengan sayuran yang harganya
fluktuatif. Petaniyang sudah mengikuti sekolah lapang kopi juga memiliki perspektif yang lebih baik dalam kaitannya dengan kon-
servasi dan menjadikan perspektif konservasisebagai motivasi utama dalam menanam kopi dibandingkan dengan pertimbangan
ekonomi.
H.4. Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan ditambahkan nilai investasi bangunan dan
DAS pemanfaatan ruang wilayah. Dalam P.61/
Menhut-II/2014, selain ada penambahan
Monitoring dan evaluasi merupakan satu kriteria, juga ada perubahan (penambahan
rangkaian dalam sistem pengelolaan DAS. atau pengurangan) sub kriteria baik pada
Tujuan monitoring dan evaluasi adalah kriteria tata air, lahan maupun sosial
untuk melihat efektivitas dan keberhasilan ekonomi. Salah satu yang dikurangi
pengelolaan DAS. Monitoring terhadap adalah sub kriteria kualitas air, padahal
indikator kinerja DAS dilakukan secara kualitas air penting dalam mengevaluasi
periodik, yang kemudian menjadi dasar kesehatan DAS. UNESCO mengusulkan
evaluasi kinerja pengelolaan DAS (PP No. sub kriteria atau indikator BOD 5 untuk
37 Tahun 2012). mewakili parameter kualitas air. Selain
Tujuan pengelolaan DAS adalah 1) terjaganya itu, dalam pelaksanaan monev, ada juga
kuantitas, kualitas, dan kontinuitas aliran, kendala terkait pengumpulan data. Untuk
2) terjaganya produktivitas lahan, 3) itu, kriteria dan sub kriteria dalam monev
meningkatnya kesejahteraan masyarakat. pengelolaan DAS perlu disesuaikan agar
Agar tujuan monev tercapai maka kriteria pelaksanaanya lebih mudah, lebih murah,
untuk monev juga harus disesuaikan dengan dan mewakili kondisi aktual lapangan.
tujuan pengelolaan DAS. Pada umumnya Parameter hidrologi pada P.61/Menhut-
ada 3 (tiga) kriteria yang digunakan yaitu II/2014 yaitu KAT, Koefisien Regim Aliran
tata air, lahan, dan sosial ekonomi. Hasil (KRA), dan frekuensi banjir perlu disesuaikan
monev dapat memberikan umpan balik karena tidak mencerminan kondisi aktual
untuk penyempurnaan perencanaan dan lapangan. KRA merupakan perbandingan
pelaksanaan pengelolaan DAS. Selain antara debit sungai tertinggi pada musim
itu, hasil monev juga dapat digunakan hujan dengan debit terendah pada musim
sebagai baseline data untuk menyusun kemarau. Nilai KRA dapat mencerminkan
rencana pengelolaan DAS. Kriteria tata kondisi suatu DAS dalam meresapkan air.
air digunakan untuk melihat secara cepat Nilai KRA dapat bernilai tak terhingga pada
kondisi kesehatan DAS, sedangkan sumber sungai-sungai intermiten, yaitu sungai
dan letak penyakitnya dapat dilihat dari yang hanya mengalirkan air pada musim
kriteria lahan dan sosial ekonomi. Dari hasil hujan saja. Dalam kondisi seperrti ini KRA
monev tersebut dapat ditentukan kriteria tidak dapat mencerminkan kondisi yang
DAS yang dipulihkan (DAS sakit) atau yang dimaksud. Demikian pula halnya dengan
dipertahankan (DAS sehat). KTA dan frekuensi banjir
Kriteria dan indikator untuk monev Oleh sebab itu untuk aspek hidrologi dapat
kinerja DAS sudah mengalami beberapa menggunakan parameter kandungan
perubahan mulai dari Keputusan Menteri sedimen terlarut, ketersediaan air minimal
Kehutanan No. 52/Kpts-II/2001 tentang untuk berbagai keperluan di dalam DAS, dan
Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan pencemaran air. Selain itu penyederhanaan
Daerah Aliran Sungai, kemudian Peraturan parameter untuk analisis kualitas air, perlu
Dirjen RLPS No. P.04/V-SET/2009 dan memperhatikan penutupan lahan dominan
diperbaharui lagi dengan Peraturan Menteri serta aktivitas di dalamnya yang diduga
Kehutanan No. P.61/Menhut-II/2014. sebagai sumber polutan, misalnya:
Kriteria dalam Perdirjen RLPSP.04/V-SET/ • Pertanian: kekeruhan, BOD, fenol,
2009 terdiri dari lahan, tata air dan sosial, danCl;
ekonomi kelembagaan, sedangkan dalam • Permukiman: BOD, fenol, Cl, NO2 danE.
Permenhut No. P. 61/Menhut-II/2014, coli
230 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
tentang pola umum, kriteria dan standar, Kriteria dan standar RRH meliputi aspek
perencanaan dan pelaksanaan rehabilitasi kawasan, kelembagaan, dan teknologi.
hutan dan lahan (RHL), reklamasi hutan, Aspek kawasan digunakan untuk
peran serta masyarakat, pembinaan dan menentukan penanganan kawasan
pengendalian hingga pendanaan. melalui analisis perencanaan berdasarkan
ekosistem DAS;) kejelasan status
penguasaan lahan; dan fungsi kawasan.
I. 1. Pola Umum, Kriteria dan Standar
Sementara aspek kelembagaan meliputi
a. Pola Umum sumber daya manusia yang kompeten;
organisasi yang efektif menurut kerangka
Pola umum merupakan kerangka dasar kewenangan masing-masing; dan tata
dalam penyelenggaraan rehabilitasi hubungan kerja. Aspek teknologi berupa
dan Reklamasi Hutan (RRH). Pola penerapan teknologi yang ditentukan oleh
umum tersebut mencakup prinsip dan kesesuaian lahan atau tapak setempat,
pendekatan penyelenggaraan RRH. tingkat partisipasi masyarakat, dan
Prinsip penyelenggaran RRH meliputi pemilihan jenis tanaman.
transparansi dan akuntabilitas; kejelasan
kewenangan; sistem penganggaran Selain ketiga aspek di atas, kegiatan RRH
yang berkesinambungan (multiyears); harus memenuhi aspek karakteristik lokasi
partisipatif; pemberdayaan masyarakat kegiatan; jenis kegiatan; penataan lahan;
dan kapasitas kelembagaan; pemahaman pengendalian erosi dan pencemaran air;
sistem tenurial (kepastian hak atas tanah); revegetasi; dan pengembangan sosial
andil biaya (cost sharing); dan penerapan ekonomi.
sistem insentif.
I. 2. Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Pendekatan penyelenggaran RRH meliputi
aspek politik, sosial, ekonomi, dan Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL)
ekosistem. Aspek politik dilaksanakan diprioritaskan pada lahan kritis melalui
dengan cara menjadikan isu pemanasan kegiatan rehabilitasi Hutan dan rehabilitasi
global, bencana alam, banjir, longsor, dan lahan. Rehabilitasi Hutan dilakukan pada
kekeringan untuk memperkuat kegiatan Kawasan Hutan kecuali cagar alam dan zona
RHH sebagai program prioritas dalam inti taman nasional. Sedangkan Rehabilitasi
pembangunan nasional. Aspek sosial lahan dilakukan di luar Kawasan Hutan
dan ekonomi adalah bahwa kegiatan berupa hutan dan lahan.
RRH diharapkan mampu memberikan
manfaat bagi peningkatan ekonomi Rehabilitasi hutan dilaksanakan oleh:
kesejahteraan masyarakat, terutama di a. Menteri untuk kawasan hutan yang
sekitar Hutan. Aspek ekosistem adalah meliputi hutan konservasi, hutan lindung
bahwa dalam rangka pengelolaan DAS dan hutan produksi yang tidak dibebani
dengan memperhatikan daya dukung lahan hak pengelolaan atau izin pernanfaatan;
(land capability) dan kesesuaian lahan b. Gubernur atau bupati/wali kota untuk
(land suitability) serta memperhatikan taman hutan raya sesuai dengan
keanekaragaman jenis dan tingkat kewenangannya;
kerentanan terhadap hama penyakit. c. Pemegang hak pengelolaan atau
b. Kriteria dan Standar pemegang izin pemanfaatan untuk
rehabilitasi pada kawasan hutan yang
Kriteria dan standar dijadikan sebagai dibebani hak pengelolaan atau izin
pedoman, acuan, dan ukuran dalam pernanfaatan; dan
penyelenggaraan rehabilitasi dan reklamasi c. Pemegang izin pinjam pakai kawasan
hutan. hutan atau pemegang keputusan
234 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
belanja daerah, dan/atau sumber dana a. Kelompok legum: jenis dari kelompok
lainnya yang sah dan tidak mengikat sesuai legum dipilih untuk rehabilitasi
dengan ketentuan peraturan perundang- kesuburan tanah (soil building and soil
undangan. improvement).
b. Jenis kayu bakar dipilh berdasarkan nilai
I. 6. Pemilihan Jenis Tanaman kalori yang tinggi, cepat tumbuh, tahan
pangkasan berat dan trubus banyak dan
Jenis tanaman yang dipilih disesuaikan cepat tumbuh. Jenis yang disarankan
dengan kondisi lahan dan tujuan antara lain lamtorogung, akasia,
penanaman. Untuk penanaman dalam kaliandra dan gamal.
kawasan hutan, jenis tanaman dipilih c. Jenis untuk keperluan hidro-orologis:
berdasarkan fungsi hutannya seperti dipilih jenis cepat tumbuh, bertajuk
tercantum pada Tabel 4.15. lebat, menghasilkan serasah yang
banyak, dapat tumbuh di lahan kritis,
Untuk memenuhi kepentingan ekologi, sistem perakaran dalam, melebar
ekonomi dan sosial maka pemilihan jenis dan kuat, menghasilkan trubusan bila
pada kegiatan rehabilitasi dalam kawasan dipangkas. Jenis yang dianjurkan adalah
hutan dapat dilakukan pencampuran trembesi, akasia, mahoni, asam, puspa.
tanaman antara jenis kayu-kayuan dan jenis d. Jenis untuk penanggulangan sosial-
serbaguna (Multi Purposes Tree Species- ekonomi:
MPTS), dengan komposisi mengacu pada • jenis yang baik untuk kayu perkakas
peraturan perundangan yang berlaku. seperti sengon, mahoni, jati, rasamala,
Pemilihan jenis bergantung kepada maksud dan sonokeling
dan tujuan rehabilitasi, dengan klasifikasi • jenis untuk penghara industri
berikut (Sabarnurdin, 2008): seperti sengon, gmelina, akasia,
ekaliptus, khaya, pulai, damar dan Dalam hal pemilihan jenis-jenis pohon yang
pinus. Dua yang disebutkan terakhir akan digunakan dalam kegiatan pemulihan
ini dapat diandalkan untuk hutan lahan-lahan terdegradasi, disarankan
rakyat pegunungan ditanam secara menggunakan jenis-jenis lokal atau andalan
campuran dengan tanaman kopi atau setempat. Hal ini merupakan salah satu
lainnya, dan hanya dipakai sebagai upaya untuk mengurangi kegagalan
penghasil getah. pelaksanaan kegiatan tersebut, dengan
asumsi bahwa jenis-jenis tersebut dianggap
Disamping jenis pohon-pohonan, maka memiliki kemampuan yang cukup untuk
jenis-jenis pangan masih perlu ditanam dapat tumbuh baik di lingkungannya. Di sisi
di antara pohon-pohonan. Penanaman lain jika ingin menggunakan jenis-jenis yang
dikombinasi dengan penanaman rumput eksotik sebaiknya dipilih jenis pohon yang
untuk memperkecil laju aliran permukaan sudah didomestikasi.
dan mengurangi erosi terutama pada lahan
miring, dimana pengawetan tanah sangat Faktor lainnya yang perlu diperhatikan
mutlak untuk dilakukan. adalah pemilihan jenis tumbuhan bawah
atau tanaman sela yang tepat. Seringkali
Prinsipnya, jenis-jenis yang digunakan dalam kegiatan pemulihan lahan-lahan
sebaiknya mempunyai kriteria sebagai terdegradasi, yang diutamakan hanya
berikut: pemilihan jenis pohon utama sedangkan
• Termasuk jenis yang cepat tumbuh tumbuhan bawahnya terabaikan, akibatnya
• Harus mampu menghasilkan serasah erosi masih dapat terjadi. Tanaman
yang banyak penutup tanah tersebut pada dasarnya
• Bertajuk lebat, mampu hidup dengan mempunyai peranan yang cukup besar
baik ditempat tersebut untuk mengurangi erosi, dikarenakan dapat
• Sistem perakaran melebar, kuat, dalam mengurangi dispersi air hujan, mengurangi
dan berakar serabut cukup banyak kecepatan aliran permukaan serta dapat
• Mudah ditanam dan tidak memerlukan memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah.
pemeliharaan Pada areal berlereng perlu diperhatikan
• Tahan terhadap hama dan penyakit berat jenis (BJ) pohon yang akan ditanam.
• Mampu memperbaiki kesuburan tanah Dihindarkan menanam pohon dengan BJ
terutama untuk kandungan nitrogen yang sangat berat agar beban tanah sebagai
• Sedapat mungkin bernilai ekonomis media penopang tidak terlalu besar.
dan dalam jangka pendek dapat Berdasarkan berat jenis (BJ), tanaman
menghasilkan bahan makanan seperti dapat dikategorikan menjadi tanaman
buah-buahan, makanan ternak dan lain- dengan BJ sangat berat ( BJ >0,9 g.cm-3),
lain berat (BJ 0,70 – 0,90 g.cm-3), agak berat
• Mampu tumbuh ditempat terbuka (BJ 0,60 – 0,75 g.cm-3) dan ringan (BJ <
dengan penyinaran penuh (jenis pioneer, 0,60 g.cm-3). Pertimbangan lain yang perlu
intoleran, beriap besar) diperhatikan adalah kedalaman perakaran.
• Dapat tumbuh dan bersaing dengan Kategori kedalaman perakaran beberapa
alang-alang serta cepat menutup tanah pohon disajikan pada Tabel 4.16.
• Mudah bertunas setelah terbakar atau Pemilihan jenis tanaman harus
dipangkas mempertimbangkan faktor kemasaman atau
• Biji atau bagian vegetatif untuk pH tanah. Tingkat kemasaman (pH tanah)
pembiakan mudah diperoleh mempengaruhi nilai kapasitas pertukaran
• Untuk tujuan penghijauan, jenis-jenis kation (KPK) tanah dan ketersediaan unsur
pohon yang dipilih harus yang disenangi hara di dalam tanah sehingga menentukan
oleh masyarakat tingkat penyerapan unsur hara oleh
0,70 – 0,90 g.cm-3), agak berat (BJ 0,60 – 0,75 g.cm-3) dan ringan (BJ
< 0,60 g.cm-3). Pertimbangan lain yang perlu diperhatikan adalah
kedalaman perakaran. Kategori kedalaman perakaran beberapa pohon
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
disajikan pada Tabel 7.2. 239
Pengelolaan Hutan
tanaman. Pemilihan
Secara umum jenis
unsurtanaman harus mempertimbangkan
hara tersedia kemasaman tanah yang faktor
mampu bertahan
dalam jumlah maksimal
kemasaman atau pH dan mudah
tanah. diserap
Tingkat hidup di tanah masam.
kemasaman (pH tanah)
tanaman
mempengaruhipada pH nilaisekitar netral.pertukaran
kapasitas Pada kation (KPK)
tanah masam yang banyak mengandung Beberapa contohtanah jenisdantanaman yang
ketersediaan unsur hara di dalam
Aluminium (Al) maupun Besi (Fe), unsur
tanah sehingga
toleran terhadap tingkat
menentukan tingkat kemasaman
penyerapan
fosfor (P) akanunsur hara olehbagi
sulit tersedia tanaman.
tanamanSecaratinggi
umumyang unsur haradipertimbangkan
dapat tersedia untuk
dalam diikat
karena jumlaholehmaksimal
Al dan Fe.dan mudah
Artinya, diserap tanaman pada pH sekitar
pada rehabilitasi lahan pada tanah-tanah masam,
netral. masam,
kondisi Pada tanah masamunsur
penyerapan yangP banyak dapat dilihat
dalam mengandung pada Tabel (Al)
Aluminium 4.17.
maupun
bentuk ionBesi
fosfat(Fe), unsur
(H2PO4-) fosfor
akan (P) akan sulit
terhambat.
Gunatersedia bagi tanaman
menunjang keberhasilan kegiatan
Hal ini berdampak
karena buruk Al
diikat oleh bagidan
pertumbuhan
Fe. Artinya, pada kondisi masam,
pemulihan lahan-lahan yang terdegradasi
tanaman karena ion fosfat merupakan
penyerapan unsur P dalam bentuk ion fosfatatau (H2PO 4-) akan
lahan kritis,terhambat.
faktor lain yang perlu
unsur hara makro esensial bagi tanaman.
Hal ini berdampak buruk bagi pertumbuhan diperhatikan
Demikian juga muatan koloid humus
tanaman karena yaituion adanya
fosfat kesesuaian
antara kualitas lahan yang tersedia dengan
bersifat berubah-ubah tergantung dari nilai
persyaratan tumbuh jenis yang terpilih.
pH tanah. 457 yang utama,
Persyaratan tempat tumbuh
Dalam suasana sangat masam (pH rendah), yaitu meliputi : tinggi tempat, curah hujan,
koloid yang bermuatan negatif menjadi temperatur, tekstur tanah/jenis tanah, pH,
rendah, akibatnya KPK turun. Sebaliknya drainase dan toleransi tanaman terhadap
dalam suasana alkali (pH tinggi) akan cahaya.
terjadi peningkatan muatan negatif,
Penambahan bahan organik merupakan hal
sehingga KPK meningkat (Parfit, 1980
yang terpenting dalam upaya pemulihan
dalam Atmojo,2003). Peningkatan KPK akan
lahan kritis. Diantaranya diperoleh dari
menghasilkan pertumbuhan yang lebih
pupuk kompos, pupuk hijau dan pupuk
baik untuk tanaman. Oleh sebab itu, hanya
kandang.
tanaman yang memiliki toleransi terhadap
240 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
Tabel 7.3. Beberapa contoh jenis tanaman yang toleran terhadap tanah
Tabel 4.17. Beberapa contoh jenis tanaman yang toleran terhadap tanah dengan tingkat
dengan tingkatkemasaman tinggi
kemasaman tinggi
Kelompok Nama lokal Nama ilmiah
Tanaman Padi, nanas Zea mays, Ananas comosus
Pangan
Palawija Kacang tanah Arachis hypogea
Kacang tunggak Vigna unguiculata
Gude Cajanus cajan
Tanaman keras Kopi Coffea canephora
(cash crop) Teh Thea sinensis=Camelia sinensis
Kepala sawit Elaeis guinensis
Karet Hevea brassiliensis
Pohon buah- Rambutan Nephelium lappaceum
buahan Nangka Arthpcarpus heterophyllus
Duren Durio zibethinus
Cempedak Arthocarpus integer
Duku Lansium domesticum
Mangga Garcinia mangostana
Jambu air Syzigium aqueum
Jambu biji Psidium guajava
Jambu mente Anacardium occidantale
Mangga Mangifera indica
Sirsak Anona muricata
Pete Parkia speciosa
Jengkol Pithecellobium jiringa
Pohon Sungkai/jati seberang Perunema inerme
penghasil kayu Pulai Alstonia spp
Bulangan Gmelina arborea
Sengon putih Paraserienthes falcataria
Mahoni Swietenia mahogany
Mangium Acacia mangium
Tanaman pagar Petaian Peltophorum dasyrrachis
Gamal Gliricidia sepium
Flemingia Flemingia congesta
Lamtoro Leucaena leucocephala
Tanaman Orok-orok Crotalaria juncea
legume Calopo Calopogonium muconoides
penutup tanah Calopogonium caeruleum
(Legume Crops Centro Centrosema pubescens
Cover) Kacang asu Pueraria phaseoloides
Kacang benguk Mucuna pruriens var. utilis
Tanaman liar Melastoma Melastoma sp.
kirinyuh Chromalaena odorata
Sumber: Hairiah et al. (2000b)
459
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 241
Pengelolaan Hutan
Kotak 4.3
Hasil uji coba rehabilitasi lahan bekas tambang
Ujicoba rehabilitasi lahan bekas tambang di beberapa lokasi telah menghasilkan rekomendasi teknik
rehabilitasi sebagai berikut:
A.Tambang emas
Permasalahan utama dalam tambang emas adalah hasil pemisahan bijih emas dengan bahan-bahan
lainnya menghasilkan lumpur yang memiliki kandungan logam berat cukup tinggi dan beracun seperti:
Pb,Cu,Zn dan Fe. Limbah ini ditampung di dalam dam yang cukup luas yang disebut sebagai tailing
dam. Persoalan lain yang muncul adalah adanya beberapa tanah longsor di sekitar dam yang dikhawa-
tirkan akan menambah sedimentasi di dalam dam tersebut. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk
mengurangi lumpur tailing tersebut dan merehabilitasi daerah-daerah yang longsor di sekitar dam.
Lumpur tailing sebagai hasil limbah pengolahan emas dapat dijadikan sebagai filler/pengisi media
tanam. Lumpur tailing tersebut harus dicampur dengan pupuk kandang atau bahan organik lainnya
untuk menekan kandungan logam berat Pb, Cu, Mn dan Fe. Ujicoba terhadap tanaman Paraserian-
thes falcataria dengan cara penambahan pupuk organik dan penggunaan cendawan endomikorhiza
ke dalam media tailing menunjukkan bahwa komposisi media (tailing : pupuk organik kascing, rasio
1:1, v/v) memberikan hasil terbaik terhadap pertumbuhan tinggi, pertumbuhan diameter dan berat
kering total masing-masing sebesar 15,7 cm, 0,5 cm dan 9,2 gr. Tahapan penanamannya adalah se-
bagai berikut:
• Pembuatan lubang tanaman dalam bentuk pot dengan ukuran 50cmx50cmx50cm ;
• Pengisian media lumpur tailing dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1 ;
• Lubang tanam dibiarkan seminggu agar media dapat beradaptasi ;
• Penanaman semai tanaman dengan tinggi 50 cm dengan jarak tanam 3mx2m ; dan
• Pemeliharaan tanaman seperti pembersihan gulma dan pemupukan dasar NPK tiap 3 bulan.
Jenis-jenis yang akan ditanam sebaiknya menggunakan jenis lokal yang telah cocok dengan kondisi
iklim dan geografis setempat. Jenis manglid (Michelia montana) menunjukkanpertumbuhan yang ba-
gus. Selain itu, jenis tanaman tersebut merupakan jenis lokal yang adaptif dengan kondisi setempat.
Jenis tanaman lain seperti: suren (Toona sureni) dan sonokeling(Dalbergia latifolia) juga memberikan
pertumbuhan cukup bagus dan mampu menyerap logam berat Cu dan Pb secara optimal.
B.Tambang Timah
Pertambangan timah meninggalkan lahan-lahan berupa hamparan tailing pasir kuarsa dan campuran
bahan-bahan overburden dengan kandungan unsur hara yang rendah sehingga tingkat kesuburannya
rendah. Hal ini disebabkan tailing kuarsa mengandung lebih dari 95 % pasir kuarsa, sedangkan partikel
liat serta bahan organiknya sangat rendah, menyebabkan kapasitas sangga (buffer capacity) tailing ini
menjadi sangat rendah. Overburden yang dihamparkan di beberapa area juga menunjukkan tingkat
kesuburan yang rendah. Bahan ini mempunyai pH 3,5 karena adanya bahan sulfidic (mineral pirit/
calco pirit).
Dalam mereklamasi bekas tambang timah telah didapatkan media tanam untuk diaplikasikan pada
lubang tanam yang dapat mendukung pertumbuhan tanaman, dengan komposisi:
• Kombinasi 20% bahan organik + 20% top soil + 5% kapur + 1% NPK + 54% tailing kuarsa terbukti
mampu memberikan pertumbuhan yang bagus untuk tanaman Eucalyptus urophylla, uba (Eu-
genia garcinaefolia), sengon buto (Enterolobium cyclocarpum) dan trembesi (Samanea saman).
• Kombinasi 20% bahan organik + 20% top soil + 10% kapur + 1% NPK + 49 % bahan campuran over-
burden mampumemberikan pertumbuhan yang bagus untuk tanaman E. urophylla, uba (Eugenia
garcinaefolia), dan sengon buto (Enterolobium cyclocarpum)
242 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
Kotak 4.3
lanjutan
Pemeliharaan tanaman seperti pembersihan gulma dan pemupukan dasar NPK dilakukan tiap tiap 3
bulan. Selain perbaikan media tanam, pemberian mikoriza pada waktu pembuatan persemaian ter-
bukti menghasilkan pertumbuhan yang lebih bagus dibandingkan tanpa mikoriza terhadap lima je-
nis tanaman di persemaian yaitu: ekaliptus (Eucalyptus urophylla), jabon (Anthocephalus cadamba),
trembesi (Samanea saman), uba (Eugenia garcinaefolia) dan sengon (Paraserianthes falcataria). Hasil
uji kompatibilitas menunjukkan jenis mikoriza Glomus sp. memberikan pertumbuhan relatif lebih baik
dibandingkan tanpa perlakuan atau mikoriza jenis Gigaspora sp. pada tanaman jabon (Anthocephalus
cadamba) dan balsa (Ochroma bicolor).
C.Tambang Batubara
Bekas tambang batubara meninggalkan timbunan bahan-bahan overburden dalam jumlah besar. Ba-
han-bahan tersebut terdiri dari campuran tanah dan bahan induk tanah seperti batuliat (claystone),
batu lanau (siltstone), batu pasir (sandstone) atau tufa volkan, yang memiliki sifat fisik dan kimia jelek,
dan seringkali mengandung unsur-unsur beracun. Pada daerah-daerah yang overburdennya mengand-
ung batuan pirit sering dijumpai adanya fenomena air asam tambang Acid Mined Drainage-AMD). Jika
pirit ini teroksidasi, akan menghasilkan Fe+3 dan SO4-2. SO4-2 bersifat masam dan mengakibatkan pH
menjadi sekitar 3. Akibatnya tanah menjadi masam (pH sekitar 3), dan kelarutan unsur-unsur logam
meningkat (Al, Fe, Mn, dan sebagainya) sehingga akan meracuni tumbuhan.
Kualitas tanah bekas tambang batubara ditingkatkan dengan memanfaatkan kompos dan asam humat
(di persemaian) dan arang kelapa sawit (di lapangan). Pemanfaatan kompos dan asam humat di perse-
maian dilakukan dengan mencampurkan kompos dan tanah bekas tambang dengan perbandingan 1:2
dan pemberian asam humat 100 ml per polibag (ukuran diameter 5 cm dan tinggi 10 cm) yang meng-
hasilkan pertumbuhan terbaik terhadap jenis tanaman Pentace sp. Pemanfaatan arang aktif kelapa
sawit pada lubang tanam dilakukan dengan menambahkan arang kelapa sawit sebanyak 1 sampai 3,5
liter per lubang tanam berukuran 50 cm x 50 cm x 50 cm. Dengan dosis ini, tanaman Ficus variegata
menghasilkan pertambahan tinggi, pertambahan diameter, dan kemampuan hidup tanaman yang leb-
ih baik dibanding kontrol/tanpa pemberian arang hayati kelapa sawit.
Dalam pemilihan jenis tanaman, pada fase awal sebaiknya menggunakan jenis pioner seperti: waru
gunung (Hibiscus sp.), gmelina (Gmelina arborea), trembesi (Samania saman), johar (Cassia sp.) dan
sengon buto (Enterolobium cyclocarpum). Setelah tanaman pelindung ini bertajuk cukup rindang, yai-
tu setelah tanaman berumur sekitar 4 tahun, dimana iklim mikro telah mengalami perbaikan, maka
dapat dilakukan penanaman jenis-jenis Dipterocarpa seperti: Shorea artinervosa, S. agamii, S. balan-
geran, Parashorea smythiesii dan Cotylelobium burkii. Jenis mahang (Macaranga sp.), pulai (Alstonia
sp.), laban (Vitex pinnata), nyawai (Ficus variegata), puspa (Schima wallichi), Ficus sp., medang (Lits-
ea sp.), dao/sengkuang (Dracontomelon dao), dan salam (Syzygium sp.) menunjukkan kemampuan
hidup di atas 80% pada lahan bekas tambang batubara. Sedangkan terap (Arthocarpus dadah) dapat
tumbuh dengan kemampuan hidup diatas 75 %. Untuk mengatasi masalah pemadatan tanah perlu
dilakukan penambahan bahan organik tanah (pupuk kandang maupun mulsa) secara teratur yang juga
bermanfaat untuk melindungi tanaman dari kekeringan.
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 243
Pengelolaan Hutan
J. Hutan Kota dan Ruang Terbuka Hijau hutan kota yang sejak tahun 2002
telah memiliki kekuatan hukum dengan
Pembangunan perkotaan cenderung diterbitkannya Peraturan Pemerintah
meminimalkan ruang terbuka hijau. Lahan Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota.
terbuka hijau dialih fungsikan menjadi
kawasan pemukiman, perdagangan, Hutan Kota adalah suatu hamparan
kawasan industri, jaringan transportasi, lahan yang bertumbuhan pohon-pohon
serta prasarana dan sarana perkotaan yang kompak dan rapat di dalam wilayah
lainnya. Lingkungan perkotaan akhirnya perkotaan baik pada tanah negara maupun
hanya berkembang secara ekonomi, tetapi tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan
secara ekologi menurun. kota oleh pejabat yang berwenang.
Kondisi tersebut menyebabkan Tujuan penyelenggaraan hutan kota
terganggunya keseimbangan ekosistem adalah untuk kelestarian, keserasian dan
perkotaan yang ditandai dengan keseimbangan ekosistem perkotaan yang
meningkatnya suhu udara, pencemaran meliputi unsur lingkungan, sosial dan
udara (meningkatnya kadar CO, ozon, budaya. Penyelenggaraan hutan kota
karbon-dioksida, oksida nitrogen dan dimaksudkan untuk:
belerang, debu, suasana yang gersang, 1. Menekan/mengurangi peningkatan suhu
monoton, bising dan kotor), banjir, intrusi udara di perkotaan;
air laut, kandungan logam berat tanah 2. Menekan/mengurangi pencemaran
meningkat, dan menurunnya permukaan udara (kadar karbonmonoksida, ozon,
air tanah. karbondioksida, oksida nitrogen,
belerang dan debu);
Permasalahan ekosistem perkotaan yang 3. Mencegah terjadinya penurunan air
demikian kompleks telah mendorong tanah dan permukaan tanah; dan
BLI KLHK untuk secara konsisten 4. Mencegah terjadinya banjir atau
mengembangkan ilmu pengetahuan dan genangan, kekeringan, intrusi air laut,
teknologi dalam rangka memperbaiki meningkatnya kandungan logam berat
kerusakan ekosistem di perkotaan melalui dalam air.
kegiatan penelitian pengembangan lanskap
perkotaan. Dibutuhkan sumber daya untuk Fungsi hutan kota adalah untuk :
memenuhi kebutuhan tersebut, antara lain 1. Memperbaiki dan menjaga iklim mikro
lahan dan kecermatan dalam pengaturan dan nilai estetika;
tata ruang baik jangka pendek dan panjang. 2. Meresapkan air;
3. Menciptakan keseimbangan dan
Wilayah perkotaan di Indonesia, terutama keserasian lingkungan fisik kota; dan
kota-kota pantai seperti Jakarta, Surabaya, 4. Mendukung pelestarian
Semarang dan Makasar, dicirikan oleh tiga keanekaragaman hayati indonesia.
kriteria yaitu a) terdegradasinya wilayah
daratan dalam bentuk zona (region) wilayah Penyelenggaraan hutan kota meliputi :
“intrusi air laut”; wilayah “pengendapan” 1. Penunjukan; terdiri dari penunjukan
dan wilayah “kikisan”; b) meningkatnya lokasi hutan kota dan penunjukan luas
kutub-kutub panas kota, dan c) semakin hutan kota.
terdesaknya kawasan hijau akibat 2. Pembangunan;
lajunya pertumbuhan wilayah perkotaan 3. Penetapan; dan
(Samsoedin dan Waryono, 2010). 4. Pengelolaan.
Salah satu upaya yang berdampak positif Penunjukan lokasi dan luas hutan kota
dalam mengatasi permasalahan ini adalah dilakukan oleh Walikota atau Bupati
melalui pembangunan dan pengembangan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah
244 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
Perkotaan. Untuk Daerah Khusus Ibukota (2) ruang terbuka hijau (RTH) paling sedikit
Jakarta, penunjukan lokasi dan luas hutan 30% dari luasan pulau/kepulauan; dan/
kota dilakukan oleh Gubernur Daerah atau
Khusus Ibukota Jakarta berdasarkan (3) menanam dan memelihara pohon
Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah di luar kawasan hutan, khususnya
Khusus Ibukota Jakarta. Lokasi hutan kota tanaman langka
merupakan bagian dari Ruang Terbuka
Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan. Bentuk Ruang terbuka hijau adalah area
hutan kota terdiri atas jalur, mengelompok memanjang/jalur dan/atau mengelompok,
dan menyebar. yang penggunaannya lebih bersifat
terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik
Hutan kota dapat dimanfaatkan untuk yang tumbuh secara alamiah maupun
keperluan : yang sengaja ditanam. Ruang terbuka hijau
1. Pariwisata alam, rekreasi dan atau olah sebagaimana dimaksud dalam undang-
raga; undang terdiri dari ruang terbuka hijau
2. Penelitian dan pengembangan; publik dan ruang terbuka hijau privat.
3. Pendidikan;
4. Pelestarian plasma nutfah; dan atau Baik RTH publik maupun privat memiliki
5. Budidaya hasil hutan bukan kayu. beberapa fungsi utama seperti fungsi
ekologis serta fungsi tambahan, yaitu sosial
Ruang Terbuka Hijau (RTH) memiliki budaya, ekonomi, estetika/arsitektural.
fungsi dan manfaat ekologis sebagaimana Khusus untuk RTH dengan fungsi sosial
kawasan hutan. Penyelenggaraan Ruang seperti tempat istirahat, sarana olahraga
Terbuka Hijau diatur dalam: dan atau area bermain, maka RTH ini harus
• Undang-Undang Republik Indonesia memiliki aksesibilitas yang baik untuk
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan semua orang, termasuk aksesibilitas bagi
Ruang. penyandang cacat.
• Undang-Undang Republik
IndonesiaNomor 32 Tahun 2009 Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah
tentang Perlindungan dan Pengelolaan kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen
Lingkungan Hidup. dari luas wilayah kota. Proporsi ruang
• Peraturan Pemerintah Republik terbuka hijau publik pada wilayah kota
Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional luas wilayah kota.
• Peraturan Pemerintah Republik
Tujuan penyelenggaraan RTH adalah:
Indonesia Nomor 13 Tahun 2017 tentang
(1) Menjaga ketersediaan lahan sebagai
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
kawasan resapan air;
Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana
(2) Menciptakan aspek planologis perkotaan
Tata Ruang Wilayah Nasional
melalui keseimbangan antara lingkungan
• Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
alam dan lingkungan binaan yang
Nomor : 05/Prt/M/2008 tentang
berguna untuk kepentingan masyarakat;
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan
(3) Meningkatkan keserasian lingkungan
Ruang Terbuka Hijau di Kawasan
perkotaan sebagai sarana pengaman
Perkotaan.
lingkungan perkotaan yang aman,
Untuk melaksanakan pencadangan sumber nyaman, segar, indah, dan bersih.
daya alam, Pemerintah, pemerintah
Fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi
provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota
ekologis:
dan perseorangan dapat membangun:
(1) memberi jaminan pengadaan RTH
(1) taman keanekaragaman hayati di luar
menjadi bagian dari sistem sirkulasi
kawasan hutan;
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 245
Pengelolaan Hutan
Tabel 4.18. Rangking 1-10 jenis pohon Tabel 4.19. Rangking 1-10 jenis pohon
di Surabaya, yang banyak menjerap logam Pb di Surabaya, yang menyerap logam Pb
Bahan Bacaan
Abdulah, L., & Darwo. (2014). Model riap tegakan hutan alam produksi di Pulau Buru-Maluku.
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.11(4).
Adelina, N. (2004). Aquilaria malaccensis Lamk. .Informasi Singkat Benih (33).
Agrios, G.N. (2005). Plant Pathology. 5th eds. Elsevier Academic Press. USA.
Alexopoulos, C.J. dan C.W. Mims. (1979). Introductory Mycology. John Wiley & Sons.
Al-Hadad, M.F. (2017). Estimasi riap tegakan sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen)
di IUPHHK-HTI Trans PT Belantara Subur, Kalimantan Timur. Skripsi. Departemen
Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Alrasjid, H. (1999). Pedoman pengelolaan hutan nipah (Nipa fruticans) secara lestari. Bogor:
Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam.
Andersen MC., Adams H., Hope B., Powell M. (2004). Risk assessment for invasive species.
Risk Analysis. 24, 787–793.
Andikarya, O., & Nunuh, A. (2002). Pedoman teknis budidaya murbei. Bandung: Samba
Project. A CARE UNBAR Collaborative program of USAID funded Project for BDSs and
MFLs Development on Silk Industry in West Java.
Anonim. (1994). Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures.
Annex 1. Geneva: World Trade Organization.
Anonim. (1995). International Standards for Phytosanitary Measures. Section 1. Guidelines
forPest Risk Analysis (Draft Standard). Rome: FAO.
Anonim. (2020). Kerusakan hutan akibat penggembalaan ternak dan satwa liar. Dipetik
Oktober 2020, darihttps://abkargm18.wordpress.com/2014/09/24/kerusakan-hutan-
akibat-penggembalaan-ternak-dan-satwa-liar/.
Anonim. (n.d). Convention on Biological Diversity. Dipetik dari https://www.cbd.int/countries/
profile/?country=id#facts.
Anonim. (n.d). International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources
(IUCN). Dipetik dari https://www.iucnredlist.org/
Anonim. (n.d). International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources
(IUCN). Dipetik dari https://www.iucnredlist.org/
Anonim. (n.d).Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora (CITES). Dipetik dari https://www.cites.org/eng
Anonim. Risk Management. 3rd edn. AS/NZS 4360. (2004). Standards Australia International
Ltd and Standards New Zealand, Sydney, Australia;
Anton. (2013). Persuteraan alam Provinsi Jawa Barat. Temu Usaha Persuteraan Alam Di Cianjur
Provinsi Jawa Barat, tanggal 2 April 2013. Balai Persuteraan Alam Sulawesi Selatan.
Ariany, R. (2009). Planchonia valida (Blume). Informasi Singkat Benih(92).
Arifin, A. (2001). Hutan dan kehutanan. Yogyakarta: Kanisius.
Arsyad, W. O. M. (2018). Pengembangan model prediksi masa pakai dan ketahanan kayu
terhadap serangan organisme penggerek laut. Forpro, 7(1), 1–10.
ASPPHAMI. (2018). Kerugian akibat rayap ditaksir capai triliunan rupiah. Retrieved October
16, 2020, from https://aspphami.or.id/kerugian-akibat-rayap-ditaksir-capai-triliunan-
rupiah/
Atmojo, S. W. (2003). Peranan bahan organik terhadap kesuburan tanah dan upaya
pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah Fakultas
Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
248 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
Atmojo, S. W. (2008). Peran agroforestri dalam menanggulangi banjir dan longsor DAS.
Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Baadsgaard, J., & Stubsgaard, F. (1989, April). Seed collection . Lecture Note(No. C- 4).
Bachli, Y. (2007). Tanaman kesambi : manfaat dan kegunaannya. Makassar: Balai Pengelolaan
DAS Sungai Jeneberang-Bilawalanae.
Badan Litbang Kehutanan. (1999). Panduan Kehutanan. Jakarta: Badan Litbang Kehutanan.
Badan Litbang Kehutanan. (2003). Teknik persemaian dan informasi benih cendana. Yogyakarta:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.
Badan Penanggulangan Bencana Nasional. (2012). Buku saku tanggap tangkas tanggung
menghadapi bencana. Jakarta: Badan Penanggulangan Bencana Nasional.
Badan Standardisasi Nasional. (2006). SNI 01-3751-2006 tentang Prosedur uji penetapan
kelarutan tepung. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Badan Standarisasi Nasional. (2006a). SNI -04-7182-2006 Biodisel. Jakarta: Badan Standarisasi
Nasional.
Badan Standarisasi Nasional. (2013). SNI 01-5006.12-2003 Tanaman kehutanan bagian 12 :
Penanganan benih generatif tanaman hutan. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
Badrunnasar, A. (2013). Empat (4) jenis pohon inang penghasil gaharu. Arboretum Balai
Penelitian Teknologi Agroforestri. Ciamis: Balai Penelitian Teknologi Agroforestri.
Balai Penelitian Teknologi Perbenihan. (2000). Atlas benih tanaman hutan Indonesia Jilid I.
Publikasi Khusus, 3(8).
Balai Penelitian Teknologi Perbenihan. (2001). Atlas benih tanaman hutan Indonesia Jilid II.
Publikasi Khusus, 2(6).
Balai Penelitian Teknologi Perbenihan. (2002). Atlas benih tanaman hutan Indonesia Jilid III.
Publikasi Khusus, 2(8).
Balai Penelitian Teknologi Perbenihan. (2002a). Atlas benih tanaman hutan Indonesia Jilid IV.
Publikasi Khusus, 2(9).
Bandini, Y. (1996). Nipah pemanis alami baru. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.
Barber, C. (1997). The Case study of Indonesia, project on environmental scarcities, state
capacity, and civil violence. Retrieved Juli 21, 2005, from Http://www.edcnews.se/
Reviews/Barber1997-html.
Barly, B., Ismanto, A., & Martono, D. (2011). Dayaguna campuran soda abu - boraks sebagai
anti jamur biru dan rayap. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 29(2), 179–188. https://doi.
org/10.20886/jphh.2011.29.2.179-188
Barly, Lelana, N. E., & Ismanto, A. (2010). Keefektifan campuran garam tembaga-khromium-
boron terhadap rayap dan jamur perusak kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 28(3),
222–230.
Barner, H., Olesen, K., & Wellendroff, H. (1992). Classification and selection of seed sources.
Lecture Note.
Baser, K., & Buchbawer, G. (2010). Hand book of essential oil: Science technology and
application. Boca Rotan, USA: Taylor and Francis Group.
Bess, H. enry A. (1971). Control of the Drywood termite, Cryptotermes brevis, in Hawaii.
Technical Bulletin No. 87. Hawaii Agricultural Experiment Station, University of Hawaii.
Blossey B.(1999). Before, during and after: the need for long-term monitoring in invasive
species management. Biological Invasions 1, 301–311.
Bogidarmanti, R., Mindawati, N., Nuroniah, H. S., & Kosasih, A. S. (2003). Pemilihan jenis
pohon potensial untuk konservasi lahan terdegradasi. Prosiding ekspose hasil-hasil
penelitian (pp. 86-96). Bogor: Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam.
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 249
Pengelolaan Hutan
Bonner, F. T., Vozzo, J. A., Elam, W. W., & Land, S. J. (1994). Tree seed technology. Training
course. Instructor’s manual. New Orleans, Lousiana: United State Department
Agriculture. Forest Service. Southern Forest Experiment Station.
Borror, D.J, C.A. Triplehorn and N.F. Johnson. (1989). An Introduction to the Study of
Insect. Sounders College Publs. USA (Pengenalan Pelajaran Serangga – penerjemah
Patosoedjono, S dan M.D. Brotowidjoyo. 1992. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Brauman, A., Majeed, M. Z., Buatois, B., Robert, A., Pablo, A.-L., & Miambi, E. (2015). Nitrous
oxide (N2O) emissions by termites: does the feeding guild matter? PLoS ONE, 10,
e0144340.
Burdon, R. D., & Namkoong, G. (1983). Multiple population and sub lines. Silvae Genetica(32),
221-222.
Burley, J., & Wood, P. J. (1996). A manual on species and provenance research with particular
reference to the tropics. Tropical Forestry Paper, 10.
Catford, Jane A, R. Jansson and C. Nilsson. 2009. Reducing redundancy in invasion ecology by
integrating hypotheses into a single theoretical framework. Diversity and Distributions,
(Diversity Distrib.) 15, 22–40
Chouvenc, T., et.al. (2016). Revisiting Coptotermes (Isoptera: Rhinotermitidae): A global
taxonomic road map for species validity and distribution of an economically important
subterranean termite genus. Systematic Entomology, 41(2), 299–306. https://doi.
org/10.1111/syen.12157
Copeland, L. (1976). Principles of seed science and technology. Minneapolis, Minnesota:
Burcess Publishing Co.
Daehler CC, Denslow JS, Ansari S, Kuo H.(2004). A risk assessment system for screening out
invasive pest plants from Hawaii and other Pacific islands. Conservation Biology 18,
360–8.
Daehler CC, Virtue JG. (2010). Likelihood and consequences: reframing the Australian weed
risk assessment to reflect a standard model of risk. Plant Protection Quarterly 25(2),
52–55.
Daniel, M. (2006). Medicinal plants: Cemistry and properties. Enfield, NH, USA: Science
Publisher.
Daniel, T. W., Helms, J. A., & Baker, F. (1979). Principles of silviculture. New York: Mc.Graw-Hill
Inc.
Danu, Pramono, A. P., & Siregar, N. (2006). Perbanyakan vegetatif beberapa jenis tanaman
hutan. In Atlas benih Jilid VI. Bogor: Balai Penelitian Teknologi Perbenihan.
Danu. ( 2001). Kesambi (Schleichera oleosa). In Atlas benih tanaman hutan indonesia Jilid II.
Bogor: Balai Teknologi Perbenihan.
Darwo, & Effendi, R. (2013). Tingkat pertumbuhan dan hasil tegakan nyawai (Ficus variegata
Bl.) sampai umur 4 tahun di KHDTK Cikampek, Jawa Barat. Dalam: Optimalisasi Peran
Silvikultur untuk Menjawab Tantangan Kehutanan Masa Depan (270-284). Prosiding
Seminar Nasional Silvikultur I & Pertemuan Ilmiah Tahunan Masyarakat Silvikultur
Indonesia. Makasar.
Darwo, Amperawati, T., Suhada, D. A., Manik, W. S., & Tobing, S. L. (2004). Model pertumbuhan
dan hasil hutan tanaman di Sumatera Utara. Aek Nauli: Balai Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan Sumatera.
Darwo, Amperawati, T., Suhada, D. A., Manik, W. S., & Tobing, S. L. (2004). Model pertumbuhan
dan hasil hutan tanaman di Sumatera Utara. Aek Nauli: Balai Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan Sumatera.
250 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
Darwo, et al. (2012). Kuantifikasi kualitas tempat tumbuh dan produktivitas tegakan untuk
hutan tanamn eukaliptus di kabupaten simalungun, Sumatera Utara. Jurnal Penelitian
Hutan Tanaman Vol. 9(2), 83-93.
Darwo, Lisnawati, Y., & Mindawati. (2019). Pertumbuhan Hasil tegakan Trema (Trema
orientalis (L.) Blume). DalamBunga Rampai Prospek Pengembangan Trema orientalis
sebagai Alternatif Pengganti Sengon. Editor: Supriyanto, Lisnawati, Y., & Mindawati.
Bogor: IPB Press.
Darwo, Napitupulu, B., Harianja, A. H., & Sembiring, S. (2005). Informasi teknis faktor-faktor
keberhasilan GERHAN di Sumatera Utara. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hutan dan Konservasi Alam.
Darwo. (2012). Pertumbuhan dan hasil tegakan hutan tanaman Acacia mangium Willd. di
Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara. Tekno Hutan Tanaman Vol. 5(2), 53-60.
Darwo. (2012b). Evaluasi pertumbuhan dan hasil tegakan jabon putih (Anthocephalus
cadamba (Roxb.) Miq.). Mitra Hutan Tanaman, 7(3), 102-108.
Darwo. (2012a). Pertumbuhan dan hasil hutan tanaman Acacia mangium Willd. di Kabupaten
Padang Lawas, Sumatera Utara. Tekno Hutan Tanaman, 5(2), 53-60.
Darwo. (2020). Peningkatan Produktivitas Hutan Alam Tidak Produktif dengan Penerapan
TPTJ-Silin. Policy Brief, 14(3). Bogor: Pusat Penelian dan Pengembangan Sosial,
Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim.
Davidson, J. (1992). Tree breeding and propagation-some concepts. Proc. of The Regional
Workshop on Tree Breeding and Propagation. Bangkok, Thailand.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan. (1998). Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan No. 201/Kpts-II/1998. Jakarta: Departemen Kehutanan dan Perkebunan.
Departemen Kehutanan. (1992). Manual Kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan.
Departemen Kehutanan. (1992). Manual kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan.
Departemen Kehutanan. (1997). Keputusan Menteri Kehutanan No. 435/Kpts-II/1997 dan SK
Menhutbun No. 625/KptsII/1998 tanggal 10 September 1998 tentang Sistem Silvikultur
Tebang Pilih dan TanamJalur dalam pengelolaan hutan produksi. Jakarta: Departemen
Kehutanan.
Departemen Kehutanan. (1998). Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 201/
Kpts-II/1998 tanggal 27 Februari 1998 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan
dengan sistem silvikultur TPTJ kepada PT. Sari Bumi Kusuma. Jakarta: Departemen
Kehutanan.
Departemen Kehutanan. (1999). Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 15/Kpts/
IV/1999 tanggal 18 Januari 1999 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan dengan
Sistem Silvikultur TPTJ kepada PT. Erna Juliawati. Jakarta: Departemen Kehutanan.
Departemen Kehutanan. (2001). Keputusan Menteri Kehutanan No.32/Kpts-II/2001 tentang
Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan. Jakarta: Departemen Kehutanan.
Departemen Kehutanan. (2001a). Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/2001 tentang
Penetapan Kawasan Hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan. Jakarta:
Departemen Kehutanan.
Departemen Kehutanan. (2002). Keputusan Menteri Kehutanan No. 10172/Kpts-II/2002
tentang Perubahan Kepmenhutbun No. 309/Kpts-II/1999. Jakarta: Departemen
Kehutanan.
Departemen Kehutanan. (2002a). Peraturan Pemerintah RI No. 34 tahun 2002 tentang
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan
Penggunaan Kawasan Hutan. Jakarta: Departemen Kehutanan.
Departemen Kehutanan. (2004). Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2004 tentang
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 251
Pengelolaan Hutan
Bogor: PT Sarbi.
Hendromono, Mindawati, N., & Heryati, Y. (2006). Review silvikultur hutan tanaman. Bogor:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman.
Herawati, T. (2005). Kondisi Pengelolaan Lak di Indonesia dan Peluang Pengembangannya di
Nusa Tenggara Timur. Info Hutan, II(3), 231-237.
Hiebert RD, Stubbendieck J. (1993). Handbook for Ranking Exotic Plants for Management
and Control.Natural Resources Report 93/08. Washington, DC: US Department of the
Interior, National Park Service.
Hobbs RJ, Kristjanson LJ. (2003). Triage: how do we prioritize health care for landscapes?
Ecological Management and Restoration4, 539–535.
Hughes NK, Burley AL, King SA, Downey PO. (2009).Monitoring manual: for bitou bush control
and native plant recovery. Sydney, Australia: Department of Environment, Climate
Change and Water.
Husaeni, E. 2001. Hama hutan tanaman. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.
IAGFRA. (1985). Techniques in seed production: A simplified guide. Philippines: Inter Agency
for Forestry Research Aplication.
Indrawan, A. (2008). Sejarah perkembangan sistem silvikultur di Indonesia. Prosiding Lokakarya
Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur pada Pengusahaan Hutan Produksi dalam
Rangka Peningkatan Produktivitas dan Pemantapan Kawasan Hutan. Bogor: Kerjasama
antara Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dengan DirektoratJenderal Bina
Produksi Kehutanan, Departemen Kehutanan.
Indrawan, A. (2010). Konsep dan filosofi multisistem silvikultur. Dipresentasikan pada
Workshop Multisistem Silvikultur: Optimasi Pemanfaatan Kawasan Hutan Produksi
Melalui Multisistem Silvikultur. Pontianak: Kerjasama antara Balai Besar Penelitian
Dipterocarpa dengan Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah X.
Indrawan, A. (2013). Kebijakan pengelolaan ekosistem hutan produksi lestari di Indonesia
berdasarkan multisistem silvikultur. Paper pada Seminar Nasional Silvikultur. Makasar:
Fakultas Kehutanan Universitas Hasanudin.
Indrawan, A. (2013). Pengelolaan ekosistem hutan produksi lestari di Indonesia dengan
penerapan multisistem silvikultur. In D. Suharjito, & H. R. Putro, Pembangunan
kehutanan indonesia baru: Refleksi dan inovasi pemikiran.Bogor: IPB Press.
Indriyanto. (2006). Ekologi Hutan. Jakarta: Bumi Aksara.
International Seed Testing Association (ISTA). (2010). International rules for seed testing (2006
ed.). Bassersdorf, Switzerland: The International Seed Testing Association.
Jasni, & Sumarni, G. (1990). Pengaruh kelembaban terhadap pertumbuhan larva
Heterobostrychus aequalis Wat dan komunitas bubuk kayu kering. Konggres I
Himpunan Perlindungan Tanaman Indonesia.
Jasni, & Sumarni, G. (2011). Pencegahan bubuk kayu kering (Heterobostrychus aequalis Wat.)
pada kayu karet dengan bahan pengawet sipemetrin dan bifentrin. Dalam Prosiding
Seminar Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia, XIV. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Jasni, Krisdianto, & Ozarska, B. (2013). Beberapa jenis serangga yang menyerang kayu di
industri mebel Jepara. Forpro, 2(2), 36-39.
Joker, D. (2001). Acacia auriculiformis Cunn. Ex Benth. Informasi singkat benih (8).
Joker, D. (2001a). Senna siamea (Lam.) Irwin et Barneby. Informasi singkat benih (11).
Joker, D. (2006). Calophyllum inophyllum L. Informasi singkat benih (64).
Jupp P, Warren P, Secomb N. (2002). The branched broomrape eradication program:
methodologies, problems encountered and lessons learnt. In: Spafford Jacob H,
Dodd J, Moore JH,editors. Thirteenth Australian Weeds Conference Proceedings, 8–13
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 255
Pengelolaan Hutan
September. Plant Protection Society of Western Australia (p. 270-273). Perth, Australia.
Justice, O. L., & Bass, L. N. (1978). Principles and practices of seed storage. Washington D.C.:
V.S. Government Printing Office.
Kalshoven, L. G. E. (1960). Biological notes on the Cryptotermes species of Indonesia. Acta
Tropica, 17(3), 263–272.
Kamra, S. K. (1985). Situation pertaining to forestry seed in some developing countries in asia
and measures for improvement in “Seed Problem”. Proceeding of the International
Symposium on Seed Problem under Stressful Condition (pp. 228-236). Vienna and
Gmunden, Austria: International Union of Forest Research Organization.
Kaomini, & Andadari, L. (2009). Teknologi peningkatan produktivitas dan kualitas produk ulat
sutera: Sintesis hasil penelitian. Bogor: Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi.
Kaomini, M. (2002). Pedoman teknis pemeliharaan ulat sutera. Bandung: Samba Project.
Kartiko, H. D. (1997). Pengawasan terhadap mutu benih yang diperdagangkan. Tekno Benih,
II(1).
Kartiko, H. D. (2001). Pengumpulan dan pengolahan lepas panen benih tanaman hutan. Tekno
Benih, VI(1).
Kasmudjo. (2011). Hasil hutan non kayu, suatu pengantar: klasifikasi, potensi, pemungutan,
pengolahan, kualitas dan kegunaan. Cakrawala Media.
Kato H, Hata K, Yamamoto H, Yoshioka T. (2006). Effectiveness of the weed risk assessment
system for the Bonin Islands. In: Koike F, Clout MN, Kawamichi M, De Poorter M,
Iwatsuki K, editors. Assessment and Control of Biological Invasion Risk (65–72).
Shoukadoh Book Kyoto, Japan : Sellers and IUCN.
Kementerian Kehutanan (2013a). Peraturan Menteri Kehutanan No.: P.42/Menhut-II/2013,
tentang Perubahan ketiga atas Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-
II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak. Jakarta:
Kementerian Kehutanan.
Kementerian Kehutanan. (1978). Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978 tentang Mengesahkan
Convention on International Trade In Endangered Species of Wild Fauna and Flora.
Jakarta: Kementerian Kehutanan.
Kementerian Kehutanan. (1994). Peraturan Pemerintah No. 13 tahun 1994 tentang Perburuan
Satwa Buru. Jakarta: Kementerian Kehutanan.
Kementerian Kehutanan. (1999). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwaliar. Jakarta: Kementerian
Kehutanan
Kementerian Kehutanan. (2003). Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 355/Kpts/2003
tentang Penandaan Spesiemen Tumbuhan dan Satwaliar. Jakarta: Kementerian
Kehutanan.
Kementerian Kehutanan. (2005). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2005
tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwaliar. Jakarta: Kementerian Kehutanan.
Kementerian Kehutanan. (2008). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.57/Menhut-
II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008-2018. Jakarta:
Kementerian Kehutanan.
Kementerian Kehutanan. (2011). Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. 12/
Menhut-II/2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
Jakarta: Kementerian Kehutanan.
Kementerian Kehutanan. (2011a). Peraturan Menteri Kehutanan No.: P.68/Menhut-II/2011,
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009
256 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak. Jakarta:
Kementerian Kehutanan.
Kementerian Kehutanan. (2012). Peraturan Menteri Kehutanan No.: P.45/Menhut-II/2012,
tentang Perubahan kedua atas Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-
II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Peme. Jakarta: Kementerian Kehutana.
Kementerian Kehutanan. (2012a). Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:
P.31/Menhut-II/2012 Tentang Lembaga Konservasi. Jakarta: Kementerian Kehutanan.
Kementerian Kehutanan. (2012c). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.40/MenHut-II/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.52/Menhut-Ii/2006 tentang Peragaan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi.
Jakarta: Kementerian Kehutanan.
Kementerian Kehutanan. (2013). Peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan hutan
lindung. Jakarta: Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung, Kementerian
Kehutanan.
Kementerian Kehutanan. (2013f). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.63/MENHUT-II/2013
tentang Tata Cara Memperoleh Spesimen Tumbuhan dan Satwaliar untuk Lembaga
Konservasi. Jakarta: Kementerian Kehutanan.
Kementerian Kehutanan. (2013g). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.69/Menhut-II/2013
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 19/Menhut-II/2005
tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwaliar. Jakarta: Kementerian Kehutanan.
Kementerian Kehutanan. (2013h). Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.60/
Menhut-II/2013 tentang PerencanaanPengelolaan Daerah Aliran Sungai.Jakarta:
Kementerian Kehutanan
Kementerian Kehutanan. (2014). Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.1/
Menhut-II/2014 tentang Pelimpahan Sebagian Urusan Pemerintah Bidang Kehutanan.
Jakarta: Kementerian Kehutanan.
Kementerian Kehutanan. (2014a). Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.17/
Menhut-II/2014 tentang Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan DAS. Jakarta:
Kementerian Kehutanan
Kementerian Kehutanan. (2014b). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.53/MENHUT-
II/2014 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Satwaliar.
Jakarta: Kementerian Kehutanan.
Kementerian Kehutanan. (2014c). Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.60/
Menhut-II/2014 tentang Kriteria Penetapan Klasifikasi DAS. Jakarta: Kementerian
Kehutanan.
Kementerian Kehutanan. (2014d). Peraturan Menteri Kehutanan No. P.61/Menhut-
II/2014 tentang Monitoirng dan Evaluasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Jakarta:
Kementerian Kehutanan.
Kementerian Kehutanan. (2014e). Peraturan Menteri Kehutanan No. P.67/Menhut-II/2014
tentang Sistem Informasi Pengelolaan DAS. Jakarta: Kementerian Kehutanan.
Kementerian Kehutanan. (2014f). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.83/MENHUT-II/2014
tentang Peminjaman Jenis Satwa Liar Dilindungi Ke Luar Negri Untuk Kepentingan
Pengembangbiakan (Breeding Loan). Jakarta: Kementerian Kehutanan.
Kementerian Kehutanan. (2015). Keputusan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam
dan Ekosistem Nomor 180 tahun 2015 tentang Penetapan 25Satwa Terancam Punah
Prioritas untuk Ditingkatkan Populasinya Sebesar 10% pada Tahun 2015-2019. Jakarta:
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 257
Pengelolaan Hutan
Kementerian Kehutanan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2018e). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan RI Nomor P.106/MENLHK/Setjen/Kum.1/12/2018 Tahun 2018 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.20/ MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi.
Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2017). Peraturan Dirjen KSDAE Nomor
P.4/KSDAE/SET.KUM.1/9/2017 tentang Pedoman Tata Cara Pembuatan Buku Induk
(Studybook) dan Buku Catatan Harian (Logbook) Penangkaran Tumbuhan dan
Satwaliar. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2018a). Peraturan Dirjen KSDAE Nomor P.13/
KSDAE/SET/Ren.0/12/2018 tentang Sistem Informasi dan Data Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2018b). Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Nomor P.2/MenLHK/SETJEN/KUM.1/1/2018 tentang Akses pada
Sumber Daya Genetik Spesies Liar dan Pembagian Keuntungan atas Pemanfataannya.
Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2018c). Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Nomor P.20 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa
Dilindungi. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2018d). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan RI Nomor P.92 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018
tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Jakarta: Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2019). Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Nomor. SK 308/MENLHK/KSDAE/KSA.2/4/2019 tentang Strategi dan
Rencana Aksi Konservasi Orang Utan Indonesia 2019-2029. Jakarta: Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2019a). Kumpulan peraturan teknis
pemungutan dan penatausahaan HHBK di hutan lindung. Jakarta: Direktorat Kesatuan
Pengelolaan Hutan Lindung, KLHK.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2019b). Peraturan teknis pengelolaan wisata
alam di hutan lindung dan hutan produksi. Jakarta: Direktorat Kesatuan Pengelolaan
Hutan Lindung, KLHK.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2019c). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Nomor P.20/MenLHK/Setjen/Kum.1/4/2019 tentang Spesifikasi Teknis
Kandang Transpor dan Kandang Transit Satwaliar. Jakarta: Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2020). Kontribusi Indonesia dalam
Pencapaian Target Keanekaragaman Hayati Global. Siaran Pers PPID Nomor: SP.413/
HUMAS/PP/HMS.3/9/2020.
Kementerian Lingkungan Hidup. (2012b). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 3 tahun
2012 tentang Taman Keanekaragaman Hayati. Jakarta: Kementerian Lingkungan
Hidup.
Kementerian Perdagangan. (2012). Peraturan Menteri Perdagangan No.20/M-DAG/
PER/5/2008 Direvisi Menjadi Permendag No. 64/M-DAG/PER/10/2012, tentang
258 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
Kuswanto, E., Ahmad, I., & Dungani, R. (2015). Threat of subterranean termites attack in the
asian countries and their control: A review. Asian Journal of Applied Sciences, 8(4),
227–239. https://doi.org/10.3923/ajaps.2015.227.239
Labrada, R. (2011). The need for Weed Risk Assessment. Lecture note. Training Course on
Invasive Alien Plant Species Management. Bogor: SEAMEO BIOTROP.
Lahiya A, A. (1983). Beberapa tanaman yang berguna untuk tanah-tanah yang kesuburannya
terbatas: Budidaya tanaman lontar dan siwalan di beberapa daerah tertentu di
Indonesia (Vol. II). Bandung.
Lauridsen, E. B. (1992). Seed source management. Lecture Note. Danida Forest Seed Centre.
Leksono, B. (2001). Teknik pembangunan kebun benih semai uji keturunan generasi kedua.
Wana Benih, IV(1).
Leksono, B. (2003). Teknik penunjukan dan pembangunan sumber benih. Informasi teknis,
1(1).
Leksono, B., Kurinobu, & Ide, Y. (2011). A breeding strategy for the tropical Eucalyptus: Findings
and lessons acquired from the multi-generation tree breeding of Eucalyptus pellita in
Indonesia. Germany: LAP Lambert Academic Publishing GmbH & Co.KG.
Lelana, N. E., Barly, & Ismanto, A. (2011). Toksisitas bahan pengawet boron-kromium terhadap
serangga dan jamur pelapuk kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 29(2), 142–154.
Ludwig, J. A., & J. F. Reynolds. (1988). Statistical Ecology. 2nd ed. London: Edward Arnold
(Publisher) Co. Ltd.
Luhan, G., Damiri, M., Gustaf, J. F., & Lambung, M. (2017). Efektivitas microcide 100/100 ec
terhadap serangan jamur biru pada kayu karet (Hevea brasiliensis Muell.Arg.). Jurnal
Hutan Tropika, XII(2), 32–38.
Mack RN, Lonsdale WM. (2002). Eradicating invasive plants: hard-won lessons for islands.
In: Veitch CR, Clout MN, editors. Turning the Tide: Eradication of Invasive Species(p.
164–72). Gland, Switzerland : IUCN.
Mairi, K. (2005). Strategi pemberdayaan masyarakat dalam upaya rehabilitasi hutan dan
lahan. Makassar: Balai Litbang Teknologi Pengelolaan DAS Indonesia bagian Timur.
Martawijaya, A. (1996). Keawetan kayu dan faktor yang mempengaruhinya. Bogor, Indonesia:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan.
Martono, D. (2012). Teknik pembuatan dekstrin secara enximatis dari tepung buah sukun.
Seminar Hasil-hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan
Hasil Hutan. Bogor: Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan.
Marzalina, M., Baskara, K., & Yap, S. K. (1993). Collection seed of tropical rain forest tree:
Problem and solution. In R. M. Drydale, & et al (Ed.), Proceedings International
Symposium on Genetic Conservation and Production of Tropical Forest Tree Seed.
Thailand: ASEAN-Canada Forest Tree Seed Centre Project.
Mathenson, A. C. (1990). Breeding strategies for MPTS tree improvement of multiporpose
species. Winrock International.
Meher, L. C., Sagar, D. V., & Naik, S. N. (2006). Technical aspects of biodiesel production by
transestrification-a Review. Renew Sustain Energy Reviews, 10(3), 248-268.
Milner, R. J., & Staples, J. A. (1996). Biological control of termites: Results and experiences
within a CSIRO-project in Australia. Biocontrol Science and Technology, 6, 3–9.
Mindawati, N., & Heryati, Y. (2006, Mei). Pengaruh frekuensi pemeliharaan tanaman muda
terhadap pertumbuhan meranti di lapangan. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 3(2).
Mindawati, N., & Kosasih, A. S. (2012). Strategi pemilihan jenis dan budidaya hutan tanaman
penghasil kayu untuk pengembangan hutan rakyat. Gelar teknologi peningkatan
produktivitas hutan rakyat. Bogor: PUSPROHUT.
260 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
Mindawati, N., & Subiakto, A. (2003). Perbanyakan bibit tanaman hutan untuk gerhan.
Prosiding ekspose penerapan hasil litbang. Bogor: Pusat Litbang Hutan dan Konservasi
Alam.
Mindawati, N., Kosasih, A. S., & Heryati, Y. (2005). Pemilihan jenis pohon untuk hutan tanaman
campuran dalam rangka kegiatan rehabilitasi lahan didataran tinggi Cikole, Jawa Barat.
Info Hutan, II(3).
Mindawati, Nina. (2019). Teknik Silvikultur Ramah Lingkungan dalam merehabilitasi lahan
terdegradasi. Bunga rampai. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Mueller-Dumbois, D., & H. Ellenberg. (1974). Aims and Methode of Vegetation Ecology. John
Willey and Sons. New York, London, Sydney, Toronto.
Mursidin, et al. (1997). 35 tahun penghijauan di Indonesia. Jakarta: Presidium Kelompok
Pelestari Sumberdaya Alam, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan
Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Departemen
Dalam Negeri.
Muslich, M., & Hadjib, N. (2008). The possibility of using timber from plantation forest treated
with plastic and CCB for marine onstruction. Indonesian Journal of Forestry Research,
5(1), 65–72. https://doi.org/10.20886/ijfr.2008.5.1.65-72
Muslich, M., & Rulliaty, S. (2010). Durabilty of 25 local specific wood species from Java
preserved with CCB against marine borers attack. Indonesian Journal of Forestry
Research, 7(2), 144–154. https://doi.org/10.20886/ijfr.2010.7.2.144-154
Muslich, M., & Rulliaty, S. (2014). Ketahanan bambu petung (Dendrocalamus asper backer )
serangan penggerek di laut. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 32(3), 199–208.
Musriati, Najamudin, Hartati, R. A., & Arianto, D. (2004). Elmerrillia ovalis (Miq.) Dandy.
Informasi Singkat Benih(42).
Myers JH, Simberloff D, Kuris AM, Carey JR. (2000). Eradication revisited: dealing with exotic
species. Trends in Ecology and Evolution15, 316–320.
Namkoong, G., Barnes, R. D., & Burley, J. ( 1980). A phylosophy of breeding strategy for tropical
forest trees. England: Unit of Tropical Silviculture Commonwealth Forestry Institute,
University of Oxford.
Nasi, R. (1994). Planting sandalwood, the New Caledonian eksperience. In: Sandalwood
seed nursery and technology. Proceeding of regional workshop for Fasific island
countries,1-11 August. Neumea, New Caledonia.
National Invasive Species Council 2005. Guidelines for Ranking Invasive Species Control
Projects. Version 1. Washington, DC: National Invasive Species Council.
Nawir, A. A., Murniati, & Rumboko, L. (2008). Rehabilitasi hutan di Indonesia: Akan kemanakah
arahnya setelah lebih dari tiga dasawarsa? Bogor: Center for International Forestry
Research.
Nikles, G. (1970). Breeding for growth and yield. Unasylva(24), 9-12.
Noerdjito, W. A., & Amir, M. (1986). Kumbang penggerek pada beberapa jenis kayu
leguminosae. Berita Biologi, 3(4), 159–162.
Nurhasybi, Danu, Sudradjat, D. S., & Djam’an, D. F. (2003). Kajian komprehensif benih tanaman
hutan jenis-jenis Dipterocarpaceae. Publikasi Khusus, 32(4).
Nurhasybi. (1996). Penanganan benih mahoni (Swietenia macrophylla King). Tekno Benih, I(2).
Owen SJ. 1999. Department of Conservation Strategic Plan for Managing Invasive Weeds.
Wellington, New Zealand: Department of Conservation.
Paimin, Pramono, I. B., Purwanto, & Indrawati, D. R. (2012). Sistem perencanaan pengelolaan
daerah aliran sungai. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan
Rehabilitasi.
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 261
Pengelolaan Hutan
Panetta FD. 2009. Weed eradication – an economic perspective. Invasive Plant Science and
Management2, 360–368.
Panetta, F. D. (1993). A system of assessing proposed plant introductions for weed potential.
Plant Protection Quarterly 8, 10–14.
Parker IM.et al. (1999). Impact: towards a framework for understanding the ecological effects
of invaders. Biological Invasions1, 3–19.
Parkes JP, Panetta FD. (2009). Eradication of invasive species: progress and emerging issues in
the 21st century. In: Clout MN, Williams PA, editors. Invasive Species Management (p.
47–60). London, UK: Oxford University Press.
Perhutani. (2012). Buku Rancangan KPH Mandiri. Jawa Tengah: KPH Randublatung.
Perkins, P. E. E. (2011). Public participation in watershed management : International
practices for inclusiveness q. 36, 204–212. https://doi.org/10.1016/j.pce.2010.02.004
Perrings C. Mitigation and adaptation strategies for the control of biological invasions. (2005).
Ecological Economics52, 315–325.
Pheloung PC, Williams PA, Halloy SR. (1999). A weed risk assessment model for use as a
biosecurity tool evaluating plant introductions. Journal of Environmental Management;
57, 239–51.
Platt S, Adair R, White M, Sinclair S. (2005) Regional priority-setting for weed management on
public land in Victoria. In: Second Victorian Weeds Conference, Bendigo. Weed Society
of Victoria. R.G. and F.J. Richardson, Melbourne, Australia p. 89–98.
Ponoy, B. (1994). Interim seed production, individual tree, seed stand and seed production
area. Muak Leak, Saraburi, Thailand: Asean Forest Tree Seed Centre.
Potter, M. F. (2020). Powderpost beetles. Lexington: University of Kentucky College of
Agriculture.
Pracaya. (2008). Hama dan Penyakit Tanaman(edisi revisi). Jakarta: Penerbit Swadaya.
Praharasari, A. N. (2005). Dysoxylum parasiticum (Osbeck) Kosterm . Informasi singkat
benih(47).
Pramono, I. B., & Wahyuningrum, N. (2010). Luas optimal hutan jati sebagai pengatur tata air
di DAS berbahan induk kapur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 7(5).
Pramono, I. B., Adi, N. A., & Supangat, A. B. (2008). Variasi luas hutan pinus dan pengeruhnya
terhadap debit puncak dan konsentrasi sedimen terlarut aliran sungai: Studi
pendahuluan di Sub DAS Kedungbulus, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Prosiding
workshop sintesa hasil penelitian hutan tanaman, 19 Desember. Bogor: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman.
Pratiwi (2000). Jenis-jenis pohon andalan setempat di pulau Jawa dan Sumatera bagian
selatan. sebaran dan beberapa data dasarnya. Info Hutan, 123.
Pratiwi, Narendra, B. H., Hartoyo, G. M. E., Kalima, T., & Pradjadinata, S. (2014). Atlas Jenis-
jenis Pohon Andalan Setempat untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Indonesia.
Forda Press. 81 p.
Pratiwi. (2006). Rehabilitasi Lahan Kritis di Wilayah Nusa Tenggara Timur. Prosiding Sosialisasi
Hasil Litbang Kepada Pengguna. Bogor: Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam.
Pratiwi., Narendra, B.H. dan Wardhani, M. (2020). Pemilihan jenis-jenis pohon untuk konservasi
tanah dan air dalam rangka pemulihan fungsi DAS. Dalam: Pratiwi, Narendra, B.H
dan Pamungkas, A.G. Bunga Rampai. Dukungan IPTEK Rehabilitasi Hutan dan Lahan
dalam Pemulihan Fungsi Daerah Aliran Sungai.
Prosea. (1997). Scleichera oleosa (Lour) Oken. Auxiliary Plants.Plant Resources of South-East
Asia, No. 11. Bogor: Prosea.
PT. Capricorn Indonesia Consult. ( 1988). A Study on the prospects on the rattan industry and
262 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
Salazar, R., & Joker, D. (2001). Ceiba pentandra (L.) Gaertn. Informasi Singkat Benih (9).
Sari, N., & Karmilasanti, K. (2015). Kajian Tempat Tumbuh Jenis Shorea Smithiana, S. Johorensis
dan S. Leprosula di PT ITCI Hutani Manunggal, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian
Ekosistem Dipterokarpa, 1(1), 15–28. https://doi.org/https://doi.org/10.20886/
jped.2015.1.1.15-28
Sari, N., & Maharani, R. (2016). Asosiasi Jenis Ulin (Eusyderoxilon zwageri) Dengan Jenis Pohon
Dominan di Kawasan Konservasi Sangkima, Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur.
Penelitian Ekosistem Dipterokarpa, 2, 8. https://doi.org/https://doi.org/10.20886/
jped.2016.2.2.83-94
Sari, N., Karmilasanti, & Handayani, R. (2013). Kondisi tempat tumbuh tegakan alam jenis
shorea leprosula, shorea smithiana dan shorea johorensis. Restorasi Ekosistem
Dipterokarpa Dalam Rangka Peningkatan Produktivitas Hutan. Samarinda: Balai
Besar Penelitian Dipterokarpa.
Sastrapraja, S., Mogea, J. P., Sangat, H. M., & Afriastni, J. J. (1980). Palem Indonesia. Jakarta :
Lembaga Nasional LIPI - Balai Pustaka.
Sastrohamidjojo, H. (2004). Kimia minyak atsiri. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sastroutomo,S.S. and Sri.S.Tjitrosoedirdjo. (2011). Risk Assessment of Indonesian Invasive
Plant Species. Proceedings of Regional Symposium & Workshop on the Management
of Invasive Alien Plant Species, Bogor 24 – 24 October.
Savitri E dan Pramono IB. (2017). Reklasifikasi peta penutupan lahan untuk meningkatkan
akurasi kerentanan lahan. Jurnal Wilayah danLingkungan 5 (2): 83-94.
Scheffrahn, R. H. (2018). Termites (Isoptera). In J. L. Capinera (Ed.), Encyclopedia of Entomology.
Dordrecht: Springer. https://doi.org/10.1007/978-1-4020-6359-6_2400
Scheffrahn, R. H., Su, N. Y., Krecek, J., Van Liempt, A., Maharajh, B., & Wheeler, G. S. (1998).
Prevention of colony foundation by Cryptotermes brevis and remedial control of
drywood termites (Isoptera: Kalotermitidae) with selected chemical treatments.
Journal of Economic Entomology, 91(6), 1387–1396. https://doi.org/10.1093/
jee/91.6.1387
Schmidt, L. (2002). Pedoman penanganan benih tanaman hutan tropis dan sub tropis. Jakarta:
Ditjen RLPS dan Indonesia Forest Seed Project (IFSP).
Scott, J. K. and Panetta, F. D. (1993). Predicting the Australian weed status of southern African
plants. Journal of Biogeography 20, 87–93.
Sebastian, L. (2008). Pendekatan pencegahan dan penanggulangan banjir. Dinamika Teknik
Sipil, 8(2): 162-169.
Semangun, H. (1996). Pengantar ilmu penyakit tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Setiawan, A. I. (1995). Penghijauan lahan kritis. Jakarta: Penebar Swadaya.
Sila, M dan Sitti Nuraeni. (2009). Buku ajar perlindungan dan pengamanan hutan. Makassar :
Laboratorium Perlindungan dan Serangga Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas
Hasanudin.
Simberloff D.2003. How much information on population biology is needed to manage
introduced species? Conservation Biology17:83–92.
Simon, H. (1995). Strategi pengembangan pengelolaan hutan rakyat. Direktorat Jenderal
Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Jakarta: Departemen Kehutanan.
Singh, A. K. (2008). Development of heterogenously catalyzed chemical process to produce
biodiesel. Desertasi. Missisipi: Missisipi State University.
Soekotjo, Subiakto, A., & Warsito, S. (2005). Project completion report ITTO. PD 41. Yogyakarta:
Faculty of Forestry of Gajah Mada University.
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 265
Pengelolaan Hutan
Soekotjo. (2009). Teknik silvikultur intensif. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Soemitro, A. (2004). Prospek investasi dan analisis finansial ekonomi hutan tanaman.
Dalam: Hardiyanto, E.B., & Arisman, H. (2004). Pembangunan hutan tanaman Acacia
mangium pengalaman di PT Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan. Palembang: PT.
Musi Hutan Persada.
Soepardi, G. (1992). Kesuburan tanah. Bogor: Program studi ilmu tanah Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor.
Soeratmo, F.G. (1979). Ilmu perlindungan hutan. Bogor: Bagian Perlindungan Hutan Fahutan
IPB.
Soerjani, M. (19770. Weed Management and Weed Science Development in Indonesia.
Proceedings of Sixth Asian Pacific Weed Science Conference , Jakarta, Indonesia, 11-17
July 1977.
Soeseno, S. (1993). Bertanam aren. Jakarta: Penebar Swadaya.
Standards Australia and Standards New Zealand. (2006). National Post-border Weed Risk
Management Protocol. HB 294. Australia: Standards Australia, Standards New Zealand,
and Cooperative Research Centre for Australian Weed Management.
Staples, G. W., & Elevitch, C. R. (2006). Samanea saman, ver 2.I. Species Profiles for Pacific
Island Agroforestry., Holualoa, Hawai. (C. R. Elevitch, Ed.) Retrieved April 16, 2013,
from (http://www.traditionaltree.org.
Subarudi, et.al. (2015). Sintesis penelitian integratif: Pengembangan hutan kota pada lanskap
perkotaan. (cet.2). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi,
Kebijakan dan Perubahan Iklim.
Sudimaryono, Daris, E. N., Budi, A., & Arianto, D. (2004). Eusideroxylon zwageri Teijsm. &
Binnend. Informasi Singkat Benih(43).
Sudirman, D., Massiri, & Yusron. (2007). Peningkatan perkecambahan benih lontar yang diberi
perlakuan fisika dan kimia. Palu: Lembaga Penelitian Universitas Tadulako.
Suhartati, & Rahmayanti, S. (2013). Evaluasi pertumbuhan asal sumber benih Acacia mangium
dan Eucalyptus pellita di Kalimantan Selatan. Tekno Hutan Tanaman, 6(2), 47-54.
Suhendang, E. (2013). Perkembangan paradigma kehutanan. In D. Suharjito, & H. R. Putro,
Pembangunan kehutanan indonesia baru: refleksi dan inovasi pemikiran. Bogor: IPB
Press.
Sujatmiko, S. (2005). Teknik Budidaya Kutu Lak dan Prospek Pengembangannya di Nusa
Tenggara Timur. Prosiding Gelar Teknologi dan Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan
Bali dan Nusa Tenggara, Ende, 30 November (pp. 77 - 85). Kupang: Balai Penelitian
Kehutanan Kupang.
Sukartana, P. (1988). Serangan kumbang ambrosia Platypus trepanatus pada dolok ramin.
Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 5(2), 68–70.
Sukartana, P., Martawijaya, A., & Martono, D. (1989). Respons kumbang ambrosia terhadap
perlakuan dengan pestisida. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 6(1), 12–17.
Sulistiyani, A. T. (2004). Kemitraan dan model-model pemberdayaan. Yogyakarta: Gava Media.
Sumarna, Y. (2009). Budidaya gaharu dan rekayasa produksi. Jakarta: Penerbit Swadaya.
Sumirat, F. Y. (2009). Casuarina junghuhniana Miq. . Informasi singkat benih (93).
Sunarti, R., & Isdijoso, S. H. (1983). Siwalan tanaman serba guna. Warta Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Suprapti, S., & Krisdiyanto. (2006). Ketahanan empat jenis kayu hutan tanaman terhadap
beberapa jamur perusak kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 24(4), 267–274.
Suprapti, S., Djarwanto, & Hudiansyah. (2007). Ketahanan lima jenis kayu terhadap tigabelas
266 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pengelolaan Hutan
Wibowo, S. (2006). Rehabilitasi hutan pasca operasi illegal logging. Jakarta: Wana Aksara.
Widiarti, A., & Mindawati, N. (2007). Dasar pemilihan jenis pohon hutan rakyat. Prosiding
gelar teknologi pemanfaatan IPTEK, Purworejo, 30-31 Oktober (pp. 217-236). Bogor:
Pusat Litbang Hutan Tanaman.
Widyastuti, SM., Sumardi dan Harjono. (2005). Patologi Hutan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Wiliam, R. L. (1985). A guide to forest seed handling. Roma: FAO.
Williams PA. (2003).Proposed guidelines for weed-risk assessment in developing countries.
In: Labrada R, editor. Expert Consultation on Weed Risk Assessment. Rome, Italy: Food
and Agricultural Organisation of the United Nations. Retrievel from ftp://ftp.fao.org/
docrep/fao/009/y5885e/y5885e00.pdf.
Williamson, M. (1993). Invaders, weeds and the risk from genetically manipulated organisms.
Experientia 49, 219–224.
Williamson, M. and Fitter, A. (1996). The characteristics of successful invaders. Biological
Conservation 78, 163–170.
Winrock International. (1992). Assessment of Animal Agriculture in Sub-Saharan Africa.
Winrock International Institute for Agricultural Development, Morrilton.
Wolter, P. (2017). Watershed management in action: Lessons learned from FAO field project
Woodrow, R. J., & Grace, J. K. (1998). Laboratory Evaluation of High Temperatures to Control
Cryptotermes brevis (Isoptera: Kalotermitidae). Journal of Economic Entomology,
91(4), 905–909. https://doi.org/10.1093/jee/91.4.905
Wright, J. W. (1976). Introduction to forest genetics. New York, San Fransisco, London:
Academic Press Inc.
Yudistira, I. (2004). Pengorganisasian data riap diameter jenis-jenis famili Dipterocarpaceae
di Indonesia. Skripsi Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor:
Fakultas Kehutanan IPB. Tidak diterbitkan.
Yuniarti, N., & Djam’an, D. F. (2011). Panggal buaya (Zanthoxyllum rhetsa (Roxburgh) DC.). Seri
Teknologi perbenihan tanaman hutan.
Yuniarti, N., Syamsuwida, D., Sudrajat, Zanzibar, M., Djam’an, D. F., Muharam, A., et al. (2002).
Teknik penanganan benih orthodoks jenis AYU (2 Jenis) : Kenari dan Kourbaril. Laporan
Hasil Penelitian No. 359. Bogor: Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor.
Yuwati, T.W. (2019). Bioprospeksi mikoriza arbuskula asli gambut sebagai pupuk hayati. Dalam
Bunga rampai pengelolaan lingkungan kehati untuk pemanfaatan berkelanjutan.
Bogor: IPB Press.
Zanzibar, M. (2010). Peningkatan mutu fisiologis benih suren dengan cara priming. Jurnal
Standardisasi, 12(1), 1-6.
Zanzibar, M., & Siregar, I. Z. (1991). Penentuan tingkat kemasakan, kondisi ruang simpan dan
periode simpan benih Cendana (Santalum album). Laporan Uji Coba No. 99. Bogor:
Balai Teknologi Perbenihan.
Zobel, B. J., & Talber, J. T. (1984). Applied forest tree improvement. Canada: John Wiley & Sons
Inc.
Zobel, B. J., Van-Wyk, G., & Stahl, P. (1987). Growing exotic forests. Canada: John Wiley & Sons
Inc.
Zulkarnain. (2013). Analisis penetapan kriteria kawasan hutan. Jurnal AGRIFOR, 12(2).
Penampang Melintang Makroskopis
Alangium kurzii (Kayu Melaku)
Laboratorium Anatomi Kayu, P3HH
BAB V
TEKNOLOGI
DAN INDUSTRI AIKO-KLHK
Alat Identifikasi Kayu Otomatis
A. Keteknikan dan Pemanenan Hasil Hutan keterlibatan peralatan, tenaga kerja dan
dana yang diperlukan; (6) memberi arahan
A.1. Pengertian penjadwalan kegiatan; dan (7) memberi
gambaran tentang perkiraan keuntungan
Keteknikan hutan adalah aplikasi teknologi
yang mungkin bisa diperoleh.
keteknikan ke dalam suatu sistem
vegetasi, tanah, air dan kehidupan liar Rencana operasional pemanenan
untuk menjamin pemanfaatan hutan yang kayu (ROPK) disusun berdasarkan
sepenuhnya bagi manusia. Keteknikan hasil inventarisasi tegakan sebelum
hutan mencakup pemanenan kayu, penebangan (ITSP). Kegiatan inventarisasi
ergonomi dan pembukaan wilayah hutan. yang akurat sangat penting bagi rencana
Melalui penerapan keteknikan hutan yang pemanenan kayu yang secara langsung
tepat diharapkan bisa diperoleh hasil kayu akan berpengaruh terhadap efektivitas
yang berkualitas dan kuantitas tinggi, tepat capaian perolehan volume produksi kayu
waktu, efektif dan efisien. bulat. Hasil ITSP yang dituangkan menjadi
laporan hasil cruising (LHC) sering dijumpai
Pemanenan hasil hutan, selanjutnya
berbeda dengan laporan hasil produksi
disebut pemanenan kayu merupakan
(LHP) kayu bulat. Ada banyak faktor
kegiatan mengubah pohon di hutan untuk
yang mempengaruhi akurasi LHC, selain
dimanfaatkan menjadi kayu bundar yang
keterampilan tenaga pengenal pohon
siap untuk dipasarkan melalui tahap
(timber cruiser), bentuk dan ukuran pohon,
kegiatan penebangan, penyaradan, muat
kondisi topografi, kerapatan tegakan juga
bongkar dan pengangkutan kayu.
alat ukur diameter pohon yang digunakan,
A.2. Keteknikan Hutan serta ketiadaan alat untuk mendeksi pohon
berlubang.
a. Rencana Pemanenan Kayu
Selama ini, phi-ban digunakan sebagai alat
Tujuan perencanaan pemanenan kayu ukur diameter pohon, namun di lapangan
yaitu (1) memberikan arahan berapa menuntut cara pengukuran yang hati-hati
banyak kayu dapat dipanen secara dan cermat, akibat kesulitan khususnya
berkelanjutan; (2) memberikan arahan untuk pohon berdiameter besar (ø ≥ 50 cm)
tentang metode/sistem pemanenan kayu dan berbanir tinggi (≥ 1,8 m). Pada kondisi
yang tepat; (3) memilih peralatan yang pohon dan topografi yang ekstrim, malah
cocok untuk digunakan; (4) memberikan diperlukan lebih dari 2 orang, sehingga
arahan pelaksanaan pemanenan yang waktu ukur relatif lebih lama.
menjamin keselamatan pekerja dan
lingkungan; (5) memberi gambaran tentang Untuk mendeteksi pohon berlubang,
volume pekerjaan yang akan dilaksanakan cara konvensional dilakukan dengan cara
pada tahun rencana, serta gambaran memukul-mukul pohon menggunakan
parang, namun akurasinya tidak dapat
270 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
A B
Gambar 5.1. A=Alat Ukur Diameter Pohon Wesyano; B=Pengukuran Diameter dengan Wesyano
Gambar 1. A = Alat ukur diameter pohon Wesyano; B = Pengukuran
diameter denganKotak 5.1.Wesyano
Bahan Wesyano-Alat Ukur Diameter Pohon
kegiatan pengukuran pohon-pohon besar 0,978 terhadap pita ukur baik untuk satu
di hutan alam. Hal ini karena Wesyano kali pengukuran maupun untuk dua kali
mampu mengukur diameter pohon besar pengukuran (r= 0,982).
berbanir tinggi sampai tinggi 2,5 m di atas
tanah. Pengukuran juga lebih praktis dan Tidak ada perbedaan signifikan antara
cepat karena tidak perlu memeluk pohon pengukuran Wesyano dengan satu atau
Validasi dilakukan pada sejumlah
terutama yang berdiameter diatas 50 cm pohon dengan
dua kali terlebih dahulu
pengukuran. dilakukan
Alat ukur Wesyano
pengukuran
dan memiliki banir. diameter pohon, pertama dengan
dapat alat
dipakai ukur
sebagai Wesyano,
alternatif pengganti
selanjutnya pengukuran keliling pohon dengan pipa diameter sebagaikegiatan
pita ukur dan sangat berguna bagi
Hasil kontrol.
penelitian Endom dilakukan
Pengukuran & Soenarno inventarisasi
pada kelas 20cm keatas. hutan yang masih memiliki
(2018) menunjukkan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutanberdiameter
nilai bobot akurasi pohon-pohon sejak tahuncukup
2015 besar
Wesyano berkisar 0,98–0,99 dengan nilai (≥ 50–100 cm) dan
telah mengembangka prototipe alat deteksi pohon gerowong secara apalagi yang berbanir
bobot efisiensinya antara 1–4 kali lebih tinggi (≥ 1,8 m) dengan akurasi cukup tinggi,
mekanis atau yang disebut “Algromek”.efisien
cepat dibanding pengukuran dengan pita
Alat dan
tersebut sederhana, praktis
biaya murah.
dan dapat
ukur. Hasil validasimengukur
Wesyano diameter
memiliki gerowong secara akurat dan cepat.
Algromek ini dibuat dengan
nilai keeratan hubungan (r) sebesar memodifikasi mesindirancang
Algromek potong rumput
untuk pada
membantu
bagian ujung batang penghantar pemotong rumput, seperti pada Gambar 2.
A B
Gambar 5.2. A=Alat Deteksi Gerowong Algromek; B=Aplikasi Penggunaan Alat di Lapangan
Kotak 5.2.
Algromek-Alat Deteksi Gerowong Kayu
Spesifikasi Alat:
• Tangki bahan bakar
• Mata bor dengan bagian batang berulir untuk memudahkan serbuk kayu
• Konstruksi untuk dudukan mata bor
• Pegangan tangan untuk menekan mata bor
• Handle penahan gas
Prosedur Penggunaan:
• Mengisi tangki bahan bakar dengan bensin campur dan membersihkan sisa bahan
bakar yang menempel pada bodi tangki
• Memasang mata bor pada bagian dudukan mata bor dan mengencangkan hingga
ketat dengan kunci pas
• Menghidupkan mesin pada kondisi gas normal (idle) kemudian secara hati-hati digen-
dong ke punggung
• Menentukan lokasi bagian batang yang akar di bor (± 50 cm atau disesuaikan dengan
ketinggian takik tebang yaitu ± ½ diameter pohon)
• Memastikan posisi mata bor tegak lurus dengan batang pohon
pemanenan kayu secara garis besar berisi : d) Rencana penentuan petak tebang dan
a) Deskripsi tentang faktor-faktor input urutan pengerjaannya.
yang tersedia, meliputi: e) Jumlah, jenis/spesifikasi dan tingkat
(1) Kondisi hutan: potensi hutan, kehandalan peralatan yang diperlukan .
topografi, geologi dan tanah, iklim f) Jumlah dan tingkat keahlian tenaga
dan areal-areal yang spesifik perlu kerja yang diperlukan, serta sistem
dilindungi, pengorganisasiannya.
(2) Peralatan: jenis dan jumlah yang g) Jadwal pengerahan alat, tenaga kerja
tersedia, tingkat kehandalan alat, dan dana yang dilibatkan.
(3) Jumlah dan tingkat keahlian tenaga h) Estimasi keuntungan.
kerja yang dimiliki dan diperlukan,
(4) Catatan tentang standar biaya dan Secara garis besar penyusunan rencana
produktivitas tenaga kerja dan kegiatan pemanenan kayu terdiri dari
peralatan, dan tiga tahap yaitu a) pengumpulan dan
(5) Peraturan-peraturan yang berkaitan pengolahan data, b) perancangan alternatif
dengan kegiatan pemanenan kayu. dan penetapan alternatif, serta c) formulasi
b) Rancangan pemungutan produksi kayu rencana.
lestari yang akan diperoleh. a) Pengumpulan dan pengolahan data yang
c) Pemilihan alternatif metode pemanenan meliputi:
kayu, meliputi: (1) Potensi tegakan meliputi jumlah,
(1) Alternatif-alternatif yang tersedia, volume dan jenis-jenis yang
(2) Faktor-faktor pembatas pada masing- potensial ditebang dan yang
masing alternatif : produktivitas mungkin ditinggalkan sebagai
lahan hutan, kondisi tapak dan akibat diterapkan suatu sistem
lingkungan hutan, faktor keamanan silvikultur tertentu seperti pada
baik bagi tenaga kerja maupun sistem TPTI. Data potensi diperoleh
lingkungan, peraturan perundangan dari kegiatan inventarisasi hutan.
yang berlaku, dan Data ini diperlukan untuk membuat
(3) Formulasi alternatif terpilih. rencana produksi kayu yang lestari,
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 273
Teknologi dan Industri Kehutanan
juga informasi bahan baku kayu untuk yang tinggi, khususnya untuk jalan
pembuatan jalan rel. utama yang dipakai jangka waktu
cukup lama, misalnya kayu klako/
Pembuatan trase meliputi beberapa rengas (Gluta renghas). Hal tersebut
tahapan kegiatan, yaitu: sangat mempengaruhi : masa pakai
a) Membuka trase jalan rel jalan rel, biaya pemeliharaan jalan rel,
b) Membuat bantalan dan bujuran kelancaran pengangkutan kayu.
c) Membuat dan memasang perancak
dan kaki b)
Kebutuhan bahan baku kayu
d) Memasang bujuran dan bantalan pembuatan jalan rel dipengaruhi
e) Pemasangan rel besi oleh keadaan tanah rawa dan
kerataan permukaan tanah. Kayu yang
Jalan rel terdiri dari jalan utama dan dibutuhkan untuk pembuatan jalan
jalan cabang. Jalan utama dibuat untuk rel berkisar 225-350 m3/km, rata-rata
menghubungkan tiap-tiap bagian hutan 275 m3/km. Bahan kayu:
atau blok RKL dan blok RKT. Jalan cabang (1) Lapisan 1 : tidak tercantum
berfungsi untuk menghubungkan petak- (2) Lapisan 2 (kayu bulat, diameter 20
petak tebangan dengan jalan utama. cm, pj 3 m) : 134,6 m3
Umumnya jalan cabang dibuat tidak (3) Lapisan 3 (0,2 x 0,2 x 5 m) : 80 m3
permanen dan dipindahkan setiap tahun atau 400 batang
ke petak tebangan RKT baru. (4) Lapisan 4 (0,2 x 0,1 x 1,5) : 60 m3
a) Bahan-bahan untuk pembuatan jalan atau 200 batang
rel meliputi rel besi, umumnya ukuran (5) Total kebutuhan kayu : 414,6 m3
65/7 (tinggi 65 mm; brt = 7 kg/m, pj. kayu bulat
= 9 m); plat sambungan rel; mur dan c) Struktur dan spesifikasi jalan rel
baut; paku rel berbentuk L; kayu di hutan rawa berbeda dengan
untuk konstruksi bagian bawah jalan spesifikasi jalan di hutan jati.
rel terdiri atas:
(1) Lapisan1: perancak (pelancar/laci- (1) Struktur jalan rel adalah sebagai
laci/sepatu): menggunakan kayu berikut: di bawah rel = bantalan
Ø 10-15 cm (lapisan 4), di bawah bantalan
(2) Lapisan 2: kaki menggunakan kayu = bujuran (lapisan 3), dapat
Ø 20-30 cm, panjang 5 m berlapis-lapis , di bawah bujuran
(3) Lapisan 3: bujuran (salur/ = kaki (lapisan 2), di bawah kaki =
cemplong) perancak (lapisan 1).
(4) Jalan utama: kayu balok (segi 4)
ukuran 0,2x0,2x5,0 m Struktur kayu di bagian bawah
(5) Jalan cabang: kayu bulat kecil Ø 10- jalan rel mempunyai fungsi: lapisan
20 cm, pj 5-6 m 1 perancak (pelancar, laci-laci,
(6) Lapisan 4: bantalan (jari-jari/ sepatu) untuk menstabilkan tanah
galang) rawa yang lembek/lunak/paya
(7) Jalan utama: balok ukuran dan meratakan permukaan tanah
0,2x0,1x1,5 m agar memudahkan penyusunan
(8) Jalan cabang: kayu bulat kecil Ø 10- lapisan 2 dan 3; lapisan 2 dan 3
15 cm, pj. 1,5 m untuk menerima dan meneruskan
beban dari lapisan di atasnya
Kayu pembuatan jalan rel harus untuk disebarkan secara merata
mempunyai kelas awet dan kelas kuat ke lapisan di bawahnya; lapisan 4
- Lapisan 1 : cabang-cabang pohon (Ø 10 – 15 cm)
- Lapisan 2 : kayu bulat Ø 20 – 30 cm, pj 2,5 m, jarak antar batang
70 cm
- Lapisan 3: Jalan utama : balok 0,2 x 0,2 x 5 m
282 Vademecum Kehutanan - Jalan cabang:
Indonesia 2020kayu bulat kecil Ø 10 – 20 cm, pj 5-6 m, jarak ke-
Teknologi dan Industri2Kehutanan
batang sejajar 100 cm
- Lapisan 4: Jalan utama: Balok 0,2 x 0,1 x 1,5 m/ 0,12 x 0,12 x
bantalan (jari-jari, galang) 1,5m untuk dan ke samping akibat beban
menerima/menahan (6) Jalan cabangdari
beban : menggunakan kayu bulatditerimanya
yang kecil Ø 10 – 15daricm,kendaraan
pj 1,5m,
rel besi untuk diteruskanjarak dua bantalan
dan 50 cm. pengangkut kayu.
disebarkan ke Hasil setiappenelitian
unit beban Dulsalam & Sianturi (1986) menunjukkan bahwa
banyaknya kayu yang digunakan (2) dalam konstruksi
Spesifikasi jalan
jalan relreldibesi adalah
hutan rawa
sepanjang bantalan ke struktur/
berkisar 208,3 m3/km-276,3 m3/km.adalah Banyaknya
sebagai kayu pada: masing-
berikut
lapisan kayu di masing
bawahnya. lapisan bantalan jalan rel besi adalah pembukaan
berkisar 31,1trasem3-93,1
(a) Lebar jalan
m 3
/km.
Fungsi keseluruhan struktur bagian 4-5 m
bawah jalan rel adalah untuk (b) Lebar struktur jalan bagian
3) Pembuatan
menstabilkan kanaltidak
rel besi agar di hutan rawa gambutbawah 2,5 m, bagian atas 1,5
mengalami a) Spesifikasikedan
pergerakan Kegunaan Kanal
depan m
Tabel 3. Fungsi dan ukuran kanal
Tabel 5.3. Fungsi dan ukuran kanal
No Nama Kanal Ukuran Kanal Fungsi Kanal
1 Primer 12 m x 9 m x 3 m Sebagai pengendali permukaan air, angkutan
kayu hasil tebangan, angkutan bibit,
transportasi karyawan
2 Sekunder 8mx5mx3m Sebagai pengendali permukaan air, Sarana
10 m x 8 m x 3m angkutan kayu hasil tebangan, angkutan bibit,
transportasi karyawan
3 Kolektor 2mx1mx2m Pengontrol air dan batas petak
2mx2mx2m
4 Tersier 2mx1mx2m Pengontrol tinggi permukaan air
1mx1mx1m
Keterangan: Ukuran kanal (lebar atas x lebar bawah x dalam) Suhartana et al., (2010, 2013a, 2013b)
diameter yang diizinkan ditebang adalah yang tidak dikuliti harus dilabur pada
40 cm ke atas untuk hutan produksi tetap kedua bontosnya.
dan 50 cm ke atas untuk hutan produksi
terbatas. Pembagian batang dimaksudkan untuk
membuat sortimen berkualitas baik
Pohon-pohon yang akan ditebang ini sesuai dengan persyaratan yang telah
harus diberi tanda silang warna merah ditentukan. Pemotongan kayu menjadi
dan tanda arah rebah pada pohon yang sortimen kayu dimulai dari ujung ke
bersangkutan. Selain itu pohon-pohon pangkal batang. Pemotongan batang
tersebut berada pada RKT yang telah diupayakan sesuai dengan alat angkutan
disahkan dan dilakukan pada setiap blok dan syarat yang ditentukan oleh pasar.
secara berurutan. Dengan demikian
tidak diperkenanankan melakukan 5) Produktivitas Penebangan
penebangan di luar RKT yang telah a) Penebangan di hutan alam. Beberapa
disahkan. hasil penelitian terkait produktivitas
Sedangkan pohon-pohon yang tidak penebangan di hutan alam antara lain:
boleh ditebang adalah sebagai berikut: • Dulsalam, et al (2018) dengan hasil
a) Pohon inti (diberi tanda dengan cat penelitian di PT.A Kalimantan Timur
warna kuning) menunjukkan bahwa produktivitas
b) Pohon-pohon yang dilindungi teknik penebangan secara
c) Pohon-pohon yang dianggap keramat konvensional berkisar antara 33,4-
oleh masyarakat sekitar hutan 39,7 m3/jam dengan rata-rata 36,4
m3/jam, lebih tinggi dari teknik
d) Pohon-pohon yang tidak diberi
penebangan berdampak rendah
tanda silang, yaitu semua pohon
yang berkisar antara 28,3-36,23 m3/
yang berjarak (radius) 50 m dari
jam dengan rata-rata 32,8 m3/jam.
sumber mata air, suaka alam atau
Efisiensi penebangan pada teknik
suaka margasatwa, jalur vegetasi
penebangan secara konvensional
sepanjang jalan raya/propinsi; pohon-
bervariasi antara 84,3 – 88% dengan
pohon pada jarak 100 m dari daerah
rata-rata 86,56% lebih rendah dari
yang mengandung nilai estetika
teknik penebangan berdampak
(keindahan) dan semua pohon pada
rendah yang bervariasi antara 88,5-
jarak 200 m dari tepi sungai/pantai.
90,12% dengan rata-rata 89,36%;
4) Pembagian Batang
• Soenarno & Yuniawati (2019)
Setelah penebangan, cabang, ranting penelitian di PT.B Kalimantan
dan benjolan dipapras rata, kemudian Tengah menunjukkan bahwa
dilakukan pembagian batang dan efisiensi pemanfaatan kayu IBM/
pengupasan kulit. Untuk jenis yang metode perbaikan meningkat
mudah terserang jamur biru dan menjadi 93,1% dibandingkan
kumbang ambrosia tidak harus dikuliti. metode CV/konvensional sebesar
Pembagian batang dilakukan dengan 85,4%. Produktivitas penebangan
memperhatikan asas peningkatan mutu rata-rata IBM adalah 27,161 m3/
dan peruntukkannya. Bontos dipotong jam dan metode konvensional
siku dan rata. Kayu bundar yang mudah sebesar 32,847 m3/jam;
terserang jamur dan serangga penggerek,
• Soenarno (2017) penelitian di 2
segera diawetkan dengan pestisida. Kayu
IUPHHK-HA Kalimantan tengah
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 291
Teknologi dan Industri Kehutanan
(sisem kabel), feller buncher, forwader, yarder, tiang penyangga, kabel utama
traktor berban karet (wheel skidder) dan dan kabel penarik kembali seperti
traktor bulldozer. Gambar 5.13 dan 5.14.
1) Penyaradan dengan gaya gravitasi b) Kabel layang (Skyline). Sistem ini
mempunyai dua tiang penyangga,
Penyaradan kayu dengan cara ini yaitu head tree dan tail tree. Kayu
adalah memanfaatkan gaya gravitasi yang disarad menggantung di
bumi. Penyaradan ini dilakukan dengan bawah kereta yang berpijak pada
cara peluncuran dan dengan kabel. kabel layang (skyline). Brown (1958)
Penyaradan dengan peluncuran hanya menyatakan bahwa peralatan utama
dapat dilakukan pada daerah yang yang diperlukan dalam sistem kabel:
mempunyai kelerengan curam, yaitu • Unit mesin penggerak yang
lebih dari 40%. Ukuran kayu yang berfungsi sebagai sumber tenaga
diluncurkan sangat terbatas dengan seluruh sistem kabel
panjang berkisar antara 4 – 6 m dengan • Kabel baja dan pengikatnya
diameter kurang dari 40 cm. termasuk penjepit dan macam-
Jarak sarad pada cara penyaradan macam perlengkapan untuk saling
dengan peluncuran tidak lebih dari 300 menghubungkannya
m. Peluncur dapat berupa kayu, plastik, • Kereta yang berfungsi untuk
fiber glass dan logam. Cara penyaradan mengarahkan perpindahan kayu
yang dilakukan menggunakan media dan diletakkan berhubungan
kabel sebagai jalannya peluncuran dengan kabel-kabel
dengan gaya gravitasi seperti terlihat Metode kabel layang merupakan
(2) 5.12.
pada Gambar Total volume setiap hektar yang akan dikeluarkan pada sebuah
metode mekanis yang makin
lokasi penebangan; berkembang dan menjadi paling
2) Sistem Kabel
(3) Areal unit penebangan yang lengkap belumdaridikeluarkan
pengeluaran hasilnya.
kayu sistem
(4) systems.
a) Highlead JumlahSistem
hari kerja kabel. Metode
efektif dalam satu tahun;
ini hanya ini dapat dimodifikasi
menggunakan satu tiang penyangga berdasarkan cara pemasangan kabel
(5) Ukuran dari kayu yang
dan paling sesuai untuk tebang habis.
akan dikeluarkan;
layang, kereta dan penggunaan kabel
(6)terdiri
Alat ini Jarak pengeluaran
dari kayu.
3 bagian yaitu pelengkapnya. Penggunaan metode
Gambar 5.12. Pengeluaran Kayu dengan Gaya Berat pada Uji Coba di Kampung Cigalasar
(Endom, 2009)
Gambar 12. Pengeluaran kayu dengan gaya berat pada uji coba di
Gambar 12. Pengeluaran kayu dengan gaya berat pada uji coba di
Kampung CigalasarVademecum
293
(Endom, 2009)
Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Keterangan:
Gambar
1=yarder; 2=kabel utama (main 13. Skema
line); 3=kabel penarikHighlead
kembali (hul system
back line); 4=tiang penyangga, 5=katrol
Keterangan:
kabel utama pada tiang penyangga; 6=katrol kabel penarik kembali pada tiang penyangga; 7=katrol kabel
1 =kembali
penarik 2 =tiang
yarder;pada Kabel utama 8=kereta
pancang; (main line); 3 = 9=kayu
dan kait, kabel penarik kembali (hul back line);4
yang disarad
= tiang penyangga, 5 = katrol kabel utama pada tiang penyangga; 6 = katrol kabel
penarik kembali pada tiangGambar
penyangga; 7 = katrol
5.13. Skema kabel
Highlead penarik kembali pada tiang
System
pancang; 8 = Kereta dan kait, 9 = kayu yang disarad.
kabel layang berubah berdasarkan • Pada sistem sarad pendek biasa
kebutuhan medan yang dihadapi dan menggunakan alat bantu yang
perubahan modifikasinya tergantung disebut “Sampan Darat”
pada cara pemakaiannya bukan pada • Isilah sampan darat dengan kayu
peralatan yang dipergunakannya. bahan baku serpih (BBS) yang
sudah dipotong pendek
Penggunaan sistem kabel layang • Tarik sampan darat yang sudah
dipengaruhi oleh beberapa faktor terisi dengan alat berat melalui
antara lain: jalur sarad/matting yang telah
• Konversi dari nilai kayu yang ditentukan ke TPn tepi kanal/jalan
dikeluarkan • Pada sistem tarik panjang dengan
• Total volume setiap hektar yang menggunakan seling alat berat
akan dikeluarkan pada sebuah menarik sekumpulan kayu ke TPn
lokasi penebangan tepi kanal/jalan
• Areal unit penebangan yang belum • Alat berat tidak boleh keluar dari
dikeluarkan hasilnya jalur sarad yang sudah ditentukan
• Jumlah hari kerja efektif dalam guna mencegah terjadinya
satu tahun genangan air akibat lintasan alat
• Ukuran dari kayu yang akan berat
dikeluarkan • Apabila alat berat yang digunakan
• Jarak pengeluaran kayu adalah bulldozer, pada saat
3) Sistem Traktor penarikan kayu, pisau harus
diangkat sehingga tidak mengikis
a) Ekskavator, dilengkapi dengan alat topsoil dan menggunakan seling
bantu berupa sampan darat dapat dalam jangkauan optimal
digunakan untuk kegiatan penyaradan • Penarikan kayu dilaksanakan petak
kayu di hutan rawa gambut. Kegiatan per petak secara sistematis sesuai
penyaradan kayu dilakukan sebagai dengan target kerja
berikut: • Apabila masih ada cabang dan
294 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
ranting yang belum ditarik ke jalur Jack G10 adalah 80 HP dan Timber
kotor, cabang dan ranting tersebut Jack 1010B adalah 83 HP.
harus dipotong dan diserak dengan
ketebalan maksimal 10 cm c) Traktor berban karet (wheel skidder).
• Gulma dan anakan kayu ditebas Alat ini dipergunakan untuk menyarad
habis dengan ketinggian maksimal log (kayu gelondongan) dengan sistem
10 cm arch skidding (menyudut), dimana
• Laksanakan leles kayu yang masih bagian depan ujung log akan terangkat
tersisa di dalam lahan tebangan sehingga tahanan geser/sarad dari
pada akhir pekerjaan sehingga log yang ditarik menjadi kecil. Hal
lahan dalam keadaan bersih dan ini memungkinkan skidder mampu
kayu dapat dimanfaatkan secara menarik log yang lebih berat. Wheel
optimal skidder dilengkapi roda ban karet
• Volume sisa kayu yang tertinggal memiliki tingkat kecepatan, manuver
maksimal 1.0 m3/ha dan mobilitas lebih baik, sesuai untuk
• Toleransi spot air akibat lintasan medan kerja yang relatif datar sampai
alat berat dan pencabutan batang / bergelombang dengan kemiringan
tunggak adalah 5% dari total areal maksimum 15% (United Tractor, 2020
yang dikerjakan
d) Traktor berban rantai baja (crawler
• Batas maksimal penutupan gulma,
cabang dan ranting yang tidak tractor). Alat ini biasanya digunakan
standar adalah 25% dari luas areal untuk penyaradan kayu di hutan alam.
yang dikerjakan Ada dua merek traktor yang biasa
digunakan, yaitu merek Caterpillar
b) Forwarder, terdiri atas dua merek, dan Komatsu.
yaitu Timber Jack G10 dan Timber
Jack 1010B. Tenaga motor dari Timber
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 295
Teknologi dan Industri Kehutanan
Gambar 5.15. Penyadaran Kayu dengan Gambar 5.16. Penyadaran Kayu dengan
Ekskavator di Hutan Rawa Gambut Forwader
(Suhartana, 2013) (Dulsalam, 1999)
Gambar 5.17. Penyaradan Kayu dengan Winch Gambar 5.18. Penyadaran Kayu dengan
Wheel Skidder Traktor Berban Rantai Baja
(Dulsalam, 1999) (Dulsalam, 1998)
Gambar 5.22. Pemuatan Kayu dengan Ekskavator Gambar 5.24. Truk Bermuatan Kayu
ke Atas Truk di Jambi di Hutan Alam
(Suhartana, 2010) (Yuniawati, 2019)
Vademecum
et al., 1989) untuk kayu daun lebar dan (Baas et al., 2004) untuk kayu
304
ciri anatomi kayu dilakukandaun jarum.
berdasarkan standard dari
Kehutanan Indonesia 2020
Association of Wood Anatomists (IAWA)Teknologi dan Industri Kehutanan
yaitu (Wheeler
untuk kayu daun lebar dan (Baas et al., 2004) untuk
Kayukayu
gubal
Empulur
Kayu teras
Tabel 1. Kriteria kualitas serat kayu untuk bahan baku pulp dan kertas
Tabel 5.4. Kriteria kualitas serat kayu untuk bahan baku pulp dan kertas
Kelas I Kelas II Kelas III
Kriteria
Syarat Nilai Syarat Nilai Syarat Nilai
L (mm) > 2.000 100 1.000-2.000 50 < 1.000 25
RR < 0,25 100 0,25-0,50 50 0,50-1,0 25
FP > 90 100 50-90 50 < 50 25
MR < 30 100 30-60 50 60-80 25
FR > 0,80 100 0,50-0,80 50 < 0,50 25
CR < 0,10 100 0,10-0,15 50 > 0,15 25
Interval 450-600 225-449 < 225
sumber: Rachman dan Siagian (1976)
Ara/ Ficus sp. Warna putih hingga kuning Pembuluh soliter dan
(Moraceae) coklat dan muda keabuan, berganda radial (2-3 (6))
corak polos atau bergaris, dengan ukuran besar hingga
serat lurus dan berpadu, sangat besar, parenkim
agak kasar hingga kasar, selubung dan pita panjang
tidak mengkilap dan agak yang tebal dan berjarak
lunak teratur, jari-jari agak lebar,
saluran radial ada dalam jari-
jari
306 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
Eboni/ Diospyros Warna hitam dengan gubal Pori soliter dan berganda
sp. (Ebenaceae) putih, polos hitam ada yang radial (2-5) terkadang 7 dan
bercorak garis, halus hingga terkadang ada tilosis,
agak kasar, serat lurus atau parenkim paratrakea jarang
agak berpadu, keras hingga membentuk jala dengan jari-
sangat keras jari, jari-jari sempit pendek
dan banyak
Gaharu/ Aquilaria Warna putih krem, polos, Pori sebagian besar ganda
sp. Thymeleaceae) arh serat lurus, agak halus, radial (2-3) terkadang 4 dan
agak mengkilap dan lunak agak jarang, parenkim
paratrakea jarang, jari-jari
sempit, kulit tersisip banyak
tersebar
8
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 307
Teknologi dan Industri Kehutanan
(Tectona grandis) dan pasaknya dari kayu perdagangan Indonesia untuk penentuan
jambu jine (Flidersia sp. – Rubiaceae). pajak kayu perdagangan
Jambu jine ini hanya terdapat di bagian
timur Indonesia. Hasil penelitian Pada tahun 2016, P3HH mengadakan
menunjukkan bahwa perahu digunakan studi untuk merevisi Surat Keputusan
pada jaman Kesultanan Gowa di Sulawesi Menteri Kehutanan (Kepmenhut)
dan Kesultanan Mataram di Jawa. Perahu Nomor 163/Kpts-II/2003 tentang
dibuat di Sulawesi dimana spesies jati Pengelompokan Jenis Kayu sebagai
dan jambu jine ada di sana, kemudian Dasar Pengenaan Iuran Kehutanan.
berlayar ke Jawa lalu tenggelam di Dalam Kepmenhut tersebut masih
Bojonegoro. ditemui kriteria yang kurang jelas, salah
satunya mengenai pengelompokan kayu
5) Mendukung studi tentang kualitas dan berdasarkan parameter keindahan.
pemanfaatan kayu Hasil studi dituangkan dalam buku
Pengelompokan Jenis Kayu Perdagangan
Studi pencarian pengganti kayu jelutung Indonesia dan Policy Brief oleh Djarwanto
untuk bahan baku batang pensil pada dkk.
tahun 1996 dan 2003 oleh Mandang
dan Suhendra menuju pada suatu 7) Bio-forensik
kesimpulan bahwa mudah tidaknya
kayu diserut dipengaruhi oleh struktur Bagi petugas penegak hukum di
anatomi kayu dan kerapatan kayunya. lapangan, masa penahanan tersangka
Kayu yang memiliki parenkim bentuk
jala atau garis-garis tangensial pendek
berjarak rapat lebih mudah diserut.
Hasil pengukuran dimensi serat dan nilai
turunannya memungkinkan diketahui
kualitas kayu untuk bahan baku pulp dan
kertas, baik kertas tulis, kertas bungkus,
hingga karton pengepak.
Pengetahuan identifikasi kayu juga Djarwanto
Ratih Damayanti
memungkinkan mencari pengganti kayu Jamal Balfas
Efrida Basri
pok, Guaiacum officinale asal Brasil Jasni
I.M. Sulastiningsih
yang memiliki karakter sangat berat dan Andianto
D. Martono
Xantophyllum stipitatum yang memiliki Gambar 5.29. Penetapan Kriteria Baru untuk
berat jenis tinggi dapat diimpregnasi Pengelompokan Jenis Kayu Perdagangan
secara mudah karena memiliki parenkim Indonesia
pita bentuk rapat. (Djarwanto et.al., 2017)
6)
Dasar pengelompokan jenis kayu
310 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
Gambar 5.31. Koleksi Kayu dan fosil kayu Xylarium Bogoriense 1915 P3HH
(Sumber: Lab. Anatomi Lignoselulosa P3HH)
Koleksi kayu dan fosil kayu Xylarium Bogoriense 1915 P3HH
(Dok. Lab. Anatomi Lignoselulosa P3HH)
312 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
Gambar 5.32. Alat Identifikasi Kayu Otomatis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (AIKO-KLHK)
(Sumber: Lab. Anatomi Lignoselulosa P3HH)
Alat Identifikasi Kayu Otomatis Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (AIKO-KLHK)
(Dok. Lab. Anatomi Lignoselulosa P3HH)
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 313
Teknologi dan Industri Kehutanan
Bahan Baku
Pretreatment
Hidrolisis
Asam Enzim
Fermentasi
Distilasi
Pemurnian
Produk
Gambar 5.34. Proses pembuatan selulosa
(Sumber: Lab. Anatomi Lignoselulosa P3HH)
Bahan baku yang mengandung selulosa dilakukan pretreatment
untuk mendegradasi lignin, memperbesar luas permukaan,
menurunkan derajat polimerisasi dan menurunkan kristalisasi
selulosa. Pretreatment dapat dilakukan secara mekanis dengan
316 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
(Ochroma grandiflora
Rowlee)
6 Ki cauk 31,77 16,93 54,95 10,42 2,53 0,549 5,50 9,32 4,60 19,20
(Pisonia umbellifera
(Forst.) Seem.)
7 Huru manuk 35,20 16,74 50,98 9,59 0,97 0,104 2,71 4,41 3,85 10,35
(Litsea monopelata
Pers.)
8 Ki rengas 22,66 16,33 51,64 10,91 0,89 0,153 3,50 5,37 3,68 15,52
(Buchanania
arborescens Blume.)
9 Ki bonen 28,41 16,22 44,39 10,80 1,03 0,284 5,40 11,19 4,14 22,17
(Crypteronia paniculata
Blume)
10 Ki hampelas 25,04 16,71 46,28 10,99 2,89 0,677 4,21 5,80 3,43 16,01
(Ficus ampelas Burn F.)
1
Secara umum pohon yang ditanam di Indonesia menghasilkan kayu dengan
kadar selulosa dengan kelas komponen tinggi tingg, lignin, pentosan dan
kadar zat kstraktif termasuk kelas Vademecum
sedang. Kehutanan Indonesia 2020 319
Teknologi dan Industri Kehutanan
3) Kalor
Klasifikasi komponen kayu distilasi kering tinggi kadar zat ekstraktif, semakin tinggi
Penentuan nilai kalor dan kandungan arang serta destilat dilakukan
disajikan pada Tabel 5.9. dan klasifikasi
dengan proses destilasi kering kayu. pulaPenentuan
kadar ter.nilai kalor, kandungan
komponen arang kayuarang pada Tabel penting
dan destilat 5.10. untuk mengetahui kemungkinan penggunaan
Data dari kedua kayutabelsebagai
tersebut diolah Komponen utama dari destilat kayu
bahan baku energi, arang aktif, cuka kayu dan material
dari data Hasil Penelitian
maju (nanoSifatkarbon) dan sekarang adalah
Dasaryang asam
banyak berkembang. asetat, sementara
Kegunaan Kayu P3HH tahun Proses2003-2013. komponen lainnya adalah
destilasi kering dilakukan dalam suatu retor yang terbuat asam butirat,
dari baja tahan karat yang dilengkapi asam crotonat, etil phenol,
dengan elemen listrik acetovanilon,
sebagai
Rendemen arangsumber yang panas,
tinggikondensor
diduga dan penampung
furfuraldestilat
dan yang pentan-5-olide.
terletak di bagianTinggi
disebabkan oleh bawah
besarnyadan kadar
termokopellignin rendahnya
sebagai pengontrol suhukadar
dalamdestilat kayu bergantung
retor. Bahan baku
dari kayu tersebut.dimasukkan ke dalam retor dan dipanaskan
Kayu yang mempunyai sampai suhu
pada kandungan 5000C selama
hemiselulosa dan4- kadar
5 jam. Arang,
rendemen arang yang tinggi dapat hasil destilat dan ter diuji kualitasnya. Klasifikasi
air kayu. Kadar ter dan destilat yang
digunakan untukkomponenpembuatankayu distilasi
briket kering disajikan pada digunakan
tinggi baik Tabel 2.4. dan klasifikasi
sebagai koagulan,
komponen arang kayu pada Tabel 2.5. Data dari kedua tabel tersebut
arang, arang aktif, dan nano karbon. desinfektan, pupuk organik, dsb.
diolah dari data Hasil Penelitian Sifat Dasar dan Kegunaan Kayu
Komponen utamaPustekolah tahun 2003-2013.
yang terdapat dalam Besarnya nilai kalor kayu dipengaruhi
ter adalah phenol dan turunannya seperti oleh kadar lignin dan zat ekstraktif,
guaiacol, cresol, 2,6-xylenol, 3,5-xylenol, terutama yang larut dalam alkohol-
4-propil syrtingol yang dapat digunakan benzen. Makin tinggi kadar lignin dan zat
sebagai insektisida. Faktor utama yang ekstraktif maka semakin tinggi nilai kalor
mempengaruhiTabel kadar
2.2. Klasifikasi Komponen Kayukayu.
ter dalam kayu Nilai kalor
pada Distilasi kayu yang tinggi baik
Kering
adalah lignin dan zat ekstraktif. Semakin digunakan untuk bahan baku pembuatan
Sumber: Desch
konstan) terhadap (1968) kondisi
volume dalam Basri dan Rahmat (2001)
berdasarkan rumus:
basah 1) (segar).
Berat jenisUntuk keperluan
praktek, BJ kayuBerat dinyatakan sebagai
jenis (BJ) kayu merupakan perbandingan antara kerapatan
perbandingan berat kayu dengan
kayu dengan kerapatan benda standar, yaitu air pada suhu 4oC,
berat air sedangkan
sebesar volume air yang
kerapatan kayu merupakanKeterangan:
perbandingan antara dari
P=Penyusutan berat dan
Db (dimensi
dipindahkan.volume kayu pada kadar air yang sama. BJ kayu dinyatakan
basah) sebagai
ke Dk (dimensi kering)
perbandingan berat kering oven (berat konstan) terhadap volume
BJ dan kerapatan kayu sering
digunakan kondisi basah (segar).
sebagai Untuk keperluan praktek, BJ kayu dinyatakan
kriteria Perbedaan nilaisebesar
penyusutan tangensial
peruntukan kayu karena BJ dan kayu dengan
sebagai perbandingan berat berat air
terhadap radial
volume air
mengindikasikan
yang dipindahkan.
kerapatan kayu mempengaruhi sifat- BJ dan kerapatan kayu sering digunakan sebagai
dimensiBJ kayu
dan stabil atau tidak.
kayuKayu
sifat kayu kriteria peruntukan
lainnya, seperti kekuatan kayu karena diindikasikan
kerapatan
mempengaruhi
dan penyusutan kayu. Semakinsifat-sifat
tinggi kayu lainnya, seperti kekuatan dan jika
stabil dimensinya
penyusutan nilai rasio penyusutan tangensial
BJ kayu, makin kuat kayu. Semakin tinggi
kayu tersebut BJ kayu,
penyusutan
terhadap
makin
kayu berbeda
radial
kuatuntuk
kayusetiap
(rasio T/R)
tersebut
arah serat (radial, t
mendekati
namun penyusutannya
namun penyusutannya juga makin dan longitudinal) serta bergantung
juga makin tinggi. BJ kayu yang digunakan pada jenis kayu. Penyusu
dalam penentuan satu.
ditentukan berdasarkan rumus :
tinggi. BJ kayu yang digunakankelas
dalamkuat didasarkan pada perbandingan berat
penentuanterhadap
kelas kuat volume
didasarkan kayu
padapada kondisi kering nilai
Klasifikasi udara, menggunakan
penyusutan tangensial
perbandinganrumus:
berat terhadap volume suatu jenis kayu dari kondisi basah
kayu pada kondisi kering udara, ke kadar air kering udara, disajikan
dimana P : Penyusutan dari (dimensi basah) ke
menggunakan rumus: pada Tabel 5.12, sedangkan hasil
kering)
pengukuran nilai kerapatan dan
penyusutan beberapa jenis kayu
Perbedaan nilai penyusutan tangensial terhada
Indonesia disajikan
mengindikasikan dimensi kayu padastabil
Lampiran 8. Kayu diin
atau tidak.
stabil dimensinya jika nilai rasio penyusutan tangensial terhad
2) Sifat mekanis kayu, adalah sifat kayu
(rasio T/R) mendekati satu.
2) Kembang susut (swelling-shrinkage) yang berhubungan dengan kekuatan
c) Kembang susut Penyusutan
(swelling-shrinkage).
merupakan proses Klasifikasi nilai dimensi
pengurangan penyusutan tangensial
kayu bilakayusuatu jenis k
merupakan
kondisi basah ke ukuran
kadar airkemampuan
kering udara, disajikan pada T
Penyusutanterjadi
merupakan proses
penurunan kadar air di bawah
untuktitik jenuh serat
menahan gaya(TJS). Dalam
darikerapatan
luar yang
pengurangan dimensi kayu bila terjadi sedangkan hasil pengukuran nilai dan penyusutan
praktek, penyusutan memegang bekerja perananpadanya.
pentingYang karena dapatgaya
dimaksud
penurunan kadar air di bawah titik jenis kayu Indonesia disajikan pada Lampiran 2.1
menimbulkan retak, pecah, dan perubahan bentuk
luar adalah pada
gaya kayu.
yang Besarnya
datang dari luar
jenuh serat (TJS). Dalam praktek,
Tabel 2.6. Klasifikasi Penyusutan Kayu
penyusutan memegang peranan
penting karena dapat menimbulkan Tabel 5.12. Klasifikasi penyusutan kayu 5
retak, pecah, dan perubahan bentuk Kelas Susut Tangensial (%)
pada kayu. Besarnya penyusutan Berat sekali > 6,0
kayu berbeda untuk setiap arah serat Agak berat 5,0 - 6,0
(radial, tangensial dan longitudinal) Sedang 4,0 – 5,0
serta bergantung pada jenis kayu. Ringan 3,0 – 4,0
Penyusutan kayu ditentukan Sangat ringan <3,0
a. Sifat mekanis
322 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
mampu menghancurkan lignin dan kayu kering yang disebabkan oleh rayap
selulosa atau selulosa saja pada kayu. kayu kering biasanya hanya mencapai
Jamur pelapuk yang menyerang lignin derajat serangan 90, hal ini disebabkan
dan selulosa dikenal sebagai white rot, rayap kayu kering menjadikan kayu
sedangkan yang menyerang selulosa selain sumber pakan juga sebagai
saja dikenal sebagai brown rot. Contoh tempat tinggal. Jenis rayap kayu kering
white rot adalah Polyporus versicolor, yang sering dijumpai diantaranya
sedangkan brown rot adalah Poria adalah Cryptotermes cynochepalus dan
monticola. Serangan dari jamur pelapuk Cryptotermes dudleyi yang termasuk ke
akan menurunkan sifat mekanis kayu dalam familia Kalotermitidae.
karena komponen yang menguatkan
dinding sel dapat dihancurkan. c) Rayap tanah
Dibandingkan white rot, serangan brown Rayap tanah merupakan jenis rayap yang
rot umumnya lebih cepat menurunkan menyebabkan kerusakan terbesar secara
kekuatan kayu. ekonomi. Keberadaan rayap tanah
Berbeda dengan jamur pelapuk, jamur ditandai dengan adanya liang kembara
pelunak tumbuh di dalam dinding sel dan yang tertutup tanah. Selulosa pada
akan menembus dinding sel bilamana kayu merupakan makanan utamanya.
memasuki sel lain yang berdekatan. Kayu yang diserang oleh rayap tanah
Meskipun serangannya timbul lebih dapat mencapai derajat serangan 100
lambat daripada jamur pelapuk, namun (kayu hancur), hal ini disebabkan rayap
kerusakan yang diakibatkan lebih hebat. tanah menjadikan kayu sebagai sumber
Jamur pelunak menyerang kayu yang pangan, sedangkan sarang mereka
berhubungan langsung dengan tanah. sebagian besar jenis rayap tanah berada
Bagian-bagian yang diserang jamur di dalam tanah. Rayap tanah biasanya
tersebut yaitu sepanjang potongan kayu merusak kayu yang berhubungan
yang berhubungan dengan permukaan langsung dengan tanah. Pada kayu yang
tanah. Salah satu jenis jamur pelunak tidak berhubungan langsung dengan
yang terkenal dan yang sering kita jumpai tanah, rayap tersebut akan menyerang
yaitu Chaetomium globosum. melalui celah yang ada. Celah tersebut
biasanya terdapat pada permukaan
b) Rayap kayu kering kayu bahkan tembok bangunan. Jenis
rayap tanah yang banyak menyerang
Rayap ini menyerang kayu yang berada kayu adalah Coptotermes curvignathus
dalam keadaan kering dengan kadar air di (fam Rhinotermitidae) dan Macrotermes
bawah 20%, biasanya pada barang yang gilvus (fam. Termitidae).
sudah jadi atau yang sedang dipakai baik
furnitur maupun kayu konstruksi rumah. d) Kumbang bubuk kayu kering
Serangannya tidak tampak karena terjadi
pada bagian dalam kayu yang berupa Serangan kumbang bubuk kayu kering
saluran-saluran lubang gerek. Tanda pada kayu ditandai dengan adanya
serangan yang tampak pada permukaan kotoran berupa tepung halus yang keluar
kayu hanya berupa lubang halus sebesar dari lubang gereknya. Lubang gerek
ujung jarum. Ciri khas serangan rayap tersebut dibuat oleh larvanya, arahnya
ini adalah adanya kotoran berbentuk sejajar dengan serat kayu. Sedangkan
butiran halus yang keluar dari lubang lubang gerek pada permukaan
gerek. Kerusakan yang terjadi pada kayu merupakan lubang keluar bagi
serangga dewasa. Kumbang bubuk
326 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
kayu kering yang sering kita jumpai kayu (longitudinal). Pada permukaan
yaitu Heterobostrychus aequalis (fam. kayu yang diserang shipworm ditemukan
Bostrichidae), Dinoderus minutus (fam. sedikit lubang, namun di bagian dalam
Bostrichidae) dan Lyctus bruneus (fam. kayu bisa berlubang besar menyerupai
Lyctidae). sarang lebah (Hunt & Garrat, 1967;
Turner, 1971). Martesia dan Xylophaga
3) Penggerek Kayu di Laut (Marine Borer). termasuk famili Pholadidae.
Penggerek ini merupakan invertebrata
yang menggerek kayu serta benda- Famili Pholadidae merusak kayu dengan
benda keras lainnya di laut dan perairan menjadikannya sebagai tempat tinggal
payau sebagai habitat tempat menempel (Muslich & Sumarni, 2005). Limnoria
dan mencari makan (Muslich, 1988). termasuk Crustaceae banyak dijumpai
Lama hidup penggerek kayu di laut menyerang kayu yang berada pada batas
berkisar antara 1 hingga beberapa tahun pasang surut air laut. Contoh jenis kayu
tergantung spesiesnya (Hunt & Garrat, yang sering diserang oleh Crustaceae
1967; Widagdo, 1993). Penggerek kayu adalah kayu yang dipergunakan secara
di laut jenisnya sangat banyak, beberapa vertikal seperti tiang dermaga dan tiang
genera yang terpenting dari Mollusca pancang pelabuhan (Cragg et al., 1999).
yaitu Bankia, Teredo, Martesia dan
Xylophaga. Berdasarkan sifat keawetan atau sifat
ketahanan terhadap organisme maka
Teredo dan Bankia termasuk famili kayu digolongkan ke dalam lima kelas
Teredinidae, jenis ini disebut juga cacing ketahanan sesuai organisme yang
kapal (shipworm). Pola serangan adalah menyerangnya seperti tercantum pada
pola serangan sejajar bagian melintang Tabel 5.15 sampai Tabel 5.19.
Vademecum
III Sedang 7,50 – 10,96
327
IV Tidak tahan 10,96 – 18,94 Indonesia 2020
Kehutanan
Teknologi dan Industri Kehutanan
V Sangat tidak tahan >18,94
Tabel 5.18. Kelas ketahanan kayu terhadap jamur sesuai SNI 7207:2014
Kelas Ketahanan Penurunan Berat (%)
I Sangat tahan < 0,5
II Tahan 0,5 - < 5
III Agak tahan 5 - < 10
IV Tidak tahan 10 – 30
V Sangat tidak tahan >30
memikul beban lebih berat, yaitu berupa dilakukan dengan mesin kupas. Mesin
rangka pintu, rangka jendela, komponen kupas ada yang mempunyai cakar dan
pintu (door components terutama door ada yang tanpa cakar. Pembuatan venir
rail, door stile), komponen dinding, casing, dengan mesin kupas dapat dilakukan
komponen tangga (stairs components secara sentris (cakar ada di bagian pusat
terutama untuk hand rail) dan lain-lain. kayu) atau secara eksentris (cakar ada
di bagian tepi kayu). Semua pabrik kayu
Persyaratan kayu, terutama sifat fisis lapis menggunakan mesin kupas yang
mekanis kayu untuk molding yang akan mempunyai cakar.
digunakan sebagai bahan bangunan
(carpentry stock) harus lebih tinggi dari Pembuatan venir secara penyayatan
pada persyaratan kayu untuk bahan mebel dilakukan dengan mesin sayat. Ada
(furniture stock). empat macam mesin sayat, yaitu mesin
sayat horizontal, mesin sayat miring,
Untuk memproduksi molding dapat mesin sayat vertikal, dan mesin sayat
dilakukan dengan dua cara, yaitu: cara memanjang yang semuanya sudah
konvensional dan cara moderen. Pada cara dipakai di Indonesia. Mesin sayat
stock) harus lebih tinggi dari pada persyaratan kayu untuk bahan
konvensional
mebel (furniture stock). kayu gergajian yang sudah horizontal merupakan mesin sayat
cukup
Untuk kering, molding
memproduksi sekurang-kurangnya keringdua
dapat dilakukan dengan yang paling banyak dipakai. Mesin
udara,
cara, yaitu: cara diketam duadanmuka
konvensional cara dengan mesincara
moderen. Pada
sayat digunakan untuk membuat venir
konvensional
ketamkayu gergajian
(double yang sudah
planer) cukup kering,
kemudian sekurang -
langsung
kurangnya kering udara, diketam dua muka dengan mesin ketam yang tipis (tebalnya kurang dari 1 mm,
diumpankan ke dalam mesin pembentuk
(double planer) kemudian langsung diumpankan ke dalam mesin umumnya 0,20 mm) guna pembuatan
(shaper
pembentuk (shaperatau moulder)
atau moulder) yangyang memiliki
memiliki satu buahsatu
kepala kayu lapis indah.
buah
pisau yang kepala
berputar pisaujugayang
atau disebut berputar
cutter block (Gambaratau
….)
disebut juga cutter block (Gambar 5.35). 2) Kayu Lapis atau sering disebut plywood,
mempunyai pengertian sempit dan luas.
Dalam pengertian sempit kayu lapis
adalah suatu produk yang diperoleh
dengan cara menyusun bersilangan tegak
lurus lembaran venir yang diikat dengan
perekat. Dalam hal ini kayu lapis terbuat
dari venir semua. Dalam pengertian
luas inti kayu lapis tidak harus berupa
Gambar 5.35. Mesin pembentuk (moulder) venir melainkan dapat berupa bilah
kayu gergajian sebagai core (lumber
core plywood) yang lebih dikenal dengan
Gambar …. Mesin pembentuk (molder) istilah papan blok (blockboard), papan
partikel sebagai core (particleboard core
c. Venir dan Kayu Lapis plywood) atau papan serat sebagai core
c. Venir dan Kayu Lapis (fiberboard core plywood).
1) Venir, adalah lembaran tipis kayu sebagai
a. Venir hasil pengupasan, penyayatan atau Industri kayu lapis di Indonesia sudah
Venir adalah lembaran tipis kayu sebagai hasil pengupasan,
penyayatan penggergajian. Tebal
atau penggergajian. Tebal venirantaraberkisar
venir berkisar 0,1 mm – 6 dikenal sejak sebelum Perang Dunia II.
antaravenir0,1-6,0
mm. Penggunaan terutama mm. Penggunaan
untuk pembuatan venirJuga
kayu lapis.
Pada saat itu sudah ada dua buah pabrik
digunakan untuk venir lamina, korek api, sumpit dan tusuk gigi.
terutama untuk pembuatan kayu lapis. kayu lapis di Sumatra yang didirikan pada
Juga digunakan untuk venir lamina, korek tahun 1920 dan 1927. Di Jawa pabrik kayu
api, sumpit dan tusuk gigi. 18 lapis mulai dibangun pada tahun 1950.
Pembuatan venir secara pengupasan Teknologi yang dipergunakan masih
sederhana. Tahun 1960-an merupakan
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 331
Teknologi dan Industri Kehutanan
awal yang baik bagi perkembangan tahun 1971 dengan memakai jati. Pada
industri kayu lapis berkenaan dengan tahun 1976 mulai dibuat tripleks yang
bantuan Jepang dalam rangka rampasan diberi lapisan cat. Pemberian lapisan
perang. Waktu itu mulai dibangun dua polivinil chlorid mulai diberlakukan
buah pabrik kayu lapis di Sulawesi dan pada tahun 1978. Sejak tahun 1983 ada
Kalimantan. Teknologi yang dipakai pabrik kayu lapis yang memiliki mesin
sudah termasuk modern pada saat itu. kupas berukuran 3,35 m sehingga dapat
Karena berbagai hal kedua pabrik itu diperoleh kayu lapis berukuran 300 cm
baru berproduksi pada tahun 1970. x 150 cm. Sedangkan tebal kayu lapis
bervariasi antara 2,5 mm hingga 25 mm.
Perkembangan yang berarti terjadi pada Pada tahun 1985 dibuat juga papan
tahun 1970-an dan melonjak pada tahun blok yang 3 lapis. Corak dari lapisan ini
1980-an sejalan dengan peningkatan bukan berupa kayu. Pada garis besarnya
kegiatan Hak Pengusahaan Hutan (HPH). ada dua macam corak yaitu polos dan
Di samping itu Pemerintah mendorong bercorak kayu. Pemberian poliuretan
berdirinya industri pengolahan dimulai pada tahun 1990.
kayu terpadu. Selain jumlah pabrik
yang bertambah banyak, terdapat Macam produk kayu lapis dapat
penambahan dari macam produk digolongkan berdasarkan ukuran, jumlah
yang dihasilkan. Penggunaannya pun lapisan, bahan inti, ikatan perekat, bahan
bertambah luas, mulai dari peti teh, laminasi, penggunaan dan bentuknya.
mebel, komponen rumah sampai ke Berdasarkan ukurannya akan diperoleh
cetakan beton. kayu lapis dengan ukuran panjang dan
lebar kurang dari 1 m, misalnya 60 cm x
Pada tahun 1992 terdapat 118 buah 40 cm dan 40 cm x 40 cm yaitu sebagai
pabrik kayu lapis yang termasuk industri bahan peti teh.
besar dan tersebar di Jawa, Sumatra,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Berdasarkan jumlah lapisannya, kayu
Papua, dengan kapasitas lebih dari 10 lapis dikenal dengan nama tripleks
juta m3/tahun dan produksinya lebih yang terdiri atas tiga lembar venir yang
dari 9 juta m3/tahun. Sementara itu disusun bersilangan tegak lurus dan
terdapat 5 buah pabrik kayu lapis yang multipleks yang terdiri atas 5 lembar
termasuk industri kecil yang hasilnya venir atau lebih akan tetapi jumlahnya
untuk keperluan domestik. selalu ganjil. Pernah pula dibuat dupleks
yang terdiri atas dua lembar venir yang
Pemasaran kayu lapis semula untuk direkat dengan arah serat bersilangan
keperluan domestik. Mulai tahun 1973 tegak lurus.
Indonesia mengekspor kayu lapis dan
jumlahnya terus meningkat melebihi Berdasarkan bahan intinya akan
setengah dari kapasitas industri kayu diperoleh kayu lapis yang berintikan
lapis pada tahun 1984. Pada awal tahun venir sehingga semua lapisan pada kayu
1990-an ekspor kayu lapis dari Indonesia lapis tersebut dibuat dari venir. Ada kayu
lebih dari 8 juta m3/tahun. lapis yang berintikan kayu gergajian
berupa bilah atau yang disebut papan
Sejak 1968 telah dimulai pembuatan blok, jumlah lapisannya ada 5 yang
kayu lapis dengan ukuran 244 cm x 122 terdiri atas 4 lapis venir dan satu lapis
cm. Untuk keperluan khusus dibuat kayu kayu gergajian. Bahan inti kayu lapis
lapis berukuran 213 cm x 91 cm atau 250 dapat juga berupa sisa pemotongan kayu
cm x 125 cm. Pembuatan kayu lapis yang lapis dan papan blok yang dibuat bilah.
diberi laminasi venir indah dimulai pada
332 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
Untuk yang bahan intinya berupa sisa venir kayu indah, cat, kertas, polivinil
pemotongan kayu lapis, jumlah lapisan chlorid dan poliuretan. Venir kayu lapis
dapat 9 lapis dan 11 lapis, yaitu jumlah indah yang digunakan antara lain jati,
lapisan awal ditambah dengan lapisan sungkai, dan sonokeling. Sedangkan
yang baru. Bilah dari sisa pemotongan bahan laminasi kertas yang digunakan
kayu lapis ini dapat disusun berbaring mempunyai beraneka macam corak
atau berdiri. Untuk bahan intinya berupa baik yang bercorak kayu maupun bukan.
sisa pemotongan papan blok, jumlah Setelah diberi lapisan kertas kemudian
lapisannya menjadi 9 lapis, 5 lapis dapat diberi bahan pengilap. Ada
berasal dari sisa pemotongan papan blok kertas yang sudah diimpregnasi dengan
dan tambahannya 4 lapis. perekat fenol atau melamin formaldehid.
Berdasarkan penggunaannya, kayu lapis
Berdasarkan kekuatan ikatan perekat, dibagi menjadi dua golongan yaitu
kayu lapis dibagi menjadi dua golongan penggunaan umum dan penggunaan
besar, yaitu kayu lapis eksterior dan khusus. Kayu lapis untuk penggunaan
interior. Kayu lapis eksterior adalah kayu khusus dapat dibedakan dari macam
lapis yang tahan terhadap keadaan di penggunaannya, seperti kayu lapis
luar ruangan atau yang menyerupai konstruksi atau struktural dan kayu lapis
keadaan tersebut. cetakan beton. Salah satu ciri dari kayu
Kayu lapis interior adalah kayu lapis lapis ini adalah tebal lapisan luarnya.
yang hanya tahan terhadap keadaan di Menurut standar Jepang tebal minimum
dalam ruangan saja. Kayu lapis eksterior dari venir luar tersebut adalah 1,5 mm.
dapat dibagi lagi menjadi dua golongan, Berdasarkan bentuknya, kayu lapis dibagi
yaitu yang tahan terhadap air panas dan menjadi dua golongan yaitu kayu lapis
tahan terhadap cuaca (eksterior I) dan datar dan kayu lapis lengkung. Kayu lapis
yang tahan terhadap air panas tetapi yang datar dapat dilengkungkan pada
terbatas ketahanannya terhadap cuaca saat pemakaian. Pada pembuatan kayu
(eksterior II). Menurut Standar Inggris lapis tersebut dipakai mesin kempa yang
kedua golongan tersebut dinamakan platnya datar. Bila plat mesin kempa tidak
WBP (Weather an Boil Proof) dan BR datar melainkan melengkung misalnya
(Boil Resistant) atau CBR (Cyclic Boil berbentuk sandaran kursi, asbak, baki
Resistant). dan lain-lain maka akan dihasilkan
Kayu lapis interior dapat dibagi lagi kayu lapis lengkung. Pembuatannya
menjadi dua golongan, yaitu yang tahan tergantung pada bentuk acuannya dan
terhadap kelembaban tinggi (interior masih terbatas pada barang keperluan
I) dan yang hanya tahan terhadap rumah tangga seperti asbak, baki, cawan
kelembaban rendah (interior II). dan lain-lain.
Menurut standar Inggris kedua golongan
Pada saat ini kayu lapis banyak digunakan
itu disebut MR (Moisture Resistant)
sebagai bahan bangunan, karoseri mobil
dan INT (Interrior). Perekat yang paling
kerajinan tangan dan mebel. Keunggulan
banyak dipakai untuk membuat kayu
kayu lapis dibandingkan kayu gergajian
lapis interior II adalah urea formaldehida,
adalah dapat diperoleh dalam ukuran
sedangkan perekat yang sedikit dipakai
lebar, sifat kembang susutnya kecil (relatif
untuk membuat kayu lapis eksterior I
stabil), mudah pengerjaannya, dan relatif
adalah fenol formaldehida.
ringan. Selain itu ada beberapa pabrik
Berdasarkan bahan laminasi yang pengerjaan kayu yang mempunyai unit
digunakan, kayu lapis ada yang dilapisi pembuatan kayu lapis untuk membuat
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 333
Teknologi dan Industri Kehutanan
c) Papan partikel berlapis bertingkat dalam ukuran yang lebar dan panjang tetapi
tiga (graduated three layers board kekuatannya lebih rendah daripada kayu
atau graded density board). Papan ini lapis. Harga papan partikel lebih rendah
mempunyai ukuran partikel berbeda daripada kayu lapis. Penggunaan yang
antara bagian permukaan dan bagian utama adalah untuk mebel, kabinet televisi,
tengahnya secara bertahap. serta kabinet pengeras suara.
6) Berdasarkan Bahan Laminasi d. Papan Mineral
a) Papan partikel yang dilapisi venir.
Papan partikel yang bagian muka Papan mineral yang akan diulas mencakup
dan belakangnya dilapisi venir. Papan papan semen dan papan gipsum. Papan
partikel yang satu lapis atau dua lapis. semen (cement-bonded board) adalah
Dapat pula hanya satu permukaannya suatu papan tiruan yang dibuat dari kayu
yang dilapisi venir. atau bahan berlignoselulosa lainnya dengan
b) Papan partikel yang dilapisi kertas semen sebagai bahan perekatnya. Papan
pada satu atau dua permukaannya. gipsum adalah papan tiruan yang dibuat dari
Kertas yang dipakai dapat polos atau partikel kayu atau bahan berlignoselulosa
bercorak dan kemudian dapat diberi lainnya dengan menggunakan perekat
bahan pengilap. Selain itu dapat gipsum. Papan gipsum merupakan salah
digunakan pula kertas yang sudah satu jenis papan mineral karena perekatnya
diimpregnasi dengan perekat misalnya termasuk perekat anorganik.
melamin formaldehida. 1) Papan Semen. Bahan baku papan
serat berupa potongan kecil kayu
7) Berdasarkan Keteguhan Lentur. Menurut
yang bentuknya bermacam-macam,
standar Jepang ada 3 macam:
seperti wol kayu, selumbar, serutan,
a) Papan partikel tipe 200 (tipe 200
serbuk dan serat. Bila memakai wol
particleboard) yaitu papan partikel
kayu disebut papan semen wol kayu
yang mempunyai keteguhan lentur
atau secara umum disebut papan wol
180 kg/cm2 atau lebih.
kayu. Kalau menggunakan serat yang
b) Papan partikel tipe 150 (tipe 150
berasal dari pulp disebut papan semen
particleboard) yaitu papan partikel
pulp. Sedangkan yang lainnya disebut
yang mempunyai keteguhan lentur
papan semen partikel. Karena memakai
130 kg/cm2 atau lebih.
semen sebagai perekatnya, maka produk
c) Papan partikel tipe 100 (tipe 100
yang dihasilkan dari papan semen
particleboard) yaitu papan partikel
tahan terhadap rayap, jamur, api dan
yang mempunyai keteguhan lentur 80
air. Kegunaan papan semen, terutama
kg/cm2 atau lebih.
adalah untuk dinding dan plafon.
Sifat papan partikel yang diuji meliputi Tidak semua jenis kayu cocok untuk
kadar air, kerapatan, pengembangan tebal, dijadikan papan semen karena ada zat
penyerapan air, keteguhan rekat internal, ekstraktif yang dapat menghambat
modulus patah (MOR), modulus elastis pengerasan semen. Zat ekstraktif ini
(MOE) dan kuat cabut skrup. Faktor-faktor dapat dikurangi, misalnya melalui
yang mempengaruhi papan partikel antara perendaman. Untuk itu perlu diadakan
lain jenis kayu, zat ekstraktif kayu, perekat, pengujian hidratasi yang bertujuan untuk
ukuran partikel dan pengolahan. mengetahui atau menduga baik tidaknya
suatu jenis kayu sebagai bahan baku
Papan partikel mempunyai sifat relatif
papan semen. Dalam pengujian papan
ringan, mudah dikerjakan, dapat diperoleh
semen diukur suhu maksimum dan
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 335
Teknologi dan Industri Kehutanan
waktu yang diperlukan untuk mencapai sumbu longitudinal balok glulamnya, dan
suhu tersebut. dilekatkan satu sama lain dengan bahan
perekat, sehingga membentuk satu balok
Berdasarkan suhu maksimum dibuat berukuran lebih besar, baik berbentuk lurus
penggolongan kayu untuk papan semen. maupun lengkung.
Suhu maksimum di atas 41OC termasuk
baik, misalnya tusam (Pinus merkusii), Dari segi efisiensi, kayu laminasi lebih baik
meranti merah (Shorea leprosula). Suhu dibanding kayu solid karena dapat dibuat
maksimum 36OC–41OC termasuk sedang, dari kayu berukuran kecil, bermutu rendah
misalnya sengon (Falcataria moluccana) atau kombinasi mutu rendah dan mutu
dan jati (Tectona grandis). Suhu tinggi.
maksimum kurang dari 36OC termasuk
tidak baik, misalnya mersawa (Anisoptera Bentuk-bentuk kayu laminasi bervariasi
marginata) dan jabon (Anthocephalus dalam jenis, jumlah lapisan, ukuran,
cadamba). bentuk dan ketebalan. Beberapa contoh
bentuk balok laminasi dilihat dari cara
Industri papan semen di Indonesia mulai penempatannya terhadap beban yaitu
berdiri pada 1953 di Pontianak dengan balok laminasi vertikal dan horizontal.
memakai serbuk gergaji sebagai bahan
bakunya. Pada 1956 berdiri sebuah Berdasarkan bentuk penampangnya, kayu
pabrik papan semen di Palembang yang laminasi dapat dibedakan antara lain balok
menggunakan serbuk gergaji dan tatal. I, balok T, balok pipa, dan balok segi empat.
Pada 1970-an berdiri 6 buah pabrik papan Kayu laminasi terbagi menjadi beberapa
semen, 4 buah di antaranya memakai kategori berikut:
wol kayu dan sisanya menggunakan 1) Kayu Laminasi Struktural dan Bukan
serpih. Pada 1983 berdiri sebuah pabrik Struktural
papan semen yang memakai wol kayu.
Semua pabrik tersebut terletak di Jawa, Kayu laminasi struktural adalah kayu
Sumatra dan Kalimantan serta hanya laminasi yang digunakan untuk bahan
berproduksi selama beberapa tahun struktur bangunan yang memikul beban
karena tidak mampu bersaing dengan tinggi seperti struktur tiang, balok, kuda-
bahan bangunan konvensional. kuda, dan rangka atap pada bangunan
rumah dan gedung. Kayu laminasi bukan
2) Papan Gipsum. Ditinjau dari struktural adalah kayu laminasi yang
ketahanannya pada pengaruh cuaca, digunakan untuk bahan bangunan yang
papan gipsum termasuk bermutu memikul beban ringan seperti kusen,
interior. Penggunaannya terutama untuk jendela dan komponen bangunan
dinding dan plafon. Seperti halnya papan bangunan lainnya. Secara lebih luas kayu
mineral lainnya, papan gipsum tahan laminasi ukuran kecil dapat digunakan
terhadap rayap, jamur, dan api. sebagai bahan komponen mebel dan
furnitur.
e. Kayu Laminasi 2)
Kayu Laminasi Homogen dan Tidak
Homogen
Kayu laminasi atau Glued Laminated Timber
(Glulam) adalah komponen struktural Kayu laminasi dapat dibuat dari jenis
yang terbuat dari lebih dari dua kayu kayu/papan gergajian yang sama
pelapis atau lamina, berukuran lebih kecil, maupun berbeda berdasarkan mutu
yang disusun dengan arah sejajar pada dan dimensi kayunya. Kayu laminasi
336 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
homogen terbuat dari jenis, mutu dan pesawat, aula atau ruang pameran
ukuran yang sama (seragam), sedangkan biasanya dibuat kayu laminasi lengkung.
kayu laminasi tidak homogen terbuat dari
campuran jenis kayu, mutu dan ukuran Bahan baku kayu yang digunakan pada
yang berbeda. Pada pembuatannya pembuatan kayu laminasi bisa dari
berbagai jenis kayu, baik kayu berkualitas
didasarkan atas mutu kekakuan lentur
tinggi maupun kayu berkualitas rendah
(Modulus Elastisitas, MOE) dan kekuatan
yang bersumber dari hutan alam
lentur maksimum (Modulus of Rupture, maupun hutan tanaman. Pada proses
MOR) kayunya. pembuatannya papan laminasi harus
3) Kayu Laminasi Horizontal dan Vertikal bebas cacat terutama cacat mata kayu.
Nilai MOE dan MOR papan laminasi
Berdasarkan cara penempatannya diperoleh melalui pengujian tanpa
terhadap beban, dikelompokkan sebagai merusak papan (non destructive test).
balok laminasi (glulam) horizontal dan
Pada konstruksi kayu lapis majemuk,
balok laminasi (glulam) vertikal. Balok mutu perekat berperan penting. Baik-
laminasi horizontal adalah komponen buruknya sambungan kayu laminasi
struktur glulam yang dirancang menahan bergantung pada tempat sambungan dan
beban lentur, yang bekerja tegak lurus kekuatan perekat dalam menjalankan
terhadap bidang lebar laminanya, fungsinya.
sedangkan balok laminasi vertikal
adalah komponen struktur glulam yang Melekatnya dua lapisan kayu yang
dirancang untuk menahan beban lentur direkat, disebabkan adanya gaya tarik
yang bekerja sejajar bidang laminanya, menarik antara molekul-molekul perekat
seperti pada Gambar 5.36. dan antara molekul perekat dengan kayu.
Sebelum terjadi proses ikatan yang kuat,
4) Kayu Laminasi Berbentuk Lurus dan perekat mengalami berbagai fase, yaitu:
Lengkung a) Perekat mengalir secara merata pada
bidang yang direkat.
Pada kayu laminasi struktural kayu b) Adanya perpindahan perekat dari satu
laminasi dapat dibuat berbentuk lurus permukaan ke permukaan yang lain.
maupun lengkung
terhadap berdasarkan
bidang bentuk sedangkan
lebar laminanya, balok
c) Adanya laminasiperekat
penetrasi vertikalmelalui
adalah komponen
arsitektur
glulamdanyang
fungsi dari struktur
dirancang untuk menahan permukaan.
beban lentur yang bekerja sejajar bidang la
bangunan. Untuk bangunan hanggar d) Adanya pembasahan perekat pada
seperti pada Gambar 2.7.
P
L
P
h
h
h
b
b b
ls
Tahapan
Tabel 5.20. proses pembuatan
Penggunaan kayu laminasi,
Struktur Glulam sebagai berikut:
pada Konstruksi Berat
a) Log dibelah menjadi papan-papan dengan ketebalan sesuai rencana
No. Bentang
ditambah (L),toleransi
dengan m ±4 mm. Penggunaan
b)1.Papan dikeringkan
6 ~39 Balok kiln drying atau di ruangan terbuka
di dalam
2.dengan posisi
15 ~ 60 Kuda-kuda
berdiri sampai Bowstring
kadar airnya mencapai 10 – 12%.
c)3.Papan diseleksi
15 ~ 27 dari cacat secaramiring
Kuda-kuda visual dan di-grading untuk
4.mendapatkan nilai MOE
15 ~ 45 masing-masing
Kuda-kuda papan sejajar/rata
batang tekan dan dicantumkan
5.nilainya untuk
9 ~ 90penyusunan posisi laminasi.
Pelengkung
d)6.Papan yang10 ~ 105akan dilaminasi
Domes diserut dan diampelas sampai
ketebalannya sesuai rencana.
e) Cacat
Tabel 5.21.fisik
Kelasberupa
Mutu mata
Glulamkayu, serat tersisip
Berdasarkan dan cacat
MOE yang Diukurlain yang
terdapat dengan
pada papan dibuang,
Mesin Grading kemudian disambung dengan tipe
sambungan yang sesuai dengan jenis dan kualitas kayu.
Mutu untuk
f) Papan-papan glulamlaminasi disusun sesuai
MOE (10 3 kgf/cm2)
urutan nilai MOE dari
L200 200
L180 180 30
L160 160
L140 140
L125 125
L110 110
L100 100
L90 90
L80 80
L70 70
L60 60
L50 50
Sumber: JAS (1996)
nilai MOE masing-masing papan dan tinggi mutu kayu, semakin tinggi
dicantumkan nilainya untuk penyusunan kekuatan glulam yang dihasilkan.
posisi laminasi. 2) Mata Kayu. Besarnya ukuran mata
4) Papan yang akan dilaminasi diserut dan kayu relatif terhadap lebar kayu lamina
diampelas sampai ketebalannya sesuai dan posisinya terhadap sumbu glulam
rencana. akan dapat menurunkan kekuatan
5) Cacat fisik berupa mata kayu, serat glulam secara keseluruhan. Mata kayu
tersisip dan cacat lain yang terdapat pada mengganggu arah serat di sekitar lokasi
papan dibuang, kemudian disambung mata kayu dan dapat memperlemah sifat
Tabel 5.20. Penggunaan
dengan tipe sambungan yang sesuaiStruktur Glulamketeguhan
pada Konstruksi Berattarik, dan tekan sejajar
lentur,
dengan jenis dan kualitas
No. kayu. (L), m
Bentang serat.
Penggunaan
6) Papan-papan untuk 1. laminasi 6 ~39 disusun Balok 3) Kemiringan Arah Serat Kayu. Arah serat
sesuai urutan nilai2.MOE dari 15 ~sisi
60 terluar kayu lamina yang miring juga mengurangi
Kuda-kuda Bowstring
menuju garis netral 3. 15 ~ 27 bagian
(lamina Kuda-kuda miring
sifat keteguhan lentur, tarik, dan tekan
tengah) dengan 4.urutan 15 nilai ~ 45 MOE Kuda-kuda batang tekan
sejajar sejajar/rata
serat yang akhirnya juga dapat
5. 9 ~ 90 Pelengkung
terbesar pada bagian sisi terluar. menurunkan kekuatan glulam. Namun
6. 10 ~ 105 Domes
7) Berikutnya, papan-papan tersebut hal tersebut dapat dihindari melalui
direkat untuk menjadi kayu laminasi
Tabel 5.21. Kelas Mutu Glulam Berdasarkanpengaturan dan pemilahan kayu untuk
MOE yang Diukur
dengan mesin kempa dingin atauMesin
dengan denganGrading dilaminasi.
alat kempa sederhana selama minimum 4) Retak Sejajar Serat dan Pecah. Cacat
Mutu glulam MOE (103 kgf/cm2)
4 jam (tergantung jenis perekat yang retak pada kayu dapat menurunkan
L200 200
digunakan) pada tekanan kempa 10 kg/ keteguhan geser seperti halnya pada
cm .
2 L180 180 karena cacat ini mengurangi
kayu solid,
L160
8) Kayu laminasi dibiarkan (conditioning) 160 menahan geser dan merusak
bidang yang
selama 1 minggu. L140 140 keteguhan totalnya. Namun
integritas
L125
9) Perataan sisi menggunakan mesin gergaji 125
cacat tersebut jarang terjadi dan dapat
bundar (circular saw) dan diketam. L110 dihindari110dengan meletakkan posisi kayu
L100 laminasi100tersebut pada zona geser yang
Faktor-faktor yang mempengaruhi L90kekuatan lebih rendah
90 sewaktu membuat glulam.
kayu laminasi (glulam), sebagai berikut:
L80 80
1) Jenis dan Mutu Kayu. Kayu L70 yang Penggunaan 70 struktur glulam pada
dipakai untuk lembar pelapisL60(lamina), konstruksi 60berat disajikan pada Tabel 5.20.
merupakan faktor paling menentukan L50 Kelas mutu50papan lamina berdasarkan MOE
terhadap kekuatan Sumber:glulam.
JAS (1996) Semakin yang diukur dengan mesin grading disajikan
pada Tabel 5.21. Mutu papan gergajian Pulp didefinisikan sebagai kumpulan serat
berdasarkan pengujian secara mekanis individu yang diperoleh melalui perlakuan
pada Tabel 5.22. khusus (mekanis, kimia, panas, atau
kombinasinya) terhadap kayu atau bahan
f. Modifikasi Kayu Solid serat berlignoselulosa lain. Aspek pulp
Produksi kayu dari hutan tanaman secara biasanya sering dikaitkan dengan kertas,
kuantitas semakin meningkat bahkan telah dan sesungguhnya pulp merupakan bentuk
melampaui produksi kayu dari hutan alam. setengah jadi, sedangkan kertas (termasuk
Pada umumnya, kayu dari hutan tanaman karton) merupakan salah satu macam
berasal dari jenis-jenis cepat tumbuh atau bentuk jadi (produk turunan pulp).
dipanen lebih cepat. Oleh karena itu, sifat- Perbedaan antara kertas dan karton
sifat kayu dari hutan tanaman dari jenis terletak pada berat dasar (gramatur) dan
cepat tumbuh tersebut seringkali tidak tebalnya. Lembaran dengan tebal dan
memenuhi persyaratan bahan baku untuk gramatur berturut-turut di bawah 224
produk tertentu seperti furnitur dan produk gram/m2 dan 0,3 mm dikategorikan sebagai
kayu solid lainnya. kertas, sedangkan di atas nilai-nilai tersebut
Hal ini terutama dikarenakan karakteristik sebagai karton. Bentuk jadi lain turunan
kayu muda (juvenile) yang tidak diinginkan pulp di antaranya adalah papan serat,
yaitu kepadatan rendah, keawetan rendah, rayon (sutera tiruan), selulosa nitrat (untuk
kekuatan rendah, dan ketidakstabilan bahan peledak), selulosa asetat (bahan film
dimensinya. Untuk mengatasi berbagai dan plastik untuk boneka), dan selulosa
kelemahan sifat tersebut dan agar kayu fosfat (sebagai bahan penghambat gerakan
cepat tumbuh dari hutan tanaman nyala api dan banyak pula digunakan untuk
memenuhi persyaratan untuk produk ramuan tekstil).
tertentu maka diperlukan modifikasi. Hingga kini kayu masih merupakan penyedia
Modifikasi kayu solid merupakan proses utama (sekitar 93%) pembuatan pulp
untuk memperbaiki kelemahan pada sifat- dan produk turunannya, sedang sisanya
sifat kayu sehingga kayu tersebut meningkat adalah bahan berserat lignoselulosa lain
kualitasnya. Teknik dan/atau metode yang (seperti bagasse/ampas tebu, merang padi,
bisa dilakukan cukup bervariasi, mulai dari bambu, serat kenaf, dan serat abaka). Serat
yang sederhana (hanya menggunakan tersebut dikenal dengan istilah serat alami.
tekanan mekanis tanpa bahan kimia) hingga Di samping itu terdapat serat sebagai bahan
yang kompleks (menggunakan tekanan dan/ baku pulp yang disebut serat sekunder yaitu
atau menggunakan bahan kimia), termasuk serat-serat dari kertas bekas dan produk
kombinasi di antara keduanya. industri pulp/kertas yang dianggap tidak
memenuhi syarat.
Perlakuan yang dapat meningkatkan berat
jenis atau kepadatan kayu olahan adalah Kayu dan serat lignoselulosa lain memiliki
impregnasi, kompresi dan kombinasi kelemahan yaitu proses pembentukan
keduanya. Berbagai penelitian telah serat secara alamiah memerlukan waktu
dilakukan tentang peningkatan kerapatan lama, sehingga menghadapi saingan
spesies kayu yang berbeda dengan dari serat sintetis yang dapat diproduksi
menggunakan metode yang berbeda. secara cepat (antara lain glass, nylon,
dan dacron). Meskipun demikian, serat
sintetis masih dipertanyakan mengenai
sifat terbarukannya (renewability) serta
g. Pulp, Kertas dan Turunan Selulosa Lain keramahan prosesnya terhadap lingkungan.
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 341
Teknologi dan Industri Kehutanan
anyaman serat lebih kompak, dan serat komposisi kimia pulp mekanis tidak
mudah dibentuk selama pembentukan banyak berubah dari asalnya.
lembaran, sehingga berpengaruh positif
terhadap sifat fisik dan kekuatan kertas. Modifikasi proses mekanis antara lain
adalah proses kimia-mekanis, termo-
Umur pohon sebagai sumber serat mekanis (TMP), dan termo-kimia-
perlu diperhatikan. Karakteristik kayu mekanis (TCMP), di mana bahan kayu
yang dibentuk jaringan kambium pada mengalami perlakuan pendahuluan
saat umur pohon masih muda berbeda secara kimia, panas, atau kombinasinya
dengan karakteristik saat umur pohon untuk melunakkan lignin, sehingga
sudah dewasa. Untuk aspek pertama, memudahkan perlakuan mekanis.
kayu tersebut disebut kayu muda Bahan kimia yang dipakai untuk tujuan
(juvenile wood), sedang pada aspek tersebut umumnya adalah alkali
berikutnya adalah kayu dewasa (mature (NaOH) atau natrium sulfit (Na2SO3)
wood). Kayu muda berkarakteristik dengan konsentrasi sekitar 5-8%,
panjang serat lebih pendek, kekuatan sedangkan perlakuan panas lazimnya
dan kadar selulosa lebih rendah, serta menggunakan uap super heated
kadar lignin lebih tinggi dibandingkan (bersuhu >100oC), selama 20-30 menit
kayu dewasa. Keadaan ini membuat sifat (pada sistem batch). Pulp mekanis
dan kualitas pulp yang dihasilkan dari banyak digunakan untuk kertas hisap,
kayu muda lebih rendah. karton, kertas cetak, kertas tissue,
katalog, dan produk kertas lain yang
2)
Pengolahan bahan Serat Secara tidak memerlukan sifat kekuatan dan
Konvensional stabilisasi warna yang tinggi.
Pengolahan bahan serat secara Pada proses kimia, kayu atau
konvensional meliputi persiapan lignoselulosa lain diubah menjadi serat-
bahan baku, pengolahan pulp, dan serat pulp dengan mendegradasi dan
pembentukan produk jadi. Macam melarutkan lignin. Bersamaan dengan
produk jadi dari pulp adalah kertas/ itu secara selektif menyelamatkan
karton, papan serat, dan produk lain senyawa selulosa dan hemiselulosa.
turunan pulp berderajat kemurnian Proses tersebut menggunakan ketel
selulosa tinggi (dissolving pulp). pemasak dengan tekanan di atas 1
a)
Persiapan bahan baku. Tahapan atmosfir, suhu tinggi (120-160oC)
persiapan khusus untuk kayu dan waktu 2-4 jam. Rendemen pulp
mencakup pemotongan dolok, kimia berkisar 40-50%, akan tetapi
pembuangan kulit, dan penyerpihan. sifat kekuatan dan stabilisasi warna
pulp kimia lebih tinggi dari pada pulp
b)
Proses Pengolahan Pulp. Secara mekanis. Pulp kimia banyak ditujukan
konvensional proses ini umumnya untuk membuat kertas tulis/buku,
terdiri dari 3 macam proses utama majalah, produk kertas dengan sifat
yaitu mekanis, semi kimia, dan kekuatan dan stabilitas warna tinggi,
kimia. Proses mekanis bertujuan serta turunan pulp lain dengan derajat
mendapatkan serat terpisah (pulp) kemurnian selulosa tinggi yaitu >95%
yang umumnya dilakukan secara (dissolving pulp).
mekanis. Rendemen pulp mekanis
relatif tinggi (85-95%), tetapi sifat Berdasarkan derajat keasaman (pH),
kekuatannya rendah. Kandungan terdapat dua macam proses kimia
lignin masih relatif tinggi atau larutan pemasak yaitu cara asam
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 343
Teknologi dan Industri Kehutanan
(proses sulfit, pH sekitar 3-4) dan cara dan sifat kekuatan lebih tinggi dari
alkali (proses soda dan sulfat/kraft, pH pada proses soda atau proses sulfit.
di atas 7). Reaksi proses sulfat terutama terjadi
dengan pemutusan ikatan α-O-4 dan
Bahan kimia proses sulfit adalah β-O-4 pada lignin, sehingga mudah
campuran larutan asam sulfit (H2SO3) larut.
dan ion bisulfit (HSO3-) dengan
kation tertentu (Na+, NH4+, Ca+2, Sama halnya dengan proses
atau Mg+2), sehingga terjadi reaksi sulfit, variasi kondisi proses sulfat
sulfonasi terhadap lignin dengan dipengaruhi oleh macam bahan serat
mekanisme pemutusan benzyl-aryl- dan macam produk yang dikehendaki.
ether (α-O-4) sehingga terlarut dalam Lebih lanjut, teknologi daur ulang
bentuk asam ligno-sulfonat. bahan kimia dari cairan bekas pemasak
(black liquor) pada proses sulfat (kraft)
Kondisi proses sulfit yang umum sudah sangat lama dilakukan, guna
adalah konsentrasi bahan kimia menghemat pemakaian bahan kimia
150-300 mM/liter (sebagai total SO2 dan energi.
ekivalen), suhu maksimum 130-150oC
(selama 2-3 jam), dan ratio bahan serat Modifikasi proses kimia (khususnya
(serpih kayu atau serat lignoselulosa proses sulfat), di mana sebelum
lain) dengan larutan pemasak sekitar kondisi proses tersebut diterapkan,
1:4 hingga 1:5. Tergantung dari macam dilakukan perlakuan pendahuluan
produknya, dengan urutan kertas terhadap kayu atau bahan serat
tahan minyak, kertas tulis/cetak, berlignin-selulosa menggunakan
dan dissolving pulp, membutuhkan asam mineral (umumnya HCl) pada
kondisi proses lebih keras (suhu, konsentrasi rendah (sekitar 1-2%)
waktu, dan konsentrasi bahan kimia dan diberi perlakuan panas secara
lebih tinggi). Variasi kondisi proses singkat (lazimnya uap superheated).
sulfit dipengaruhi oleh jenis kayu Tujuannya adalah menghidrolisa
atau bahan serat berlignoselulosa hemiselulosa sehingga terdegradasi
yang diolah. Proses sulfit tidak banyak dan diperoleh produk pulp
digunakan lagi karena membutuhkan berderajat kemurnian selulosa tinggi
peralatan berkonstruksi logam khusus >95%. Produk ini ditujukan untuk
tahan karat dan suasana asam ikut menghasilkan dissolving pulp.
mendegradasi fraksi karbohidrat
kayu yaitu selulosa dan hemiselulosa, Modifikasi proses kimia lain adalah
sehingga menurunkan rendemen yang disebut proses soda atau
pulp. proses sulfat dengan penambahan
antrakinon (AQ). Banyaknya AQ
Pada cara alkali (pH 10-12), proses kraft yang ditambahkan biasanya berkisar
sebagai modifikasi proses soda (hanya 1-3% dari berat kering kayu (bahan
menggunakan NaOH) paling dominan serat). Ternyata AQ selain berperan
dilakukan menggunakan bahan kimia terhadap delignifikasi yang lebih
campuran soda (NaOH) dan natrium selektif, juga mengurangi degradasi
sulfide (Na2S). Penggunaan Na2S karbohidrat serat. Modifikasi tersebut
ternyata mempertinggi keselektifan menghasilkan pulp yang lebih kuat dan
delignifikasi dan mengurangi berendemen lebih tinggi, mengurangi
degradasi karbohidrat, sehingga konsumsi bahan kimia (alkali), dan
menghasilkan pulp dengan rendemen mempersingkat waktu proses.
344 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
Bagan pengeringan
Bagan pengeringan
2 2 Bagan pengeringan
Bagan pengeringan
7 7
Kadar Air Kadar Suhu
Air Suhu
KelembabanKelembaban Kadar Air Kadar Suhu
Air Suhu
KelembabanKelembaban
(%) (%) (oC) (oC)
Nisbi (%) Nisbi (%) (%) (%) (oC) (oC)
Nisbi (%) Nisbi (%)
≤ 50– 30 ≤ 50– 3040 40 83 83 ≤ 50– 30 ≤ 50– 3055 55 81 81
30 – 25 30 – 2545 45 78 78 30 – 25 30 – 2565 65 74 74
25 - 20 25 - 2050 50 71 71 25 - 20 25 - 2070 70 65 65
20 – 15 20 – 1555 55 57 57 20 – 15 20 – 1575 75 49 49
< 15 < 15 65 65 36 36 < 15 < 15 80 80 29 29
Bagan pengeringan
Bagan pengeringan
3 3 Bagan pengeringan
Bagan pengeringan
8 8
Kadar Air Kadar Suhu
Air Suhu
KelembabanKelembaban Kadar Air Kadar Suhu
Air Suhu
KelembabanKelembaban
(%) (%) (oC) (oC)
Nisbi (%) Nisbi (%) (%) (%) (oC) (oC)
Nisbi (%) Nisbi (%)
≤ 50– 30 ≤ 50– 3045 45 83 83 ≤ 50– 30 ≤ 50– 3055 55 72 72
30 – 25 30 – 2550 50 80 80 30 – 25 30 – 2565 65 74 74
25 - 20 25 - 2055 55 72 72 25 - 20 25 - 2070 70 65 65
20 – 15 20 – 1560 60 54 54 20 – 15 20 – 1575 75 49 49
< 15 < 15 70 70 40 40 < 15 < 15 85 85 24 24
Bagan pengeringan
Bagan pengeringan
4 4 Bagan pengeringan
Bagan pengeringan
9 9
Kadar Air Kadar Suhu
Air Suhu
KelembabanKelembaban Kadar Air Kadar Suhu
Air Suhu
Kelembaban Kelembaban
(%) (%) (oC) (oC)
Nisbi (%) Nisbi (%) (%) (%) (oC) (oC)Nisbi (%) Nisbi (%)
≤ 50– 30 ≤ 50– 3050 50 83 83 ≤ 50– 30 ≤ 50– 3065 65 74 74
30 – 25 30 – 2555 55 80 80 30 - 25 30 - 2575 75 70 70
25 - 20 25 - 2060 60 72 72 25 - 20 25 - 2080 80 59 59
20 – 15 20 – 1565 65 54 54 20 – 15 20 – 1580 80 39 39
< 15 < 15 70 70 40 40 < 15 < 15 85 85 24 24
Bagan pengeringan
Bagan pengeringan
5 5
Kadar Air Kadar Suhu
Air Suhu
KelembabanKelembaban
(%) (%) (oC) (oC)
Nisbi (%) Nisbi (%)
≤ 50– 30 ≤ 50– 3050 50 80 80
30 – 25 30 – 2555 55 72 72
25 - 20 25 - 2060 60 62 62
20 – 15 20 – 1565 65 45 45
< 15 < 15 75 75 27 27
Sumber: Modifikasi dari Forest Products Laboratory Madison
dilakukan di industri skala kecil atau industri rumahan (home industry). Pada industri skala besar,
pengeringan alami hanya sebagai antara (predrying) sebelum kayu dikeringkan dalam dapur
pengering. Perbedaan antara cara pengeringan alami dan cara pengeringan dalam dapur
Vademecum
pengering, dapat dilihat dalam Tabel 2.15.
357
Tabel 2.10. Perbedaan pengeringan kayu secara alami dan pengeringan
Kehutanan dalam2020
Indonesia dapur
Teknologi dan Industri Kehutanan
pengering
Tabel 5.25. Perbedaan pengeringan kayu secara alami dan pengeringan dalam dapur pengering
Pengeringan Dalam Dapur Pengering
Keterangan Pengeringan Alami
Sederhana Konvensional
Suhu, kelembaban dan Tergantung alam, Peralatan kontrol, Dapat diatur sesuai bagan
kecepatan udara tidak dapat diatur terutama kelembaban pengeringan yang
masih secara manual digunakan
Waktu pengeringan Satu minggu sampai 3 hari sampai 1 hari sampai beberapa
beberapa bulan beberapa minggu minggu
Kadar air akhir Kering udara, berkisar Sesuai kadar air yang Sesuai kadar air yang
antara 12 – 18% diinginkan diinginkan
Cacat kayu Sulit dihindari dan Dapat dihindari Dapat dihindari dan
tidak dapat diperbaiki beberapa jenis cacat dapat
diperbaiki
Kontinuitas produksi Tidak tentu, Dijamin Dijamin
bergantung suplai
kayu dan permintaan,
mengikat modal
Investasi modal Kecil, tidak Menengah, Lebih besar,memerlukan
memerlukan peralatan memerlukan beberapa peralatan yang mahal
yang mahal peralatan
Tempat Memerlukan lahan Tidak memerlukan Tidak memerlukan lahan
luas lahan yang luas yang luas
Tungku I
Gambar 5.40. . Prototype bangunan pengering tenaga surya dan tungku tipe I dan tipe II yang
dikembangkan P3HH, di Bogor (Sumber: P3HH)
Gambar 2.3. Prototype bangunan pengering tenaga surya dan tungku tipe I dan tipe II.
(Lokasi: Pustekolah, Bogor)
2) Dapur pengering konvensional (kiln drying)
Sistem ini menggunakan pipa-pipa pemanas (heating coils) yang menyebabkan udara
dalam ruangan terinduksi panas, kemudian udara panas disirkulasikan oleh kipas-kipas (fans)
dan diarahkan ke plafon antara (sub-ceiling). Sistem ini juga dilengkapi dengan ventilasi yang
bekerja secara otomatis (automatic ventilators) untuk mengeluarkan udara lembab (basah)
dari dalam ruang pengering jika sudah jenuh dengan uap air. Sumber panas untuk
pengeringan biasanya dari ketel uap (boiler). Sistem pengeringan ini cukup bagus karena
dilengkapi dengan alat untuk menyemburkan uap (steam spray) serta pengatur suhu dan
kelembaban sesuai kebutuhan pengeringan. Namun, alat pengering ‘kiln drying’ hanya cocok
bila diterapkan di industri besar karena harganya sangat mahal dan biaya operasionalnya
menjadi efisien jika volume (kapasitas) kayu yang dikeringkan banyak. Gambar 2.12,
memperlihatkan salah satu prototipe sistem pengeringan kiln drying yang umumnya dimiliki
industri perkayuan skala besar.
Gambar 5.41. Kiln drying dengan posisi kipas yang dikoneksikan ke motor penggerak.
Udara dialirkan langsung ke setiap permukaan kayu
(Simpson, 1991)
dengan kayu yang akan dikeringkan, lurus, bebas mata ka
mengering tanpa mengalami cacat bentuk dan noda warna
1 m tumpukan diberi ganjal pembatas dengan tumpuk
kosong antara kayu dengan dinding dan langit-langit
Vademecum
tumpukan paling atas
Kehutanan juga diberi
Indonesia 2020beban/pemberat,
359 yang b
besi agar
Teknologi dansortimen paling atas tidak berubah bentuk.
Industri Kehutanan
Jarak kayu dari dinding ruang pengering relatif,
karena akan menghambat sirkulasi panas ke setiap bag
dan biaya operasionalnya menjadi Ganjal
kayu. Jarak sebaiknya dibuatatasdari
tumpukan paling kayu
dengan atap dibuat seki
efisien jika volume (kapasitas) kayu sejenis dengan kayu
untuk pengontrolan dalam ruangan. yang akan
yang dikeringkan banyak. Gambar dikeringkan, lurus, bebas mata kayu,
5.41, memperlihatkan salah satu kering dan awet agar kayu dapat
prototipe sistem pengeringan kiln mengering tanpa mengalami cacat
drying yang umumnya dimiliki industri bentuk dan noda warna. Selain itu,
perkayuan skala besar. juga diupayakan pada setiap tinggi 1
m tumpukan diberi ganjal pembatas
3) Teknik Pengeringan dengan tumpukan di atasnya dan
Kayu dapat mengering dengan cepat harus ada ruang kosong antara kayu
Gambar dinding
dengan 2.5. Teknik dan
penumpukan horizontal
langit-langit
tanpa menurunkan kualitasnya,
bergantung pada kondisi alat ruang pengering. Permukaan Sumber: pada Budianto (2000
pengeringan, teknik penumpukan, tumpukan paling atas juga diberi
dan penggunaan bagan pengeringan. pemberat, yang bisa dari balok-balok
Pelaksanaan pengeringan meliputi kayu keras atau besi agar sortimen
paling atas tidak berubah bentuk.
kegiatan persiapan, pengamatan proses Tabel 2.11. Hubungan
pengeringan, dan pencegahan cacat. Tabel 5.26. Hubungan antara antara tebal kayu dengan tebal
tebal kayu
dengan tebal dan jarak ganjal
a) Persiapan
Tebal Kayu Tebal Ganjal Jarak Antar
Kayu yang akan dikeringkan bisa (cm) (cm) Ganjal (cm)
2,0 2,0 50
disusun secara vertikal (tumpukan
2,5 2,5 50
silang) umum untuk pengeringan 3,0 2,5 60
alami, dan secara horizontal (Gambar ≥ 4,0 3,0 – 3,5 60 - 90
5.41). Pada penyusunan horizontal,
agar sirkulasi udara dapat bebas dan 2) Proses pengeringan
merata mengenai seluruh permukaan Pengeringan dalam dapur pengering memerlukan bi
kayu, maka antar sortimen atau menghemat
Jarak kayuenergi, disarankan
dari dinding sortimen kayu yang akan
ruang
tumpukan diberi ganjal (sticker) pengering relatif, yang pentingmencapai sek
setengah kering atau kadar airnya sudah
pembatas dengan ukuran yang lazim kayu mudah mengering secara alami pada kadar air di ata
jangan terlalu dekat karena akan
digunakan, seperti tercantum pada tingkat kesulitan tinggi jika dikeringkan terlalu cepa
menghambat sirkulasi panas ke setiap
menurun kualitasnya.
Tabel 5.26. bagian kayu,
Urutan terutama
kegiatan pada pada arah dalam dap
pengeringan
lebar kayu. Jarak tumpukan paling
(horizontal, persegi), penetapan lokasi contoh pengamat
atas dengan
pengawasan atap
suhu dandibuat sekitar
kelembaban 30-sesuai bagan p
udara
40 cm dan upayakan ada jalan untuk
pengontrolan dalam ruangan.
b) Proses pengeringan
Pengeringan dalam dapur pengering
memerlukan biaya energi yang cukup
tinggi. Untuk menghemat energi,
disarankan sortimen kayu yang akan
dikeringkan sudah dalam kondisi
setengah kering atau kadar airnya
sudah mencapai sekitar 40%. Hal
ini karena umumnya kayu mudah
mengering secara alami pada kadar
air di atas 40%. Disamping itu kayu
Gambar 5.42. Teknik penumpukan horizontal
dengan tingkat kesulitan tinggi jika
(Budianto, 2000)
diinginkan dapat dicapai dan dipertahankan dengan cara mengatur volume bahan bakar atau
besar kecilnya pengapian di tungku.
Dalam setiap proses pengeringan kayu keras atau yang berberat jenis (BJ) tinggi sering
terjadi pengerasan kulit (casehardening) pada bagian permukaan kayu. Hal ini karena kayu
360 yangVademecum
masih basah jika dikeringkan
Kehutanan Indonesia 2020secara cepat bisa menimbulkan tegangan dalam kayu.
PengerasanTeknologi
kulit dan
dapat
Industridiketahui
Kehutanan dengan membuat garpu uji yang diambil dari contoh
pengamatan (Gambar 2.14).
L
L
T
T a b c
Keterangan: a=tanpa pengerasan kulit; b dan c=terjadi pengerasan kulit; T=tebal; L=lebar
Gambar Gambar
2.6. Cara pembuatan
5.43. garpu
Cara pembuatan uji dari
garpu contoh
uji dari contohpengamatan
pengamatan
Keterangan: a = Tanpa pengerasan kulit; b dan c = Terjadi pengerasan kulit; T = Tebal; L = lebar
Dapur pengeringan
dikeringkan terlalu cepat konvensional
pada seperti kiln drying
(tanpa yang dilengkapi
alat kontrol dengan
kelembaban), bilaperalatan
kondisi sangat
pengontrol suhubasah
dan akan menurun
kelembaban nisbi udara, suhu ruangankulit
pengerasan terlalu
dapatkering, maka dengan
dihilangkan
kualitasnya.
menaikkan kelembaban di atas 80% dan suhu perlupengeringan
mengaktifkansekitar
kipas pembuang
80oC. Kondisi ini
dipertahankan selama sekitar 3 jam untuk tebaludara kayu basah
sampai(exhaust fan) dari ruang
4 cm, bergantung pada tingkat
Urutan kegiatan pada pengeringan pengering ke udara bebas, dan atau
keparahan pengerasan kulit. Namun untuk dapur pengeringan sederhana, pengerasan kulit
dalam dapur pengering adalah
dapat ditekan (horizontal,
dengan mengukus melakukan penyemprotan dengan air.kayu dan
penumpukan persegi),kayu
o
sebelum
Suhu
dikeringkan
tungku yang
atau membasahi
diinginkan dapat
menaikkanlokasi
penetapan suhu ruangannya sampai 80 C. Pengerasan kulit lazim terjadi pada kayu
contoh pengamatan, dari hutan
alam, terutamakadar
yang memiliki dicapai dan dipertahankan dengan
pengukuran air awal,BJ dan
tinggi (kayu keras).
cara mengatur volume bahan bakar
3) pengawasan
Cacat pengeringan
suhu dandan kelembaban
pencegahan
atau besar kecilnya pengapian di
udara Cacat
sesuaipengeringan adalah kerusakan yang terjadi pada kayu sebagai hasil dari kegiatan
bagan pengeringan
tungku.
pengeringan
(drying yang bisa
schedule) yang menurunkan
digunakan. kekuatan, keawetan (terhadap jamur dan bubuk kayu
Contoh pengamatan
basah), dan nilai kayu.sebagai wakilyang umumnya
Cacat kayu Dalamterjadi selama
setiap pengeringan
proses adalah retak-
pengeringan
dari
pecahkayu yang dikeringkan
permukaan, pecah ujung,secara
pecah bontos, pecah
kayudikeras
bagian dalam
atau yangkayu (Gambar
berberat jenis2.15), dan
berkala
berbagai diamati dan (Gambar
cacat bentuk diukur kadar
2.16). (BJ) tinggi sering terjadi pengerasan
airnya, sehingga perkembangan kulit (casehardening) pada bagian
jalannya pengeringan dapat diikuti permukaan kayu. Hal ini karena kayu
setiap saat. Cara penempatan contoh yang masih basah jika dikeringkan
pengamatan dalam satu tumpukan secara cepat bisa menimbulkan
kayu adalah di bagian kiri/kanan tegangan dalam kayu. Pengerasan
atas tumpukan, bagian dalam atau
tengah, dan bagian bawah tumpukan.
Banyaknya contoh pengamatan untuk
setiap muatan kayu yang dikeringkan,
minimal 5 buah.
Pada proses
Gambar pengeringan
2.7. Pecah pada kayuyang
berpegangan pada bagan pengeringan
Keterangan: A. Pecah permukaan; B. Pecah ujung, kolaps sampai pecah dalam kayu
maka diawal proses harus
menggunakan suhu yang rendah
5
dan kelembaban yang tinggi. Suhu
dinaikkan dan kelembaban diturunkan
secara bertahap, disesuaikan dengan
tingkat penurunan kadar air. Selama
proses pengeringan perlu pengawasan Keterangan: A. Pecah permukaan; B. Pecah ujung,
kolaps sampai pecah dalam kayu
selama 24 jam agar perubahan kadar
air dan kualitas kayu bisa diketahui.
Gambar 5.44. Pecah pada kayu
Pada dapur pengering sederhana (S & W Report, 2005)
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 361
Teknologi dan Industri Kehutanan
kulit dapat diketahui dengan membuat ujung, pecah bontos, pecah di bagian
garpu uji yang diambil dari contoh dalam kayu (Gambar 5.44), dan
pengamatan (Gambar 5.43). berbagai cacat bentuk (Gambar 5.45).
Dapur pengeringan konvensional Untuk jenis kayu yang mudah pecah,
seperti kiln drying yang dilengkapi disarankan menggunakan suhu rendah
dengan peralatan pengontrol pada awal pengeringan, sebagaimana
suhu dan kelembaban nisbi udara, telah dijelaskan sebelumnya. Untuk
pengerasan kulit dapat dihilangkan mencegah pecah ujung disarankan
dengan menaikkan kelembaban di pada kedua permukaan ujung kayu
atas 80% dan suhu pengeringan dilapisi atau diflinkut, sedangkan
sekitar 80oC. Kondisi ini dipertahankan untuk mencegah pecah permukaan
selama sekitar 3 jam untuk tebal kayu atau pecah di bagian dalam kayu
sampai 4 cm, bergantung pada tingkat bisa dilakukan dengan mengukus
keparahan pengerasan kulit. Namun atau menguapi kayu sebelum proses
untuk dapur pengeringan sederhana, pengeringan.
pengerasan kulit dapat ditekan
dengan mengukus kayu sebelum Untuk jenis kayu yang kecenderungan
dikeringkan atau membasahi kayu dan cacat bentuknya tinggi dapat dikurangi,
menaikkan suhu ruangannya sampai antara lain dengan pengaturan pola
80oC. Pengerasan kulit lazim terjadi
pada kayu dari hutan alam, terutama
yang memiliki BJ tinggi (kayu keras).
c) Cacat pengeringan dan pencegahan
Cacat pengeringan adalah kerusakan
yang terjadi pada kayu sebagai hasil
dari kegiatan pengeringan yang bisa
menurunkan kekuatan, keawetan
(terhadap jamur dan bubuk kayu
basah), dan nilai kayu. Cacat kayu yang Gambar 5.46 Teknik penyusunan kayu
umumnya terjadi selama pengeringan yang sudah kering
adalah retak-pecah permukaan, pecah (FWPRDC Project, 2003)
362 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
penggergajian, teknik penyusunan yang bahan atau plastik yang kedap air.
tepat dengan menggunakan kriteria
b. Pengawetan Kayu
ganjal sebagaimana ditunjukkan dalam
Tabel 5.26, serta memberi beban yang Pengawetan kayu merupakan salah satu
cukup pada permukaan tumpukan paling upaya penyempurnaan sifat kerentanan
atas. Pencegahan terjadinya retak, pecah kayu terhadap organisme perusak,
dan perubahan bentuk terhadap jenis- sehingga kayu tersebut meningkat kelas
jenis kayu yang sulit dikeringkan selain keawetannya. Tidak semua kayu harus
melakukan penumpukan yang benar, diawetkan, akan tetapi dianjurkan untuk
juga dengan mengukus kayu selama kayu dengan kelas awet III-V yaitu kayu
beberapa waktu, kemudian menutupi yang rentan sampai sangat rentan terhadap
kedua ujungnya dengan flinkut. serangan organisme perusak kayu.
Kegiatan ini dilakukan sebelum proses
pengeringan. Untuk jenis kayu yang Pengawetan kayu adalah suatu upaya untuk
peka terhadap jamur, supaya dikeringkan memasukkan bahan pengawet ke dalam
segera menggunakan suhu di atas 50oC. kayu agar tidak diserang organisme perusak
sehingga umur pakai kayu menjadi lebih
4) Penyimpanan Kayu Kering
panjang. Pengawetan kayu hanya dapat
Kayu yang telah kering harus ditempatkan memperbaiki sifat keawetan kayu dan
dalam gudang atau bangsal yang terpisah tidak dapat memperbaiki sifat keteguhan
dari penempatan kayu yang belum ataupun kekerasan kayu. Hasil pengawetan
dikeringkan. Hal ini penting karena kayu sangat tergantung pada jenis kayu,
sifat kayu yang higroskopis, yaitu dapat keadaan kayu, bahan pengawet yang
menyerap dan mengeluarkan air kembali dipakai dan cara pengawetannya. Setiap
sesuai dengan suhu dan kelembaban di jenis kayu mempunyai sifat dasar yang
lingkungannya. Cara mempertahankan berbeda dengan jenis kayu lainnya dan sifat
tingkat kekeringan dan kualitas kayu dasar tersebut sangat menentukan mudah
yang sudah kering sangat bergantung dan tidaknya kayu diawetkan.
pada kondisi gudang penyimpanan dan
penumpukan atau penataan kayu. Salah satu sifat dasar kayu yang berkaitan
dengan proses pengawetan yaitu sifat
Beberapa tips untuk mempertahankan keterawetan, yang menunjukkan mudah
kadar air kayu kering: atau tidaknya suatu jenis kayu dimasuki
• Atap bangunan terbuat dari seng, larutan bahan pengawet. Sifat keterawetan
dinding berventilasi udara cukup, kayu ditentukan oleh beberapa faktor yaitu
serta lantai datar dan kering. sifat kayu itu sendiri, teknik pengawetan,
• Pada musim penghujan, jika kondisi kayu pada saat diawetkan dan
memungkinkan memasang pemanas bahan pengawet yang dipakai. Sifat
atau mengaktifkan exhaust fan dalam keterawetan kayu daun lebar penting
ruang penyimpanan. diketahui karena sebagian besar kayu tropis
• Kayu ditumpuk atau disusun secara adalah dari kelompok kayu daun lebar yang
horizontal dan diberi ganjal (Gambar pada umumnya lebih sukar diawetkan dari
5.46) pada kayu daun jarum.
• Menutupi permukaan kedua ujung
kayu dengan flinkut atau cat agar air Berdasarkan sifat mudah atau sukar suatu
tidak masuk melalui kedua ujung jenis kayu diawetkan, maka dikelompokkan
tersebut ke dalam lima kelas sesuai Tabel 5.27.
• Kayu atau produk kayu yang akan
diekspor, dibungkus rapat dengan 1) Tujuan Pengawetan. Berdasarkan tujuan,
wetan kayu ditentukan oleh beberapa faktor yaitu sifat kayu itu sendiri, teknik pengawetan,
kayu pada saat diawetkan dan bahan pengawet yang dipakai. Sifat keterawetan kayu daun
enting diketahui karena sebagian besar kayu tropis adalah dari kelompok kayu daun lebar
ada umumnya lebih sukar diawetkan dari pada kayu daun jarum.
erdasarkan sifat mudah atau sukar suatu jenis kayu diawetkan maka Vademecum
dikelompokkanKehutanan
ke Indonesia 2020 363
ima kelas sesuai tabel, yaitu: Teknologi dan Industri Kehutanan
Tabel kayu
Klasifikasi keterawetan 5.27. Klasifikasi keterawetan kayu dolok dan kayu gergajian disajikan
pada Tabel 5.28.
Kelas Keterawetan Luas Penetrasi (%)
I Mudah >90 Proteksi dolok dapat dilakukan dengan
II Sedang 50-90 cara melabur atau menyemprot
III Sukar 10-50 semua bagian yang terbuka atau
IV Sangat sukar <10 bagian kulit yang terkelupas dengan
larutan bahan pengawet sebanyak
ujuan, metode atau maka pengawetan
cara pengawetan, bisakonsentrasi
maupun dilakukanbahan
untuk 150-200 dig/m2. Sedangkan untuk kayu
pengawet akan diuraikan
pencegahan sementara (propilactic gergajian dapat dilakukan dengan
treatment) dan untuk jangka panjang mencelupkan papan ke dalam larutan
1) Tujuan pengawetan
(permanent). bahan pengawet selama beberapa
Berdasarkan tujuannya, maka pengawetan bisa dilakukan untuk pencegahan sementara
detik atau menit. Kayu gergajian yang
pilactic treatment) dan bisa juga untuk jangka panjang (permanen), bergantung pada
a) Pengawetan untuk pencegahan sudah dicelup selanjutnya disusun
annya.
sementara. Pencegahan atau proteksi dengan menggunakan ganjal (sticker).
a) Pengawetan untuk sementara
pencegahandilakukan
sementara pada dolok
dan kayu gergajian segar atau basah, b) Pengawetan jangka panjang,
Pencegahan atau proteksi sementara dilakukan pada dolok dan kayu gergajian segar atau
dimaksudkan untuk mencegah bertujuan agar kayu tidak diserang
asah, dimaksudkan untuk mencegah serangan jamur biru dan kumbang ambrosia.
serangan jamur biru dan kumbang oleh organisme perusak sehingga
ambrosia. Pencegahan tersebut tidak dapat menambah umur pakai kayu.
harus dilakukan bilamana kayu segera Pengawetan7 jangka panjang biasanya
diproses, diolah, dan dikeringkan. dilakukan untuk kayu gergajian atau
sortimen sebelum diolah menjadi
BahanPencegahan
pengawettersebut
yang tidak harus dilakukan bilamana
diperlukan produk.kayu
Namun,segera diproses,
metode diolah,juga
tersebut dan
untukdikeringkan.
proteksi dolok segar adalah dilakukan pada kayu bulat berdiameter
pestisida dan
Bahanfungisida
pengawet yang
yang dapat
diperlukan untuk proteksi doloktiang
kecil untuk segarpancang
adalah pestisida
atau tiang dan
mencegah
fungisidaserangan
yang dapat jamur
mencegahdanserangan jamurlistrik.
dan kumbang ambrosia,sedangkan
Pengawetan permanen dapat untuk
kumbang
proteksi ambrosia,
kayu gergajian, sedangkan
hanya diperlukan pestisida yang efektif
dilakukan dapat mencegah
dengan proses serangan
tanpa
untukhama.
proteksi kayuyang
Pestisida gergajian, hanya untuk proteksi
dapat digunakan dolok dan kayu gergajian
tekanan (cara sederhana) disajikan
sampai pada
diperlukan pestisida yang efektif dapat
Tabel 2.17. dengan proses tekanan, bergantung
mencegah serangan hama. Pestisida pada persyaratan retensi dan
yang dapat digunakan untuk proteksi penetrasi yang dikehendaki atau
Tabel 2.12. Pestisida untuk pencegahan sementara untuk dolok dan kayu gergajian
Tabel 5.28. Pestisida untuk pencegahan sementara untuk dolok dan kayu gergajian
No. Pestisida Konsentrasi (%) Kelas Efikasi Organisme
1 Decamethrin 0,025 sangat baik Serangga
2 Cypermethrin 0,05 sangat baik Serangga
3 Cyhalomethrin 0.05 sangat baik Serangga
4 Permethrin 0,3 sangat baik Serangga
5 Dichlofluanid - sedang Jamur
6 Bromodiclorophenol - sedang jamur
7 Tributyltinasetat - sedang Jamur
8 Copper-8 6 sangat baik Jamur
9 TCMTB/MTC 1 sangat baik Jamur
10 MBT 1 sangat baik Jamur
11 TCMTB + boraks 0,5 sangat baik Jamur & Serangga
12 TCMTB + decamethrin 0,125 sangat baik Jamur & Serangga
Sumber: Martawijaya (1988)
Sumber: Martawijaya (1988)
Proteksi dolok dapat dilakukan dengan cara melabur atau menyemprot semua bagian
yang terbuka atau bagian kulit yang terkelupas dengan larutan bahan pengawet sebanyak 150-
200 g/m2. Sedangkan untuk kayu gergajian dapat dilakukan dengan mencelupkan papan ke
364 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
impregnasi resin atau senyawa kimia dinding sel kayu, sehingga menghasilkan
kedalam struktur sel untuk perbaikan sifat baru yang lebih baik dari sifat
keawetan, keteguhan, stabilitas dimensi asalnya. Modifikasi kimia dengan
dan ketahanan cuaca (weathering). mekanisme tersebut diantaranya adalah
Modifikasi kimia kayu pada dasarnya perlakuan asetilasi, furfurilasi, perlakuan
adalah memasukkan senyawa kimia dengan asam klorida, isosianat, alkil
kedalam struktur kayu, yang kemudian halida, senyawa aldehida dan senyawa
dapat bereaksi dengan gugus hidroksil epoksida.
pada polimer dinding sel kayu. Reaksi ini
dapat membentuk ikatan tunggal dengan Metode modifikasi kimia lainnya adalah
satu gugus hidroksil, atau terbentuk impregnasi bahan monomer atau resin
ikatan silang antara dua atau lebih kedalam dinding sel kayu, kemudian
gugus hidroksil. Perubahan ikatan ini diikuti dengan proses polimerisasi,
menyebabkan perubahan pada polimer sehingga kekuatan kompresi kayu
(a)
(a)
(b)
(b)
Gambar Gambar
5.47. (a)
5.46.Mekanisme
(a) Mekanismeteknik impregnasi
teknik impregnasi menggunakan
menggunakan impregnanimpregnan
PME; PME;
Gambar 5.46. (a)
b) Mekanisme
b) Mekanisme Mekanisme
kimiawi pada
kimiawi teknik
pada impregnasi
proses
proses menggunakan
impregnasi
impregnasi impregnan
dengan
dengan PME PME
(Malik, PME;
(Malik, 2019)
2019)
b) Mekanisme kimiawi pada proses impregnasi dengan PME (Malik, 2019)
Gambar 5.47. Tampak visual dari kayu jabon tanpa perlakuan impregnasi (UT), dengan perlakuan
Gambar 5.47.
impregnasi Tampak
ekstrak visualtipe-1
dari kayu jabon tanpa perlakuan impregnasi
impregnasi(UT), dengan perlakuan
Gambar 5.48. Tampak visual darimerbau
kayu jabon (T1) dan dengan
tanpa perlakuan
perlakuan impregnasi ekstrak
(UT), merbau
dengan tipe-2 (T2).
perlakuan
impregnasi ekstrak merbau tipe-1 (T1) dan dengan perlakuan impregnasi ekstrak merbau tipe-2 (T2).
impreg-
nasi ekstrak merbau tipe-1 (T1) dan dengan perlakuan impregnasi ekstrak merbau tipe-2 (T2)
d. Modifikasi biologis
d. Modifikasi biologis
77
77
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 371
Teknologi dan Industri Kehutanan
d. Pemetikan
f. Pengupasan Kulit
Biasanya dilakukan untuk memanen bunga,
buah, daun yang dipungut satu persatu Pemanfaatan kulit pohon biasanya dilakukan
pada pohon penghasil; atau terkadang dengan cara penebangan. Kemudian pada
untuk memungut resin tertentu yang terjadi batang yang telah tumbang, dilakukan
secara alami. Pemetikan bunga dilakukan pengupasan (menguliti) untuk memperoleh
misalnya untuk memanen bunga kenanga, produk kulit batang. Dengan cara ini
ilang-ilang, melati atau bunga gambir. Selain pemanenan hanya dapat dilakukan satu
itu pemetikan dilakukan untuk memungut kali, untuk memperoleh produk selanjutnya
bebuahan seperti asam, makadamia, diperlukan tahap menanam dan menunggui
matoa, duku, burahol, pala, sukun, mente, sampai saatnya pohon dapat dipanen
jarak, saga, kemang; serta untuk memanen kembali. Proses penanaman memerlukan
aneka ragam daun yang akan digunakan biaya dan jangka waktu yang lama biasanya
sebagai bahan obat. tahunan.
Untuk memperpanjang jangka waktu
a b c
Keterangan: Ikatan pembuluh Tipe II (a), Tipe III (b) dan Tipe IV (c)
Gambar Gambar
1. Struktur
5.49. anatomi penampang
Struktur anatomi melintang
penampang batang
melintang bambu
batang (Ikatan
bambu
pembuluh Tipe II (a), Tipe III (Foto: Ratih Damayanti)
(b) dan Tipe IV (c))
produksi hasil pemungutan dapat dilakukan tidak mempunyai cabang, berimpang dan
dengan cara mengubak/mengupas/ mempunyai buluh yang menonjol (Widjaja,
menguliti batang pohon hidup. Faktor 2001; Zulkarnaen & Andila, 2015).
utama yang perlu diperhatikan adalah
ukuran kubakan disesuaikan dengan besar Bambu tumbuh tiga kali lebih cepat
diameter pohon. Ukuran kupasan yang dibandingkan kayu dan dapat dipanen
terlalu kecil, hanya sedikit berpengaruh pada umur 3 sampai 5 tahun. Produk
pada daya hidup pohon tetapi akan diikuti bambu selalu berhubungan erat dengan
produksi yang rendah dan biaya pungut perkembangan budaya Indonesia. Sharma,
yang tinggi. Sebaliknya bila ukuran kupasan Dhinakaran & Mehta (2014) menyatakan
terlalu besar, produksi tinggi biaya pungut bahwa sejak zaman dahulu masyarakat
rendah tetapi akan diikuti daya hidup pohon sudah mengembangkan bambu terutama di
rendah sehingga besar kemungkinan pohon pedesaan, bahkan sebagai tulang punggung
menjadi mati. Karenanya pengupasan penghasilan bagi masyarakat.
harus dilakukan secara optimali dan ramah Bambu merupakan bahan berlignoselulosa
pohon, dimana jumlah produk kulit batang yang dapat digunakan sebagai substitusi
optimum dan pohon tetap berdaya hidup kayu. Batangnya bisa dimanfaatkan untuk
wajar. berbagai keperluan mulai dari pangan
g. Pencabutan dengan rebungnya yang dapat dimakan,
alat rumah tangga, bahan pembuat
Beberapa produk HHBK dipungut dengan kertas, kerajinan, sampai mebeler bahkan
cara pencabutan yaitu untuk mendapatkan konstruksi pemukiman, dan kebutuhan
aneka umbi (ubi, talas, iles-iles, garut, suweg, konsumen lainnya (Widjaja, 2012;
ketela, bawang kapal); aneka akar (akar Nurkertamanda et al., 2011; Sharma et al.,
wangi, ginseng, pasak bumi, alang-alang), 2014; Dhinakaran & Chandana 2016).
aneka rimpang (jahe, lempuyang, temu-
temuan, jajalakan, brojo-lintang), daun Tanaman bambu juga tahan terhadap
(pakis) dan tumbuhan utuh yang dicabut kekuatan angin dan seismik yang
(rebung). Untuk memperoleh produksi dan tinggi, serta mampu mengurangi polusi
mutu produk yang tinggi, pencabutan harus lingkungan karena menyerap nitrogen
dilakukan pada saat umur tumbuhan yang dan karbon dioksida (CO2) dalam jumlah
tepat. Pada umur muda produksi rendah, yang tinggi (Leelatanon, Srivaro, & Matan,
sedang pada umur yang terlalu tua kualitas 2010). Menurut Artiningsih (2012), dalam
produk terlalu rendah. pertumbuhannya jumlah CO2 yang diserap
bambu bisa mencapai 12 ton per hektar,
sementara gas oksigen (O2) yang dihasilkan
30% lebih tinggi dari O2 yang dihasilkan
C.2. Sifat Dasar HHBK pohon. Hal ini membuat tanaman tersebut
a. Bambu dikenal sebagai pengisi ulang udara segar
yang efisien.
Bambu merupakan sumber daya terbarukan
dan serbaguna, cepat tumbuh, serta mudah Di Bali, bambu digunakan untuk pembuatan
dikerjakan dengan menggunakan alat-alat tumpang salu dalam prosesi pengabenan.
sederhana. Bambu yang dikenal sebagai Tumpang salu adalah sejenis bale/dipan
rumput raksasa termasuk Famili Poacea. yang khusus dibuat untuk meletakkan
Tanaman bambu umumnya tumbuh mayat yang akan diaben sebelum diadakan
berumpun, batang berkayu, memiliki upacara pembakaran. Selain itu bambu
ruas, berbuku-buku, tengahnya berongga, juga diperlukan pada pembuatan bale
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 375
Teknologi dan Industri Kehutanan
gading yang biasa digunakan dalam yang terdiri atas holoselulosa, hemiselulosa,
upacara potong gigi, menek bayang pada dan lignin, memiliki sifat fisik mekanik yang
upacara menginjak akil balik, pembuatan unik sehingga batang atau buluhnya dapat
damar kurung pada lampu minyak kelapa digunakan sebagai material substitusi kayu
dalam upacara pengabenan, dimana hal pertukangan, bahan bangunan, jembatan,
ini disimbolkan sebagai lambang kesucian mebel, kerajinan tangan, alat-alat pertanian
dan kemakmuran (Arinasa & Peneng, dan perikanan, alat rumah tangga, pipa
2013). Martawijaya (1977) dalam Nandika, air, tangkai bunga, alat musik tradisional,
Matangaran & Darma (1994) menyatakan askaboard, bambu lapis, lantai bambu,
bahwa 80% bambu di Indonesia digunakan pulp kertas, bambu komposit, arang, arang
untuk konstruksi (termasuk mebel), 10% aktif dan arang nano, sedangkan bagian
untuk pembungkus, 5% untuk bahan baku akarnya dapat digunakan untuk ukiran,
kerajinan (industri kecil), serta 5% untuk sebagai penahan erosi guna mencegah
sarana pertanian dan lain-lain. bahaya kebanjiran, dan rebungnya untuk
makanan (Widjaja, 2011; Nurkertamanda et
Tanaman bambu di dunia diperkirakan al., 2011; Arinasa & Peneng, 2013; Sharma
sekitar 1.200 jenis yang terdiri atas lebih et al. 2014; Dhinakaran & Chandana 2016;
dari 70 genera dengan luas tanaman sekitar Pari et al., 2016). Bambu sebagai produk
22 juta ha2 yang tersebar di Asia, Afrika, dan serbaguna, diperlukan persyaratan antara
Amerika Latin (Widjaja, 2011; Susilaning lain sifat kekuatan dan sifat keawetan
& Suheryanto, 2012; Sharma et al., 2014; karena secara alami ketahanan setiap jenis
Dhinakaran & Chandana 2016). Di Indonesia bambu berbeda, demikian juga ketahanan
ditemukan sekitar 160 jenis bambu; 38 jenis terhadap jamur maupun serangga (JitKaur,
di antaranya merupakan jenis introduksi 2015).
dan 122 jenis merupakan tanaman asli
Indonesia. Di antara 160 jenis ini, sebanyak 1) Struktur Anatomi
88 jenis termasuk endemik, dan 76 jenis
lainnya digunakan oleh masyarakat lokal Pertelaan struktur anatomi batang
untuk bahan kerajinan (27 jenis), sayuran (7 bambu dikelompokkan dalam dua ciri,
jenis), dan untuk kegunaan lain (42 jenis). yaitu ciri umum dan ciri anatomi. Ciri
umum ditetapkan berdasarkan hasil
Bambu sebagai bahan berlignoleslulosa pengamatan secara makroskopis yang
Tabel 5.30. Klasifikasi daya tahan bambu terhadap rayap tanah
TabelKelas
5.30. Klasifikasi daya tahanBerat
Pengurangan bambu(%)terhadap rayap tanah
Ketahanan
I
Kelas < 9,0Berat (%)
Pengurangan Sangat tahan
Ketahanan
III 9,0–14,93
< 9,0 Tahan
Sangat tahan
III
II 14,92– 20,79
9,0–14,93 Sedang
Tahan
IV
III 20,78–26,66
14,92– 20,79 Tidak tahan
Sedang
V
IV > 26,66
20,78–26,66 Sangat tidak
Tidak tahan
tahan
V > 26,66 Sangat tidak tahan
Tabel 5.31. Klasifikasi daya tahan bambu terhadap rayap kayu kering
TabelKelas
5.31. Klasifikasi daya tahanBerat
Pengurangan bambu(%)terhadap rayap kayu kering
Ketahanan
I
Kelas < 6,10Berat (%)
Pengurangan Sangat tahan
Ketahanan
III 6,10–10,41
< 6,10 Tahan
Sangat tahan
III
II 10,40–14,72
6,10–10,41 Sedang
Tahan
IV
III 14,71–19,03
10,40–14,72 Tidak tahan
Sedang
V
IV > 19,03
14,71–19,03 Sangat tidak
Tidak tahan
tahan
V > 19,03 Sangat tidak tahan
ditentukan menurut standar SNI 14- (2007). Data dan informasi mengenai
1032-1989 (Badan Standardisasi sifat fisis mekanis ini mengacu pada hasil
Nasional, 1989c). Kelarutan dalam air penelitian P3HH, 2010-2014 seperti yang
dingin dan panas menurut standar SNI dilaporkan Rulliaty et al. (2015).
14-1305-1989 (Badan Standardisasi
Nasional, 1989d). Kelarutan dalan NaOH 4) Keawetan
1% menurut standar SNI 14-1838-1990 Sifat keawetan yang disajikan meliputi
(Badan Standardisasi Nasional, 1990). data keawetan terhadap rayap tanah
Kelarutan dalam air dingin berkisar (Coptotermes curvignathus Holmgren.),
antara 2,71-8,42%, dalam air panas 2,87 rayap kayu kering (Cryptotermes
-8,92% dan kelarutan dalam alkohol cynocephalus Light.), dan jamur pelapuk
benzena (1:2) 2,42-11,86%. Kadar zat coklat (Dacryopinax spathularia,
ekstraktif adalah banyaknya zat yang Polyporus sp., Tyromyces palustris)
terlarut dari kayu dengan menggunakan dan jamur pelapuk putih (Pycnoporus
pelarut netral seperti air, benzena, eter sanguineus, Schizophylulum commune).
dan alkohol. Zat ekstraktif yang larut Pengujian ini mengacu pada SNI 01-
dalam air adalah gula zat wania, tanin, 7207-2006 (Badan Standardisasi
gum dan pati, sedangkan yang larut Nasional, 2006), dan SNI 7207:2014
dalam pelarut organik adalah resin, (Badan Standardisasi Nasional, 2014)
lemak, lilin dan tanin Informasi mengenai yang dimodifikasi.
komponen kimia batang bambu mengacu
pada beberapa hasil penelitian yaitu Untuk klasifikasi ketahanan terhadap
Rulliaty et al. (2015), Gusmailina dan rayap tanah mengacu kepada Jasni,
Sumadiwangsa (1988). Damayanti & Pari (2017) pada Tabel
5.30. Untuk rayap kayu kering mengacu
3) Fisis Mekanis pada Jasni, Damayanti & Sulastiningsih
Sifat fisis dan mekanis merupakan sifat (2017) pada Tabel 5.31., dan jamur
penting yang digunakan untuk menduga pelapuk mengacu pada (Suprapti 2010),
kegunaan suatu jenis bambu. Sifat fisis SNI 01-7207-2006 (Badan Standardisasi
yang dicantumkan berupa data kadar Nasional, 2006), dan SNI 7207:2014
air dan berat jenis batang bambu kering (Badan Standardisasi Nasional, 2014).
udara. Sifat fisis diuji berdasarkan Standar Informasi keawetan bambu diperoleh
India IS 6874-2008 (Basri & Pari, 2017). dari pengujian di laboratorium P3HH
Sifat mekanis yang disajikan meliputi 2010–2014 dalam Rulliaty et al. (2015),
Modulus of Rupture (MOR), Modulus dan Jasni et al. (2017a dan 2017b).
of Elasticity (MOE), dan keteguhan 5) Keterawetan
tarik bilah bambu sejajar serat, yang
merupakan nilai rata-rata keteguhannya Metode yang digunakan dalam pengujian
dalam kondisi kering udara. Nilai keterawetan bambu adalah metode
keteguhan diperoleh dari hasil pengujian Boucherie yang dimodifikasi (Muslich
contoh uji berukuran kecil bebas cacat & Rulliaty, 2014). Penetrasi (kedalaman
berdasarkan ISO 22157-1:2004 (Bamboo penembusan) bahan pengawet
determination of physical and mechanical diamati dengan menyemprotkan atau
properties Part I. Requirements) dan ISO/ melaburkan pereaksi yang sesuai pada
TR 22157-2: 2004 (Bamboo determination penampang melintang contoh uji hasil
of physical and mechanical properties pemotongan, menggunakan pereaksi
Part II. Laboratory Manual) dalam BSN krom azurol sulfat. Cara pembuatannya
378 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
mengikuti Barly & Abdurrochim (1996). kering, pH, warna dan transparansi
Informasi keterawetan bambu ini (Komarayati & Wibowo, 2015).
mengacu pada hasil penelitian yang
dilakukan di P3HH 2010-2014, seperti 9) Pemanfaatan Bambu
yang dilaporkan Rulliaty et al. (2015) dan
Muslich & Rulliaty (2014). Data dan informasi pemanfaatan batang
bambu jenis tertentu adalah hasil
6) Pengeringan wawancara dengan masyarakat di lokasi
bambu ditemukan, dan berdasarkan
Prosedur pembuatan contoh uji dan
data yang telah dipublikasikan oleh
pengujian sifat pengeringan bambu
Sastrapradja et al. (1977); Widjaja (2001),
mengacu pada metode Terazawa untuk
Dransfield & Widjaja (1995), Arinasa dan
pengujian kayu yang telah disesuaikan
Peneng (2013), Rulliaty et al. (2015), dan
dengan sifat dan morfologi bambu
Sulastiningsih (2014).
(Basri dan Saefudin, 2004). Informasi
pengeringan bambu ini mengacu pada Menurut Kementerian Perindustrian
hasil penelitian yang dilakukan di (2013) pemanfaatan bambu untuk
Puslitbang Hasil Hutan dalam Basri & industri berdasarkan KBLUI (Kelompok
Saefudin (2004 dan 2013), Rulliaty et al. Baku Lapangan Usaha Industri) adalah
(2015), dan Basri & Pari (2017). untuk industri bambu, moulding, kertas
7) Sifat Perekatan industri, mebel, anyaman, alat rumah
tangga, musik tradisional, olahraga, alat
Penelitian sifat perekatan bambu permainan, industri mainan, alat tulis
dilakukan dengan mempelajari respon dan gambar termasuk perlengkapannya.
suatu jenis bambu terhadap perekat
urea formaldehida (UF). Respon tersebut Widiastuti (2014) memberikan informasi
dipelajari dari keteguhan rekat bambu penggunaan bambu secara total
dengan menggunakan uji geser blok mulai dari akar hingga daun. Bagian
atau uji geser tekan. Pengujian sifat akar digunakan untuk arang (sebagai
perekatan bambu untuk masing-masing kerajinan dan arang aktif), asap cair, dan
jenis dilakukan menurut Standar Jepang kerajinan. Bagian rebung dimanfaatkan
(Japan Plywood Inspection Corporation, untuk sumber pangan dan obat-obatan.
2003). Informasi sifat perekatan bambu Batang digunakan papan serat, pulp
ini mengacu pada hasil penelitian yang (kertas dan rayon), konstruksi bangunan,
dilakukan di P3HH 2010-2014 seperti mainan tradisional dan alat pendidikan,
yang dilaporkan Rulliaty et al. (2015). peralatan olahraga, alat tulis dan alat
gambar, peralatan rumah tangga,
8) Pengujian Asap Cair furniture, papan laminasi (konstruksi,
flooring dan mebel), gedek (dinding), dan
Penelitian asap cair dari bambu alat musik. Bagian cabang dimanfaatkan
menggunakan metode tungku dan drum untuk barang kerajinan, dan bagian daun
serta pendingin sistem turbulex seperti untuk obat-obatan, kertas seni, pupuk,
yang mengacu pada Hendra (2011). dan makanan ternak. Limbah bambu
Penentuan komponen kimia asap cair juga berguna untuk pulp, papan serat,
dan kualitasnya dibandingkan dengan kerajinan, biomas dan bahan bakar.
Standar Jepang (Yatagai, 2002). Informasi
yang disajikan meliputi produksi per- 10) Bambu Lamina
1000 kg bahan basah, berat jenis, asam
asetat, metanol, fenol, rendemen berat Bambu lamina adalah suatu produk
yang dibuat dari beberapa bilah bambu
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 379
Teknologi dan Industri Kehutanan
yang direkat dengan arah serat sejajar. yang cukup tebal. Pada prinsipnya proses
Perekatan dilakukan kearah lebar pembuatan bambu lamina adalah
(horizontal) dan kearah tebal (vertikal). sebagai berikut :
Hasil perekatan tersebut dapat berupa
papan atau balok tergantung dari ukuran a) Pemotongan bambu
tebal dan lebarnya. Bambu ± 50-80 cm dari permukaan
tanah (tergantung kondisi bambu
Keunikan serat bambu serta adanya buku
tersebut) untuk menghilangkan bagian
pada bilah bambu penyusun bambu
batang yang tidak lurus (cacat) dan
lamina memberi penampilan yang
panjang ruas yang tidak beraturan.
unik dan sangat indah sehingga produk
Setelah ditebang, bambu tersebut
tersebut sesuai untuk mebel, lantai,
dipotong menjadi beberapa bagian
dinding penyekat dan bahan untuk
dengan panjang ±1,2-2 m tergantung
desain interior lainnya. Di samping itu
dari kelurusan batang bambu dan
penggunaan bambu lamina untuk mebel
tebal dinding bambu. Hasil potongan
dan desain interior dapat menyediakan
bambu harus lurus, silindris dan
pilihan motif penampilan yang berbeda
dinding bambunya cukup tebal.
dibanding motif penampilan bahan baku
kayu dan bambu yang digunakan saat ini. b) Pembuatan Bilah Bambu
Kecantikan penampilan bambu lamina Potongan bambu yang telah
dapat diatur sesuai dengan selera atau dipersiapkan dan dipilih kemudian
keinginan pengguna. Warna bambu dibuat bilah dengan menggunakan
lamina yang dibuat bisa warna alami alat pembelah bambu hasil rekayasa
seperti wama asli bilah penyusunnya, P3HH tahun 2003. Pembelahan
berwama putih atau coklat. Untuk batang bambu dilakukan dengan
mendapatkan warna putih maka perIu memperhatikan bagian batang
dilakukan proses pemutihan (bleaching) bambu yang berdiameter lebih kecil
pada bilah bambu, sedangkan untuk digunakan sebagai acuan lintasan
mendapatkan warna coklat maka perIu pembelahan. Bilah bambu yang
dilakukan proses karbonasi pada bilah digunakan adalah yang betul-betul
bambu. lurus pada kedua sisi panjangnya.
Selanjutnya bilah tersebut diserut
Agar produk bambu lamina tahan lama pada kedua permukaannya untuk
maka bilah bambu penyusun bambu mendapatkan permukaan bilah yang
lamina perIu diawetkan terlebih dahulu rata. Bilah bambu yang telah diserut
karena bambu mudah sekali diserang kedua permukaannya kemudian
oleh bubuk kayu kering. Pengawetan dibiarkan mengering atau dikeringkan
bilah bambu dapat dilakukan dengan cara dengan sinar matahari.
sederhana yaitu dengan cara rendaman
dan dapat dilakukan bersama-sama c) Pengawetan Bilah Bambu
dengan proses pemutihan. Untuk tujuan Seperti kita ketahui bahwa bambu
tertentu (efisiensi bahan baku) komposisi mudah sekali diserang oleh bubuk
lapisan penyusun bambu lamina dapat kayu kering karena bambu mempunyai
diatur dan dikombinasikan dengan kayu. kandungan pati yang cukup tinggi.
Bambu yang digunakan untuk bambu Oleh karena itu untuk memperpanjang
lamina harus mempunyai diameter yang umur pakainya maka perlu
cukup besar dan dinding bambunya dilakukan pengawetan bambu. Cara
tebal sehingga diperoleh bilah bambu pengawetan bambu telah diuraikan
380 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
dengan jelas oleh Barly (1999). Cara dan dimasukkan dalam tangki
pengawetan yang bisa diterapkan karbonasi. Warna coklat diperoleh
untuk bilah bambu kering adalah mengalirkan uap panas dalam tangki
proses rendaman dingin atau proses dengan tekanan 3-4 kg/cm2 selama 2
rendaman panas-dingin. Dalam proses jam. Setelah proses karbonasi bilah
pengawetan bilah bambu kering ini, bambu dikeluarkan dan selanjutnya
hal yang harus diperhatikan adalah dikeringkan dalam dapur pengering
bilah bambu yang akan diawetkan hingga kadar airnya mencapai ±12%.
harus siap pakai sehingga setelah
diawetkan bilah bambu tersebut tidak f) Perekatan Bilah Bambu
memerlukan proses pemotongan lagi. Pada tahap ini perlu dilakukan kegiatan
Bilah bambu yang telah diawetkan penyiapan perekat. Jenis perekat
selanjutnya dikeringkan dengan sinar yang digunakan tergantung pada
matahari atau dikeringkan dalam tujuan penggunaannya. Jenis perekat
dapur pengering hingga kadar airnya yang bisa digunakan adalah polivinil
mencapai 10-12%. asetat, urea formaldehida, melamin
d) Pemutihan Bilah Bambu formaldehida, fenol formaldehida,
fenol resorsinol formaldehida atau
Warna bambu lamina dapat dibuat tanin resorsinol formaldehida dan
berwarna alami seperti warna asli isosianat. Perekat dan bahan lain
bilah bambu atau berwarna putih (ekstender, pengisi, pengeras dan
pucat. Untuk mendapatkan bambu air) disiapkan dan ditimbang sesuai
lamina dengan warna putih (putih dengan komposisi yang dikehendaki.
kekuningan) maka perlu dilakukan Bahan tersebut selanjutnya diaduk
proses bleaching. Bahan yang dalam mesin pengaduk perekat dan
digunakan dalam proses ini adalah pengadukan harus merata.
H2O2 dengan konsentrasi larutan 15%.
Proses pemutihan bisa dilakukan Perekatan bilah bambu bisa dilakukan
dengan cara rendaman panas maupun secara vertikal atau horizontal.
dingin. Bilah bambu dimasukkan Beberapa bilah bambu yang telah
dalam bak perendaman yang telah disiapkan dan dipilih kemudian direkat
berisi larutan H2O2 dan proses kearah lebar dengan menggunakan
pemutihan dipertahankan selama 5 perekat yang telah disiapkan dengan
jam untuk rendaman dingin atau 2 berat labur sesuai dengan anjuran
jam untuk rendaman panas. Setelah pabrik pembuat perekat atau
proses pemutihan, bilah bambu berdasarkan hasil penelitian. Bilah
ditiriskan dan lalu dikeringkan dalam bambu yang telah dilaburi perekat
dapur pengering hingga kadar airnya pada bagian sisi panjangnya dan
mencapai ±12%. direkat ke arah lebar, lalu dikempa
dingin atau dikempa panas dalam
e) Karbonasi Bilah Bambu waktu tertentu tergantung dari jenis
perekat dan anjuran pabrik pembuat
Selain warna alami dan putih, bambu perekat yang digunakan. Proses
lamina yang dibuat bisa berwarna pengempaan dapat dilakukan dengan
coklat. Untuk mendapatkan bambu kempa dingin atau kempa panas
lamina berwarna coklat, perlu tergantung dari jenis perekat yang
dilakukan proses karbonasi. Dalam digunakan dan mesin yang tersedia.
proses ini bilah bambu disusun
seperti dalam proses pengeringan Hasil perekatan tersebut bisa berupa
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 381
Teknologi dan Industri Kehutanan
papan bambu tipis dengan tebal ±10 telah dipersiapkan), setelah dilaburi
mm (apabila beberapa bilah bambu perekat disusun sedemikian rupa dan
dikempa secara horizontal) atau diikat dengan tali rafia agar menjadi
papan bambu dengan tebal sekitar satu kesatuan sebelum dikempa
20 mm yaitu sama dengan lebar panas. Setelah bahan bambu lamina
bilah bambu (apabila beberapa bilah dikempa panas, maka bambu lamina
bambu dikempa secara vertikal). yang dihasilkan kemudian dibiarkan
selama beberapa waktu untuk
g) Pembuatan Bambu Lamina proses penyesuaian dengan kondisi
Bambu lamina yang dibuat terdiri lingkungan.
dari beberapa lapis papan bambu h) Penyelesaian Akhir
tipis. Jumlah lapisan dapat bervariasi
tergantung dari tujuan penggunaan Bambu lamina yang telah dibuat
serta pertimbangan teknis dan selanjutnya dipotong pada keempat
ekonomis. Komposisi lapisan bambu sisinya untuk mendapatkan ukuran
lamina dapat dikombinasikan dengan yang ditargetkan. Pemotongan
kayu atau produk kayu (papan harus benar-benar siku untuk
sambung, kayu lapis dll). Bambu mempermudah proses selanjutnya.
lamina dibuat dengan merekatkan Setelah diperoleh ukuran yang
beberapa buah papan bambu tipis diinginkan, proses selanjutnya adalah
(hasil perekatan bilah bambu kearah pengampelasan. Pengampelasan
lebar) dengan arah serat sejajar. dilakukan untuk menghaluskan
Banyaknya lapisan bambu lamina permukaan bambu lamina dengan
tergantung dari target ketebalan menggunakan mesin ampelas.
yang direncanakan. Perekat yang Pengampelasan dilakukan pada kedua
telah dipersiapkan dilaburkan pada permukaan bambu lamina.
permukaan papan yang akan direkat
dengan berat labur dan komposisi 11) Papan Partikel Bambu
perekat seperti tersebut pada butir
6 di atas. Bahan bambu lamina Papan partikel bambu adalah hasil
tersebut kemudian dikempa dingin pengempaan panas campuran partikel
atau dikempa panas dalam waktu bambu dengan perekat organik dan
tertentu sesuai dengan jenis perekat bahan lainnya. Proses pembuatan
yang digunakan, mesin kempa yang papan partikel bambu secara garis besar
tersedia dan tebal bahan yang terdiri dari pembuatan partikel bambu,
dikempa. pengeringan partikel, pengayakan
partikel, pencampuran partikel dengan
Jika mesin kempa panas yang tersedia perekat, pembentukan hamparan,
dapat melakukan pengempaan pengempaan dan penyelesaian akhir.
secara vertikal dan horizontal dalam
waktu yang bersamaan, maka proses a) Pembuatan partikel bambu
perekatan bilah kearah lebar dan
Bagian batang bambu yang tidak dapat
perekatan beberapa lapis papan
digunakan untuk membuat bambu lapis
bambu menjadi bambu lamina dapat
atau bambu lamina dapat dimanfaatkan
dilakukan sekaligus sehingga waktu
sebagai bahan baku papan partikel.
yang diperlukan lebih singkat. Pada
Dengan menggunakan mesin pembuat
kondisi tersebut maka bahan bambu
partikel maka bentuk partikel yang
lamina (sejumlah bilah bambu yang
dihasilkan dapat berupa wafer, untai atau
382 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
43
berat rotan kering tanur dan dinyatakan dalam perse
digunakan adalah kadar air kering udara yang dihitung
pada kondisi kering udara dengan berat kering tanur.
teliti harus dilakukan di laboratorium dengan menggun
Vademecum
kadar air rotan dihitung
Kehutanan menurut
Indonesia 385
2020 rumus:
Teknologi dan Industri Kehutanan
D =
MOR
3
(kg/cm ) dilakukan di laboratorium dengan cara
Klasifikasi mutuDrotan= Diameter
berdasarkanrotan kekakuan(cm)(MOE) dan kekuatan/kelenturan (MOR) seperti berikut:
D 3
Klasifikasi mutu rotan berdasarkand) memberikan
Kekuatan
kekakuan (MOE) Tarik gaya tarik
Sejajar padaseperti
Serat(MOR)
dan kekuatan/kelenturan rotan
berikut:
Klasifikasi
Klasifikasi mutu
mutu rotan L rotan
= Jarak
berdasarkan sangga (cm) dan kekuatan/kelenturan
berdasarkan
kekakuan (MOE) (MOR) seperti berikut:
Tabel 5.34. Klasifikasi mutu rotan berdasarkan seperti pada Gambar 5.53.
1,273 P L
kekakuan Klasifikasi mutu rotan berdasarkan kekakuan (MOE) dan kekuatan/kelenturan
(MOE) dan Tabel kekuatan/
5.34. Kekuatan(MOR)tarik seperti
sejajarberikut:
serat rotan adalah ketahanan batang ro
MOR = (kg/cm 2
) 5.34. Klasifikasikekakuan
Tabel mutu rotan (MOE ) Klasifikasi mutu rotan berdasarkan
berdasarkan
kelenturan (MOR) seperti pada Tabel
kekakuan (MOE) tarik terutama
Data pada
dan rotan berdiameter
informasi sifat kecil
fisisyang
dandigunakan sebag
D3 Kelas 5.34.Kekakuan
kekakuan
Tabel (MOE
Klasifikasi) kg/cm
mutu 2
rotanKarakteristik
berdasarkan
2mengalamimekanis tarikan seperti
rotan landasan
diperoleh tempat duduk, sandaran,
dari
5.34Kelasdan .35. I
Kekakuan kekakuan
32.838-42.470
kg/cm 2 Kelas
(MOE ) Kekakuan
Karakteristik kg/cm
Sangat baik Karakteristik
Klasifikasi mutu rotan berdasarkan
II
Kelas kekakuan
23.204-32.837
Kekakuan kg/cm I Sangat dan
(MOE)2 32.838-42.470 Pengujian
kekuatan/kelenturan
Baik
Karakteristik
dilakukan
pengujian
Sangat
(MOR) baik di di laboratorium
laboratorium
seperti berikut:
dengan
P3HH cara
dan memberikan gay
I 32.838-42.470 baik
II III
I
23.204-32.83713.570-23.203
32.838-42.470 II Baik23.204-32.837
Sedang
Sangat baik pada Gambar
informasi
Baik 3. dari publikasi Hadikusumo
Tabel 5.34. IIIKlasifikasi II mutu
IV
13.570-23.203 rotan berdasarkan
9.360-13.569
23.204-32.837 III Sedang 13.570-23.203
Rendah
Baik (1994),
Sedang Rachman dan Jasni (2013)
IVkekakuan III (MOE
Sumber: )
13.570-23.203
Abdurachman
9.360-13.569 IV Jasni
dan Rendah Sedang
9.360-13.569
(2015) dan
RendahJasni et al. (2007, 2010a, 2011b;
Sumber:
Kelas Kekakuan kg/cm IV
Abdurachman 9.360-13.569
2dan Jasni (2015)
Karakteristik
Sumber: Rendah
Abdurachman dan Jasni Abdurahman
(2015) dan Jasni, 2015).
Tabel 5.35.
Sumber: Klasifikasidan
Abdurachman mutu rotan
Jasni berdasarkan
(2015) P
I 32.838-42.470 Sangat baik
Tabel 5.35. Klasifikasikelenturan
mutu rotan (MOR)
berdasarkan
Tabel 5.35. Klasifikasi mutu rotan berdasarkan
II 23.204-32.837
Kelas 5.35.Kekakuan
kelenturan
Tabel (MOR)kg/cm
Klasifikasi Baik
mutu
2
Karakteristik
rotankelenturan
berdasarkan (MOR)
III 13.570-23.203
Kelas I
Kekakuan 775-2 960Sedang
kelenturan
kg/cm (MOR)
KarakteristikSangat baik
Kelas2 Kekakuan kg/cm2 Karakteristik d
IV II 775-Kekakuan
Kelas
I9.360-13.569 960589- 774 kg/cm
Rendah Baik
Karakteristik
Sangat baik
I 775- 960 Sangat baik
II
Sumber: Abdurachman III
I 589-
dan 774
Jasni403-587
775- 960
(2015) Sedang
Baik Sangat baik
IV 216-402
II 589- 774 Baik
III II 403-587 589- 774 Sedang Rendah
Baik 20 cm 10 d t
III 216-402
Sumber: 403-587
Abdurachman III
dan Jasni 403-587
(2015)Sedang Sedang ddcm R
Tabel 5.35.IV
Klasifikasi mutu rotan Rendah
berdasarkan
Sumber: IV (MOR)
Abdurachman 216-402
dan IV
Jasni (2015) 216-402
Rendah Rendah
kelenturan 46
Sumber: Abdurachman Sumber:
dan Jasni Abdurachman
(2015) dan Jasni (2015)
Kelas Kekakuan kg/cm2 Karakteristik 46
I 775- 960 Sangat baik 46 46
II 589- 774 Baik
III 403-587 Sedang P
IV 216-402 Rendah
Sumber: Abdurachman dan Jasni (2015)
Gambar 5.53. Bentuk contoh uji kuat
tarik sejajar serat
Gambar 3. Bentuk contoh uji kuat tarik sejajar ser
46
Kekuatan tarik sejajar serat rotan dihitung menurut rumus:
Klasifikasi
Tabel 5.36. Klasifikasi radiuslengkung
radius lengkungrotan
rotan
Untuk memperoleh hasil yang cukup pakan 38,2%, jenis ulat 4,2%, kualitas
maksimal kegiatan tersebut perlu ditunjang telur 3,1%, teknik pemeliharaan ulat
oleh pengadaan sarana yang cukup, teknik 9,3% dan faktor lain 8,2%.
yang memadai dan pemasaran yang
terjamin, sehingga keterlibatan pemerintah, 2) Penanaman Murbei
swasta maupun petani sangat diharapkan. Budidaya tanaman murbei merupakan
Kegiatan persuteraan alam merupakan dasar dari persuteraan alam, karena daun
usaha yang memiliki prospek sangat baik. murbei (Morus sp) merupakan makanan
Permintaan benang sutera alam di pasaran pokok ulat sutera yang merupakan
dunia makin meningkat termasuk Indonesia kegiatan usaha dari mulai pembibitan,
dan belum dapat terpenuhi oleh negara- persiapan tanam, penanaman,
negara produsen benang sutera alam. Oleh pemeliharaan, panen dan pasca panen
karenanya, usaha persuteraan alam ini tanaman murbei yang dilakukan secara
sangat prospektif dan merupakan peluang intensif.
besar bagi Indonesia yang memiliki potensi Tujuan penanaman adalah memproduksi
dalam pengembangan persuteraan alam daun murbei untuk pakan ulat sutera
nasional. dengan produksi daun banyak dan
1) Persyaratan lokasi kegiatan persuteraan kualitas nutrisi tinggi sebagai pakan
alam ulat, karena produksi dan kualitas
tanaman murbei 38% berpengaruh
Persyaratan lokasi kegiatan persuteraan terhadap produksi dan kualitas kokon
alam dari segi teknis adalah tanah subur yang dihasilkan. Sistem penanaman yang
dan tidak berbatu, relatif datar, ketinggian dilakukan monokultur atau polikultur/
lokasi antara 400-800 m dpl, suhu udara tumpang sari. Pemeliharaan satu boks
rata-rata 25-30oC, kelembaban 60-90%, ulat sutra (±20.000 ekor) memerlukan
tipe iklim A atau B curah hujan 2500- daun murbei sekitar 1000 kg untuk setiap
3000 mm/tahun terbagi merata 8 bulan periode produksi.
basah dan 4 bulan kering, mendapat
sinar matahari penuh dari pagi sampai Tanaman ini terdiri dari beberapa jenis,
sore, serta memenuhi persyaratan untuk baik yang berdaun lebar maupun daun
pertumbuhan tanaman murbei dan ulat kecil. Sebagai pendukung produksi
sutera. kokon, petani disarankan untuk memilih
dan membudidayakan tanaman murbei
Persyaratan lokasi persuteraan alam dari jenis unggul (berdaun lebar) agar
segi non teknis adalah harus didukung produktivitas daunnya lebih banyak.
oleh sosial budaya masyarakat, tersedia Beberapa tanaman murbei jenis unggul
sarana transportasi yang memadai, yang dikenal antara lain Morus cathayana,
tersedianya pasar lokal atau ada akses M. multicaulis dan M. alba var Kanva 2.
pasar yang jelas. Prasarana jalan akan Penanaman murbei mencakup kegiatan :
mempercepat pemasaran produksi,
mendapatkan bibit/telur ulat sutera dan a)
Pengolahan tanah untuk
memperlancar aktivitas petani dalam penggemburan
mengelola usahatani persuteraan alam. Sebaiknya dikerjakan pada akhir
Lokasi pengembangan sutera 37,0% musim kemarau sehingga penanaman
berpengaruh terhadap keberhasilan murbei sudah dapat dilakukan pada
usaha persuteraan alam, selain itu ada awal musim hujan, di tempat yang
faktor-faktor lain yang juga berpengaruh tumbuh alang-alang pencangkulan
antara lain tanaman murbei sebagai lebih dalam, agar alang-alang dapat
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 393
Teknologi dan Industri Kehutanan
instar I sekitar 4 hari, instar II sekitar dari alat pengokonan. Panen kokon
3 hari dan ulat instar III sekitar 4 dilakukan pada hari ke-5 atau ke-6
hari. Setelah selesai instar 3 ulat setelah ulat mengokon, pada saat pupa
dipindahkan ke tempat pemeliharaan di dalam kokon kulitnya berwarna coklat
ulat besar. Pemindahan dilakukan gelap. Untuk memastikannya dilakukan
siang atau sore hari, sewaktu udara pemeriksaan sampel beberapa butir
tidak panas. Ulat yang sedang tidur kokon.
digulung dengan kertas alas dan Panen kokon terlalu awal dapat merusak
dibawa ke petani, setelah sampai pupa yang masih muda sehingga terluka
harus segera dibuka, diratakan dan kemudian membusuk dan menimbulkan
ditaburi dengan kapur. kokon cacat pintal, bahkan mungkin masih
berupa ulat sehingga kalkulasi rendemen
c. Pemeliharaan ulat besar
pintalnya akan rendah. Sebaliknya jika
Pemeliharaan ulat besar ditujukan terlambat dipanen maka waktu yang
untuk memproduksi kokon. Ulat besar tersedia untuk pengurusan pasca panen
adalah ulat instar IV berumur 5 hari dan (seleksi, pengeringan) terlalu singkat
ulat instar V berumur sekitar 7 hari. sehingga jika tidak terselesaikan, pupa
Pada tempat yang lebih dingin umur sudah berubah menjadi kupu yang akan
ulat akan lebih panjang. Sejumlah menerobos kulit kokon sehingga tidak
20.000 ulat besar (hasil dari 1 boks dapat dipintal.
telur) membutuhkan 1.000 kg daun
9) Pengolahan Kokon
beserta cabang dengan umur pangkas
2-2,5 bulan. Pemberian makan Tahap kegiatan pengolahan kokon adalah
dilakukan 3-4 kali sehari. Ulat besar seleksi kokon, pengeringan kokon dan
memerlukan tempat pemeliharaan pemintalan.
yang luas. Sehingga bangunan yang a) Seleksi kokon adalah memisahkan
diperlukan juga lebih luas. antara kokon baik yang dapat dipintal
dan kokon jelek, yang nantinya akan
7) Mengkokonkan Ulat menentukan mutu benang. Kokon
Ulat mulai mengokon pada hari ke 6 baik adalah kokon tunggal yang
atau ke 7 dengan tanda – tanda sebagai bersih, tidak cacat dan dapat dipintal.
berikut: Sedangkan kokon jelek adalah kokon
a) Nafsu makan berkurang atau berhenti yang tidak dapat dipintal seperti kokon
makan dobel, berujung tipis dan bentuknya
b) Tubuh ulat menjadi bening kekuning- tidak beraturan.
kuningan b) Pengeringan kokon bertujuan untuk
c) Ulat cenderung jalan ke pinggir mematikan pupa yang ada didalam
d) Dari mulutnya keluar serat sutera agar tidak berubah menjadi kupu-
kupu. Kokon yang akan dipintal
Setelah terlihat tanda-tanda di atas kemudian hari, harus diawetkan
maka ulat dikumpulkan ke dalam alat dengan jalan dikeringkan, pengeringan
pengokonan dengan menaburkan secara kokon dapat dilakukan secara alami
merata. Alat pengokonan yang dapat di bawah sinar matahari selama 3
dilakukan adalah rotary, seriframe atau hari masing-masing 1,5 jam atau di
bentuk sisir (alat pengokonan bambu). oven dengan suhu 100-150oC selama
5 jam. Kokon yang pengeringannya
8) Pemanenan kokon dengan cara alami lama penyimpanan
Panen kokon adalah pengambilan kokon hanya 7 hari sedangkan kokon yang
396 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
pengeringannya dengan oven dapat Tidak larut dalam air, larut dalam
disimpan sampai 1 bulan. alkohol, khloroform, eter, karbon
c) Kokon yang langsung dipintal tidak disulfida, benzena, sebagian larut
perlu dikeringkan tetapi dapat dalam terpentin.
langsung dipintal. Pemintalan dapat e) Kegunaan: untuk korek api, kembang
menggunakan alat pintal tradisional, api, plastik, plester, vernis, dan lain-
semi otomatis dan otomatis. Kualitas lain.
benang sutera yang dihasilkan akan f) Klasifikasi mutu khususnya damar
tergantung dengan alat pintalnya. mata kucing berdasarkan SNI
2900.1:2012. Damar mata kucing-
Bagian I: klasifikasi dan persyaratan
e. Kelompok Resin mutu berdasarkan uji visual (Tabel
5.41)
Resin atau harsa adalah bahan yang
merupakan suatu kelompok bahan kimia
2) Gondorukem, merupakan residu proses
yang diperoleh sebagai hasil sekresi
pengolahan getah pinus/tusam.
tanaman dimana susunan kimianya sangat
a) Nama lain: pine resin, resin, colophony,
kompleks, sifat fisiknya hampir sama satu
siongka.
jenis dengan jenis lainnya dan tidak larut
b) Sumber penghasil: Pinus merkusii
dalam air. 7. Kelompok Resin
c) Daerah penghasil: tersebar di daerah
pegunungan di Indonesia terutama di
1) Damar Resin atau harsa adalah bahan yang merupakan suatu Jawa,
Sumatra, kelompok bahan kimia
Sulawesi yang diperoleh
dan Bali.
sebagai hasil sekresi tanaman dimana susunan kimianya sangat kompleks, sifat fisiknya hampir
a) Nama lain: gum damar, resin damar, d) Komposisi dan sifat fisika-kimia:
sama satu jenis dengan jenis lainnya dan tidak larut dalam air.
damar, harsa, damar mata kucing Komponen utama gondorukem adalah
b) Sumber1. penghasil:
Damar hasil sekresi pohon bentuk isomer dari anhidrida asam
shorea, vatica, dryobalanops dan abietat (C19H29COOH) dan asam-asam
lain-lain jenis yang termasuk famili
a. Nama lain: gum damar, resin damar, damar, harsa, lainnya
damarseperti asam resin. Selain itu
mata kucing
Dipterocarpaceae. Khusushasil
b. Sumber penghasil: damar daripohon Shorea,
sekresi terdapat abietat anhidrida
Vatica, Dryobalanops (C40H58jenis
dan lain-lain O3) yang
Shorea javanica
termasuk K&V.
famili disebut damar Khusus damar
Dipterocarpaceae. dan dari
hidrokarbon. Warnanya
Shorea javanica K&V. bening,
disebut damar
mata kucing.
mata kucing. tak larut dalam air, larut dalam
c) Daerah Daerah
c. penghasil:
penghasil: Aceh,Aceh,Sumatra
Sumatera Utara, Sumatera
alkohol,Barat, Bengkulu,
benzena, Riau,
eter, asamSumatera
asetat,Selatan,
Lampung, Kalimantan
Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, dan Sulawesi Selatan. glacial, karbon disulfida, dan lain-lain.
Riau, d.Sumatra
Komposisi dan sifat fisiko-kimia: asam damar, damar resin, damar resence, warna putih hingga
Selatan, Lampung, e) Kegunaan:
0 digunakan dalam industri
kuning, berat jenis 1,04-1,12, titik lunak 75 C, bilangan asam 33-72, bilangan ester 0-1,5. Tidak
Kalimantan dan Sulawesi Selatan. batik, sabun, cat, vernis,
larut dalam air, larut dalam alkohol, khloroform, eter, karbon disulfida, plastik,
benzena, tinta larut
sebagian
d) Komposisidalamdan terpentin.
sifat fisika-kimia: asam cetak, kembang api, dan lain-lain.
damar,e.damar resin,
Kegunaan: untukdamar resence,
korek api, f) Klasifikasi
kembang api, plastik, plester, vernis,mutu gondorukem
dan lain-lain.
warna f.putih hingga mutu
Klasifikasi kuning, berat jenis
khususnya damar mata kucingberdasarkan
berdasarkanSNISNI 7637:2010
2900.1:2012. (Tabel
Damar mata
1,04-1,12,kucing-Bagian
titik lunak I:750C, bilangan
klasifikasi 5.42-5.44)
dan persyaratan mutu berdasarkan uji visual.
asam 33-72, bilangan ester 0-1,5.
Tabel 3.4. Syarat mutu damar mata kucing berdasarkan penampilan (visual)
Tabel 5.41. Syarat mutu damar mata kucing secara visual
Mutu Warna Tidak Lolos Lubang Saringan
A Kuning bening (3X3)cm2
B Putih kekuningan (2X2)cm2
C Putih kekuningan (2X2)cm2
D Kecoklatan (0,5X0,5)cm2
E Kehitaman (0,3X0,3)cm2
Bubuk/Abu ---- <(0,3X00,3)cm2
Keterangan: klasifikasi mutu di atas dapat bervariasi sesuai kesepakatan
Keterangan:penjual
klasifikasi
dan mutu di atas
pembeli, misaldapat bervariasi
mutu AB, BC, dansesuai kesepakatan penjual dan pembeli,
lain-lain.
misal mutu AB, BC, dan lain-lain.
Sulawesi dan Bali.
d. Komposisi dan sifat fisiko-kimia: Komponen utama gondorukem adalah bentuk isomer dar
anhidrida asam abietat (C19H29COOH) dan asam-asam lainnya seperti asam resin. Selain itu
terdapat abietat anhidrida (C40H58O3) dan hidrokarbon. Warnanya bening. Kelarutan tak laru
Vademecum
dalam air, larut dalam alkohol, benzena, eter, asamKehutanan
asetat, glacial, karbon
Indonesia 397dan lain-lain.
disulfida,
2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
e. Kegunaan: digunakan dalam industri batik, sabun, cat, vernis, plastik, tinta cetak, kembang api
dan lain-lain.
f. Klasifikasi mutu gondorukem berdasarkan SNI 7637:2010. Gondorukem.
4. Shellak
Tabel 5.46. Spesifikasi persyaratan mutu (persyaratan khusus)
a. Nama lain: shellack, lak, dan lain-lain. Persyaratan
No. Jenis Uji Satuan
b. Sumber penghasil: Shellak diperoleh dari hasil Mutu sekresi
U serangga
Mutu Plak (Tachardia lacca Kerr.)
famili
1 Coccidae yang hidup pada pohon
Keadaan -- inang seperti
Kering udarakosambi (Schleichera
--- oleosa Merr.)
c. Daerah
2 penghasil: Terutama di --India.Kuning
Warna Di bening
Indonesia
s/d dihasilkan
--- dari daerah Jawa Timur,
Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat dan Timur. kuning pucat
d. Komposisi
3 Ukurandan sifat
butir: fisiko-kimia: lilin, pigneb
lolos Tidaklaccin,
lolos asamLolos
laccainat (C16H12O8), crythrolaccin
ayakan
(C15H10O5), dan 5lain-lain.
ayakan ukuran x 5 mm Tidak larut dalam ayakanair. Larut dalam metil dan etil alkohol, asam
asetat,
4 dan kotoran
Kadar lain-lain.(b/b)
Larut sebagian
% dalam eter,<etil 3 asetat, khloroform,
> 3-5 aseton, dan lain-lain.
e. Kegunaan:
5 Abu sebagai bahan baku industri % vernis,<isolasi
0,3 listrik, kembang
> 0,3-5 api, dan lain-lain.
f. Klasifikasi mutu shellak berdasarkan SNI 7632:2011. Lak butiran (seed lak)
4. Shellak
Tabel 5.47. Persyaratan mutu lak butiran
a. Nama lain: shellack, lak, dan lain-lain.
b.No.Sumber penghasil: Shellak diperoleh dari Mutu
Karakteristik hasil sekresi serangga lak (Tachardia lacca Kerr.)
famili Coccidae yang hidup padaPpohon inang seperti kosambi D
(Schleichera oleosa Merr.)
1 Kebersihan Diperkenankan terdapat Diperkenankan terdapat
c. Daerah penghasil: Terutama di India. Di Indonesia dihasilkan dari daerah Jawa Timur,
serpihan ranting, debu lak serpihan ranting, debu lak
Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat dan Timur.
dan bahan lain < 2% dan bahan lain 2,1 – 4%
d. Komposisi dan sifat fisiko-kimia: lilin, pigneb laccin, asam laccainat (C16H12O8), crythrolaccin
2 Warna Kuning kecoklatan Coklat kehitaman
(C15H10O5), dan lain-lain. Tidak larut dalam air. Larut dalam metil dan etil alkohol, asam
3 Besar butiran 0,1 cm s/d 0,6 cm Tidak dibatasi
asetat, dan lain-lain. Larut sebagian dalam eter, etil asetat, khloroform, aseton, dan lain-lain.
e. Kegunaan: sebagai bahan baku industri vernis, isolasi listrik, kembang api, dan lain-lain.
f. 8. Minyakmutu
Klasifikasi Atsiri
shellak berdasarkan SNI 7632:2011. Lak butiran (seed lak)
Larut dalam metil dan etil alkohol, api langsung atau tidak, tekanan sama
asam asetat, dan lain-lain. Larut dengan udara luar. 74
Tabel 5.47. Persyaratan mutu lak butiran
sebagian dalam eter, etil asetat, 2) Penyulingan langsung dengan uap
khloroform, aseton, dan lain-lain. Mutu destillation). Uap air dibuat pada
(steam
No. Karakteristik
e) Kegunaan: sebagai bahan baku P D
ketel lain yang terpisah dengan bahan,
1 Kebersihan Diperkenankan
industri vernis, isolasi listrik, kembang terdapat Diperkenankan terdapat dan tekanan
pemanasan tidak langsung
api, dan lain-lain. serpihan ranting, debu lak diatur
bisa serpihan ranting,kebutuhan.
menurut debu lak
dan bahan lain < 2% dan bahan lain 2,1 – 4%
f) Klasifikasi mutu shellak berdasarkan 3) Penyulingan dengan air dan uap (water
2 Warna Kuning kecoklatan Coklat kehitaman
SNI 7632:2011 Lak Butiran (Tabel 5.47) and steam destilation). Bahan dan air
3 Besar butiran 0,1 cm s/d 0,6 cm Tidak dibatasi
terpisah oleh sekat dalam satu ketel.
f. Minyak Atsiri Tekanan dalam ketel sama dengan
8. Minyak Atsiri
tekanan udara luar.
Minyak atsiri adalah minyak yang diperoleh 4) Pengepresan (pressing). Umumnya
dari proses ekstraksi dari bagian pohon dilakukan terhadap bahan berupa biji, 74
(daun, ranting, akar, kulit, getah, bunga buah dan kulit buah. Akibat tekanan
dan buah). Minyak ini menguap pada suhu pengepresan, sel-sel yang mengandung
kamar dan mempunyai bau yang khas. minyak akan pecah dan minyak akan
mengalir ke permukaan bahan.
Proses ekstraksi minyak atsiri terdiri atas:
5) Ekstraksi dengan pelarut menguap
1) Penyulingan dengan air (water
(solvent extraction). Prinsipnya adalah
destillation). Bahan dan air dicampur
melarutkan minyak atsiri dalam bahan
dalam satu ketel, pemanasan dengan
dengan menggunakan pelarut organik.
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 399
Teknologi dan Industri Kehutanan
satu karena adanya gaya-gaya pengikat perekat resin alam (shellak), dan yang
antar permukaan, yaitu gaya valensi bersifat eksterior (perekat fenolik).
atau gaya ikatan ion dan gaya saling
mencengkeram antara perekat dengan Sumber daya perekat hayati yang komponen
bahan yang direkat atau interlocking forces. utamanya senyawa fenolik (fenol, resorsinol
(2) suatu sistem yang terdiri atas gaya- dan sejenisnya) adalah tanin dari ekstrak
gaya ikatan yang berbeda yang berasosiasi kulit pohon bakau (Rhizopora) dan
bersama membentuk suatu ikatan antara tancang (Bruguiera), Acacia mollissima
garis perekat dengan bahan yang direkat, dan Eucalyptus, quebracho (Schinopsis
sedang garis perekat sendiri dipengaruhi spp.), akasia (A. mangium, A. decurrens,
oleh mobilitas bahan perekat dan kondisi A. leucophoe, dan A. mernsii), Switenia
permukaan perekat. macrophylla, Adenanthera microsperm,
mahoni (Mahogany sp.) dan beberapa jenis
Sistem perekatan merupakan hasil pinus dan gambir (Trigonopleura malayana).
kerja dua buah gaya perekatan, yaitu Selain itu, sumber senyawa fenolik juga
perekatan spesifik dan perekatan mekanik. terdapat dalam lignin, yang terdapat pada
Gaya perekatan mekanik terbentuk semua jenis kayu dan merupakan komponen
karena meresapnya perekat ke dalam kimia utama penyusun kayu selain selulosa.
rongga sel kayu membentuk akar-akar
perekat sehingga menimbulkan gaya 1) Proses Produksi Isolat Senyawa Fenolik
pencengkeraman (interlocking forces). dari Bagian Tumbuhan
Gaya spesifik timbul karena adanya gaya Untuk memperoleh senyawa fenolik
tarik menarik antara atom atau molekul bisa dengan cara mengekstrak kulit/
perekat dan permukaan bahan yang direkat. serbuk gergajian/daun jenis pohon–
Keteguhan rekat merupakan total gaya pohon tersebut pada suhu sekitar
perekatan mekanika dan gaya perekatan 80-90oC. Ekstrak tanin yang diperoleh
spesifik. selanjutnya dicuci dengan air panas atau
dengan larutan encer natrium sulfit atau
Jenis perekat ada 2 yaitu (1) perekat metabisulfit yang selanjutnya dikeringkan
sintetik, perekat yang bahan baku utamanya pada suhu 80oC sampai diperoleh isolat
berasal sumber minyak bumi, seperti urea padat. Ekstrak ini merupakan campuran
formaldehida, melamin formaldehida, senyawa polifenol yang sangat kompleks
phenol formaldehida dan resorsinol dengan tingkat kemurnian yang amat
formaldehida, dan (2) perekat alam yang beragam (70-80% bahan fenolik aktif),
dipakai sebelum adanya perekat sintetik, kristalnya berbentuk amorf dan dapat
perekat yang bahan baku utamanya berasal larut dalam air.
bagian hewan (seperti perekat protein,
perekat tulang) atau tumbuhan (seperti 2) Proses Produksi Perekat Tipe Eksterior
perekat dari ekstrak kulit pohon, kedelai, (Fenolik)
ekstrak serbuk gergajian kayu, dan ekstrak
Perekat ini dibuat dengan reaksi
daun), perekat karbohidrat (amilum),
kopolimerisasi ekstrak cair atau isolat
perekat soda silikat dan perekat resin alam
senyawa fenolik dengan resorsinol
(shellak). Perekat Alami yang berasal dari
pada nisbah persen bobot 100:(2,5-
bagian tumbuhan tersebut dikenal sebagai
5,0), dengan katalis basa (NaOH/KOH).
Perekat Hayati (Bioadhesive).
Kopolimer ini terdiri atas dua komponen
Perekat yang dibuat dari bagian tumbuh- yang berbentuk cairan, masing-masing
tumbuhan ada yang bersifat interior berwarna merah-cokelat pekat dan sindur.
(perekat protein (dari tulang, kulit, kedelai, Dalam aplikasinya kedua komponen
dll), perekat karbohidrat (amilum) dan tersebut dicampurkan satu dengan yang
lain pada suhu kamar dengan nisbah
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 401
Teknologi dan Industri Kehutanan
bobot 10:1, dan akan membentuk resin Untuk pengujian Emisi formaldehida bisa
berwarna merah kecokelatan, berbau digunakan cara desikator 2 jam (IHPA), 24
khas fenol. Campuran komposisi perekat jam (JAS), WKI, chamber, menggunakan alat
tersebut memiliki pH akhir reaksi 10. spektrofotometer.
3) Aplikasi Perekat
h. Bioenergi - Pengolahan Bahan Bakar
Jenis perekat dua komponen ini adalah Nabati Berbasis Lemak dan Minyak
untuk penggunaan dalam pembuatan (Biodiesel)
kayu komposit dengan proses kempa
dingin dengan kualitas setara dengan Biodiesel (fatty acid methyl ester/FAME)
perekat resorsinol formaldehida (RF) atau merupakan bioenergi atau bahan bakar
resorsinol phenol formaldehida (RPF), alternatif pengganti minyak diesel (minyak
digunakan dalam pembuatan produk fosil), yang dibuat dari bahan minyak nabati
perekatan untuk keperluan konstruksi, maupun hewani. Minyak nabati bersifat
seperti balok lamina dari kayu, bambu lebih kental dan angka setananya (cetane
maupun batang kelapa, venir lamina number) lebih rendah dibandingkan dengan
(Laminated Veneer Lumber, LVL) dan minyak solar, sehingga lebih sulit untuk
balok sambung, flooring parquet, Cross diaplikasikan langsung ke dalam mesin
laminated Timber (CLT) dan produk- diesel, sehingga perlu diubah menjadi
produk sejenis. Perekat ini diciptakan biodiesel.
guna mensubstitusi perekat berbasis
Proses umum yang digunakan untuk
resorsinol (impor).
mengubah minyak nabati menjadi
4) Pengujian Sifat Perekat biodiesel adalah dengan melakukan reaksi
esterifikasi dan transesterifikasi, baik
Setiap pabrik perekat memberitahukan menggunakan katalis asam maupun katalis
sifat perekat yang dibuatnya. Pengujian basa, tergantung dari kandungan asam
dilakukan pada perekat yang belum lemak bebas dalam minyak. Selain itu,
dicampur dan yang sudah dicampur. telah dikembangkan beberapa metode baru
Sifat perekat dapat mempengaruhi sifat dalam pembuatan biodiesel. Diantaranya
keteguhan rekat produk perekatannya. dengan proses non-katalitik (menggunakan
Pengujian perekat meliputi: metanol super kritik), proses in-situ, serta
a) Rupa: warna, keadaan dan adanya menggunakan proses biologis/enzimatis
benda asing (pengotor), pengujian
dilakukan secara visual Berdasarkan kandungan asam lemak bebas
b) Bobot jenis: dilakukan dengan cara (ALB/free fatty acid) didalamnya, minyak
piknometer nabati dapat dibagi menjadi tiga, sebagai
c) Kadar padat: dilakukan dengan cara berikut:
gravimetri 1) Refined oils, yaitu minyak nabati yang
d) Kekentalan: dilakukan dengan telah dimurnikan sehingga kandungan
viskotester (sistem rotor berputar), ALB-nya turun mencapai <1,5 %.
sistem bola jatuh (stoke) atau 2) Minyak nabati yang kandungan ALB-nya
viskosimeter (ostwald) <4 %
e) Lamanya pengerasan (gelatinous 3) Minyak nabati dengan kandungan ALB
time) >20 %.
f) Keasaman (pH): dilakukan dengan Minyak nabati yang memiliki kandungan
melalui kertas lakmus atau dengan ALB sangat rendah (<0,5%) dapat
pH-meter diolah menggunakan 1 tahap reaksi
g) Keteguhan rekat: menggunakan alat transesterifikasi menggunakan katalis
UTM basa. Jika ALB minyak mencapai 2%,
402 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
meningkat mulai dari yang paling lemah Penggunaan metanol mampu menghasilkan
adalah oksida Mg<Ca<Sr<Ba. Penggunaan biodisel dengan randemen dan kemurnian
katalis heterogen memungkinkan output yang paling tinggi karena reaktivitasnya yang
dari proses produksi biodiesel lebih ramah tinggi (disebabkan rantainya paling pendek
lingkungan, tidak membutuhkan banyak dibandingkan jenis alkohol yang lain), lebih
air pencuci, dan menghasilkan glisero yang cepat bereaksi dibandingkan etanol, murah
lebih bersih. dan dapat dengan mudah dipisahkan dari
gliserol. Selain itu metanol memiliki afinitas
Alkohol digunakan sebagai pereaksi untuk yang rendah terhadap penyerapan uap air
membentuk alkil ester. Alkil ester yang udara, serta kadar airnya mudah dipisahkan
terbentuk dapat berupa metil ester, etil melalui destilasi sederhana sehingga dapat
ester dan sebagainya tergantung dari jenis diperoleh dalam bentuk anhidrat. Namun
alkohol yang digunakan. Jika alkohol yang metanol bersifat lebih toksik dibandingkan
digunakan adalah metanol (metil alkohol) dengan etanol, serta kurang ramah
maka biodisel/alkil ester yang terbentuk lingkungan dibandingkan dengan etanol.
berupa metil ester. Kelarutan minyak di
dalam alkohol meningkat dengan semakin Etanol sebagai reaktan dalam pembentukan
panjangnya jumlah atom karbon alkohol, biodisel memiliki kelebihan dibandingkan
namun jenis alkohol yang umum digunakan dengan metanol, yaitu adanya kadar karbon
dalam produksi biodisel adalah alkohol tambahan menyebabkan biodisel yang
rantai pendek, yaitu etanol dan metanol. dihasilkan memiliki bilangan yang lebih
Kedua jenis alkohol tersebut memiliki tinggi. Adapun kekurangan dari penggunaan
kelemahan dan kelebihan masing-masing. etanol adalah menyebabkan pemisahan
404 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
fase gliserol dari fase etil ester, lebih sensitif jumlah pereaksi, (metanol dan asam
dalam menyerap uap air, serta tingkat lemak bebas), waktu reaksi, suhu,
konversi yang lebih rendah dibandingkan konsentrasi katalis, dan kandungan
dengan metanol. air pada minyak. Esterifikasi dengan
katalis HCl dan H2SO4 mempunyai
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kecenderungan yang sama, akan tetapi
biodisel dapat diolah dari beragam jenis penggunaan katalis H2SO4 dengan nisbah
minyak nabati. Jenis minyak yang digunakan molar asam lemak bebas terhadap
akan mempengaruhi beberapa parameter alkohol 1:1 kurang baik dibandingkan
biodisel, seperti densitas, bilangan setana, dengan HCl. Esterifikasi dengan katalis
dan kandungan sulfur. Oleh karena itu, untuk asam terhadap minyak kadar ALB tinggi
menjamin keseragaman kualitas biodisel dan telah dikeringkan terlebih dahulu
yang dihasilkan, dan agar tidak mengganggu memerlukan alkohol tinggi 20:1, suhu
kinerja mesin disel, pemerintah beberapa 60oC, waktu 1-2 jam. Esterifikasi minyak
negara telah menerbitkan standard biodisel. kedele yang mengandung ALB asam
Standar yang mengatur parameter mutu palmitat 20% dengan menggunakan
biodisel di Indonesia dijelaskan dalam SNI nisbah molar metanol 9:1 dan katalis
Biodisel SNI 7182:2015. asam sulfat 5% dan 15%, menunjukkan
bahwa semakin lama waktu esterifikasi
1) Produksi Biodiesel
sampai dengan 0,5 jam penurunan kadar
Teknologi proses produksi biodiesel ALB semakin besar, akan tetapi antara 0,5
satu tahap tidak cocok digunakan untuk jam dengan 1 jam tidak ada perbedaan.
memproduksi bahan yang mempunyai
Reaksi transesterifiksi dipengaruhi oleh
bilangan asam tinggi. Transesterifikasi
faktor internal misalnya kandungan
hanya bekerja secara baik terhadap
air, kandungan asam lemak bebas dan
minyak yang mempunyai kualitas baik
kandungan zat terlarut maupun tak
yaitu minyak dengan asam lemak bebas
terlarut serta faktor internal seperti
relatif kecil.
suhu, waktu, kecepatan pengadukan,
Apabila minyak mengandung asam jenis dan konsentrasi katalis dan jumlah
lemak bebas tinggi akan menghasilkan nisbah molar metanol terhadap minyak.
emulsi sabun akan menyulitkan proses Reaksi metanolisis mempunyai syarat
pencucian. Minyak yang mengandung yaitu minyak harus bersih, tanpa air
asam lemak bebas 4% sulit diproses dan netral, minyak yang mempunyai
menjadi biodiesel. Rendemen biodiesel kandungan asam lemak bebas tinggi akan
dapat ditingkatkan dari 25% menjadi menghasilkan sabun dan membentuk
96% dengan menurunkan kadar asam lapisan gel yang dapat mempersulit
lemak bebas dari 10% menjadi 0,23 % pemisahan dan pengendapan gliserol.
dan air dari 0,2 % menjadi 0,02 %.
2) Biji Tanaman Kehutanan Sebagai Bahan
Esterifikasi betujuan menurunkan Baku Biodiesel
kandungan asam lemak bebas dan
a) Pengupasan dan Pengeringan
transesterifikasi bertujuan mengubah
trigliserida menjadi metil ester, proses Biji yang masih ada tempurungnya,
dua tahap ini menghasilkan biodiesel dikupas terlebih dahulu tempurung-
dengan bilangan asam dan viskositas nya, kemudian biji tanpa tempurung
yang memenuhi standar ASTM dan dikeringkan lagi dibawah sinar
biodiesel komersial. matahari. Pengeringan biji tanpa
tempurung bisa juga dilakukan dengan
Reaksi esterifikasi dipengaruhi oleh
cara digoreng tanpa minyak (sangrai)
beberapa faktor diantaranya adalah
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 405
Teknologi dan Industri Kehutanan
a) Kondisikan sampel pada suhu minimal 140C diatas titik kabut yangVademecum
1) Prosedur Pengujian Titik Kabut
diperkirakan. Buang
Kehutanan Indonesia 2020 409
uap air yang tersisa dengan cara penyaringan dengan kertas saring sampaiTeknologi sampel dan
benar-
Industri Kehutanan
benar kering.
b) Tuangkan sampel kedalam tabung sampel.
c) Tutup tabung sampelcepat, amati
dengan cork (danapakah
termometer)terbentuk
dengan posisi termometer menyentuh titik tuang (minimal 480C).
awan
dasar dan sejajar dengan tabungkristal,
sampel. lalu kembalikan Pindahkan tabung sampel
d) Letakan disk didasarkedalam
jacket, lalujacket.
letakanLangkah ini harus
jacket didalam medium pendingin minimalke10 dalam water bath yang
menit sebelum pengujian. Disk, dalam
dilakukan jacket, 3 dan sebagian
detik. dalam jacket harus dikeringkan
Apabila dipertahankan pada suhu 540C
sebelum digunakan. Gasket diletakan 250 mm dari dasar jacket, lalu dimasukan botol
sampel kedalam jacket.kabut kristal belum terbentuk dan mulai amati titik tuang.
sampaipadasuhu
e) Pertahankan suhu pendingin suhu -110
0
C, pindahkan
sampai 20C. * Apabila titik tuang dibawah
f) Pada setiap perubahan jacket dan tabung
suhu termometer sampeltabung
10C, keluarkan ke sanoel dari jacket dengan -330C, panaskan sampel
cepat, amati apakah terbentuk awan kristal, lalu
dalam pendingin kedua4) Jacket, kembalikan kedalam jacket. Langkah
dan dari bahan dan metaltanpa ini gelas,pengadukan
atau kedap air, bagian sampai
dasar rata, dengan uku
0
harus dilakukan dalam 3 detik. Apabila kabut kristal belum mm,terbentuk
diametersampai
dalam suhu
44,2 10 C, mm.0 Jacket harus disangga dengan penyang
seterusnya dengan rentang suhu
pindahkan jacket dan tabung sampel ke dalam pendingin kedua dan seterusnya dengan
-suhu
45,8 45 C dalam bath yang
untuk menghindari getaran dari cooling bath. pada suhu 480C
rentang suhu sebagai sebagai
berikut : berikut: dipertahankan
5) Disk, dengan tebal 6 mm, diletakan dalam dasar jacket untuk menyangga tabung
• dan dinginkan sampai 120C
6) Gasket, bentunya cincin, dengan ketebalan 5 mm, untuk memantapkan posisi t
Suhu Sampel (0C) Suhu Bath (0C)
dalam jacket. Tujuan pemasangan dalamgasket air yangadalahdipertahankan
untuk mencegah tabung samp
+27 0 dinding jacket. pada suhu 60C.
+9 -18 7) Cooling bath, untuk mendinginkan sampel. Suhu bath dipertahankan dengan
-6 -33 pendingin sebagai berikut :
• Keringkan disk, gasket, dan
-24 -51 (4)Air dan Es untukbagian 0
suhu 10dalam C
-42 -69
jacket. Letakan disk
(5)Es dan kristal NaCl untuk suhu -120C
(6)Es dan kristal CaC12 untuk suhu -260C dan gasket di
pada dasar jacket
(7)Aseton, metano sekeliling
atau etanol tabung sampeldengan
yang didinginkan sekitar campuran es –
• Titik kabut (0adalah
Suhu Sampel C) Suhu suhu
Bath (0pada
C) -120C, dengan CO 252 padat
mm (esdari dasar.
kering) untuk Masukkan
mencapai suhu yang diing
saat terbentuk
+27 kabut kristal0 pada -570C). tabung sampel kedalam jacket.
+9
dasar tabung sampel, dengan -18 Prosedur pengujian• titik kabut dan titik ruang
Dinginkan sampel antara lain sebagai berikut:
hingga
-6 -33 1)O Prosedur Pengujian Titik Kabut
pendekatan suhu sebesar 1 Ca) Kondisikan sampel pada terbentuk cairan kental, jaga
suhu minimal 140C diatas titik kabut yang diperk
-24 -51
uap air yang tersisa agar sampel
dengan cara tidak terganggu
penyaringan olehsaring sampai
dengan kertas
(2) Prosedur-42 Pengujian Titik Tuang -69
benar kering. pergeseran termometer.
• Masukan sampel minyak kedalam
g) Titik kabut adalah suhu pada saat terbentuk kabut kristal pada b) Tuangkan sampel
dasar tabung • Lakukan
kedalam
sampel, denhan pengamatan pada
tabung sampel.
tabung
pendekatan suhu sebesar 10C sampel. Sebelumnya, c) Tutup tabung sampel denganrentang corksuhu
(dan termometer)
30C. Pengamatandengan posisi termome
2) Prosedur Pengujian Titikpanaskan
Tuang minyak dalam water dasar dan sejajar dengan tabung sampel.
mulai dilakukan pada suhu 90C
a) Masukan sampel minyak bathkedalam
sehingga tabungcukup
sampel.cair d) Letakan
untuk
Sebelumnya, disk didasar
panaskan munyakjacket,
dalam lalu letakan jacket didalam medium pendingi
menittabung
sebelum diatasDisk,
pengujian. perkiraan
jacket, titik tuang: dalam jacket haru
dan sebagian
water bath sehinggadituangkan
cukup cair untuk dituangkantabung
kedalam kedalam sampel. Apabila
0 sebelum digunakan. Gasket
sebelumnya sampel telah dipanaskan pada suhu diatas 45 C, maka diamkan sampel pada * Setiap suhu
diletakan 250 3 0
mmC, keluarkan
dari dasar jacket, lalu dim
sampel. Apabila sebelumnya
suhu ruang selama 24 jam sebelum pengujian sampel kedalam jacket. tabung sampel dari dalam
sampel telah dipanaskan pada e) Pertahankan suhu pendingin pada suhu
jacket, -1 sampai
sisipkan uap20C.
air yang
suhu diatas 45OC, maka diamkan f) Pada setiap perubahan suhu 85termometer
menempel pada 10C, keluarkan tabung sanoel dari
dinding
sampel pada suhu ruang selama cepat, amati apakah terbentuk awan kristal, lalu kembalikan kedalam jacke
harus dilakukan dalam 3 tabung,
detik. Apabila miringkan
kabut kristal tabung
belum terbentuk samp
24 jam sebelum pengujian pindahkan jacket dan tabung dan sampel
perhatikanke dalamapakah terjadi
pendingin kedua dan seter
• Tutup tabung sampel dengan rentang suhu sebagai berikut pergerakan
: sampel dalam
cork (dan termometer). Posisi tabung. Prosedur ini harus
termometer koaksial dengan dilakukan
Suhu Sampel (0dalam
C) 3 detik.
Suhu Bath (0C)
tabung sampel, dan termometer * Apabila sampel tidak0berhenti
+27
terendam dalam sampel, dengan +9
mengalir pada suhu-18 270C,
kapilernya terletak 3 mm maka pindahkan -33 tabung
-6
dibawah permukaan sampel. -24 -51
sampel ke dalam bath yang
-42 -69
• Pengujian titik tuang: memiliki suhu lebih rendah
* Apabila titik tuang sampel
diatas -330C, panaskan Suhu Sampel (0C) Suhu Bath (0C)
sampel tanpa pengadukan 90C +27 0
diatas perkiraan titik tuang, +9 -18
minimum sampai 450C dalam -6 -33
water bath yang pertahankan -24 -51
pada suhu 120C di atas -42 -69
g) Titik kabut adalah suhu pada saat terbentuk kabut kristal pada dasar tabung sa
pendekatan suhu sebesar 10C
2) Prosedur Pengujian Titik Tuang
a) Masukan sampel minyak kedalam tabung sampel. Sebelumnya, panaskan m
water bath sehingga cukup cair untuk dituangkan kedalam tabung sam
410 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
Gambar
Gambar 5.56. 1.briket
Mesin Mesin briket
kempa kempa
semi semi kontinyu
kontinyu
Gambar 1. Mesin briket kempa semi kontinyu
Tabel 2. Syarat Mutu Briket Arang Kayu (SNI 01-6235-2000)
Tabel 2. Syarat Mutu Briket Arang Kayu (SNI 01-6235-2000)
Tabel 5.49. Syarat mutu briket arang kayu (SNI 01-6235-2000)Persyaratan
No Uraian Satuan
1 Kadar Air % b/b maks 8,0
No 2 U r a i a n
Kadar Abu Satuan % b/b Persyaratan
maks 8,0
1 Kadar Air 3 Zat terbang % b/b % b/b maks maks 8,0 15,0
2 Kadar Abu4 Karbon murni % b/b % b/b maks 8,0 min 69,0
3 Zat terbang5 Nilai kalor % b/b kal/gr maks 15,0 5.000
maks
4 Karbon murni % b/b min 69,0
5 Nilai suhu c. 0Teknologi Pembuatan Arang
kalor300 Aktif
kal/gr
C agar lignin yang terdapat serbuk arang5.000
maks berukuran 20-40 mesh.
dalam kayu Arang aktifyang
meleleh adalah arang yang di proses lebih lanjut sehingga pori-porinya terbuka, dan
berfungsi
sebegailuas permukaannya
perekat alami untuk bertambah m2/g pada arang
briket itubesar dari 2Proses selanjutnya
menjadi 300-2000adalahm2/g, dengan
c. Teknologi Pembuatan
sendiri.kadar karbon
Serbuk danArang
briket keaktifan
kayu Aktif
yang bervariasi,pengepresan
tersebut tergantung pada seperti cara pertama
suhu aktivasi dan lamanya waktu
selanjutnya dikarbonisasi
aktivasi yang di
diberikan.dalam
Arangkilnaktif dapat yaitu
dibuat arang
dari serbuk
Arang aktif adalah arang yang di proses lebih lanjut sehingga pori-porinya terbuka,karbon,
semua dicampur
bahan yang dengan
mengandung dan
arang. baik itu bahan yang berasal dari bahan perekat kanji dan diaduk sampai
2 organik maupun dari bahan non organik 2seperti tulang,
luas permukaannya bertambah besar dari 2 m /g pada arangkemudian
merata, menjadi dimasukkan
300-2000 mke/g, dengan
c) resin,cara
Kombinasi serbuk kayudan
pertama gergaji,
kedua sekam padi, gambut, batu bara, briket
tempurung kelapa dan tempurung
kadar karbon dan keaktifan yang bervariasi, tergantung pada suhu aktivasi
dalam cetakan dandan lamanya waktu
dikempa
biji-bijian lainnya. Teknologi pembuatan arang aktif itu sendiri pada
dengan prinsipnya dapat dilakukan
aktivasi yang diberikan.
Kenyataan Arang
dengandidualapangan, aktif
cara yaitu dapat
ternyata
cara dibuat
kimia dan dari
fisika. semuatekanan
bahan 1,25
yang ton. Karena
mengandung karbon,
briket arang yang dihasilkan
industri penggergajian kayu milik
baik itu bahan yang berasal dari bahan organik maupun masihdaribasahbahanmakanonperlu
organik seperti tulang,
dilakukan
rakyat lokasinya terpencar-pencar 90
resin, serbuk kayu gergaji, sekam padi, gambut, batu bara, tempurung kelapa dan tempurung
tetapi jumlahnya relatif banyak, maka
pengeringan pada suhu 60 o
C selama
24 jam. Adapun syarat mutu briket
biji-bijiancara
lainnya.
membuatTeknologi pembuatan
briket arangnya dapat arang aktif itu sendiri pada prinsipnya dapat dilakukan
arang kayu (SNI 01-6235-2000) seperti
dilakukan dengan cara kombinasi
dengan dua cara yaitu cara kimia dan fisika. cara pada Tabel 5.49.
pertama dan ke dua dimana serbuk
gergajian kayu dikarbonisasi terlebih 3) Teknologi Pembuatan Arang Aktif
dahulu didalam kiln drum yang 90
dimodifikasi selama 12-14 jam, setelah Arang aktif adalah arang yang di proses
semua bahan terkarbonisasi, kiln lebih lanjut sehingga pori-porinya
ditutup dan dibiarkan dingin selama terbuka, dan luas permukaannya
1 hari. Serbuk arang yang dihasilkan bertambah besar dari 2 m2/g pada arang
selanjutnya diayak, sehingga didapat menjadi 300-2000 m /g, dengan kadar
2
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 415
Teknologi dan Industri Kehutanan
Gambar 5.58. Mekanisme reaksi penguraian selulosa dan penataan ulang atom karbon
j. Asap Cair
Seperti halnya arang, penelitian dan
pengembangan asap cair atau cairan destilat
Gambar 5.59. Tungku drum yang dilengkapi
sudah dilakukan di P3HH sejak 1911. Hal ini
dengan proses kondensasi sistem sirkulasi
dikarenakan alat karbonisasi atau pyrolisis
yang dibuat sejak jaman Belanda sudah
untuk pembuatan arang dari ranting, terintegrasi yang menghasilkan arang,
tempurung (kelapa, sawi, kemiri) dan cairan destilat dan ter. Pada tahun 1950,
limbah industri pengolahan kayu (sebetan, cairan destilat sudah diaplikasikan sebagai
potongan ujung, serutan). Tungku semi koagulan lateks. Karena terdesak oleh bahan
kontunyu dan tungku datar digunakan untuk kimia, pemakaian asap cair terpinggirkan
pembuatan arang dari serbuk gergajian seperti halnya pemakaian pupuk kimia di
kayu. Sedangkan tungku tradisional dan bidang pertanian. Sedangkan asap cair
kubah dapat digunakan untuk pembuatan pertama kali diproduksi pada tahun 1880
arang dari limbah pembalakan. oleh sebuah pabrik farmasi di Kansas
City yang dikembangkan dengan metode
Briket arang dapat dibuat dengan cara destilasi kering dari bahan kayu.
kempa manual dan extruder. Cara kempa
manual dapat dikembangkan untuk industri Asap cair adalah asap yang terbentuk melalui
briket arang skala kecil, sedang cara extruder proses pembakaran yang terkondensasi
untuk industri briket arang skala menengah. pada suhu dingin yang terdiri dari fase cairan
terdispersi dalam medium gas sebagai
Proses pembuatan arang aktif dapat pendispersi. Tiga komponen utama yang
dilakukan dengan cara kimia dan fisika terdapat dalam asap cair yang berasal dari
dengan sistem kiln berputar atau kiln kayu adalah asam asetat, fenol dan alkohol.
tetap pada suhu 700-9000C dengan bahan Karena lebih dari 50% komponen utamanya
kimia CaCl2 , MgCl2, KOH, NaOH, NH4HCO3, asam asetat maka dinamakan juga cuka
H3PO4. Arang aktif dapat digunakan untuk kayu. Asam asetat yang merupakan
penjernihan air, norit, sabun, cat tembok, kandungan utama dari cuka merupakan
kertas karbon. senyawa yang biasa digunakan sebagai
bahan pengawet makanan (menghambat
Arang nano dibuat dari arang yang pertumbuhan mikroorganisme yang
dikarbonisasi lagi pada suhu 13000C mungkin berkembang dalam makanan) dan
dengan teknologi sintering sehingga bekerja sebagai pelarut lipid sehingga dapat
konduktivitasnya tinggi dan dapat merusak membrane sel.
digunakan sebagai bahan biosensor, baterai
HP dan elektroda. Arang aktif nano karbon Alkohol merupakan senyawa yang berfungsi
dapat dibuat biosensor untuk mendeteksi sebagai denaturasi protein dan pelarut
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 421
Teknologi dan Industri Kehutanan
Tabel5.51.
Tabel 5.51.Komponen
Komponen kimia
kimiacuka
cukakayu
kayu
Tabel 5.51. Komponen kimia cuka kayu
NoNo KomponenKimia
Komponen Kimia Pinus++Kulit
Pinus Kulit PinusTanpa
Pinus TanpaKulit
Kulit
1.1. Ethanol
Ethanol 0,45
0,45 0,28
0,28
2.2. Asamasetat
Asam asetat 60,79
60,79 18.03
18.03
3.3. Propanone
Propanone 1,21
1,21 1,38
1,38
4.4. Furanon
Furanon 1,37
1,37 2.00
2.00
5.5. Butanon
Butanon 0,94
0,94 2,45
2,45
6.6. Methylfurfural
Methyl furfural 0,69
0,69 0,84
0,84
7.7. Furanmetanol
Furanmetanol 1,92
1,92 2,19
2,19
8.8. Cyclopenten
Cyclopenten 1,21
1,21 0,88
0,88
9.9. Pyran
Pyran 0,52
0,52 --
10.
10. Methoxyquaiacol
Methoxy quaiacol 2.86
2.86 3,67
3,67
11.
11. Cyclopropilcarbinol
Cyclopropil carbinol 0,69
0,69 --
12.
12. Nonadiena
Nonadiena 0,40
0,40 --
13.
13. Maltol
Maltol 0,81
0,81 0,52
0,52
14.
14. Benzeldehida
Benzeldehida 0,42
0,42 1,37
1,37
15.
15. Methylphenol
Methyl phenol 2,68
2,68 3,70
3,70
16.
16. Asampropionate
Asam propionate 0,63
0,63 0,86
0,86
17.
17. Ethylquaiacol
Ethyl quaiacol 0,69
0,69 0,76
0,76
18.
18. Vanilin
Vanilin 0,27
0,27 0,61
0,61
19.
19. Glukopiranosa
Glukopiranosa 0,35
0,35 --
20.
20. Kresol
Kresol -- 0,61
0,61
21.
21. Asampospat
Asam pospat 4,86
4,86 40,76
40,76
Tabel5.52.
Tabel 5.52.Unsur
Unsurhara
haramakro
makrodan
danmikro
mikropupuk
pupukcair
cairorganik
organikdari
daricuka
cukakayu
kayu
Tabel 5.52. Unsur hara makro dan mikro pupuk cair organik dari cuka kayu
NoNo Unsur
Unsur Satuan
Satuan Konsentrasi
Konsentrasi
1.1. Nitrogen
Nitrogen %% 0,037
0,037
2.2. Pospor
Pospor ppm
ppm 0,72
0,72
3.3. Kalium
Kalium ppm
ppm 6,28
6,28
4.4. Natrium
Natrium ppm
ppm 0,07
0,07
5.5. Kalsium
Kalsium ppm
ppm 9,66
9,66
6.6. Magnesium
Magnesium ppm
ppm 2,68
2,68
7.7. C-organik
C-organik %% 3,76
3,76
8.8. Keasaman
Keasaman pH
pH 2,72
2,72
9.9. Besi
Besi ppm
ppm 22,34
22,34
10.
10. Mangan
Mangan ppm
ppm 0,37
0,37
11.
11. Cuprum
Cuprum ppm
ppm 0,37
0,37
12.
12. Seng
Seng ppm
ppm 0,60
0,60
13.
13. Cadmium
Cadmium ppm
ppm 0,13
0,13
14.
14. Plumbum
Plumbum ppm
ppm 0,00
0,00
15.
15. Cobalt
Cobalt ppm
ppm 0,64
0,64
3.3.Aplikasi
AplikasiAsap
AsapCair
Cair
99
99
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 423
Teknologi dan Industri Kehutanan
pengeringan serbuk kayu sampai diperoleh dianggap tidak menambah emisi CO2 ke
kadar air 10-15%, dan pemadatan menjadi atmosfer karena semasa pertumbuhan
pelet, pendinginan dan pengemasan. pohon telah menyerap CO2, yang bahkan
jumlah yang diserap lebih besar dari yang
Densifikasi biomas (limbah kehutanan, dilepaskan. Bahkan bisa menjadi karbon
pertanian dan perkebunan) menjadi briket negatif.
atau pelet merupakan suatu metode
pengembangan fungsi suatu sumber daya Beberapa kelemahan penggunaan biomassa
yang dapat meningkatkan kandungan energi sebagai bahan bakar dibandingkan bahan
tiap satuan volume, mengurangi jumlah bakar fosil adalah:
abu pada bahan bakar dan meningkatkan • Mempunyai kandungan panas yang lebih
kapasitas panas. Pelet merupakan hasil rendah
pengempaan biomas yang mempunyai • Mengandung kadar air yang tinggi yang
tekanan lebih besar dibandingkan briket. dapat menghambat proses pembakaran
• Densitasnya rendah
Bahan bakar pelet ini berdiameter antara • Bentuknya yang tidak homogen
3-12 mm dengan panjang antara 6-25 mm.
Pelet diproduksi dalam suatu alat dengan 1) Teknologi Pembuatan Pelet Kayu
mekanisme pemasukan bahan secara terus
menerus dan akan mendorong bahan Pada prinsipnya teknologi pembuatan
yang telah dikeringkan dan dimampatkan pelet kayu terdiri dari dua cara yaitu
melewati lingkaran baja pada beberapa cara basah yang diperuntukkan bahan
lubang yang mempunyai ukuran tertentu baku yang mempunyai kadar air tinggi
dan akan patah ketika mencapai panjang sehingga dalam pembuatannya harus
yang diinginkan. Teknologi pelet ini dikeringkan terlebih dahulu, dan cara
sudah banyak digunakan terutama untuk ke dua adalah proses kering digunakan
memproduksi pakan ternak, namun untuk bahan baku yang mempunyai
demikian khusus untuk bio-pelet dari kadar air sangat rendah.
biomas kayu di Indonesia belum banyak
dilakukan. a) Pembuatan pelet cara kering
Pelet kayu digunakan sebagai sumber Terlebih dahulu serbuk kayu disaring
energi untuk pemanas ruangan pada untuk memisahkan serbuk yang
musim dingin dan energi penghasil listrik terlalu kasar dan halus.Ukuran serbuk
(carbon for electricity). Selain itu dapat juga yang ideal adalah 60-100 mesh.
digunakan sebagai sumber energi di rumah Apabila ukuran serbuk terlalu terlalu
tangga keperluan memasak sehari-hari kasar atau halus, maka kualitas pelet
dengan emisi yang dikeluarkan relatif lebih yang dihasilkan tidak optimal. Tahap
ramah lingkungan karena pelepasan emisi selanjutnya adalah pengeringan
karbonnya rendah. Selain itu pelet kayu serbuk kayu sampai kadar air 10-
juga menghasilkan rasio panas yang relatif 12%. Untuk serbuk kayu, pengeringan
tinggi antara output dan inputnya (19:1 dengan sistem drum berputar sangat
hingga 20:1) dan energi sekitar 4,7kWh/kg. sesuai dan cepat, mudah namun
relatif mahal. Di pabrik, proses
Pelet kayu termasuk ramah lingkungan, pengeringannya dilakukan dengan
karena selain emisi CO2 yang dikeluarkan cara dikirim dengan ban berjalan ke
dari hasil pembakarannya rendah, juga lubang masuk pengering rotary dengan
berasal dari bahan baku terbarukan yang sebuah conveyor ulir yang diletakkan
bersifat carbon neutral. Pelet kayu dapat di bawah lubang pengayakan.
disebut sebagai carbon neutral karena
426 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
Proses pengeringan ini sangat penting. tinggi. Serbuk gergajian kayu disaring
Usaha keras diperlukan untuk menjaga untuk memperoleh ukuran 60-100
kontrol yang ketat terhadap kadar air mesh, bahan yang tidak tersaring
dan uap yang timbul akibat tekanan dapat digiling menggunakan milling
ulir yang dapat menyebabkan tekanan dan disaring kembali. Serbuk halus
balik. Setelah serbuk menjadi kering, yang dihasilkan, selanjutnya ditambah
serbuk tersebut dimasukkan ke dalam tepung kanji dan air secukupnya
corong pengisian pembuatan pelet. sambil di aduk merata. Setelah
Bahan baku yang sudah kering masuk diperoleh campuran serbuk kayu dan
ke dalam mesin pencetak pelet. kanji yang merata dan bertekstur
Gesekan yang terjadi di dalam proses semi solid, selanjutnya dimasukkan
menghasilkan panas yang cukup untuk ke dalam cetakan alat kempa dengan
melelehkan lignin yang berfungsi sistem screw. Pelet yang dihasilkan
sebagai perekat pelet sehingga selanjutnya dikeringkan, proses
terjadi proses pengikatan bahan dan pengeringan ini dapat dilakukan
penurunan kadar air menjadi 5%. dengan cara dimasukkan ke dalam
Panas ini juga menyebabkan suhu oven atau dijemur dengan panas
pelet ketika keluar mencapai 50-700C matahari di udara terbuka.
sehingga perlu pendinginan.
Untuk skala usaha sebaiknya proses
Proses pembuatan pelet kayu cara pembuatan pelet cara basah ini
kering ini memerlukan biaya investasi menggunakan cara koperasi. Sesuai
yang cukup besar. Pabrik yang dengan namanya, tujuan pengusahaan
membuat pelet kayu dengan cara ini pelet cara koperasi adalah merupakan
sudah ada di Wonosobo, Tangerang usaha bersama suatu desa dalam
dan Semarang, yang kesemuanya memberikan kesempatan kerja kepada
menggunakan limbah serbuk gergajian warganya agar dapat meningkatkan
kayu sebagai bahan baku utamanya. taraf hidupnya. Prinsip kerja cara ini
seperti sistem plasma yaitu sebagai
Proses pembuatan pelet cara kering ini, inti adalah unit pengolahan kayu dan
pengusahaannya dengan cara pabrik plasmanya adalah pencetakan pelet.
tujuannya adalah produksi masal, oleh Pengusaha pelet dapat merangkap
karena itu prosesnya diselenggarakan sebagai eksportir dalam arti
secara masinal. Berikut ini disajikan menanggung semua biaya investasi
hasil studi pembangunan industri dan menjamin perusahaan produk.
pelet berkapasitas produksi 1 ton/jam Kewajiban dari pengrajin arang adalah
dengan bahan baku limbah industri menjual pelet kepada usaha kecil
kayu. Penjualan ditujukan ke negara menengah.
Korea, Jepang dan Eropa.
c) Kualitas Pelet
b) Pembuatan pelet cara basah
Terdapat dua jenis kualitas bahan
Kenyataan di lapangan, ternyata bakar pelet yaitu premium dan
industri penggergajian kayu milik standar. Perbedaan ke duanya
rakyat lokasinya terpencar-pencar terletak pada kadar abu. Jenis
tetapi jumlahnya relatif banyak, standar mempersyaratkan kadar
maka cara membuat peletnya lebih abu maksimal 3%, sedangkan jenis
cocok menggunakan cara basah, premium kadar abunya tidak lebih
mengingat kadar airnya yang relatif dari 1%. Perbedaan ini didasarkan atas
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 427
Teknologi dan Industri Kehutanan
kayu putih hanya dapat memanaskan diperoleh produk dengan berat molekul
air sebanyak 5 liter air. Perbedaan ini tinggi, selain bio-oil, dihasilkan juga arang
disebabkan oleh nilai kalor dari bahan dan gas. Crude bio-oil dapat dimanfaatkan
tersebut jauh berbeda. sebagai alternatif pengganti bahan bakar
hidrokarbon untuk industri seperti untuk
Berdasarkan riset diketahui bahwa mesin pembakaran (combustion machine),
penggunaan pelet kayu sebagai bahan boiler, mesin diesel statis dan gas turbin
bakar dapat meningkatkan keuntungan dan efektif digunakan sebagai pensubstitusi
usaha dalam hal nilai tambah. Keuntungan diesel, heavy fuel oil untuk berbagai macam
dan margin yang dihasilkan adalah paling boiler. Penggunaan untuk bahan bakar
tinggi ketika menggunakan bahan bakar mesin automotive dimungkinkan dengan
sebetan dan pelet kayu, dan paling rendah proses lanjutan crude bio-oil dengan teknik
ketika menggunakan gas. hydrocracking untuk memecah fraksi berat
Pelet kayu merupakan bentuk energi masa molekul tinggi menjadi molekul rendah
depan yang dapat dibuat dengan cara seperti dalam bahan bakar bensin dan solar.
proses basah dan kering dengan teknologi Proses produksi secara umum diawali
menggunakan sistem manual maupun dengan penghancuran bahan baku menjad
kontinyu. Bahan yang dapat digunakan serbuk, pengeringan serbuk menjadi kadar
tidak hanya kayu terutama serbuk gergajian air 5-10%, pengumpanan bahan ke dalam
kayu tetapi dapat juga menggunakan bahan reaktor pirolisis, penampungan destilat
lain seperti limbah daun kayu putih hasil bio-oil, upgrade bio-oil melalui proses
penyulingan yang masih mengandung hydrocracking menjadi bahan bakar setara
ranting. minyak bumi.
Proses pembuatan pelet cara basah
diperuntukkan bahan baku yang kandungan
airnya cukup tinggi dengan menggunakan m. Gasifikasi
teknologi kontinyu. Teknologi ini dapat
dikelola oleh industri kecil, mengingat Gasifikasi adalah proses perubahan bahan
sumber bahan baku tersebar dan skalanya bakar padat (kayu dan biomasa lainnya)
kecil. Sedangkan cara kering diperuntukkan secara termokimia menjadi gas, di mana
industri besar yang sudah terintegrasi. reaksi kimia yang terjadi adalah secara
endotermis yaitu memerlukan panas
dari luar selama berlangsungnya proses.
Umumnya menggunakan media udara dan
l. Bio-oil uap dalam proses gasifikasi. Terdapat tiga
Limbah kayu dan biomasa lainnya dapat produk akhir yang dihasilkan yaitu padatan,
dimanfaatkan sebagai sumber bio-oil. Bio- cairan dan gas. Gas yang dihasilkan
oil merupakan bahan bakar cair berwarna dari gasifikasi dapat digunakan sebagai
kehitaman yang berasal dari biomassa pembangkit tenaga listrik atau keperluan
seperti kayu, kulit kayu dan biomassa untuk memasak. Untuk memperoleh
lainnya melalui teknologi pirolisis cepat produk gas ini dibutuhkan alat yang dikenal
yaitu teknologi degradasi termal pembuatan sebagai gasifier yang bisa menggunakan
arang (karbonisasi), tanpa kehadiran udara bahan baku kayu, batu bara, biomasa
(oksigen) dalam proses pembuatannya, ataupun sampah, dan gas yang dihasilkan
berlangsung pada suhu 400- 600oC dengan ramah lingkungan tanpa kandungan furan.
waktu yang relatif singkat dan proses Proses produksinya dimulai dari persiapan
pemadaman dilakukan secara cepat agar
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 429
Teknologi dan Industri Kehutanan
1,9 cp dan kelarutan air dingin 80,68% daerah tropika yang diyakini berasal dari
kadar abu 0,25% dengan kadar air 7,35% Nusantara. Tumbuh hingga mencapai 7
dekstrosa yang terbentuk 18,20% dengan sampai 25 meter. Buahnya juga disebut
derajat putih 74, 60% warna dalam lugol manggis, berwarna merah keunguan
ungu. ketika matang, meskipun ada pula
varian yang kulitnya berwarna merah.
2) Buah Terap dan Cempedak Buah manggis dalam perdagangan
Manfaat buah terap yang berukuran dikenal sebagai “ratu buah”, sebagai
besar itu disenangi, karena daging pasangan durian, si “raja buah”. Buah
buahnya yang membungkus biji rasanya ini mengandung mempunyai aktivitas
manis, banyak mengandung sari buah antiinflamasi dan antioksidan. Sehingga
dan harum baunya, yang dapat dimakan di luar negeri buah manggis dikenal
dalam keadaan segar atau sebagai sebagai buah yang memiliki kadar
campuran dalam kue. Buahnya konon antioksidan tertinggi di dunia.
memiliki rasa yang lebih enak daripada 4) Buah Matoa
nangka. Bijinya dapat dimakan setelah
dibakar atau direbus; biji yang direbus Dikenal 2 jenis buah matoa, yaitu matoa
(selama 30 menit dalam air garam) kelapa dan matoa papeda. Ciri yang
memiliki rasa yang lebih enak. Buah membedakan keduanya adalah terdapat
muda juga dapat dimasak bersantan dan pada tekstur buahnya, matoa kelapa
dimakan sebagai sayur. dicirikan oleh daging buah yang kenyal
dan nglotok seperti rambutan aceh,
Buah (sinkarp) agak bulat, mencapai diameter buah 2,2-2,9 cm dan diameter
ukuran 16x13 cm, berwarna kuning biji 1,25-1,40 cm. Sedangkan Matoa
kehijauan, tertutup rapat oleh tonjolan- papeda dicirikan oleh daging buahnya
tonjolan bulu kaku yang panjangnya yang agak lembek dan lengket dengan
kira-kira 1 cm; kulit buah kira-kira 8 mm diamater buah 1,4-2,0 cm. Dilihat dari
tebalnya; daging buah (hiasan bunga jenis warna buahnya, baik buah matoa
yang menyandang buah) berwarna putih, kelapa maupun buah matoa papeda
mengandung banyak sari buah, harum dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu
baunya; tangkai buah 5-14 panjangnya. buah matoa merah, kuning, dan hijau.
Perikarp (termasuk biji) berbentuk
menjorong, berukuran kira-kira 12 mm x 5) Sawo Kecik
8 mm; perkecambahannya hipogeal.
Manfaat buah sawo kecik (Manilkara
3) Buah Manggis (Garcinia mangostana L) kauki) banyak yang tidak mengetahuinya.
Buah sawo kecik dipercaya mempunyai
Buah manggis selain bermanfaat sebagai khasiat sebagai pengharum tubuh yang
bahan buah yang mengandung vitamin C alami. Dengan mengonsumsi sawo kecik,
juga bagian kulitnya dapat dimanfaatkan tubuh kita akan menjadi wangi. Keringat,
sebagai bahan anti oksidan untuk bahan nafas, bahkan air kencing orang yang
baku obat herbal. Kulit buah manggis jika memakan buah ini akan tercium wangi.
dijemur kering dan dibuat tepung dapat Itulah sebabnya putri-putri keraton
dipakai untuk campuran pembuatan gula sangat menggemari buah sawo kecik.
kelapa artau gula aren untuk mencegah Tidak heran jika kita menemukan pohon
gula meleleh jika terkena panas . sawo kecik di keraton-keraton yang
Manggis (Garcinia mangostana L.) berada di Solo atau Yogjakarta.
adalah sejenis pohon hijau abadi dari
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 431
Teknologi dan Industri Kehutanan
juga disebut the asian palmyra palm, kandungan air pada umbi kimpul cukup
toddy palm, sugar palm, dan cambodian tinggi yaitu 63,1 gram/100% kimpul
palm. Bahan nira siwalan dapat dibuat mentah.
sebagai gula dengan pemanasan/
perebusan seperti halnya pembuatan Kimpul termasuk jenis umbi-umbian yang
gula aren. Dapat pula dijadikan sebagai mempunyai kandungan karbohidrat yang
bahan minuman setelah difermentasikan lebih tinggi yaitu 34,2 gram/100 % dalam
dengan bahan pembuat alkohol atau umbi mentah, sehingga kemungkinan
sebagai sari larutan legen (bahan umbi kimpul dapat diolah menjadi
minuman manis). Sama halnya dengan keripik. Tujuan yang ingin dicapai adalah
kelapa, penyadapan nira lontar dilakukan untuk mengetahui seberapa besar
terhadap seluruh malai bunga yang tingkat penerimaan masyarakat terhadap
belum mekar. keripik kimpul bumbu balado ditinjau
dari warna, aroma, rasa dan tekstur dan
Sementara nira enau, diambil dari untuk mendapatkan usaha keripik kimpul
pengirisan pelepah malai bunga. Kalau balado yang mempunyai prospek positif.
nira kelapa dan enau ditampung dalam
buluh bambu, maka nira lontar biasanya
ditampung dalam wadah terbuat dari o. Perlebahan
daun lontar itu sendiri. Produksi nira
lontar lebih besar dari nira kelapa, tetapi Perlebahan merupakan kegiatan agribisnis
lebih kecil dibanding dengan enau. Ke yang ramah lingkungan dan dikenal
dalam wadah penampung nira itu, harus sangat bermanfaat untuk meningkatkan
dimasukkan laru berupa kapur sirih, kesejahteraan masyarakat, khususnya
serpihan kayu nangka, atau bahan-bahan masyarakat di daerah sekitar hutan.
lain. Manfaat laru adalah untuk mencegah Manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan
agar nira tidak menjadi masam. pengembangan perlebahan antara lain
dapat meningkatkan pendapatan dan
15) Pengolahan Nira Nipah mutu gizi masyarakat dari hasil-hasil
perlebahan seperti madu, tepung sari,
Bahan nira nipah secara umum dibuat
royal jelly, lilin lebah, propolis. Dalam hal
sebagai gula pengganti gula pasir dengan
pelestarian sumber daya alam, lebah madu
tingkat keputihan yang lebih rendah atau
berperan penting dalam membantu proses
dapat dibuat dekstrin.
penyerbukan tanaman. Selain itu, kegiatan
16) Batang Nipah yang Muda atau Umbut perlebahan dapat juga meningkatkan
Nipah kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi
dalam upaya pelestarian alam.
Pembuatan tepung dari bagian umbut
nipah seperti halnya pembuatan tepung 1) Karakteristik Lebah Hutan
sagu. Selain itu juga dapat langsung Lebah hutan membangun sarangnya di
dimasak sebagai sayur karena bagian ini dahan-dahan pohon dengan ketinggian
lembut. umumnya tidak kurang dari 10 m. Letak
17) Kimpul Tanaman Bawah Hutan sarang yang tinggi ini merupakan bagian
dari strategi pertahanan diri lebah Apis
Kimpul tanaman bawah hutan sering dorsata. Namun, di beberapa tempat
sudah dibudidayakan menjadi komoditi dimana kawasan hutannya terdiri
holtikultura yang mudah mengalami dari hutan sekunder yang didominasi
kerusakan mikrobiologis. Hal ini karena tumbuhan semak banyak ditemukan A.
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 433
Teknologi dan Industri Kehutanan
meningkatkan produksi. Pada sistem itu hal yang paling mungkin dilakukan
ini, pemotongan hanya dilakukan pada pawang untuk meningkatkan kualitas
sarang madu saja sehingga sarang madu lebah hutan adalah menjaga
anakan tetap berada di tempatnya. kebersihan alat dan memperbaiki
Pemanenan juga meninggalkan proses ekstraksi madu.
sedikit sarang madu sebagai bekal
bagi anakan lebah yang akan segera Semua alat dan perlengkapan yang
menetas, sekaligus sebagai sarana digunakan dalam proses produksi
pemancing agar koloni lebah tetap madu, seperti pisau pemotong, alat
tinggal di sarang tersebut. Dalam tampung madu, alat peras, dan botol
kondisi pakan melimpah dan masa kemasan harus betul-betul bersih.
pembungaan yang panjang, sistem Tangan dan pakaian orang-orang
panen sunat dapat dilakukan secara yang terlibat dalam proses produksi
berulang pada sarang yang sama dua pun sebaiknya dalam kondisi bersih.
sampai tiga kali karena koloni tidak Apabila proses ekstraksi madu
perlu membangun sarang baru, kecuali dilakukan dengan cara peras, maka
hanya memperbaiki dan menambah sarang madu harus betul-betul bebas
sarang madu. Sementara anakan lebah dari adanya anakan lebah. Larva/
yang tetap tinggal di sarangnya akan pupa yang ikut terperas menyebabkan
berkembang menjadi lebah dewasa madu menjadi cepat masam.
untuk menjaga kelangsungan hidup
dan memperkuat populasi koloni. Cara ekstraksi madu yang terbaik yaitu
Sistem panen sunat sudah banyak dengan cara ditiriskan. Sarang madu
dipraktekan di berbagai daerah dan disayat dan dipotong-potong kecil
diakui mampu meningkatkan produksi lalu ditampung dalam sebuah drum
madu hutan. penampungan yang diberi saringan
kasar dan halus di bagian tengahnya.
c) Peningkatan Kualitas Hasil Madu Madu dibiarkan mengalir dan menetes
melalui saringan. Dengan cara ini dan
Rendahnya kualitas madu lebah hutan ditunjang dengan kebersihan alat akan
pada umumnya disebabkan oleh kadar dihasilkan madu yang lebih higienis
air yang tinggi yang menyebabkan dan jernih.
madu cepat mengalami proses
fermentasi dan kurang higienisnya D. Standardisasi Hasil Hutan
peralatan dan proses produksi.
Tingginya kadar air madu lebah hutan Standardisasi di Indonesia dimulai sejak
sebagian besar disebabkan oleh 1975. Dewan Standardisasi Nasional (DSN)
belum meratanya tingkat kematangan dibentuk tahun 1984 dengan Keputusan
madu pada saat dipanen. Madu yang Presiden Nomor 20. Susunan Dewan
matang adalah madu yang seluruh Standardisasi ditetapkan dengan Keppres
sarangnya telah tertutup lilin. Nomor 75 tahun 1985 dan disempurnakan
dengan Keppres Nomor 7 tahun 1989.
Namun, tentu saja sangat sulit untuk Kemudian pada tahun 1997 diubah menjadi
mengetahui matang-tidaknya madu Badan Standardisasi Nasional setingkat
sewaktu masih di dalam sarang menteri di bawah Presiden langsung.
lebah. Apalagi kalau pemanenannya
dilakukan malam hari, maka dapat Setiap kementerian diharapkan mempunyai
dipastikan tingkat kematangan unit kerja yang menangani tentang
madunya tidak diketahui. Oleh sebab standardisasi. Sejak 1 April 1994 standar
438 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
Tabel
A. Kayu5.53. Daftar SNI Komite Teknis 79-01 Hasil Hutan Kayu (Kayu Bundar)
Bundar
No. Nomor SNI Judul SNI
1 SNI 7533.1:2010 Kayu bundar – Bagian 1: Istilah dan definisi
2 SNI 7534.1:2010 Kayu bundar daun lebar – Bagian 1 : Klasifikasi, persyaratan
dan penandaan
3 SNI 7534.2:2010 Kayu bundar daun lebar – Bagian 2: Cara uji
4 SNI 7535.1:2010 Kayu bundar jenis jati – Bagian 1 : Klasifikasi, pesyaratan dan
penandaan
5 SNI 7535.2:2010 Kayu bundar jenis jati – Bagian 2 : Cara uji
6 SNI 7536.1:2010 Kayu bundar daun jarum-Bagian 1 : Klasifikasi, persyaratan
dan penandaan
7 SNI 7536.2:2010 Kayu bundar daun jarum – Bagian 2 : Cara uji
8 SNI 7533.2:2011 Kayu bundar – Bagian 2: Pengukuran dan tabel isi
9 SNI 7533.3:2011 Kayu bundar – Bagian 3: Pemeriksaan
10 SNI 7535.3:2016 Kayu bundar jenis jati – Bagian 3: Pengukuran dan tabel isi
Sumber: http://standardisasi.menlhk.go.id/
B. Kayu Gergajian
No. Nomor SNI Judul SNI
1 SNI 01-2028-1990 Kayu eboni olahan
2 SNI 01-3527-1994 Mutu kayu bangunan
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 439
Teknologi dan Industri Kehutanan
karena terkait peraturan hak cipta dan Untuk dapat mengunduh dokumen SNI
publikasi di masing-masing Organisasi di laman tersebut diharuskan melakukan
Pengembangan Standar. Registrasi/login terlebih dahulu.
Registrasi dilakukan dengan mengisi
Untuk dapat menikmati layanan data sesuai dengan yang ada pada form
Akses SNI secara optimal diharuskan registrasi akun dengan benar.
melakukan registrasi/login terlebih
dahulu. Registrasi dilakukan dengan c. Layanan Dokumen Standar
mengisi data sesuaiDaftar SNI Komite
dengan yang Teknis
ada 79-01 Hasil Hutan Kayu
pada form registrasi akun dengan benar. BSN menyediakan layanan dokumen
A. Kayu Bundar standar berbasis e-commerce melalui
No.
b. Sistem NomorStandardisasi
Informasi SNI dan lamanJudulPestaSNIOnline (Pemesanan Standar
1 SNI 7533.1:2010
Penilaian Kesesuaian (SISPK) Kayu bundar – Bagian 1: Istilah dan definisi
Online) https://pesta.bsn.go.id dalam
2 SNI 7534.1:2010 Kayu bundar daun lebar – Bagian
rangka memudahkan1 : Klasifikasi,pengguna
persyaratan dalam
Setelah SNI ditetapkan, dokumen SNI
dan penandaan memesan dokumen SNI maupun Non-
dapat3 diunduh di laman SISPK Kayu
SNI 7534.2:2010 https://
bundar daun lebar – Bagian 2:asing/internasional).
SNI (standar Cara uji
sispk.bsn.go.id
4 (berlaku hingga satu
SNI 7535.1:2010 tahun
Kayu bundar jenis jati – Bagian 1 : Klasifikasi, pesyaratan dan
setelah SNI ditetapkan). Namun,penandaan
untuk Beberapa SNI Hasil Hutan berupa SNI
SNI 5hasilSNIadopsi
7535.2:2010
badan standar Kayu bundar jenis
asing jati – Bagian
Hasil Hutan2 :KayuCara uji(Kayu Bundar, Kayu
6 SNI 7536.1:2010 Kayu
tertentu tidak disediakan dokumennya di bundar daun jarum-Bagian
Gergajian, Panel 1 : Klasifikasi, persyaratan
Kayu, Produk Lainnya),
dan
laman tersebut karena terkait peraturan penandaan SNI Harmonisasi Terhadap Standar
hak 7ciptaSNI 7536.2:2010
dan Kayu bundar daun
publikasi di masing-masing jarum – Bagiandan
Internasional, 2 : Cara
SNIujiHasil Hutan Bukan
8 SNI 7533.2:2011 Kayu bundar – Bagian 2: Pengukuran dan tabel isi
Organisasi Pengembangan Standar. Kayu dapat dilihat pada Tabel 5.53 sampai
9 SNI 7533.3:2011 Kayu bundar – Bagian 3: Pemeriksaan
5.58.
10 SNI 7535.3:2016 Kayu bundar jenis jati – Bagian 3: Pengukuran dan tabel isi
Tabel 5.54. Daftar SNI Komite Teknis 79-01 Hasil Hutan Kayu (Kayu Gergajian)
B. Kayu Gergajian
No. Nomor SNI Judul SNI
1 SNI 01-2028-1990 Kayu eboni olahan
2 SNI 01-3527-1994 Mutu kayu bangunan
3 SNI 01-5008.6-1999 Kayu cendana
4 SNI 01.5010.3-2002 Pengemasan dan penandaan kayu gergajian
5 SNI 01-7255-2006 Kayu bentukan
6 SNI 7537.1:2010 Kayu gergajian – Bagian 1 : Istilah dan definisi
7 SNI 7537.2:2010 Kayu gergajian – Bagian 2: Pengukuran dimensi
8 SNI 7539.1:2010 Kayu gergajian jenis jati – Bagian 1 : Klasifikasi, persyaratan
dan penandaan
9 SNI 7539.2:2010 Kayu gergajian jenis jati – Bagian 2 : cara uji
10 SNI 7538.1:2010 Kayu gergajian daun lebar – Bagain 1 : Klasifikasi,
persyaratan dan penandaan
11 SNI 7538.2:2010 Kayu gergajian daun lebar – Bagian 2 : cara uji
12 SNI 7540.1:2010 Kayu gergajian daun jarum – Bagian 1 : Klasifikasi,
persyaratan dan penandaan
13 SNI 7540.1:2010 Kayu gergajian daun jarum – Bagian 2 : Cara Uji
14 SNI 7537.3:2011 Kayu gergajian – Bagian 3: Pemeriksaan
15 SNI 0197:2013 Bantalan kayu rel kereta api
16 SNI 0608:2017 Kayu untuk furnitur
17 SNI 7210:2017 Jenis kayu untuk pembuatan kapal
18 SNI 0674:2017 Kayu gergajian yang diawetkan dengan senyawa boron
Sumber: http://standardisasi.menlhk.go.id/
440 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
Tabel 5.55. Daftar SNI Komite Teknis 79-01 Hasil Hutan Kayu (Produk Lainnya)
D. Produk Lainnya
No. Nomor SNI Judul SNI
1 SNI 01-3592-1994 Mutu sirap
2 SNI 01-5010.6-2003 Pencegahan jamur biru pada kayu bundar dan kayu
gergajian
3 SNI 01-7205-2006 Uji bahan pengawet pada kayu dan produk kayu
4 SNI 7835.1-2012 Serpih kayu (wood chips) – Bagian 1: Istilah dan definisi
5 SNI 7835.2-2012 Serpih kayu (wood chips) – Bagian 2: Klasifikasi dan
persyaratan
6 SNI 7835.3-2012 Serpih kayu (wood chips) – Bagian 3: Cara uji
7 SNI 8021:2014 Pelet kayu
8DalamSNIrangka memberikan jaminan
7207:2014 mutu dan
Uji ketahanan keamanan
kayu terhadappangan komoditas
organisme perusakagar-agar
kayu kertas
9yangSNI
akan dipasarkan di dalamKayu
7945:2014 dan kelapa
luar negeri,
(Cocosmaka perlu
nucifera disusun suatu Standar Nasional
Linn.f.)
10Indonesia (SNI) sebagai upaya untuk
SNI 8351:2016 Nama meningkatkan jaminan mutu dan keamanan pangan.
kayu perdagangan
11 SNI 8350:2016 Nama produk hasil hutan kayu
Daftar SNI Komite Teknis 65-02 Hasil Hutan Bukan Kayu
12 SNI 8274:2016 Kayu serut empat sisi (Kayu S4S)
Hasil Hutan Bukan Kayu
Tabel 5.56. Daftar SNI Komite Teknis 65-02 Hasil Hutan Bukan Kayu
No. Nomor SNI Judul SNI
1 SNI 01-3391-2000 Gambir
2 SNI 7631:2011 Gaharu
3 SNI 7632:2011 Lak butiran
4 SNI 7633:2011 Minyak terpentin
5 SNI 7634:2011 Kopal
6 SNI 7635:2011 Kokon segar jenis Bombyx mori L.
7 SNI 7636:2011 Gondorukem
8 SNI 2900.1:2012 Damar mata kucing – Bagian 1: Klasifikasi dan
persyaratan mutu berdasarkan uji visual
9 SNI 2900.2:2013 Damar mata kucing – Bagian 2: Klasifikasi, persyaratan,
pengujian uji laboratorium
10 SNI 3545:2013 Madu
11 SNI 7898:2013 Kulit gemor
12 SNI 7899:2013 Pengelolaan madu sebagai bahan baku
13 SNI 7938:2013 Umbi porang
14 SNI 7939:2013 Serpih porang
15 SNI 7940:2013 Kemenyan
16 SNI 7941:2013 Kulit masohi
17 SNI 7942:2013 Getah jelutung
18 SNI 3954 : 2014 Minyak kayu putih
19 SNI 2903 : 2016 Lemak tengkawang sebagai bahan baku
20 SNI 7209 : 2016 Nama tumbuhan dan satwa liar yang diperdagangkan
21 SNI 7837 : 2016 Getah pinus
22 SNI 8349 : 2016 Nama hasil hutan bukan kayu
23 SNI 8285:2016 Minyak masohi
24 SNI 8365 : 2017 Nyamplung sebagai bahan baku biodesel
25 SNI 7208 : 2017 Jenis, sifat, kegunaan dan persebaran rotan
26 SNI 7254 : 2017 Rotan sebagai bahan baku
27 SNI 8366 : 2017 Rebung sebagai bahan baku pagan
Sumber: http://standardisasi.menlhk.go.id/ 145
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 441
Teknologi dan Industri Kehutanan
Tabel
C. Panel5.57.
KayuDaftar SNI Komite Teknis 79-01 Hasil Hutan Kayu (Panel Kayu)
No. Nomor SNI Judul SNI
1 SNI 01-2024-1991 Kayu lapis cetakan beton
2 SNI 01-2104-1991 Papan semen wol kayu
3 SNI 01-2025-1996 Kayu lapis indah dan papan blok indah
4 SNI 01-4240-1996 Kayu lapis alas peti kemas
5 SNI 01-4448-1998 Kayu lapis bermuka film
6 SNI 01-6020-1999 Mutu dan cara uji papan sambung dekoratif
7 SNI 01-5008.7-1999 Kayu lapis struktural
8 SNI 01-6240-2000 Venir lamina
9 SNI 01-6243.2 -2000 Papan sambung dan bilah sambung untuk meja
10 SNI 01-6243-2000 Papan sambung dan bilah sambung untuk kusen, daun
jendela dan daun pintu
11 SNI 01-5008.12-2002 Papan blok penggunaan umum
12 SNI 01-5008.13-2002 Papan lantai kayu rimba
13 SNI 01-7140-2005 Cara uji emisi formaldehida panel kayu metode desikator
gas
14 SNI 01-7142-2005 Cara uji kadar formaldehida panel kayu metode perforator
15 SNI 01-7141-2005 Cara uji emisi formaldehida panel kayu metode ruangan
16 SNI 01-4449-2006 Papan serat
17 SNI 01-2105-2006 Papan partikel
18 SNI 01-7201-2006 Kayu lapis dan papan blok bermuka kertas indah
19 SNI 01-7211-2006 Kayu lapis untuk kapal dan perahu
20 SNI 01-7205-2006 Uji emisi formaldehida panel kayu metoda analisis gas
21 SNI 7732.1:2011 Venir jenis jati – Bagian 1: Klasifikasi, persyaratan dan
penandaan
22 SNI 7731.1:2011 Kayu lapis indah jenis jati – Bagian 1: Klasifikasi, persyaratan
dan penandaan
23 SNI 7836.1:2012 Venir – Bagian 1: Klasifikasi, persyaratan dan penandaan
venir kupas
24 SNI 7096.1:2013 Bare core- Bagian 1: Istilah, definisi,klasifikasi,persyaratan,
pengemasan dan penandaan
25 SNI 7096.2:2013 Bare core- Bagian 2: Cara uji
26 SNI 7944-2014 Bambu lamina penggunaan umum
27 SNI 5008.2:2016 Kayu lapis penggunaan umum
28 SNI 8386:2017 Kayu lapis indah
Sumber: http://standardisasi.menlhk.go.id/
442 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
Tabel 5.58. Daftar SNI Komite Teknis 79-01 Hasil Hutan Kayu (SNI Harmonisasi terhadap
Standar Internasional)
E. SNI Harmonisasi terhadap Standar Internasional
No. Nomor SNI Judul SNI
1 SNI ISO 2426-1:2008 Kayu lapis – Klasifikasi berdasarkan penampilan permukaan
– Bagian 1: Umum
2 SNI ISO 2074:2008 Kayu lapis – Istilah dan definisi
3 SNI ISO 16979:2008 Panel kayu – Penentuan kadar air
4 SNI ISO 2426-2:2008 Kayu lapis – Klasifikasi berdasarkan penampilan permukaan
– Bagian 2: Kayu daun lebar
5 SNI ISO 2426-3:2008 Kayu lapis – Klasifikasi berdasarkan penampilan permukaan
– Bagian 3: Kayu daun jarum
6 SNI ISO 3133: 2010 Kayu-Penentuan kekuatan maksimum (Ultimate) pada
lentur statis
Wood – Determination of ultimate strength in static
bending (ISO 3133:1975, IDT)
7 SNI ISO 3132:2010 Kayu-uji keteguhan tekan tegak lurus serat
Wood – Testing in compression perpendicular to grain (ISO
3132:1975, IDT)
8 SNI ISO 8906:2011 Kayu gergajian – Metode uji – Penentuan ketahanan
terhadap tekanan tegak lurus
Sawn timber–Test methods Determination of resistance to
local transverse compression (ISO 8906 – 1988, IDT)
9 SNI ISO 7630:2011 Kayu lapis-Toleransi dimensi
Plywood – Tolerances on dimensions (ISO 1954:1999, MOD)
10 SNI ISO 3129:2011 Kayu-Metode pengambilan contoh dan persyaratan umum
untuk uji fisis dan mekanis
11 SNI ISO 8905:2012 Kayu gergajian – Cara uji – Penentuan keteguhan geser
ultimat sejajar serat
Sawn timber – Test methods – Determination of ultimate
strength in shearing parallel to grain (ISO 8905:1988, IDT)
12 SNI 7835.1-2012 Serpih kayu (wood chips) – Bagian 1: Istilah dan definisi
13 SNI ISO 16999:2012 Panel kayu – Pengambilan contoh dan contoh uji
Wood-based panels – Sampling and cutting of test
pieces (ISO 16999:2003, IDT)
14 SNI ISO 10033-2:2013 Venir lamina (LVL) – Mutu perekatan – Bagian 2:
Persyaratan
(ISO 10033-2:2011 Laminated venner lumber (LVL)-Bonding
quality – Part 2: Ruquirments, IDT)
15 SNI ISO 18776-2013 Venir lamina – Spesifikasi
16 SNI ISO 5328-2013 Paving blok kayu solid-Paving blok kayu daun jarum-
Persyaratan mutu
17 SNI ISO 8032:2014 Kayu lapis – Spesifikasi
Plywood – Spesification (12465:2007,MOD)
Sumber: http://standardisasi.menlhk.go.id/
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 443
Teknologi dan Industri Kehutanan
Bahan Bacaan
Alkaline paper making. (2012). Dipetik April 30, 2012, dari http://en.wikipedia.org/wiki/Acid-free_
paper.
Alrasjid, H. (1999). Pedoman pengelolaan hutan nipah (Nipa fruticans) secara lestari. Bogor: Pusat
Litbang Hutan dan Konservasi Alam.
American Pulp and Paper Association. (1985). The Dictionary of pulp and paper (3rd ed.). New York:
American Pulp and Paper Association.
Andikarya, O. & Nunuh, A. (2002). Pedoman teknis budidaya murbei: Samba Project. Bandung: A
CARE UNBAR Collaborative program of USAID funded Project for BDSs and MFLs Development
on Silk Industry in West Java.
Anggraeni, D. (2002). Proses pemasakan soda-etanol untuk kulit dadap (Skripsi). Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor.
Anggraeni, D., & Roliadi, H. (2011). Kemungkinan penerapan sistim tertutup pada pemutihan pulp
di Indonesia. Buletin Hasil Hutan, 17(2), 80–93.
Anton. (2013). Persuteraan Alam Provinsi Jawa Barat. Temu Usaha Persuteraan Alam Di Cianjur
Provinsi Jawa Barat. Balai Persuteraan Alam Sulawesi Selatan.
Aprianis, Y. (2010). Kemungkinan pemanfaatan kayu mahang sebagai bahan baku alternative untuk
pulp kertas. Buletin Hasil Hutan, 16(2), 141-149.
Arias, M. E., Arsenas, M., Rodriguez, J., & Soliveri, J. (2003). Kraft pulp biobleaching and mediated
oxidation of nonphenolic substrate by laccease from streptomyces cyaneeus CECT 3335.
Applied Environmental Microbiology, 69(4), 1953-1958.
Aristo, S. (2010). Modifikasi hot-blow conventional batch ke continuous batch digester. Dalam
Prosiding Seminar Teknologi Pulp dan Kertas (hal. 2-9). Bandung: Balai Besar Pulp dan Kertas.
Atmosoedarjo, H. S., Kartasubrata, J., Kaomini, M., SAleh, W., & Moerdoko, W. (2000). Sutera alam
Indonesia. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.
Auguste, M., Aazevedo, D., & Miller, J. D. (2000). Agglomeration and magnetic deinking for office
paper. TAPPI, 83(3), 66-72.
Australian Standard. (1997). Australian timber seasoning manual (Third ed.).
Baas, P., Blokhina, N., Fujii, T., Gasson, P., Grosser, D., Immo, H., Jugo, I., Clayton, I.-S., Jiang, X.,
Regis, M., Suzuki, M., Terrazas, T., Wheeler, E., & Wiedenhoeft, A. (2004). IAWA LIST OF
MICROSCOPIC FEATURES FOR SOFTWOOD IDENTIFICATION IAWA Committee. In IAWA
Journal (Vol. 25, Issue 1).
Bachli, Y. (2007). Tanaman Kesambi ( Manfaat dan Kegunaannya). Makasar: BPDAS Sungai
Jeneberang-Bilawalanae.
Badan Standardisasi Nasional. (1989). SNI 14-0492-1989: Cara Uji kadar lignin pulp dan kayu (
metode klason). Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Badan Standardisasi Nasional. (1989). SNI 14-1031-1989: Cara uji kadar abu, silika dan silikat dalam
kayu dan pulp kayu. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Badan Standardisasi Nasional. (1989). SNI 14-1032-1989: Cara uji kadar sari (ekstrak alkohol
benzena) dalam kayu dan pulp. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Badan Standardisasi Nasional. (1990). SNI 14-1305-1989: Cara uji kadar kelarutan kayu dalam air
dingin dan air panas. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Badan Standardisasi Nasional. (1990). SNI 14-1838-1989: Cara uji kadar kelarutan kayu dan pulp
dalam larutan natrium hidroksida satu persen. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Badan Standardisasi Nasional. (2002). SNI No 01-5009.11-2002: Mutu kokon segar. Jakarta: Badan
Standardisasi Nasional.
Badan Standardisasi Nasional. (2008). Kayu lapis-istilah dan definisi. SNI ISO 2074-2008. Jakarta:
Badan Standardisasi Nasional.
Badan Standardisasi Nasional. (2012). Papan gipsum RSNI-0. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Badan Standardisasi Nasional. (2013). SNI 7973-2013: Spesifikasi desain untuk konstruksi kayu.
Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Badan Standarisasi Nasional. (2006). SNI Biodisel (SNI -04-7182-2006). Jakarta: Badan Standarisasi
Nasional.
444 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
Balfas, J. (2000). Penyempurnaan sifat kayu dengan perlakuan modifikasi JRP-2. Dalam Prosiding
Lokakarya Penelitian Hasil Hutan (pp. 325-340). Bogor: Pusat Penelitian Hasil Hutan.
Balfas, J. (2007). Perlakuan resin pada kayu kelapa (Cocos nucifera). Jurnal Penelitian Hasil Hutan,
25(2), 108-118.
Baser, K. H., & Buchbawer, G. (2010). Hand book of essential oil: Science technology and application.
Boca Raton: Taylor and Francis Group.
Basri, E. (2011). Kualitas kayu waru gunung (Hibiscus macrophyllus Roxb) pada kelompok umur dan
sifat densifikasinya untuk bahan mebel (Tesis). Universitas Gadjah Mada.
Basri, E. (2013). Pengering kayu sahabat UKM. Majalah Tropis, 7.
Basri, E., & Rahmat. (2001). Pembuatan kilang pengeringan kayu kombinasi energi surya dan tungku
(Petunjuk Teknis). Bogor: Puslitbang Teknologi Hasil Hutan.
Basri, E., Nadjib, N., & Saefudin. (2013). Effects of heat-pressure treatment on some properties of
young teak wood. Paper presented at 2nd International Conference of Indonesia Forestry
Researchers (2nd) INAFOR 2013). Jakarta: Forest Research Development Agency.
Beaver, R. A. (1976). Bark and ambrosia beetles in tropical forests. Biotrop Symposium on Forest
Pest and Diseases In Southeast Asia. Bogor.
Bharata Karya Aksara. (1982). Mematri, merekat, menyusun dan mengempa. Jakarta: Bharata Karya
Aksara.
Bjorklund, M., Gerngard, V., & Basta, J. (2004). Formation of AOX and OCl in ECF bleaching of birch
pulp. TAPPI, 3(8).
Bodig, J., & Jayne, B. A. (1982). Mechanics of wood and wood composites. New York: Van Nostrand
Reinhold.
Booker, J. E., & Sell, J. (1998). The Nano structure of the cell wall in a living tree. Hotzals Roh-und
Werkstoff, 56, 1-8.
Bowen, I. J., & Hsu, J. G. (2003). Overview of emerging technologies in pulping and bleaching. TAPPI,
2(9), 205-217.
Bowyer, J. L., Shmulsky, R., & Haygreen, J. G. (2003). Forest products and wood science: an
Intoduction. USA: IOWA State Univ. Press.
Brown, N. C. (1958). Logging. New York : John Wiley & Sons Inc.
Browne, F. G. (1976). The Biology of Malayan scolytidae and platydae. Malayan Forest Record(22).
Browning, B. L. (1979). Methods of wood chemistry. New York, London, Sydney: Interscience
Publishers.
Budianto, A. D. (2000). Seri Perkayuan Pendidikan Industri Kayu Atas (PIKA): Sistem pengeringan
kayu. Semarang: Kanisius.
Cagne, C., Barbe, M. C., & Daneault, C. (2002). Comparison of bleaching processes mechanical and
chemi-mechanical pulps. TAPPI , 1(11), 89-98.
Canacki, M., & Gerpen, J. (1999). Biodiesel production via acid catalysis. Transactions of the ASAE,
42(5), 1203-1210.
Casey, J. P. (1980). Pulp and paper chemistry and technology (Third ed., Vol. 1). New York - Brisbane
- Tokyo - London: A Wiley Interscience Publication.
Cellulose. (2012). Dipetik Mei 4, 2012, dari http://en.wikipedia.org/wiki/ Cellulose.
Chudnoff, M. (2007). Tropical timbers of the world. Dalam Agriculture handbook 607. Madison:
Department of Agriculture, Forest Service.
Corson, S. R. (2003). Wood Characteristics Influence Pine TMP Quality. TAPPI, 2(11), 135-146.
Cragg, S.M., Pitman, A.J. & Henderson, S.M. 1999. Developments in the understanding of the biology
of the marine wood boring crustaceans and in methods of controlling them. International
Biodeterioration & Biodegradation, 43, (197–205).
Crawford, M. E. (2002). Fiber optic cable. TAPPI, 1(11), 111-118.
Daniel, M. (2006). Medicinal plants: cemistry and properties (1st p.). USA: CRC Press.
Danu. (2001). Kesambi (Schleichera oleosa). Teoksessa Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia (Osa/
vuosik. II). Bogor: Balai Teknologi Perbenihan.
Darmawan, S. (2009). Kualitas papan isolasi dari campuran kayu mangium (Acacia mangium Willd).
Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 27(4), 291-302.
D’Cruz, A., MG, K., & LC, M. (2007). Syntesis of biodiesel from anola oil using heterogenous ase
catalyst. Journal of Oil & Fat Industries, 84(10), 937-943.
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 445
Teknologi dan Industri Kehutanan
Departemen Kehutanan. (2007). Peraturan Menteri Kehutanan No. : P.35 / Menhut-II/2007 Tentang
Hasil Hutan Bukan Kayu. Jakarta: Departemen Kehutanan.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan. (1999). Panduan Kehutanan Indonesia. Jakarta:
Departemen Kehutanan dan Perkebunan.
Departemen Perindustrian. (2006). Master plan pengembangan sutera. Jakarta: Departemen
Perindustrian.
Departemen Perindustrian. (n.d). Pengembangan industri kecil dan menengah furniture melalui
pendekatan klaster. Departemen Perindustrian.
Dewan Nasional Standardisasi Indonesia. (1991). SNI-03-2105-1996: Mutu papan partikel. Jakarta:
Dewan Nasional Standardisasi Indonesia.
Dewan Standar Nasional. (1996). SNI 03-2105-1996: Mutu papan partikel. Jakarta: Dewan Standar
Nasional.
Dewi, LM., Andianto, Damayanti, R., dan Krisdianto. (2017). Penyelamatan Sejarah Hutan Tropis
Purba Melalui Konservasi Fosil Kayu. Policy Brief Vol. 11 No. 07 Tahun 2017. http://simlit.
puspijak.org/files/other/PB_2017_Vol_11_No_7_Penyelamatan_Sejarah_Listya.pdf
Direktorat Bina Usaha Perhutanan Rakyat. (2003). Petunjuk teknis usaha pengembangan tanaman
aren. Jakarta: Direktorat Bina Usaha Perhutanan Rakyat, Dirjen RLPS.
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. (1989). Vademekum bahan obat alam. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Dissolving pulp. (2011). Dipetik Juni 22, 2012, dari http://en.wikipedia. org/wiki/.
Djarwanto, Damayanti, R., Balfas, J., Basri, E., Jasni, Sulastiningsih, I.M., Andianto, Martono, D., Pari,
G., Sopandi, A., Mardiansyah, Krisdianto. (2017). Pengelompokan Jenis Kayu Perdagangan
Indonesia. Forda Press. http://www.pustekolah.org/index.php/detail_download/258/
pengelompokan-jenis-kayu-perdagangan-indonesia
Djarwanto, Ratih Damayanti, Jamal Balfas, Efrida Basri, Jasni, I.M. Sulastiningsih, Andianto, D. Martono,
Gustan Pari, Adang Sopandi, Mardiansyah, Krisdianto. (2018). Merevisi Pengelompokan
Jenis Kayu Perdagangan Indonesia sebagai Dasar Pengenaan Iuran Kehutanan (Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 163/Kpts-II/2003). Policy Brief Volume 12 No. 05 Tahun 2018.
http://puspijak.org/upload_files/PB_2018_Vol_12_No_05_Merevisi_Pengelompokkan_
Djarwanto_(3)_25mei_revised.pdf
Dransfield, J., & Manokaran, N. (1996). Sumberdaya nabati Asia Tenggara 6: Rotan. Yogyakarta:
Gajah Mada Univ. Press - PROSEA Indonesia.
Dulsalam dan Sianturi. (1986). Biaya konstruksi dan volume kayu pada jalan rel kayu dan besi. Jurnal
Penelitian Hasil Hutan 2(4),19-23.
Dulsalam, Sukadaryati, & Yuniawati. (2018). Produktivitas, efisiensi dan biaya penebangan silvikultur
intensif pada satu perusahaan di Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 36(1),
1–12.
Dulsalam. (1996). Penyaradan kayu dengan gajah. Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan & Sosial Ekonomi Kehutanan. Tidak Diterbitkan.
Endom, W. & Soenarno. (2018). Uji coba rekayasa alat ukur diameter pohon: Studi kasus di hutan
alam. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 36 (2), 101-112
Endom, W. (2009). Pengeluaran kayu sistem kabel layang gaya gravitasi dengan kereta pengangkut
kayu pada daerah bertopografi sulit di Sukabumi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 27(1), 167-
180.
Environmental Regulation of Pulp and Paper Mills. (2012). Dipetik Mei 10, 2013, dari http://
environmentalcomplianceinsider.com/test/ta/ environmental-regulation-of-pulp paper-
mills.
Fatriasari, W., Anita, S. H., Falah, F., & Nugroho, T. (2010). Biopulping bambu betung menggunakan
kultur jamur pelapuk putih. Berita Selulosa, 45(2), 44-56.
Fengel, D., & Wegener, G. (1995). Kayu: Kimia, ultrastruktur, reaksi-reaksi (1 ed.). (H. Sastroamidjoyo,
Penerj.) Yogyakarta: Gadjah Mada University.
Findlay, W. (1985). Preservation of timber in the tropics. Dordreht: Martinus Nijhoff/Dr.W Junk
Publisher.
Freedman, B., Pryd, E. H., & Mouts, T. L. (1984). Variables affecting the yields of fatty esters from
transesferified vegetable oil. Journal of America Oil Chemists Society, 61(10), 1638-2643.
446 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
Fundamentals of de-Inking technology of recycled paper. (2009). Dipetik Mei 5, 2012, dari http://
papermart.in/2009/01/20/fundamentals-of-de-inking-technology-of-recycled paper.
FWPRDC Project. (2003). Australian hardwood drying best practice manual: Part 1 & 2 FWPRDC
Project no. PN01.1307. .
Gerpen, J. V. & Knothe, G. (2005). Basic of transesterification reaction. Dalam G. Knothe, J. V.
Gerpen, & J. Krahl (eds), The Biodiesel hand book (pp. 34-49). Illinois: AOCS press.
Gess, J. M., & Lund, R. C. (2002). The Strong bond weak bond theory. TAPPI, 1(1), 111-114.
Giri, M., Simonses, J., & Rochefof, W. F. (2000). Dispersion of pulp slurries using carboxymethyl
methylcellulose. TAPPI, 83(10), 56-59.
Gong, M., & Lamason, C. (2007). Improvement of surface properties of low density wood in
mechanical modification with heat treatment: Project No. UNB 57. Canada: University of
New Brunswick.
Goodman, R. N., Kiraly, Z., & Zaitlin, M. (1967). The Biochemistry and physiology of infectious plant
disease. New York: D. Van Nostrand and Co.
Grades (Types) of Waste paper. (2005). Dipetik April 4, 2011, dari www.paperunweb.com.
Gratzl, J., Prasad, D. Y., & Chivukula, S. (2004). Extending delignification with aq and polysulfide.
TAPPI, 3(9), 151-160.
Hadikusumo, S. A. (1988). Properties and potensial uses of unexploited rattan in Indonesia: Final
Report Rattan Indonesian Project. 1984 1988. IRDC.
Hadipermata, M., Dudiyanto, A., Wiraatmaja, S., & Sugiarto, A. (2004). Efek pemutihan pulp
kraft rdh dengan proses pemutihan ecf pasca panen untuk pengembangan industri
berbasis pertanian. Prosiding Seminar Teknologi Inovatif. Bogor: Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pasca Panen Pertanian.
Hadisoesilo, S., & Kuntadi. (2007). Kearifan tradisional dalam budidaya lebah hutan (Apis dorsata).
Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
Hambali, E., Mujdalipah, S., Tambunan, A., Pattiwiri, & Hendroko, R. (2007). Teknologi bioenergi.
Jakarta: Agro Media.
Hamzah, Z. (1953). Penghasilan vascrete di pontianak dan pengharapannya di hari kemudian. Rimba
Indonesia.
Harian Kompas. (2003, April 28). Dari limbah keluarlah enzim. Harian Kompas, p.10.
Hatanaka, S., & Takahashi, Y. (2001). Sizing with saponified alkenyl succinic acid. TAPPI, 84(2), 177-
182.
Haygreen, J. G., & Bowyer, J. L. (1999). Forest products and wood science. ames, USA: Iowa State
University.
Herawati, T. (2005). Kondisi pengelolaan lak di indonesia dan peluang pengembangannya di Nusa
Tenggara Timur. Info Hutan, 2 (3), 231-237.
Hiemenz, P. C. (1996). Polymer chemistry: the basic concepts. New York: Marcel Dekker, Inc.
Hill, C. (2006). Wood modification: chemical, thermal, and other processes. England: John Wiley &
Sons.
Hoadley, R. B. (2000). Understanding wood. a craftsman’s guide to wood technology. USA: The
Taunton Press.
Hun, G. M., & Garrat, A. G. (1986). Pengawetan kayu. (M. Yusuf, & S. M, Penerj.) Jakarta: Academica
Pressindo.
Hunt, G.M., & Garrat, G.A. 1967. Pengawetan kayu. ( M. Jusuf , Penerj.) Jakarta: Akademi
Pressindo.
Ibach, R. E. (2010). Specialty treatments. Dalam Wood handbook chapter 19. Madison, Wisconsin:
Forest Products Laboratory USDA.
Idris, M.M. & Soenarno (2015). Unjuk kerja teknik penyaradan kayu dengan metode tree length
logging pada hutan alam lahan kering. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 33 (2), 153-166.
Jankunaite, D. (2010). Pulp and paper industry: Case study. Dipetik April 25, 2013, dari https://www.
google.com/#q=wastewater+from+ pulp+and+paper+industry.
Japan Internastional Standards. (2003). Japanese agricultural standard for particleboards: JIS A.
5908.2003. Tokyo: Japan Internastional Standards.
Japanese Agricultural Standard . (1996). Japanese agricultural standard for structural glued
laminated timber. Japan Plywood Inspection Corporation.
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 447
Teknologi dan Industri Kehutanan
Japanese Agricultural Standard. (2003). Japanese agricultural standard for glued laminated timber.
Japanese Agricultural Standard.
Jasni, & Martono, D. (1999). Pengawetan rotan asalan. Petunjuk Teknis. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan.
Jasni, & Roliadi, H. (2010). Daya tahan 25 jenis rotan terhadap rayap tanah. Jurnal Penelitian Hasil
Hutan, 28(1), 55-65.
Jasni, & Roliadi, H. (2011). Daya tahan 16 jenis rotan terhadap bubuk rotan (Dinoderus minutus
Fabr.). Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 29(2), 115-127.
Jasni, & Supriana, N. (1999). The resistance of eight rattan species against the powder post beetle
(Dinoderus minutus Farb). Dalam Proceeding of the 4th International Conference on the
Development of Wood Science, Wood Technology and Forestry. England: FPRC.
Jasni. (1996). Struktur anatomi batang dan kandungan kimia rotan serta pencegahan serangan
bubuk dinoderua minutus Fabr pada beberapa jenis rotan (Thesis). Universitas Indonesia
Jasni. (2013). Pengenalan cacat rotan. Diktat. Diklat Pengawas Tenaga Teknis Pengolahan Hutan
Produksi Lestari Pengujian Kelompok Batang (WASAGANIS-PHPL-JIPOKTANG) Wilayah III
Riau. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan
Hasil Hutan.
Jasni. (2013). Pengukuran, sortimen dan pemprosesan rotan. Diktat pada Diklat Pengawas Tenaga
Teknis Pengolahan Hutan Produksi Lestari Pengujian Kelompok Batang (WASAGANIS-
PHPL-JIPOKTANG) Wilayah III Riau. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan
Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan.
Joelianningsih, Tambunan, A., Abdullah, K., Nabetani, H., & Yasuyuki, S. (2006). Perkembangan
proses pembuatan biodiesel sebagai bahan bakar nabati. Jurnal Keteknikan Pertanian, 20(3),
205-216.
Joshi, H., Moeser, B. R., Toler, J., & Walker, T. (2010). Preparation and fuel properties of mixture of
soybean oil methyl and ethyl esters. Journal Biomass and Bioenergy, 34, 14-20.
Junianto, S. E. (2011). Penggunaan recycle fiber sebagai sarana penghematan sumber daya alam.
Makalah pada Seminar Teknologi Pulp dan Kertas Mewujudkan Industri Hijau pada Produksi
Pulp dan Kertas Indonesia. Bandung: Balai Besar Pulp dan Kertas.
Kadir, K. (1973). Kadar air kayu kering udara di Bogor (Laporan No. 12). Bogor: LPHH.
Kadir, K. (1978). Kadar air yang dianjurkan dalam kayu untuk pemakaian dalam ruangan di beberapa
kota di Jawa (Laporan No. 106). Bogor: Lembaga Penelitian Hasil Hutan..
Kaomini, & Andadari, L. (2009). Teknologi peningkatan produktivitas dan kualitas produk ulat sutera:
Sintesis hasil penelitian. Bogor: Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi. .
Kaomini, M. (2002). Pedoman teknis pemeliharaan ulat sutera. Samba Project. Bandung.
Karnasudirja, S. (1989). Kekuatan kayu lamina yang dibuat dari tiga jenis kayu. Jurnal Penelitian Hasil
Hutan, 6(5), 281-287.
Kartasujana, I., & Martawijaya, M. (1979). Kayu perdagangan indonesia: sifat dan kegunaannya
(Penerbitan Ulang Gabungan Pengumuman No. 3 Tahun 1973 dan No. 56 Tahun 1975)
Kasmudjo. (2011). Hasil hutan non kayu, suatu pengantar: klasifikasi, potensi, pemungutan,
pengolahan, kualitas dan kegunaan. Cakrawala Media.
Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan (2018). Algromek, alat deteksi pohon gerowong
mekanis. Bogor: Puslitbang Hasil Hutan. Pp. 1-6.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2013). Pemanenan Hasil Hutan. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan
Ketjana, Y. P., Setiawan, Y., & Khadafi, M. (2010). Pemanfaatan cotton linters untuk produk membran
selulosa asetat. Dalam Prosiding Seminar Teknologi Pulp dan Kertas (hal. 80-91). Bandung:
Balai Besar Pulp dan Kertas.
Kinast, J. A. (2003). Production of biodiesel from multiple feedstock and properties of biodiesel/
diesel blends: Final Report. Colorado: National Renewable Energy Laboratory.
Klassen, A. (2006a). Operational considerations for Reduced Impact Logging. Bogor: International
Tropical Timber Organization (ITTO).
Klassen, A. (2006b). Pertimbangan dalam merencanakan pembalakan berdampak rendah. Jakarta:
Tropical Forest Foundation.
Kliwon, S., & Iskandar, M. I. (2008). Teknologi kayu lapis dan produk sekundernya. Jakarta: Badan
448 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Teknologi dan Industri Kehutanan
Three things you need to know about nanotechnology in papermaking. (2011). Dipetik April 23,
2012, dari http://www.risiinfo.com /technologyarchives/papermaking/Three-things-you-
need-to know-about-nanotechnology-in-papermaking.html.
Triyono. (2003). Strategi dan rencana pengembangan usaha persuteraan alam. Temu Usaha
Persuteraan Alam. Bandung: Direktorat Bina Usaha Perhutanan Rakyat, Dinas Kehutanan
Jawa Barat, Balai Pengelolaan Das Cimanuk-Citanduy, Universitas Bandung Raya, Samba
Project dan Parasilk.
Tsoumi, G. (1993). Science and technology of wood: structure, properties, and utilization. New York:
Van Nostrand Reinhold.
Turner, R.D. 1971. Identification of marine woodboring molluscs. Dalam Jones EBG, Eltringham SK
(eds), Marine borers, fungi and fouling organisms of wood, Paris: Organisation for Economic
Cooperation and Development.
United Tractor. (2020). Manajemen alat-alat berat. Departemen Aplication Engineering. Dipetik
Setember 25, 2020 dari https://web.ipb.ac.id/erizal/alatberat/konstruksi/buku%20MAB.pdf.
Unwin, J. (2003). Progress in Reducing Water Use And Wastewater Loads in the US Paper Industry.
TAPPI, 2(8), 127-134.
Van Stenis, C. G.;Den Hoed, D.;Bloembegen, S.;& Eyma, P. J. (1981). Flora untuk sekolah di Indonesia.
Jakarta: Paranya Parmita.
Vicente, G., Martinez, M., & Aracil, J. (2004). Integrated Biodiesel Production: a comparison of
different homogenous catalysts system. Bioresource Technology, 92, 297-305.
Wahyudi, I. (2013). Hubungan struktur anatomi kayu dengan sistem kayu, kegunaan dan
pengolahannya. Dalam Kumpulan Makalah Diskusi Litbang Anatomi Kayu Indonesia..
Wallis, A. F., & Waerne, R. H. (2003). Does borate inhibit cellulose merceration during cold alkali
extraction of wood pulps? TAPPI, 2(6), 226-229.
Ward E. (2011). Chain saws- safety, operation, tree felling techniques. Kansas: Kansas Forest Service,
Kansas State University.
Wheeler, E. A., Baas, P., & Gasson, P. E. (1989). IAWA list of microscopic features for hardwood
identification.
Widagdo. 1993. Pengaruh bahan pengawet kreosot terhadap sifat fisis dan mekanis jenis kayu
melalui uji serangan marine borers. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 34(1), 59-65.
Wiener, G., & Liese, W. (1990). Rattan - stem anatomy and taxonomic implications. AWA Buletin,
11(1), 61-70.
Wilkinson, J. G. (1979). Industrial timber preservation. London: Associated Business Press.
Winston, M. L. (1988). The biology of the honey bee. Cambridge, Massachusetts, London, England:
Harvard University Press.
Wise, L. E. (1944). Wood chemistry. New York: Reinhold Publisher Corporation.
Yatagai, M., Unrinin, J. G., & Sugiura, G. (1986). By-product of wood carbonization. Mokuzai
Gakkaishi, 32(6), 467-471.
Yildiz, U. C., Yildiz, S., & Geser, E. D. (2005). Mechanical properties and decay resistance of
woodpolymer composites prepared from fast growing species in Turkey. Bioresource Tech.,
96, 1003-1011.
Yuniawati , S. Suhartana & Rahmat. (2014). Peningkatan produktivitas muat bongkar dan
pengangkutan kayu Acacia mangium melalui teknik yang ramah lingkungan. Dalam Suwinarti,
W., I.W. Kusuma, Erwin & Ismail (Eds). Prosiding Seminar Nasional MAPEKI 16: Pemanfaatan
Sumberdaya terbarukan untuk Kesejahteraan Manusia dan Kelestarian Lingkungan 6
Nopember 2013 di Balikpapan (pp. 407-414). Bogor: Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia.
Yuniawati, Dulsalam, Idris MM, Suhartana S & Sukadaryati. (2015). Alat bantu truk angkutan kayu
untuk mengurangi selip roda pada jalan hutan tanpa perkerasan. Jurnal Penelitian Hasil
Hutan, 33(4), 387-395.
BAB VI
KESATUAN
PENGELOLAAN HUTAN
Reklamasi hutan dilakukan pada lahan Tahun 1967) telah mengubah dasar hukum
dan vegetasi hutan pada kawasan yang pembentukan Kesatuan Pengusahaan
telah mengalami perubahan permukaan Hutan Produksi di atas menjadi Kesatuan
tanah dan perubahan penutupan tanah. Pengelolaan Hutan (KPH) yang tidak hanya
Reklamasi hutan dilaksanakan dan mencakup pembentukan KPH di kawasan
menjadi tanggung jawab pemegang izin hutan produksi, tetapi meliputi seluruh
penggunaan kawasan hutan. Dalam hal kawasan dan fungsi hutan. Pemanfaatan
pemegang izin penggunaan kawasan hutan hutan pada wilayah KPHP bertujuan untuk
telah melaksanakan reklamasi hutan, maka memperoleh hasil dan jasa hutan secara
kepala KPHL dan KPHP bertanggung jawab optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan
atas pengamanan dan perlindungan atas masyarakat, dimana terkait hal ini diatur
reklamasi hutan yang bersangkutan. dalam Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.6/Menhut-II/2010 tentang Norma,
Perlindungan hutan di wilayah KPHL dan Standar, Prosedur dan Kriteria pengelolaan
KPHP bertujuan untuk menjaga hutan, hasil hutan pada kesatuan pengelolaan hutan
hutan, kawasan hutan dan lingkungannya lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan
agar fungsi lindung, fungsi konservasi dan Hutan produksi (KPHP).
fungsi produksi tercapai secara optimal
dan lestari. Perlindungan hutan mengikuti
prinsip-prinsip: mencegah dan membatasi
kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil D. Luas Optimal KPH
hutan, yang disebabkan oleh perbuatan Hernowo dan Ekawati (2014) menjelaskan
manusia, ternak, kebakaran, bencana alam, bahwa Luas KPH optimal secara tepat
hama dan penyakit; dan mempertahankan (berapa ha) sulit ditetapkan, sehingga
dan menjaga hak-hak Negara masyarakat, dalam menentukan luas/batas wilayah
perorangan atas hutan, kawasan hutan, KPH digunakan kriteria-kriteria yang
hasil hutan, investasi serta perangkat yang dapat memberikan jaminan efisiensi
berhubungan dengan pengelolaan hutan. dan efektifitas organisasi KPH yang akan
Perlindungan hutan di wilayah KPHL dan dibentuk, antara lain :
KPHP diselenggarakan oleh KPHL dan KPHP 1. Tujuan pengelolaan
dan pihak ketiga apabila wilayahnya telah 2. Kondisi daerah aliran sungai. Dasar
dibebani izin/hak pemanfaatan kepada penentuan luas wilayah KPH seyogyanya
pihak ketiga. berdasar kepada bentang alam ekosistem
DAS namun karena kawasan hutan bukan
merupakan kertas putih DAS yang bisa
C. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi didesain dengan mudah maka modifikasi
(KPHP) perlu dilakukan dengan memperhatikan
Kesatuan pengelolaan hutan produksi kondisi lapangan( existing condition).
selanjutnya disebut KPHP adalah KPH yang 3. Batas administrasi pemerintahan
luas wilayahnya seluruh atau sebagian 4. Hamparan yang secara geografis
besar terdiri dari kawasan hutan produksi. merupakan satu kesatuan
Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi, 5. Aksesibilitas
yang sekaligus berfungsi sebagai Kesatuan 6. Rentang kendali
Perencanaan Pengusahaan Hutan Produksi Berdasarkan hasil penelitian Suhendang
diatur dengan diterbitkannya Surat (1990) dalam Samsuri (2004) luas kawasan
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor hutan yang dikelola oleh suatu kesatuan
200/Kpts/1991. Pembaharuan Undang- pengelolaan hutan sebagai suatu kesatuan
Undang Pokok Kehutanan (UU Nomor 5 pengurusan kehutanan ditentukan oleh
456 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Kesatuan Pengelolaan Hutan
Bahan Bacaan
Ekawati, S., Ramawati., Salaka, F.S., Kurniasari, D.R., Budiningsih, K. (2019). Instrumen untuk
Mengukur Kinerja KPH. Bogor: PT Penerbit IPB Press.
Hernowo, B,; Ekawati, S., (2014). Operasionalisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) : Langkah
Awal Menuju Kemandirian. Bogor: PT Kanisius.
Kartodihardjo, H. (2007). KPH dalam Politik Pembaharuan Kebijakan. Dipetik Juli 12, 2009 dari
http://repository.ipb.ac.id.
Kementerian Dalam Negeri. (2010). Permendagri Nomor 61 tahun 2010 tentang Pedoman
Organisasi dan Tata Kerja KPHL dan KPHP di Daerah. Jakarta: Kementerian Dalam Negeri
Kementerian Kehutanan. (2009). Permenhut Nomor P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan
wilayah KPH. Jakarta: Kementerian Kehutanan
Kementerian Kehutanan. (2010). Permenhut Nomor P.6/Menhut-II/2010 tentang Norma, Standar,
Prosedur dan Kriteria (NSPK) Pengelolaan Hutan pada KPHL dan KPHP. Jakarta: Kementerian
Kehutanan
Kementerian Kehutanan. (2011). Permenhut Nomor P.41/Menhut-II/2011 tentang Standar
Fasilitasi Sarana dan Prasarana KPHL Model dan KPHP Model. Jakarta: Kementerian
Kehutanan.
Kementerian Kehutanan. (2011). PPermenhut Nomor P.54/Menhut-II/2011 tentang Perubahan
atas Permenhut Nomor. P. 41/Menlhk-II/2011 tentang Standar Fasilitasi Sarana dan
Prasarana KPHL Model dan KPHP Model Standar Fasilitasi Sarana dan Prasarana KPHL
Model dan KPHP Model. Jakarta: Kementerian Kehutanan.
Kementerian Kehutanan. (2011). Permenhut Nomor P.42/Menlhk-II/2011 tentang Standar
Kompetensi Bidang Teknis Kehutanan pada KPHL dan KPHP. Jakarta: Kementerian
Kehutanan
Kementerian Kehutanan. (2013). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.46/Menlhk-II/2013
tentang Tata Cara Pengesahan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang KPHL dan
KPHP. Jakarta: Kementerian Kehutanan.
Kementerian Kehutanan. (2013). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.47/Menlhk-II/2013
tentang Pedoman, Kriteria dan Standar Pemanfaatan Hutan di Wilayah Tertentu pada KPHL
dan KPHP. Jakarta: Kementerian Kehutanan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2016). PermenLHK Nomor P.74/Menlhk/Setjen/
Kum.1/2016 tahun tentang Pedoman Nomenklatur Perangkat Daerah Provinsi dan
Kabupaten/kota yang Melaksanakan Urusan Pemerintahan Bidang Lingkungan Hidup dan
Urusan Pemerintahan Bidang Kehutanan. Jakarta: KLHK.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2016). PermenLHK Nomor P.81/ Menlhk/Setjen/
Kum.1 tahun 2016 tentang Kerjasama Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan
untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Jakarta: KLHK
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2017). PermenLHK Nomor P.17/Menlhk/Setjen/
Kum.1/2/2017 tentang perubahan atas Permen LHK No P.12/Menlhk-II/2015 tentang
Pembangunan HTI. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2017). PermenLHK Nomor P.49/ Menlhk/Setjen/
Kum.1/2017 tentang Kerjasama Pemanfaatan Hutan pada KPH. Jakarta: KLHK.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2018). PermenLHK No P.98 Menlhk/Setjen/
Kum.1/2018 tentang Tata Cara Penyusunan, Penilaian, dan Pengesahan Rencana
Pengelolaan Hutan KPHL dan KPHP. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Raharja, S. (2010). Siklus hidup organisasi: Suatu analisis perkembangan organisasi. Administrasi
Bisnis, 6 (1), 94–100.
Samsuri. (2004). Perencanaan pembentukan kesatuan pengusahaan hutan produksi menggunakan
sistem informasi geografis. Diktat Program Ilmu Kehutanan. Fakultas Pertanian.
Universitas Sumatera Utara.
Agroforestri Kayu Bawang
(Azadirachta excelsa (Jack)) M. Jacobs
di Palembang Sumatra Selatan
Efendi Agus Waluyo
BAB VII
PERHUTANAN SOSIAL
Peserta Sosialisasi Perhutanan Sosial
di Desa Veteran Jaya Kec.Ogan Komering Ulu
Sri Lestari
Gambar 7.1.
Skema Perhutanan Sosial
Salah satu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35 Tahun 2012 yang menegaskan hak-hak konstitusional
masyarakat hukum adat atas hutan. Dalam putusan tersebut menyebutkan bahwa hutan adat berdasarkan
statusnya tetap dibagi ke dalam dua status yaitu hutan negara dan hutan hak
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 465
Perhutanan Sosial
Dalam perhutanan sosial tersebut terdapat Peta PIAPS disusun berdasarkan data dan
tiga prinsip utama yaitu hak (right), mata informasi dari Ditjen Planologi dan Tata
pencaharian (livelihood), dan konservasi Lingkungan, Ditjen KSDAE, CSOs terkait,
(Maryudi et al., 2012 dalam Ekawati 2019). antara lain AMAN, BRWA, JKPP, KPSHK,
Ketiga prinsip tersebut harus menjadi HUMA, Epistema Institute, dan Kemitraan
perhatian untuk memastikan implementasi Partnership. PIAPS dapat diakses melalui
perhutanan sosial dapat meningkatkan situs resmi KLHK, sehingga PIAPS dapat
kesejahteraan masyarakat dan sekaligus menjadi dasar dalam pemberian izin
dapat tetap menjaga kelestarian hutan. perhutanan sosial. Penetapan PIAPS
dilakukan oleh Menteri LHK dan direvisi
Di samping itu, Program Perhutanan setiap 6 bulan sekali oleh Direktur Jenderal
Sosial juga diharapkan dapat memberikan yang membidangi Planologi Kehutanan dan
kontribusi terhadap penyelesaian Tata Lingkungan atas nama Menteri LHK.
persoalan bangsa dalam aspek keadilan,
mengurangi kesenjangan antara desa Persyaratan umum pengajuan perhutanan
dan kota, menyelesaikan konflik tenurial, sosial adalah: (1) mempunyai kelompok
meningkatkan ketahanan pangan dan iklim, masyarakat dan daftar anggota, koperasi,
serta mewujudkan pengelolaan hutan yang dana usaha milik desa, lembaga desa,
berkelanjutan (Supriyanto, 2019 dalam lembaga adat, (2) gambaran umum wilayah
Ekawati, 2019). berupa keadaan fisik, sosial ekonomi dan
potensi kawasan serta (3) peta usulan lokasi
Pelaksanaan kegiatan perhutanan sosial minimal skala 1:50.000 berupa dokumen
berpatokan pada Peta Indikatif Areal tertulis dan salinan elektronik dalam bentuk
Perhutanan Sosial (PIAPS) yang merupakan shape file.
lampiran Surat Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Persyaratan khusus akan dibahas per
Nomor 4865 tahun 2017. PIAPS dibuat masing-masing skema. Informasi umum
dengan prioritas untuk penyelesaian mengenai kategori perhutanan sosial dan
konflik, kegiatan restorasi gambut, dan/ statusnya dapat dilihat pada Tabel 7.1.
atau restorasi ekosistem dengan skala Sementara capaian kinerja perhutanan
1:250.000 yang terdiri atas 291 sheet yang sosial terkini dapat diakses melalui laman
dapat diunduh pada halaman resmi Web- https://www.menlhk.go.id/site/download
GIS Kementerian Lingkungan Hidup dan pada publikasi Laporan Kinerja KLHK atau di
Kehutanan (Web-GIS KLHK). laman Perhutanan Sosial pada http://pkps.
menlhk.go.id/.
Sumber: Ditjen PSKL-KLHK, Kantor Staf Presiden dan The Asia Foundation, 2017
466 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perhutanan Sosial
hak pengelolaan pada kawasan hutan areal kerja (PAK) HD. Proses pengajuan/
lindung atau hutan produksi yang diberikan permohonan izin HPHD paling lama
kepada lembaga desa. HPHD diberikan oleh 180 hari
Menteri. 4. Permenhut Nomor P.89/Menhut-
II/2014 tentang Hutan Desa. Aturan
Lembaga desa dalam peraturan ini adalah ini dirancang dalam rangka menjamin
lembaga kemasyarakatan desa yang kepastian calon pemegang izin pada
bertugas untuk mengelola HD. Lembaga areal kerja HD yang telah ditetapkan
desa dapat berbentuk koperasi desa atau oleh Menteri sehingga perlu
badan usaha milik desa setempat (pasal mencantumkan nama-nama pemohon
8 ayat 2). Hal lain yang penting dalam yang diketahui oleh camat dan/atau
peraturan ini adalah bahwa lokasi HPHD kepala desa setempat. Peraturan
berada dalam wilayah administrasi desa. ini disusun untuk memberikan
Hal-hal tersebut merupakan atribut legal jaminan kepastian hukum dalam hak
yang melekat pada HD dan menjadi pengelolaan HD. Terdapat kebaruan
pembeda dengan istilah ‘hutan desa’ proses pengajuan permohonan izin
lainnya yang muncul di Indonesia. HPHD yaitu dari 180 hari menjadi paling
B.2. Prosedur, Cara Pengajuan dan Regulasi lama 34 hari sampai terbit izin
Sejak pertama kali diundangkan pada Kerumitan yang muncul dalam periode
tahun 2008, peraturan tentang HD 2008 hingga 2014 ini terjadi karena
telah mengalami lima kali perubahan aturan-aturan HD tersebut memuat
dan penyempurnaan. Ini menunjukkan dua prosedur berkelanjutan yang dalam
semangat dan kesungguhan pemerintah prosesnya terpisah secara entitas, yaitu
dan para pihak dalam mendukung penetapan areal kerja oleh Menteri
terwujudnya HD. Inti dari proses perubahan dan penerbitan HPHD oleh Gubernur/
tersebut adalah upaya untuk percepatan Bupati.
dan penyederhanaan dalam proses Hutan Desa di Indonesia, jika dipelajari
pengajuan/permohonan izin HPHD pada lebih dalam berdasarkan proses
taraf birokrasi dan kesesuaian dengan fakta pengusulan untuk mendapatkan
lapangan. tenurial, dapat dikelompokkan
1. Permenhut Nomor P.49/Menhut- menjadi dua kategori, yaitu HD periode
II/2008 mengenai Hutan Desa awal (2008-2014) dan HD periode
2. Permenhut Nomor P.14/Menhut- lanjutan (2015-sekarang). HD periode
II/2010 tentang Perubahan atas awal, berdasarkan sejarah inisiatif
Permenhut Nomor P.49/MENHUT- pengusulan, dapat dibagi menjadi
II/2008 tentang Hutan Desa. Permenhut empat kelompok, yaitu HD inisiatif
ini memuat aturan-aturan pengusulan LSM/NGO, HD inisiatif UPT Kementerian
areal kerja HD dan hak pengelolaan HD LHK (dalam banyak kasus yaitu Balai
yang jika dicermati cukup rumit dan Pengelolaan DAS), HD inisiatif Dinas
tanpa kejelasan batas waktu Kehutanan Kabupaten, dan HD inisiatif
3. Permenhut No. P.53/Menhut-II/2011 kelompok masyarakat.
tentang Perubahan Kedua atas
Permenhut Nomor P.49/MENHUT- Hutan Desa periode selanjutnya tidak
II/2008 tentang Hutan Desa. Aturan lagi melibatkan peran UPT Kementerian
ini dibuat untuk menyederhanakan Kehutanan (sekarang KLHK), namun
prosedur permohonan usulan dan selain inisiatif-inisiatif lembaga yang
verifikasi dalam rangka penetapan telah disebutkan dalam periode awal,
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 469
Perhutanan Sosial
juga menunjukkan peran besar lembaga Jika lokasi pengajuan berada di luar PIAPS
Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH). tetap dapat diajukan kepada Menteri dengan
Inisiatif berarti siapa yang memberi difasilitasi Pokja PPS dan sebagai bahan
gagasan kepada kelompok masyarakat revisi PIAPS. Kelompok Kerja Percepatan
dan mengawal proses. Pendampingan Perhutanan Sosial yang selanjutnya disebut
sangat menentukan cepat atau Pokja PPS adalah kelompok kerja yang
lambatnya proses tersebut, terutama membantu fasilitasi dan verifikasi kegiatan
pendampingan oleh LSM percepatan Perhutanan Sosial.
5. PermenLHK Nomor P.83/MENLHK/
SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Permohonan HPHD disertai dengan (a)
Perhutanan Sosial, mencakup semua peraturan desa tentang pembentukan
skema Perhutanan Sosial, termasuk lembaga desa atau peraturan adat
HD. atau peraturan masyarakat tentang
pembentukan lembaga adat yang diketahui
Hak Pengelolaan Hutan Desa yang oleh kepala desa/lurah, (b) keputusan
selanjutnya disingkat dengan HPHD adalah kepada desa tentang struktur organisasi
hak pengelolaan pada kawasan hutan lembaga desa, koperasi atau badan usaha
lindung atau hutan produksiyang diberikan milik desa, (c) dambaran umum wilayah
kepada lembaga desa. HPHD dapat antara lain keadaan fisik wilayah, sosial
diberikan pada: ekonomi dan potensi kawasan, (d) peta
1. Hutan produksi dan/atau hutan lindung usulan lokasi minimal skala 1:50.000 berupa
yang belum dibebani izin; dokumen tertulis dan salinan eletronik
2. Hutan lindung yang dikelola oleh Perum dalam bentuk shape file.
Perhutani dan/atau; HPHD ini diberikan oleh: (a) menteri dan
3. Wilayah tertentu dalam KPH (b) dapat didelegasikan kepada gubernur
dengan ketentuan bahwa provinsi
Permohonan HPHD diajukan oleh satu
yang bersangkutan telah memasukkan
atau beberapa lembaga desa dan diketahui
perhutanan sosial kedalam rencana
oleh satu atau beberapa kepala desa
pembangunan jangka menengah daerah
yang bersangkutan. Lembaga desa yang
atau mempuntai peraturan gubernur
dimaksud dapat berbentuk koperasi desa
mengenai perhutanan sosial dan memiliki
atau badan usaha milik desa setempat.
anggaran dalam anggaran pendapatan
Lokasi permohonan HPHD berada dalam
dan belanja daerah. Pendelegasian ini
wilayah administrasi desa dan berada
ditetapkan dengan keputusan menteri.
dalam satu kesatuan lansekap (bentang
Berikut info grafis mengenai pengajuan
alam) sebagai upaya pelestarian ekosistem
permohonan hutan desa, Gambar 7.2 untuk
dan diutamakan berada dalam PIAPS (Peta
pengajuan kepada menteri LHK dan Gambar
Indikatif Areal Perhutanan Sosial).
7.3. untuk pengajuan kepada Gubernur.
470 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perhutanan Sosial
Gambar 7.2. Bagan Alir Permohonan Hutan Desa kepada Menteri LHK
(sumber: https://www.cifor.org/knowledge/publication/6589)
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 471
Perhutanan Sosial
Kotak 7.1.
Hutan Desa pertama di Indonesia yaitu di
Desa Lubuk Beringin, Kecamatan Bathin
III Ulu, Kabupaten Bungo, Jambi. HD ini
mendapatkan SK PAK (Penetapan Areal
Kerja) dari Menteri Kehutanan dan HPHD
dari Gubernur Jambi pada tahun 2009
melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor SK.109/Menhut-II/2009. Hutan dan
masyarakat di Desa Lubuk Beringin difasilitasi
Hutan Desa di Desa Lubuk Beringin dan didampingi oleh Warsi, salah satu LSM
Foto: Tri Saputro/CIFOR
https://www.cifor.org di Jambi, dalam program Pengelolaan Hutan
Berbasis Masyarakat (PHBM).
B.3. Contoh Implementasi Hutan Desa di Di desa ini sejumlah aturan pengelolaan hutan
Indonesia telah lama disepakati dan diterapkan, seperti
aturan menjaga hutan lindung, agroforestri
Data KLHK menunjukkan capaian akses (hutan tani) karet, dan lubuk larangan
kelola HD pada periode lanjutan (2015- sebagai sumber daya alam desa. Aturan ini
2020) meningkat hampir 20 kali lipat tertuang dalam Kesepakatan Konservasi Desa
dibanding periode awal (2009-2014). yang antara lain berisi kesepakatan warga
Capaian tersebut selalu paling tinggi untuk tidak mengolah lahan-lahan miring
dibandingkan skema Perhutanan Sosial atau curam, pinggir sungai, dan hulu-hulu
lainnya. Meskipun terdapat usulan-usulan sungai, agar tidak terjadi longsor dan erosi.
HD yang ditolak KLHK karena faktor Desa Lubuk Beringin juga merupakan pionir
tumpang-tindih izin atau permohonan pada dalam pembuatan PLTKA (Pembangkit Listrik
wilayah blok KPH yang tidak diperuntukkan Tenaga Kincir Angin) yang sejak dibangun
sebagai HD (Martin 2020). pada 2005 mampu menerangi 76 unit rumah
di situ. PLTKA adalah perekat fungsi hutan
Berikut beberapa contoh implementasi
dan kebun karet campur sebagai penyedia
hutan desa yang ada di Indonesia:
air dengan kepentingan masyarakat yang
a. Hutan Desa di Desa Lubuk Beringin,
menyadari betul pentingnya mengelola dan
Muara Bungo, Jambi. Selain menjaga
melestarikan hutan serta kebun karet, karena
hutan lindung, desa ini juga menerapkan
listrik hanya akan menyala jika mendapat
agroforestri karet dan lubuk larangan
pasokan air yang cukup dari hutan.
(Kotak 7.1);
b. Hutan Desa di tiga lokasi di Kabupaten
Bantaeng (Desa Labbo, Desa seluas 23,68 ha. Kawasan hutan yang
Pattaneteang dan Kelurahan Campaga) dijadikan hutan desa merupakan
sejak tahun 2008. Berdasarkan surat kawasan hutan dengan fungsi lindung.
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor Ketiga hutan desa tersebut memiliki
SK.55/Menhut-II/2010, hutan desa di karakteristik potensi dan sumber daya
Kabupaten Bantaeng ditetapkan seluas yang berbeda. Hutan desa di Labbo ini
704 ha. Pada tahap awal program merupakan tindak lanjut dari Hutan
diimplementasikan pada tiga desa Desa pertama di Dusun Lubuk Beringin
di Kecamatan Tompobulu yaitu Desa Kabupaten Bungo, Jambi. Salah satu
Labbo seluas 342 ha, Desa Pattaneteang aspek yang dikembangkan dalam hutan
seluas 339 ha dan Kelurahan Campaga desa ini adalah aspek ekonomi dalam
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 473
Perhutanan Sosial
C. Hutan Kemasyarakatan
Sumber: Kastanya et al 2018
memberdayakan masyarakat setempat.
Penyelenggaraan HKm dimaksudkan untuk
C.1. Pengertian, Sejarah dan Perkembangan pengembangan kapasitas dan pemberian
C. HUTAN KEMASYARAKATAN
Hutan kemasyarakatan (HKm) merupakan (Irma Yeny)
akses kepada masyarakat setempat
salah satu skemaSejarah
Perhutanan Sosial untuk mengelola kawasan hutan secara
1. Pengertian, Dan Perkembangan
(PS). HKm adalah hutan negara yang lestari guna penciptaan lapangan kerja
Hutan kemasyarakatan (HKm)
pemanfaatan utamanya ditujukan untuk dansalah
merupakan penanggulangan kemiskinan
satu skema Perhutanan serta
Sosial.
HKm adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk
memberdayakan masyarakat setempat. Penyelenggaraan HKm dimaksudkan untuk
pengembangan kapasitas dan pemberian akses kepada masyarakat setempat untuk
474 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perhutanan Sosial
Bersama dangan 4 skema PS lainnya, HKm Hutan Lindung. Kawasan hutan yang perlu
juga dipilih sebagai bentuk resolusi konflik dicadangkan dengan kondisi sebagai
kawasan hutan seperti penyerobotan berikut:
hutan negara yang berubah tutupannya • Belum dibebani HPH/HPHTI dan hak
menjadi kebun masyarakat. Perubahan lainnya.
vegetasi hutan menjadi kebun masyarakat • Sudah dibebani HPH/HPHTI yang segera
mengindikasikan adanya ketergantungan berakhir masa berlakunya.
hidup masyarakat terhadap lahan hutan. • Rawan gangguan keamanan hutan
• Terdapat konflik kepentingan
Sejalan dengan meningkatnya luas hutan • Berdekatan dengan pemukiman
yang dikelola masyarakat tiap tahunnya, • Telah lama menjadi tempat tinggal
maka skema HKm menjadi salah satu solusi masyarakat (tradisional)
pemberian akses legal pemanfaatan hutan • Telah dikelola secara tradisional oleh
dalam bentuk pemanfaatan hasil hutan masyarakat setempat
kayu dan bukan kayu melalui kegiatan • Merupakan sumber mata pencaharian
pembibitan, penanaman, pemeliharaan, bagi masyarakat setempat.
pemanenan, pengolahan dan pemasaran.
Menurut Waznah, (2006) dalam Ekawati, et Pencadangan areal HKm selanjutnya
al (2020) HKm memberikan manfaat, baik dituangkan dalam Peta Indikatif Perhutanan
bagi masyarakat, pemerintah maupun bagi Sosial (PIAPS). PIAPS ditetapkan melalui
hutan, yaitu: harmonisasi peta yang dimiliki oleh KLHK
1. Bagi masyarakat, HKm dapat dengan peta yang dimiliki oleh lembaga
memberikan kepastian akses untuk swadaya masyarakat dan sumber-sumber
turut mengelola kawasan hutan, lain; dan konsultasi dengan pemerintah
menjadi sumber mata pencarian, dan provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan
menjamin ketersediaan air yang dapat para pihak terkait.
dimanfaatkan untuk rumah tangga dan
pertanian; PIAPS akan direvisi 6 bulan sekali dengan
2. Bagi pemerintah, HKm dapat memasukkan areal izin pemanfaatan dan
meningkatkan hubungan yang baik izin penggunaan kawasan hutan yang
antara pemerintah, masyarakat, berakhir masa berlakunya, atau izinnya
dan pihak terkait lainnya. HKm juga dicabut atau yang arealnya diserahkan oleh
berdampak positif pada pengamanan pemegang izin kepada pemerintah dan
hutan; areal permohonan IUPHKm yang berada
3. Bagi fungsi hutan dan restorasi habitat, diluar PIAPS. PIAPS diprioritaskan untuk
HKm mendorong terbentuknya penyelesaian konflik, kegiatan restorasi
keanekaragaman flora dan fauna. gambut/atau restorasi ekosistem.
HKm juga menjaga fungsi ekologis dan 2) Penyiapan Kondisi Masyarakat
hidrologis melalui pola tanam campuran
dan teknis konservasi lahan yang Penyiapan kondisi masyarakat merupakan
diterapkan. kegiatan awal yang penting dilaksanakan
sebelum pemberian IUPHKm. Kegiatan ini
C.2. Prosedur, Cara Pengajuan dan Regulasi merupakan suatu proses membangun dan
a. Tahapan Pengusahaan HKm memperkuat kelembagaan masyarakat
setempat yang berbasis pada infrastruktur
1) Pencadangan Areal HKm fisik, sosial, ekonomi, dan budaya setempat
untuk meningkatkan kapasitas organisasi
Hutan Kemasyarakatan dapat dicadangkan masyarakat dalam pengelolaan hutan yang
pada kawasan Hutan Produksi dan Kawasan lestari, yang meliputi fasilitasi:
476 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perhutanan Sosial
Aspek HKm
Kegiatan utama Pemberdayaan Masyarakat (Permenhut P.37/2007)
Perhutanan Sosial (PermenLHK P. 83/2016)
Organisasi pelaksana di Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, KLHK
tingkat pusat
Pemberi Izin Menteri KLHK, jika areal yang diusulkan belum masuk pada rencana jangka
menengah daerah.
Gubernur jika provinsi yang bersangkutan telah memasukkan perhutanan
sosial dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah atau
mempunyai peraturan Gubernur mengenai Perhutanan Sosial
Bentuk Izin Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm).
Lokasi 1. Hutan produksi dan/atau hutan lindung yang belum dibebani izin.
2. Hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani dan wilayah tertentu
dalam KPH.
3. Hutan konservasi, kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.
Berada pada kesatuan lanskap atau bentang alam sebagai upaya pelestarian
ekosistem dan diutamakan yang berada dalam PIAPS atau yang diluar PIAPS
sebagai bahan revisi PIAPS
Bentuk kegiatan 1. Pemanfaatan hutan di hutan lindung berupa pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan dan pemanfaatan serta pemungutan hasil
hutan kayu,
2. Pemanfaatan hutan di hutan produksi berupa pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan
kayu dan pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu,
3. Diprioritaskan untuk penyelesaian konflik, kegiatan restorasi gambut
dan/atau restorasi ekosistem,
4. Izin HKm di hutan produksi sekaligus merupakan izin usaha pemanfaatan
hasil hutan kayu untuk pemanfaatan hasil kayu hasil kegiatan penanaman
Jangka waktu ijin 35 tahun. Perpanjangan didasarkan pada hasil evaluasi setiap 5 tahun
Pemohon Ketua kelompok masyarakat, ketua gabungan kelompok tani hutan atau ketua
koperasi
Hak Pemegang Izin 1. Mendapat perlindungan dari gangguan perusakan dan pencemaran
(PermenLHK P.83 Tahun lingkungan atau pengambilan secara sepihak oleh orang lain,
2016) 2. Mengelola dan memanfaatkan IUPHKm sesuai dengan kearifan lokal,
3. Mendapat manfaat dari sumber daya genetik yang ada di dalam
IUPHKm,
4. Mengembangkan ekonomi produktif berbasis kehutanan,
5. Mendapat pendampingan dalam mengelolan HKm serta penyelesaian
konflik,
6. Mendapat pendampingan kemitraan dalam pengembangan usahanya,
7. Mendapat pendampingan penyusunan rencana pengelolaan, rencana
kerja usaha dan renjana kerja tahunan,
8. Mendapat perlakuan adil atas dasar gender ataupun bentuk lainnya.
Kegiatan/ Kelembagaan/
Model HKm Nama Keterangan
Komoditas yang Pendampingan
Kelompok
Diusahakan/Luas
Rehabilitasi HKm Desa Karet, beringin, - Dikelola oleh 2 Contoh penggarapan lahan
lahan kritis Tebing Siring, mahoni, jengkol, kelompok tani tanpa bakar pada lahan alang-
(alang-alang) Tanah Laut, peternakan (sapi, ikan), - Pendamping alang untuk menghindari
Kalsel dan lebah madu kelulut JIFFRO-Jepang, kebakaran
(400 ha) Universitas
Lambung
Mangkurat, dan
PT Brigestone
Agroforestri kopi HKm Solok Kopi arabika Koperasi Produsen Kopi Solok Rajo memperoleh
Rajo, Solok, (± 3.200 ha) Serba Usaha “Solok penghargaan bergengsi di
Sumatra Barat Radjo” ajang Melbourne
International Coffee Expo 2016.
Omset yang dicapai >Rp1,5
miliar tahun 2017
HKm Sinar Jawa, Kopi, kemiri, lada, pala, Gapoktan Sidodadi - Produk turunan kopi dan
Tanggamus, durian, jengkol, dan bekerja sama dengan madu dalam bentuk
Lampung lainnya (11, 65 ha) PT Ulubelo Kofco kemasan
Abadi - Pemanfaatan jasa
lingkungan berupa aliran
sungai untuk mikrohidro
sehingga menerangi desa
secara gratis
HKm - Kopi, lada, pala, Dikelola oleh 350 - Juara 1 HKm tahun 2016
Beringin Jaya, cengkeh, kemiri, kepala keluarga (KK) - Program pengembangan
Tanggamus, pisang, madu, jahe ekonomi terpadu seperti
Lampung merah, ubi talas, optimalisasi produk HHBK
kunyit, kencur, (intensifikasi pengelolaan
lengkuas, serai, dan tanaman, pengelolaan
kapulaga pasca-panen, penyiapan
- Ekowisata air terjun, industri hilir), pembentukan
sumber air bersih, badan usaha, permodalan,
dan energi dan jaringan pasar
terbarukan (871 ha)
Agroforestri HKm Serasa, Kemiri, durian, petai, Kelompok tani Produktivitas petani mencapai
MPTS Kepahing jengkol, dan pinang 15 kg/orang/hari
Bengkulu (455,25 ha)
,
HKm - Agrofrestri MPTS 1.231 KK, SCF, - Juara 1 lomba wanawisata
Buhung Lali, seperti aren, kakao, Kemitraan kategori HKm tahun 2015
Bulukumba, kemiri, buah- - Menghasilkan produk gula
Sulawesi buahan, jambu aren (gula semut) dengan
Selatan mente produksi 300 kg/bulan
- Wisata alam seperti
pemandian, gua,
camping ground
- Potensi kayu yakni
jati lokal, mahoni,
dan gmelina (912
ha)
482 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perhutanan Sosial
Kegiatan/ Kelembagaan/
Model HKm Nama Keterangan
Komoditas yang Pendampingan
Kelompok
Diusahakan/Luas
HKM Kakao, kopi, kemiri, 285 KK, Koperasi Sertifikasi PHBML LEI
Santong, nangka, pisang, pinang, Tani Hutan Maju
Lombok Utara daun sirih, keladi, vanili, Bersama, Konsepsi,
Utara bambu, dan rebung WWF
(221 ha)
Wisata alam HKm Kalibiru Kawasan wisata alam 7 KTH, LSM Javlec, - Juara 2 lomba wanalestari
landscape Kalibiru, pemandangan hutan Yayasan Damar, kategori HKm, menyerap
view Kulon Progo, DIY (air terjun, landscape Forum Komunikasi tenaga kerja 239 orang
view) dan Konsultasi HKm - Pendapatan bersih Rp1,17
(167,2 ha) miliar/tahun
- Menciptakan multiplier effect
di bidang lain seperti
industri oleh-oleh dan
kerajinan lokal
HKm Rimba - Agroforestri tanaman Anggota sebanyak Wisata alam air terjun mampu
Lestari, Lombok MPTS, perkebunan, 1.261 orang meningkatkan taraf hidup
Tengah, NTB dan obat meliputi masyarakat
durian, kemiri, aren,
nangka, aplukat,
pinang, empon-
empon, kopi dan
ketak
- Wisata alam air
terjun (840 ha)
atau industri) dengan difasilitasi oleh 8. Pengalihan akad kredit dari developer
Pemerintah atau Pemerintah Daerah; kepada petani pemegang izin difasilitasi
4. Pembuatan perjanjian kerja antara oleh Pemerintah;
pemegang IUPHHK-HTR dengan 9. Petani mengangsur pokok dan bunga
mitra difasilitasi oleh Pemerintah dan sampai dengan lunas setelah panen;
Pemerintah Daerah; 10. Petani melanjutkan sendiri
5. Pembangunan HTR dilaksanakan oleh pembangunan HTR pada rotasi II dan
pemegang izin dengan biaya dari mitra; seterusnya.
6. Pemerintah dan Pemerintah Daerah
memfasilitasi kegiatan kemitraan HTR c. Perkembangan Kebijakan HTR
agar terselenggara kemitraan yang Dalam Permenhut Nomor P.23 Tahun
menguntungkan kedua belah pihak; 2007 kegiatan HTR meliputi kegiatan
7. Perusahaan mitra bertanggung jawab pemanfaatan hasil hutan kayu dalam
atas sarana produksi, pelatihan, hutan tanaman meliputi penyiapan lahan,
pendampingan dan pemasaran; pembibitan, penanaman, pemeliharaan,
8. Perjanjian kerjasama kemitraan harus pemanenan dan pemasaran. Tanaman yang
fleksibel agar bisa mengakomodir dihasilkan dari pada HTR merupakan aset
perubahan. pemegang izin usaha, dan dapat dijadikan
HTR Pola Developer adalah HTR yang agunan sepanjang izin usaha masih berlaku.
dibangun oleh BUMN atau BUMS yang Jenis tanaman pokok yang dikembangkan
selanjutnya diserahkan oleh pemerintah untuk pembangunan UPHHK-HTR terdiri
kepada kepala keluarga pemohon IUPHHK- dari tanaman sejenis dan tanaman berbagai
HTR dan biaya pembangunannya menjadi jenis.
tanggungjawab pemegang IUPHHK-HTR Tanaman pokok sejenis adalah tanaman
dan dikembalikan secara mengangsur hutan berkayu yang hanya terdiri dari
berdasarkan Surat Keputusan IUPHHK-HTR satu jenis (species) beserta varietasnya.
yang diterbitkan. Jenis tanaman pokok berbagai jenis
Beberapa ketentuan dalam pembangunan adalah tanaman hutan berkayu yang
HTR pola developer adalah: dikombinasikan dengan tanaman budidaya
1. Pencadangan lokasi HTR oleh Menteri tahunan yang berkayu, atau jenis yang
Kehutanan; lain yang ditetapkan oleh menteri. Luas
2. Penerbitan IUPHHK-HTR kepada HTR paling luas 15 Ha untuk setiap kepala
perorangan atau koperasi; keluarga pemohon atau bagi koperasi
3. Penunjukkan developer oleh pemegang luasnya disesuaikan dengan kemampuan
izin dengan difasilitasi oleh Pemerintah; usahanya. IUPHHK-HTR diberikan untuk
4. Permohonan kredit kepada BLU Pusat jangka waktu paling lama 60 tahun.
P2H (kesepakatan dengan pemegang Lahirnya PermenLHK Nomor P.83
izin dan diketahui oleh Bupati); Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial
5. Akad kredit dengan developer; selanjutnya memasukkan HTR sebagai
6. Pembangunan HTR oleh developer salah satu skema perhutanan sosial.
(sampai dengan akhir masa Beberapa prinsip HTR berubah berdasarkan
pembangunan sesuai daur atau hanya hasil evaluasi dan perkembangan dinamika
sampai tahun ketiga); lapangan. Pengaturan terkait HTR dilakukan
7. Penilaian tanaman dalam rangka penyesuaian melalui PermenLHK No.
konversi oleh tim penilai independen 1 1 / M E N L H K / S E TJ E N / KU M . 1 / 5 / 2 0 2 0
satu tahun sebelum pengalihan akad tentang Hutan Tanaman Rakyat. Peraturan
kredit; ini bertujuan mendorong masyarakat
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 485
Perhutanan Sosial
HARI
HARI
HARI
HARI
Gambar 7.9. Bagan Alir Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Tanaman Rakyat
Kepada Menteri LHK.
486 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perhutanan Sosial
Masa Berlaku Izin 60 tahun dan dapat diperpanjang 1 satu kali selama 35 tahun, serta dievaluasi setiap
5 tahun.
Persyaratan Areal 1. Berada pada kawasan hutan produksi terbatas dan hutan produksi tetap,
2. Diutamakan kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan belum dibebani
izin atau hak pengelolaan.
3. Areal yang dicadangkan oleh Menteri melalui penetapan areal indikatif Arahan
pemanfaatan Hutan Produksi yang tidak dibebani izin untuk usaha
permanfaatan Hutan dan/atau berdasarkan PIAPS,
4. Berada pada satu landsekap sebagai upaya pelestarian ekosistem dan
diutamakan yang berada dalam PIAPS.
Pemohon 1. KTH
2. GAPOKTAN
3. KOPTANHUT
4. Profesional kehutanan atau perseorangan dengan membentuk kelompok atau
koperasi bersama masyarakat setempat.
Luas Areal HTR 1. KTH dan GAPOKTAN paling luas 15 Ha per kelapa keluarga atau paling luas 5.000
Ha per izin usaha,
2. KOPTANHUT paling luas 5.000 Ha.
Penataan Areal Kerja 1. Areal Budi daya,
2. Kawasan Lindung.
Sisten silvikultur 1. Pada areal tidak berhutan/tidak produktif dilakukan dengan sistem Tebang Habis
Permudaah Buatan (THPB),
2. Pada areal yang masih berhutan dan tidak dapat dihindari untuk diusahakan TPHP
dapat menggunakan Multi Sistem Silvikultur (MSS)
Jenis Tanaman 1. Tanaman sejenis,
2. Tanaman berbagai jenis.
Hak 1. Melakukan kegiatan dan memperoleh manfaat dari hasil usahanya,
2. Mendapatkan akses pembiayaan dari pemerintah,
3. Mendapatkan pendampingan dan pelatihan untuk penguatan kelembagaan oleh
instansi terkait,
4. Mendapatkan fasilitasi,
5. Mendapatkan bantuan tenaga teknis (GANIS)
Kewajiban 1. Menyusun RKUPHHK-HTR,
2. Menyusun RKTUPHHK-HTR,
3. Melaksanakan tata batas partisipatif, diantaranya berupa pemasangan
patok/pendanaan batas,
4. Melaksanakan perlindungan hutan di areal kerjanya,
5. Melaksanakan sistem silvikultur,
6. Melaksanakan penatausahaan hasil hutan (PUHH),
7. Melaporkan kinerja pemanfaatan hasil hutan kayu secara periodik,
8. Membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 487
Perhutanan Sosial
D.3. Contoh Implementasi HTR di Indonesia Apabila petani penggarap tidak mengikuti
skema tersebut, maka lahan yang sudah
a. KMB, Kabupaten Tebo Ulu, Jambi. HTR digarap petani akan dilakukan ganti rugi
KMB berdiri pada 2009 dengan nota oleh koperasi dan selanjutnya tanaman
pendirian sesuai Surat Keputusan Nomor yang ada menjadi milik koperasi. Kondisi
32/BH/Kop-UKM/IV/2009 tanggal 14 ini sempat menimbulkan konflik antara
April 2009. Koperasi ini mendapat Surat koperasi dan petani penggarap karena
KeputusanIUPHHK-HTR 05/Dinhut/2010 komunikasi, koordinasi, dan transparansi
tanggal 22 Januari 2010 dengan luas yang masih lemah.
areal 2.263,74 ha.
b. KLL, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung.
Areal IUPHHK-HTR KMB termasuk dalam Areal IUPHHK-HTR KLL di Kabupaten
Kelompok Hutan Pasir Mayang Danau Pesisir Barat merupakan Hutan Produksi
Bangko dengan keadaan lahan berupa Terbatas (HPT) yang berbatasan dengan
lahan kering (mineral) dan penutupan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan,
lahan berupa semak belukar. Beberapa Areal Penggunaan Lain (APL) serta Hutan
kegiatan yang sudah dilakukan oleh Lindung. Areal ini termasuk ke dalam DAS
koperasi dalam pengelolaan HTR Way Mahnaibalak, Way Mahnaitengah,
diantaranya adalah areal IUPHHK- Way Mahnailunik dengan jenis tanah
HTR dengan topografi datar sampai terdiri dari dystropepts, tropodults,
berbukit sebagian besar sudah dibuka humitropepts, dan eutropepts.
dengan cara land clearing, pembuatan
jalan yang berfungsi sebagai sarana Kondisi penutupan lahan areal koperasi
transportasi dan batas blok dengan lebar tersebut terdiri dari hutan primer, hutan
± 6-8 m menggunakan alat berat seperti sekunder, semak belukar, dan hutan
eksavator, dan kegiatan penanaman yang ditumbuhi jenis damar (Shorea
karet (Hevea braziliensis) dan jabon spp.) yang getahnya dimanfaatkan oleh
putih (Anthocephalus cadamba) untuk 4 masyarakat dan rotan (Calamus sp.) yang
RKT masingmasing seluas 50 ha/tahun. jarang dimanfaatkan karena tidak ada
pasar. Ada sebagian masyarakat yang
Jabon dipilih dengan beberapa membuka kawasan hutan dan menanam
pertimbangan diantaranya mempunyai jenis coklat maupun karet.
pertumbuhan batang lebih cepat,
dapat dipanen pada umur 5-6 tahun, KLL yang berdiri dengan akta pendirian
permintaan pasar sangat tinggi, dan perusahaan Nomor 133/BH/X.4/
tahan terhadap. serangan hama dan II.06/XI/2010 tanggal 10 November
penyakit. Sementara karet dipilih dengan 2010 memegang IUPHHK-HTR dengan
pertimbangan mempunyai prospek yang areal seluas ± 675 ha berdasarkan
menguntungkan dan jenis ini sangat Keputusan Bupati Kabupaten Lampung
disukai oleh masyarakat Jambi. Barat Nomor B/121/KPTS/II.14/2012
tanggal 7 Maret 2012. Berdasarkan
KMB menerapkan dua skema dalam kondisi perkembangannya, pengelolaan
pengelolaan IUPHHK-HTR yakni kegiatan HTR KLL termasuk dalam
mengajak petani penggarap yang sudah kategori stagnan, yakni koperasi yang
ada untuk terlibat dan masuk dalam belum memulai aktivitasnya setelah izin
keanggotaan koperasi dengan skema diperoleh.
bagi hasil 30% (koperasi):70% (petani
penggarap). Contoh implementasi HTR di kabupaten
lain dapat dilihat pada Tabel 7.6.
488 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perhutanan Sosial
E. Kemitraan Kehutanan (KHDTK, IPHPS, hutan dalam bentuk kerja sama antara
Kemitraan Konservasi)
E. KEMITRAAN KEHUTANAN (KHDTK, IPHPS, masyarakat
KEMITRAANsetempat dan pengelola
KONSERVASI)
hutan dan atau pemegang izin dalam
1. Pengertian,
E.1. Pengertian, Sejarah
Sejarah Dan Perkembangankawasan hutan. Kemitraan kehutanan ini
dan Perkembangan
Skema Skema
keempat keempat
untukuntuk mencapai
mencapai dilaksanakan
target kegiatan
target Perhutanansebagai bentukmelalui
Sosial adalah kewajiban
kegiatan tanggung jawab sosial dari pemegang hak
skemaPerhutanan
KemitraanSosial adalah melalui
Kehutanan. Kemitraan Kehutanan adalah kerjasama antara
skema kemitraan kehutanan. Kemitraan kelola atau izin atas kawasan hutan untuk
masyarakat
kehutanan setempat
adalah dengan pengelola
kerjasama antara hutan,ikutpemegang
berkontribusi dalam
izin usaha peningkatan
pemanfaatan
masyarakat kesejahteraan masyarakat yang tinggal di
hutan/jasasetempat
hutan, izindengan pengelola
pinjam pakai kawasan hutan, atau pemegang izin usaha industri
hutan, pemegang izin usaha pemanfaatan sekitar kawasan hutan dimana pemegang
primer hasil hutan. Wiati et al., (2019) memberikan
hak kelolapengertian
maupun tentang
izin Kemitraan
itu beroperasi
hutan/jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan
hutan, atau pemegang
Kehutanan izin usaha
sebagai suatu skema industri
(Firdaus, 2018).
pemberian akses oleh pemerintah kepada masyarakat
primer hasil hutan.
sekitar hutan agar dapat melakukan pengelolaanIstilah
hutankemitraan kehutanan
dalam bentuk muncul
kerja sama dalam
antara
Wiatimasyarakat
et al., (2019) memberikan pengertian PP Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan
setempat dan pengelola hutan dan
danatauPenyusunan
pemegang izin dalam kawasan
Rencana Pengelolaan
tentang kemitraan kehutanan sebagai
hutan.
suatu Kemitraan
skema kehutanan
pemberian ini dilaksanakan
akses oleh Hutan
sebagaiserta Pemanfaatan
bentuk Hutan, yang
kewajiban tanggung
pemerintah kepada masyarakathaksekitar kemudian direvisi menjadi PP Nomor 3
jawab sosial dari pemegang kelola atauTahun
izin atas
2008.kawasan
Ekawati hutan
et untuk
al. (2020)ikut
dalam
hutan agar dapat melakukan pengelolaan
berkontribusi dalam peningkatan kesejahteraan buku Bersamayang
masyarakat Membangun
tinggal di Perhutanan
sekitar
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 489
Perhutanan Sosial
Sosial menyebutkan bahwa masuknya istilah dijelaskan dengan lebih detail. Pengelola
kemitraan kehutanan dalam peraturan hutan dalam skema kemitraan ini meliputi
pemerintah pada dasarnya menunjukkan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), Balai
bahwa pemerintah melaksanakan Besar/Balai Taman Nasional, Balai Besar/
kemitraan dalam pengelolaan hutan Balai Konservasi Sumber Daya Alam,
sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat pengelola KHDTK, UPTD Tahura, dan atau
di dalam dan sekitar hutan. BUMN atau BUMD pengelola hutan negara.
Selanjutnya terbit Permenhut Nomor Sementara yang dimaksud dengan
P. 16/Menhut-II/2011 tentang Program pemegang izin meliputi izin usaha
Nasional Pemberdayaan (PNPM) Mandiri pemanfaatan kawasan, izin usaha
Kehutanan. Peraturan ini mempertegas pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha
tentang keinginan pemerintah untuk pemanfaatan hasil hutan kayu dalam
menjalankan program pengentasan hutan alam, izin usaha pemanfaatan hasil
kemiskinan masyarakat di dalam dan di hutan kayu dalam hutan tanaman, izin
sekitar hutan produksi (HP), hutan lindung usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
(HL) dan hutan konservasi (HK). dalam hutan alam, izin usaha pemanfaatan
hasil hutan bukan kayu dalam hutan
Peraturan lain yang secara tegas tanaman, izin usaha pemanfaatan air, izin
menyebutkan istilah kemitraan kehutanan usaha pemanfaatan energi air, izin usaha
adalah Permenhut Nomor P.39/Menhut- pemanfaatan jasa wisata alam, izin usaha
II/2013 tentang Pemberdayaan masyarakat pemanfaatan sarana wisata alam, izin
Setempat melalui Kemitraan Kehutanan. usaha pemanfaatan penyerapan karbon
Dalam peraturan ini, kemitraan kehutanan di hutan produksi dan hutan lindung, izin
diuraikan sebagai kerjasama antara usaha pemanfaatan penyimpanan karbon
masyarakat setempat dengan pemegang di hutan produksi dan hutan lindung, izin
izin pemanfaatan hutan atau pengelola penggunaan kawasan hutan, dan/atau izin
hutan, pemegang izin usaha industri usaha industri primer hasil hutan.
primer hasil hutan, dan/atau KPH dalam
pengembangan kapasitas dan pemberian Kemitraan Kehutanan dibagi menjadi 2
akses, dengan prinsip kesetaraan dan bentuk, yaitu KULIN-KK (Pengakuan dan
saling menguntungkan. Kemitraan Perlindungan Kemitraan Kehutanan) dan
kehutanan dimasukkan sebagai komponen IPHPS (Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan
pemberdayaan masyarakat dengan Sosial).
pelaku kemitraan adalah pengelola hutan,
a. KULIN KK (Pengakuan dan Perlindungan
pemegang izin, dan KPH.
Kemitraan Kehutanan)
Selanjutnya, dalam PermenLHK No. P.83/
KULIN KK merupakan izin kegiatan
MENLHK.SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang
kemitraan kehutanan di semua areal
Perhutanan Sosial menyebutkan bahwa
yang diijinkan untuk dilakukan kegiatan
yang dimaksud dengan skema kemitraan
kemitraan kehutanan. Pada pasal 43
kehutanan adalah kerjasama antara
PermenLHK Nomor P.83/MENLHK.SETJEN/
masyarakat setempat dengan pengelola
KUM.1/10/2016 disebutkan areal kemitraan
hutan, pemegang izin usaha pemanfaatan
kehutanan ditetapkan dengan ketentuan:
hutan/jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan
a) areal konflik dan yang berpotensi konflik
hutan, atau pemegang izin usaha industri
di areal pengelola hutan/pemegang ijin; b)
primer hasil hutan. Dalam peraturan yang
areal yang memiliki potensi dan menjadi
lebih baru ini, pelaku kemitraan kehutanan
sumber penghidupan masyarakat setempat;
yaitu pengelola hutan dan pemegang izin
c) di areal tanaman kehidupan di wilayah
490 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perhutanan Sosial
untuk kegiatan perhutanan sosial dilakukan areal yang terbuka dengan tegakan di atas
dengan kewajiban tetap menjaga fungsi 10%.
hidrologis gambut. Kemitraan kehutanan
pada ekosistem gambut diatur dalam pasal E.2. Prosedur, Cara Pengajuan dan Regulasi
19-23. PermenLHK Nomor P.16/MENLHK/SETJEN/
b. IPHPS (Izin Pemanfaatan Hutan SET.1/8/2020 tentang Rencana Strategis
Perhutanan Sosial) Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan tahun 2020-2024 menyebutkan
Akses pengelolaan hutan yang diberikan bahwa salah satu strategi dalam peningkatan
pemerintah kepada masyarakat setempat pengelolaan hutan konservasi dan upaya
di dalam wilayah Perum Perhutani di Pulau konservasi keanekaragaman hayati,
Jawa diatur dalam PermenLHK Nomor P.39/ spesies dan genetik adalah peningkatan
MENLHK/Setjen/Kum.1/6/2017 tentang kemitraan konservasi dengan desa sekitar
Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum dalam rangka peningkatan usaha produktif
Perhutani dalam Bentuk Izin Pemanfaatan masyarakat.
Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS). SK IPHPS
merupakan SK izin untuk melaksanakan Dalam PermenLHK Nomor P.83/MENLHK.
kegiatan kemitraan kehutanan di areal SETJEN/KUM.1/10/ 2016, kemitraan
khusus yaitu wilayah kerja Perum Perhutani kehutanan dijelaskan pada bagian keempat
di Pulau Jawa. pasal 40-49 yang mengatur tentang
pelaku, persyaratan kemitraan, areal dan
Mengacu pada peraturan tersebut, kegiatan tata cara pelaksanaan kemitraan. Tata
PS di wilayah Perum Perhutani dapat cara pelaksanaan kemitraan (KULIN KK)
diberikan dalam bentuk IPHPS di hutan diatur pada pasal 44-46 yang antara lain
lindung dan hutan produksi (Bagian Kedua, menyebutkan bahwa prosedur dimulai
pasal 3), kecuali usaha pemanfaatan hasil dengan pengajuan permohonan oleh
hutan kayu dalam hutan tanaman hanya pengelola atau pemegang izin kepada
dapat diberikan untuk kawasan hutan Menteri dengan tembusan Dirjen dan
produksi. Gubernur, dilakukan verifikasi dokumen dan
lapangan, menyusun naskah kesepakatan
Izin kemitraan kehutanan baik dalam
kerja sama yang ditandatangani oleh
bentuk SK Kulin KK maupun IPHPS diberikan
pengelola/pemegang izin dan pihak yang
dalam jangka waktu 35 tahun, sementara
bermitra dengan diketahui oleh kepala
kerjasama kemitraan konservasi memiliki
desa atau camat atau lembaga adat
jangka waktu 5 (lima) tahun. Perbedaan
setempat. Naskah kesepakatan kerja sama
dari bentuk KULIN KK dan IPHPS antara lain
harus dilaporkan ke Dirjen PSKL dengan
adalah lokasi yang dapat diberikan SK KULIN
tembusan ke Eselon I KSDAE atau BLI atau
KK adalah kawasan hutan dengan tutupan
BP2SDM, gubernur/bupati/walikota, kepala
lahan di atas 10% dalam kurun waktu lima
dinas provinsi dan kepala UPT atau kepala
tahun berturut-turut.
UPT terkait.
Sementara SK IPHPS diberikan di wilayah
Dalam pelaksanaannya, maka pengelola
kerja Perum Perhutani di wilayah Pulau
hutan atau pemegang izin yang
Jawa dengan kriteria lokasi kawasan hutan
melaksanakan kemitraan kehutanan
dengan tutupan lahan di bawah atau sama
dengan baik dapat diberikan insentif berupa
dengan 10% dalam kurun waktu lima tahun
kemudahan pelayanan di lingkup KLHK dan
berturut-turut atau dalam kondisi sosial
bila tidak melaksanakan kegiatan kemitraan
yang memerlukan penanganan secara
dengan tidak baik maka diberikan sanksi
khusus, maka IPHPS dapat diberikan pada
sesuai ketentuan perundang-undangan.
492 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perhutanan Sosial
Gambar 7.6. Bagan Alir Permohonan Persetujuan Kemitraan Kehutanan kepada Menteri LHK
(sumber: https://www.cifor.org/knowledge/publication/6589)
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 493
Perhutanan Sosial
dalam pemberian SK IPHPS adalah usaha kurang dari 10% dan tidak ada konflik
dalam bentuk pemanfaatan kawasan, yang perlu penanganan khusus, maka
pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan Dirjen PSKL melapor kepada Menteri LHK
tanaman, pemanfaatan hasil hutan bukan untuk menetapkan skema Pengakuan dan
kayu dalam hutan tanaman, pemanfaatan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (KULIN
air, pemanfaatan energi air, pemanfaatan KK).
jasa wisata alam, pemanfaatan sarana
wisata alam, pemanfaatan penyerapan Pemohon dan/atau calon penerima dan/
karbon di hutan produksi dan hutan lindung atau pemegang IPHPS dapat menunjuk
dan pemanfaatan penyimpanan karbon pendamping yang dapat berasal dari
di hutan lindung dan hutan produksi. berbagai unsur antara lain penyuluh
Selanjutnya tentang prosedur permohonan, LSM setempat, perguruan tinggi,
penunjukan dan verifikasi IPHPS diatur lembaga penelitian dll. Pendamping ini
dalam Perdirjen PSKL Nomor P.7/PSKL/ memanfaatkan lahan sebagai demplot
SET/KUM.1/9/2017 yang juga mengatur untuk percontohan dengan luas sesuai
tentang penerbitan izin, pendampingan kesepakatan kelompok pemegang IPHPS.
dan pembiayaan. E.3. Contoh Implementasi Kemitraan
Permohonan IPHPS diajukan kepada Kehutanan di Indonesia
Menteri LHK setelah ditandatangani ketua a. Kemitraan Kehutanan (Kulin-KK) KHDTK
kelompok masyarakat (ketua KTH setempat Parungpanjang
atau ketua LMDH), ketua gabungan
KTH, ketua koperasa setempat/koperasi Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus
mitra BUMDes. Surat permohonan ini (KHDTK) adalah kawasan hutan yang secara
ditembuskan kepada Dirjen PSKL, Dirjen khusus diperuntukkan bagi kepentingan
PKTL, kepala dinas provinsi dan Direktur penelitian dan pengembangan kehutanan,
Utama Perum Perhutani, dengan lampiran pendidikan dan pelatihan kehutanan serta
daftar nama pemohon IPHPS, fotocopy KTP/ religi dan budaya (PermenLHK Nomor
NIK dan KK serta peta areal yang dimohon P.15 Tahun 2008). KHDTK Parungpanjang
yang mengacu pada batas petak atau anak adalah salah satu contoh KHDTK yang telah
petak KPH setempat. melaksanakan kegiatan perhutanan sosial
melalui skema Kulin-KK.
Dirjen PSKL kemudian membentuk tim
untuk melaksanakan verifikasi administrasi KHDTK Parungpanjang berlokasi di
(maksimal 5 hari kerja) dan verifikasi Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dan dikelola
teknis yang meliputi keabsahan identitas oleh Balai Penelitian dan Pengembangan
pemohon IPHPS (dengan diskusi dan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
wawancara) dan kesesuaian areal yang (BP2TPTH) Ciheuleut-Bogor sebagai Unit
dimohon yang kemudian dibuat berita Pelaksana Teknis (UPT) dari Badan Litbang
acara dan disampaikan kepada Dirjen dan Inovasi (BLI), KLHK.
PSKL dengan tembusan kepada Direktur
Utama Perum Perhutani, dinas provinsi dan Sejak 2016 KHDTK Parungpanjang
masing-masing anggota Tim. telah membina para petani penggarap
(pesanggem) melalui pola tumpang sari
Selanjutnya Dirjen PSKL atas nama di dalam pengelolaan KHDTK. Kemitraan
Menteri LHK menerbitkan Keputusan Izin kehutanan merupakan salah satu skema
Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial dalam PS yang dapat digunakan sebagai
(IPHPS). Jika hasil verifikasi teknis tidak upaya penyelesaian konflik penguasaan
memenuhi kriteria lokasi tutupan lahan lahan di kawasan hutan (Weni et al., 2020).
496 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perhutanan Sosial
Pada Juni 2019, KHDTK Parungpanjang yang ditanam melalui pola agroforestri
mengusulkan sebagian areal yang telah dengan penanaman tanaman semusim
dikelola oleh para petani garapan untuk di bawah tegakan pohon damar. LMDH
masuk dalam skema PS. Para petani Wono Lestari juga mengembangkan usaha
penggarap kemudian membentuk 2 peternakan seperti sapi dan kambing.
Kelompok Tani Hutan, yaitu KTH Harapan Pakan ternak yang digunakan berasal dari
Sejahtera yang beranggotakan 19 orang hijauan rumput yang ditanam di bawah
petani penggarap dan KTH Guna Bakti yang tegakan pohon damar.
beranggotakan 21 orang petani penggarap.
Pada tanggal 27 Agustus 2019 KHDTK Konsep pengelolaan lahan yang diusung
Parungpanjang memperoleh kegiatan oleh LMDH Wono Lestari adalah integrated
dengan skema Kemitraan Kehutanan forest farming system, yaitu sebuah sistem
melalui: yang memadukan antara konsep kelestarian
1. Surat Keputusan Menteri KLHK hutan dengan hutan sebagai sumber
Nomor SK.7087/MENLHK-PSKL/PKPS/ pangan. Skema kemitraan kehutanan
PSL.0/8/2019 tentang Pengakuan dan memberikan akses kepada kelompok tani
Perlindungan Kemitraan Kehutanan hutan untuk dapat mengelola lahan yang
(Kulin KK) antara KTH Harapan Sejahtera ditanami dengan tanaman semusim serta
dengan BP2TPTH Ciheuleut-Bogor seluas meningkatkan kelembagaan LMDH melalui
± 10,75 Ha pada KHDTK Parungpanjang penguatan kapasitas bagi LMDH melalui
di Desa Jagabaya, Kec. Parungpanjang, kegiatan pendampingan oleh penyuluh,
Kab. Bogor, Prov. Jawa Barat. pelatihan dan magang.
2. Surat Keputusan Menteri LHK Nomor Akses kelompok tani hutan untuk
SK.7089/MENLHK-PSKL/PKPS/ dapat mengelola lahan dituangkan
PSL.0/8/2019 tentang Pengakuan dan dlam kesepakatan legal berupa Naskah
Perlindungan Kemitraan Kehutanan Kesepakatan Kerjasama (NKK) yang disusun
(Kulin KK) antara KTH Guna Bakti dengan dalam jangka waktu lima tahun dan dapat
BP2TPTH Ciheuluet –Bogor seluas ± 8,75 diperbaharui. Di dalam NKK tertuang
Ha pada KHDTK Parungpanjang di Desa kontribusi petani penggarap dan Perhutani
Jagabaya, Kec. Parungpanjang, Kab. dengan pola bagi hasil, dimana 70 % untuk
Bogor, Prov. Jawa Barat. petani dan 30 % untuk Perhutani. Dengan
b. Kemitraan Kehutanan (Kulin-KK) LMDH adanya NKK maka petani penggarap
Wono Lestari memiliki kekuatan di mata hukum. Kedua
belah pihak duduk setara, sehingga
Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) kepastian usaha menjadi lebih jelas. LMDH
Wono Lestari terbentuk pada tahun 2006. Wono Lestari dapat mengakses modal dari
Awalnya LMDH merupakan kelompok tani Bank BNI dengan total 3,3 Milyar. Modal ini
hutan yang menggarap lahan Perhutani kemudian disalurkan melalui Kredit Usaha
dengan pola Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (KUR) dan anggota kelompok tani
Masyarakat (PHBM). LMDH Wono Lestari memanfaatkan KUR untuk menambah
berlokasi di Desa Burno, Kecamatan kepemilikan ternak sapi.
Senduro, Kabupaten Lumajang, Provinsi
Jawa Timur. c. Kemitraan Kehutanan (IPHPS) Kelompok
Tani Mina Bakti
Jenis usaha yang telah dilakukan oleh
LMDH Wono Lestari terdiri dari komoditas Wilayah kelola IPHPS Kelompok Tani Mina
pisang kirana, kopi, palawija, empon- Bakti berlokasi di Muara Gembong, Bekasi,
empon dan tanaman pertanian lainnya Jawa Barat. Muara Gembong adalah
kawasan hutan negara dengan fungsi
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 497
Perhutanan Sosial
produksi. Sebelum adanya IPHPS, kawasan di atas lahan milik rakyat, baik petani
hutan Muara Gembong hanyalah berisikan perseorangan maupun bersama-sama atau
semak belukar dan tidak dikelola dengan badan hukum.
baik.
Dalam Kepmenhut Nomor 49/Kpts-II/1997,
Pada 2017, Kelompok Tani Mina Bakti pengertian atau definisi mengenai hutan
memperoleh SK Sosial IPHPS Nomor 3767/ rakyat adalah suatu lapangan bertumbuhan
MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/7/2017 yang pohon-pohon di atas tanah milik dengan
berjumlah 38 KK dengan luasan 80,9 ha. luas minimal 0,25 ha, dan penutupan tajuk
Setiap KK memperoleh lahan garapan tanaman kayu-kayuan minimal 50% dan
seluas 2 ha. atau pada tahun pertama jumlah batang
minimal 500 batang/ha.
Setelah mendapatkan IPHPS masyarakat
mulai melakukan pemanfaatan kawasan Hutan rakyat, dalam Permenhut Nomor 9
hutan dengan mengembangkan pola Tahun 2013, adalah hutan yang tumbuh di
silvofishery melalui tambak dan kegiatan atas tanah yang dibebani hak milik maupun
konservasi mangrove sebagai bagian dari hak lainnya di luar kawasan hutan dengan
upaya perlindungan ekosistem hutan di ketentuan luas minimal 0,25 ha, penutupan
wilayahnya. Komoditas perikanan yang tajuk tanaman kayu-kayuan dan/atau jenis
dikelola adalah udang vaname. tanaman lainnya lebih dari 50%.
Optimalisasi pemanfaatan lahan tambak Pengembangan hutan rakyat dimaksudkan
dilakukan dengan cara membuat dua untuk mewujudkan tanaman hutan di
kolam untuk budidaya masing-masing luar kawasan hutan negara (lahan milik
seluas 4.000 m2, satu kolam mangrove rakyat) sebagai upaya rehabilitasi lahan
6.000 m2, sedangkan sisa lahan digunakan tidak produktif (lahan kosong/kritis) di DAS
untuk jalan, tanggul, dan infrastruktur prioritas. Adapun tujuannya adalah untuk:
pendukung tambak (saung dan rumah 1. Memulihkan fungsi dan meningkatkan
genset). Tambak yang digunakan di dalam produktivitas lahan dengan berbagai
kegiatan silvofishery menggunakan pola hasil tanaman berupa kayu dan non
komplangan, yaitu luas tambak 60% kayu,
untuk budidaya perikanan dan 40% untuk 2. Memperbaiki kualitas lingkungan dan
konservasi mangrove. mengurangi tekanan penebangan liar di
dalam kawasan hutan negara
3. Memberikan peluang kesempatan
F. Hutan Rakyat kerja dan berusaha, meningkatkan
pendapatan masyarakat,
F.1. Pengertian, Sejarah dan Perkembangan 4. Menjadi alternatif sumber bahan baku
potensial bagi industri kehutanan.
a. Pengertian
Hutan rakyat menjadi salah satu potensi
Menurut penjelasan UU Nomor 5 Tahun sumber daya alam yang memegang
1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok peranan penting dalam pembangunan
Kehutanan, hutan rakyat adalah sebutan sektoral di suatu daerah dan dinilai menjadi
lain untuk hutan yang berstatus hutan solusi untuk mengatasi masalah hutan
milik. Selanjutnya dalam UU Nomor 41 dan kehutanan (Rahmat, 2011; Waluyo
Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan et al., 2010). Bahkan pemerintah telah
rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas menjadikan hutan rakyat sebagai soluasi
tanah yang dibebani hak milik. Pengertian untuk mencukupi kebutuhan bahan baku
ini mencakup semua hutan yang tumbuh industri pemanfaatan hasil hutan kayu
498 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perhutanan Sosial
yang selama ini berasal dari kawasan hutan dengan menanami tanah-tanah kosong
negara. Selain memproduksi kayu, hutan untuk melindungi lahan dari erosi dan
rakyat juga menghasilkan HHBK (Diniyati & meningkatkan kesuburan.
Achmad, 2015). 2. Tahun 1961-1971, Menteri Koordinator
Produksi telah membentuk Panitia
b. Sejarah dan Perkembangan
Penyelamatan Tanah dan Air yang
Hutan rakyat sudah dikenal masyarakat membuat program penanaman dengan
sejak jaman dahulu sebagai budidaya 3 sasaran yaitu a) pelaksanaan gerakan
tanaman kayu di lahan kering, di mana penghijauan secara besar-besaran,
tanaman kayu biasanya hanya ditanam b) pelaksanaan reboisasi di kawasan-
di sekeliling batas lahan agar berfungsi kawasan hutan yang gundul, dan c)
sebagai pagar hidup untuk melindungi penyelenggaraan pekan penghijauan
tanaman pangan dari gangguan hama setiap bulan Desember tiap tahun.
babi, dan ternak yang dilepas liar, seperti Gerakan ini berhasil menghijaukan tanah
sapi, kambing dan lainnya. Khususnya di perkebunan Gunung Mas di kawasan
Pulau Jawa, keadaaan ini dirusak dengan Puncak Kabupaten Bogor dengan
adanya penebangan kayu yang berlebihan tanaman Pinus merkusii.
sejak jaman penjajahan tanpa ada usaha 3. Tahun 1972–1983, muncul Gerakan
penanaman baru. Penebangan terus Gandrung Tatangkalan (Rakgantang)
berlanjut sampai pada kondisi kritis dimana tahun 1972 di daerah Jawa Barat yang
beberapa kawasan sudah kosong dan dipelopori oleh Gubernur Jawa Barat
menyebabkan bencana berupa banjir dan dengan menginstruksikan penanaman
erosi selain kekurangan bahan baku. jenis pohon jeunjing, turi, maesopsis,
tanaman buah-buahan dan jenis-
Perkembangan hutan rakyat tidak terlepas jenis kayu industri lainnya pada tanah
dari program pemerintah Belanda pada penduduk. Selanjutnya diikuti dengan
tahun 1930an dan dilanjutkan oleh Inpres penghijauan 1974–1983.
pemerintah Indonesia. Hutan rakyat mulai
mendapat perhatian yang serius sejak 4. Tahun 1988–1993, Departemen
tahun 1951 di mana seorang arsitek Belanda Kehutanan menyelenggarakan program
membangun pacuan kuda di Bogor dengan sengonisasi yang dilanjutkan dengan
menggunakan kayu sengon yang diawetkan membuat program pengendalian tanah
seluruhnya, sementara industri kertas juga kritis melalui program penghijauan
memerlukan bahan baku yang banyak nasional. Selanjutnya pemerintah dalam
sehingga pembangunan hutan dipacu di membantu masyarakat membangun
lahan-lahan milik rakyat yang sekaligus hutan mengeluarkan Kredit Usaha Hutan
merupakan usaha penanggulangan lahan Rakyat atau KUHR (Kepmenhut No. 49/
kritis dan peningkatan usaha tani. Kpts-II/1997).
5. Tahun 2003–2007, Departemen
Pengembangan hutan rakyat terus Kehutanan menyelenggarakan program
dilaksanakan dengan berbagai program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan
sebagai berikut: dan Lahan (GNRHL atau Gerhan) dengan
1. Tahun 1952-1958, merupakan langkah menanami lahan-lahan yang kritis di
awal pemerintah dalam mendorong Daerah Aliran Sungai (DAS) seluruh
pengembangan hutan rakyat terutama Indonesia dengan target 3 juta ha selama
di Jawa secara terorganisasi dengan lima tahun. Ini merupakan gerakan
lahirnya gerakan Karang Kitri. Gerakan ini nasional masyarakat sebagai upaya
dipelopori oleh Dinas Pertanian Rakyat melestarikan lingkungan dan dilakukan
secara terpadu oleh masyarakat, Badan
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 499
Perhutanan Sosial
ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai sendiri atau mengalihkan hak pemanfaatan
dengan ketentuan peraturan perundang- hutan itu pada pihak lain dan si pemilik juga
undangan mengenai perubahan membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
peruntukan dan fungsi kawasan hutan.
Dalam hal pengelolaan hutan hak rakyat
Berdasarkan hal tersebut maka secara tidak ada rujukan prosedur dan pengajuan
umum perkembangan hutan rakyat telah yang secara tegas baik dari pemerintah
melewati orientasi pengembangan, yaitu dan pemerintah daerah dalam hal
(1) pembangunan hutan rakyat untuk pengelolaannya. Oleh karena itu hutan yang
menyelesaikan permasalahan lingkungan dikelola oleh masyarakat tidak sepenuhnya
khususnya lahan kritis dan konservasi bergantung pada hukum formal akan tetapi
lahan; (2) pemanfaatan hasil hutan rakyat pengelolaan hutan dilakukan berdasarkan
kayu untuk pemenuhan kebutuhan sendiri; norma-norma yang diwariskan atau
(3) hasil hutan rakyat kayu mulai menjadi pengetahuan kearifan lokal.
komoditas ekonomi; (4) Pengelolaan hutan
rakyat secara lestari berdasarkan beberapa Hutan rakyat dibangun di atas lahan milik
skema sertifikasi. Pengusahaan hutan rakyat masyarakat, pengelolaannya dilakukan
terus berkembang dan bertambah luas secara individu pada tingkat keluarga
baik melalui swadaya masyarakat maupun meliputi kelola sumber daya, kelola usaha
melalui program-program pemerintah (kelola bisnis) dan penetapan kebijakan
lainnya. dalam mengelola hutan rakyat berada
pada tingkat keluarga. Petani hutan rakyat
Dari beberapa pengamatan diketahui bergabung dalam Kelompok Tani Hutan
bahwa karakteristik jenis tanaman hutan Rakyat (KTHR) untuk mengembangkan
rakyat di setiap daerah berbeda-beda pengetahuan dan ketrampilan, serta
karena dipengaruhi faktor biofisik dan membangun kesepahaman dalam rangka
sosial ekonomi. Namun secara umum untuk mengelola hutan rakyat, dan belum
jenis-jenis tanaman yang disukai petani, bertujuan untuk malakukan pengelolaan
terutama di Jawa, antara lain jati, hutan rakyat secara bersama.
mahoni, suren, akasia, pinus, albasia dan
sonokeling. Manfaat hutan rakyat sangat Pembentukan kelompok didasarkan pada
tinggi terutama pada hutan rakyat pola keinginan petani untuk belajar bersama
agroforestri. Menurut riset, pola tanam yang kemudian dikembangkan untuk
hutan rakyat sebaiknya dilakukan dengan mendukung program program pemerintah
sistem penaman campuran karena dapat terkait dengan pengembangan hutan rakyat
memberikan kontribusi yang cukup tinggi Dalam perkembangannya, pemerintah
kepada pendapatan petani baik manfaat kemudian membuat kebijakan tentang
jangka pendek (hasil bukan kayu) maupun pengembangan hutan rakyat di antaranya
manfaat jangka panjang (hasil kayu). Permenhut Nomor P.02/ Menhut-V/2004,
F.2. Prosedur, Cara Pengajuan dan Regulasi Gerakan Rehabilitasi Hutan Lahan atau
Gerhan melalui Perpres Nomor 89 Tahun
Pada awal pengembangannya, keberadaan 2007, penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat
hutan rakyat belum mendapat perhatian berdasarkan Permenhut Nomor 24/
khusus. Negara lebih fokus pada hutan Menhut-II/2010).
alam/negara yang dikelola dalam bentuk
hak pengusahaan hutan. Hutan yang Untuk mengatur pemasaran dan peredaran
berada pada tanah milik, tentu saja kayu rakyat, kemudian terbit Permenhut
umumnya memiliki bukti kepemilikan dan Nomor P.26/Menhut-II/2005, tentang
dengan bukti itu berhak memanfaatkan Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak/Rakyat.
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 501
Perhutanan Sosial
rakyat akibat dari perubahan fungsi yang biasa dikembangkan adalah albizia,
kawasan hutan dari fungsi produksi jati, jabon atau mahoni dalam hamparan
menjadi fungsi lindung perlu pemberian luasan kecil. Pada saat tanaman kayu
kompensasi atau insentif bagi petani untuk belum tertutup tajuknya (1-2 tahun)
mengganti nilai tersebut. Untuk itu terbit umumnya diusahakan tumpangsari
PermenLHK Nomor P.21/Menlhk/Setjen/ dengan tanaman semusim seperti padi,
kum.1/4/2019. Besarnya insentif dan palawija, ketela pohon dan tanaman
skema pembayaran jasa lingkungan yang rempah seperti jahe, kencur dan lain-
menarik bagi petani hutan rakyat sebagai lain. Hutan rakyat murni lebih mudah
penyedia jasa lingkungan perlu kajian lebih dalam pembuatan, pengelolaan dan
lanjut beserta bentuk kelembagaannya. pengawasannya, namun mempunyai
beberapa kelemahan, diantaranya
Untuk pengembangan hutan rakyat perlu kurang tahan terhadap serangan hama
terlebih dahulu mengetahui produksi dan penyakit serta serangan angin. Dari
kayu dan jenis kayu dari hutan segi ekonomi hutan rakyat murni kurang
rakyat yang dibutuhkan oleh industri lentur karena tidak ada diversifikasi
perkayuan yang ada. Selanjutnya perlu komoditi, sedangkan penyerapan tenaga
diketahui luas hutan rakyat yang sudah kerja lebih bersifat musiman.
dibangun, jenis-jenis tanaman hutan
2. Pola hutan rakyat campuran. Dalam satu
rakyat, kelas (sebaran) umum, dan
hamparan ditanam 2-5 jenis tanaman
lokasi sehingga dapat diperkirakan potensi
kayu seperti albizia, mahoni, maesopsis,
hutan rakyat yang dapat dipanen secara
suren, jati, jabon dan seringkali juga
lestari. Pertimbangkan juga produksi
dicampur dengan buah-buahan.
kayu dari hutan negara baik dari HPH,
Kombinasi yang dilakukan berbeda
HPHTI, maupun Hutan Tanaman Rakyat
antar petani dan antar daerah. Dari
berdasarkan potensi hutan yang tersedia.
segi silvikultur cara ini lebih baik dari
Target produksi yang melebihi kemampuan pada hutan rakyat murni. Jarak tanam
akan menyebabkan turunnya potensi masing-masing jenis tanaman dalam
hutan rakyat yang pada gilirannya akan satu hamparan pemilik biasanya tidak
menyebabkan pengelolaan hutan tidak teratur. Jumlah pohon setiap jenis
lestari. Tolok ukur yang dapat digunakan bervariasi demikian juga dalam satu jenis
untuk mengetahui potensi hutan rakyat dijumpai variasi umur berbeda. Hutan
adalah luas lahan, volume kayu dan jumlah rakyat campuran mempunyai daya tahan
pohon baik dari jenis yang dominan maupun terhadap serangan hama dan penyakit
dari jenis yang tidak dominan. serta gangguan angin karena terdiri dari
beberapa lapisan tajuk, demikian pula
lapisan perakaran sangat bervariasi. Dari
F.3. Implementasi Hutan Rakyat segi ekonomi, hutan rakyat campuran
mempunyai ketahanan dan kelenturan
a. Pola Tanam Hutan Rakyat yang lebih tinggi, karena terdapat
diversifikasi komoditi dan hasil bertahap
Berdasarkan pola tanamnya, hutan rakyat yang berkesinambungan. Tenaga kerja
dibagi dalam 3 kelompok yaitu hutan rakyat yang terserap akan jauh lebih banyak.
murni, hutan rakyat campuran, dan hutan Namun demikian dalam pelaksanaannya
rakyat agroforestri. Ciri masing-masing pola mulai dari perencanaan, perancangan,
sebagai berikut: pengelolaan dan pengawasannya
1. Pola tanam hutan rakyat murni, ditanam memerlukan keterampilan dan keahlian
satu jenis tanaman kayu-kayuan. Jenis yang memadai.
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 503
Perhutanan Sosial
3. Pola tanam hutan rakyat agroforestri/ yang dipilih harus sesuai dengan
wanatani. Dalam satu areal ditanami iklim, jenis tanah dan kesuburan serta
kombinasi antara tanaman kayu- keadaan fisik wilayah. Agar produktivitas
kayuan dengan tanaman perkebunan, maksimal.
pertanian, tanaman pangan, peternakan 2. Aspek sosial, yaitu jenis yang dipilih harus
dan lain-lain secara terpadu. Pola jenis yang sudah dikenal masyarakat
tanam agroforestri berorientasi kepada dan sudah diketahui teknologi
optimalisasi pemanfaatan lahan, baik dari penanamannya.
segi ekonomi maupun ekologis. Untuk 3. Cepat menghasilkan setiap saat, dikenal
dapat mengoptimalkan produktivitas dan disukai masyarakat serta mudah
lahan, maka perlu adanya pengaturan dibudidayakan.
tata ruang dan tata letak tanaman 4. Aspek ekonomi, yaitu dapat memberikan
Penerapannya di lapangan dilakukan penghasilan dan mudah dipasarkan serta
dengan cara pemanfaatan suatu lokasi memenuhi standar bahanbaku industri.
ruang tumbuh (baik vertikal maupun
horisontal), dalam bentuk kombinasi Pertimbangan pemilihan jenis pohon kayu
penanaman jenis kayu-kayuan, buah- harus disesuaikan dengan peruntukkannya,
buahan, tanaman industri, tanaman yaitu apakah untuk kayu pertukangan,
pangan, hijauan makanan ternak, kayu bakar, bahan baku industri atau untuk
tanaman obat-obatan, lebah madu, perbaikan hidrologi. Beberapa persyaratan
peternakan atau lainnya. Kelebihan dalam pemilihan jenis berdasarkan
pola tanam hutan rakyat agroforestri peruntukkannya adalah:
yaitu mempunyai daya tahan yang kuat 1. Untuk kayu pertukangan, jenis yang
terhadap eksplosif hama dan penyakit. dipilih harus mempunyai nilai ekonomi
Secara ekonomis, dari hutan agroforestri tinggi, kualitas batang baik, produksi
akan diperoleh keuntungan ganda melalui tinggi dan harga atau pasaran cukup
pemanenan yang berkesinambungan, baik. Jenis tersebut antara lain sengon,
yaitu pemanenan harian, mingguan, mahoni, sonokeling, suren dan jati.
bulanan musiman dan tahunan. Tenaga 2. Untuk bahan baku industri (kertas, pulp,
kerja yang diserap akan jauh lebih korek api, dan lain-lain) jenis yang dipilih
banyak dan berkesinambungan. Pola harus mempunyai nilai ekonomi tinggi,
tanam agroforestri banyak dinilai oleh bersifat cepat tumbuh, dapat tumbuh di
para ahli sebagai pola tanam yang berbagai kondisi lahan dan mempunyai
paling cocok untuk wilayah-wilayah riap yang tinggi, seperti sengon,
berpenduduk padat, baik ditinjau ekaliptus, kayu afrika, damar, pulai dan
dari fungsi ekonomi (pendapatan pinus.
masyarakat), fungsi sosial (penyerapan 3. Untuk kayu bakar, jenis yang dipilih
tenaga kerja) maupun fungsi lingkungan. harus mempunyai nilai kalori panas
Namun demikian pelaksanaannya yang tinggi, cepat tumbuh dan cepat
memerlukan pengetahuan, keterampilan menghasilkan terubusan jika dipangkas,
dan keahlian. seperti lamtorogung, akasia, kaliandra
dan gamal.
b. Pemilihan Jenis Hutan Rakyat 4. Untuk perbaikan hidrologi, jenis yang
dipilih harus memenuhi syarat yaitu cepat
Dalam memilih jenis pohon untuk hutan tumbuh, bertajuk lebar, memberikan
rakyat harus dipenuhi beberapa hal agar serasah yang banyak, dapat tumbuh
jenis yang diusahakan dan dikembangkan pada lahan kritis, mempunyai sistem
dapat menghasilkan secara optimal, yaitu: perakaran yang dalam, melebar dan
1. Aspek lingkungan, yaitu dimana jenis kuat, mudah ditanam, tahan terhadap
504 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perhutanan Sosial
termasuk hutan adat sebagai bagian dari ke dalam pasal 18B ayat (2) yang berbunyi:
keberadaan masyarakat hukum adat “Negara mengakui dan menghormati
(Salam, 2016). Secara lebih terperinci kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
(Zakaria, 2016) memaknai putusan tersebut adat serta hak-hak tradisonalnya
mengatur bahwa “hutan adat bukan hutan sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
negara; hutan adat adalah bagian dari perkembangan masyarakat dan prinsip
wilayah adat/ulayat masyarakat hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
adat; hak masyarakat adat diakui jika diatur dalam undang-undang”.
masyarakat hukum adat itu telah ditetapkan
dalam Peraturan Daerah”. Pasal 28 hasil amandemen, yaitu pasal 28
ayat (3), memperkenalkan terminologi
Firdaus (2018) mengemukakan bahwa baru disamping kesatuan masyarakat
hutan adat adalah hutan yang berada hukum adat, yaitu masyarakat tradisional.
dalam wilayah masyarakat hukum adat Selengkapnya bunyi ayat tersebut adalah:
yang dikelola oleh masyarakat hukum adat. “Identitas budaya dan hak masyarakat
Masyarakat hukum adat yaitu kelompok tradisional dihormati selaras dengan
masyarakat yang secara turun temurun perkembangan zaman dan peradaban.”
bermukim di wilayah tertentu karena
adanya ikatan pada asal usul leluhur, Pasal 33, amandemen terhadap pasal ini
adanya hubungan yang kuat dengan tidak mengubah tiga ayat yang telah ada
lingkungan hidup, dan adanya system nilai sebelumnya, melainkan menambah dua
yang menentukan pranata ekonomi, politik, ayat baru lagi sehingga secara keseluruhan
sosial dan hukum. pasal 33 hasil amandemen terdiri atas
lima ayat. Artinya, hak menguasai dari
Agung et al. (2018)mengemukakan bahwa negara (HMN), sebagai inti dari pasal 33,
hutan adat adalah salah satu mekanisme tetap dipertahankan, dan satu tambahan
pengelolaan hutan yang mengakui ayat baru yaitu ayat 5 menyatakan
eksistensi dan memberikan ruang lebih bahwa “ketentuan lebih lanjut mengenai
kepada masyarakat hukum adat untuk pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-
mengelola hutan dan sumber daya alam undang”.
sekitarnya, sesuai kearifan lokal dan
pengetahuan tradisionalnya yang telah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967
berlangsung secara turun temurun. Hutan tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
adat memiliki fungsi ekologis, ekonomi, Kehutanan yang mengawali kategorisasi
sosial dan budaya. pemilikan hutan sebagai “hutan negara”.
Pada pasal 17 dijelaskan norma-norma
Di dalam UUD 1945, beberapa pasal yang pada UU Nomor 5 Tahun 1967 yaitu
terkait erat dengan masyarakat hukum adat mendefinisikan hutan adat sebagai
dan hak ulayatnya adalah pasal 18, pasal 28, hutan negara dan kondisionalitas dalam
dan pasal 33. Untuk tiga pasal ini, terdapat pengakuan negara terhadap hak ulayat.
perubahan-perubahan yang dihasilkan
melalui empat kali amandemen. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan menggantikan UU
Pasal 18 UUD 1945 adalah pasal yang Nomor 5 Tahun 1967. Dalam konteks hutan
mengusung “hak-hak asal-usul dalam adat, beberapa norma dari undang-undang
daerah-daerah yang bersifat istimewa”, sebelumnya masih diteruskan oleh UU 41
setelah amandemen dipecah ke dalam Tahun 1999 tersebut. Di antara norma-
tiga pasal (yaitu pasal 18, 18A, dan 18B). norma tersebut adalah tetap mendefinisikan
Sebagaimana hasil amandemen, ketentuan hutan adat sebagai hutan negara; dan
tentang masyarakat hukum adat dituangkan mempertahankan kondisionalitas dalam
506 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perhutanan Sosial
Gambar 7.7. Bagan Alur Permohonan Hutan Adat kepada Menteri LHK
(sumber: https://www.cifor.org/knowledge/publication/6589)
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 509
Perhutanan Sosial
peta hutan adat dan wilayah indikatif hutan Tanjuong Kulim, zona Koto Nagagho, zona
adat seluas ± 950.129 ha. Hutan adat seluas Cubodak Mangka’ak, zona Sialang Layang,
± 35.202 ha telah mendapatkan keputusan zona Halaman Kuyang, zona Kala Mutuong,
penetapan oleh Menteri LHK, sedangkan dan zona Panoghan.
± 914.927 ha hutan adat yang telah
mendapat penunjukan dari Menteri LHK Zona Ngimbo Potai berada di Desa Koto
berdasarkan persetujuan Bupati/Walikota Tibun yang dikelola oleh ninik mamak suku
untuk kemudian akan ditetapkan menjadi Domo (Datuok Godang), zona Tanjuong
hutan adat setelah memenuhi kelengkapan Kulim, Koto Nagagho, dan Cubodak
persyaratan. Mangka’ak terletak di Desa Pulau Sarak
dikelola ninik mamak suku pitopang
Keputusan Menteri LHK tentang Peta Hutan (Datuok Rajo Mangkuto), zona Sialang
Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Layang terletak di Desa Padang Mutung
dimaksudkan untuk menjamin usulan- dan Desa Rumbio yang dikelola oleh ninik
usulan di daerah yang telah memiliki subjek mamak suku pitopang (Datuok Ulak Simano
dan objek masyarakat hukum adat dapat atau Datuok Tumongguong), sedangkan
ditetapkan/dicantumkan hutan adat di masa zona Halaman Kuyang, Kala Mutuong,
yang akan datang. Hal tersebut didasari dan Panoghan terletak di Desa Rumbio
pertimbangan bahwa masih banyak usulan yang dikelola oleh ninik mamak suku
hutan adat yang belum dilengkapi dengan pitopang (Datuok Ulak Simano atau Datuok
Peraturan Daerah tentang Pengakuan Tumongguong).
Masyarakat Hukum Adat.
Meskipun kawasan Hutan Larangan Adat
G.2. Contoh Implementasi Hutan Adat Rumbio dikuasai oleh tiga ninik mamak
(Datuok Ulak Simano, Datuk Rajo Mangkuto
a. Pengelolaan Hutan Larangan/Lindung dan Datuok Godang), tetapi mereka
Adat Rumbio tetap bersama-sama dalam memutuskan
Salah satu tanah ulayat masyarakat adat sesuatu yang terkait dengan kawasan hutan
Kenegerian Rumbio yang telah diakui Larangan adat ini. Apabila salah seorang
oleh Pemerintah Kabupaten Kampar diantara mereka tidak menyetujui kegiatan
adalah hutan larangan atau hutan lindung. atau program terkait dengan hutan larangan
Kawasan Hutan Larangan Adat Rumbio maka kegiatan tersebut tidak dapat atau
merupakan hutan lindung yang sampai tidak boleh dilaksanakan.
saat ini masih dijaga kelestariannya sebagai Seluruh masyarakat yang ada di Kenegerian
hutan lindung adat sesuai aturan adat Rumbio dan seluruh ninik mamak serta anak
istiadat lokal. Berlakunya hukum adat di kemenakan berkewajiban untuk menjaga
Kenegerian Rumbio terbukti dapat menjaga Hutan Larangan Adat Kenegerian Rumbio,
kelestarian Hutan Larangan Adat. terutama Datuk Ulak Simano selaku
Hutan Larangan Adat Rumbio memiliki penguasa Hutan Larangan Adat Kenegerian
luas 530 ha, yang kawasannya mencakup Rumbio. Secara adat, penerapan hukumnya
empat desa, yaitu Desa Padang Mutung, lebih cenedrung kepada efek jera (sanksi
Koto Tibun, Pulau Sarak dan Rumbio. Hutan sosial) yang didasarkan kepada rasa malu
ini dikelola oleh masyarakat adat, dan yang ditanamkan oleh agama bukan
telah tertata sejak dahulu sesuai dengan berdasarkan materi ataupun angka-angka.
ketentuan adat yang ada. Motto dan slogan dari masyarakat Adat
Kawasan hutan ini terbagi ke dalam delapan Kenegerian Rumbio yaitu ”hutan adalah
zona, yaitu yaitu zona Ngimbo Potai, zona warisan nenek moyang dan titipan dari
anak cucu kemenakan”. Untuk itu baik ninik
510 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perhutanan Sosial
mamak selaku pemangku adat dan seluruh Hukum adat di Kenegerian Rumbio
masyarakat adat yang ada di Kenegerian memiliki peraturan yang sangat ketat
Rumbio selamanya berkewajiban untuk tentang hutan larangan adatnya terutama
menjaga dan melestarikan Hutan Larangan pengambilan hasil hutan berupa kayu. Jika
Adat Kenegerian Rumbio. Hal ini merupakan terjadi perusakan hutan larangan adat oleh
bentuk dari memegang amanah yang orang-orang yang tidak bertanggung jawab,
diwariskan oleh nenek moyang dan titipan terutama penebangan/pencurian kayu,
untuk anak cucu yang akan datang. maka orang tersebut akan diproses menurut
hukum adat yang berlaku di Kenegerian
Prinsip-prinsip dari masyarakat adat seperti Rumbio. Sanksi/hukuman yang diberikan
“manyanguok ayu ka kaki bukik, mancai kepada pelaku berupa denda (uang) sesuai
angin ka ate bukik, kabukik mandapek angin dengan kesepakatan para Ninik Mamak
kalugha mandapek ayu, ditonga-tonga diwaktu sidang, biasanya tiga kali lipat dari
ghimbo iduik”. Maksudnya, hidup ini perlu harga kayu yang dicuri. Denda yang dibayar
udara, air, sandang, papan, dan pangan. oleh pelaku akan digunakan untuk kegiatan
Semua itu disimpan, dikelola dan diproses sosial seperti merenovasi Musholla,
oleh hutan. Di dalam hutan ada berbagai sekolah, jalan dan lain sebagainya.
bentuk flora dan fauna, ada air dan udara
yang merupakan sumber kehidupan. Oleh b. Pengelolaan Hutan Adat Oleh
karena itu hutan perlu dijaga kelestariannya Masyarakat Adat Kasepuhan
oleh seluruh masyarakat demi kepentingan
semua masyarakat. Masyarakat adat memiliki pengetahuan
secara turun termurun dalam memelihara
Rencana pengelolaan hutan larangan dan memanfaatkan sumber daya hutan
disusun melalui musyawarah oleh yang ada disekitarnya. Dalam menjaga
ninik mamak pengelola hutan larangan keberlangsungan fungsi hutan, maka
bersama dengan anak kemenakannya, peran masyarakat adat dalam pengelolaan
yang sekarang tergabung dalam organisasi sumber daya hutan adat sangat diperlukan.
Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan
Hidup Sejati (SPKP). Kenegerian Rumbio Masyarakat Kasepuhan adalah suatu
memiliki peraturan khusus dalam menjaga komunitas yang dalam kesehariannya
kelestarian hutan larangan adatnya. menjalankan pola perilaku sosio-budaya
tradisional yang mengacu pada karakteristik
Dalam aturan adat Kenegerian Rumbio Sunda pada abad ke-18. Masyarakat
terdapat dua bentuk aturan dalam menjaga Kasepuhan sudah menerapkan pola
kelestarian hutan adatnya, yaitu peraturan pemanfaatan hutan yang berkelanjutan,
berupa larangan dan peraturan berupa dengan menggunakan sistem zonasi
hal yang boleh dilakukan. Hal-hal yang leuweung kolot, leuweung titipan dan
dilarang di dalam hutan larangan adat leuweung bukaan (Pratiwi et al., 2019).
adalah: menebang pohon tanpa izin dari
ninik mamak; membakar hutan; mengalih Mahkamah Konstitusi (MK) menyebutkan,
fungsikan lahan hutan, berburu satwa, sejak awal keberadaannya hingga saat ini,
takabur jika memasuki hutan, berbuat eksistensi Kasepuhan Cisitu selain secara
maksiat dan berkata-kata kotor di dalam hukum telah diakui melalui Surat Keputusan
hutan. Adapun hal-hal yang boleh dilakukan Bupati Lebak, juga senantiasa menjaga
di dalam hutan larangan adat adalah dan melaksanakan semua aktivitas adat
mengambil kayu bakar, mengambil buah- istiadat yang ada dan berlaku bagi kesatuan
buahan yang telah matang dan melakukan masyarakat adat Kasepuhan Cisitu (Zakaria,
penelitian ilmiah. 2014).
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 511
Perhutanan Sosial
Struktur adat Kasepuhan Cisitu mempunyai maka masyarakat akan sejahtera, tenteram
fungsi dan peran masing-masing individu dan damai (Anonim, 2010).
dalam menjalankan tugas. Keberadaan
dan eksistensi Kasepuhan Cisitu telah Wilayah adat atau disebut sebagai
mendapatkan pengakuan dari Pemerintah wewengkon Kasepuhan Cisitu terletak di
Daerah Kabupaten Lebak, Banten, melalui sebelah selatan Pegunungan Halimun.
Surat Keputusan Bupati Lebak Nomor 430/ Secara administratif, wewengkon
Kep.318/Disporabudpar/2010 tentang ini terletak di Kecamatan Cibeber.
Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Berdasarkan pemetaan partisipatif awal
Cisitu, Kesatuan Sesepuh Adat Cisitu Banten 2010 yang difasilitasi Aliansi Masyarakat
Kidul di Kabupaten Lebak tertanggal 7 Juli Adat Nusantara (AMAN), Jaringan Kerja
2010. Secara administrasi, Kasepuhan Cisitu Pemetaan Partisipatif (JKPP), dan Forest
berada di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Watch Indonesia (FWI), luas wewengkon
Lebak, Banten. Mata pencaharian utama Kasepuhan Cisitu 7.200 ha.
masyarakat adalah bertani. Khusus hasil Kasepuhan Cisitu mempunyai kearifan
pertanian padi, tidak diperjualbelikan, dalam mengelola wilayah adatnya. Hak atas
sementara hasil komoditas lainnya, boleh tanah dan pengelolaan wilayah berdasarkan
dijual (Anonim, 2010). kearifan tradisional membagi wewengkon
Kasepuhan Cisitu merupakan lembaga adat menjadi hutan titipan, hutan tutupan dan
memiliki struktur lembaga sendiri untuk lahan garapan/bukaan.
menjalankan aturan dan adat istiadat 1. Hutan titipan adalah kawasan hutan
yang mereka percayai dari leluhurnya. yang tidak boleh diganggu. Kawasan ini
Struktur kelembagaan adat di Kasepuhan biasanya dikeramatkan. Secara ekologis,
Cisitu sudah ada sejak sekitar tahun 1621. kawasan ini juga merupakan kawasan
Struktur lembaga adat ini merupakan tugas yang sangat penting dalam menjaga
yang diturunkan secara turun temurun lingkungan dan merupakan sumber
kepada anak dan incu putu (cucu), kecuali kehidupan.
Tutunggul lembur (Kasepuhan) yang dipilih 2. Hutan Tutupan; yaitu kawasan hutan
berdasarkan wangsit yang diterima. Konsep yang dimanfaatkan untuk kepentingan
yang dituturkan secara turun temurun yang kepentingan masyarakat. Umumnya,
berkaitan dengan pengelolaan lingkungan pemanfaatannya secara terbatas yaitu
hidup (wewengkon) dan menata kehidupan untuk pemanfaatan HHBK, tanaman
warga adat (incu putu). obat, rotan, madu. Kawasan ini juga
berfungsi sebagai penjaga mata air.
Kasepuhan Cisitu mempunyai konsep 3. Lahan Garapan yaitu kawasan budidaya
sebagai berikut; “tilu sapamulu, dua yang dimanfaatkan untuk sawah,
sakarupa, nu hiji eta-eta keneh”, yang artinya pemukiman, kebun dan prasrana lainnya.
adalah “tiga sejenis, dua yang serupa, satu Sistem penguasaan dan pengelolaan
yang itu-itu juga”. Konsep ini merupakan wilayah keseimbangan antara fungsi
prinsip atau aturan harus salaing sinergi dan konservasi dan budidaya (Anonim, 2010).
memiliki harmonisasi dalam masyarakat.
Tilu sapamulu adalah tiga unsur penegak Aturan adat yang berkaitan dengan
kebijakan yang harus diselaraskan dalam pengelolaan yaitu seren taun/sarah taun
penerapannya. Masyarakat adat Kasepuhan dan salapan taunan (bersih bumi). Konsep
Cisitu menganut hukum dari 3 unsur yang dituturkan secara turun temurun
tersebut yang terdiri atas nagara, syara berkaitan dengan pengelolaan wilayah dan
dan mohaka (negara, agama, dan adat). menata komunitasnya, berbunyi sebagai
Ketiganya jika dijalankan dengan benar berikut: “Tilu sapamulu, dua saka rupa
512 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perhutanan Sosial
nu hiji eta keneh” artinya “Tiga sejenis, mengikuti aturan adat. Penanaman padi
dua yang serupa, satu yang itu-itu juga”. akan dilakukan jika sudah mendapatkan ijin
Konsep tersebut merupakan prinsip, yaitu dari Kaolotan atau pemimpin adat (waktu
aturan harus saling sinergi dan memiliki menanam ditentukan oleh ketua adat).
harmonisasi di masyarakat. Selain itu, mereka juga mengikuti aturan
masa panen, yaitu satu tahun kali.
Tiga sapamulu adalah tiga unsur penegak
kebijakan yang harus diselaraskan Selain bertani masyarakat Kasepuhan
penerapannya dalam masyarakat. Tiga Cisitu mempunyai sistem berkebun yaitu
unsur tersebut terdiri dari nagara, syara dikenal dengan Kebun Dudukuhan. Pola
dan mokaha (negara, agama dan adat). ini merupakan pemanfaatan lahan bekas
Satu contoh keputusan dari penerapan ladang yang ada disekitar pemukiman
hukum adat adalah tradisi bercocok tanam dan ditanami pohon, buah-buahan, kayu-
di Kasepuhan Cisitu menggunakan kalender kayuan, bambu, aren, rumbia atau kirai dan
musim yang ditandai dengan munculnya tanaman sayuran yang hasilnya digunakan
Bintang Kidang dan Keurti (Anonim, 2010). untuk kebutuhan sehari-hari dan dijual.
Tahapan dalam berkebunumumnya
Sebagian besar incu putu (warga adat) menggunakan langkah-langkah yaitu
Kasepuhan Cisitu, atau sekitar 95 %, nyacar, ngebakar, menanam, ngeberak,
mempunyai matapencaharian sebagai diremui atau menggemburkan tanah.
petani. Dalam bertani, warga adat
Bahan Bacaan
Alam, S., Supratman., dan Yusuf, Y. (2003). Pengelolaan hutan desa di Sulawesi Selatan.
Makalah disusun pada Seminar Nasional Hutan Desa, Yogyakarta.
Anatika, E., Kasyono, H., Febryano, I.G., Banuwa, I.S., Pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten
Tulang Bawang Barat. Jurnal Sylva Lestari 7 (1), 42-51.
Anonim. (2010). Masyarakat adat Cisitu. Diambil kembali dari http://adatnusantara.blogspot.
com/2010/12/kasepuhan-cisitu.html)
Anonim. (2018). Perhutanan sosial: Pengertian, skema, PIAPS, dan implementasinta. Diambil
kembali dari https://www.dkn.or.id/2018/07/26/perhutanan-sosial-pengertian-
skema-piaps-dan-implementasi/
Anonim. (2020). Statistik perhutanan sosial. Dipetik Oktober 21, 2020 dari http://pkps.
menlhk.go.id/index/index#statistik. Diakses 21 Oktober 2020.
Astuti, I. (2019). Hati-hati kelola perhutanan sosial di lahan gambut. Dipetik Oktober 25, 2020
dari https://mediaindonesia.com/read/detail/274403-hati-hati-kelola-perhutanan-
sosial-di-ekosistem-gambut
Awang, S.A. (2010). Hutan desa : Realitas tidak terbantahkan sebagai alternatif model
pengelolaan hutan di Indonesia. Dipetik September 30, 2010 dari http://sanafriawang.
staff.ugm.ac.id/hutan-desa-realitas-tidakerbantahkan-sebagaialternatif-model-
pengelolaan-hutan-di-indonesia.html.
Bambang S. (2020). Kearifan lokal dan hutan adat. Diambil dari https://perempuan.aman.
or.id/wp-content/uploads/2020/07/
Departemen Kehutanan. (1995). Keputusan Menteri Kehutanan No.622/Kpts-II/1995 tentang
Pedoman Hutan Kemasyarakatan. Jakarta: Departemen Kehutanan.
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 513
Perhutanan Sosial
Sumber Daya Hutan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi
Alam.
Widarti, A dan N. Mindawati. (2007). Dasar pemilihan jenis pohon untuk hutan rakyat.
Prosiding Gelar teknologi Pemanfaatan IPTEK. Pusat Peneltian dan Pengembangan
Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.
Widarti, A. (2009). Multi fungsi hutan rakyat pola kebun campuran (Multi function of Small
Scale Private Forest by Using Mix Farming Pattern). Seminar nasional MAPEKI, Bandung.
Widarti, A. (2011). Formulasi perencanaan pola tanam pada hutan rakyat. Makalah pada
Seminar Nasional MAPEKI, UGM, Jogyakarta.
Widayanti WT. (2012). Gaya hidup masyarakat agroforestri herbal dalam mewujudkan
kesejahteraan sosial di Kabupaten Kulon Progo. Laporan Thematic Research Grants,
2011.
Widiati, A. (2003). Kajian kredit usaha hutan rakyat dengan pola kemitraan di Jawa Barat.
Buletin Penelitian Hutan, 635.
Widiyanto J, Hairul B., dan Dahlan. (2012). Potensi dan strategi pengembangan hutan rakyat
di Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh. Jurnal Manajemen Sumberdaya Lahan 1 (1), 1-9.
Wiratno. (2017). “Perebutan” ruang kelola: refleksi perjuangan dan masa depan perhutanan
sosial di Indonesia. Disampaikan Pada Pidato Dies Natalis Fakultas Kehutanan Ugm
Ke-54.
Wiratno. (2018). Sepuluh cara baru kelola kawasan konservasi di Indonesia: Membangun
organisasi pembelajar. Jakarta: Ditjen KSDAE KLHK.
Wiyono, E. B., & Santoso, H. (2009). Hutan desa: kebijakan dan mekanisme kelembagaan.
Working Group Pemberdayaan. Jakarta: Departemen Kehutanan.
Wulandari C. (2018). Policies That Transform Shifting Cultivation, and Encourage Community-
Based Forest Management in Lampung Province, Indonesia. CABI.
Zakaria R.Y. (2014). Kriteria masyarakat (hukum) adat dan potensi implikasinya terhadap
perebutan sumberdaya hutan pasca-putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012. Wacana
Jurnal Transformasi Sosial , 33 (16), 99-135.
Zakaria, R. Y. (2016). Strategi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat (hukum) adat:
Sebuah pendekatan sosio-antropologis 1. Bhumi, 2, 133–150.
Jelutung Muda di Ujung Senja
Suningsih
BAB VIII
PERUBAHAN IKLIM
SEKTOR KEHUTANAN
Dalam tataran global, dikenal ada empat terjadi adalah perubahan cuaca atau iklim
sektor yang berkontribusi terhadap sehingga menjadi ancaman bagi planet
peningkatan gas rumah kaca yang bumi.
berdampak kepada perubahan iklim. Ke-
empat sektor tersebut adalah energi Perbedaan antara cuaca dan iklim adalah
(termasuk industri dan transportasi), pada rentang waktunya. Cuaca adalah
pertanian, limbah serta kehutanan dan kondisi sehari-hari yang terjadi di atmosfer,
perubahan lahan. sementara iklim adalah karakteristik
atmosfer selama periode yang relatif lama,
Keberadaan dan kelestarian hutan ternyata seperti beberapa tahun, dekade atau abad.
sangat penting terhadap kondisi iklim. Perubahan iklim merupakan perubahan
Pemanasan global yang sudah dan akan rata-rata dari cuaca harian pada jangka yang
terus menimbulkan berbagai bencana panjang. Perubahan iklim ditandai dengan
alam di permukaan bumi, dapat dicegah musim panas yang berlangsung lebih panas
dan dikurangi melalui pembangunan atau lebih banyak turun hujan pada waktu
dan pengelolaan hutan yang lestari. tertentu.
Pengetahuan tentang bagaimana peran
hutan dalam perubahan iklim tersebut Peningkatan suhu rata-rata atau semakin
dikemukakan sebagai berikut. panasnya planet bumi adalah akibat
langsung dari peningkatan gas rumah kaca
A. Pengertian yang dihasilkan oleh kegiatan manusia. Efek
rumah kaca (geenhouse effect) tersebut
Perubahan iklim (climate change) dapat merupakan efek yang ditimbulkan ketika
didefinisikan sebagai suatu perubahan gas-gas rumah kaca menahan radiasi balik
rata-rata jangka panjang yang ditentukan matahari yang dipancarkan bumi dalam
dari nilai tengah parameter cuaca dalam bentuk panas sehingga memanaskan
mengukur kondisi iklim atau variabilitasnya. atmosfer bumi.
Paramater tersebut antara lain termasuk
suhu udara, curah hujan dan kecepatan Beberapa gas rumah kaca penting yang
angin. berkontribusi terhadap pemanasan global
adalah:
Perubahan iklim tersebut disebabkan
1. Karbon diokasida (CO2), adalah gas yang
oleh pemanasan global (global warming).
terdapat diatmosfer, dihasilkan sebagai
Pemanasan global adalah meningkatnya
produk sampingan dari pembakaran,
suhu rata-rata atmosfer bumi dari tahun
contohnya, bahan bakar fosil dan
ke tahun yang menyebabkan terjadinya
biomasa yang membusuk atau terbakar.
perubahan iklim. Secara sederhana
Karbon dioksida juga dapat dilepaskan
pemanasan global adalah peningkatan
ketika terjadi kegiatan alihguna lahan
suhu-rata permukaan bumi dalam jangka
dan kegiatan industri.
panjang. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan suhu rata-rata 2) Metana (CH4), gas yang dihasilkan dari
yang mengkhawatirkan. Dampak yang aktivitas mikro-organisme, sawah dan
gas alam.
520 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perubahan Iklim Sektor Kehutanan
3) Nitrogen Oksida (NO), yang dihasilkan Selain itu, suhu rata-rata yang meningkat
dari kegiatan pertanian melalui telah mencairkan es di kutub sehingga
pemupukan tanaman permukaan laut meningkat. Peningkatan
4) Chloro Fluro Carbon (CFC), gas yang tinggi muka air laut telah dan akan
digunakan dalam proses pendinginan mengancam keberadaan pulau-pulau kecil
seperti kulkas dan pendingin ruangan. dan wilayah yang berada di sepanjang
pantai.
Planet bumi diselimuti oleh lapisan atmosfer
yang terdiri dari bermacam-macam gas
B. Peranan Hutan terhadap Perubahan
dengan fungsi yang berbeda-beda. Gas-
Iklim
gas yang berfungsi dalam menjaga suhu
bumi dikenal sebagai gas rumah kaca atau Berdasarkan laporan Indonesia kepada
green house gasses. Gas tersebut sangat badan dunia yang menangani isu
dibutuhkan agar panas dibumi tetap terjaga perubahan iklim (UNFCCC), emisi sektor
untuk kelangsungan kehidupan manusi dan kehutanan masih merupakan yang terbesar
mahluk lainnya. Tanpa gas tersebut, bumi dibandingkan sektor lainnya (50% dari
ini akan manjadi sangat dingin sehingga total emisi CO2). Berdasarkan pulau, emisi
kehidupan tidak mungkin bertahan. dari sektor kehutanan terbesar terjadi
di Kalimantan dan Sumatra. Meskipun
Disebut gas rumah kaca karena cara kerja
demikian, untuk tingkat global, emisi dari
gas-gas tersebut sama dengan cara kerja
sektor lahan termasuk kehutanan hanya
rumah kaca. Rumah kaca berfungsi untuk
18%. Emisi terbesar dihasilkan dari sektor
menahan sinar matahari didalamnya
energi yaitu penggunaan bahan bakar
agar ruangan menjadi hangat yang
fosil termasuk transportasi, industri dan
memungkinkan untuk tanaman tumbuh dan
pembangkit listrik.
berkembang dengan baik. Dengan demikian
cara kerja gas rumah kaca adalah dengan Dalam konteks perubahan iklim, hutan
menyerap radiasi dari sinar matahari dan dapat berperan baik sebagai penyerap/
menjaga agar bumi tetap hangat. Dalam penyimpan karbon maupun pengemisi
kondisi yang seimbang, GRK memberikan karbon. Deforestasi dan degradasi
manfaat yang luar biasa bagi mahluk hidup meningkatkan emisi, sedangkan aforestasi,
untuk dapat hidup dan berkembang. reforestasi dan kegiatan penanaman lainnya
serta konservasi hutan meningkatkan
Tragedi lingkungan akan terjadi apabila
serapan. Dalam pengelolaan hutan lestari
aktivitas manusia mengakibatkan
penyerapan karbon merupakan jasa yang
peningkatan gas rumah kaca di atmosfer.
dapat diberikan oleh sektor kehutanan.
Kebanyakan gas rumah kaca ini dihasilkan
Sebaliknya kegiatan kehutanan yang
oleh pembakaran bahan bakar fosil
berhubungan dengan serapan karbon akan
pada kendaraan bermotor, pabrik-pabrik
mendukung pengelolaan hutan lestari.
modern, pembangkit tenaga listrik,
Misalnya kegiatan aforestasi, reforestasi
pertanian, deforestasi dan degradasi hutan
dan mencegah deforestasi.
dan kegiatan pembangunan lain yang tidak
ramah lingkungan. B.1. Hutan Sebagai Sumber Emisi Gas
Rumah Kaca
Akibat dari perubahan iklim mulai banyak
kejadian banjir, kekeringan dan pola Emisi GRK yang terjadi di sektor kehutanan
musim hujan yang tidak menentu. Hal ini Indonesia bersumber dari deforestasi
mengakibatkan berubahnya pola tanam dan degradasi hutan. Keduanya selain
dan mendukung terjadinya gagal panen. secara langsung mengakibatkan terjadinya
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 521
Perubahan Iklim Sektor Kehutanan
kehilangan sumberdaya hutan serta fungsi perubahan iklim dapat dibagi menjadi tiga
hutan sebagai penyeimbang ekosistem, kategori yaitu konservasi, peningkatan
juga mempengaruhi konsentrasi gas serapan karbon dan substitusi penggunaan
rumah kaca CO2 di atmosfer yang berakibat bahan bakar fosil dengan biomas. Kegiatan
pada peningkatan suhu permukaan bumi konservasi meliputi perlindungan hutan
yang selanjutnya mendorong terjadinya dari deforestasi dan degradasi akibat
perubahan iklim. aktivitas manusia. Peningkatan serapan
dilakukan melalui kegiatan perluasan hutan
Ketika hutan ditebangi dan dibakar, tanaman. Kegiatan yang telah dilakukan
maka sebagian besar masa hayati yang untuk menunjang peningkatan peran hutan
dikandung oleh cabang, ranting dan sebagai penyerap karbon adalah misalnya
dedaunan dari tanaman hutan tersebut, Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
akan terurai dan menghasilkan gas rumah (Gerhan), pembangunan hutan tanaman
kaca dan menaikkan konsentrasi gas industri (HTI), hutan rakyat, agroforestri
tersebut di atmosfer. Kegiatan lain yang dan kegiatan penanaman lainnya.
juga berkontribusi besar terhadap besarnya
emisi adalah kegiatan pemanfaatan
lahan gambut khususnya dengan cara C. Mitigasi Perubahan Iklim Sektor
pembakaran. Hal ini karena lahan gambut Kehutanan
merupakan lahan yang lebih dari 95% Berbeda dengan sektor energi yang
bahan penyusun tanahnya adalah bahan dengan jelas mengkibatkan emisi dari
organik (sisa tanaman), sehingga lahan setiap penggunakan bahan bakar fosil,
gambut merupakan penyimpan karbon sektor kehutanan dapat berfungsi
yang sangat besar. sebagai pengemisi (emiter) dan penyerap
Sumber emisi dari kehutanan yang penting (sequester). Kegiatan Sektor Kehutanan
adalah kebakaran hutan. Dalam suatu yang dapat menurukan konsentrasi GRK
kebakaran hutan terjadi peristiwa kimia sebagai kegiatan mitigasi pada dasarnya
yang mengubah biomasa hutan menjadi dibagi menjadi kategori utama: konservasi
CO2, uap air serta menghasilkan panas. karbon hutan dan kegiatan yang menambah
Besarnya jumlah CO2 dan CO yang dihasilkan stok karbon melalui berbagai kegiatan
dari kebakaran hutan yang mencapai penanaman. Secara umum berbagai
96%, memberikan kontribusi yang nyata kegiatan mitigasi sektor kehutanan adalah
terhadap terjadinya peningkatan suhu. sebagai berikut:
REDD adalah mekanisme yang sedang dengan penanaman juga dilakukan pada
dibangun oleh masyarakat internasional areal yang rusak agar kondisi hutan
guna mencegah terjadinya kerusakan dapat pulih seperti semula. Saat ini juga
hutan berupa deforestasi atau degradasi sedang dikembangkan sistem silvikultur
yang berkontribusi nyata terhadap intensif yang didasarkan kepada tiga
peningkatan GRK di dunia. REDD unsur utama yakni penanaman dengan
selanjutnya berkembang menjadi jenis yang sesuai (kualitas bibit yang baik
REDD+ yang memasukkan upaya dari hasil pemuliaan jenis), memperbaiki
konservasi, pengelolaan hutan lestari lingkungan pada lokasi penanaman dan
dan peningkatan stok karbon sebagai pengendalian hama terpadu.
mekanisme penurunan emisi GRK.
d. Konservasi Lahan Gambut
b.
Penetapan Kawasan Hutan Lindung/
Kawasan Konservasi Dari 188 juta ha luas daratan Indonesia,
sekitar 14,9 juta ha diantaranya adalah
Hutan lindung merupakan kawasan lahan gambut dengan kedalaman yang
hutan yang mempunyai fungsi bervariasi. Lahan gambut mempunyai
perlindungan (terutama sebagai cadangan karbon yang tinggi. Gambut
pengatur tata air, pencegah erosi, banjir dengan kedalaman 1 meter mempunyai
dan kekeringan) dan kawasan konservasi kandungan karbon sekitar 600 ton C/ha
merupakan kawasan yang ditetapkan (Page et al, 2002), sedangkan biomas
guna mempertahankan biodiversitas. hutan gambut hanya mengandung sekitar
Penetapan kawasan lindung dan kawasan 200 ton C/ha. Sebagai pembanding,
konservasi tidak secara langsung tanah mineral hanya mengandung 20-
menghasilkan keuntungan berupa kayu, 80 ton C/ha dan hutan primer diatasnya
akan tetapi hal ini akan mengkonservasi mengandung sekitar 300 ton C/ha (Agus,
karbon di hutan, mempertahankan 2007). Mengingat kandungan karbon
biodiversity dan bermanfaat dalam yang sangat tinggi di hutan gambut,
mengatur tata air, mencegah erosi perlu penanganan lahan gambut yang
dan banjir. Upaya peningkatan jumlah lebih hati-hati termasuk konservasinya.
kawasan lindung dan konservasi juga
perlu didukung oleh upaya pengamanan Upaya konservasi di lahan gambut
hutan sehingga tidak terjadi gangguan dilakukan dengan menghindari
hutan seperti kebakaran, pembalakan deforestasi hutan gambut dan
liar, perambahan dan sebagainya. memperbaiki sistem pengelolaan lahan
gambut agar tidak terjadi pengeringan
c. Perbaikan Teknik Penebangan/Silvikultur lahan gambut yang berpotensi
menimbulkan kebakaran.
Perbaikan praktek pengelolaan hutan
diantaranya dilakukan melalui kegiatan C.2. Peningkatan Serapan Karbon
pemanenan hutan yang lebih baik (ramah
lingkungan). Teknologi pemanenan yang Kegiatan peningkatan jumlah stok karbon
ramah lingkungan diupayakan untuk umumnya dilakukan melalui pembuatan
mengurangi kerusakan hutan serta tanaman. Mekanisme pembangunan
kerusakan tanah akibat pohon yang bersih yang dihasilkan dari pertemuan
ditebang. Kerusakan dapat dikurangi Kyoto (Kyoto Protokol) memungkinkan
melalui pengaturan arah tebang yang negara berkembang ikut serta dalam
lebih baik dan jalan sarad yang terencana mekanisme ini, melalui pengembangan
dengan baik. Selain itu upaya pengayaan proyek Afforestation Reforestation Clean
Development Mechanism(A/R CDM).
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 523
Perubahan Iklim Sektor Kehutanan
Berbagai kegiatan kehutanan yang telah peraturan adalah pada lahan hutan yang
dilaksanakan selama ini yang dapat kurang produktif dan areal padang alang-
dianggap sebagai kegiatan mitigasi adalah alang. Jenis-jenis tanaman untuk HTI terdiri
pembangunan HTI, hutan rakyat, hutan dari jenis tanaman kayu pertukangan yang
tanaman rakyat, reboisasi (penghutanan memiliki daur panjang (25–60 tahun),
kembali kawasan hutan yang telah rusak), tanaman daur pendek untuk HTI pulp dan
dan penghijauan (penanaman tanaman tanaman hasil hutan bukan kayu.
tahunan di lahan milik). Selain itu secara
nasional kegiatan telah dilaksanakan Jenis tanaman HTI yang banyak
kegiatan yang menyangkut penanaman dikembangkan diantaranya untuk kayu
pohon. Instruksi Presiden tentang Reboisasi pertukangan adalah jati (Tectona grandis),
dan Penghijauan dilaksanakan selama Orde mahoni (Swietenia macrophylla), damar
Baru dan Gerakan Nasional Rehabilitasi (Agathis spp.) dan jenis lain. Sedangkan
Hutan dan Lahan (Gerhan) sejak tahun tanaman penghasil pulp dan rotasi pendek
2003. yang banyak dikembangkan terutama di
luar Jawa adalah Acacia mangium, Acacia
Mekanisme internasional pembangunan crassicarpa, Eucalyptus spp, Pinus merkusii,
bersih (CDM) memungkinkan kegiatan dan Paraserianthes falcataria. Tanaman
penanaman mendapatkan insentif penghasil non kayu diantaranya adalah
berdasarkan jumlah karbon yang dapat rotan, getah pinus, kayu putih, madu dan
diserap melalui kegiatan penanaman. tanaman obat.
Indonesia sesungguhnya memiliki potensi
yang tinggi untuk mengaplikasikan CDM, Agroforestri adalah kegiatan yang
dengan upaya penanaman jenis pohon pada memiliki potensi yang cukup baik untuk
hutan yang telah terdegradasi atau lahan meningkatkan rosot karbon, dalam bentuk
kritis. Jika lahan yang telah terdegradasi biomas tanaman dan tanah. Bentuk umum
tersebut dapat direhabilitasi dengan dari praktek agroforestri adalah penanaman
metode konservasi yang tepat, maka campuran antara tanaman pertanian dan
areal tersebut berpotensi sebagai media kehutanan dan penanaman tanaman
pengurangan emisi dengan membangun pembatas dan penaung untuk produktivitas
rosot karbon (carbon sink) yang baru, tanaman pokok, perlindungan tanah dan
yaitu melalui aktivitas pembuatan hutan angin.
tanaman dengan metode pengelolaan yang Reboisasi, adalah program yang bertujuan
tepat. untuk menghutankan kembali lahan kritis
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan padang alang-alang. Sebagian besar
dan Lahan (Gerhan) merupakan salah pohon yang ditanam untuk reboisasi
satu kegiatan yang berhubungan dengan pada lahan kritis tidak dieksploitasi tetapi
perubahan iklim di sektor kehutanan. diutamakan untuk kepentingan konservasi
Kegiatan Gerhan dilakukan untuk tanah.
mengurangi laju deforestasi. Kegiatan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), adalah
Gerhan adalah kegiatan multisektoral yang hutan tanaman pada kawasan hutan
melibatkan pemerintah pusat, pemerintah produksi yang dibangun oleh perorangan
provinsi dan kabupaten. atau koperasi untuk meningkatkan potensi
HTI dikembangkan terutama untuk dan kualitas hutan produksi dengan
memenuhi kebutuhan akan bahan baku menerapkan sistem silvikultur yang
industri kayu yang tidak bisa dipenuhi dari menjamin kelestarian sumber daya hutan.
hutan alam. Lokasi tanaman HTI menurut Dengan mengedepankan prinsip keadilan,
524 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perubahan Iklim Sektor Kehutanan
masyarakat akan diberikan akses untuk ikut nelayan karena tidak dapat melaut, abrasi
membangun HTR dalam sekala kecil dan pantai, bibit mangrove dan ajir roboh
menengah dalam luasan 5-15 ha per kepala diterpa gelombang, dan meningkatnya
keluarga (KK). ketergantungan masyarakat terhadap
hutan.
Penghijauan/Hutan Rakyat (HR), adalah
tanaman kayu-kayuan yang dikembangkan Adanya dampak negatif terhadap kehidupan
di lahan milik. Jenis yang dipergunakan masyarakat tersebut mengharuskan
disesuaikan dengan jenis yang sesuai masyarakat untuk beradaptasi agar dapat
dengan lokasinya, masyarakat sudah tetap bertahan hidup pada iklim yang
memahami teknik budi dayanya dan sudah berubah dan cuaca ekstrim. Dalam
pemasaran hasilnya sudah dipahami melakukan upaya adaptasi tersebut,
masyarakat yang mengusahakannya. masyarakat tidak selamanya melakukannya
Pemerintah biasanya menyediakan bibit sendiri. Di beberapa daerah masyarakat
dan masyarakat melakukan penanaman mendapat bantuan dan pendampingan.
dan pemeliharaan. Jenis yang ditanam Mampu/tidaknya masyarakat bersama para
pada umumnya memiliki rotasi pendek pendamping dalam menanggulangi dampak
yang menghasilkan kayu pertukangan dan yang tidak diinginkan dari perubahan iklim
kayu bakar. menggambarkan kerentanan mereka.
Adaptasi merupakan sebuah tindakan
D. Mitigasi Perubahan Iklim Sektor sistem untuk menyesuaikan atau atau
Kehutanan merespon terhadap dampak perubahan
Perubahan iklim dunia telah mengakibatkan iklim. Dengan kata lain, kegiatan mitigasi
terjadinya iklim ekstrim seperti kekeringan, merupakan kegiatan yang mengurangi
angin kencang, ketidak aturan musim, dan sumber dan/atau meningkatkan rosotnya
peningkatan permukaan air laut. Kondisi gas rumah kaca. Sedangkan kegiatan
ini mempengaruhi ekosistem hutan dan adaptasi langsung menangani dampak atau
berpotensi mengancam jutaan penduduk, resiko dari perubahan iklim tersebut.
baik yang hidup di daerah pesisir, daerah Adaptasi sangat potensial untuk mengurangi
kering, pegunungan dataran rendah juga kerugian dampak dari perubahan iklim dan
dataran tinggi, khususnya mereka yang mendukung dampak yang menguntungkan,
penghidupannya sangat bergantung pada tetapi membutuhkan biaya dan tidak akan
sumberdaya alam, cuaca, dan musim. mencegah semua bahaya. Sistem alam dan
Kehidupan penduduk berpotensi menjadi human secara alami mempunyai adaptasi
rentan, dan kondisi ini sangat dipengaruhi sendiri, tapi proses adaptasi ini memakan
oleh tingkat keterbukaan/singkapan, waktu yang lama serta kemampuan
sensitivitas dan kemampuan adaptif dari adaptasinya kecil. Apabila ada bencana
masyarakat. lagi kemungkinan tingkat kerentananannya
Beberapa fenomena dampak perubahan makin besar karena sistem belum pulih atau
iklim yang antara lain terjadinya genangan kemampuan adaptasinya makin berkurang.
banjir rob dalam waktu lama, angin kencang, Oleh karena itu perlu tindakan adaptasi
banjir, dan ombak besar di laut, yang pada yang direncanakan akan mendukung
akhirnya memberikan dampak turunan kemampuan adaptasi sistem tersebut.
antara lain berupa rusaknya pematang Tetapi pilihan dan insentif adaptasi pada
kolam ikan, menurunnya mutu ikan/ sistem human lebih besar daripada sistem
udang budidaya, menurunnya produksi alam.
padi sawah, menurunnya tangkapan para
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 525
Perubahan Iklim Sektor Kehutanan
obyek, atau lingkungan yang diakibatkan konsekuensi dari perubahan iklim atau
oleh bencana alam. Kerentanan juga menyesuaikan diri pada perubahan iklim
mencerminkan keterbatasan pilihan atau (termasuk variabilitias iklim dan iklim
kemampuan masyarakat untuk melindungi ekstrim), mengurangi potensi kerusakan,
diri mereka sendiri terhadap kerusakan atau mengambil keuntungan dari kondisi
atau kemampuan untuk memulihkan yang disediakan iklim yang berubah
keadaan akibat suatu bencana dengan tersebut. Kapasitas beradaptasi ini
atau tanpa bantuan dari luar. Pandangan menjadikan masyarakat bisa tetap bertahan
lain terhadap kerentanan adalah suatu terhadap lingkungan yang telah berubah.
kondisi yang dipengaruhi oleh proses fisik,
sosial, ekonomi, dan lingkungan yang dapat Tingkat kerentanan terhadap perubahan
meningkatkan resiko terhadap dampak iklim ini dapat diukur di berbagai type
bahaya. Masyarakat memperlihatkan ekosistem. Selain itu dapat juga tingkat
kerentanan yang berbeda terhadap iklim kerentanan diukur pada subsistem
yang bervariasi. tertentu saja, misalnya tingkat kerentanan
masyarakat dan tingkat kerentanan
Kerentanan merupakan fungsi dari tiga ekosistem hutan. Alat ukur kerentanan
aspek, yaitu eksposure (singkapan), dapat disusun sesuai dengan kriteria dan
sensitivitas suatu sistim untuk berubah, dan indikator menurut tipe ekosistem tersebut.
kapasitas beradaptasi yang dipunyai. Secara
ringkas, rumusan tersebut dapat dituliskan E. Pengukuran Karbon Hutan
sebagai berikut:
Ada beragam tipe hutan di Indonesia,yang
V = f (E, S, AC) perlu diketahui potensi karbonnya. Untuk
mengetahui potensi karbon hutan,
Keterangan :
diperlukan pengetahuan dan pemahaman
E : exposure (singkapan)
oleh berbagai pihak untuk mengukur dan
S : sensitivity (sensitivitas)
menghitung cadangan karbon hutan dan
AC: adaptive capacity (kapasitas beradaptasi)
emisi. Prinsipnya adalah melalui kombinasi
Singkapan merupakan derajat suatu kegiatan pengukuran lapangan dan hasil
sistem (sosial dan ekosistem) yang secara citra satelit (remote sensing).
alamiah rentan terhadap perubahan iklim. Berbagai informasi/petunjuk perhitungan
Sensitivitas merupakan tingkat suatu karbon telah tersedia termasuk standar
sistem terkena dampak sebagai akibat dari nasional perhitungan karbon (SNI
semua elemen perubahan iklim, termasuk 7724/7725 tahun 2011). Panduan ini
karakteristik iklim rata-rata, variabilitas disusun untuk meningkatkan pemahaman
iklim, dan frekuensi serta besaran ekstrim. dan kemampuan masyarakat luas dalam
Dampak tersebut dapat merugikan pelaksanaan pengukuran dan perhitungan
ataupun menguntungkan dan terjadi secara karbon, sebagai salah satu upaya
langsung (seperti perubahan hasil panen meningkatkan kesiapan dan kapasitas
karena perubahan iklim atau variabilitas para pihak dalam mendukung mitigasi
temperatur) atau secara tidak-langsung perubahan iklim di sektor kehutanan.
(seperti kerusakan yang disebabkan oleh
kenaikan frekuensi banjir di pesisir sebagai E.1. Mengapa Karbon Hutan Perlu Dihitung
akibat dari kenaikan muka air-laut). dan Apa yang Diukur?
Kapasitas adaptif merupakan kemampuan Karbon dioksida (CO2) merupakan GRK
satu sistem untuk menanggulangi yang paling utama di sektor kehutanan
528 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perubahan Iklim Sektor Kehutanan
dan perubahan lahan. Hutan mengandung telah menjadi bagian dari tanah.
karbon yang cadangan karbonnya tersimpan
pada vegetasi yaitu pada batang, tajuk dan E.2. Metode Pengukuran Cadangan
akar, biomasa lain dan di dalam tanah. Karbon Hutan
Gambar 8.2. Rumus dasar penghitungan emisi/serapan karbon pada sektor lahan
Gambar 8.4. Alur proses tahapan QA/QC umum untuk penanggung jawab IGRK Nasional
dikenal sebagai penghitungan GRK (Pandey penggunaan lahan lainnya, serta limbah).
et.al., 2010). 5. ISO 14025; pedoman ini adalah standar
untuk melaksanakan LCA.
Standar dan pedoman untuk penghitungan
6. ISO 14067; sebagai standar carbon
GRK dalam kaitannya dengan carbon
footprint produk (sedang dalam
footprint sudah tersedia. Beberapa sumber
pengembangan).
yang telah umum digunakan adalah sebagai
berikut (Pandey et.al., 2010). Emisi yang dianalisis dalam model di atas
1. GHG protocol of World Resource Institute dibagi menjadi tiga tingkat, bergantung
(WRI)/World Business Council on pada kekuatan kontrol organisasi/
Sustainable Development (WBCSD) komunitas pada sumber datanya (Radu
2. ISO 14064 (bagian 1 dan 2): merupakan et.al., 2013), yaitu:
standar internasional untuk penentuan - Scope 1: emisi langsung, untuk kegiatan
batas, penghitungan emisi GRK, dan yang secara langsung dikendalikan oleh
pembuangan, termasuk standar untuk organisasi/entitas;
merancang proyek mitigasi GRK - Scope 2: emisi tidak langsung, yang
3. Publicly Available Specification 2050 berasal dari penggunaan listrik, panas
(PAS 2050) dari British Standard dan pendinginan;
Institution (BSI); standar ini menetapkan - Scope 3: emisi tidak langsung lainnya,
persyaratan untuk menilai siklus hidup dari hulu dan hilir (sepanjang rantai
emisi GRK barang dan jasa. pasokan dan rantai pasar).
4. Pedoman IPCC tahun 2006 untuk
Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional; Tabel 8.2 ini menggambarkan contoh
semua sumber emisi GRK antropogenik besaran carbon footprint yang berasal
diklasifikasikan ke dalam empat sektor dari kayu gergajian pada berbagai jenis.
(energi, proses industri dan penggunaan Informasi tersebut berasal dari studi Pandey
produk, pertanian-kehutanan- et.al (2010).
Tabel 8.2. Perbandingan carbon footprint produk kayu gergajian berbagai jenis
Carbon footprint
Jenis Nama latin Kerapatan (kg/m3)
(kg CO2-e/m3)
Light Red Meranti Shorea spp. 727 411
Dark Red Meranti Shorea spp. 768 337
Douglas fir Pseudotsuga menziesii 510 353
Wetern Hemlock Tsuga heterophylla 429 258
Pinus Pinus radiata 550 398
Ash Fraxinus spp. 449 407
Beech Fagus spp. 417 377
Hickory Carya spp. 705 463
Hard maple Acer saccharum 833 394
Soft maple Acer spp. 737 390
Red Oak Quercus rubra 705 496
White Oak Quercus alba 545 556
Walnut Juglans spp. 769 427
Sweet chestnut (air Castanea sativa Mill. 560 95,2
dried sawn timber)
Sweet chestnut (klin Castanea sativa Mill. 560 383,7
dried sawn timber)
Sumber: Pandey et al (2010)
540 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perubahan Iklim Sektor Kehutanan
H.3. Mitigasi untuk Menurunkan Carbon tangan untuk melindungi air minum dari
Footprint kontaminasi banjir.
4)
Irigasi pekarangan. Upaya ini
Aksi mitigasi untuk menurunkan carbon
menggunakan metode pembatas
footprint perlu dilakukan dan digalakan
(pembatas kontur, penyumbatan
kepada berbagai elemen dan entitas
parit, bendungan, tanggul, dll.) untuk
di berbagai lapisan. Dengan merujuk
menampung air hujan dan meningkatkan
pada WHO (2008), upaya mitigasi untuk
serapan air ke dalam tanah (mengurangi
menurunkan carbon footprint pada sektor
limpasan). Teknik tersebut dapat
yang terkait dengan kehutanan dapat
meningkatkan ketersediaan air dalam
difokuskan setidaknya pada penggunaan
tanah untuk keperluan air minum dan air
energi dan air.
untuk penggunaan rumah tangga lain.
a. Penggunaan Energi
Energi saat ini yang berbasis pada energi I. Instrumen Ekonomi untuk Peningkatan
fosil perlu segera dialihkan ke energi Efektivitas Aksi Mitigasi Perubahan Iklim
listrik hijau. Upaya ini akan membantu
memperkuat sumber energi terbarukan. Perubahan iklim (climate change)
Implikasi dari itu, energi alternatif berupa merupakan salah satu tantangan terbesar
bahan bakar biomassa merupakan pilihan dunia saat ini. Perubahan iklim telah, dan
yang sangat ramah lingkungan. Selain akan, jika tidak direspon dengan sungguh-
itu, energi alternatif selain bahan bakar sungguh, mempengaruhi iklim dunia (misal
biomassa juga penting untuk disediakan. mengakibatkan kekeringan, banjir, atau
Teknologi bioenergi, kompor yang lebih cuaca ekstrim), kerusakan biodiversitas
baik dengan cerobong asap, dan bahan dan ekosistem, serta mempengaruhi
bakar yang lebih bersih seperti gas minyak ketersediaan pangan dan tempat tinggal
cair minyak tanah dapat berdampak positif serta kesehatan manusia. Salah satu respon
pada efisiensi dan emisi serta mengurangi negara-negara dunia atas kondisi ini, antara
risiko yang terkait dengan polusi. lain, dengan menyepakati Persetujuan Paris
(Paris Agreement) di mana masing-masing
b. Penggunaan Air negara memberikan komitmen dan target
Tindakan konservasi air dapat meliputi: untuk menahan peningkatan suhu rata-rata
global di bawah 2o C di atas tingkat di masa
1) Penghematan air rumah tangga; Upaya
pra industri, dan melakukan upaya lebih
ini penting untuk mengidentifikasi
untuk menekan peningkatan tersebut di
dan mendorong penggunaan air dari
bawah 1,5o C, pada akhir abad ke-21 .
sumber lain untuk mencuci, mandi, air
untuk kebutuhan kebun dan ternak. Sebagai upaya merespon perubahan iklim,
Upaya tersebut sangat penting dalam Indonesia telah meratifikasi Persetujuan
melindungi persediaan air minum. Paris (Paris Agreement), yang kemudian
2) Pemanenan air hujan. Upaya ini perlu dituangkan dalam Undang-Undang Nomor
menyediakan tangki untuk menyimpan 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan
air hujan sebagai alternatif sumber air Persetujuan Paris serta menyampaikan
minum dan keperluan rumah tangga komitmen serta target national penurunan
lainnya agar masyarakat tidak hanya emisi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam
bertumpu pada air tanah. Nationally Determined Contribution (NDC)
3) Menghentikan penggunaan pompa saat perundingan perubahan iklim di
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 541
Perubahan Iklim Sektor Kehutanan
Marrakech tahun 2016. Target Indonesia negative effects). Dampak negatif terhadap
yang telah disampaikan di dalam NDC lingkungan ini dalam jangka panjang
tersebut adalah pengurangan emisi GRK akan menurunkan kinerja perekonomian
sebesar 29% dengan usaha sendiri, dan itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan
41% apabila ada bantuan internasional, di internalisasi biaya lingkungan ke dalam
tahun 2030. biaya produksi sebagai cara untuk mencapai
keseimbangan antara aspek ekonomi dan
Mitigasi terhadap perubahan iklim melalui lingkungan.
kegiatan-kegiatan penurunan emisi
GRK sejalan dengan salah satu prioritas Dalam literatur, hal ini biasa disebut
pembangunan jangka panjang Indonesia, penggunaan instrumen ekonomi atau
yakni melindungi lingkungan hidup dan instrumen pasar (economic instruments).
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tujuan penggunaan instrumen ekonomi
Nasional Tahun 2020-2024, yakni agenda atau pasar adalah untuk mempengaruhi
pembangunan rendah karbon. Di sisi perilaku obyek yang akan diatur dengan
lain, penurunan emisi GRK, khususnya mengubah struktur insentif ekonomi
dalam rangka pemenuhan target NDC di mereka. Instrumen ekonomi karbon
atas, membutuhkan anggaran yang tidak merupakan kunci untuk memperbaiki
kecil dan dapat menghambat pencapaian kegagalan pasar yang mendasari perubahan
prioritas-prioritas pembangunan nasional iklim (UN ESCAP, 2016). Ekonomi (harga)
lainnya, misalnya pertumbuhan ekonomi karbon menghasilkan sinyal harga yang
dan penurunan kemiskinan, dimana kedua mendorong pembangunan ke jalur rendah
hal ini penting pula untuk mencegah karbon baik oleh bisnis maupun konsumen,
kerusakan lingkungan dan mendorong dan merangsang teknologi bersih dan
penciptaan lingkungan hidup yang lebih inovasi proses, sambil juga mendukung
baik (Pranaji, 2005). perubahan perilaku jangka panjang (UN
ESCAP, 2016). Penggunaan pendekatan ini
Salah satu upaya menurunkan emisi GRK, bukan hal baru bagi Indonesia. Undang-
pemerintah diharapkan dapat melakukan undang No. 32 tahun 2009 tentang
upaya-upaya mitigasi seperti: meminimalir Lingkungan Hidup telah memberikan
kebakaran hutan atau mengurangi tingkat landasan hukum bagi penerapan instrumen
deforestasinya (yang berarti membatasi ekonomi untuk mencegah dan merespon
jumlah kawasan hutan yang dapat dikonversi pencemaran dan kerusakan lingkungan
menjadi kegiatan usaha); membatasi hidup (Pasal 42-43), hal mana diperinci
jumlah emisi GRK yang dihasilkan oleh dalam Peraturan Pemerintah No. 46
industri; mendorong pembangunan dan tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi
pemanfaatan energi terbarukan; atau Lingkungan Hidup.
memperbaiki sistem pengelolaan limbah.
Upaya tersebut membutuhkan biaya yang Dalam konteks upaya pengurangan
tidak sedikit dan memberikan dampak emisi GRK, hal di atas dikenalkan dengan
langsung terhadap perekonomian dalam istilah instrumen carbon pricing, yakni
jangka pendek. pemberian harga atau nilai ekonomi atas
setiap emisi GRK yang dikeluarkan pelaku
Salah satu dampak yang ditimbulkan usaha atau kegiatan yang mengeluarkan
dalam aktivitas ekonomi (produksi) adalah emisi. Di satu sisi, dengan pemberian
berkurangnya kualitas lingkungan atau harga atas emisi GRK diharapkan pelaku
terjadi negatif eksternalitas (unpriced usaha/kegiatan akan mengendalikan, atau
542 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perubahan Iklim Sektor Kehutanan
b. Offset Emisi.
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 543
Perubahan Iklim Sektor Kehutanan
verifikator internal yang ditunjuk oleh karbon internasional karena tidak memiliki
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim komitmen dan target khusus untuk
untuk memverifikasi atas hasil capaian melakukan penurunan emisi. Protokol Kyoto
kinerja aksi mitigasi. Verifikasi independen mengatur secara khusus tiga mekanisme
ini dibutuhkan untuk menjamin akurasi NEK, yakni perdagangan emisi internasional,
dan transparansi dari kapasitas pelaporan Clean Development Mechanism (CDM)
pengurangan emisi (Pambudi et.al., 2018). dan Joint Implementation (JI). Konsep
perdagangan emisi internasional secara
Sekilas, RBP terkesan mirip dengan umum mirip dengan perdagangan emisi
mekanisme perdagangan, khususnya dalam sistem cap and trade, namun
offset emisi. Perbedaan pokok keduanya dilakukan antar negara maju (negara Annex
adalah dalam RBP tidak ada pengalihan 1) yang terkena target penurunan emisi
hak atas karbon (unit karbon), khususnya berdasarkan Protokol Kyoto. Selain itu,
secara internasional sehingga tidak dapat komoditas yang diperdagangkan skema
menggunakannya untuk mengurangi pedagangan emisi internasional tersebut
(meng-offset) tingkat emisi pihak pemberi adalah unit-unit yag dihasilkan dari kegiatan
pembayaran. CDM dan JI.
c. Pajak atas Karbon Skema CDM dimaksudkan untuk
Terminologi “pajak karbon” biasanya memberikan insentif kepada negara-negara
diterapkan atas kandungan karbon, seperti berkembang (yang tidak dibebankan
misalnya pajak karbon yang dikenakan target khusus penurunan emisi GRK)
untuk bahan bakar, atau atas emisi GRK untuk mengembangkan kegiatan/
langsung (direct emission). Dengan kata proyek penurunan dan peningkatan
lain, obyek pajak akan membayar pajak penyerapan emisi GRK, sedangkan skema
berdasarkan jenis dan jumlah bahan bakar JI memungkinkan negara-negara maju yang
yang diproduksi/konsumsi atau berdasarkan terkena kewajiban penurunan emisi GRK
jumlah emisi GRK yang dilepaskan sesuai dalam Protokol Kyoto untuk melakukan
hasil pengukuran dan verifikasi. Contoh kerjasama penuruan emisi di antara
negara-negara yang menerapkan pajak mereka.
karbon atas bahan bakar adalah Denmark, Dalam Persetujuan Paris, prinsipnya semua
India, Jepang dan Meksiko. Sedangkan negara mempunyai target penurunan
yang menerapkan pajak atas emisi GRK emisi sehingga setiap hasil aksi mitigasi
adalah Chile dan Afrika Selatan. Sedangkan sudah seharusnya akan digunakan untuk
terminologi “pajak atas karbon” mencakup memenuhi target NDC terlebih dahulu.
variasi pajak karbon yang lebih luas seperti Berbeda dengan Protokol Kyoto, tidak ada
pemberian insentif atau disinsentif pajak pengaturan spesifik tentang jenis-jenis NEK
berbasis kinerja emisi, pertukaran pajak yang dapat diterapkan di bawah Persetujuan
(tax swap), pajak atas emisi tidak langsung, Paris. Setidaknya ada tiga skema terkait
dan lain-lain. NEK yang tersirat dalam Persetujuan Paris
I.2. Pengaturan Penyelenggaraan Instrumen (Pasal 5 dan 6): pemanfaatan pembayaran
Ekonomi Karbon berbasis kinerja (RBP); kerjasama sukarela
antara negara secara umum; penggunaan
Dalam Protokol Kyoto, Indonesia dan mekanisme non-market (termasuk pajak
banyak negara berkembang lain dapat atas karbon), dengan sebagai berikut:
dengan leluasa melakukan perdagangan
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 545
Perubahan Iklim Sektor Kehutanan
Bahan Bacaan
konservasi karbon pada lahan gambut. Makalah pada Bunga Rampai Konservasi Tanah dan
Air. Jakarta: Pengurus Pusat Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia 2004-2007.
Badan Litbang Kehutanan. (2010). Informasi persediaan dan penyerapan karbon pada berbagai
jenis tanaman dan tipe hutan di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang Kehutanan.
Badan Standardisasai Nasional. (2011). SNI 7724 : Pengukuran dan penghitungan cadangan
karbon – Pengukuran lapangan untuk penaksiran cadangan karbon hutan. Jakarta: Badan
Standardisasai Nasional.
Badan Standardisasi Nasional. (2011). SNI 7725 : Penyusunan persamaan alometrik untuk
penaksiran cadangan karbon hutan berdasar pengukuran lapangan. Jakarta: Badan
Standardisasi Nasional.
CIFOR. (2010). REDD: Apakah itu?. Pedoman CIFOR tentang hutan, perubahan iklim dan REDD.
Bogor: CIFOR.
[Direktoat IGRK dan MPV] Direktorat Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring, Pelaporan,
dan Verifikasi. (2017). “Pedoman Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi (Measurement,
Reporting, and Verification) REDD+ Indonesia”. Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Jakarta.
[Ditjen PPI] Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. (2018). Pedoman Penjaminan dan Pengendalian Mutu (QA/QC) Inventarisasi
GRK Indonesia.
Djaenudin, D., Wicaksono, D., Samyanugraha, A., Iqbal, M., Pambudi, R., Aufar, A., Nathalia, D.
(2018). Peran Instrumen Mitigasi Perubahan Iklim Berbasis Pasar dan Pencapaian Target
NDC. Policy Brief P3SEKPI-PMR, 1–8.
Durojaye O., Laseinde T., Oluwafemi I. (2020) A Descriptive Review of Carbon Footprint. In:
Ahram T., Karwowski W., Pickl S., Taiar R. (eds) Human Systems Engineering and Design
II. IHSED 2019. Advances in Intelligent Systems and Computing, vol 1026. Springer,
Cham. https://doi.org/10.1007/978-3-030-27928-8_144
Herawaty, H., & Santoso, H. (2007). Pengarus-utamaan adaptasi perubahan iklim ke dalam agenda
pembangunan: tantangan kebijakan dan pembangunan. Adaptasi terhadap bahaya
gerakan tanah di masa yang akan datang akibat pengaruh perubahan iklim. Laporan
Pertemuan Dialog Pertama Gerakan Tanah dan Perubahan Iklim, CIFOR.
Hindarto, D. E., Samyanugraha, A., & Nathalia, D. (2018). Pengantar Pasar Karbon untuk
Pengendalian Perubahan Iklim. Diambil dari http://pmr-indonesia.org
IPCC (Inter Governmnetal Panel on Climate Change). (2003). Good practice guidance for land use,
land-use change and forestry. Japan: Institute for Global Environmental Strategies (IGES)
for the IPCC.
IPCC. (2006). IPCC Guidelines for national greenhouse gas inventories, prepared by the national
greenhouse gas inventories programme. (H. S. Eggleston, L. Buendia, K. Miwa, T. Ngara, &
K. Tanabe, Penyunt.) Japan: IGES.
IPCC. (2007). Climate change 2007: Impact, adaptation and vulnerability. Dalam M. C. Parry,
M. L. Parry, O. F. Canziani, J. P. Palutifof, P. J. van der Linden, & C. E. Hanson (Penyunt.),
Contribution of Working Group II to the Fourth Assessement Report of the Environmental
Panel on Climate Change (IPCC) (hal. 973). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
JIFPRO. (1996). Global warming and forests, global forestry promotion. Tokyo, Japan: Japan
International Forestry Promotion and Cooperation Centre (JIFPRO).
Kementerian Kehutanan. (2010-2013). Statistik kehutanan Indonesia. . Jakarta: Kementerian
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 547
Perubahan Iklim Sektor Kehutanan
Kehutanan.
Locatelli, B., Kannined, M., Brockhaus, M., Colfer, J. P., Murdiyarso, D., & Santoso, H. (2008).
Facing an uncertain furture: How forests and people can adapt to climate change. Forest
Perspectives(5).
Mettzger, M. R.-M., Mettzger, M. J., Rounsevell, M. D., Acosta-Michlik, L., Leemans, R., & Schroter,
D. (2006). The vulnerability of ecosystem services to land use change. Agriculture Ecosystem
and Environment(114), 69 – 85.
Olmos, S. (2001). Vulnerability and adaptation to climate change : Concepts, issues, assessment
methods. Dipetik Juli 14, 2008, dari http://www.cckn.net/pdf/va_foundation_final. pdf.
Pambudi, R., Aufar, A., Djaenudin, D., Samyanugraha, A., Iqbal, M., & Nathalia, D. (2018). Kesiapan
Data Emisi untuk Instrumen. 1–8.
Pandey, D., Agrawal, M., Pandey, J.S. (2010). Carbon footprint: current methods of estimation.
Environ Monit Assess. DOI 10.1007/s10661-010-1678-y.
Page, S. T., Siegert, F., Rieley, J., B’ohm, H., Jaya, A., & Limin, S. (2002). The Amount of carbon
released from peat and forest fires in Indonesia during 1997. Nature(420), 61–65.
Pranaji, T. (2005). Keserakahan, Kemiskinan, dan Kerusakan Lingkungan. Indonesia yang Bebas
Korupsi, Rukun, dan Mandiri, 3(4), 313–325. https://doi.org/10.21082/akp.v3n4.2005.313-
325
Rachman, S. (2012). National forest monitoring system untuk mendukung REDD+ Indonesia.
Workshop Sistem MRV Perhitungan Karbon untuk REDD+ di Provinsi Nusa Tenggara Barat,
24 September 2012.
Radu, A.L., Scrieciu, M.A., Caracota, D.M. (2013). Carbon Footprint Analysis: Towards a Projects
Evaluation Model for Promoting Sustainable Development. Procedia Economics and
Finance 6 ( 2013 ) 353 – 363. International Economic Conference of Sibiu 2013 Post Crisis
Economy: Challenges and Opportunities, IECS 2013. Doi: 10.1016/S2212-5671(13)00149-4.
RAN-PI. (2007). Rencana aksi nasional untuk perubahan iklim. Jakarta: Kementerian Negara KLH.
Ratnasingam, J., Ramasamy, G., Toong, W., Senin, A.L., Kusno, M.A., Muttiah, N. (2015). An
Assessment of the Carbon Footprint of Tropical Hardwood Sawn Timber Production.
BioResources 10(3), 5174-5190. https://www.researchgate.net/publication/331987212.
Robledo, & Corner. (2005). Adaptation of forest ecosystem and the forest sector to climate change.
Forest and climate change working papaer 2 FAO USA swiss agency for development and
cooperation. Rome.
Rochmayanto, Y. (2010). Tingkat kerentanan dan pola adaptasi masyarakat terhadap perubahan
iklim di DAS Kampar. Kuok: Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat.
Romero, J. (2005). Adaptation to vlimate change : Finding from the IPCC TAR. Dalam Tropical forest
and adaptation to climate change: In Search of synergies. Bogor: CIFOR.
Sakuntaladewi, N., & Arivanti, V. B. (2011). Penaksiran kerentanan dan strategi adaptasi masyarakat
di dalam dan sekitar hutan terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim pada ekosistem
kering. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan.
Sakuntaladewi, N., Irawanti, S., & Sylviani. (2010). Penaksiran kerentanan dan strategi adaptasi
masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadapperubahan iklim dan cuaca ekstrim
pada ekosistem pantai. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan
Kebijakan.
Salosa, S. (2010). Penafsiran kerentanan (ketergantungan) masyarakat di dalam dan sekitar hutan
terhadap sumberdaya hutan dan stategi adaptasi terhadap perubahan musim dan cuaca
ekstrim pada ekosistem pegunungan: Laporan Hasil Penelitian 2010. Manokwari: Balai
Penelitian Kehutanan Manokwari.
548 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Perubahan Iklim Sektor Kehutanan
Smith, A. O., Cutter, S. L., Warner, C., Corendea, & Yuzva, K. (2012, November). Addressing loss and
damage in the context of social vurnerability and resilience. Policy Breaf(7).
UN ESCAP. (2016). The economics of climate change in the Asia-Pacific Region. 1–44. Diambil dari
www.unescap.org
Watkiss, P., Downing, T. E., & Dyszynzki, J. (2010). Adapt cost project : analysis of the economic
cost of climate change adaptation in Africa. Nairobi, Kenya: United Nation Environment
Programme.
WHO. (2008). Protecting Health from from Climate Change. World Helathy Day 2008. www.who.
int/world-health-day.
LAMPIRAN
AKRONIM
GLOSARIUM
Lampiranl 1. Persyaratan tempat tumbuh beberapa jenis pohon untuk hutan tanaman di lahan asam dan lahan basah
Persyaratan Tempat Tumbuh
Nama Tem-
Nama Botani dan pera- Toleransi
No. Perdagan- Ketinggian Tipe Iklim/ Tekstur Kegunaan
Famili tur Ph Tanah Drainase Terhadap
gan (M Dpl) Curah Hujan Tanah
Udara Naungan
(Oc)
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
LAMPIRAN
1
A. Lahan Asam
1 Acacia mangium Mangium 0 – 300 1.000 – 1.2000 13 – 32 sedang Asam - netral Lembab, Perlu cahaya A4,A6, A10,
Wild(Leguminosae) Terendam sedang B2-4,B9, C5, C7,
musiman C9, D3, D6
2 Agathis dammara A.B. Damar 100 – 1.600 2.000 – 4.000 12 – 34 Ringan, se- Asam - netral Drainase intoleran B2-5, C6-7,D5
Lamb (Fagaceae) dang, berat baik, lembab
3 Albizia falcataria (L) Jeunjing 0 – 2.000 2.000 – 4.000 20 – 34 Ringan, se- Asam - netral Drainase Perlu cahaya A6,A8,B2-4,C4-
Forbserg (Legumino- dang, berat baik, lembab kuat/intoleran 5,C7
sae)
4 Alstonia scholaris R.Br. Pulai 0 – 1.000 A,B,C 19 – 33 Ringan – berat Asam - netral Sangat cepat Semi intoleran B2-3
(Sterculiaceae) s/d agak
terhambat
5 Anthocepahalus Jabon 0 – 1.000 1.300 – 4.000 19 – 33 Ringan – berat Asam - netral Sangat cepat intoleran B2-3,C5, C7
cadamba Miq (Rubi- s/d baik
aceae)
6 Araucaria cunninghamii Hoop pine 0 – 2.000 1.000 – 1.800 16 – 30 Sedang – berat Asam - netral baik Sangat B1-
D. Don (Araucaciaceae) tergantung 4,C1,C3,C6,C7
cahaya toleran
naungan waktu
muda
7 Araucaria hunsteinii K. Klinki pine 200 – 1.800 1.600 – 4.600 12 – 32 Sedang – berat Asam - netral Drainase Perlu cahaya B1-4,B6-
Schum (Araucaciaceae) baik, lembab kuat/intoleran 7,B9,C1-3,C6-
hambat 7,C9
8 Calliandra calothyrsus Kaliandra 150 – 1.500 1.000 – 3.000 18 – 30 Ringan, se- Asam - netral Drainase Perlu cahaya A4,A6,A8-
Meisan (Leguminosae) dang, berat baik, lembab kuat/intoleran 9,C4,C8,D3,D7
Lampiran 1. lanjutan
Persyaratan Tempat Tumbuh
Nama Tem-
Nama Botani dan pera- Toleransi
No. Perdagan- Ketinggian Tipe Iklim/ Tekstur Kegunaan
Famili tur Ph Tanah Drainase Terhadap
gan (M Dpl) Curah Hujan Tanah
Udara Naungan
(Oc)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
9 Cassia siamea Lam. Johar 0 – 1.000 650 – 1.500 13 – 35 Ringan - se- Asam - netral Drainase Perlu cahaya A3, A6, A9, B4,
(Leguminosae) dang baik kuat/intoleran C2, C4, C7
10 Casuarina glauca Sleb. Cemara 0 – 30 900 – 1.150 10 – 30 Sedang - berat netral Terendam intoleran A3,B9,C3,
(Casuarinaceae) musiman C4,C8,D2
11 Dalbergia latifolia Sonokeling 0 – 600 C,D, 1.800 24 – 33 Ringan - berat Asam - nertral Sangat cepat Semi toleran A4,A6,B4,
Roxb. (Papilionaceae) - baik waktu muda B6,B9,C1, C3-
4,C7,D3, D7
12 Dalbergia sissoo Roxb. Sonobrits 0 – 1.500 500 – 4.000 18 – 33 Ringan - se- Asam - netral Sangat cepat intoleran A4,A6,B4,
(Apilionaceae) dang s/d terham- B6,B9,C1, C3-
bat 4,C7,D3, D7
13 Duabanga moluccana Duabanga 30 – 800 B 27 – 32 Sedang netral Sangat cepat Intoleran C7
Bl. (Sonneratiaceae) s/d baik
14 Dipterocarpus spp. Kruing 0 – 400 A,B,C 20 – 34 Ringan - se- Asam - netral Baik s/d Semi toleran B1-2,B5-8, C7
(Dipterocarpaceae) dang agak ter-
hambat
15 Eucalyptus deglupta Leda 0 – 2.500 2.000 – 5.000 21 – 23 Ringan, se- Asam - netral Drainase Toleran A9,B1-5,C4-
F.Muell. (Myrtaceae) dang, berat baik 5,C7, D4
16 Eucalyptus pellita Ekaliptus 0 – 1.000 900 – 2.400 12 – 34 Ringan - se- Asam - netral Drainase Toleran B1-5,B7-8 ,C2-
F.Muell. (Myrtaceae) pelita dang baik 4,C7,D4
Lampiran
17 Eucalyptus urophylla Ampupu 200 – 3.000 1.100 – 1.950 8 – 26 Ringan, se- Asam - netral Drainase Perlu cahaya B1,C2-5
S.T.Blake (Myrtaceae) dang, berat baik kuat/intoleran
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
18 Gliricidia sepium (Jacq) Gamal 0 – 2.200 500 – 1.800 10 – 34 Ringan, se- Basa, netral, Drainase Perlu cahaya A1-2,A6,B1-2
Walp (Papilionaceae) dang, berat asam baik, lembab kuat/intoleran ,B4,B8,C3-4
551
Lampiran 1. lanjutan
552
Nama Tem-
Nama Botani dan pera- Toleransi
No. Perdagan- Ketinggian Tipe Iklim/ Tekstur Kegunaan
Famili tur Ph Tanah Drainase Terhadap
gan (M Dpl) Curah Hujan Tanah
Udara Naungan
(Oc)
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Lampiran
1
19 Gmelina arborea Roxb. Gmelina 0 – 2.100 1.000 – 4.500 18 – 24 Ringan, se- Netral - asam Drainase Perlu cahaya A6,B2-4, C2-
(Verbenaceae) dang, berat baik, lembab kuat/intoleran 5,C7,D3, D7
20 Gonystilus bancanus Ramin 0 – 100 A,B 29 – 31 Ringan- se- Asam - netral baik s/d Toleran B2,B4,B6, C7-8
Kurz. (Thymeliacidae) dang terhambat
21 Intsia bijuga O.Kize Merbau 0 – 50 A,B,C,D 29 – 33 Ringan - se- Asam - netral Agak cepat - Intoleran B1,C3
(Caesalpininanceae) dang terhambat
22 Khaya antotheca A. Kaya 50 – 300 1.500 – 2.000 20 – 26 Sedang - berat Asam netral Agak cepat Intoleran A1, A6, B2, B4,
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Nama Tem-
Nama Botani dan pera- Toleransi
No. Perdagan- Ketinggian Tipe Iklim/ Tekstur Kegunaan
Famili tur Ph Tanah Drainase Terhadap
gan (M Dpl) Curah Hujan Tanah
Udara Naungan
(Oc)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
29 Peronema canesces Sungkai 0 – 600 A, B, C 24 – 33 Ringan - se- Asam - netral Sangat Intoleran B4, B6
Jack. (Verbenaceae) dang cepat – agak
terhambat
30 Pinus caribea Morelet Caribea 0 – 1.000 60 – 4.000 15 – 34 Ringan - se- Asam - netral Drainase Perlu cahaya B1, B2, B5, C1-
(Pinaceae) Pine dang baik, teren- kuat/ intoleran 4, C6, D1
dam musim
31 Pinus merkusii Jungh & Tusam 800 – 1.600 2.000 – 3.000 16 – 30 Ringan - se- Asam - netral Drainase Perlu cahaya B1-3, C1, C4, C6
de Vriese (Pinaceae) dang baik kuat/ intoleran -7, D1
32 Pinus oocarpa Schiede Ocoti pine 0 – 2.000 750 – 1.500 8 – 30 Ringan – se- Asam - netral Drainase Perlu cahaya B2-3, C1, C3,
(Pinaceae) dang- berat baik kuat/ intoleran C5, D1
33 Pometia pinnata Kurz Matoa 0 – 600 A, B 24 – 33 Ringan - berat Asam - basa Cepat - baik Intoleran B2, B6, D8
(Sapindaceae)
34 Rhizophora apiculata Bakau- 0 – 50 A, B, C 29 – 33 Ringan Asam - basa Agak Intoleran A1, B6-7, C3 –
Bl. (Rhizophoraceae) terhambat 5, C7
bakauan
– sangat
terhambat
35 Santalum album L. Cendana 50 – 800 1.100 – 2.000 22 – 23 Ringan -berat Asam - netral Sangat cepat Intoleran C9, D4, D9
(Santaliaceae) – baik
36 Sesbania grandiflora Turi 0 -800 1.000 – 2.000 18 – 34 Ringan – se- Asam Terendam Perlu cahaya A3-4, A6, A8-9,
Lampiran
38 Shorea macropylla Ash. Meranti 0 – 500 A,B,C 29 – 33 Ringan -se- Asam - netral Agak Semi toleran B1-2, B4, B6
(Dipterocarpaceae) merah dang terhambat -
terhambat
553
Lampiran 1. lanjutan
554
Nama Tem-
Nama Botani dan pera- Toleransi
No. Perdagan- Ketinggian Tipe Iklim/ Tekstur Kegunaan
Famili tur Ph Tanah Drainase Terhadap
gan (M Dpl) Curah Hujan Tanah
Udara Naungan
(Oc)
Lampiran
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
39 Terietia javanica Bl. Palapi 0 – 800 A, B, C 24 – 33 Sedang - berat Asam - netral Baik - ter- Intoleran waktu B1-2, B6-8, C7
(Sterculiaceae) hambat muda
B. Lahan Basah
1. Casuarina equisetifolia Cemara 0 – 1.400 750 – 2.500 10 – 35 Ringan - berat Basa - netral Terandam Perlu cahaya D1,D5,C1-
L. (Casuarinaceae) laut musiman kuat/intoleran 5,D2,D6
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
2. Cassuarina junghuhni- Cemara 0 – 2.100 750 – 2.000 19 – 28 Ringan, se- Basa, netral, Drainase intoleran A1,A9,C2, C4
ana Miq. (Casuarina- gunung,/ dang, berat asam baik
ceae) aturman-
gan
3. Eucalyptus camadulen- - 0 – 1.500 250 – 1.250 10 – 22 Ringan, se- Basa -netral Terendam Perlu cahaya A1,A7,B1,
sis Dehnh. (Myrtaceae) dang, berat musiman kuat/intoleran B8,C1-5,D7
4. Sweitenia macrophylla Mahoni 50 – 1.400 1.600 – 4.000 11 – 35 Sedang - berat Basa - netral Drainase Perlu cahaya B2, B4-5, C4,
King. (Meliaceae) baik kuat /Intoleran C7,C8
5. Tectona grandis (L.f) Jati 0 – 900 1.250 – 3.000 18 – 32 Sedang - berat Basa - netral Drainase Perlu cahaya B1-8, C1-9
(Verbenaceae) baik kuat /Intoleran
C. Lainnya
1 Bruguiera gymnorhiza Bakau 0 – 50 A,B,C 29 – 33 ringan Asam - basa Agak Intoleran C3-4
L. Sav. (Rhizophora- terhambat
ceae) s/d sangat
terhambat
2. Diospiros celebica Back Eboni 0 – 400 1.500 – 3.500 24 – 33 Ringan - se- Asam - basa Sangat cepat Semi toleran B1,B7,C8
(Ebenaceae) dang s/d baik
Sumber: Gintings et al. (2001), Darwo et al. (2005),Syafari dan Mindawati (2010
Lampiran 1. lanjutan
Keterangan :
A. Peranan dalam land use B. Penggunaan kayu gergajian C. Penggunaan kayu bulat D. Produksi kayu lainnya
10. Macam-macam
Lampiran
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
555
Lampiran 2. Kesesuaian lahan beberapa jenis pohon untuk hutan tanaman berdasarkan klasifikasi FAO
556
Penanganan Benih
1 Acacia aulacocarpa - Pemanjatan dan Ekstraksi kering : - Benih dipisahkan Benih dijemur se- - Wadah kedap - Rendam air panas (90oC)
Lampiran
A.Cunn. ex Benth. pengumpulan buah di dari kotoran dengan lama 1 hari - 2 hari sampai dingin selama
(aula) lantai hutan menjemur polong ditampi hingga mencapai KA - Diruang AC 24 jam
selama 3 hari - 4 hari 5%-8% atau DCS
- Buah (polong) berwar- sampai merekah kemudian funikel
na coklat dihilangkan
- SGT
2 Acacia auriculi- - Pemanjatan dan Ekstraksi kering : - Benih dipisahkan Benih dijemur se- - Wadah kedap - Rendam air panas (90oC)
formis A.Cunn. ex pengumpulan buah di dari kotoran dengan lama 1 hari - 2 hari sampai dingin selama
Benth. (akor) lantai hutan menjemur polong ditampi hingga mencapai KA - Diruang AC 24 jam
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
- SGT
3 Acacia crassicarpa - Pemanjatan Ekstraksi kering : - Benih dipisahkan Benih dijemur se- - Wadah kedap - Rendam air panas (90oC)
A.Cunn. ex Benth. dari kotoran dengan lama 1 hari - 2 hari sampai dingin selama
(karpa) - Buah (polong) berwar- menjemur polong ditampi hingga mencapai KA - Diruang AC 24 jam
na coklat selama 3 hari - 4 hari 5%-8% atau DCS
sampai merekah kemudian funikel - Hidrasi-dehidrasi
dihilangkan
- SGT
4 Acacia mangium - Pemanjatan dan Ekstraksi kering : - Benih dipisahkan Benih dijemur se- - Wadah kedap - Rendam air panas (90oC)
Willd. (mangium) pengumpulan buah di dari kotoran dengan lama 1 hari - 2 hari sampai dingin selama
lantai hutan menjemur polong ditampi hingga mencapai KA - Diruang AC 24 jam
selama 3 hari - 4 hari 5%-8% atau DCS
- Buah (polong) berwar- sampai merekah kemudian funikel
na coklat dihilangkan
- SGT
Lampiran 3. lanjutan
Penanganan Benih
5 Adenanthera mi- - Pemanjatan dan Ekstraksi kering, - Benih dipisahkan Benih dijemur sela- - Wadah kedap - Benih direndam asam
crosperma Teijsm. pengumpulan buah di penjemuran buah dari kotoran dengan ma ± 3 hari hingga sulfat 96% selama 30
& Binnend. (saga lantai hutan (polong) selama 1 hari ditampi mencapai KA 6 - Di ruang AC menit
pohon) - 2 hari hingga polong %-8% atau refriger-
- Kulit buah berwarna merekah - SGT ator - Benih direndam air se-
coklat dan mulai lama 5 hari dan ditabur
merekah pada bak kecambah
yang terbuka
- SGT
8 Calliandra tetrag- - Pemanjatan Ekstraksi kering : - Benih dipisahkan Benih dijemur 1 - Wadah kedap - Benih direndam air
ona (Willd.) Benth penjemuran selama dari kotoran dengan hari - 2 hari hingga panas (90oC) sampai
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
(kaliandra putih) - Buah (polong) berwar- 1 hari - 2 hari sampai ditampi mencapai KA 10 % - Di ruang refrig- dingin selama 24 jam
na coklat merekah - 12 % erator
- SGT
563
Lampiran 3. lanjutan
564
Penanganan Benih
9 Canarium indicum - Pemanjatan dan Ekstraksi basah men- Benih dipisahkan dari Benih dijemur sela- - Wadah kedap - Peretakan kulit benih
Lampiran
L. (kenari) pengumpulan buah di gupas kotoran, benih kosong/ ma ± 3 hari hingga lalu direndam air selama
lantai hutan hampa dan benih yang mencapai KA 6 - Di ruang kering 48 jam
buahnya, kemudian terserang hama penyakit %-8% dingin / DCS
- Buah berwarna hitam dicuci dengan air
mengalir hingga
bersih
10 Cassia siamea - pemanjatan sebelum Ekstraksi kering : - Benih dipisahkan Benih dijemur 1 - Wadah kedap - Benih direndam air
Lamk. (johar) polong merekah penjemuran selama dari kotoran dengan hari - 2 hari hingga panas kemudian dibiar-
2 hari - 3 hari sampai ditampi mencapai KA 10 % - Di ruang AC kan dingin selama 12 jam
- buah (polong) merekah - 12 % dan refriger- - 14 jam
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
11 Cassuarina equi- - Pemanjatan sebelum Ekstraksi kering : - Benih dipisahkan dari penjemuran selama - Wadah kedap - Tanpa perlakuan penda-
setifolia L. (cemara runjung (cone) penjemuran selama kotoran nya dengan ± 3 hari hingga men- huluan
laut) merekah 1 hari - 2 hari hingga ditampi capai KA 5 % - 6 % - Di ruang AC
merekah dan refriger-
- Buah berwarna coklat - SGT ator
ke abu-abuan
12 Cassuarina jun- - Pemanjatan sebelum Ekstraksi kering : - Benih dipisahkan dari penjemuran selama - Wadah kedap - Tanpa perlakuan penda-
ghuhniana Miq. runjung (cone) penjemuran selama kotoran nya dengan 1 hari - 2 hari hingga huluan
(cemara gunung) merekah 1 hari – 2 hari hingga ditampi mencapai KA 5 % - Di ruang AC
merekah -8 % dan refriger-
- Buah berwarna kun- - SGT ator
ing hingga coklat
13 Ceiba pentandra - Pemanjatan dan Ekstraksi kering : - Benih dipisahkan Benih dijemur 1 - Wadah kedap - Tanpa perlakuan penda-
(L.) Gaertner (ka- pengumpulan buah di penjemuran selama dari kotoran dengan hari - 2 hari hingga huluan
puk/randu) lantai hutan 2 hari - 3 hari sampai ditampi mencapai KA 10 % - Di ruang refrig-
merekah - 12 % erator
- Buah (polong) berwar- - SGT
na coklat
Lampiran 3. lanjutan
Penanganan Benih
14 Dalbergia latifolia - Pemanjatan Ekstraksi kering : - Benih dipisahkan dari Benih dijemur - Wadah kedap - Benih direndam air
Roxb. (sonokeling) merontokan polong kotoran nya dengan selama 6 hari hingga selama 24 jam
- Buah (polong) berwar- yang sudah kering lalu ditampi mencapai KA 7,42 %, - Diruang AC
na coklat menggosok polong di atau seed drier suhu
atas kawat kassa - SGT 40°C selama 6 jam
15 Eucalyptus deglup- - Pemanjatan Ekstraksi kering : Lolos pada ukuran sar- benih dikering-an- - Wadah kedap - Tanpa perlakuan penda-
ta Blume (leda) penjemuran sampai ingan 600 µm (28 mesh) ginkan selama 2 huluan
- Buah (kapsul) berwar- kapsul merekah (± 3 dan tertahan pada 300 hari - 3 hari hingga - di ruang DCS,
na hijau kecoklatan hari) atau dengan fruit µm (56 mesh) mencapai KA 5 % - refrigerator - Bak kecambah ditutup
drier (t = 40°C selama 10 % atau freezer plastik transparan hingga
48 jam) tumbuh sepasang daun
16 Eucalyptus pellita F. - Pemanjatan Ekstraksi kering, Lolos pada ukuran sar- benih dikering-an- - Wadah kedap - Bak kecambah ditutup
Muell. (pellita) penjemuran sampai ingan600 µm (28 mesh) ginkan selama 2 plastik transparan hingga
- Buah (kapsul) sudah kapsul merekah (± 4 dan tertahan pada 300 hari - 3 hari hingga - di ruang DCS, tumbuh sepasang daun
mulai mengeras, hari) atau dengan fruit µm (56 mesh) mencapai KA 5 % - refrigerator
berwarna coklat tua drier (t = 40°C selama 10 % atau freezer
dan tutup buah mulai 48 jam)
terbuka sebagian
16 Eucalyptus pellita F. - Pemanjatan Ekstraksi kering, Lolos pada ukuran sar- benih dikering-an- - Wadah kedap - Bak kecambah ditutup
Muell. (pellita) penjemuran sampai ingan600 µm (28 mesh) ginkan selama 2 plastik transparan hingga
- Buah (kapsul) sudah - di ruang DCS,
Lampiran
kapsul merekah (± 4 dan tertahan pada 300 hari - 3 hari hingga tumbuh sepasang daun
mulai mengeras, hari) atau dengan fruit µm (56 mesh) mencapai KA 5 % - refrigerator
berwarna coklat tua drier (t = 40°C selama 10 % atau freezer
dan tutup buah mulai 48 jam)
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
terbuka sebagian
565
Lampiran 3. lanjutan
566
Penanganan Benih
17 Eucalyptus uro- - Pemanjatan Ekstraksi kering, Lolos pada ukuran sar- Di kering-anginkan - Wadah kedap - Tanpa perlakuan penda-
phylla S.T. Blake penjemuran sampai ingan 710 µm (24 mesh) hingga mencapai KA huluan
Lampiran
(ampupu) − Buah mulai mengeras, kapsul merekah (± 4 dan tertahan pada 600 6 % - 10 % - Di ruang AC
berwarna coklat tua hari) atau dengan fruit µm (28 mesh) - Bak kecambah ditutup
dan tutup buah mulai drier (t = 40°C selama plastik transparan hingga
terbuka sebagian,teta- 48 jam) tumbuh sepasang daun
pi benih belum keluar
dari buah
18 Hibiscus macro- − Pemanjatan sebelum Ekstraksi kering, Benih dipisahkan dari Benih dijemur se- - Wadah kedap - Benih direndam dalam
phyllus Roxb. ex buah merekah penjemuran sampai kotoran dengan ditampi lama 1 hari - 2 hari asam sulfat 96% selama
Hornem.(tisuk) kapsul merekah (± hingga mencapai KA - Di ruang AC 10 menit
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
19 Hymenaea courbar- - Pengumpulan buah di Ekstraksi kering : Benih dipisahkan dari Benih dijemur sela- - Wadah kedap - Benih dikikir lalu diren-
il L. (kourbaril) lantai hutan kotoran, benih kosong/ ma ± 3 hari hingga dam asam sulfat selama
dapat dilakukan hampa dan benih yang mencapai KA 6 - Di ruang AC 20 menit
- Buah (polong) berwar- dengan cara polong terserang hama penyakit %-8%
na coklat tua diketok/dipukul
dengan palu sampai
polongnya pecah dan
keluar benihnya
20 Intsia bijuga - Pemanjatan dan Ekstraksi kering : Benih dipisahkan dari Benih dijemur sela- - Wadah kedap - Pengikiran tidak boleh
(Colebr.) O. Kuntze pengumpulan buah di kotoran, benih kosong/ ma ± 3 hari hingga merusak embrio benih
(Merbau) lantai hutan Buah dijemur selama hampa dan benih yang mencapai KA 6 - Di ruang AC lalu benih direndam air
1 hari - 2 hari sampai terserang hama penyakit %-8% selama 30 menit
- Kulit buah berwarna buah merekah. Cara
coklat tua sampai mengeluarkan benih - Benih direndam asam
kehitam-hitaman, sulfat pekat selama 1
kulit buah keras, benih dari buah dengan jam lalu dibilas dengan
berwarna coklat tua mengupas buah air sampai bersih
kemerahan secara manual
Lampiran 3. lanjutan
Penanganan Benih
21 Lagerstroemia - Pemanjatan sebelum Ektraksi kering : pen- Benih dipisahkan dari Benih dijemur se- - Wadah kedap - Tanpa perlakuan penda-
speciosa (L.) Pers. buah merekah jemuran sampai buah kotoran dengan ditampi lama 1 hari - 2 hari huluan
(bungur) merekah hingga mencapai KA - Di ruang AC
- Buah berwarna coklat 6%-8% atau refriger-
ator
22 Leucaena glauca - Pemanjatan sebelum Ekstraksi kering : - Benih dipisahkan Benih dijemur 1 - Wadah kedap - Benih direndam air
(Willd.) Benth. polong merekah penjemuran selama dari kotoran dengan hari - 2 hari hingga panas kemudian dibiar-
(lamtoro) 2 hari - 3 hari sampai ditampi mencapai KA 10 % - Di ruang AC kan dingin selama 12 jam
- Buah (polong) merekah - 12 % atau refriger- - 14 jam
berwarna coklat tua - SGT ator
kehitaman - Hidrasi-dehidrasi
23 Leucaena leuco- - Pemanjatan Ekstraksi kering : - Benih dipisahkan Benih dijemur se- - Wadah kedap - Benih direndam air
cephala (Lam.) de penjemuran dari kotoran dengan lama 1 hari - 2 hari panas (90°C) sampai
Wit (lamtoro gung) - Buah (polong) berwar- ditampi hingga mencapai KA - Di ruang kamar dingin selama 24 jam
na coklat sampai polong 6%-8% atau AC
merekah - SGT - Bak kecambah ditutup
. plastik transparan hingga
tumbuh sepasang daun
- Hidrasi-dehidrasi
24 Melaleuca cajuputi - Pemanjatan Ekstraksi kering, Tertahan pada saringan Benih di jemur se- - Wadah kedap - Tanpa perlakuan penda-
Powell (kayu putih) penjemuran sampai 420 µm lama 2 hari - 3 hari huluan
- Buah berwarna hijau kapsul merekah (± hingga mencapai KA - di ruang DCS
kecoklatanhingga 3 hari) 5%-8% atau AC
coklat
Lampiran
25 Mimusops elengi L. - Pemanjatan Ekstraksi basah, buah Benih dipisahkan dari Benih dijemur - Wadah kedap - Tanpa perlakuan penda-
(tanjung) direndam air selama kotoran, benih kosong/ selama ±3 hari huluan
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
- Kulit buah berwarna 24 jam hingga daging hampa dan benih yang hingga mencapai KA - di ruang AC
jingga buah lunak, kemudian terserang hama penyakit 5%-8% atau refriger-
dibersihkan pada air ator
yang mengalir.
567
Lampiran 3. lanjutan
568
Penanganan Benih
26 Paraserianthes fal- - Pemanjatan Ekstraksi kering : po- - Benih dipisahkan Benih dijemur - Wadah kedap − Benih direndam air
Lampiran
cataria (L.) Nielsen long dijemur selama 1 dari kotoran dengan selama 1 hari hingga panas (90oC) sampai
(sengon) - Buah (polong) berwar- hari - 2 hari ditampi mencapai KA 5 % - Di ruang dingin selama 24 jam
na coklat -8% kamar, ber AC
- SGT atau DCS − Hidrasi-dehidrasi
27 Pericopsis moo- - Pemanjatan Ekstraksi kering : po- - Benih dipisahkan Benih dikering-ang- - Wadah kedap - Benih direndam asam
niana (Thwaites) long dijemur selama dari kotoran dengan inkan diruang suhu sulfat 0,1 M selama 20
Thwaites (kayu - Kulit buah (polong) 2 hari - 3 hari hingga ditampi kamar hingga men- - Di ruang refrig- menit lalu bilas dengan
kuku) berwarna coklat merekah capai KA 6 % - 8 % erator air
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
- SGT
.
28 Pinus merkusii Jun- - Pemanjatan Ekstraksi kering : buah - Benih dipisahkan Benih dijemur - Wadah kedap - Priming (hidrasi-de-
ghuhn & de Vriese dijemur dari kotoran dengan selama 1 hari hingga hidrasi) : merendam
(tusam) - Buah (kerucut) ditampi mencapai KA 5 % - Di ruang ka- benih selama 12 jam
berwarna hijau tua, selama 7 hari hingga -8% mar, AC, DCS lalu dikeringkan selama
dengan sisik dan mekar - SGT 24 jam, perlakuan yang
sayap benih berwarna sama diulang 2 kali
coklat. Untuk meng-
etahui warna sayap
yang tepat, ujung
buah diiris
29 Pterocarpus indicus - pemanjatan Ekstraksi kering : - Benih dipisahkan dari Benih diikering-an- - Wadah kedap - Bagian benih selain ra-
Willd (angsana) kotoran nya dengan ginkan selama 2 dikula dipotong dengan
- Buah (polong) Memotong sayap ditampi hari – 3 hari hingga - Di ruang refrig- gunting
berwarna coklat buah mencapai KA 4 erator
atau sayapnya telah % -7%
berwarna coklat
Lampiran 3. lanjutan
Penanganan Benih
30 Samanea saman - Pengambilan buah di Ekstraksi kering : ta- - Membuang benih- Benih diikering-an- - Wadah kedap - Benih direndam air
(Jacquin) Merrill lantai hutan ruh polong ditempat benih kosong/ ginkan selama 2 panas (80°C) selama 1
(kihujan/trembesi) gelap dimana rayap hampa dan benih hari - 3 hari hingga - Di ruang ka- menit - 2 menit (vol. air
- Kulit buah (polong) memakan kulit dan yang terserang hama mencapai KA 4 mar, AC, DCS = 5 x vol. benih), aduk
berwarna coklat daging buah penyakit % -7% benih lalu tiriskan. Kemu-
kehitaman dian benih direndam air
suam-suam kuku (40°C)
selama 24 jam
31 Tamarindus indica - Pemanjatan Ekstraksi kering dan - Benih dipisahkan Benih dijemur - Wadah kedap - Tanpa perlakuan penda-
L. (asam jawa) basah : dari kotoran dengan selama 2 hari - 3 hari huluan
- Permukaan polong ditampi hingga mencapai KA - Ruang AC,
retak, bergemerincing Buah dijemur selama 6%-8% refrigerator, - Untuk benih dalam
jika dikocok dan buah 3 hari - 5 hari, DCS jumlah besar, benih
pertama jatuh ke kemudian pecahkan direndam air panas
tanah dengan kayu ringan,
selanjutnya rendam
selama 12 jam dan
bersihkan benih dari
kulit daging buah.
Lampiran
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
569
Lampiran 3. lanjutan
570
Penanganan Benih
32 Tectona grandis L.f. - Pemanjatan dan Ekstraksi kering : - Benih dipisahkan Menjemur benih jati - Wadah kedap - Benih direndam air
Lampiran
(jati) pengumpulan buah di dari kotoran, benih selama 3 hari - 4 hari selama 3 hari
lantai hutan - Buah dijemur kosong/ hampa dan sampai KA mencapai - Di ruang AC
kurang lebih 2 benih yang terserang 8 % - 12 % - Benih direndam air 1
- Kulit buah berwarna hari sampai KA hama penyakit malam lalu dimasukkan
coklat mencapai 10 dalam kantong plastik
- Sortasi benih hingga kulit benih pecah/
% - 12 % dan
berdasarkan ukuran retak
sungkup buah
diameter yaitu :
terlihat kering - Bekas tangkai dibenam-
dan terlepas • Mutu 1 : > 14 mm
kan pada media sedalam
• Mutu 2 : 12 mm ± 2 cm
- Pemeraman
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
-14 mm
selama 1 bulan - Bak tabur ditutup plastik
• Mutu 3 : < 12 mm
transparan
- Hidrasi dehidrasi
33 Wrightia pubescens - Pemanjatan Ekstraksi kering: - Sayap pada benih Benih dijemur se- - Wadah kedap - Tanpa perlakuan penda-
R. Br.(bentawas) dibuang lama 1 hari - 2 hari huluan
- Buah berwarna hijau - Buah dijemur se- hingga mencapai KA - Di ruang AC,
kekuningan hingga lama1 hari - 2 hari - Benih dipisahkan 5%-8% atau refriger-
kuning hingga merekah dari kotoran dengan ator
ditampi
34 Zanthoxyllum - Pemanjatan Ekstraksi kering dan - Benih dipisahkan Benih dikering- an- - Wadah kedap - Benih direndam asam
rhetsa (Roxb.) DC. basah : dari kotoran dengan ginkan selama 1 sulfat (H2SO4) pekat
(panggal buaya) - Kulit buah berwarna ditampi hari - 2 hari hingga - Di ruang AC selama 2 jam, lalu bilas
- Buah dijemur atau
merah atau hitam mencapai KA 5 dengan air
dikering-nginkan
selama 3 hari - 4 %-8%
- Bak kecambah ditutup
hari hingga kulit
plastik transparan hingga
buah merekah;
tumbuh sepasang daun
- Kulit buah digosok,
lalu benih dicuci
dengan air men-
galir
Lampiran 4. Penanganan benih intermediate
Pemrosesan Benih
Pengumpulan Buah
No Jenis dan Indikator Kema- Pengemasan dan Perlakuan Pendahuluan,
Pembersihan, Seleksi Pengeringan
sakan Ekstraksi Benih Penyimpanan Perkecambahan dan
dan Sortasi Benih Benih
Benih Priming
1 Aleurites moluc- - Pengumpulan buah Ekstraksi basah, mem- Benih dipisahkan dari Benih dijemur - Wadah berpori - Benih ditipiskan dengan
cana (L.) Willd. di lantai hutan benamkan buah dalam kotoran, benih kosong/ selama 10 hari girinda atau amplas
(kemiri) tanah/lumpur sampai kulit hampa dan benih yang hingga mencapai - Di ruang kamar
- Kulit buah berwarna buah membusuk dan han- terserang hama penyakit KA 9 % - 12 % atau AC - Bagian datar benih
coklat cur, kemudian dibersihkan dipendam ± 1,5 cm
di air mengalir.
2 Alstonia schol- - Pemanjatan sebe- Ekstraksi kering : polong - Benih bersayap, pemis- Benih dikering-an- - Wadah kedap - Tanpa perlakuan penda-
aris (L.) R. Br. lum buah merekah diangin-anginkan pada ahan sayap dari benih ginkan selama huluan
(pulai) menggunakan food 2 hari - 3 hari - Di ruang DCS
- Buah (polong) suhu kamar selama 3 hari processor hingga mencapai atau refrigerator - Bak kecambah ditutup
berwarna hijau tua - 7 hari di dalam peti kayu KA 7 % - 9 % plastik transparan hingga
hingga kekuningan yang di atasnya ditutupi - Benih dipisahkan dari tumbuh sepasang daun
kawat kasa kotoran, benih kosong/
hampa dan benih - Hidrasi-dehidrasi
yang terserang hama
penyakit
3 Altingia excelsa - Pemanjatan Ekstraksi kering : penjemu- - Benih dipisahkan Benih dikering-an- - Wadah kedap - Tanpa perlakuan penda-
Noronha (rasa- ran selama 1 hari - 2 hari dari kotoran dengan ginkan selama 2 huluan
mala) - Sisik buah berwarna atau seed drier pada suhu ditampi hari - 3 hari hingga - Di ruang DCS
hijau kecoklatan 38°C - 42°C selama 20 jam mencapai KA 5 atau refrigerator
sampai coklat %-9%
4 Anacardium - Pemanjatan, peng- Ekstraksi kering : mem- Benih dipisahkan dari Benih di kering - Wadah kedap - Tanpa perlakuan penda-
occidentale Linn. umpulan buah di buang buah semunya kotoran, benih kosong/ anginkan selama 2 huluan
(jambu monyet) lantai hutan secara langsung hampa dan benih yang hari - 3 hari hingga - Di ruang AC dan
terserang hama penyakit mencapai KA 8 % refrigerator
- Kulit buah berwarna - 15 %
kuning kemerahan
Lampiran
atau kemerahan
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
571
Lampiran 4. lanjutan
572
Pemrosesan Benih
Pengumpulan Buah
No Jenis dan Indikator Kema- Pengemasan dan Perlakuan Pendahuluan,
Pembersihan, Seleksi Pengeringan
sakan Ekstraksi Benih Penyimpanan Perkecambahan dan
dan Sortasi Benih Benih
Benih Priming
5 Anthocephalus - Pengumpulan buah Ekstraksi basah bertahap : Lolos pada ukuran sar- Benih dikering- - Wadah kedap - Tanpa perlakuan penda-
cadamba (Roxb.) di lantai hutan ingan 420 µm (35 mesh) anginkan selama 3 huluan
Miq. (jabon - Diperam dalam air sam- dan tertahan pada 250 hari - 4 hari hingga - Di ruang refrig-
putih) - Buah berwarna pai daging buah lunak; µm (60 mesh) mencapai KA 7 % erator - Bak kecambah ditutup
Lampiran
6 Anthocephalus - Pengumpulan buah Ekstraksi kering-basah Lolos pada ukuran sar- Benih dikering- - Wadah kedap - Tanpa perlakuan penda-
macrophyllus di lantai hutan bertahap : ingan 420 µm (40 mesh) anginkan selama 3 huluan
(Roxb.) Havil. dan tertahan pada 250 hari - 4 hari hingga - Di ruang refrig-
(jabon merah) - Buah berwarna kun- - Buah dijemur selama µm (60 mesh) mencapai KA 7 erator - Bak kecambah ditutup
ing hingga coklat 10 hari, kemudian %-10 % plastik transparan hingga
muda diremas-remas hingga tumbuh sepasang daun
hancur
- Wadah kedap
atau kantong
alumunium foil
berlapis-lapis di
ruang freezer
10 Dipterocar- - Pengumpulan buah Ekstraksi kering : Tanpa - Benih dipisahkan dari Dikering anginkan - Wadah berpori - Tanpa perlakuan penda-
pus intricatus di lantai hutan penjemuran kotoran, benih hampa pada suhu kamar dan atau meng- huluan
(keruing dan yang terkena hingga KA menca- gunakanbahan
- Buah berwarna Sebagian sayap dihilangkan hama penyakit pai 10 % pencampur
coklat lembab
Lampiran
- Diruang AC atau
kamar
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
573
Lampiran 4. lanjutan
574
Pemrosesan Benih
Pengumpulan Buah
No Jenis dan Indikator Kema- Pengemasan dan Perlakuan Pendahuluan,
Pembersihan, Seleksi Pengeringan
sakan Ekstraksi Benih Penyimpanan Perkecambahan dan
dan Sortasi Benih Benih
Benih Priming
11 Dipterocarpus - Pengumpulan buah Ekstraksi kering : Tanpa - Benih dipisahkan dari Dikering anginkan - Wadah berpori - Tanpa perlakuan penda-
di lantai hutan penjemuran kotoran, benih hampa pada suhu kamar dan atau meng- huluan
tuberculatus dan yang terkena hingga KA menca- gunakanbahan
(keruing) - Buah berwarna Sebagian sayap dihilangkan hama penyakit pai 10 % pencampur
Lampiran
coklat lembab
- Diruang AC atau
kamar
12 Duabanga mo- - Pemanjatan Ekstraksi kering : Benih tidak perlu disortir Benih dikering-an- - Wadah kedap - Tanpa perlakuan penda-
luccana Blume ginkan selama 3 huluan
(benuang laki/ - Buah (kapsul) ber- menjemur buah selama 1 hari - 4 hari hingga - Di ruang AC
takir) warna coklat hari sampai tutup buahnya mencapai KA 7 %
- 10 %
terbuka
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
13 Dyera lowii - Pemanjatan Ekstraksi kering penjemu- Benih dipisahkan dari Benih dikering-an- - Wadah kedap - Tanpa perlakuan penda-
Hook.f. (jelutung ran selama 5 hari – 7 hari kotoran, benih kosong/ ginkan selama huluan
rawa) - Buah (polong) ber- hingga polong membuka hampa dan benih yang 1 malam hingga - Di ruang AC
warna coklat dan terserang hama penyakit mencapai KA 10 % - Hidrasi-dehidrasi
belum merekah
14 Enterolobium - Pemanjatan Ekstraksi kering, penjemu- - Benih dipisahkan Dikering-anginkan - Wadah kedap - Benih direndam H2SO4
cyclocarpum ran buah hingga polong dari kotoran dengan hingga mencapai pekat selama 35 menit
Griseb. (sengon - Kulit buah (polong) merekah ditampi KA 9 % - 12 % - Di ruang AC atau dan dicuci dengan air
buto) berwarna coklat refrigerator mengalir
- SGT
- Matrikonditioning abu
dapur
Lampiran 4. lanjutan
Pemrosesan Benih
Pengumpulan Buah
No Jenis dan Indikator Kema- Pengemasan dan Perlakuan Pendahuluan,
Pembersihan, Seleksi Pengeringan
sakan Ekstraksi Benih Penyimpanan Perkecambahan dan
dan Sortasi Benih Benih
Benih Priming
15 Fagraea - Pemanjatan Ekstraksi basah-kering : Lolos dan tertahan uku- Dikering-anginkan - Wadah kedap - Benih direndam H2O2 5%
fragrans Roxb. buah direndam selama ran saringan 840 µm (20 selama ± 5 hari di selama 24 jam
(tembesu) - Buah berwarna 2 jam kemudian remas- mesh) dan tertahan pada suhu kamar hingga - Di ruang refrig-
merah sampai remas, dan disaring dengan 710 µm (24 mesh) mencapai KA 9 % erator - Benih direndam air
merah terang panas (90°C) dan
ayakan kemudian di kering - 12 % dibiarkan dingin selama
anginkan 24 jam
- Hidrasi-dehidrasi
16 Ficus variegata - Pemanjatan dan Ekstraksi basah, buah Tertahan pada saringan Benih dikering-an- - Wadah kedap - Tanpa perlakuan penda-
Blume (nyawai) pengumpulan buah diperam selama 3 hari - 4 600 µm (28 mesh) ginkan selama huluan
di lantai hutan hari lalu diblender, kemudi- 24 jam hingga - Di ruang AC atau
an disaring mencapai KA 9 refrigerator - Bak kecambah ditutup
- Buah berwarna plastik transparan hingga
% - 12 % tumbuh sepasang daun
merah kehitam-hi-
taman
17 Gmelina arborea - Pengumpulan buah - Ekstraksi basah : secara Dengan cara merendam Benih dikering-an- - Wadah kedap - Bagian benih yang
Roxb. (jati putih) di lantai hutan manual, atau di blender dalam air, benih yang ginkan selama berlubang diletakkan
untuk membersihkan terapung tidak dipilih 4 hari - 6 hari - Di ruang AC pada bagian atas, benih
- Kulit buah berwarna sisa daging buah yang hingga mencapai ditanam sedalam 2/3
hijau kekuningan panjang benih
melekat after ripening KA 9 % - 12 %
selama 2 minggu - Hidrasi-dehidrasi
18 Khaya antho- - Pemanjatan Ekstraksi kering : pen- Benih dipisahkan dari Benih dikering-an- - Wadah kedap - Tanpa perlakuan penda-
techa (Welw.) jemuran kotoran, benih kosong/ ginkan selama huluan
C. DC. (khaya/ - Kulit buah berwarna hampa dan benih yang 1 hari - 2 hari - Di ruang AC
Lampiran
mahoni afrika) coklat selama 2 hari - 4 hari. terserang hama penyakit hingga mencapai - Matrikonditioning abu
dapur
KA 9 % - 12 %
19 Lithocarpus - Pemanjatan Ekstraksi kering : secara Benih dipisahkan dari benih dikering - Wadah kedap - Tanpa perlakuan penda-
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
javensis Blume manual yaitu mengeluar- kotoran, benih kosong/ anginkan selama huluan
(Syn. Quercus - Kulit buah berwarna kan benih dari buah den- hampa dan benih yang 2 hari - 3 hari - Di ruang AC
costata Blume) coklat tua gan menggunakan tangan terserang hama penyakit hingga mencapai
KA 9 % - 12 %
575
Lampiran 4. lanjutan
576
Pemrosesan Benih
Pengumpulan Buah
No Jenis dan Indikator Kema- Pengemasan dan Perlakuan Pendahuluan,
Pembersihan, Seleksi Pengeringan
sakan Ekstraksi Benih Penyimpanan Perkecambahan dan
dan Sortasi Benih Benih
Benih Priming
20 Maesopsis em- - Pemanjatan dan Ekstraksi basah : Benih dipisahkan dari Dijemur selama 1 - Wadah kedap - Rendam benih dalam
inii Engl. (kayu pengumpulan buah kotoran, benih kosong/ hari - 2 hari hingga H2SO4 (20 N) selama 20
afrika) di lantai hutan merendam buah dalam air hampa dan benih yang mencapai KA 4 - Di ruang DCS menit kemudian bilas
selama 1 hari , kemudian terserang hama penyakit %-9% dengan air
Lampiran
21 Magnolia blumei - Pemanjatan ketika Ekstraksi kering dan basah : Benih dipisahkan dari Benih dikering-an- - Wadah berpori - Tanpa perlakuan penda-
Prantl (Syn. buah mulai mer- kotoran, benih kosong/ ginkan selama huluan
Manglietia glau- ekah - Penjemuran buah sam- hampa dan benih yang 24 jam - Di ruang refrig-
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
- Hidrasi-dehidrasi
Lampiran 4. lanjutan
Pemrosesan Benih
Pengumpulan Buah
No Jenis dan Indikator Kema- Pengemasan dan Perlakuan Pendahuluan,
Pembersihan, Seleksi Pengeringan
sakan Ekstraksi Benih Penyimpanan Perkecambahan dan
dan Sortasi Benih Benih
Benih Priming
24 Melia azedarach - Pemanjatan dan Ekstraksi basah, buah Benih dipisahkan dari Di kering-anginkan - Wadah kedap - Benih dikeluarkan dari
L. (mindi besar) pengumpulan buah direndam hingga kulit kotoran, benih kosong/ di ruang kamar endocarp dengan cara
di lantai hutan buah lunak kemudian dicu- hampa dan benih yang atau AC hingga - Di ruang AC dibelah lalu ditabur
ci di air mengalir terserang hama penyakit KA mencapai 9 %
- Kulit buah berwarna - 12 % - Bak kecambah ditutup
hijau kekuningan plastik transparan hingga
tumbuh sepasang daun
25 - Pemanjatan, peng- Ekstraksi kering : buah Penyaringan dengan Benih dikering- - Wadah kedap Bak kecambah ditutup
umpulan buah di dijemur selama 3 hari ayakan ukuran 210 µm anginkan selama 3 plastik transparan hingga
lantai hutan sampai merekah (65 mesh) hari - 4 hari hingga - Di ruang DCS tumbuh sepasang daun
mencapai KA 7 % atau AC
- Buah berwarna -10 %
hijau tua sampai
kehitam-hitaman
26 Santalum album - Pemanjatan Ekstraksi basah : buah Benih dipisahkan dari Benih dikering-an- - Wadah kedap - Tanaman inang berdaun
L. (cendana) diremas-remas kemudian kotoran, benih kosong/ ginkan selama 1 tipis dan kecil, bertajuk
- Buah berwarna dicuci dengan air, hingga hampa dan benih yang hari - 2 hari hingga - Di ruang DCS, AC runcing, sistem pera-
hitam keunguan benih bersih dari daging terserang hama penyakit mencapai KA 5 karan sukulen, mudah
buah % - 8 %, bertunas setelah dipang-
kas (seperti Althenan-
thera sp / bayam-baya-
man, Crotalaria juncea
/ orok-orok, Portilaca
oleraceae / krokot,
Desmantus virgatus /
Lampiran
- Matrikonditioning ser-
buk gergaji
577
Lampiran 4. lanjutan
578
Pemrosesan Benih
Pengumpulan Buah
No Jenis dan Indikator Kema- Pengemasan dan Perlakuan Pendahuluan,
Pembersihan, Seleksi Pengeringan
sakan Ekstraksi Benih Penyimpanan Perkecambahan dan
dan Sortasi Benih Benih
Benih Priming
27 Schima wallichii - pemanjatan Ekstraksi kering : penjemu- - Benih dipisahkan Benih dikering-an- - Wadah kedap - Tanpa perlakuan penda-
(DC.)Korth ran selama dari kotoran dengan ginkan selama 2 huluan
(puspa) - Buah berwarna ditampi hari - 3 hari hingga - Di ruang DCS
coklat. 5 hari – 8 hari. atau refrigerator
Lampiran
mencapai KA 7
%-9%
28 Schleichera - Pemanjatan Ekstraksi basah, buah Benih dipisahkan dari Di kering-anginkan - Wadah kedap - Benih direndam di air
oleosa Merr. diperam (after ripening) kotoran, benih kosong/ di ruang kamar selama 24 jam
(kesambi) - Kulit buah berwarna diinjak-injak sampai pecah hampa dan benih yang atau AC hingga - Di ruang AC
hijau kekuningan atau dengan blender, dag- terserang hama penyakit KA mencapai 9 % - benih ditanam sedalam
dan coklat, buah ing buah dibersihkan - 12 % 2/3 panjang benih
berbentuk bulat
berdaging lunak dengan air mengalir. - Hidrasi-dehidrasi
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
29 Sterculia foetida - Pemanjatan Ekstraksi kering : Benih dipisahkan dari Benih dikering-an- - wadah kedap Matrikonditioning abu
L. (kepuh) lapisan/selaput berwarna ginkan selama 2 gosok
- Kulit buah berwarna - Penjemuran untuk buah hitam dengan pasir halus minggu hingga - Di ruang kamar,
coklat tua dan yang belum merekah lalu dicuci, selanjutnya mencapai KA ±10% DCS dan AC
belum merekah benih dipisahkan dari
- Buah dibelah manual kotoran, benih kosong/
untuk mengeluarkan hampa dan benih yang
benihnya terserang hama penyakit
30 Styrax benzoin - Pengumpulan buah Ekstraksi kering : buah Benih dipisahkan dari Di kering-angink- - Wadah kedap - Hidrasi-dehidrasi (ren-
Dryander (ke- dari lantai hutan dibelah secara manual kotoran, benih kosong/ an di ruang kamar dam- jemur) selama 3
menyan) hampa dan benih yang atau AC hingga - Di ruang AC atau hari sampai kulit benih
- Kulit buah berwarna terserang hama penyakit KA mencapai 9 refrigerator retak
coklat % - 12 %
Lampiran 4. lanjutan
Pemrosesan Benih
Pengumpulan Buah
No Jenis dan Indikator Kema- Pengemasan dan Perlakuan Pendahuluan,
Pembersihan, Seleksi Pengeringan
sakan Ekstraksi Benih Penyimpanan Perkecambahan dan
dan Sortasi Benih Benih
Benih Priming
31 Swietenia mac- - Pemanjatan Ekstraksi kering : Benih dipisahkan dari Dijemur selama 1 - Wadah kedap - Pada saat penaburan,
rophylla King kotoran dengan ditampi hari - 2 hari lalu di benih dibenamkan 2/3
(mahoni) - Kulit buah berwarna - Buah diperam (after kering-anginkan - Di ruang AC atau bagian dengan posisi
coklat tua kea- ripening) selama 1 hari DCS sayap di atas
bu-abuan dengan hingga mencapai
bintik putih pada - Dijemur hingga merekah KA 5 % - 8 % - Osmokonditionin dengan
hampir separuh atau dipecahkan secara KNO3, hidrasi-dehidrasi
bagian kulit buah, manual
dan buahnya mu-
dah pecah. Benih - Sayap benih dipotong
di dalam berwarna sebagian
coklat tua
32 Terminalia - Pemanjatan dan Ekstraksi basah mengupas - Benih dipisahkan dari Benih dikering-an- - Wadah berpori - Peretakan kulit benih
catappa L. pengumpulan buah kotoran, benih kosong/ ginkan selama 1 lalu direndam air selama
(ketapang) di lantai hutan buahnya, kemudian dicuci hampa dan benih hari - 2 hari hingga - Di ruang AC 48 jam
dengan air mengalir hing- yang terserang hama mencapai KA 12%
- Kulit buah berwarna ga bersih penyakit
abu-abu kecoklatan
33 Toona sinensis - Pemanjatan Ekstraksi kering : penjemu- - Benih dipisahkan Benih dikering-an- - Wadah berpori - Hidrasi - dehidrasi
(Adr. Juss.) M.J. ran dilakukan 1 hari - 3 hari dari kotoran dengan ginkan selama 1
Roemer (surian) - Buah berwarna hingga buah merekah ditampi hari - 2 hari hingga - Di ruang AC
coklat tua dan se- mencapai KA 10 %
bagian buah sudah -12 %
terlihat merekah
34 Vitex cofassus - Pemanjatan Ekstraksi basah : buah - Benih dipisahkan Benih dijemur 2 - Wadah berpori - Benih direndam air
Reinw. ex Blume diperam 1 malam, lalu di- dari kotoran dengan hari - 3 hari hing- panas (90°C) selama 10
(biti) - Buah berwarna gosok dengan tangan sam- ditampi ga mencapai KA 8 - Di ruang AC menit kemudian diti-
hitam pai daging buah lepas lalu % -12 % riskan selama 24 jam
Lampiran
Pemrosesan Benih
Pengumpulan Buah
Perlakuan Pendahuluan,
No Jenis dan Indikator Kema- Pembersihan, Seleksi Pengemasan dan
Ekstraksi Benih Pengeringan Benih Perkecambahan dan
sakan dan Sortasi Benih Penyimpanan Benih
Priming
1 Agathis loran- - Pemanjatan Ekstraksi kering tanpa Benih dipisahkan dari benih dikering-an- - Wadah berpori - Tanpa perlakuan
thifolia Salisb. penjemuran dengan kotoran dengan ditampi ginkan selama 1 pendahuluan
Lampiran
(damar) - Buah kerucut) cara pemeraman hari- 2 hari hingga - benih dicampur
berwarna hijau tua / kerucut dalam karung mencapai KA 25 % dengan fungisida - Matrikonditioning
hijau tua kecoklatan berpori selama 1 hari - bubuk dengan dengan abu dapur
2 hari hingga pecah konsentrasi 1
%-2%
- di ruang AC
2 Anisoptera - Pemanjatan dan Ekstraksi kering : Tanpa - Benih dipisahkan dari Tanpa pengeringan, - wadah berpori - Tanpa perlakuan penda-
costata Korth. pengumpulan buah penjemuran kotoran, benih hampa KA dipertahankan (kantong plastik huluan
(mersawa) di lantai hutan dan yang terkena > 44 % berventilasi) dan
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
- diruang AC
3 Anisoptera mar- - Pemanjatan dan Ekstraksi kering : Tanpa - Benih dipisahkan dari Tanpa pengeringan, - wadah berpori - Tanpa perlakuan penda-
ginata Korth. pengumpulan buah penjemuran kotoran, benih hampa KA dipertahankan (kantong plastik huluan
(mersawa) di lantai hutan dan yang terkena > 48 % berventilasi) dan
Sebagian sayap dihil- hama penyakit atau menggu-
- Buah berwarna angkan nakan bahan pen-
coklat campur lembab
- diruang AC
4 Aquilaria mal- - Pemanjatan atau Ekstraksi basah: buah Membuang benih-benih benih dikering – Tidak bisa disimpan - Tanpa perlakuan
accensis Lamk. pengumpulan buah dikering anginkan hing- kosong/ hampa anginkan selama 1 lama (selama trans- pendahuluan
(gaharu) di lantai hutan ga kapsul pecah hari - 2 hari hingga portasi, DB sudah
mencapai KA ≥ 15 % menurun) - Hidrasi-dehidrasi
- Buah berwarna Benih dipisahkan dari
kuning hingga coklat kulit buah secara
atau pecah manual
Lampiran 5. lanjutan
Pemrosesan Benih
Pengumpulan Buah
Perlakuan Pendahuluan,
No Jenis dan Indikator Kema- Pembersihan, Seleksi Pengemasan dan
Ekstraksi Benih Pengeringan Benih Perkecambahan dan
sakan dan Sortasi Benih Penyimpanan Benih
Priming
Azadirachta - Pemanjatan dan Ekstraksi basah, secara Benih dipisahkan dari Benih dikering- an- - Tidak bisa disim- - Benih ditabur dengan
excelsa (Jack) pengumpulan buah manual kotoran, benih kosong/ gin selama ± 1 hari pan lama (selama posisi terbaring yang
Jacobs (sentang dari lantai hutan hampa dan benih yang hingga mencapai KA transportasi, DB dibenamkan separuh
/ kayu bawang) dengan cara meng- terserang hama penyakit ≥ 50% sudah menurun) bagian
- Kulit buah berwarna gosok dan melumatnya
hijau kekuningan bersamaan - tanpa perlakuan penda-
huluan
dengan pasir kasar,
kemudian dicuci den-
gan air hingga daging
dan kulit buahnya terle-
pas atau menggunakan
alat pengupas kopi
6 Azadirachta - Pemanjatan Ekstraksi basah : Benih dipisahkan dari Benih dikering-ang- - Wadah berpori - Tanpa perlakuan penda-
indica A.H.L. manual digosok-gosok kotoran, benih kosong/ inkan selama 2 hari huluan
Juss. (mimba / - Kulit buah berwarna dengan tangan meng- hampa dan benih yang hingga mencapai KA - Di ruang AC
intaran) hijau kekuningan gunakan pasir terserang hama penyakit ≥ 15%
sampai kuning
7 Calamus spp. - Pengunduhan den- Ekstraksi basah, buah Benih dipisahkan dari Benih dikering-ang- - Wadah kedap - Tanpa perlakuan
(rotan-rotanan) gan menggunakan direndam selama 48 kotoran, benih kosong/ inkan selama 1 hari pendahuluan
galah jam, hingga kulit buah hampa dan benih yang hingga mencapai KA - Di ruang AC
melunak dan daging terserang hama penyakit 40 % -45 % - Hidrasi-dehidrasi
- kulit buah keras buah dikupas lalu
berwarna kuning direndam alkohol 75
kecoklatan % selama 1 menit, lalu
bilas dengan air
Lampiran
8 Diospyros Ekstraksi kering, pem- Benih dipisahkan dari Benih dikering-an- Penyimpanan semen- - Tanpa perlakuan penda-
celebica Bakh. belahan buah kotoran, benih kosong/ ginkan suhu kamar tara dalam wadah huluan
(eboni) hampa dan benih yang selama 1 hari hingga berpori
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pemrosesan Benih
Pengumpulan Buah
Perlakuan Pendahuluan,
No Jenis dan Indikator Kema- Pembersihan, Seleksi Pengemasan dan
Ekstraksi Benih Pengeringan Benih Perkecambahan dan
sakan dan Sortasi Benih Penyimpanan Benih
Priming
9 Dracontomelon - Pemanjatan Ekstraksi basah, buah Benih dipisahkan dari Benih dikering-an- - Wadah kedap - Tanpa perlakuan penda-
dao (Blanco) diperam selama 1 kotoran, benih kosong/ ginkan pada suhu ka- huluan
Merr. & Rolfe - Kulit buah berwarna malam, hingga daging hampa dan benih yang mar selama 1 malam - Di ruang AC
Lampiran
(dahu) kuning buah lunak, cuci bersih terserang hama penyakit hingga mencapai KA
pada air mengalir 20 %
10 Dryobalanops - Pemanjatan dan Ekstraksi kering : Tanpa - Benih dipisahkan dari Tanpa pengeringan, - Wadah berpori - Tanpa perlakuan penda-
aromatica pengumpulan buah penjemuran, kotoran, benih hampa KA dipertahankan dan atau menggu- huluan
Gaertner f. (syn. di lantai hutan dan yang terkena > 40 % nakan bahan pen-
Dryobalanops sebagian sayap dihil- hama penyakit campur lembab
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
15 Gonystylus - Pengumpulan buah Ekstraksi basah : dilaku- Benih dipisahkan dari Benih dikering- an- Tidak bisa disimpan - Tanpa perlakuan
bancanus (Miq.) di lantai hutan kan dengan mencuci kotoran, benih kosong/ ginkan selama ± 1 lama pendahuluan
Kurz (ramin) dan hampa dan benih yang hari hingga menca-
- Kelopak buah pecah terserang hama penyakit pai KA ≥ 40 % - Bak tabur dututup
dan dari kejauhan membersihkan sisa-sisa plastik transparan
buah Nampak daging buah yang ter-
berwarna kemer- dapat pada kulit benih - Hidrasi-dehidrasi
Lampiran
ah-merahan
16 Hopea meng- - Pengumpulan buah Ekstraksi kering : Tanpa - Benih dipisahkan dari Tanpa pengeringan, - wadah berpori - Tanpa perlakuan penda-
arawan Miq. di lantai hutan penjemuran kotoran, benih kosong/ Kadar air dipertah- dan atau menggu- huluan
(merawan) hampa dan benih ankan > 44 % nakan bahan pen-
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Pemrosesan Benih
Pengumpulan Buah
Perlakuan Pendahuluan,
No Jenis dan Indikator Kema- Pembersihan, Seleksi Pengemasan dan
Ekstraksi Benih Pengeringan Benih Perkecambahan dan
sakan dan Sortasi Benih Penyimpanan Benih
Priming
17 Hopea odorata - Pengumpulan buah Ekstraksi kering : Tanpa - Benih dipisahkan dari Tanpa pengeringan, - Wadah berpori - Tanpa perlakuan penda-
Roxb. (merawan) di lantai hutan penjemuran kotoran, benih kosong/ Kadar air dipertah- dan atau menggu- huluan
hampa dan benih ankan ≥ 30 % nakan bahan pen-
Lampiran
19 Palaquium - Pemanjatan Ekstraksi basah : Benih dipisahkan dari Di kering-anginkan - Wadah berpori - Tanpa perlakuan penda-
rostratum (Miq.) kotoran, benih kosong/ diruang AC selama huluan
Burck (nyatoh) - Kulit buah berwarna buah diinjak-injak atau hampa dan benih yang 24 jam hingga men- - Diruang AC
hijau food processor terserang hama penyakit capai KA ≥ 40 %
kemudian dicuci den-
gan air yang mengalir
20 Planchonia - Pemanjatan Ekstraksi basah: Benih dipisahkan dari Benih dikering- an- - Benih tidak bisa - Tanpa perlakuan penda-
valida (Blume) kotoran, benih kosong/ ginkan selama 1 disimpan lama huluan
Blume (putat) - Kulit buah berwarna Buah dibelah kemudian hampa dan benih yang hari – 2 hari hinga
hijau kecoklatan benih dicuci air hingga terserang hama penyakit mencapai KA ≥ 15%
bersih
21 Podocarpus - Pemanjatan, peng- Ekstraksi kering : Benih dipisahkan dari Di kering-anginkan - Wadah berpori - Tanpa perlakuan penda-
nerifolius D. umpulan buah di kotoran, benih kosong/ diruang suhu kamar huluan
Don(jamuju) lantai hutan melepaskan benih dari hampa dan benih yang selama 1 hari hingga - Di ruang AC atau
tangkainya yang mem- terserang hama penyakit mencapai KA ≥ 40 % refrigerator
- Kulit buah berwarna besar (reseptakel)
hijau tua, mengkilap
dan segar serta
reseptakel berwarna
ungu tua
Lampiran 5. lanjutan
Pemrosesan Benih
Pengumpulan Buah
Perlakuan Pendahuluan,
No Jenis dan Indikator Kema- Pembersihan, Seleksi Pengemasan dan
Ekstraksi Benih Pengeringan Benih Perkecambahan dan
sakan dan Sortasi Benih Penyimpanan Benih
Priming
22 Pometia pinnata - Pemanjatan Ekstraksi basah : benih Benih dipisahkan dari Di kering-anginkan - Wadah kedap, - Tanpa perlakuan penda-
J.R. Forster & dikeluarkan dengan kotoran, benih kosong/ diruang suhu kamar menggunakanba- huluan
J.G. Forster - Kulit buah berwarna cara mengupas kulit hampa dan benih yang hingga mencapai KA han pencampur
(matoa) kemerahan buah dan dagingnya terserang hama penyakit 12 % - 15 % lembab
yang cukup tebal,
setelah itu benih dicuci - Di ruang kamar
dengan air mengalir
selama 1 jam
23 Pterygota alata - Pemanjatan dan Ekstraksi kering, - Benih dipisahkan Di kering-anginkan - Wadah berpori - Tanpa perlakuan penda-
(Roxb.) R. Br. pengumpulan buah dari kotoran dengan pada suhu kamar huluan
di lantai hutan memotong sayap tanpa ditampi selama 24 jam - Di ruang AC
dilakukan pengeringan
- Kulit buah berwarna
coklat
24 Shorea leprosula - Pemanjatan dan Ekstraksi kering - Benih dipisahkan dari Tanpa pengeringan, - Wadah berpori - Tanpa perlakuan
Miq. (meranti pengumpulan buah kotoran, benih kosong/ Kadar air dipertah- dan atau menggu- pendahuluan
tembaga / mer- di lantai hutan Tanpa penjemuran, hampa dan benih ankan ≥ 25 % nakan bahan pen-
anti merah) sebagian sayap dihil- yang terserang hama campur lembab - Benih ditanam seda-
- Buah bersayap, angkan penyakit lam 3/4 panjang benih
berwarna coklat - Di ruang AC atau dengan posisi bagian
kamar bekas tangkai buah
menghadap ke atas
25 Shorea pinanga - Pemanjatan dan Ekstraksi kering tanpa - Benih dipisahkan dari Tanpa pengeringan, - Wadah berpori - Tanpa perlakuan penda-
R. Scheffer (mer- pengumpulan buah penjemuran kotoran, benih kosong/ Kadar air dipertah- dan atau menggu- huluan
anti merah) di lantai hutan hampa dan benih ankan diatas 40 % nakan bahan pen-
Sebagian sayap dihil- yang terserang hama campur lembab
- Buah berwarna angkan
Lampiran
penyakit
coklat - Di ruang AC atau
kamar
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
585
Lampiran 5. lanjutan
586
Pemrosesan Benih
Pengumpulan Buah
Perlakuan Pendahuluan,
No Jenis dan Indikator Kema- Pembersihan, Seleksi Pengemasan dan
Ekstraksi Benih Pengeringan Benih Perkecambahan dan
sakan dan Sortasi Benih Penyimpanan Benih
Priming
26 Shorea javanica - Pemanjatan dan Ekstraksi kering : Tanpa - Benih dipisahkan dari Tanpa pengeringan, - Wadah berpori - Tanpa perlakuan penda-
Koord. & Valeton pengumpulan buah penjemuran kotoran, benih kosong Kadar air dipertah- dan atau menggu- huluan
(damar mata di lantai hutan / hampa dan yang ter- ankan diatas 15 % nakan bahan pen-
Lampiran
kucing / meranti Sebagian sayap dihil- kena hama penyakit campur lembab
putih) - Buah berwarna- angkan
coklat - Di ruang AC atau
kamar
27 Shorea ovalis - Pemanjatan dan Ekstraksi kering : Tanpa - Benih dipisahkan dari Tanpa pengeringan, - Wadah berpori - Tanpa perlakuan penda-
(Korth.) Blume pengumpulan buah penjemuran kotoran, benih hampa Kadar air dipertah- dan atau menggu- huluan
(meranti merah) di lantai hutan dan yang terkena ankan diatas 30 % nakan bahan pen-
Sebagian sayap dihil- hama penyakit campur lembab
- Buah berwarna angkan
coklat - Di ruang AC atau
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
kamar
28 Shorea platycla- - Pemanjatan dan Ekstraksi kering : Tanpa - Benih dipisahkan dari Tanpa pengeringan, - Bahan pencampur - Tanpa perlakuan penda-
dos v. Slooten ex pengumpulan buah penjemuran kotoran, benih hampa Kadar air dipertah- pada penyim- huluan
Foxw.(meranti di lantai hutan dan yang terkena ankan diatas 27 % panan sementara/
merah) Sebagian sayap dihil- hama penyakit transportasi :
- Buah berwarna angkan vermilculte
coklat
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 587
Lampiran
Lampiran 6. Musim berbuah dan puncak buah masak beberapa tanaman hutan
Lampiran 6. Lanjutan
No. Jenis Musim Buah Puncak Buah Masak
30 Dracontomelon dao (Blanco) Merr. & Oktober – Pebruari Oktober – Pebruari
Rolfe
31 Duabanga moluccana Blume Agustus – September Agustus –
September
32 Dyera lowii Hook.f. September – Desember dan September
Maret – April
33 Dysoxylum parasiticum (Osbeck) Kosterm. April – Desember Oktober
34 Enterolobium cyclocarpum (Jacq.) Griseb. Agustus – September Agustus –
September
35 Eusideroxylon zwageri Teijsm. & Binnend. Oktober – Januari Nopember –
Desember
36 Eucalyptus deglupta Blume Januari – Mei dan Juni – Juli April
37 Eucalyptus pellita F. Muell. Agustus – Nopember Agustus
38 Eucalyptus urophylla S.T. Blake Juni – September Juli
39 Fagraea fragrans Roxb. April - Mei April
40 Ficus variegata Blume Mei – Juni Mei
41 Gmelina arborea Roxb. April – September Juli – Agustus
42 Gmelina moluccana (Blume) Backer ex K. April – September Juli – Agustus
Heyne
43 Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz April – Mei April – Mei
44 Hibiscus macrophyllus Roxb. ex Hornem. Juli – Oktober Agustus –
September
45 Hopea mengarawan Miq. Juli – September Agustus
46 Hopea odorata Roxb. Juli - September Agustus
47 Hymenaea courbaril L. Mei – Juli Juli
48 Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze Mei – Agustus Juli – Agustus
49 Khaya anthotecha (Welw.) C. DC. Pebruari – Maret dan Okto- Oktober
ber – Desember
50 Lagerstroemia speciosa (L.) Pers. Maret, Juni dan Oktober – Juni
Nopember
51 Leucaena glauca (Willd.) Benth. Januari – Desember Juli – Agustus
52 Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit Januari – Desember Juli – Agustus
53 Lithocarpus javensis Blume (Syn. Quercus Maret dan Agustus – Agustus
costata Blume) Nopember
54 Maesopsis eminii Engl. Juli – Agustus Juli
55 Magnolia blumei Prantl (Syn. Manglietia Januari – Maret Pebruari
glauca Blume)
56 Magnolia champaca L. (Syn. Michelia Januari – Maret Pebruari
champaca L.)
57 Magnolia ovalis (Miq.) Figler (Syn. Elmer- Oktober – Desember dan April
rillia ovalis (Miq.) Dandy) Maret – April
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 589
Lampiran
Lampiran 6. Lanjutan
No. Jenis Musim Buah Puncak Buah Masak
58 Manilkara kauki (L.) Dubard Pebruari, Mei dan September Mei
– Nopember
59 Melaleuca cajuputi Powell September – Nopember Oktober
60 Melaleuca leucadendron Linn. Sepanjang tahun -
61 Melia azedarach L. Desember – Januari dan Januari, April
Maret – Mei
62 Mimusops elengi L. Pebruari – Mei April
63 Octomeles sumatrana Miq. Desember – Januari dan Mei Mei
– Juni
64 Palaquium rostratum (Miq.) Burck Desember – Maret Januari
65 Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen Juli – Agustus Juli
66 Pericopsis mooniana (Thwaites) Thwaites September – Oktober September –
Oktober
67 Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese September – Juni Januari
68 Planchonia valida (Blume) Blume April – Mei April – Mei
69 Podocarpus neriifolius D. Don Maret – April Maret – April
70 Pometia pinnata J.R. Forster & J.G. For- Desember – Maret Januari
ster
71 Pterocarpus indicus Willd. Maret – Mei April
72 Samanea saman (Jacquin) Merrill Juli – Agustus Agustus
73 Santalum album L. Maret – April dan Juni – Juni
Oktober
74 Schima wallichii (DC.) Korth Agustus – Nopember Agustus
75 Schleichera oleosa Merr. Januari – Pebruari Pebruari
76 Shorea javanica Koord. & Valeton September – Maret Januari – Pebruari
77 Shorea leprosula Miq. Desember – Maret Desember – Januari
78 Shorea ovalis (Korth.) Blume Maret – Agustus Mei – Juni
79 Shorea pinanga R. Scheffer Desember – Maret Desember – Januari
80 Sterculia foetida L. Juli – September Juli
81 Styrax benzoin Dryander Desember - Januari Desember
82 Swietenia macrophylla King Juni – Agustus Juli
83 Tamarindus indica L. Juni – September Juli
84 Tectona grandis L.f. Juli – Agustus Juli
85 Terminalia catappa L. Maret – Juni April
86 Toona sinensis (Adr. Juss.) M.J. Roemer Sepanjang tahun Maret – Juni
87 Vitex cofassus Reinw. ex Blume Oktober – Nopember Oktober
88 Wrightia pubescens R.Br. Juli – Oktober September
89 Zanthoxyllum rhetsa (Roxb.) DC. Januari – Pebruari Pebruari
590 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Lampiran
Lampiran 7. Lanjutan
Jumlah Benih per Kg
No Nama Botani Nama Perdagangan
(Butir)
36 Eucalyptus deglupta Blume Leda 12.067.200 - 13.072.800
37 Eucalyptus pellita F. Muell. Pelita 625.000 - 909.091
38 Eucalyptus urophylla S.T. Blake Ampupu 285.000 - 458.000
39 Fagraea fragrans Roxb. Tembesu 3.107.520 - 3.846.154
40 Ficus variegata Blume Nyawai 2.954.210 - 4.462.294
41 Gmelina arborea Roxb. Jati putih 1.389 - 2.000
42 Gmelina moluccana (Blume) Backer ex K. Kayu titi 556 - 625
Heyne
43 Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz Ramin 300 - 250
44 Hibiscus macrophyllus Roxb. ex Hornem. Tisuk 125.000 - 166.667
45 Hopea mengarawan Miq. Merawan 6.048 - 6.552
46 Hopea odorata Roxb. Merawan 5.088 - 5.512
47 Hymenaea courbaril L. Kourbaril 299 - 302
48 Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze Merbau 323 - 385
49 Khaya anthotecha (Welw.) C. DC. Mahoni afrika 3.450 - 2.700
50 Lagerstroemia speciosa (L.) Pers. Bungur 136.612 - 200.000
51 Leucaena glauca (Willd.) Benth. Lamtoro 20.000 - 22.222
52 Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit Lamtoro gung 16.667 - 20.000
53 Lithocarpus javensis Blume (Syn. Quercus Pasang 223 - 241
costata Blume)
54 Maesopsis eminii Engl. Kayu afrika 685 - 870
55 Magnolia blumei Prantl (Syn. Manglietia Manglid 16.667 - 21.277
glauca Blume)
56 Magnolia champaca L. (Michelia champaca Bambang lanang 10.753 - 16.667
L.)
57 Magnolia ovalis (Miq.) Figler (Syn. Elmerrillia Cempaka hutan 29.412 - 37.037
ovalis (Miq.) Dandy)
58 Manilkara kauki (L.) Dubard Sawo kecik 1.117 - 1.481
59 Melaleuca cajuputi Powell Kayu putih 16.326.531 - 17.687.075
60 Melaleuca leucadendron Linn. Gelam 13.426.573 - 14.545.455
61 Melia azedarach L. Mindi kecil 1.138 - 1.220
62 Mimusops elengi L. Tanjung 1.779 - 2.212
63 Octomeles sumatrana Miq. Benuang bini 9.700.000 - 11.000.000
64 Palaquium rostratum (Miq.) Burck Nyatoh 400 - 600
65 Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen Sengon 41.667 - 55.556
66 Pericopsis mooniana (Thwaites) Thwaites Kayu kuku 3.623 - 3.925
67 Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese Tusam 50.000 - 62.500
68 Planchonia valida (Blume) Blume Putat 2.000 - 3.509
69 Podocarpus neriifolius D. Don Jamuju 1.440 - 1.560
592 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Lampiran
Lampiran 7. Lanjutan
Jumlah Benih per Kg
No Nama Botani Nama Perdagangan
(Butir)
70 Pometia pinnata J.R. Forster & J.G. Forster Matoa 1.500 - 1.000
71 Pterocarpus indicus Willd. Angsana 1.111 - 2.000
72 Samanea saman (Jacquin) Merrill Kihujan 4.762 - 6.250
73 Santalum album L. Cendana 6.667 - 10.000
74 Schima wallichii (DC.) Korth Puspa 222.222 - 285.714
75 Schleichera oleosa Merr. Kesambi 1.667 - 1.961
76 Shorea javanica Koord. & Valeton Damar mata kucing 624 - 676
/ meranti putih
77 Shorea leprosula Miq. Meranti tembaga / 1.900 - 2.268
meranti merah
78 Shorea ovalis (Korth.) Blume Meranti merah 758 - 822
79 Shorea pinanga R. Scheffer Meranti merah 29 - 31
80 Sterculia foetida L. Kepuh/nitas 435 - 625
81 Styrax benzoin Dryander Kemenyan 417 - 588
82 Swietenia macrophylla King Mahoni 1.429 - 2.500
83 Tamarindus indica L. Asam jawa 1.279 - 1.395
84 Tectona grandis L.f. Jati 1.351 - 1.818
85 Terminalia catappa L. Ketapang 139 - 170
86 Toona sinensis (Adr. Juss.) M.J. Roemer Surian 90.909 - 125.000
87 Vitex cofassus Reinw. ex Blume Biti 9.524 - 15.385
88 Wrightia pubescens R.Br. Bentawas 37.037 - 66.667
89 Zanthoxyllum rhetsa (Roxb.) DC. Panggal buaya 17.316 - 18.519
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 593
Lampiran
Lampiran 2.1. Nilai rata-rata kerapatan dan penyusutan beberapa jenis kayu Indonesia
Lampiran 8. Nilai kerapatan dan penyusutan beberapa jenis kayu Indonesia
Kerapatan Penyusutan (%)
No Nama lokal Jenis kayu
(g/cm3) R T
1 Kidamar Agathis alba 0.48 3.8 6.2
2 Ares Gmelina moluccana 0.40 1.2 1.2
3 Balau Shorea laevis 0.99 1.5 3.1
4 Bangkirai S. laevifolia 0.91 4.5 8.3
5 Bayur Pterospermum javanicum 0.53 3.6 8.5
6 Bintangur Calophyllum inophyllum. 0.69 4.2 5.3
7 Binuang Octomeles sumatrana 0.33 3.0 6.9
8 Durian Durio zibethinus 0.57 3 4.9
9 Eboni Dyospyros celebica 1.09 6.2 7.8
10 Jabon Anthocephalus cadamba 0.42 3 6.9
11 Jati Tectona grandisL.f. 0.67 2.8 5.2
12 Jelutung Dyera costulata 0.36 1.3 3.6
13 Kapursingkil Dryobalanops aromatica 0.81 2.1 3.8
14 Kapurtanduk D. lanceolata 0.74 3.5 8
15 Karet Hevea brasiliensis 0.58 1.4 2.8
16 Kemiri Aleurites moluccana 0.31 2.8 5.5
17 Kempas Koompassia malaccensis 0.95 2.5 2.6
18 Keruing Dipterocarpus lowii 0.86 6.6 10.2
19 Keruing D. crinitus 0.92 2.8 4.2
20 Keruing D. grandiflorus 0.81 4.7 5.9
21 Kisereh Cinnamomum purrectum 1,83 4,6 2,1
22 Mahoni Swietenia macrophylla 0.61 0.9 1.3
23 Mangium Acacia mangium 0,56 1,2 3,8
24 Matoa Pometia pinnata 0.77 3.0 5.5
25 Medang Cinnamomum parthenoxylon 0.63 3.3 5.7
26 Merantimerah Shorea johorensis 0.50 2.5 6.5
27 Merantiputih S. javanica 0.63 2.5 5.7
28 Merbau Intsia palembanica 0.79 0.6 0.7
29 Mersawa Anisoptera marginata 0.64 3.7 7.6
30 Mindi Melia azedarach 0.53 3.3 4.1
31 Nyatoh Palaquium leiocarpum 0.73 2.4 3.0
32 Pasangbatarua Lithocarpus sundaicus 0.58 2.6 8.7
33 Perupuk Lophopetalum spp 0.45 1.3 2.7
34 Pulai Alstonia scholaris 0.30 3.1 4.9
35 Puspa Schima wallichii 0.69 4.8 8.6
36 Ramin Gonystylus bancanus 0.63 2.6 5.8
37 Rasamala Altingia excelsa 0.81 5.6 11.6
38 Rengas Gluta renghas 0.69 2.3 4.3
39 Resak Vatica rassak 0.60 3.3 5.0
40 Salamander Grevilea robusta A. Cunn. 0.63 0.6 2.4
41 Sonokeling Dalbergia latifolia 0.83 2.9 6.4
42 Sonokembang Pterocarpus indicus 0.65 3.0 5.9
43 Saninten Castanopsis argentea 0.73 3.7 9.6
44 Sengon Paraserianthes falcataria/ 0.33 2.5 5.2
Falcataria moluccana
45 Sungkai Peronema canescens 0.58 - -
46 Tusam Pinus merkusii 0.55 3,4 3,5
47 Ulin Eusideroxylon zwageri 1.04 4.2 8.3
Sumber: Martawijaya
Sumber : Martawijaya et(1989)
et al. al. (1989)
Keterangan : Yang dicetak tebal penyusutan dari basah sampai kering tanur; R= radial; T=tangensial
Keterangan: Tulisan bercetak tebal penyusutan dari basah sampai kering tanur; R= radial; T=tangensial
21
594 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Lampiran
Lampiran 9. Persyaratan
Lampiran teknisteknis
2.2. Persyaratan kayukayu
untuk berbagai
untuk berbagaipenggunaan
penggunaan
Penggunaan Persyaratan Teknis Kayu Beberapa Jenis Kayu yang Lazim Digunakan
Bangunan Kuat, kaku, keras, berukuran besar dan Balau, bangkirai, belangeran, cengal, giam, jati,
mempunyai keawetan alami yang tinggi kamper, kapur, kempas, keruing, lara, rasamala
Venir (umum) Dolok harus berdiameter besar, silindris, Meranti, nyatoh, ramin, agatis, benuang,
bebas cacat dan beratnya sedang sengon, merawan
Venir (indah) Disamping syarat di atas, kayu harus Jati, eben, sonokeling, kuku, bongin, dahu, lasi,
bernilai dekoratif kempas, sungkai, weru
Mebel Berat sedang, dimensi stabil, dekoratif, Jati, eboni, kuku, mahoni, meranti merat,
mudah dikerjakan, mudah meranti putih, rengas, sonokeling,
dikerjakan(dipaku, disekrup, dilem dan sonokembang.
dikerat).
Lantai (parquet Keras, daya abrasi tinggi (BJ>0,60), tahan Balau, bangkirai, belangeran, bintangur, bongin,
mozaic) asam, mudah dipaku dan cukup kuat bungur, jati, kuku.
Bantalan kereta Kuat, kaku, keras, awet Balau, bangkirai, bedaru, belangeran, kapur,
api ulin, kempas
Tong kayu Tidak tembus cairan dan tidak Jati, pasang, balau, bangkirai
(gentong) mengeluarkan bau, tidak mudah lapuk
Alat olah raga Kuat tidak mudah patah, ringan, tekstur Agatis, bedaru, melur, merawan, nyatoh,
halus, serat lurus dan panjang, kaku, salimuli, sonokeling, teraling
cukup awet
Alat musik Tekstur halus, berserat lurus, tidak Cempaka, merawan, nyatoh, jati, lasi, eben,
mudah belah, daya resonansi baik mahoni, waru
Alat gambar Ringan, tekstur halus, warna bersih Jelutung, melur, pulai, tusam
Tiang listrik, Kuat menahan angin, ringan, cukup awet, Balau, giam, jati, kulim, lara, merbau, tembesu,
telepon bentuklurus. ulin
Perkapalan:
Lunas Tidak mudah pecah, tahan binatang laut Ulin, ipil, kapur dan kayu lapis khusus (marine
plywood)
Gading Kuat, liat, tidak mudah pecah tahan Bangkirai, bungur, ipil, kapur,
binatang laut
Senta Kuat, liat, tidak mudah pecah tahan Ulin, bangkirai, ipil, bungur, giam
binatang laut
Kulit Kuat, liat, tidak mudah pecah tahan Bangkirai, ipil, bungur, meranti merah
binatang laut
Bangunan atas Ringan, kuat, awet Kapur,medang, meranti merah, merkubung
Dudukan mesin Keras, tidak mudah pecah karena Ulin, bangkirai, ulin, kapur
getaran, awet
Pembungkus as Liat, lunak, tidak merusak logam, Lignum vitae (dari Amerika Latin), Untuk kapal-
baling-baling melumas sendiri kapal kecil lazim digunakan kayu nangka,
bungur, sawo
Patung dan Serat lurus, keras, tekstur halus, liat, tidak Jati, sonokeling, salimuli, melur, cempaka, eben,
ukiran kayu mudah patah,berwarna gelap, stabil kepelan, panggal buaya, bintawas
Korek api Sama dengan persyaratan venir. Untuk Agatis, binuang, jambu, sengon, kemiri,
anak korek api, kayu harus cukup kuat. perupuk, kemiri, pulai, terentang, tusam
Untuk kotaknya, kayu harus elastis, tidak
mudah pecah
Pensil Berat jenis sedang, mudah dikerat, tidak Agatis, jelutung,melur, tusam, bayur
mudah bengkok, dan berserat lurus.
Kayu bentukan Ringan,serat lurus, tekstur halus,mudah Jelutung, pulai, ramin, meranti
(moulding) dikerjakan,mudah dipaku, warna terang,
tanpa cacat, dekoratif
Popor senapan Ringan,liat, kuat, keras, stabil Waru, salimuli, jati
Arang (untuk Berat jenis tinggi, nilai kalor tinggi Bakau,kesambi, walikukun, cemara, gelam,
bahan bakar) gofasa, johar, kayu malas, nyirih, pelawan,
puspa, rasamala, simpur
Sumber: Kartasujana Martawijaya (1979)
22
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 595
Lampiran
Lampiran 10.
Lampiran 2.3. Sifat
Sifat dan dan kegunaan
kegunaan jenis-jenis
jenis-jenis kayu perdagangan
kayu perdagangan Indonesia Indonesia
Berat jenis Kelas
No. Jenis kayu Kegunaan
Min Max Rata2 Awet Kuat*
1. Agatis 0,36 0,64 0,49 IV III 1,2,3,7,8,9,14,15,17
2. Bayur 0,30 0,78 0,52 IV II-III 1,2,3,7,11,12
3. Bakau 0,82 1,03 0,94 III I-II 1,15
4. Balau 0,65 1,22 0,98 I I-II 1,4,6,10,11
5. Bangkirai 0,60 1,16 0,91 I-(I-III) I-II 1,2,3,4,6,11
6. Bedaru 0,84 1,36 1,04 I I 1,3,6,9,11,12
7. Belangeran 0,73 0,98 0,86 II-(I-III) (I)-II 1,3,4,6,7,11
8. Benuang 0,16 0,48 0,33 V IV-V 2,8,14,15
9. Bintangur 0,37 1,07 0,78 III II-III 1,2,3,4,5,6,11
10. Bongin 0,93 1,20 1,02 III I 1,3,4,13
11. Bungur 0,62 1,01 0,80 II-III I-II 1,2,3,4,5,7,11
12. Cendana 0,77 0,94 0,84 II II-I 12,19
13. Cengal 0,51 0,89 0,70 II-III II-III 1,2,3,4,5,6,7,11
14. Dahu 0,37 0,75 0,58 IV III-IV 3,4,5,13
15. Durian 0,42 0,91 0,42 IV-V II-III 1,2,8
16. Eboni 0,90 1,14 1,05 I I 3,12,13
17. Giam 0,83 1,15 0,99 I I 1,4,10,11
18. Gerunggang 0,36 0,71 0,47 IV III-IV 1,2,8
19. Gisok 0,37 0,97 0,83 II-III II-I 1,2,3,4,5,7,11
20. Jabon 0,29 0,56 0,42 V III-IV 2,8,14,15
21. Jati 0,59 0,82 0,70 I-(II) II 1,3,4,5,6,10,11,12,13
22. Jelutung 0,22 0,56 0,40 V III-V 2,8,12,16,17,20
23. Jeungjing 0,24 0,49 0,33 IV/V IVV 1,2,8,14,15
24. Kapur 0,63 0,94 0,81 II-III II-I 1,2,3,4,5,6,7,11
25. Kemiri 0,23 0,44 0,31 V IV-(V) 2,8,14,15
26. Kempas 0,68 1,29 0,95 III-IV I-II 1,2,4,6
27. Kenari 0,48 0,68 0,55 IV III 1,2,4,5,7
28. Keruing 0,51 1,01 0,79 III (I)-II 1,2,4,5,6,11
29. Kuku 0,87 II I 3,4,5,11,13
30. Kulim 0,73 1,08 0,94 I-(II) I 1,2,4,10,14
31. Lara 0,98 1,23 1,115 I I 1,6,10,11
32. Lasi 0,77 0,88 0,81 II II 1,3,4,5,12,13
33. Mahoni 0,56 0,76 0,64 III II-III 1,2,3,4,5,7,11,12
34. Matoa 0,50 0,99 0,77 III-IV II I (I-III) 1,3,4,7,11
35 Melur 0,38 0,77 0,52 IV II-IV 1,2,3,4,5,7,9,16,17
36. Mentibu 0,41 0,57 0,53 IV/V III 1,2,7,8
37. Meranti merah 0,29 1,01 0,55 III-IV II-IV 1,2,3,4,5,8,15
38. Meranti putih 0,29 0,96 0,54 III-IV II-IV 1,2,3,4,5,8,15
39. Merawan 0,42 1,03 0,70 II-III II-III 1,2,3,4,5,7,9,11
40. Merbau 0,52 1,04 0,80 I-II I-(II) 1,4,5,6,10,11
41. Mersawa 0,49 0,85 0,46 IV II-III 1,2,4,5,11
42. Nyatoh 0,39 1,07 0,67 II-III II-(I-II) 1,2,4,5,7,9,11
43. Perupuk 0,40 0,69 0,56 IV/V II-III 1,2,3,8,12,14,15
44. Petanang 0,62 0,91 0,75 III II 1,4,5,6,11
45. Pilang 0,71 0,89 0,79 III II 1,2,3,4,5
46. Pulai 0,19 0,90 0,46 III-V IV-V 2,8,12,14,15,16,20
47. Ramin 0,46 0,84 0,63 IV II-III 1,2,3,4,5,7,20
48. Rengas 0,59 0,84 0,69 II II 3,4,5,6,12,13
49. Resak 0,49 0,99 0,70 III II 1,2,4,6,7,11
50. Salimuli 0,44 0,75 0,64 I/II I/II 3,4,9,12
596 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Lampiran
Kegunaan : 1.Bangunan 7.Rangka pintu dan jendela 12.Payung ,ukiran dan 17.Pensil
2.Kayu lapis 8.Bahan pembungkus Kerajinan Tangan 18.Arang
3.Mebel 9.Alat olah raga dan musik 13.Finir mewah 19.Obat-obatan
4.Lantai 10.Tiang listrik dan telepon, 14.Korek api 20.Moulding
5.Papan dinding 11.Perkapalan 15.Pulp
6.Bantalan 16.Alat gambar
Sumber: Kartasujana Martawijaya (1979)
Sumber : Kartasujana dan Martawijaya (1979)
598 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Lampiran
Lampiran 2.5. Bagan pengeringan yang dianjurkan untuk 80 jenis kayu
Lampiran 11. Bagan pengeringan yang dianjurkan untuk 80 jenis kayu Indonesia
Bagan
No. Jenis Kayu Nama Latin
Pengeringan
1 Lamtoro (umur muda) Leucaena leucocephala 2
2 Jabon (umur muda) Anthocaphalus cadamba 6
3 Trembesi (15 tahun) Samanea saman 4
4 Mahoni (umur 15 tahun) Swietenia mahagoni 2
5 Jati (11-15 tahun) Tectona grandis 2
6 Jati (35 tahun) T. grandis 4
7 Jati (45 tahun) T. grandis 7
8 Suren Toona sureni 8
9 Suren (umur muda) Toona sureni 3
10 Waru Hibiscus tiliaceus 9/7
11 Mindi besar Melia dubia 7
12 Sengon (8 tahun) Paraserianthes falcataria 2
13 Sengon (> 10 tahun) Paraserianthes falcataria 5
14 Mindi (10 tahun) Melia azedarach 6
15 Mangium (10 tahun) Acacia mangium 3
16 Agatis Agathis damara 8
17 Gmelina Gmelina arborea 7
18 Manii (8 tahun) Maesopsis eminii 2
19 Nyatoh (Jawa Barat) Pouteria duclitan 4
20 Nyatoh (Kalimantan) P. duclitan 6
21 Bayur (36 tahun) Pterospermum elongatum 8
22 Bayur (umur muda) P. elongatum 6
23 Mahoni Swietenia macrophylla 6/5
24 Sungkai (8 tahun) Peronema canescens 2
25 Pulai Alstonia angustiloba 6
26 Kemiri (8 tahun) Aleurites moluccana 2
27 Membacang (46 tahun) Mangifera altissima 9/7
28 Ulin (137 tahun) Eusyderoxylon zwagery 1
29 Belangeran (78 tahun) Shorea belangeran 7
30 Kayu darah (41 tahun) Myristica celebica 6
31 Perupuk Laphopetalum sp. 7
32 Petai Parkia timoriana 7
33 Sonokembang Pterocarpus indicus 7
34 Asam jawa Tamarindus indicus 7
35 Pulai kongo Alstonia congensis 9/7
36 Kibawang Azadirachta excelsa 9/7
37 Salamander Grevillea robusta 7
38 Gundang (Kalimantan) Ficus variegata 9/7
39 Gundang (Jawa Barat) F. variegata 6
40 Kayu karet Hevea brasiliensis 9
41 Marasi Hymenaea courbaril 7
42 Balobo Diplodiscus sp. 8/7
43 Kuda Lannea coromandelica 4
44 Jirak Syomplocos brandisii 6
45 Perepat laut Sonneratia caseolaris 7
46 Mahang Macaranga hypoleuca 4
47 Kenanga Cananga odorata 6
48 Tarua Antiaris toxicaria 6
49 Kendal Ehretia acuminata 6
50 Bengkal Nauclea orientalis 7
30
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 599
Lampiran
31
600 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Lampiran
12. Kelas
LampiranLampiran keterawetan
2.6. 96 jenis
Kelas keterawetan 96 kayu Indonesia
jenis kayu terhadap
Indonesia bahan
terhadap bahanpengawet
pengawet
Kelas
No. Jenis Kayu Nama Daerah Berat Jenis
Keterawetan
1. Agathis alba Foxw. Damar Putih 0,48 Sedang
2. A. borneensis Warb. Damar Pilau 0,47 Sedang
3. A. abillardieri Warb. Damar Putihl 0,47 Sedang
4. Shorea atrinervosa Sym. Belangiran 0,91 Sukar
5. S. elliptica Burek. Balau Laut Batu 0,95 Sukar
6. S. falcifera Dyer. Balau Laut Daun 1,04 Sukar
7. S. glauca King. Balau Bunga 1,00 Sukar
8. S. laevis Ridl. Balau Tanduk 0,99 Sukar
9. Calophyllum inophyllum L. Nyamplung 0,69 Sukar
10. C. pulcherrimum Wall. Mentangur Ramu 0,77 Sukar
11. C. soulattri Burm.F. Mentangur Sulastri 0,54 Agak Sukar
12. Durio carinatus Mast. Durian Burung 0,58 Sedang
13. D. oxleyanus Becc. Durian Daun 0,61 Sedang
14. D. zibethinus Murr. Durian 0,57 Sedang
15. Diospyros celebica Bakh. Eboni 1,09 Sukar
16. Cratoxylon arborescens Bl. Gerunggang 0,47 Sukar
17. Tectona grandis L.F. Jati 0,67 Sedang
18. Dyera costulata Hook. F. Jelutung Bukit 0,43 Mudah
19. D. lowii Hook. F. Jelutung 0,36 Mudah
20. Dryobalanops aromatica Gaertn. Kapur Singkel 0,81 Sukar
21. D. fusca V.Sl. Kapur Empedu 0,84 Sukar
22. D. lanceolata Burck. Kapur Tanduk 0,74 Sukar
23. D. beccarii Dyer. Kayu Kapur 0,59 Suikar
24. D. rappa Becc. Kapur Kayatan 0,82 Sukar
25. D. borneensis V.Sl. Keruing Daun Halus 0,80 Sedang
26. D. caudiferus Merr. Keruing Anderi 0,68 Sedang
27. D. Confertus V.Sl. Keruing Tempurung 0,80 Sedang
28. D.cornutus Dyer. Keruing Gajah 0,82 Mudah
29. D.costulatus V.Sl. Keruing Bajan 0,90 Sedang
30. D. crinityus Dyer. Keruing Bulu 0,92 Sedang
31. D. elongates Korth. Keruing Tempudau 0,67 Sedang
32. D. eurynchus Miq. Keruing Minyak 0,78 Sedang
33. D. gracilis Bl. Keruing Keladan 0,73 Sedang
34. D. grandiflorus Blanco Keruing Hijau 0,81 Sedang
35. D. hasseltii Bl. Keruing Bunga 0,70 Mudah
36. D. kunstleri King Keruing Lagan 0,77 Sedang
37. D. lowii Hook.F. Keruing Batu 0,86 Sedang
38. D. retusus Bl. Keruing Gunung 0,75 Sedang
39. D. verrucosus Foxw. Keruing Beras 0,82 Sedang
40. Swietenia macrophylla King. Mahoni Daun Besar 0,61 Sukar
41. S. mahagoni Jacq. Mahoni Daun Kecil 0,64 Sukar
42. Pometia pinnata Forst. Matoa 0,77 Sedang
43. P. tomentosa Kurz. Matoa Daun Kecil 0,80 Sedang
44. Alseodaphne umbellifora Bl. Medang Air 0,52 Sedang
45. Cinnamomum parthenoxylon Melssn Medang Lesa 0,63 Sukar
46. Dehaasia caesia Bl. Medang Tanduk 0,82 Sedang
47. D. cuneata Bl. Medang Tanahan 0,77 Sukar
48. Litsea firma Hook.F. Medang Seluang 0,56 Sukar
49. L. odorifera Val. Medang Perawas 0,51 Sukar
50. Phoebe opaca Bl. Medang Huaran 0,57 Sukar
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 601
Lampiran
Oleh
Totok K. Waluyo, I.M. Sulastiningsih, Jasni, Lincah Andadari, Gunawan Pasaribu, Adi
Santoso, Djeni Hendra, Santyo Wibowo, Gustan Pari, D. Martono, dan Kuntadi
1. Pengertian
602 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Lampiran
Pemanenan HHBK sangat beragam tergantung apa jenis HHBK yang akan kita panen. Hal
ini berbeda dengan pemanenan kayu yaitu hanya satu teknik yaitu dengan jalan menebang pohon.
Pemanenan HHBK dengan teknik yang berbeda sesuai dengan jenis HHBKnya.
Salah satu faktor penentu besaran produktivitas dan kualitas suatu produk HHBK adalah tahap
pemanenan. Penentu pemanenan dapat diuraikan menjadi beberapa faktor seperti saat panen, cara
dan alat panen selain ketrampilan para pemanen. Disebabkan HHBK banyak sekali ragamnya maka
pemanenan pun sangat beragam.Secara garis besar macam pemanenan dapat dirinci sebagai uraian
berikut.
1. Penyadapan
Berdasarkan bagian pohon yang disadap, terdapat 3 macam penyadapan yaitu penyadapan
pada batang pohon, penyadapan terhadap malai bunga/buah dan penyadapan terhadap buah.
Penyadapan terhadap batang dilakukan pada pohon pinus, damar, shorea, jelutung dan kemenyan.
Penyadapan pada malai dilakukan seperti pada pohon aren, kelapa, nipah (Nipa fruticans), gebang
(Coypha elata), lontar (Borassus flabell~fer) dan langkap (Arenga obtus~folia) dengan hasil nira
35
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 603
Lampiran
Tabel 3.2. Analisis kandungan komponen kimia lemak tengkawang (% relatif)
Lampiran 14. Kandungan komponen kimia lemak tengkawang (% relatif)
Jenis Pohon Induk Buah Tengkawang
Komponen Kimia (%)
S. stenoptera S. pinanga S. mecisopteryx S. parvifolia
oleic acid 16,18 2,26 3,23 13,00
methyl oleate 7,48 26,24 17,76 8,68
methyl palmitate 4,78 15,51 11,96 6,19
methyl stearate 1,27 3,17 2,12 0,95
pentadecane, 0,80 0,54 1,22 1,53
palmitic acid 1,39 2,11 4.78 3,80
allyl octadecanoate 2,48 0,93 1,62 4,12
1-tricosene 1,47 1,09 - 3,75
9-octadecen-1-ol 1,45 - 1,35 0,80
Nonadecane 1,73 - 0,80 4,46
cyclopentane - 1,52 1,50 0,83
heptadec-8-ene 1,42 - 1,68 -
muscalure 0,53 - 0,98 -
stearaldehyde 1,04 - - 0,41
hexadecane 0,26 - - 0,46
cyclododecene 0,26 - - 0,55
1-tridecene 0,22 - - 0,47
capric acid 0,99 - - 1,24
5-undecene 0,43 - - 0,43
1,2-benzenedicarboxylic acid - 1,93 5,20 -
heptadecane - 0,61 2,09 -
9-eicosene - 0,70 - 1,98
octadecanoic acid anhydride - - 1,92 4,49
stearic acid 11,78 - - -
octadec-9-enoic acid 10,53 - - -
cyclohexane 5,38 - - -
tetradecane 0,26 - - -
3-octadecene 0,21 - - -
dodecanoic acid 0,34 - - -
nonylphenol isomer 0,66 - - -
tricosane 0,58 - - -
14-.beta.-h-pregna 1,43 - - -
6-nitro-cylohexadecane-1,3-dione - 1,72 - -
heptyl n,n-
- 0,55 - -
dimethylphosphoroamidocyanidate
methylene-(4-trimethylsilanyl-
- - 26,78 -
phenyl)-amine
butyl 8-methylnonyl ester pentane - - 5,20 -
3-methyl- (cas) 3-methylpentane - - 0,61 -
cetene - - 1,52 -
octadecane - - 1,21 -
7,9-di-tert-butyl-1-oxaspiro[4.5]deca-
- - 0,69 -
6,9-diene-2,8-dione
butanal - - - 12,29
1-tetradecene - - - 2,89
2-decenal - - - 0,81
Unknown component 0,35 - - 8,95
4. Bambu
a. Bambu Lamina
AKRONIM
KP : Kebun Pangkas
KPDAS : Kesatuan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
KPH : Kesatuan Pemangkuan Hutan
KPHA : Kesatuan Pengelolaan Hutan Adat
KPHK : Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi
KPHKM : Kesatuan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan
KPHL : Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung
KPHP : Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi
KTH : Kelompok Tani Hutan
KUHR : Kredit Usaha Hutan Rakyat
KULIN-KK : Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan
LBDS : Luas Bidang Dasar
LEI : Lembaga Ekolabel Indonesia
LHC : Laporan Hasil Cruising
LHP : Laporan Hasil Produksi
LMDH : Lembaga Masyarakat Desa Hutan
LPHD : Lembaga Pengelolaan Hutan Desa
LPPHPL : Lembaga Penilaian Pengelolaan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
LRFD : Load Resistance Factor Design
LVL : Laminated Veneer Lumber
LVLK : Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu
MDF : Medium Density Fiber
MOE : Modulus Elastisitas
MOR : Modulus of Rupture
MR : Muhlsteph ratio
NFI : National Forest Inventory
NSSC : neutral sulfite semi-chemical
OPM : oscillating pressure method
P3HH : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan
PHAPL : Pengelolaan Hutan Produksi Alam Lestari
PHBM : Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
PHBML : Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari
PHL : Pengelolaan Hutan Lestari
PHPL : Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
PHTL : Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari
PIAPS : Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial
PIPPIB : Moratorium atas izin-izin baru
608 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Akronim
Anyaman rotan : Hasil anyaman dengan bahan baku kulit atau hati rotan yang
dapat dibentuk lebih lanjut untuk meningkatkan manfaat dan
nilai tambah.
Arahan Pencadangan : Surat dan peta arahan pencadangan KPH yang merupakan
KPH hasil penelaahan rancang bangun KPH terhadap kriteria yang
ditetapkan.
Arang : Produk hasil karbonisasi atau dekomposisi kayu pada suhu tinggi
dengan keadaan tanpa oksigen atau oksigen terbatas. Proses
karbonisasi yang umum dilakukan adalah destilasi kering.
Arang aktif : Arang yang di proses lebih lanjut sehingga pori-porinya terbuka,
dan luas permukaannya bertambah besar dari 2 m2/g pada
arang menjadi 300-2000 m2/g, dengan kadar karbon dan
keaktifan yang bervariasi, tergantung pada suhu aktivasi dan
lamanya waktu aktivasi yang diberikan.
Asap cair : Asap yang terbentuk melalui proses pembakaran yang
terkondensasi pada suhu dingin yang terdiri dari fase cairan
terdispersi dalam medium gas sebagai pendispersi.
Bambu : Bahan berlignoselulosa yang dapat digunakan sebagai substitusi
kayu.
Bambu lamina : Suatu produk yang dibuat dari beberapa bilah bambu yang
direkat dengan arah serat sejajar.
Benih Bermutu : Benih yang mempunyai mutu genetik, mutu fisik dan mutu
fisiologik tinggi.
Benih Tanaman Hutan : Bahan tanaman yang berupa bahan generatif (biji) atau bahan
vegetatif yang digunakan untuk mengembangbiakkan tanaman
hutan
Berat jenis (BJ) kayu : Merupakan perbandingan antara kerapatan kayu dengan
kerapatan benda standar, yaitu air pada suhu 4oC, sedangkan
kerapatan kayu merupakan perbandingan antara berat dan
volume kayu pada kadar air yang sama
Bibit Siap Tanam : Bibit yang telah memiliki kecukupan sifat fisik-fisiologi untuk
ditanam dan tidak termasuk stump.
Biodiesel (fatty acid : Bioenergi atau bahan bakar alternatif pengganti minyak diesel
methyl ester/FAME) (minyak fosil), yang dibuat dari bahan minyak nabati maupun
hewani.
Bioremediasi : Penggunaan keragaman hayati untuk meningkatkan fungsi dan
mutu lingkungan
Blok Koleksi Tumbuhan : Bagian dari TAHURA yang ditetapkan sebagai areal untuk koleksi
dan/Atau Satwa tumbuhan dan/atau satwa
Blok Pemanfaatan : Bagian dari SM, TWA dan TAHURA yang ditetapkan karena letak,
kondisi dan potensi alamnya yang terutama dimanfaatkan untuk
kepentingan pariwisata alam dan kondisi lingkungan lainnya.
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 611
Glosarium
Blok Perlindungan : Bagian dari kawasan yang ditetapkan sebagai areal untuk
perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati dan
ekosistemnya pada kawasan selain taman nasional.
Briket arang : Bentuk lain dari arang yang fungsinya sama dengan arang
sebagai sumber energi rumah tangga dan shisa.
Cagar Alam : KSA yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan/
keunikan jenis tumbuhan dan/atau keanekaragaman tumbuhan
beserta gejala alam dan ekosistemnya yang memerlukan
upaya perlindungan dan pelestarian agar keberadaan dan
perkembangannya dapat berlangsung secara alam
Convention on : Konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa
International Trade in liar spesies terancam adalah perjanjian internasional antar
Endangered Species of pemerintah
Wild Fauna and Flora
Daerah Aliran Sungai : Suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan
sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,
menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah
hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat
merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan
daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan
Daftar Merah IUCN : Indikator kritis kesehatan keanekaragaman hayati dunia, sebagai
alat yang ampuh untuk menginformasikan dan mengkatalisasi
tindakan untuk konservasi keanekaragaman hayati dan
perubahan kebijakan, yang penting untuk melindungi sumber
daya alam yang kita butuhkan untuk bertahan hidup
Dana Reboisasi : Dana yang dipungut dari pemegang IUPHHK dalam hutan alam
pada hutan produksi untuk mereboisasi dan merehabilitasi
hutan.
Deforestasi : Perubahan permanen dari areal berhutan menjadi areal tidak
berhutan sebagai akibat dari kegiatan manusia
Degradasi Hutan : Menurut Indonesia adalah penurunan kuantitas tutupan hutan
dan stok karbon selama periode tertentu
Desa Konservasi : Desa atau sebutan lain yang berada di sekitar KSA/KPA dan
ditunjuk/ditetapkan oleh pengelola KSA/KPA sebagai sasaran
Pemberdayaan Masyarakat.
Ekosistem Referensi : Ekosistem tak terganggu yang berada di sekitar areal yang akan
dipulihkan atau deskripsi ekologis berupa laporan survey, jurnal,
foto udara atau citra satelit, suatu ekosistem yang memiliki
kemiripan ekologis dengan ekosistem yang akan dipulihkan
dan merupakan referensi sementara untuk mencapai tujuan
pemulihan, dimana unsur-unsur ekosistem referensi dapat
menjadi contoh (template) bagi kegiatan pemulihan
Ekstraksi Benih : Kegiatan mengeluarkan benih dari cangkang atau buah
612 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Glosarium
Etat : Besarnya porsi luas atau massa kayu atau jumlah batang yang
boleh dipungut setiap tahun selama jangka pengusahaan yang
menjamin kelestarian produksi dan sumber daya
Gejala : Perubahan-perubahan yang ditunjukkan oleh tanaman itu sendiri
akibat dari adanya penyebab penyakit
Gondorukem : Residu proses pengolahan getah pinus/tusam
Hak Pengelolaan Hutan : Hak pengelolaan pada kawasan hutan lindung atau hutan
Desa produksi yang diberikan kepada lembaga desa
Hama Hutan : Semua jenis binatang seperti kelompok mamalia (contoh :
babi hutan, kera dan tikus), aves (contoh : burung pemakan
biji, burung pelatuk dll), moluska (contoh : bekicot dan siput),
serangga (contoh : belalang, berbagai ulat dari jenis kumbang
maupun kupu-kupu), nematoda (cacing) yang mengganggu,
merusak, dan menimbulkan kerugian secara ekonomi, sehingga
produksi tanaman hutan berkurang bahkan dapat menimbulkan
kematian
Harvester : Sebuah mesin seperti traktor yang dilengkapi dengan alat
gergaji (pemotong) dan alat penjepit (tang) yang dipasang
dibagian muka, dan juga dilengkapi dengan alat pemuat
(katrol) yang dapat memuat pohon yang telah ditebang
itu keatas kendaraan pengangkutnya. Sistem ini biasanya
dilaksanakan dinegara yang sudah maju kehutanannya dan juga
sulit mencari tenaga kerja sehingga sangat mahal upahnya.
Hasil hutan bukan kayu : Hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk
(HHBK) turunannya dan budidaya kecuali kayu yang berasal dari hutan.
Herbarium : Tempat koleksi berbagai spesimen tumbuhan dalam keadaan
mati untuk kepentingan pendidikan dan penelitian.
Hutan : Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak
dapat dipisahkan
Hutan (Definisi Kerja) : Suatu areal lahan lebih dari 6,25 ha dengan pohon-pohon lebih
tinggi dari 5 meter pada waktu dewasa dan tutupan kanopi lebih
dari 30 persen
Hutan Adat : Hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat
Hutan Desa : Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk
kesejahteraan desa
Hutan Hak : Hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas
tanah yang berada di luar kawasan hutan dan dibuktikan dengan
alas titel atau hak atas tanah
Hutan Kemasyarakatan : Hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk
memberdayakan masyarakat setempat
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 613
Glosarium
Hutan Konservasi : Kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai
fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
serta ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri atas kawasan hutan
suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam, dan taman buru
Hutan Kota : Hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak
dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara
maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh
pejabat yang berwenang.
Hutan Lindung : Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata
air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air
laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Hutan Rakyat : hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik
maupun hak lainnya di luar kawasan hutan dengan ketentuan
luas minimal 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan
dan/atau jenis tanaman lainnya lebih dari 50%”(Peraturan
Menteri Kehutanan No. 9 Tahun 2013).
Hutan Tanaman : Ekosistem hutan yang dibuat oleh manusia dengan cara ditanami
Hutan Tanaman Industri : Hutan tanaman yang dikelola dan diusahakan berdasarkan asas
kelestarian, asas manfaat dan asas perusahaan dalam rangka
meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan
menerapkan silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan
bahan baku industri hasil hutan
Hutan Tanaman Rakyat : Hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh
kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas
hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka
menjamin kelestarian sumberdaya hutan
Hutan Tanaman Rakyat : Hutan Tanaman Rakyat yang dibangun oleh BUMN atau BUMS
Pola Developer yang selanjutnya diserahkan oleh pemerintah kepada kepala
keluarga pemohon IUPHHK-HTR dan biaya pembangunannya
menjadi tanggungjawab pemegang IUPHHK-HTR dan
dikembalikan secara mengangsur berdasarkan Surat Keputusan
IUPHHK-HTR yang diterbitkan
Hutan Tanaman Rakyat : Hutan Tanaman Rakyat yang dibangun oleh kepala keluarga
Pola Kemitraan pemegang IUPHHK-HTR bersama dengan mitranya berdasarkan
kesepakatan bersama dengan difasilitasi oleh pemerintah agar
terselenggara kemitraan yang menguntungkan kedua pihak
Hutan Tanaman Rakyat : Hutan Tanaman Rakyat yang dibangun oleh kepala keluarga
Pola Mandiri pemegang IUPHHK-HTR
IDbarcode adalah : Tanda legalitas kayu bulat dalam bentuk label yang menempel
QRCode atau Barcode pada batang pohon/kayu bulat yang memuat informasi
2D legalitas dan asal-usul kayu bulat, yang dapat dibaca dengan
menggunakan perangkat tertentu.
614 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Glosarium
Ijin Usaha Pemanfaatan : Izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan
Hutan Kayu – Hutan berupa kayu pada hutan produksi melalui kegiatan penyiapan
Tanaman lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan
pemasaran.
INCAS (Indonesia : Sistem perhitungan karbon nasional yang dikembangkan oleh
National Carbon Pusat Litbang Hutan Badan Litbang dan Inovasi Kementerian
Accounting System) Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Integritas Ekosistem : Keterpaduan antara keragaman hayati, proses-proses dan
struktur ekosistem, konteks regional dan kesejarahan, dan
praktek-praktek budidaya yang swalanjut.
Inventarisasi hutan : Kegiatan pengumpulan data untuk mengetahui keadaan dan
potensi sumber daya hutan serta lingkungannya secara lengkap.
IUPHHK-HA : Izin untuk memanfaatkan kayu alam pada hutan produksi
yang kegiatannya terdiri dari pemanenan atau penebangan,
pemeliharaan, pengamanan dan pemasaran hasil hutan kayu
Izin Pemanfaatan Hutan : Usaha dalam bentuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan
Perhutanan Sosial hasil hutan kayu dalam hutan tanaman, pemanfaatan hasil
hutan bukan kayu dalam hutan tanaman, pemanfaatan air,
pemanfaatan energi air, pemanfaatan jasa wisata alam,
pemanfaatan sarana wisata alam, pemanfaatan penyerapan
karbon di hutan produksi dan hutan lindung dan pemanfaatan
penyimpanan karbon di hutan lindung dan hutan produksi
Izin Usaha Pemanfaatan : Izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil
Hasil Hutan Kayu Hutan hutan berupa kayu dalam hutan alam pada hutan produksi
Alam melalui kegiatan pemanenan atau penebangan, pengayaan,
pemeliharaan dan pemasaran.
Izin Usaha Pemanfaatan : Izin usaha untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan
Hasil Hutan Kayu hasil hutan ikutannya pada hutan produksi yang diberikan
Hutan Tanaman Rakyat kepada kelompok atau perorangan dengan teknis budidaya
(IUPHHK-HTR) tanaman yang sesuai dengan tapaknya untuk menjamin
kelestarian sumber daya hutan
Kawasan Ekosistem : Eksosistem di luar kawasan konservasi yang secara ekologis
Esensial penting bagi konservasi keanekaragaman hayati yang mencakup
ekosistem alami dan buatan yang berada di dalam dan di luar
kawasan hutan
Kawasan Hutan : Suatu lahan yang ditunjuk sebagai hutan tetap
Kawasan Hutan Dengan : Kawasan hutan yang secara khusus diperuntukkan bagi
Tujuan Khusus kepentingan penelitian dan pengembangan kehutanan,
pendidikan dan pelatihan kehutanan serta religi dan budaya
Kawasan Hutan Dengan : Kawasan hutan yang secara khusus diperuntukkan untuk
Tujuan Khusus (KHDTK) kepentingan penelitian dan pengembangan kehutanan,
pendidikan dan pelatihan kehutanan serta religi dan budaya
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 615
Glosarium
Keanekaragaman Hayati : Semua makhluk yang hidup di bumi, termasuk semua jenis
tumbuhan, binatang dan mikroba
Keanekaragaman Jenis : Keanekaragaman jenis organisme yang menempati suatu
ekosistem, di darat maupun di perairan
Keawetan kayu : Daya tahan kayu secara alami terhadap serangan organisme
perusak.
Kebakaran Hutan : Proses pembakaran bahan organik yang menyebar secara bebas
(wild fire) dengan mengkonsumsi bahan bakar alam hutan
meliputi serasah, humus, tanah gambut, rumput, ranting-ranting,
gulma, semak, dedaunan serta pohon-pohon segar. Pengertian
kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan dimana hutan
atau lahan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan
hutan dan hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomi dan
lingkungan
Kebun Binatang : Tempat pemeliharaan satwa sekurang-kurangnya 3 (tiga) kelas
taksa pada areal dengan luasan sekurang-kurangnya 15 (lima
belas) ha dan pengunjung tidak menggunakan kendaraan
bermotor (motor atau mobil).
Kebun Botani : Lokasi pemeliharaan berbagai jenis tumbuhan tertentu, untuk
dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan, penelitian dan
pengembangan bioteknologi, rekreasi dan budidaya.
Kebun Raya : Kawasan konservasi tumbuhan secara ex situ yang memiliki
koleksi tumbuhan terdokumentasi dan ditata berdasarkan pola
klasifikasi taksonomi, bioregion, tematik, atau kombinasi dari
pola-pola tersebut untuk tujuan kegiatan konservasi, penelitian,
pendidikan, wisata dan jasa lingkungan
Kehutanan : Sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan,
kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara
terpadu
Kehutanan Sosial : Sosial Forestry, satu strategi yang dititikberatkan pada
pemecahan masalah-masalah penduduk lokal dan pemeliharaan
lingkungan
Kekuatan tarik sejajar : Ketahanan batang rotan dalam menahan beban tarik terutama
serat rotan pada rotan berdiameter kecil yang digunakan sebagai komponen
mebel yang mengalami tarikan seperti landasan tempat duduk,
sandaran, pengikat dan lain-lain.
Kelompok Kerja : Kelompok kerja yang membantu fasilitasi dan verifikasi kegiatan
Percepatan Perhutanan percepatan Perhutanan Sosial.
Sosial
Kemitraan Kehutanan : Kerjasama antara masyarakat setempat dengan pengelola hutan,
pemegang izin usaha pemanfaatan hutan/jasa hutan, izin pinjam
pakai kawasan hutan, atau pemegang izin usaha industri primer
hasil hutan
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 617
Glosarium
Kemitraan Konservasi : Kerjasama antara kepala unit pengelola kawasan atau pemegang
izin pada kawasan konservasi dengan masyarakat setempat
berdasarkan prinsip saling menghargai, saling percaya dan saling
menguntungkan
Kerjasama : Kegiatan bersama para pihak yang dibangun atas kepentingan
Penyelenggaraan KSA bersama untuk optimalisasi dan efektifitas pengelolaan kawasan
dan KPA atau karena adanya pertimbangan khusus bagi penguatan
ketahanan nasional.
Kesatuan Pengelolaan : Wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan
Hutan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari
Kolaborasi Pengelolaan : Pelaksanaan suatu kegiatan atau penanganan suatu masalah
Kawasan Suaka dalam rangka membantu meningkatkan efektivitas pengelolaan
Alam Dan Kawasan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam secara
Pelestarian Alam bersama dan sinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman
dan kesepakatan bersama sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku
Komunitas di : Kelompok orang yang hidup di dalam atau sekitar hutan serta
Lingkungan Hutan memanfaatkan dan menggantungkan dirinya pada hutan, dalam
(Forest Communities) waktu yang lama, lintas generasi, dan mempunyai kesadaran
yang dibangun bersama (shared-collective awareness) sebagai
kelompok yang berbeda dengan kelompok lain
Kondisi Asli : Kondisi alamiah dari suatu ekosistem yang belum mengalami
perubahan atau kerusakan serta komponen-komponennya
berada dalam kondisi yang seimbang dan dinamis.
Konservasi Ex Situ : Upaya melindungi dan mengelola keanekaragaman hayati di luar
habitat (exsitu).
Konservasi Insitu : Upaya melindungi ekosistem dan habitat alami untuk konservasi
keanekaragaman jenis dan genetika
Konservasi : Pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya
Keanekaragaman Hayati dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas keanekaragaman dan nilainya
KPH Konservasi : KPH yang luas wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh
kawasan hutan konservasi
KPH Lindung : KPH yang luas wilayahnya seluruh atau sebagian besar terdiri
dari kawasan hutan lindung
KPH Produksi : KPH yang luas wilayahnya seluruh atau sebagian besar terdiri
dari kawasan hutan produksi
KPH Provinsi : KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya lintas kabupaten/kota;
KPH Pusat : KPH yang luas wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh
kawasan hutan konservasi atau KPH yang wilayah kerjanya lintas
provinsi;
618 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Glosarium
Kulit rotan : Hasil pembelahan rotan bagian kulit. Hati rotan (core) adalah
hasil pembelahan rotan yang berdiameter di atas 5 mm,
sedangkan dibawah 5 mm disebut filtrit.
Land tenure : Seperangkat property rights yang berhubungan dengan lahan,
dan kelembagaan yang menegakkan hak-hak tersebut. Bentuk
dari land tenure merujuk pada aturan, norma yang berhubungan
dengan sejumlah entitas, seperti individu, sebuah lembaga
publik, sebuah perusahaan swasta, sekelompok individu yang
bertindak secara kolektif, pengaturan secara komunal atau
sekelompok komunitas adat.
Lembaga Konservasi : Lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan/
atau satwa liar di luar habitatnya (ex-situ), baik berupa lembaga
pemerintah maupun lembaga non-pemerintah
Lembaga Konservasi : Lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan/
untuk Kepentingan atau satwa liar di luar habitatnya (ex-situ), baik berupa lembaga
Khusus pemerintah maupun lembaga non-pemerintah yang dalam
peruntukan dan pengelolaannya difokuskan pada fungsi
penyelamatan atau rehabilitasi satwa
Lembaga Konservasi : Lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan/
Untuk Kepentingan atau satwa liar di luar habitatnya (ex-situ), baik berupa lembaga
Umum pemerintah maupun lembaga non-pemerintah yang dalam
peruntukan dan pengelolaannya mempunyai fungsi utama dan
fungsi lain untuk kepentingan umum
Loading : Pemuatan kayu keatas kendaraan pengangkut dilokasi
landing
Lot Bibit : Bibit yang berasal dari satu sumber benih, umur satu periode
penanganan, dan satu perlakuan
Mekanisme Alam : Tindakan pemulihan terhadap ekosistem yang terindikasi
mengalami penurunan fungsi melalui tindakan perlindungan
terhadap kelangsungan proses alami, untuk tujuan tercapainya
keseimbangan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
mendekati kondisi aslinya
Minyak atsiri : Minyak yang diperoleh dari proses ekstraksi dari bagian pohon
(daun, ranting, akar, kulit, getah, bunga dan buah).
Mitigasi : Serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana,
baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana
Modifikasi kayu : Upaya penyempurnaan terhadap satu atau beberapa kelemahan
sifat pada kayu tanpa menggunakan racun permanen.
Multisistem Silvikultur : Sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dari dua
atau lebih Sistim Silvikultur yang diterapkan pada suatu IUPHHK
dan merupakan multiusaha dengan tujuan: mempertahankan
dan meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta
dapat mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 619
Glosarium
Museum Zoologi : Tempat koleksi berbagai spesimen satwa dalam keadaan mati,
untuk kepentingan pendidikan dan penelitian.
Papan gipsum : Papan tiruan yang dibuat dari partikel kayu atau bahan
berlignoselulosa lainnya dengan menggunakan perekat gipsum.
Papan partikel : Lembaran hasil pengempaan panas campuran partikel kayu atau
bahan berlignoselulosa lain dengan perekat organik dan bahan
lainnya.
Papan semen (cement- : Suatu papan tiruan yang dibuat dari kayu atau bahan berligno-
bonded board) selulosa lainnya dengan semen sebagai bahan perekatnya.
Pemanfaatan Jasa : Pemanfaatan kondisi lingkungan berupa pemanfaatan potensi
Lingkungan Ekosistem, keadaan iklim, fenomena alam, kekhasan jenis, dan
peninggalan budaya yang berada dalam KSA dan KPA, yang
diwujudkan dalam bentuk kegiatan wisata alam, pemanfaatan
air, energi air, penyimpanan dan/atau penyerapan karbon,
pemanfaatan panas matahari, angin, dan pemanfaatan panas
bumi untuk memenuhi kebutuhan listrik
Pemanfaatan Jenis : Penggunaan sumber daya alam baik tumbuhan maupun satwa
liar dan atau bagian-bagiannya serta hasil dari padanya dalam
bentuk pengkajian, penelitian dan pengembangan; penangkaran;
perburuan; perdagangan; peragaan; pertukaran; budi daya
tanaman obat-obatan; dan pemeliharaan untuk kesenangan
Pemanfaatan Jenis : Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa dengan memperhatikan
Tumbuhan dan Satwa kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis
Liar tumbuhan dan satwa liar
Pembagian batang : Kegiatan memotong pangkal dan bagian batang pohon yang
(bucking) sudah ditebang agar diperoleh batang sesuai dengan ukuran
standar panjang dan kualitas kayu yang ditetapkan.
Pemberdayaan : Upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan
Masyarakat masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap,
keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta
memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan,
program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan
esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat
Pembukaan Wilayah : Kegiataan penyediaan prasarana jalan dan bangunan lainnya
Hutan seperti pembangunan base camp, pembuatan tempat
penimbunan kayu (TPK) dan tempat penumpukan kayu
sementara (tpn) untuk menunjang kelancaran kegiatan
pembangunan dan pembinaan hutan tanaman serta kegiatan
produksi hasil hutan
Pemetaan : Proses penggambaran informasi yang ada di permukaan
bumi mulai dari pengambilan data secara terestris maupun
penginderaan jauh, pengolahan data dengan metode dan
acuan tertentu serta penyajian data berupa peta secara manual
ataupun digital.
620 Vademecum Kehutanan Indonesia 2020
Glosarium
Rotan asalan : Batang rotan yang telah mengalami perbersihan dan peruntian
tetapi belum mengalami pencucian dan perlakuan pengolahan
lebih lanjut.
Rotan bundar kupasan : Hasil pengupasan kulit ari rotan W&S sepanjang batang sebagai
(rotan poles halus) upaya peningkatan mutu ditandai dengan batang tanpa kulit
terpoles sepanjang batang.
Rotan bundar pendek : Batang rotan bundar W&S dengan panjang kurang 1(satu) meter.
Rotan bundar W&S : Batang rotan yang telah dibersihkan dan sudah dilakukan proses
pencucian, pengeringan, dan pengasapan dengan asap belerang
(washed &sulphurized)
Rotan kikis buku (rotan : adalah hasil pengikisan buku rotan bundar W&S sedemikian
poles kasar) rupa, sehingga diameternya seragam.
Ruang Terbuka Hijau : Area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman,
baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
Sertifikasi Hutan : Prosedur verifikasi yang menghasilkan sertifikat mengenai
kualitas pengelolaan hutan dalam hubungannya dengan satu set
kriteria dan indikator
Sertifikasi Mutu Benih : Proses pemberian sertifikat kepada suatu lot benih yang
menginformasikan kebenaran mutu benih yang dikomersialkan.
Sertifikasi Mutu Bibit : Proses pemberian sertifikat suatu lot bibit yang
menginformasikan kebenaran mutu bibit yang diperdagangkan.
Sidak : Sistem informasi dan data yang dikelola oleh Direktorat Jenderal
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KKLHK beserta
seluruh satuan kerja di bawahnya yang memuat informasi dan
data terkait upaya konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, baik insitu maupun eksitu.
Sifat mekanis kayu : sifat kayu yang berhubungan dengan kekuatan merupakan
ukuran kemampuan kayu untuk menahan gaya dari luar yang
bekerja padanya
Sifat dasar kayu : Sifat yang melekat pada kayu secara alami, penting untuk
diketahui sebagai dasar dalam menentukan peruntukan suatu
jenis kayu secara luas
SiMATAG-0,4m (Sistem : Merupakan sistem yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal
Informasi Muka Air Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, KLHK
Tanah Gambut 0,4 sebagai upaya monitoring tingkat keberhasilan pelaksanaan
meter) pemulihan fungsi Ekosistem Gambut melalui pengumpulan
database pemantauan Tinggi Muka Air Tanah (TMAT) dan curah
hujan di areal konsesi maupun lahan masyarakat.
SiPongi : Sistem informasi yang dikembangkan oleh Direktorat
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, KLHK untuk deteksi
dini pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang berbasis
aplikasi dan web.
Vademecum Kehutanan Indonesia 2020 625
Glosarium