Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MAKALAH PARASITOLOGI

“ HELMINTOLOGI “

Disusun Oleh :
Ratna Sari (20330752)

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS FARMASI

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

JAKARTA

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan sebagaimana
mestinya dengan baik dan tepat waktu tanpa adanya halangan.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Parasitologi.
Adapun judul makalah ini adalah “Helmintologi”. Kami menyadari di dalam penulisan
makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, sehingga kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun, untuk perbaikan penulisan makalah selanjutnya.

Dalam penyusunan makalah ini kami tidak terlepas dari mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi positif bagi kita semua.

Jakarta, Juni 2021

Ratna Sari
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Helmintologi adalah ilmu yang mempelajari parasit yang berupa
cacing.Berdasarkan taksonomi, helmint dibagi menjadi dua macam, yaitu
nemathelminthes (cacing gilik) dan platyhelminthes (cacing pipih). Stadium dewasa
cacing-cacing yang termasuk nemathelminthes (kelas nematoda) berbentuk bulat
memanjang dan padapotongan transversal tampak rongga badan dan alat-alat. Cacing
ini mempunyai alat kelamin terpisah. Cacing dewasa yang termasuk platyhelmintes
mempunyai badan pipih,tidak mempunyai rongga badan dan biasanya bersifat
hemafrodit.
Penyakit karena cacing (helminthiasis), banyak tersebar di seluruh
dunia,terutama di daerah tropis. Hal ini berkaitan dengan faktor cuaca dan tingkat
sosio-ekonomi masyarakat.Kebanyakan cacing memerlukan suhu dan kelembaban
udara tertentu untuk hidup dan berkembang biak. Sebagian cacing memerlukan
vertebrata atau invertebrate tertentu sebagai host, misalnya ikan, siput, crustacea atau
serangga, dalam siklus (lingkaran) hidupnya.
Di daerah tropis, host-host ini juga banyak berhubungan dengan manusia,
karena tidak adanya pegendalian dari masyarakat setempat.Serangga, seperti nyamuk
dan lalat pengisap darah, di samping sebagai intermediate host, juga merupakan
bagian dari lingkaran hidup cacing. Penyebaran telurcacing yang ke luar bersama
feses penderita, tidak hanya berkaitan dengan cuaca, seperti hujan, suhu dan
kelembaban udara, tetapi juga berkaitan dengan pengetahuan dan kesadaran
masyarakat tentang sanitasi. Kebiasaan penggunaan feses manusia sebagai pupuk
tanaman menyebabkan semakin luasnya pengotoran tanah, persediaan air rumah
tangga dan makanan tertentu, misalnya sayuran, akan meningkatkan jumlah penderita
helminthiasis.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi dari Helmintologi ?
2. Apa Saja Klasifikasi dari Helmintologi ?
3. Apa saja Klasisifikasi dari Platyhelminthes dan Jenis – jenis Cacing Penyebab
Penyakit ?
4. Apa saja Klasisifikasi dari Nemathelminthes dan Jenis – jenis Cacing
Penyebab Penyakit ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari Helmintologi.
2. Untuk mengetahui Klasifikasi dari Helmintologi.
3. Untuk mengetahui Klasifikasi dari Platyhelminthes dan Jenis – jenis Cacing
Penyebab Penyakit.
4. Untuk mengetahui Klasifikasi dari Nemathelminthes dan Jenis – jenis Cacing
Penyebab Penyakit.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Helmintologi
Helmintologi adalah ilmu cabang dari parasitologi. Helmintologi, diadopsi
dari kata helmintos yang artinya cacing, dan logos yang artinya ilmu. Sementara
Parasitologi berasal dari kata parasitos yang artinya organisme yang mengambil
makan, dan logos yang artinya ilmu, telaah. Helmintologi merupakan suatu bidang
ilmu tentang cacing yang berperan sebagai parasit. (Jangkung, 2002)
Dalam kaitan dengan masalah kesehatan, maka parasitologi medik
mempelajari parasit yang menghinggapi manusia dapat menyebabkan penyakit dan
bahkan kematian. Dalam bidang kedokteran dikenal sebagai ilmu yang mempelajari
infeksi kecacingan pada manusia, apakah itu menyangkut infeksi kecacingan, faktor-
faktor yang menyebabkan terjadinya infeksi kecacingan, dampak yang ditimbulkan
oleh infeksi karena cacing, serta upaya pencegahan dan pengobatan infeksi
kecacingan tersebut.
Cacing yang bersifat parasit pada manusia termasuk dalam 2 golongan besar,
yaitu cacing bulat (Nemathelminthes) dan cacing pipih (Platyhelminthes). Dari
Nemathelminthes yang terpenting adalah kelas Nematoda sedangkan dari
Platyhelminthes adalah kelas Trematoda dan Cestoda. (Indan Entjang, 2003).

B. Klasifikasi Helmintologi
Klasifikasi dari Helmintologi yaitu :
1. Nemathelminthes
Nemathelminthes berasal dari bahasa yunani, nema = benang,
helminthes=cacing) disebut sebagai cacing gilig ukaran tubuhnya berbentuk bulat
panjang atau seperti benang. Berbeda dengan Platyhelminthes yang belum
memiliki rongga tubuh, Nemathelminthes sudah memiliki rongga tubuh meskipun
bukan rongga tubuh sejati. Oleh karena memiliki rongga tubuh semu,
Nemathelminthes disebut sebagai hewan Pseudoselomata.
2. Platyhelminthes
Platyhelminthes (dalam bahasa yunani, platy=pipih, helminthes=cacing) atau
cacing pipih adalah kelompok hewan yang struktur tubuhnya sudah lebih maju
dibandingkan porifera dan Coelenterata. Tubuh Platyhelminthes memiliki tiga
lapisan sel (triploblastik), yaitu ekstoderm, mesoderm, dan endoderm.

C. Klasisifikasi dari Platyhelminthes dan Jenis – jenis Cacing Penyebab Penyakit


1. Klasifikasi Platyhelminthes
Platyhelminthes dapat dibedakan menjadi 3 kelas, yaitu Turbellaria (cacing bulu
getar), Trematoda (cacing isap), Monogenea, dan Cestoda (cacing pita)

 Kelas Turbellaria merupakan cacing pipih yang menggunakan bulu getar


sebagai alat geraknya, contohnya adalah Planaria.
 Kelas Trematoda memiliki alat isap yang dilengkapi dengan kait untuk
melekatkan diri pada inangnya karena golongan ini hidup sebagai parasit pada
manusia dan hewan. Beberapa contoh Trematoda adalah Fasciola (cacing
hati), Clonorchis, dan Schistosoma.
 Kelas Cestoda memiliki kulit yang dilapisi kitin sehingga tidak tercemar
oleh enzim di usus inang. Cacing ini merupakan parasit pada hewan, contohnya
adalah Taenia solium dan T. saginata. Spesies ini menggunakan skoleks untuk
menempel pada usus inang. Taenia bereproduksi dengan
menggunakan telur yang telah dibuahi dan di dalamnya terkandung larva yang
disebut onkosfer.

2. Jenis – jenis Cacing Penyebab Penyakit dari Platyhelminthes


2.1. Trematoda
Trematoda berasal dari bahasa
yunani Trematodaes yang berarti
punya lobang,  bentuk tubuh pipih
dorso ventral sperti daun. Umumnya
semua organ tubuh tak punya
ronggat tubuh dan mempunyai
Sucker atau kait untuk menempel
pada parasit ini di luar atau di organ dalam induk semang. Saluran pencernaaan
mempunyai mulut, pharink, usus bercabang cabang tapi tak punya anus.
  Sistem eksretori bercabang- cabang, mempunyai flame cell yaitu kantong
eksretori yang punya lubang di posterior. Hermaprodit, kecuali famili
Schistosomatidae. Siklus hidup ada yang secara langsung (Monogenea) dan tak
langsung (Digenea).
Trematoda atau cacing daun yang berparasit pada hewan dapat dibagi menjadi
tiga sub klas yaitu Monogenea, Aspidogastrea, dan Digenea. Pada hewan jumlah
jenis dan macam cacing daun ini jauh lebih besar dari pada yang terdapat pada
manusia, karena pada hewan sub-klas ini dapat dijumpai.
Trematoda disebut sebagai cacing isap karena cacing ini memiliki alat
penghisap. Alat penghisap terdapat pada mulut di bagian anterior. Alat hisap
(Sucker) ini untuk menempel pada tubuh inangnya makanya disebut pula cacing
hisap.
Pada saat menempel cacing ini menghisap makanan berupa jaringan atau
cairan tubuh inangnya. Dengan demikian maka Trematoda merupakan hewan parasit
karena merugikan dengan hidup di tubuh organisme hidup dan mendapatkan
makanan tersedia di tubuh inangnya. Trematoda dewasa pada umumnya hidup di
dalam hati, usus, paru-paru, ginjal, dan pembuluh darah vertebrata, ternak, ikan,
manusia Trematoda. Trematoda berlindung di dalam inangnya dengan melapisi
permukaan tubuhnya dengan kutikula permukaaan tubuhnya tidak memiliki sila.
Jenis-jenis Trematoda
Berbagai macam hewan dapat berperan sebagai hospes definitife cacing
Trematoda, antara lain: kucing, anjing, kambing, sapi , babi, tikus, harimau, dan
manusia.
Menurut tempat hidup cacing dewasa dalam tubuh hospes, maka Trematoda dapat
dibagi menjadi 4, yaitu:

2.1.1. Trematoda Hati ( Clonorchis sinensis )


a. Hospes dan Nama Penyakit
Manusia, Kucing, Anjing,
Beruang Kutub, dan Babi
merupakan Hospes parasit
Trematoda Hati, penyakit yang
disebabkannya disebut
Klonorkiasis.
b. Morfologi dan daur hidup
Cacing dewasa hidup di saluran empedu, kadang-kadang disaluran prankeas.
ukuran cacing dewasa 10-25 mm x 3-5 mm, bentuknya pipih, lonjong,
menyerupai daun. Telur berukuran kira-kira 30 x 16 mikron, bentuknya seperti
bola lampu pijar dan berisi mirasidium, ditemukan dalam saluran empedu. Telur
dikeluarkan dengan tinja, telur menetas bila dimakan keong air (Bulinus,
Semisulcopira). Dalam keong air, mirasidium berkembang menjadi sporakista,
redia induk, redia anak, lalu serkaria. Serkaria keluar dari keong air dan mencari
hospes perantara II, yaitu ikan (family cyprinidae). setelah menembus masuk
tubuh ikan serkaria melepaskan ekornya dan membentuk kista didalam kulit
dibawah sisik, kista ini disebut metaserkaria.
Infeksi terjadi dengan makan ikan yang mengandung metaserkaria yang
dimasak kurang matang. Ekskistasi terjadi di duodenum, kemudian larva masuk
di duktus koledokus, lalu menuju ke saluran empedu yang lebih kecil dan
menjadi dewasa dalam waktu sebulan, seluruh daur hidup berlangsung selama 3
bulan.
c. Patologi dan Gejala Klinis
Sejak larva masuk di saluran empedu sampai menjadi dewasa, parasit ini
dapat menyebabkan iritasi pada saluran empedu dan penebalan dinding saluran.
Selain itu dapat terjadi perubahan jaringan hati yang berupa radang sel hati,
pada keadaaan lebih lanjut dapat timbul sirosis hati di sertai asites dan edema.
Luasnya organ yang mengalami kerusakan bergantung pada jumlah cacing yang
terdapat di saluran empedu dan lamanya infeksi.
Gejala dapat dibagi menjadi 3 stadium, pada stadium ringan tidak di
temukan gejala. Stadium progresif di tandai dengan menurunnya nafsu makan,
perut rasa penuh, diare, edema, dan pembesaran hati. Pada stadium lanjut di
dapatkan sindrom hipertensi fortal yang terdiri dari pembesaran hati, ikterus,
asites, edema, sirosis hepatis. Terkadang dapat menimbulkan keganasan dalam
hati.
d. Diagnosis
Diagnosis di tegakkan dengan menemukan telur yang berbentuk khas
dalam tinja atau dalam cairan duodenum.
e. Pengobatan
Penyakit ini dapat diobati dengan prazikuantel.
2.2.2. Trematoda Paru ( paragonimus westermani )
a. Hospes Dan Nama Penyakit
Manusia dan binatang yang
memakan ketan atau udang
batu, seperti kucing, luak,
anjing, harimau, serigala dan
lain-lain merupakan hospes
cacing ini. Pada manusia
parasit ini menyebabkan paragonomiasis.

b. Morfologi Dan Daur Hidup


Cacing dewasa hidup dalam kista di paru. Bentuknya bundar lonjong
menyerupai biji kopi, dengan ukuran 8 – 12 x 4 – 6 mm dan berwarna coklat
tua. Batil isap mulut hampir sama  besar dengan batil isap perut. Testis berlobus
terletak berdampingan antara batil isap perut dan ekor. Ovarium terletak di
belakang batil isap perut. Telur berbentuk lonjong berukuran 80-118 mikron x
40-60 miron dengan operculum agak tertekan ke dalam. Waktu keluar bersama
tinja atau sputum, telurnya belum berisi mirasidium.
Serkaria keluar dari keong air, berenang mencari hospes perantara II , yaitu
ketam atau udang batu, lalu membentuk metaserkaria didalam tubuhnya. Infeksi
terjadi dengan makan ketan atau udang batu yang tidak dimasak sampai matang.
Dalam Hospes definitif, meta serkaria menjadi cacing dewasa muda di
duodenum. Cacing dewasa muda berimigrasi menembus dinding usus, masuk ke
rongga perut, menembus diafragma dan menuju keparu. Jaringan hospes
mengadakan reaksi jaringan sehingga cacing dewasa terbungkus dalam kista,
biasanya ditemukan 2 ekor didalamnya.
c. Patologi dan Gejala Klinis
Karena cacing dewasa berada dalam kista di paru, maka gejala dimulai dengan
adanya batuk kering yang lama kelamaan menjadi batuk darah. Keadaan ini
disebut endemic hemoptysis. Cacing dewasa dapat pula berimigrasi kealat-alat
lain dan menimbulkan abses pada alat tersebut (antara lain hati, limfa, otak, otot,
dinding usus).
d. Diagnosis
Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dalam sputum atau cairan pleura.
Terkadang telur juga ditemukan dalam tinja, reaksi serologi sangat membantu
untuk menegakkan diagnosis.
e. Pengobatan
Prazikuantel dan bitionel merupakan obat pilhan.
2.2.3. Trematoda Usus
Dalam daur hidup trematoda usus
tersebut, seperti pada trematoda lain,
diperlukan keong sebagai hospes perantara
I, tempat mirasidium tumbuh menjadi
sporokista, berlanjut menjadi redia dan
serkaria. Serkaria yang dibentuk dari redia,
kemudian melepaskan diri untuk keluar dari tubuh keong dan berenang bebas dalam
air. Tujuan akhir serkaria tersebut adalah hospes perantara II, yang dapat berupa
keong jenis ikan air tawar, atau tumbuh-tumbuhan air.
Manusia mendapatkan penyakit cacing daun karena memakan hospes perantara
II yang tidak dimasak sampai matang.
a. Hospes dan Nama Penyakit
Hospes cacing keluarga Echinostomatidae sangat beraneka ragam yaitu
manusia, tikus, anjing, burung, ikan dan lain-lain (poliksen). Nama penyakitnya
disebut ekinostomiasis.
b. Morfologi dan Daur Hidup
Cacing trematoda dari keluarga Echinostomatidae, dapat dibedakan dari
cacing trematoda lain, dengan adanya cirri-ciri khas berupa duri-duri leher
dengan jumlah antara 37 buah sampai kira-kira 51 buah, letaknya dalam dua
baris berupa tapal kuda, melingkari bagian belakang serta samping batil isap
kepala. Cacing tersebut berbentuk lonjong, berukuran panjang dari 2,5 mm
hingga 13-15 mm dan lebar 0,4 – 0,7 mm hingga 2,5 – 3,5 mm.
Testis berbentuk agak bulat, berlekuk-lekuk, letaknya bersusun tandem pada
bagian posterior cacing. Vitelaria letaknya sebelah lateral, meliputi 2/3 badan
cacing dan melanjut hingga bagian posterior. Cacing dewasa hidup diusus halus,
mempunyai warna agak merah ke abu-abuan. Telur mempunyai operculum,
besarnya berkisar antara 103-137 x 59 – 75 mikron. Telur setelah 3 minggu
dalam air, berisi tempayak yang disebut mirasidium. Bila telur menetas,
mirasidium keluar dan berenang bebas untuk hinggap pada hospes perantara I
yang berupa keong jenis kecil seperti genus anisus, gyraulus, lymnae, dan
sebagainya.
Dalam hospes perantara I, mirasidium tumbuh menjadi sporokista,
kemudian melanjut menjadi redia induk, redia anak yang kemudian membentuk
serkaria yang pada suatu saat berjumlah banyak dilepaskan kedalam air oleh
redia yang berada dalam keong. Serkaria ini kemudian hinggap pada hospes
perantara II untuk menjadi metaserkaria yang efektif. Hospes perantara II adalah
jenis keong yang besar, seperti genus vivivar/bellamya, pila atau corbicula.
Ukuran cacing besar, jumlah duri-duri sirkumoral berbentuk testis.
Ukuran telur dan jenis hospes perantara digunakan untuk mengidentifikasi
spesies cacing.
c. Diagnosis
Diagnosis ditegakkandengan menemukan telur dalam tinja.
d. Pengobatan
Tetraklorotilen adalah obat yang dianjurkan akan tetapi penggunaan obat-obat
baru yang lebih aman, seperti prazikuantel dapat dipertimbangkan.

2.2.4. Trematoda Darah (Schistosoma japonicum)

Cacing yang berbentuk


pipih dan tinggal di berbagai
aliran darah. Biasanya cacing ini
masuk ke tubuh manusia
melalui makanan atau minuman
yang mengandung parasite
cacing ini dan mandi pada air
yang kotor.
a. Hospes dan Nama Penyakit
Hospes definitive adalah manusia, berbagai macam binatang dapat
berperan sebagai h ospes reservoar. Pada manusia, cacing ini menyebabkan
penyakit skistomiasis atau b ilharziasis.
b. Morfologi dan Daur Hidup
Cacing darah ini sebagai parasit pada manusia, babi, biri-biri, kucing dan
binatang pengerat lainnya.
Cacing dewasa dapat hidup dalam pembuluh balik (vena) perut. Tubuh
cacing jantan lebih lebar dan dapat menggulung sehingga menutupi tubuh
betina yang lebih ramping. Cacing jantan panjangnya 9-22 mm, sedangkan
panjang cacing betina adalah 14-26 cm.
Cacing darah ini bertelur pada pembuluh balik (vena) manusia kemudian
menuju keporos usus (rectum) dan kantong air seni (vesica urinaria), lalu telur
keluar bersama tinja dan urine.
Telur akan berkembang menjadi mirasidium dan masuk kedaalam tubuh
siput. Kemudian dalam tubuh siput akan berkembang menjadi serkaria yang
berekor bercabang. Serkaria dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui
makanan dan minuman atau menembus kulit dan dapat menimbulkan penyakit
schistomiasis (banyak terdapat di Afrika dan Asia). Penyakit ini menyebabkan
kerusakan dan kelainan fungsi pada hati, jantung, limfa , kantong urine dan
ginjal.
c. Diagnosis
Minum air yang sudah terdapat parasit cacing, mandi atau berenang pada air
yang kotor.

2.2. Cestoda

Cacing dalam kelas cestoidea disebut juga cacing pita


karena bentuk tubuhnya yang panjang dan pipih menyerupai
pita. Cacing ini tidak mempunyai saluran pencernaan
ataupun pembuluh darah. Tubuhnya memanjang terbagi atas
segmen-segmen yang disebut proglotida dan segmen ini bila
sudah dewasa berisi alat  reproduksi jantan dan betina.

a. Morfologi
Ukuran cacing dewasa pada Cestoda bervariasi dari yang panjangnya hanya 40
mm sampai yang panjangnya 10-12 meter. Cestoda adalah cacing hermafrodit. Cacing
ini terdiri atas scolex (kepala) yang berfungsi sebagai alat untuk mengaitkan diri pada
dinding intestinum. Di belakang scolex terdapat leher, merupakan bagian cacing yang
tidak bersegmen. Di belakang leher tumbuh proglotid yang semakin lama semakin
banyak yang menyebabkan cacing menjadi semakin panjang dan bersegmen-segmen.

Setiap proglotid (segmen) dilengkapi dengan alat reproduksi (jantan dan betina).
Semakin jauh dari scolex, proglotidnya semakin tua sehingga proglotid yang paling
ujung seolah-olah hanya sebagai kantung telur saja sehingga disebut proglotid
gravida. Proglotid muda selalu dibentuk dibelakang leher, sehingga proglotid tua akan
didorong semakin lama semakin jauh letaknya dari scolex. Seluruh cacing mulai
scolex, leher, sampai proglotid yang terakhir disebut strobila. Cestoda berbeda dengan
nematoda dan trematoda, tidak memiliki usus. Makanan masuk dalam tubuh cacing
karena diserap oleh permukaan tubuh cacing. Berikut ini bagian-bagian tubuh cacing:

Kepala (scolex)

Berfungsi untuk melekat (biasanya membulat). Pada eucestoda biasanya mempunyai


4 sucker (acetabulum) yang dapat dilengkapi dengan kait. Pada bagian skoleks dapat
juga dijumpai adanya rostellum (penonjolan/moncong) yang sering dilengkapi dengan
kait.Pada cotyloda tidak mempunyai organ melekat seperti eucestoda (acetabulum)
tetapi mempunyai bothria (celah panjang dan sempit serta berotot lemah).

Leher
Tidak bersegmen, sesudah scoleks melanjut ke leher.
Tubuh atau badan
Terdiri dari segmen-segmen (Proglottid) yang dipisahkan oleh garis-garis transversal,
tiap-tiap proglotid biasanya mengandung 1 atau 2 set organ reproduksi.

b. Siklus Hidup

Cacing pita merupakan hermafrodit, mereka memiliki sistem reproduksi baik


jantan maupun betina dalam tubuh mereka. Sistem reproduksinya terdiri dari satu
testis atau banyak, cirrus, vas deferens dan vesikula seminalis sebagai organ
reproduksi jantan, dan ovarium lobed atau unlobed tunggal yang menghubungkan
saluran telur dan rahim sebagai organ reproduksi betina. Ada pembukaan eksternal
umum untuk sistem reproduksi baik jantan maupun betina, yang dikenal sebagai pori
genital, yang terletak pada pembukaan permukaan atrium berbentuk seperti cangkir.
Meskipun mereka secara seksual hermafrodit, fenomena pembuahannya termasuk
langka. Dalam rangka untuk memungkinkan hibridisasi, fertilisasi silang antara dua
individu sering dipraktekkan dalam reproduksi. Selama kopulasi, cirrus berfungsi
menghubungkan satu cacing dengan yang lain melalui pori kelamin, kemudian
dilakukan pertukaran spermatozoa.

Siklus hidup cacing pita sederhana dalam arti bahwa tidak ada fase aseksual
seperti pada cacing pipih lainnya, tetapi rumit karena setidaknya satu hospes perantara
diperlukan serta tuan rumah definitif. Pola siklus hidup telah menjadi kriteria penting
untuk menilai evolusi antara Platyhelminthes. Banyak cacing pita memiliki siklus
hidup dua fase dengan dua jenis host, yaitu:

1. Taenia saginata dewasa tinggal di usus yang seperti parasit pada manusia.
2. Proglottids dari Taenia saginata meninggalkan tubuh melalui anus dan jatuh ke
tanah, di mana mereka mungkin jatuh pada rumput dan dimakan oleh hewan
pemakan rumput seperti sapi. Ini dikenal sebagai hospes perantara atau host
itermediate.
3. Bentuk remaja dari Teania saginata bermigrasi dan menetap sebagai kista dalam
jaringan tubuh host intermediate seperti otot, dan bukan pada usus. Taenia
saginata remaja ini menyebabkan kerusakan lebih banyak pada host yang
menjadi tuan rumah definitif.
4. Parasit melengkapi siklus hidupnya ketika melewati hospes perantara parasit ke
host definitif, ini biasanya terjadi karena host definitif makan suatu bagian dari
host perantara yang telah terinfeksi oleh Taenia saginata remaja. Seperti
kemungkinan manusia memakan daging sapi yang telah terinfeksi oleh Taenia
saginata, sehingga cacing tersebut dapat masuk dalam tubuh manusia dan
menetap di usus.

D. Klasisifikasi dari Nemathelminthes dan Jenis – jenis Cacing Penyebab Penyakit


1. Klasifikasi Nemathelminthes
jenis Nemathelminthes terdiri dari dua kelas, yaitu:

 Phasmidian
 Aphasmidia

Yang diketahui umumnya berhubungan dengan kelas Phasmidia, misalnya,


Trichinella spiralis, Filaria buncrofti, Enterobios vermicularis, Ancylostoma
duodenale dan Ascaris lumbricoides.

2. Jenis – jenis Cacing Penyebab Penyakit dari Nemathelminthes


1. Trichinella Spiralis
Ini adalah parasit pada manusia dan hewan (tikus, anjing, babi). Infeksi cacing ini
disebut trichinosis. Nemathelminthes adalah pseudoseloma, triploblastik, tubuh
gilig, tidak tersegmentasi. Seks gonochoris. Cacing ini memiliki sistem
pencernaan yang hebat. sistem pernapasan berdifusi melalui permukaan tubuh.
Sarana ekskresi dalam bentuk sistem saraf nefridial adalah tangga tali.
2. Wuchereria Bancrofti

Cacing ini menyebabkan elephantiasis (filariasis elephantiasis), yang ditandai


dengan pembengkakan pada kaki (bisa juga pada organ lain, seperti skrotum).
Populasi besar cacing ini di kelenjar getah bening menyebabkan penyumbatan di
saluran kelenjar getah bening. Dalam hal ini, penyumbatan menyebabkan
akumulasi cairan limfatik dalam organ. Jika penumpukan terjadi di area kaki, kaki
membengkak, menyerupai kaki gajah.

3. Enterobios Verobiularis

Ini adalah parasit di usus besar manusia. Jika mereka bertelur, cacing betina
bermigrasi ke daerah sekitar anus, menyebabkan gatal. Jika kita secara tidak
sengaja menggaruknya, maka tanpa mencuci tangan, telur cacing bisa ditelan lagi.
Cacing betina memiliki panjang sekitar 1 cm, dan jantan sekitar 0,5 cm.

4. Ancylostoma Duodenale

Apakah cacing tambang biasa ditemukan di daerah mangsa. Panjang tubuh cacing
adalah dari 1 sampai 1,5 cm. Sebuah parasit di usus manusia. Dengan
menggunakan gigi pengait, cacing ini menempel pada dinding usus dan menyedot
darah dari inang. Karena itu, cacing ini dapat menyebabkan anemia. Larva cacing
menginfeksi manusia melalui kulit kaki mereka, yang tidak membumi.
5. Ascaris Lumbricoides

Parasit di usus kecil manusia, dikenal sebagai cacing gelang atau cacing lambung.
Cacing betina lebih panjang dari cacing jantan. Panjang tubuh bisa mencapai 25
cm, diameter tubuh sekitar 0,5 cm, cacing betina mampu menghasilkan hingga
200.000 telur per hari.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Helmintologi adalah ilmu cabang dari parasitologi. Helmintologi, diadopsi dari
kata helmintos yang artinya cacing, dan logos yang artinya ilmu. Sementara
Parasitologi berasal dari kata parasitos yang artinya organisme yang mengambil
makan, dan logos yang artinya ilmu, telaah. Helmintologi merupakan suatu bidang
ilmu tentang cacing yang berperan sebagai parasit. Cacing yang bersifat parasit pada
manusia termasuk dalam 2 golongan besar, yaitu cacing bulat (Nemathelminthes) dan
cacing pipih (Platyhelminthes). Dari Nemathelminthes yang terpenting adalah kelas
Nematoda sedangkan dari Platyhelminthes adalah kelas Trematoda dan Cestoda.
Masalah kecacingan di masyarakat, selalu identik dengan kondisi sanitasi dan
personal hygiene. Karena identik itulah maka permasalahan tentang kecacingan di
Indonesia berbeda dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya.
Untuk memberantas cacing harus memutuskan rantai daur hidupnya, yang dapat
dilakukan dengan dua metode yaitu pencegahan dan pengobatan. Metode pencegahan
dilakukan dengan cara: perbaikan cara pembuangan kotoran agar tidak mengotori
tanah permukaan, memakai sepatu bila berada di daerah di mana tanahnya
terkontaminasi, menjaga kebersihan perorangan misalnya dengan selalu mencuci
tangan dengan air bersih sebelum dan sesudah makan dan minum sehingga telur
cacing yang infektif tidak tertelan. Metode pengobatan dilakukan dengan cara:
pengobatan semua penderita untuk menghilangkan sumber penularan.

B. Saran
1. Perlunya menjaga kebersihan diri dan lingkungan untuk mencegah penyakit
cacing.
2. Pengolahan makanan maupun minuman harus dengan cara yang benar agar tidak
tercemar oleh telur cacing.
3. Dilakukannya pengobatan pada penderita untuk menghilangkan sumber
penularan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Entjang, dr. Indan. (2003). Mikrobiologi dan Parasitologi untuk Akademi


Keperawatan dan Sekolah Tenaga Kesehatan yang Sederajat. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti
2. Jangkung S O. (2000). Parasitologi Medik. 1. Helmintologi. Jakarta: EGC
3. Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (2005). Mikrobiologi dan
Parasitologi Kedokteran. Jakarta: FKUI

Anda mungkin juga menyukai