Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

BIOMEDIK 2 (PATHOLOGI, PARASITOLOGI DAN BIOKIMIA)

TREMATODA

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK 2

1. Fiery Indra Christian Hutabarat (2111016100)


2. Siti Malikha Zalzabila Maharani (2111016008)
3. Reza Evelin Utami (2111016112)
4. Yulianisam (2111016102)
5. Claudia Mercy (2111016116)

Universitas Mulawarman

Fakultas Kesehatan Masyarakat

Kelas 2021 B
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT. yang maha pengasih lagi maha penyayang, Kami
hanturkan puji dan syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul Trematoda ini dengan
baik. Makalah Trematoda ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.

Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, kami menyadari
sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya.

Oleh karena itu dengan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Kami juga berharap semoga makalah ini bermanfaat
bagi pembaca.

Samarinda, 13 Februari 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 1
C. Tujuan ........................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................... 3
A. TREMATODA ........................................................................................................... 3
B. TREMATODA PEMBULUH DARAH (Schistosoma atau Bilharzia) ......................... 5
C. TREMATODA PARU (Paragonimus westermani) ..................................................... 9
D. TREMATODA USUS (Fasciolopsis buski, Echinostoma revolutum, E. Ilocanu) ...... 10
E. TREMATODA HATI (Clonorchis sinensis, Fasciola hepatica, F. Giganti) ............... 12
BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 17
Kesimpulan ..................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTKA ............................................................................................................ 19
ii

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Trematoda disebut sebagai cacing hisap karena cacing ini memiliki alat
penghisap. Alat penghisap terdapat pada mulut di bagian anterior, alat hisap ini
menempel pada tubuh inangnya maka disebut pul cacing hisap. Pada saat menempel
cacing ini menghisap makanan berupa jaringan atau cairan tubuh inangnya.
Ciri khas cacing ini adalah terdapat dua batil isap mulut dan perut, ada juga
spesies yang memiliki batil isap genital. Trematoda berlindung di dalam tubuh
inangnya dengan melapisi permukaan tubuhnya dengan kutikula permukaan tubuhnya
tidak memiliki silia. Cacing daun adalah cacing yang termasuk kelas Trematoda filum
platyhelmintes dan hidup sebagai parasit.
Pada umumnya cacing ini bersifat hermafrodit kecuali cacing schistosoma.
Spesies yang merupakan parasit pada manusia termasuk subkelas digenea, yang hidup
sebagai endoparasit. Berbagai macam hewan dapat berperan sebagai hospes definitive
cacing trematoda, antara lain: kucing, anjing, kambing, sapi, tikus, burung,
musang,harimau dan manusia. Menurut tempat hidup cacing dewasa dalam tubuh
hospes, maka trematoda dapat dibagi dalam:
a. Trematoda hati (liver flukes) : Clonorchis sinensis, Opisthorchis felineus,
Opisthorchis viverrini dan Fasciola.
b. Trematoda usus (intestinal flukes) : Fasciolopsis buski, Echinostomatidaedan
Heterophyidae.
c. Trematoda paru ( lung flukes): Paragonimus westermani.
d. Trematoda darah ( blood flukes): Schistosoma japonicum, Schistosomamansoni
dan Schistosoma haematobium.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan trematoda?
2. Dimana habitat trematoda?
3. Apa saja ciri khas cacing trematoda?
4. Ada berapa sub kelas trematoda?
5. Apa saja kelompok trematoda?
1

C. Tujuan
Tujuan dari penyusunan ini adalah agar mahasiswa dapat memahami apa itu
trematoda, habitat trematoda dan banyak hal tentang trematoda yang bisa dapat
mahasiswa pahami ketika membaca makalah ini.

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. TREMATODA
Trematoda berasal dari kata trematos, yang artinya berlubang dan berlekuk,
yaitu cacing yang pada tubuhnya terdapat satu atau lebih bagian yang berlekuk
untuk menempel pada hospesnya. Anggotanya terdiri dari cacing isap. Morfologi
cacing ini berbeda-beda menurut cara hidupnya sebagai parasit. Trematoda
merupakan cacing pipih yang berbentuk seperti daun, dilengkapi dengan alat-alat
ekskresi, alat pencernaan, alat reproduksi jantan dan betina yang menjadi satu
(hermafrodit) kecuali pada Trematoda darah (Schistosoma) (Muslim, 2009).
Mempunyai batil isap kepala di bagian anterior tubuh dan batil isap perut di
bagian posterior tubuh. Pada umumnya bentuk badan cacing dewasa pipih
dorsoventral dan simetris bilateral, tidak mempunyai rongga badan. Ukuran
panjang cacing dewasa sangat beraneka ragam dari 1mm sampai kurang lebih
75mm. tanda khas lainnya adalah terdapat 2 buah batil isap, yaitu batil isap mulut
dan batil isap perut. Pada umumnya trematoda tidak mempunyai alat pernapasan
khusus, karena hidupnya secara anaerob. Dalam siklus hidupnya Trematoda pada
umumnya memerlukan keong sebagai hospes perantara I dan hewan lain (Ikan,
Crustacea , keong) ataupun tumbuh-tumbuhan air sebagai hospes perantara kedua.
Manusia atau hewan vertebrata dapat menjadi hospes definitifnya (Muslim, 2009).
Spesies yang hidup pada manusia disebut sebagai endoparasit karena hidup di
dalam organ viseral, misalnya dalam sistem pembuluh darah. Trematoda yang
hidup pada manusia hidup sebagai parasit sehingga organ pencernaan, genital, dan
beberapa bagian lainnya mengalami kemunduran fungsional. Habitat Trematoda
dalam tubuh hospes definitif bermacammacam, ada yang di usus, hati, paru-paru,
dan darah. Walaupun hanya beberapa infeksi parasit yang menyebabkan kematian,
tetapi banyak juga yang menunjukkan angka kesakitan (morbiditas).
Pada dasarnya daur hidup trematoda ini melampui beberapa beberapa fase
kehidupan dimana dalam fase tersebut memerlukan hospes intermedier untuk
perkembangannya. Fase daur hidup tersebut adalah sebagai berikut:
Telur---meracidium---sporocyst---redia---cercaria—metacercaria---cacing
dewasa.
3
Di mana fase daur hidup tersebut sedikit berbeda untuk setiap spesies cacing
trematoda.

1) Schistosoma
2) Paragonimus
3) Clonorchis
4) Echinostom

Patologi dan Gejala Klinis Kelainan yang disebabkan cacing daun tergantung dari
lokalisasi cacing dalam tubuh hospes, selain itu ada juga pengaruh rangsangan setempat
dan zat toksin di keluarkan oleh cacing. Reaksi sistemik terjadi karena absorbsi zat
toksin, sehingga menghasilkan gejala alergi, demam, sakit kepala dan lain-lain. Bila

4
cacing hidup dijaringan paru seperti Paragonimus, mungkin menimbulkan gejala batuk,
sesak napas dan mungkin terjadi batuk darah (hemoptisis). Cacing yang hidup di
saluran empedu hati seperti Clonorchis, Opisthorchis, dan Fasciola dapat menimbulkan
rangsangan dan menyebabkan peradangan saluran empedu, dapat menyebabkan
penyumbatan aliran empedu sehingga menimbulkan gejala ikterus. Akibat lainnya
adalah peradangan hati sehigga terjadi hepatomegali. Cacing Schistosoma yang hidup
di pembuluh darah, ternyata terutama telurnya menimbulkan kelainan yang berupa
peradangan, pseudo-abses dan akhirnya terjadi fibrosis jaringan alat yang diinfiltrasi
oleh telur cacing ini, seperti dinding usus, dinding kandung kemih, hati, jantung, otak
dan lain-lain. (Susanto,2012)

Menurut lokasi berparasitnya cacing trematoda dikelompokkan sebagai berikut :

1) Trematoda pembuluh darah: Schistosoma haematobium, S. mansoni, S.


japonicum
2) Trematoda paru: Paragonimus westermani
3) Trematoda usus: Fasciolopsis buski, Echinostoma revolutum, E. ilocanum
4) Trematoda hati: Clonorchis sinensis, Fasciola hepatica, F. Gigantica

B. TREMATODA PEMBULUH DARAH (Schistosoma atau Bilharzia)

Pada manusia ditemukan 3 spesies penting. Schistosoma japonicum,


Schistosoma mansoni dan Schistosoma haematobim. Selain spesies yang
ditemukan pada manusia, masih banyak spesies yang hidup pada binatang dan
kadang-kadang dapat menghinggapi manusia.
Tiga spesies schistosoma tersebut berparasit pada orang, dimana ketiganya
struktur bentuknya sama, tetapi beberapa hal seperti morfologinya sedikit berbeda
dan juga lokasi berparasitnya pada tubuh hospes definitif. S. hematobium dan S.
mansoni, banyak dilaporkan menginfeksi orang di Mesir, Eropa dan Timur Tengah,
sedangkan S. japonicum, banyak menginfeksi orang di daerah Jepang, China,
Taiwan, Filippina, Sulawesi, Laos, Kamboja dan Thailand. Cacing betina panjang
20-26 mm, lebar 0,25-0,3 mm; cacing jantan panjang 10-20 mm; lebar 0,8-1 mm.

5
Daur hidup
Cacing dewasa hidup dalam venula yang mengalir ke organ tertentu dalam perut
hospes definitif (orang), yaitu:
S. hematobium, hidup dalam venula yang mengalir ke kantong kencing
(vesica urinaria),
S. mansoni, hidup dalam venula porta hepatis yang mengalir ke usus
besar (dalam hati),
S. japonicum, hidup dalam venula yang mengalir ke usus halus.
Cacing betina menempel pada bagian gynecophore dari cacing jantan dimana
mereka berkopulasi. Cacing betina meninggalkan tempat tersebut untuk
mengeluarkan telur di venula yang lebih kecil. Telur keluar dari venula menuju
lumen usus atau kantong kencing. Telur keluar dari tubuh hospes melalui feses atau
urine dan membentuk embrio. Telur menetas dan kelur “meracidiun” yang bersilia
dan berenang dalam air serta bersifat fototrofik. Meracidia menemukan hospes
intermedier yaitu pada babarapa spesies siput yaitu:
- S. Hematobium : Hospes intermediernya spesies siput: Bulinus sp, Physopsis sp.
atau Planorbis sp.
- S. Mansoni : Hospes intermediernya bergantung pada lokasi mereka hidup yaitu:
Biomphalaria alexandria : Di Afrika Utara, Arab Saudi dan Yaman B. Sudanensis,
B. rupelli, B. pfeifferi: di bagian Afrika lainnya; B. glabrata: Eropa Barat ;
Tropicorbio centrimetralis : Di Barzil.
- S. japonicum: hospes intermediernya pada siput Oncomelania.
Setelah masuk kedalam siput meracidium melepaskan kulitnya dan membentuk
Sporocyst, biasanya didekat pintu masuk dalam siput tersebut. Setelah dua minggu
Sporocyst mempunyai 4 Protonepridia yang akan mengeluarkan anak sporocyst dan
anak tersbut bergerak ke organ lain dari siput. Sporocyst memproduksi anak lagi
dan begitu seterusnya sampai 6-7 minggu.
Cercaria keluar dari anak sporocyst kemudian keluar dari tubuh siput dlam
waktu 4 minggu sejak masuknya meracidium dalam tubuh siput. Cercaria berenang
ke permukaan air dan dengan perlahan tenggelam kedasar air. Bila cercaria kontak
dengan kulit hospes definitif (orang), kemudian mencari lokasi penetrasi dari tubuh
orang tersebut, kemudian menembus (penetrasi) kedalam epidermis dan
menanggalkan ekornya sehingga bentuknya menjadi lebih kecil disebut
6
“Schistosomula” yang masuk kedalam peredaran darah dan terbawa ke jantung
kanan. Sebagian lain schistosomula bermigrasi mengikuti sistem peredaran cairan
limfe ke duktus thoracalis dan terbawa ke jantung. Schistosomula ini biasanya
berada dalam jantung sebelah kanan.
Cacing muda tersebut kemudian meninggalkan jantung kanan melalui kapiler
pulmonaris dan kemudian menuju jantung sebelah kiri, kemudian mengikuti sistem
sirkulasi darah sistemik. Hanya schistosomula yang masuk arteri mesenterika dan
sistem hepatoportal yang dapat berkembang. Setelah sekitar tiga minggu dalam
sinusoid hati, cacing muda bermigrasi ke dinding usus atau ke kantong kencing
(brgantung spesiesnya), kemudian berkopulasi dan memulai memproduksi telur.
Seluruhnya prepatent periodnya 5-8 minggu.
Patologi
Efek patologi dari cacing ini sangat bergantung pada spesiesnya. Progresifitas
dari penyakit dari ke 3 cacing ini ada tiga fase yaitu:
- fase awal, selama 3-4 minggu setelah infeksi yang menunjukkan gejala demam,
toksik dan alergi.
- Fase intermediate sekitar 2,5 bulan sampai beberapa tahun setelah infeksi, yaitu
adanya perubahan patologi pada saluran pencernaan dan saluran kencing dan waktu
telur cacing keluar tubuh.
- Fase terakhir, adanya komplikasi gastro-intestinal, renal dan sistem lain, sering
tak ada telur cacing yang keluar tubuh. Proses permulaan dari fase dari ke 3 spesies
cacing ini adalah sama yaitu: Demam yang berfluktuasi, kulit kering, sakit perut,
bronchitis, pembesaran hati dan limpa serta gejala diare.
Kerusakan yang nyata disebabkan oleh telur cacing, dimana S. mansoni , usus
besar lebih terpengaruh. Telur terdapat dalam venula dan submukosa yang
bertindak sebagai benda asing, sehingga menyebabkan reaksi radang dengan
laukosit dan infiltrasi fibroblast. Hal tersebut menimbulkan nodule disebut
pseudotuberkel, karena nodule yang disebabkan reaksi jaringan. Abses kecil akan
terbentuk sehingga menyebabkan nekrosis dan ulserasi. Sering ditemuai adanya sel
eosinofil dalam jumlah besar dalam darah dan diikuti penurunan jumlah sel radang.
Banyak telur terbawa kembali kedalam jaringan hati dan menumpuk dalam kapiler
hati sehingga menimbulkan reaksi sel dan terbentuk nodule pseudotuberkel.
7
Hal tersebut menimbulkan reaksi pembentukan sel fibrotik (jaringan ikat)
didalam hati dan menyebabkan sirosis hepatis dan mengakibatkan portal hipertensi.
Pembengkakan limpa terjadi karena kongesti kronik dalam hati. Karena terjadinya
kongesti pembuluh darah viscera mengakibatkan terjadinya ascites. Sejumlah telur
cacing dapat terbawa kedalam paru-paru, sistem saraf dan organ lain sehingga
menyebabkan terbentuknya pseudotuberkel di setiap lokasi tersabut.
S. japonicum menyebabkan perubahan patologi terutama di dalam intestinum
dan hati, mirip dengan yang disebabkan oleh S. mansoni, tetapi lebih parah bagian
yang menderita ialah usus kecil. Nodule yang dikelilingi jaringan fibrosa yang
berisi telur cacing ditemukan pada jaringan serosa dan permukaan peritonium.
Telur cacing S. japonicum terlihat lebih sering mencapai jaringan otak daripada dua
spesies lainnya, sehingga menyebabkan gangguan saraf yaitu: koma dan paralysis
(99% kasus). Schistosomiasis disebabkan oleh S. japonicum, terlihat lebih parah
prognosanya dapat infausta pada infeksi yang berat dan tidak lekas diobati.
Infeksi oleh S. hematobium terlihat paling ringan dibanding dua spesies lainnya.
Selama cacing dewasa tinggal didalam venula kantong kencing, gejala yang terlihat
adalah adanya gangguan pada sistem urinaria saja yaitu: cystitis, hematuria dan rasa
sakit pada waktu kencing. Terjadinya hematuria biasanya secara gradual dan
menjadi parah bila penyakit berkembang dengan adanya ulserasi pada dinding
kantong kencing. Rasa sakit terjadi akhir urinasi. Perubahan patologi dinding
kantong kencing disebabkan oleh reaksi tubuh terhadap telur sehingga membentuk
pseudotuberkel, infiltrasi sel fibrotik, penebalan lapisan muskularis dan ulserasi.
Diagnosis
Seperti pada cacing lainnya, diagnosis dilakukan dengan melihat telur cacing
dalam ekskreta. Tetapi jumlah telur yang diproduksi caing betina schistosoma
sangat sedikit sekali dibanding dengan parasit cacing lainnya yang menginfeksi
orang. Hanya sekitar 47% pasien dapat didiagnosis dengan cara smear langsung
itupun setelah dilakukan tiga kali smear. Biopsi dapat dilakukan yaitu dengan biopsi
rektal, liver dan katong kencing akan mendapatkan hasil yang baik, tetapi hal
tersebut berlu keahlian khusus bagi yang melakukannya. Penelitian telah dilakukan
dengan metoda imuno-diagnostik, yaitu dengan tes intradermal.

8
Tes intradermal akan terlihat positif setelah 4-8 minggu setelah infeksi,
walaupun pasien mungkin telah sembuh. Hasilnya 97% akuarat dan lebih efisien.
Tes juga dapat dilakukan dengan CFT(Complemen fiksasion tes), tetapi hal ini
dapat terjadi kros reaksi dengan penyakit shyfilis dan Paragonimus sp, tetapi bila
tidak hasilnya dapat 100%.
Pengobatan
Sulit dilakukan, dan penyakit schistosomiasis ini merupakan penyakit yang
cukup bermasalah bagi WHO, karena distribusinya yang sangat luas. Obat yang
telah dicoba dan cukup efektif adalah “trivalen organik antimonial” tetapi obat ini
sedikit bersifat toksik terhadap orang, sehingga pemebriannya harus hati-hati. Obat
lain yang toksik seperti :
- Lucanthone hydroksoid dan miridazole, tetapi obat ini kurang efektif. Obat
tersebut hanya menghambat cacing untuk memproduksi telur dan cacing
kembali ke hati untuk sementar, suatu saat cacing dapat balik lagi kevenula
porta dan memproduksi telur lagi. Beberapa obat yang masih dalam proses
penelitian ialah : hycanthone, metriphonat, oxamniquine, praziquantel,
menunjukkan hasil yang cukup menjanjikan untuk lebih efektif.

Pada fase dimana hati sudah mengalami kerusakan, semua obat menjadi berefek
kontraindikatif, mungkin operasi adalah jalan yang terbaik. Pada kasus yang sudah
sangat terlambat prognosanya jelek, pengobatan hanya dilakukan sebagai suportif
saja. Kontrol schistosomiasis sangat sulit dilakukan, bergantung pada sosialisasi
mengenai sanitasi dan pendidikan masyarakat setempat untuk merubah kebiasaan
dan tradisi mereka. Pemberantasan hospes intermedier dengan moluskisida cukup
baik, tetapi untuk hospes intermedier cacing S. japonicus agak sulit karena siput
Onchomelania bersifat amfibia dan mereka hanya masuk kedalam air bila akan
bertelur saja.

C. TREMATODA PARU (Paragonimus westermani)

Hospes cacing ini merupakan manusia dan binatang yang memakan


ketam/udang batu, sperti kucing, musang, anjing, harimau, serigala, dan lain-lain.
Cacing ini ditemukan di RRC, Taiwan, Korea, Jepang, Filipina, Vietnam, Thailand,

9
India, Malaysia, Afrika, Dan Amerika Latin. Di Indonesia ditemukan autokton pada
binatang, sedangkan pada manusia hanya sebagai kasus impor saja. (Sutanto,2012)
Morfologi dan Daur Hidup
Cacing dewasa hidup dalam diparu. Bentuknya bundar lonjong menyerupai biji
kopi, dengan ukuran 8-12 x 4-6 mm dan berwarna coklat tua. Batil isap mulut
hampir sama besar dengan batil isap perut. Testis berlobulus terletak berdampingan
antara batil isap perut dan ekor. Ovarium teletak dibelakang batil isap perut. Telur
berbentuk lonjong berukuran 80-118 mikron x 40-60 mikron dengan operculum
agak tertekan kedalam. Telur keluar bersama tinja atau sptum, dan berisi sel telur.
Telur menjadi matang dalam waktu kira-kira 16 hari, lalu menetas. Mirasidium
mencari keong air dan dalam keong air terjadi perkembangan :
M —» S—» R1—» R2—» S
Serkaria keluar dari keong air, berenang mencari hospes perantara II, yaitu
ketam atau udang batu, lalu membentuk metaserkaria didalam tubuhnya. Infeksi
terjadi dengan makan ketam atau udang batu yang tidak dimasak sampai matang.
Dalam hospes defenitif metaserkaria menjadi cacing dewasa muda di duodenum.
Cacing dewasa muda bermigrasi menembus dinding usu, masuk ke rongga perut,
menembus diafragma dan menuju ke paru. Jaringan hospes mengadakan reaksi
jaringan sehingga cacing dewasa terbungks dalam kista, biasanya ditemukan 2 ekor
didalamnya.
Diagnosis
Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dalam spatum atau cairan pleura.
Kadang-kadang telur juga ditemukan dalam tinja. Reaksi serologi sangat membantu
untuk menegakkan diagnosis.
Pengobatan
Prazikuantel dan bitionol merupakan obat pilihan. Penyakit ini berhubungan
erat dengan kebiasaan makan ketam yang tidak dimasak dengan baik. Penyuluhan
kesehatan yang berhubungan cara masak ketam dan pemakaian jamban yang tidak
mencemari air sungai dan sawah dapat mengurangi transmisi paragonimiasis.

D. TREMATODA USUS (Fasciolopsis buski, Echinostoma revolutum, E. Ilocanu)

10
Fasciolopsis buski
Parasit cacing sering dilaporkan menginfeksi orang dan babi. Diperkirakan
sekitar 10 juta orang terinfeksi oleh parasit cacing ini. Cacing dewasa panjangnya
20-75 mm dan lebar lebar 20 mm.
Daur hidup
Cacing dewasa hidup dalam usus halus memproduksi telur sampai 25000
butir/ekor/hari yang keluar melalui feses. Telur menetas pada sushu optimum (27-
32oC) selama sekitar 7 minggu. Meracidium keluar dan masuk kedalam hospes
intermedier siput yang termasuk dalam genus segmentia dan hippeutis
(planorbidae) untuk membentuk sporocyst. Sporocyst berada dalam jantung dan
hati siput, kemudian mengeluarkan redia induk, kemudian redia induk
memproduksi redia anak. Redia berubah menadi cercaria keluar dari tubuh siput
dan berenang dalam air, kemudian menempel pada tanaman/sayuran/rumput
dimana cercaria berubah menjadi metacercaria. Bila tanaman tersebut
dimakan/termakan manusia/babi maka cercaria menginfeksi hospes definitif.
Patologi
Perubahan patologi yang disebabkan oleh cacing ini ada tiga bentuk yaitu
toksik, obstruksi dan traumatik. Terjadinya radang di daerah gigitan, menyebabkan
hipersekresi dari lapisan mukosa usus sehingga menyebabkan hambatan makanan
yang lewat. Sebagai akibatnya adalah ulserasi, haemoragik dan absces pada dinding
usus. Terjadi gejala diaree kronis. Toksemia terjadi sebagai akibat dari absorpsi
sekresi metabolit dari cacing, hal ini dapat mengakibatkan kematian.
Diagnosis
Berdasarkan gejala klinis dan ditemukan telur cacing dalam feses.
Pengobatan
Diklorofen, niklosamide dan praziquantel, cukup efektif untuk pengobatan
cacing ini.
Echinostoma revolutum, E. ilocanum, E. malayanum
Telur cacing E. ilocanum pertama ditemukan dalam feses dari seorang hukuman
di Manila tahun 1907. Kemudian cacing ini banyak ditemukan menginfeksi orang
di daerah India Barat dan China. Morfologi dan biologinya sangat mirip dengan
cacing E. revolutum. E. revolutum merupakan parasit cacing trematoda yang sering
dilaporkan menginfeksi orang di Taiwan dan Indonesia. E. malayanum ditemukan
11
menginfeksi orang di India, Asia Tenggara dan India Barat.
Daur hidup
Cacing trematoda yang termasuk famili Echinostomatidae ini terciri dengan
adanya duri leher yang melingkar dalam sebaris atau dua baris yang melingkari batl
isap kepala. Cacing dewasa hidup dalam usus halus, telur keluar melalui feses dan
kemudian menetas dalam waktu 3 minggu dan kemudian keluar meracidium yang
berenang dalam air mencari hospes intermedier ke 1 berupa siput genus Physa,
Lymnea, Heliosoma, Paludina dan segmentia. Dalam hospes intermedier tersebut
meracidium membentuk sporocyst dan kemudian terbentuk redia induk, redia anak
yang kemudian membentuk cercaria. Cercaria keluar dari siput berenang mencari
hospes intermedier ke 2 yaitu jenis moluska (siput besar), planaria, ikan atau katak.
Bila hospes intermedier dimakan orang maka orang akan terinfeksi.
Patologi
Infeksi cacing ini tidak memperlihatkan gejala yang nyata.

E. TREMATODA HATI (Clonorchis sinensis, Fasciola hepatica, F. Giganti)

1. Clonorchis sinensis

Morfologi

Cacing dewasa hidup di saluran empedu, kadang-kadang di tetemukan di saluran


pankreas. Ukuran cacing dewasa 10-25 mm x 3-5 mm dengan integument tidak berduri,
bentuknya pipih, lonjong, memanjang, transparan, menyerupai daun dengan bagian
posterior membulat. Telur berukuran kira-kira 30x16 mikron, bentuknya seperti bola
lampu pijar dan berisi mirasidium, ditemukan di saluran empedu (Susanto, 2008).

Batil isap kepala sedikit lebih besar daripada batil isap perut dan terletak 1/3
anterior tubuh. Gambaran khas pada besar dan dalamnya lekuk lobus/cabang testis,
dengan cabang ke lateral. Letak testis berurutan, sebelah posterior dan ovarium yang
lebih kecil dan juga berlobus. Ovarium ini terletak di garis tengah, pada pertemuan 1/3
posterior dan 1/3 tengah tubuh. Uterus tampak berkelok-kelok, bermuara pada porus
genitalis berdampingan dengan muara alat kelamin jantan (Susanto, 2008).

Telur berbentuk oval dengan ukuran (28-35) x (12-19) m, ukuran dinding sedang,
memiliki poerkulum konvex, bagian posterior menebal. Telur ini diletakkan dalam

12
saluran empedu dalam keadaan sudah matang kemudian keluar bersama tinja dan baru
menetas jika ditelan tuan rumah perantara I. telur dalam tinja dapan bertahan selama 2
hari dalam suhu 26’C dan 2 hari pada 4-8’C (Kamarudin, 2001).

Siklus hidup

Cacing dewasa hidup di saluran empedu hati dan memproduksi telur sampai 4000
butir/hari sampai 6 bulan. Telur yang telah masak berwarna kuning coklat dan akan
menetas bila dimakan oleh siput Parafossarulus manchouricus yang merupakan hospes
intermedier ke 1. Telur menetas keluar merasidium yang akan berubah menjadi
sporocyst yang menempel pada dinding intestinum atau organ lain siput dalam waktu
4 jam setelah infeksi(Muslim, 2009).

Sporocyst memproduksi redia dalam waktu 17 hari, dan setiap redia memproduksi
5-50 serkaria. Serkaria mempunyai 2 titik mata dan ekork, kemudian keluar dari siput
berenang dalam air menuju permukaan dan kemudian tenggelam kedasar air. Bila
menemukan ikan sebagai hospes intermediet ke 2, cercaria akan menempel pada
epithelium kulit ikan tersebut. Kemudian menanggalkan ekornya dan menempus kulit
ikan dan membentuk cyste dibawah sisik ikan tersebut menjadi metacercaria.

Banyak spesies ikan yang menjadi hospes intermedier ke 2 dari C. sinensis ini
terutama yang termasuk dalam famili Cyprinidae. Metacercaria juga dapat menginfeksi
jenis krustacea (udang) seperti: Carindina, Macrobrachium dan Palaemonetes.

Cacing dewasa hidup di saluran empedu hati dan memproduksi telur sampai 4000
butir/hari sampai 6 bulan. Telur yang telah masak berwarna kuning coklat dan akan
menetas bila dimakan oleh siput Parafossarulus manchouricus yang merupakan hospes
intermedier ke 1. Telur menetas keluar merasidium yang akan berubah menjadi
sporocyst yang menempel pada dinding intestinum atau organ lain siput dalam waktu
4 jam setelah infeksi. Sporocyst memproduksi redia dalam waktu 17 hari, dan setiap
redia memproduksi 5-50serkaria. Serkaria mempunyai 2 titik mata dan ekok, kemudian
keluar dari siput berenang dalam air menuju permukaan dan kemudian tenggelam
kedasar air. Bila menemukan ikan sebagai hospes intermediet ke 2, cercaria akan
menempel pada epithelium kulit ikan tersebut. Kemudian menanggalkan ekornya dan

13
menempus kulit ikan dan membentuk cyste dibawah sisik ikan tersebut menjadi
metacercaria. Banyak spesies ikan yang menjadi hospes intermedier ke 2 dari C.
sinensis ini terutama yang termasuk dalam famili Cyprinidae. Metacercaria juga dapat
menginfeksi jenis krustacea (udang) seperti: Carindina, Macrobrachium dan
Palaemonetes (Muslim, 2009).

Hospes definitif (orang) akan terinfeksi oleh cacing ini bila makan ikan/udang
secara mentah-mentah/dimasak kurang matang. Dalam keong air (Bulinus
Semisulcospira), mirasisium berkembang menjadi sporokista, redia lalu serkaria.
Serkaria keluar dari keong air dan mencari hospes perantara II yaitu ikan (Family
Ciprynidae). Setelah menembus tubuh ikan, serkaria melepaskan ekornya dan
membentuk kista di dalam kulit di bawah sisik.Kista ini disebut metaserkaria. (Susanto,
2008)

Perkembangan dalam tubuh ikan berlangsung selama 23 hari.Jika daging ikan yang
mengandung cacing kista tersebut (kista) dimasak kurang sempurna, jika dimakan
hospes maka di dalam duodenum, larva keluar dari kista, masuk ke dalam saluran
empedu sebelah distal dan cabang-cabangnya melalui ampulla Vateri. Untuk menjadi
cacing dewasa dibutuhkan waktu 1 bulan, sedangkan seluruh siklus diperlukan kurang
lebih 3 bulan.

Hewan yang dapat terinfeksi C. sinensis ini adalah babi, anjing, kucing, tikus dan
unta. Hewan laboratorium seperti kelinci dan marmot sangat peka terhadap infeksi
cacing ini.Metacercaria menjadi cacing muda pada dinding duodenum dan bermigrasi
ke hati melalui saluran empedu. Cacing muda ditemukan didalam hati dalam waktu 10-
40 jam setelah infeksi (pada hewan percobaan). Cacing tumbuh menjadi dewasa dan
memproduksi telur dalam waktu sekitar 1 bulan, sedangkan daur hidup secara komplit
dalam waktu 3 bulan. Cacing dewasa dapat hidup selama 8 tahun pada tubuh orang
(Muslim, 2009).

Patologi

Perubahan patologi terutama terjadi pada sel epitel saluran empedu. Pengaruhnya
terutama bergantung pada jumlah cacing dan lamanya menginfeksi. Untungnya jumlah

14
cacing yang menginfeksi biasanya sedikit. Pada daerah endemik jumlah cacing yang
pernah ditemukan sekitar 20-200 ekor cacing. Infeksi kronis pada saluran empedu
menyebabkan terjadinya penebalan epithel empedu sehingga dapat menyumbat saluran
empedu. Pembentukan kantong-kantong pada saluran empedu dalam hati dan jaringan
parenkim hati dapat merusak sel sekitarnya. Adanya infiltrasi telur cacing yang
kemudian dikelilingi jaringan ikat menyebabkan penurunan fungsi hati.

Gejala asites sering ditemukan pada kasus yang berat, tetapi apakah ada
hubungannya antara infeksi C. sinensis dengan asites ini masih belum dapat dipastikan.
Gejala joundice (penyakit kuning) dapat terjadi, tetapi persentasinya masih rendah, hal
ini mungkin disebabkan oleh obstruksi saluran empedu oleh telur cacing. Kejadian
kanker hati sering dilaporkan di Jepang, hal ini perlu penelitian lebih jauh apakah ada
hubungannya dengan penyakit Clonorchiasis.

Cacing ini menyebabkan iritasi pada saluran empedu dan penebalan dinding
saluran dan perubahan jaringan hati yang berupa radang sel hati. Gejala dibagi 3
stadium: stadium ringan tidak ada gejala, stadium progresif ditandai dengan
menurunnya nafsu makan, diare, edema, dan pembesaran hati, dan stadium lanjut
didapatkan sindrom hipertensi portal terdiri dari pembesaran hati, edema, dan kadang-
kadang menimbulkan keganasan dalam hati yang dapat menyebabkan kematian.

Pencegahan dan pengendalian

Pencegahan penularan cacing Chlonorsis sinensis pada manusia dapat dilakukan


dengan cara memutus rantai hidup cacing ini, meliputi :

1) Tindakan pengendalian industri, pembuangan ekskreta dan air limbah/khusus


kotor yang aman untuk mencegah kontaminasi pada air sungai, pengolahan air
limbah untuk keperluan akuakultur, iradiasi ikan air tawar, pembekuan dingin,
perlakuan panas, misalnya pengalengan.
2) Tempat pengelolaan makanan/rumah tangga, memasak ikan air tawar sampai
benar-benar matang. Konsumen harus menghindari konsumsi ikan air tawar
yang mentah atau kurang matang.

15
Pengendalian siput dengan moluskisida jika memungkinkan, pengobatan pada
masyarakat yang terinfeksi untuk mengurangi reservoir infeksi, pemberantasan anjing
dan kucing liar. Tidak makan makanan mentah (sayuran, daging babi, daging sapi dan
daging ikan), buah dan melon dikonsumsi setelah dicuci bersih dengan air. Minum air
yang sudah dimasak mendidih baru aman.

Upaya yang lain adalah dengan menjaga kebersihan diri, sering gunting kuku,
membiasakan cuci tangan menjelang makan atau sesudah buang air besar. Tidak boleh
buang air kecil/besar di sembarang tempat, tidak menjadikan tinja segar sebagai pupuk;
tinja harus dikelola dengan tangki septik, agar tidak mencemari sumber air. Di Taman
Kanak Kanak dan Sekolah Dasar harus secara rutin diadakan pemeriksaan parasit,
sedini mungkin menemukan anak yang terinfeksi parasit dan mengobatinya dengan
obat cacing. Bila muncul serupa gejala infeksi parasit usus, segera periksa dan berobat
ke rumah sakit. Meski kebanyakan penderita parasit usus ringan tidak ada gejala sama
sekali, tetapi mereka tetap bisa menularkannya kepada orang lain, dan telur cacing akan
secara sporadik keluar dari tubuh bersama tinja, hanya diperiksa sekali mungkin tidak
ketahuan, maka sebaiknya secara teratur memeriksa dan mengobatinya.

2. Fasciola hepatica dan F. gigantic

Cacing ini banyak menyerang hewan ruminansia yang biasanya memakan rumput
yang tercemar netacercaria, tetapi dapat juga menyerang manusia. Cacing ini termasuk
cacing daun yang besar dengan ukuran 30 mm panjang dan 13 mm lebar.

Daur hidup

Cacing dewasa hidup dalam saluran empedu hospes definitif (terutama ruminansia
kadang juga orang). Cacing bertelur dan keluar melalui saluran empedu dan keluar
melalui feses. Telur berkembang membentuk meracidium dalam waktu 9-10 hari pada
suhu optimum. Meracidium mencari hospes intermedier siput Lymnea rubiginosa dan
berkembang menjadi cercaria. Cercaria keluar dari siput dan menempel pada tanaman
air/rumput/sayuran. Cercaria melepaskan ekornya memmbetuk metacercaria. Bila
rumput/tanaman yang mengandung metacercaria dimakan oleh ternak/orang, maka
cacing akan menginfeksi hospes definitif dan berkembang menjadi cacing dewasa.

16
Patologi

Cacing dalam saluran empedu menyebabkan peradangan sehingga merangsang


terbentuknya jaringan fibrosa pada dinding saluran empedu. Penebalan saluran empedu
menyebabkan cairan empedu mengalir tidak lancar. Disamping itu pengaruh cacing
dalam hati menyebabkan kerusakan parenchym hati dan mengakibatkan sirosis hepatis.
Hambatan cairan empedu keluar dari saluran empedu menyebabkan ichterus. Bila
penyakit bertambah parah akan menyebabkan tidak berfungsinya hati.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur yang berbentuk khas dalam tinja
atau dalam cairan duodenum dan cairan empedu. Reaksi serologis (ELISA) sangat
membantu untuk menegakkan diagnosis. Imunodiagnosis yang lebih sensitive dan
spesies-spesifik telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen ekskretori-sekretori
yang dikeluarkan parasit. Ultrasonografi digunakan untuk menegakkan diagnosis
fasioliasis bilier.

Pengobatan

Penyakit ini dapat diobati dengan albendazol dan paraziquantel.

17
BAB III

PENUTUP
Kesimpulan

Trematoda yang hidup pada manusia hidup sebagai parasit sehingga organ
pencernaan, genital, dan beberapa bagian lainnya mengalami kemunduran fungsional.
Walaupun hanya beberapa infeksi parasit yang menyebabkan kematian, tetapi banyak
juga yang menunjukkan angka kesakitan (morbiditas). Trematoda yang hidup dalam
tubuh manusia dapat digolongkan menurut tempat di mana ia hidup, meliputi trematoda
usus, trematoda darah, trematoda hati, dan trematoda paru-paru. Spesies yang
merupakan parasit dalam darah meliputi :

1. Schistosoma japonicum
2. Schistosoma mansoni
3. Schistosoma haematobium

Spesies-spesies trematoda parasit darah ini memiliki hospes definitif manusia.


Berbagai macam binatang dapat berperan sebagai hospes reservoir. Serkaria adalah
bentuk infektif cacingschistosoma. Pada manusia, cacing ini menyebabkan penyakit
skitosomiasis atau bilharziasis. Cara infeksi pada manusia adalah serkaria menembus
kulit pada waktu manusia masuk ke dalam air yang mengandung serkaria. Cacing
trematoda ini hidup di pembuluh darah terutama dalam kapiler darah dan vena kecil
dekat permukaan selaput lender usus atau kandung kemih. Infeksi terjadi dengan makan
ikan yang mengandung metaserkaria yang dimasak kurang matang.

Sejak larva masuk disaluran empedu sampai menjadi dewasa, parasit ini dapat
menyebabkan iritasi pada saluran empedu dan penebalan dinding saluran. Selain itu
dapat terjadi perubahan jaringan hati yang berupa radang sel hati. Pada keadaan lebih
lanjut dapat timbul sirosis hati disertai asites dan edema.

Spesies-spesies Trematoda yang merupakan parasit dalam jaringan, seperti hati


antara lain: Clonorchis sinensis, Opisthorcis felineus, Fasciola hepatica, Dicrocoelum
dendriticum, dan Opisthorcis viverni. Sedangkan trematoda parasit paru-paru manusia
adalah Paragonimus westermani. Dalam hospes defenitif, metaserkaria menjadi cacing
dewasa muda di duodenum. Cacing dewasa muda bermigrasi menembus dinding usus,
masuk ke rongga perut, menembus diafragma dan menuju ke paru. Cacing dewasa
hidup dalam kista di paru-paru. Prazikuantel dan bitionol merupakan obat pilihan yang
baik untuk menanggulangi cacing ini.

18
DAFTAR PUSTKA

www.geocities.ws/kuliah_farm/.../Trematoda.doc

Muslim, M. 2009. Parasitologi Untuk Keperawatan Parasitologi Kedokteran. Jakarta


: EGC

Susanto, I ., Ismid, I S dan Sungkar, S. 2012. Parasitologi Kedokteran ; Jakarta. Balai


penerbit FK UI

19

Anda mungkin juga menyukai