KELOMPOK 2
Fadhilla Afra (1906103010103)
Gufron Ginting (180610301059)
Iyuni Nura (1906103010035)
Nike Arami (1906103010078)
Sulfia Zuhra (1906103010017)
Syahara Ulfa (1906103010054)
Tara Raudhatul Jannah (1906103010013)
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cestoda merupakan kelas cacing parasit yang mempunyai badan berbentuk
pipih dorsoventral, bersegmen-segmen, tidak mempunyai rongga badan, mempunyai
scolex, leher dan proglotid. Cacing ini bersifat hermaprodit, cara multiplikasi /
reproduksi / berkembang biak dengan jalan mengeluarkan telur (ovipar) dan kadang-
kadang perbanyakan dalam bentuk larva. Cara infeksi biasanya dengan larva yang
mengalami enkistasi masuk ke traktus digestivus hospes. Dua ordo yang penting
dalam kelas cestoda adalah Pseudophyllidea dan Cyclophyllidea.
Cestoda (atau Cestoidea) adalah kelas cacing dalam filum Platyhelminthes
(cacing pipih). Sebagian besar Cestoda ditempatkan dalam subkelas Eucestoda yang
biasa disebut cacing pita. Tubuh mereka disusun dari rangkaian unit serupa yang
disebut proglotid, sebuah kemasan berisi telur yang secara berkala dilepaskan ke
lingkungan untuk menginfeksi organisme lain. Subkelas lainnya, yaitu Cestodaria,
sebagian besar merupakan parasit pada ikan.
Semua anggota Cestoda bertindak sebagai parasit dan daur hidup mereka
bervariasi, tetapi biasanya cacing dewasa tinggal di saluran pencernaan vertebrata
(sebagai inang definitif), dan cacing muda terkadang hidup dalam tubuh spesies
hewan lain, baik vertebrata maupun invertebrata (sebagai inang perantara). Sebagai
contoh, genus Diphyllobothrium memiliki dua inang perantara, yaitu satu krustasea
dan paling tidak satu ikan air tawar, sementara inang definitifnya adalah mamalia.
Beberapa jenis Cestoda bersifat spesifik terhadap inangnya, sementara Cestoda
lainnya menjadi parasit pada beragam spesies. Sekitar 6.000 spesies Cestoda telah
dideskripsikan, dan mungkin semua vertebrata bertindak sebagai inang bagi
setidaknya satu spesies Cestoda.
Cacing pita dewasa memiliki skoleks (kepala), leher pendek, dan strobila
(tubuh bersegmen) yang disusun dari proglotid-proglotid. Cacing pita melekatkan
dirinya pada bagian dalam usus inang menggunakan skoleks, yang umumnya
4
memiliki kait, alat pengisap, atau keduanya. Cestoda tidak mempunyai mulut dan
mereka mengisap nutrien secara langsung dari saluran pencernaan inangnya. Leher
cacing secara terus-menerus menghasilkan proglotid. Dalam setiap proglotid terdapat
saluran reproduksi. Proglotid matang dipenuhi telur dan akan terpisah dari tubuh
cacing dan meninggalkan tubuh inang, baik secara pasif di tinja inang atau bergerak
secara aktif. Semua cacing pita bersifat hermafrodit karena tiap individu memiliki
organ reproduksi jantan dan betina sekaligus.
Manusia dapat terinfeksi beberapa spesies cacing pita jika memakan daging
yang kurang matang, seperti daging babi (yang mengandung Taenia solium), daging
sapi (T. saginata), dan ikan (Diphyllobothrium), atau jika mereka tinggal atau makan
makanan yang disiapkan dengan higiene yang tidak memadai (Hymenolepis atau
Echinococcus). Pada bahasan kali ini akan membahas lebih lanjut mengenai cacing
parasit cestoda spesies Diphyllobothrium latum dan Hymenolepis nana mengenai
masing-masing habitat, distribusi, morfologi, siklus hidup, patogenesis, dan
pencegahan akibat dua spesies tersebut.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui habitat, distribusi, morfologi, siklus hidup, patogenesis, dan
pencegahan akibat Diphyllobothrium latum
2. Untuk mengetahui habitat, distribusi, morfologi, siklus hidup, patogenesis, dan
pencegahan akibat Hymenolepis nana
3. Untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap serangan penyakit akibat kedua
spesies cacing parasit tersebut
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Cacing Cestoda
Cestoda (atau Cestoidea) adalah kelas cacing dalam filum Platyhelminthes
(cacing pipih). Sebagian besar Cestoda ditempatkan dalam subkelas Eucestoda yang
biasa disebut cacing pita. Tubuh mereka disusun dari rangkaian unit serupa yang
disebut proglotid, sebuah kemasan berisi telur yang secara berkala dilepaskan ke
lingkungan untuk menginfeksi organisme lain. Subkelas lainnya, yaitu Cestodaria,
sebagian besar merupakan parasit pada ikan.
Semua anggota Cestoda bertindak sebagai parasit dan daur hidup mereka
bervariasi, tetapi biasanya cacing dewasa tinggal di saluran pencernaan vertebrata
(sebagai inang definitif), dan cacing muda terkadang hidup dalam tubuh spesies
hewan lain, baik vertebrata maupun invertebrata (sebagai inang perantara). Sebagai
contoh, genus Diphyllobothrium memiliki dua inang perantara, yaitu satu krustasea
dan paling tidak satu ikan air tawar, sementara inang definitifnya adalah mamalia.
Beberapa jenis Cestoda bersifat spesifik terhadap inangnya, sementara Cestoda
lainnya menjadi parasit pada beragam spesies. Sekitar 6.000 spesies Cestoda telah
dideskripsikan, dan mungkin semua vertebrata bertindak sebagai inang bagi
setidaknya satu spesies Cestoda. Berikut dijelaskan lebih lanjut mengani dua anggota
cacing parasit cestoda yaitu Diphyllobothrium latum dan Hymenolepis nana.
6
2.2 Diphyllobothrium latum
2.2.1 Habitat
Diphyllobothrium latum ditemukan di dalam dan sekitar danau dan sungai air
tawar. Setiap tahap mendiami habitat yang berbeda. Telur menghuni kotoran dari
inang definitif, larva hidup pertama di copepoda dan kemudian di daging ikan, dan
7
cacing dewasa menghuni usus mamalia. Paling sering ditemukan di perairan air
tawar seperti danau, kolam dan sungai.
2.2.2 Distribusi
Parasit ini ditemukan di Amerika, kanada, eropa, daerah danau swiss,
rumania, turkestan, israel, mancuria, jepang, afrika, malagasi dan siberia. Di Rusia
Timur Jauh, D. klebanovskii berasal dari Skandinavia, Rusia barat, dan Baltik,
meskipun sekarang juga ada di Amerika Utara, memiliki salmon Pasifik sebagai
inang perantara kedua, telah diidentifikasi. Anggota lain dari genus
Diphyllobothrium termasuk D. dendriticum (cacing pita salmon), yang memiliki
jangkauan jauh lebih besar (seluruh belahan bumi utara), D. pacificum, D. cordatum,
D. ursi, D. lanceolatum, D. dalliae, dan D. yonagoensis, yang semuanya jarang
menginfeksi manusia. Di Jepang, spesies yang paling umum menginfeksi manusia
adalah D. nihonkaiense, yang hanya diidentifikasi sebagai spesies terpisah dari D.
latum pada tahun 1986.
2.2.3 Morfologi
Cacing dewasa terdiri dari tiga segmen morfologi yang cukup berbeda: scolex
(kepala), leher, dan tubuh bagian bawah. Setiap sisi scolex memiliki alur seperti
celah, yang merupakan bothrium untuk perlekatan pada usus. Scolex menempel pada
leher, atau daerah proliferasi. Dari leher tumbuh banyak segmen proglottid yang
berisi organ reproduksi cacing. D. latum adalah cacing pita terpanjang pada manusia,
rata-rata panjangnya sepuluh meter. Tidak seperti banyak cacing pita lainnya, telur
Diphyllobothrium biasanya tidak berembrio ketika dikeluarkan melalui kotoran
manusia. Pada orang dewasa, proglottid lebih lebar daripada panjangnya (karenanya
disebut cacing pita lebar). Seperti pada semua cestoda pseudophyllid, pori-pori
genital terbuka di bagian tengah.
Diphyllobothrium latum dewasa dapat mencapai hingga 12 meter, meningkat
sepanjang hidupnya. Cacing keputihan/kuning ini pipih di bagian dorso-ventral, dan
jauh lebih sempit daripada panjangnya. Mereka tidak memiliki lubang mulut,
sehingga makan melalui penyerapan. Scolex berbentuk jari tidak memiliki kait.
8
Diphyllobothrium latum adalah hermaprodit, membawa kedua set organ seks.
Di setiap proglottid, testis dan folikel vitellin ditemukan. Rahim adalah struktur
bilobed yang melingkar, memanjang dari ovarium ke pori rahim di permukaan
midventral segmen, di mana proglottid matang (istilah untuk satu set lengkap organ
seks) melepaskan telur. Spesies ini bersifat anapolitik, artinya mereka melepaskan
proglotidnya setelah digunakan. Telur tidak berembrio dan memiliki tutup seperti
operculum.
9
Gambar 3. Telur Diphyllobothrium latum
10
2.2.4 Siklus Hidup
Telur yang belum berembrio keluar bersama tinja → jika telur berada di air
akan mengalami embrionisasi dalam waktu sekitar 18 – 20 hari → menghasilkan
onkosfer yang berkembang menjadi coracidia (onkosfer yang bersilia) → dimakan
hospes intermedier 1 → coracidia kehilangan silia, menembus dinding usus dan
berkembang menjadi larva procercoid → dimakan hospes intermedier 2 (ikan kecil)
→ larva procercoid bermigrasi ke dalam daging ikan dan berkembang menjadi larva
plerocercoid (sparganum) → larva plerocercoid merupakan bentuk infektif bagi
manusia, karena manusia umumnya tidak makan ikan kecil ini tidak mewakili
sumber infeksi → ikan kecil dimakan oleh ikan yang lebih besar → sparganum dapat
bermigrasi ke otot-otot ikan besar → manusia dapat terinfeksi jika memakan ikan
mentah atau setengah matang → larva plerocercoid berkembang menjadi dewasa dan
tinggal di usus halus → cacing dewasa menempel pada mukosa usus dengan
menggunakan dua jalur bilateral (bothria) pada scolex.
11
Karena manusia pada umumnya tidak memakan ikan kecil yang kurang
matang dan ikan air tawar kecil yang serupa, ini bukan merupakan sumber infeksi
yang penting. Namun demikian, inang perantara kedua yang kecil ini dapat dimakan
oleh spesies predator yang lebih besar, misalnya trout, perch, walleye, dan pike.
Dalam hal ini, sparganum dapat bermigrasi ke otot ikan pemangsa yang lebih besar
dan mamalia dapat tertular penyakit dengan memakan ikan inang perantara yang
terinfeksi ini dalam keadaan mentah atau setengah matang. Setelah menelan ikan
yang terinfeksi, plerocercoids berkembang menjadi dewasa yang belum matang dan
kemudian menjadi cacing pita dewasa dewasa yang akan tinggal di usus kecil.
Cacing dewasa menempel pada usus Orang dewasa menempel pada mukosa melalui
dua alur bilateral ( Bothria ) dari scolices mereka. Cacing dewasa dapat mencapai
panjang lebih dari 10 m (sampai 30 kaki) pada beberapa spesies seperti D. latum,
dengan lebih dari 3.000 proglottid. Satu atau beberapa segmen proglottid seperti pita
(karenanya disebut cacing pita) secara teratur terlepas dari tubuh utama cacing dan
melepaskan telur yang belum matang di air tawar untuk memulai siklus dari awal
lagi. Telur yang belum matang dikeluarkan dari proglottid (sampai 1.000.000 telur
per hari per cacing) dan dikeluarkan melalui feses. Masa inkubasi pada manusia,
setelah telur mulai muncul di tinja biasanya 4-6 minggu, tetapi dapat bervariasi dari
sesingkat 2 minggu hingga 2 tahun.
2.2.5 Patogenesis
Diphyllobothriasis dapat menjadi infeksi yang berlangsung lama (beberapa
dekade). Sebagian besar infeksi tidak menunjukkan gejala. Manifestasi dapat
meliputi ketidaknyamanan perut, diare, muntah, dan penurunan berat badan.
Kekurangan vitamin B12 dengan anemia pernisiosa dapat terjadi. Infeksi masif dapat
menyebabkan obstruksi usus. Migrasi proglotid dapat menyebabkan
kolesistitis/kolangitis (peradangan kantong empedu).
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan proglotid gravid atau telur pada
pemeriksaan tinja. Cacing pita ini terutama menghabiskan vitamin B-12 inang,
membelah dan menyerap hampir semua B-12 inang. Cacing juga dapat mengganggu
kemampuan inang untuk mengambil vitamin, sehingga suplemen diperlukan untuk
12
mengatasi kekurangan tersebut. Diphyllobothrium latum tidak memiliki efek positif
pada manusia, tetapi bisa sangat berbahaya. Infestasi (diphyllobothriasis) pada
manusia dapat menyebabkan anemia, karena penipisan vitamin B-12. Perawatan
untuk anemia mungkin sesederhana mengonsumsi suplemen vitamin. Cacing harus
diradikasi secara medis, bagaimanapun, dengan menggunakan obat yang disebut
praziquantel.
13
2.3. 1 Hymenolepis nana
14
yaitu di Asia, Eropa Selatan dan Timur, Amerika Tengah dan Selatan, dan Afrika.
Bersifat kosmopolit dengan insiden bervariasi antara kurang dari 1% sampai dengan
25%, umumnya terdapat di wilayah dengan tingkat sosio-ekonomi rendah dan
hygiene-sanitasi yang buruk Di daerah yang beriklim sedang dengan kondisi sanitasi
yang buruk prevalens penyakit dapat setara dengan daerah yang beriklim subtropis
dan tropis. Insiden tertinggi hymenolepiasis umumnya ditemukan pada anak-anak
usia 2—15 tahun dibandingkan dengan usia dewasa
2.3.2 Morfologi Hymenolepis nana
15
Gambar 6. Telur H. nana
16
Telur parasit yang berembrio keluar bersama tinja → telur tertelan oleh
serangga → berkembang menjadi cysticercoid → manusia dan hewan pengerat
terinfeksi ketika telur berembrio atau cysticercoid tertelan → telur melepaskan
oncospheres (larva hexacanth) → menembus vili usus dan berkembang menjadi
cysticercoid → masuk ke lumen → melekatkan diri pada mukosa dan berkembang
menjadi cacing dewasa dalam waktu 10 – 12 hari → cacing dewasa berada pada
bagian ileum dari usus halus → telur keluar bersama tinja ketika keluar dari proglotid
gravid atau ketika proglotid gravid hancur dalam usus halus → autoinfeksi internal
dapat terjadi ketika telur melepaskan embrio hexacanth yang menembus vili usus
kemudian melanjutkan siklus infektif tanpa melalui lingkungan eksternal → cacing
dewasa dapat berumur 4 – 6 minggu tetapi autoinfeksi internal memungkinkan
infeksi bertahan selama bertahun-tahun.
Infeksi terjadi diawali dengan tertelannya telur H. nana yang ada di kotoran
manusia atau hewan (tikus) yang mencemari makanan atau air minum. Tikus adalah
host definitif primer. Sedangkan serangga (kumbang/kutu) adalah host perantara
yang terkontaminasi kotoran hewan pengerat. Penularan secara langsung terjadi
melalui jari yang tercemar telur cacing (auto infeksi atau dari orang ke orang). Dapat
juga terjadi dikarenakan manusia menelan serangga yaitu berbagai jenis kumbang
seperti kumbang beras (Sitophilus oryzae) atau kumbang tepung (Gnatocerus
cornutus) yang mengandung cysticercoid di tubuh kumbang. Telur yang berada di
dalam usus berkembang menjadi larva cysticercoid, menempel pada mukosa usus
halus, dan berkembang menjadi cacing dewasa dan selanjutnya akan bereproduksi
menghasilkan telur. Telur yang keluar bersama tinja langsung infektif. Lama hidup
cacing dewasa di dalam tubuh 1—1,5 bulan. Di dalam tubuh pun bisa juga terjadi
auto infeksi. Telur melepaskan embrio hexacanth, menembus villi usus untuk
melanjutkan siklus infektif tanpa melalui lingkungan luar tubuh. Jika terjadi outo
infeksi kemungkinan dapat berlangsung sampai bertahun-tahun. Jumlah cacing yang
17
berada dalam usus seorang penderita tergantung dari banyaknya telur infektif yang
tertelan, bahkan dapat mencapai lebih dari seribu ekor
18
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Cestoda merupakan parasit yang kerap ditemukan dalam tubuh manusia
maupun hewan. berikut adalah contoh dari cestoda dan inangnya: Taenia saginata,
cestoda yang inangnya adalah sapi (cacing pipih sapi). Taenia solium, cestioda yang
inangnya adalah babi (cacing pipih babi). Diphyllobothrium latum merupakan parasit
yang termasuk dalam kelas cestoda yang dapat menyebabkan penyakit
Diphyllobothriasis. Hospes definitif cacing ini adalah manusia, anjing, kucing, babi,
beruang, anjing laut, ikan paus, singa laut. Hospes intermedier 1 yaitu golongan
copepoda antara lain genus cyclops dan diaptomus, sedangkan hospes intermedier 2
yaitu ikan. Nama lain cacing ini adalah cacing pita ikan, the fish tape worm, Taenia
lata, broad tape worm, Dibothriocephalus latus. Hymenolepis nana merupakan
parasit yang termasuk dalam kelas cestoda yang hidup dalam usus manusia dan dapat
menyebabkan penyakit Hymenolepiasis nana atau dwarf tape worm infection. Cacing
ini tidak memiliki hospes intermedier sehingga disebut dengan non obligatory
intermedier, sedangkan hospes definitifnya adalah manusia. Hymenolepis nana
menginfeksi anak kecil terutama pada tingkat higienis yang rendah.
19
DAFTAR PUSTAKA
Craig, C.F., et al. 1970. Craig and Faust’s Clinical Parasitology. Michigan : Lea &
Febiger CDC. Hymenolepis. https://www.cdc.gov/parasites/hymenolepis/ CDC.
Hymenolepiasis. https://www.cdc.gov/dpdx/hymenolepiasis/.
Anorital. 2014. Kajian Penyakit Kecacingan Hymenolepis Nana. Jurnal Biotek
Medisiana Indonesia, 3:2, 37-47.
Craig, C.F., et al. 1970. Craig and Faust’s Clinical Parasitology. Michigan : Lea &
Febiger CDC. Diphyllobothrium. https://www.cdc.gov/parasites/diphyllobothrium/
CDC. Diphyllobothriasis. https://www.cdc.gov/dpdx/diphyllobothriasis/
20