Anda di halaman 1dari 48

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam BAB ini peneliti akan menguraikan tentang Pengetahuan, Patient


Safety , Flebitis, Perawat, Edukasi
A. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengetahuan
a. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan adalah hal yang diketahui oleh orang atau
responden terkait dengan sehat dan sakit atau kesehatan, misalnya
tentang (Penyebab, cara penularan, cara pencegahan), gizi, sanitasi,
pelayanan kesehatan, kesehatan lingkungan, keluarga berencana dan
sebagainya (Notoatmodjo, 2014).
Pengetahuan adalah merupakan hasil ‘tahu’ dan ini terjadi
setelah seseorang melakukan pengideraan terhadap suatu objek
tertentu yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata
dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
sangat penting dalam memberntuk tindakan seseorang (Notoatmodjo,
2012). Pengetahuan (knowledge) adalah suatu hal yang berasal dari
panca indra dan pengalaman yang telah diproses oleh akal budi dan
timbul secara spontan. Sedangkan untuk sifat dari pengetahuan itu
sendiri terdiri dari 3 hal yaitu spontan, intuitif, dan subjektif. Selain
ini pengetahuan juga bersifat benar karena sesuai dengan realitas yang
ada (Suryana, 2015). Dalam pengertian lain pengetahuan adalah
berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui
pengamatan panca indra. Pengetahuan muncul ketika seseorang
menggunakan indera atau akal budinya untuk mengenali benda atau
kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan
sebelumnya. Berdasarkan definisi yang diuraikan oleh para ahli diatas
dapat dijelaskan bahwa pengertian pengetahuan adalah hasil
penginderaan atau pengamatan panca indera terhadap suatu objek

8
9

yang belum pernah dilihat, didengar atau dirasakan sebelumnya yang


disadari oleh seseorang dan muncul ketika seseorang menggunakan
indera atau akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian
tertentu dan pengetahuan sangat penting dalam membentuk tindakan
seseorang.

b. Klasifikasi Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2012), pengetahuan yang tercakup dalam
domain kognitif ada enam tingkatan yaitu :
a) Tahu (know)
Tahu sebagai tingkatan yang paling rendah diartikan
sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) sesuatu yang spesifik daari seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk
mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara
lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan
sebagainya.
b) Memahami (Comprehention)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan tentang objek yang di ketahui dan dapat
menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Dengan kata
lain harus mampu menjelaskan, menyebutkan contoh,
menyimpulkan dan sebagainya.
c) Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada suatu kondisi sebenarnya.
Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan
hukum – hukum, rumus, metode, prinsip dan sebaginya dalam
konteks lain.
d) Analisis (analisisis)
10

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan


materi atau suatu objek ke dalam komponen - komponen dalam
suatu struktur organisasi yang masih ada kaitannya satu sama lain.
Kemampuan ini dilihat dari penggunaan kata kerja seperti dapat
menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan
dan sebagainya.
e) Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk
meletakan atau menghubungkan bagian – bagian didalam suatu
bentuk keseluruhan yang baru.
f) Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk
melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau
objek. Penilaian – penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria
yang ditentukan atau menggunakan kriteria – kriteria yang telah
ada.
Pengetahuan seseorang erat kaitannya dengan perilaku yang
akan diambilnya, karena dengan pengetahuan tersebut ia memiliki
landasan untuk menentukan suatu pilihan.

c. Faktor – faktor yang mempengaruhi pengetahuan


Menurut Notoatmodjo (2007), faktor – faktor yang mempengaruhi
pengetahuan seseorang, yaitu :
1) Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan
kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan
berlangsung seumur hidup.
2) Media masa/sumber informasi
Sebagai sarana komunikasi, bebagai bentuk media massa
seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, internet, dan lain-lain
mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan
kepercayaan orang.
11

3) Sosial budaya dan ekonomi


Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan oleh orang - orang
tanpa melalui panalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk.
4) Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar
individu, baik lingkungan fisik, biologis maupun sosial.
5) Pengalaman
Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu
cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara
mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam
memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu.
Penilaian yang dilakukan oleh Notoadmojo tahun 2010
bahwa pengetahuan seseorang semakin tinggi pengetahuannya,
maka akan semakin mudah untuk menerima informasi tentang
obyek atau yang berkaitan dengan pengetahuan.

d. Pengukuran pengetahuan
a) Penelitian Kuantitatif
Pada umumnya mencari jawaban atas kejadian/fenomena
yang menyangkut berapa banyak, berapa sering, berapa lama dan
sebagainya, maka biasanya menggunakan metode wawancara dan
angket.
a) Wawancara tertutup dan wawancara terbuka, dengan
menggunakan instrument (alat pengukur/pengumpul data)
kuesioner. Wawancara tertutup adalah wawancara dengan
jawaban responden atas pertanyaan yang diajukan telah
tersedia dalam opsi jawaban, responden tinggal memilih
jawaban yang dianggap mereka paling benar atau paling tepat.
Sedangkan wawancara terbuka, yaitu pertanyaan – pertanyaan
yang diajukan bersipat terbuka, dan responden boleh
menjawab sesuai pendapat atau pengetahuan responden
sendiri.
12

b) Angket tertutup atau terbuka. Seperti halnya wawancara,


angket juga dalam bentuk tertutup dan terbuka. Instrument atau
alat ukurnya seperti wawancara, hanya jawaban responden
disampaikan lewat tulisan. Metode pengukuran melalui angket
ini sering disebut “self administered” atau metode mengisi
sendiri.
b) Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif bertujuan untuk menjawab bagaimana
suatu penomena itu terjadi atau mengapa terjadi. Misalnya
penelitian kesehatan tentang flebitis disuatu ruangan rawat inap
tertentu. Penelitian kualitatif mencari jawaban mengapa diruangan
tersebut sering terjadi kasus flebitis, dan mengapa perawat tidak
melakukan tindakan pemasangan intra vena sesuai SPO, dan
sebagainya. Metode pengukuran pengetahuan dalam penelitian
kualitatif antara lain :
a) Wawancara mendalam
Mengukur variable pengetahuan dengan metode
wawancara mendalam adalah peneliti mengajukan suatu
pertanyaan sebagai pembuka, yang akan membuat responden
menjawab sebanyak – banyaknya dari pertanyaan tersebut.
Jawaban responden akan diikuti pertanyaan selanjutnya terus
menerus sehingga diperoleh informasi dari responden dengan
sejelas – jelasnya.
b) Diskusi Kelompok Terfokus (DKT) :
Diskusi kelompok terfokus atau “Focus Group
Discussion” dalam menggali informasi dari beberapa
responden sekaligus dalam kelompok. Peneliti mengajukan
pertanyaan yang akan memperoleh jawaban yang berbeda
dari semua responden dalam kelompok tersebut. Jumlah
kelompok dalam diskusi kelompok terfokus sebenarnya tidak
terlalu banyak tetapi juga tidak terlalu sedikit antara 6 – 10
orang (Notoatmodjo, 2014).
13

e. Tingkatan Pengetahuan
Penilaian - penilaian didasarkan pada suatu kriteria
yang diteruskan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria
yang telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan
dengan memberikan seperangkat alat tes/kuesioner tentang
objek pengetahuan yang mau diukur. Selanjutanya dilakukan
penilaian dimana setiap jawaban yang benar dari masing -
masing pertanyaan diberi nilai 1 jika salah diberi 0 (Menurut
Nursalam, 2014). Kriteria untuk menilai dari tingkatan
pengetahuan menggunakan nilai :
1) Tingkat pengetahuan baik bila skor atau nilai 76 - 100 %.
2) Tingkat pengetahuan cukup bila skor atau nilai 56 - 75 %.
3) Tingkat pengetahuan kurang bila skor atau nilai ≤ 56 %.
Sama halnya menurut Arikunto (2010), pengukuran
tingkat pengetahuan dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu :
1) Pengetahuan baik bila responden dapat menjawab 76 -
100% dengan benar dari total jawaban pertanyaan.
2) Pengetahuan cukup bila responden dapat menjawab 56 -
75% dengan benar dari total jawaban pertanyaan.
3) Pengetahuan kurang bila responden dapat menjawab < 56%
dari total jawaban pertanyaan.

2. Konsep Patien Safety


a. Pengertian Patien Safety
Rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen
risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan
risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar
dari insiden dan tindak lanjutnya serta inflementasi solusi untuk
meminimalisir timbulnya risiko. Mencegah terjadinya cedera
yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu
14

tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya di ambil


juga merupakan salah satu konsep Patien safety (Kemenkes RI,
2011).
Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ),
dengan National Forum for Quality Measurement and Reforting
(the National Quality Forum, atau NQF) pada 1999 yang
mendefinisikan penerapan pasien safety sebagai jenis proses atau
struktur yang menerapkannya untuk mengurangi efek samping
dari berbagai penyakit dan prosedur dalam pelayanan kesehatan
(Shojania KG et all, 2001).
Patient safety merupakan prinsip mendasar dari pelayanan
kesehatan. Setiap aspek dalam proses pemberian asuhan membuat
tingkat tertentu resiko ketidak amanan yang melekat. Efek
samping dapat dihasilkan dari masalah dalam praktik medikasi,
produk, prosedur atau sistem. Perbaikan patient safety membuat
upaya seluruh sistem yang kompleks, melibatkan berbagai
tindakan dalam perbaikan kinerja, keamanan lingkungan dan
manajemen resiko, termasuk pengendalian infeksi, penggunaan
yang aman saat pemberian obat, peralatan keselamatan, praktek
klinis aman dan lingkungan yang aman bagi perawat (WHO,
2015).
Insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut
insiden adalah setiap kejadian yang tidak di sengaja dan kondisi
yang menyebabkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang
dapat di cegah pada pasien, terdiri dari kejadian tidak diharapakan
(KTD), kejadian nyaris cedera (KNC), kejadian tidak cedera
(KTC), dan kejadian potensial cedera (KPC). Kejadin tidak
diharapkan yang menyebabkan cedera serius atau bahkan
kematian disebut kejadian sentinel (Permenkes RI, 2011))

b. Tujuan Pasien Safety


Pasien safety memiliki tujuan : (Kemenkes RI, 2011).
15

a) Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit


b) Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan
masyarakat
c) Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit
d) Terlaksanakannya program – program pencegahan sehingga
tidak terjadi pengulangan kejadian tidak di harapkan
c. Langkah Penerapan Program Pasien Safety
Program pasien safety memiliki beberapa langkah dalam
penerapannya, yaitu : (Kemenkes RI, 2011).
a) Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
b) Membangun komitmen dan fokus yang jelas tentang
keselamatan pasien
c) Membangun sistem dan proses manajemen resiko serta
melakukan identifikasi dan assesmen terhadap potensial
masalah.
d) Membangun sistem pelaporan
e) Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien
f) Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien
dengan melakukan analisa akar masalah.
g) Mencegah cederea melalui implementasi sistem
keselamatan pasien dengan menggunakan informasi yang
ada
d. Standar Patien Safety
Mengingat masalah keselamatan pasien merupakan masalah
yang perlu ditangani segera difasilitas pelayanan kesehatan di
Indonesia maka diperlukan standar keselamatan pasien fasilitas
pelayanan kesehatan yang merupakan acuan bagi fasilitas
pelayanan kesehatan di Indonesia untuk melaksanakan
kegiatannya. Standar keselamatan pasien tersebut terdiri dari 7
standar, uraian tujuh standar tersebut di atas adalah sebagai
berikut : (Permenkes RI, 2017).
a) Hak Pasien
16

Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk


mendapatkan informasi tentang rencana dan hasil pelayanan
termasuk kemungkinan terjadi insiden. Kriterianya adalah
sebagai berikut:
a) Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan.
b) Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat
rencana pelayanan.
c) Dokter penanggung jawab pelayanan wajib
memberikan penjelasan secara jelas dan benar kepada
pasien dan keluarganya tentang rencana dan hasil
pelayanan, pengobatan atau prosedur untuk pasien
termasuk kemungkinan terjadinya insiden.
b) Mendidik pasien dan keluarga
Standarnya adalah Fasilitas pelayanan kesehatan
harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban
dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.
Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat
ditingkatkan dengan keterlibatan pasien yang merupakan
partner dalam proses pelayanan. Karena itu, difasilitas
pelayanan kesehatan harus ada system mendidik pasien dan
keluarga tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien
dalam asuhan pasien. Dengan pendidikan tersebut
diharapkan pasien dan keluarga dapat :
a) Memberikan informasi yang benar, jelas, lengkap dan
jujur.
b) Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan
keluarga.
c) Mengajukan pertanyaan – pertanyaan untuk hal yang
tidak dimengerti.
d) Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan.
e) Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan
fasilitas pelayanan kesehatan.
17

f) Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa


g) Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati.
c) Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
Standar yang harus dimiliki Rumah Sakit adalah
menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin
koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan.
Kriterianya sebagai berikut :
a) Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai
dari saat pasien masuk, pemeriksaan, diagnosis,
perencanaan pelayanan, tindakan pengobatan, rujukan
dan saat pasien keluar dari Rumah Sakit.
b) Terdapat koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan
kebutuhan pasien dan kelayakan sumber daya secara
kesinambungan sehingga pada seluruh tahap pelayanan
transisi antar unit pelayanan dapat berjalan baik.
c) Terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup
peningkatan komunikasi untuk memfasilitasi keluarga,
pelayanan keperawatan, pelayanan social, konsultasi dan
rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak lanjut
lainnya.
d) Terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi
kesehatan sehingga dapat tercapainya proses koordinasi
tanpa hambatan, aman dan efektif.
d) Penggunaan metode – metode peningkatan kinerja untuk
melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan
pasien.
Standarnya adalah rumah sakit harus mendesain proses baru
atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan
mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data,
menganalisis secara intensif KTD, dan melakukan
perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan
pasien. Kriteria sebagai berikut :
18

a) Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan


(desain) yang baik, mengacu pada visi, misi dan tujuan
rumah sakit.
b) Kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah
klinis terkini, praktis bisnis yang sehat dan faktor –
faktor lain yang berpotensi resiko bagi pasien sesuai
dengan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien
Rumah Sakit”
c) Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data
kinerja yang antara lain terkait dengan : pelaporan
insiden, akreditasi, manajemen resiko, utilisasi, mutu
pelayanan, keuangan.
d) Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif
terkait dengan semua insiden, dan secara proaktif
melakukan evaluasi satu proses.
e) Kasus resiko tinggi.
f) Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan
informasi hasil analisis untuk menentukan perubahan
system yang diperlukan, agar kinerja dan keselamatan
pasien terjamin.
e) Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan
pasien
Standarnya adalah pimpinan mendorong dan menjamin
implementasi program Keselamatan Pasien melalui “Tujuh
Langkah Menuju Keselamatan Pasien”; menjamin
berlangsungnya program proaktif identifikasi resiko patient
safety dan program pengurangan KTD, dorong dan
tumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit dan
individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang
patient safety mengalokasikan sumber daya yang adekuat
untuk mengukur, mengkaji dan meningkatkan kinerja
rumah sakit serta tingkatkan patient safety, serta mengukur
19

dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan


kinerja rumah sakit dan patient safety, dengan kriteria
sebagai berikut :
a) Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program
keselamatan pasien.
b) Tersedia program proaktif untuk identifikasi resiko
keselamatan dan program meminimalkan insiden.
c) Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa
semua komponen dari rumah sakit terintegrasi dan
berpartisipasi.
d) Tersedianya prosedur “cepat tanggap” terhadap insiden,
termasuk asuhan kepada pasien yang terkena musibah,
membatasi resiko pada orang lain dan penyampaian
informasi yang benar dan jelas untuk keperluan
analisis.
e) Tersedianya mekanisme pelaporan internal dan
eksternal berkaitan dengan insiden.
f) Tersedianya mekanisme untuk menangani berbagai
jenis insiden.
g) Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara
sukarela antar unit dan antar pengelola pelayanan.
h) Tersedia sumber daya dan system informasi yang
dibutuhkan.
i) Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi
menggunakan kriteria objektif untuk mengevaluasi
efektifitas perbaikan kinerja rumah sakit dan
keselamatan pasien.
f) Mendidik staf tentang keselamatan pasien
Standarnya rumah sakit memiliki proses pendidikan,
pelatihan dan orientasi untuk setiap jabatan mencakup
keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien secara jelas.
Rumah sakit juga menyelenggarakan program pendidikan
20

dan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan


memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan
interdisiplin dalam pelayanan pasien. Kriterianya sebagai
berikut :
a) Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan,
pelatihan dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik
tentang keselamatan pasien sesuai dengan tugasnya
masing – masing.
b) Setiap rumah sakit harus mengintegrasikan topik
keselamatan pasien dalam setiap kegiatan inservice
training dan memberi pedoman yang jelas tentang
pelaporan insiden.
c) Setiap rumah sakit harus menyelenggarakan pelatihan
tentang kerjasama kelompok guna mendukung
pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam rangka
melayani pasien.
g) Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai
keselamatan pasien
Standarnya rumah sakit merencanakan dan mendesain
proses manajemen informasi keselamatan pasien untuk
memenuhi kebutuhan informasi internal dan eksternal.
Transmisi data dan informasi harus harus tepat waktu dan
akurat dengan kriteria sebagai berikut :
a) Perlu disediakan anggaran untuk merencanakan dan
mendesain proses manajemen untuk memperoleh data
dan informasi tentang hal – hal terkait dengan
keselamatan pasien.
b) Tersedianya mekanisme identifikasi masalah dan
kendala komunikasi untuk merevisi manajemen
informasi yang ada.

e. Nine Life – Saving Patient Safety


21

Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine Life – Saving


Patient Safety Solutions dari WHO Patient safety (2007) yang
digunakan juga oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS
PERSI) dan dari Joint Commission International ( JCI). Maksud dan
tujuan sasaran keselamatan pasien adalah untuk mendorong rumah sakit
agar melakukan perbaikan spesifik dalam keselamatan pasien. Sasaran
ini menyoroti bagian – bagian yang bermasalah dalam pelayanan rumah
sakit dan menjelaskan bukti serta solusi dari konsensus para ahli atas
permasalahan ini. Sistem yang baik akan berdampak pada peningkatan
mutu pelayanan rumah sakit dan keselamatan pasien (SNARS, 2018).

Standar SKP 1
Rumah sakit menetapkan regulasi untuk menjamin ketepatan
(akurasi) identifikasi pasien.
Maksud and tujuan SKP 1
Kesalahan identifikasi pasien dapat terjadi di semua aspek
diagnosis dan tindakan. Keadaan yang dapat membuat identifikasi
tidak benar adalah jika pasien dalam keadaan terbius, mengalami
disorientasi, tidak sepenuhnya sadar, dalam keadaan koma, saat pasien
berpindah dari tempat tidur, berpindah lokasi didalam lingkungan
rumah sakit, terjadi disfungsi sensoris, lupa identitas diri atau
mengalami situasi lainnya.
Ada dua maksud dan tujuan standar ini :
a. Memastikan ketepatan pasien yang akan menerima layanan atau
tindakan.
b. Untuk menyelaraskan layanan atau tindakan yang dibutuhkan
oleh pasien.
Proses identifikasi yang digunakan di rumah sakit mengharuskan
terdapat paling sedikit 2 (dua) dari 3 (tiga) bentuk identifikasi, yaitu
nama pasien, tanggal lahir, nomer rekam medis, atau bentuk lainnya
(misalnya : no induk kependudukan atau barkode ). Nomor kamar
pasien tidak bisa digunakan untuk identifikasi pasien. Dua (2) bentuk
22

identifikasi ini digunakan di semua area layanan rumah sakit seperti


dirawat jalan, rawat inap, unit darurat, kamar operasi, unit layanan
diagnostik dan lainnya. Dua (2) bentuk identifikasi harus dilakukan
dalam setiap keadaan terkait intervensi kepada pasien. Misalnya,
identifikasi pasien dilakukan sebelum radioterafi, menerima cairan
intra vena, hemodialisis, pengambilan darah atau pengambilan
spesimen lain untuk pemeriksaan klinis, kateterisasi jantung, prosedur
radiologi diagnostik, dan identifikasi terhadap pasien koma.

Standar SKP 2
Rumah sakit menetapkan regulasi untuk melaksanakan proses
meningkatkan efektifitas komunikasi verbal dan atau komunikasi
melalui telpon antar profesional pemberi asuhan (PPA).
Maksud dan Tujuan SKP 2 dan SKP 2.2
Komunikasi dianggap efektif jika tepat waktu, akurat, lengkap,
tidak menduga (ambiguous), dan diterima oleh penerima informsi yang
bertujuan mengurangi kesalahan – kesalahan dan meningkatkan
keselamatan pasien.
Komunikasi dapat berbentuk verbal, elektronik, atau tertulis.
Komunikasi yang jelek dapat membahayakan pasien. Komunikasi
yang rentan terjadi kesalahan adalah saat perintah lisan atau perintah
melalui telepon, komunikasi verbal, saat menyampaikan hasil
pemeriksaan kritis yang harus disampaikan lewat telepon. Hal ini dapat
disebabkan oleh perbedaan akses dan dialek. Pengucapan juga dapat
menyulitkan penerima perintah untuk memahami perintah yang
diberikan. Misalnya, nama – nama obat yang rupa dan ucapannya
mirip (look alike, sound alike) , seperti phenobarbital dan
phentobarbital , serta lainnya.
Pelaporan hasil pemeriksaan diagnostik kritis juga merupakan
salah satu isu keselamatan pasien. Pemeriksaan diagnostik kritis
termasuk, tetapi tidak terbatas pada :
a. Pemeriksaan laboratorium
23

b. Pemeriksaan radiologi
c. Pemeriksaan kedokteran nulir
d. Prosedur ultrasonografi
e. Magnetic resonance imaging
f. Diagnostik jantung
g. Pemeriksaa diagnostik yang dilakukan di tempat tidur pasien,
seperti hasil tanda – tanda vital, portable radiographs. Bedside
ultrasound, atau transesophageal, echocardiogram.
Hasil yang diperoleh dan berada diluar rentang angka normal
secara mencolok akan menunjukan keadaan yang beresiko tinggi atau
mengancam jiwa. Sistem pelaporan formal yang dapat menunjukan
dengan jelas bagaimana nilai kritis hasil pemeriksaan diagnostik
dikomunikasikan kepada staff medis dan informasi tersebut
terdokumentasi untuk mengurangi resiko bagi pasien. Tiap – tiap unit
menetapkan nilai kritis hasil pemeriksaan diagnostiknya. Untuk
melakukan komunikasi secara verbal atau melalui telepon dengan
aman dilakukan hal – hal sebagai berikut :
a. Pemesanan obat atau permintaan obat secara verbal sebaiknya
dihindari.
b. Dalam keadaan darurat karena komunikasi secara tertulis atau
komunikasi elektronik tidak mungkin dilakukan maka harus
ditetapkan panduannya meliputi permintaan pemeriksaan,
penerimaan hasil pemeriksaan dalam keadaan darurat,
identifikasi dan penetapan nilai kritis, hasil pemeriksaan
diagnostik, serta kepada siapa dan oleh siapa hasil pemeriksaan
kritis dilaporkan.
c. Prosedur menerima perintah lisan atau lewat telpon meliputi
penulisan secara lengkap permintaan atau hasil pemeriksaan
oleh penerima informasi, penerima membaca kembali
permintaan atau hasil pemerikasaan, dan pengirim memberi
konfirmasi atas apa yang telah ditulis secara akurat.
24

Penggunaan singkatan - singkatan yang tidak ditetapkan oleh


rumah sakit sering kali menimbulkan kesalahan komunikasi dan dapat
berakibat patal. Oleh karena itu, rumah sakit diminta memiliki daftar
singkatan yang diperkenankan dan dilarang. Serah terima asuhan
pasien (hand over) di dalam rumah sakit terjadi :
a. Antar PPA seperti antara staf medis dan staf medis, antara staf
medis dan staf keperawatan atau dengan staf klinis lainnya, atau
antara PPA dan PPA lainnya pada saat pertukaran shift.
b. Antar berbagai tingkat layanan di dalam rumah sakit yang seperti
jika pasien dipindah dari unit intensif ke unit perawatan atau dari
unit darurat ke kamar operasi.
c. Dari unit rawat inap ke unit layanan diagnostik atau unit tindakan
seperti radiologi atau unit terapi fisik.
Gangguan komunikasi dapat terjadi saat dilakukan serah terima
asuhan pasein yang dapat berakibat kejadian yang tidak diharapkan
(adverse event) atau kejadian sentinel. Komunikasi yang baik dan
terstandar baik dengan pasien, keluarga pasien dan pemberi layanan
dapat meperbaiki secara signifikan proses asuhan pasien.

Standar SKP 3
Rumah sakit menetapkan regulasi untuk melaksanakan proses
meningkatkan keamanan terhadap obat – obat yang perlu diwaspadai.
Maksud dan Tujuan SKP 3 dan SKP 3.1
Setiap obat jika salah penggunaannya dapat membahayakan
pasien, bahkan bahayanya dapat menyebabkan kematian atau
kecacatan pasien, terutama obat - obat yang perlu diwaspadai. Obat
yang perlu diwaspadai adalah obat yang mengandung resiko yang
meningkat bila kita salah menggunakan dan dapat menimbulkan
kerugian besar pada pasien.
Obat yang perlu diwaspadai terdiri atas :
25

a. Obat risiko tinggi, yaitu obat yang bila terjadi kesalahan (error)
dapat menimbulkan kematian atau kecacatan seperti, insulin,
heparin, atau kemoterapeutik;
b. Obat yang nama, kemasan, label, penggunaan klinis
tampak/kelihatan sama (look alike), bunyi ucapan sama (sound
alike), seperti Xanax dan Zantac atau hydralazine dan hidroxyzine
atau disebut juga nama obat rupa ucapan mirip (NORUM);
c. Elektrolit konsentrat seperti potasium klorida dengan konsentrasi
sama atau lebih dari 2 mEq/ml, potasium fosfat dengan
konsentrasi sama atau lebih besar dari 3 mmol/ml, natrium klorida
dengan konsentrasi lebih dari 0.9% dan magnesium sulfat dengan
konsentrasi 20%, 40%, atau lebih.
Ada banyak obat yang termasuk dalam kelompok NORUM.
Nama – nama yang membingungkan ini umumnya menjadi sebab
terjadi medication error di seluruh dunia. Penyebab ini adalah :
a. Pengetahuan tentang nama obat yang tidak memadai;
b. Ada produk baru;
c. Kemasan dan label sama;
d. Indikasi klinis sama;
e. Bentuk, dosis, dan aturan pakai sama;
f. Terjadi salah pengertian waktu memberikan perintah.
Daftar obat perlu diwaspadai (high alert medication) dan Instite
for safe health medication practice (ISMP), di berbagai kepustakaan,
serta pengalaman rumah sakit dalam hal KTD atau kejadian sentinel.
Isu tentang penggunaan obat adalah pemberian yang salah atau
ketidaksengajaan menggunakan elektrolit konsentrat. Contohnya,
potasium klorida dengan konsentrasi sama atau lebih dari 2 meq/ml,
potasium fosfat dengan konsentrasi sama atau lebih besar dari 3
mmol/ml, natrium klorida dengan konsentrasi lebih dari 0,9%, dan
magnesium sulfat dengan konsentrasi 20%, 40%, atau lebih.
Kesalahan dapat terjadi jika petugas tidak memperoleh orientasi
cukup baik di unit perawatan pasien dan apabila perawat tidak
26

memperoleh orientasi cukup atau saat keadaan darurat. Cara paling


efektif untuk mengurangi atau menghilangkan kejadian ini adalah
dengan menetapkan proses untuk mengelola obat yang perlu
diwaspadai (high alert medication) dan memindahkan elektrolit
konsentrat dari area layanan perawatan pasien ke unit farmasi.
Rumah sakit membuat daftar semua obat high alert dengan
menggunakan informasi atau data yang terkait pengunaan obat di
dalam rumah sakit, data tentang “Kejadian yang tidak di harapkan“
(adverse event ) atau “kejadian nyaris cidera” ( near miss ) termasuk
risiko terjadi salah pengertian tentang NORUM. Informasi dari
kepustakaan seperti dari Instite for safe health medication practice
(ISMP), kementrian kesehatan dan lainnya. Obat – obat ini di kelola
sedemikian rupa untuk menghindari kekurang hati – hatian dalam
menyimpan, menata, dan menggunakannya termasuk administrasinya,
contoh dengan memberi label atau petunjuk tentang cara menggunakan
obat dengan benar pada obat – obat high alert.
Untuk meningkatkan keamanan obat yang perlu diwaspadai,
rumah sakit perlu menetapkan risiko spesifik dari setiap obat dengan
tetap memperhatikan aspek peresepan, menyimpan, menyiapkan,
mencatat, menggunakan, serta monitoringnya. Obat high alert harus di
simpan di instalasi farmasi / unit / depo. Bila rumah sakit ingin
menyimpan di luar lokasi tersebut, di sarankan di simpan di depo
farmasi yang berada di bawah tanggung jawab apoteker.

Standar SKP 4
Rumah sakit menetapkan regulasi untuk melaksanakan proses
memastikan tepat – lokasi, tepat prosedur dan tepat – pasien yang
menjalani tindakan prosedur.
Maksud dan tujuan SKP 4
Salah – lokasi, salah – prosedur, dan salah – pasien yang
menjalani tindakan serta prosedur merupakan kejadian sangat
27

menghkawatirkan dan dapat terjadi. Kesalahan ini terjadi antara lain


akibat :
a. Komunikasi yang tidak efektif dan tidak adekuat antar anggota tim;
b. Tidak ada keterlibatan pasien untuk memastikan ketepatan lokasi
operasi dan tidak ada prosedur untuk verifikasi;
c. Assesmen pasien tidak lengkap;
d. Catatan rekam medik tidak lengkap;
e. Budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar anggota
tim;
f. Masalah yang terkait dengan tulisan yang tidak terbaca, tidak jelas,
dan tidak lengkap;
g. Penggunaan singkatan yang tidak terstandarisasi dan dilarang.
Tindakan bedah dan prosedur invasif memuat semua prosedur
investigasi dan atau memeriksa penyakit serta kelainan dari tubuh
manusia melalui mengiris, mengangkat, memindahkan, mengubah atau
memasukkan alat laparaskopi / endoskopi ke dalam tubuh untuk
keperluan diagnostik dan terapeutik.
Rumah sakit harus menentukan area – area di dalam rumah sakit
yang melakukan tindakan bedah dan prosedur invasif. Sebagai contoh,
kateterisasi jantung, radiologi intervesi, laparaskopi, emdoskopi,
pemeriksaan labolatorium, dan lainnya. Ketentuan rumah sakit tentang
tepat – lokasi, tepat – prosedur, dan tepat – pasien berlaku di semua
area rumah sakit di lokasi tindakan bedah dan invasif di lakukan.
Rumah sakit di minta untuk menetapkan prosedur yang seragam
sebagai berikut :
a. Beri tanda di tempat operasi;
b. Dilakukan verifikasi pra operasi;
c. Melakukan time out sebelum insisi kulit di mulai.
Pemberian tanda di tempat dilakukan operasi atau prosedur
invasif melibatkan pasien dan dilakukan dengan tanda yang tepat serta
dapat dikenali. Tanda yang dipakai harus konsisten digunakan di
semua tempat di rumah sakit, harus dilakukan oleh individu yang
28

melakukan prosedur operasi, saat melakukan pasien sadar dan terjaga


jika mungkin, serta harus masih terlihat jelas setelah pasien sadar. Pada
semua kasus, lokasi tempat operasi harus diberi tanda, termasuk pada
sisi lateral (laterality ), daerah struktur multiple ( multiple structure ),
jari tangan, jari kaki, lesi, atau tulang belakang.
Tujuan proses verifikasi pra operasi adalah :
a. Memastikan ketepatan tempat, prosedur, dan pasien.
b. Memastikan bahwa semua dokumen yang terkait, foto ( image ),
dan hasil pemeriksaan yang relevan diberi label dengan benar dan
tersaji.
c. Memastikan tersedia peralatan medik khusus dan atau implan yang
di butuhkan.
Beberapa elemen proses verifikasi pra operasi dapat di lakukan
sebelum pasien pindah tempat pra operasi, seperti memastikan
dokumen, image, hasil pemeriksaan dokumen lain diberi label yang
benar, dan memberi tanda di tempat (lokasi) operasi.
Time – out yang dilakukan sebelum di mulainya insisi kulit
dengan semua anggota tim hadir dan memberi kesempatan untuk
menyelesaikan pertanyaan yang belum terjawab atau ada hal yang
meragukan yang perlu diselesaikan. Time – out dilakukan di lokasi
tempat dilakukan operasi sesaat sebelum prosedur dimulai di nobatkan
semua anggota tim bedah. Rumah sakit harus menetapkan prosedur
bagaimana proses time – out berlangsung.
Salah – lokasi, salah – prosedur, dan salah – pasien operasi adalah
kejadian yang mengkhawatirkan dan dapat terjadi di rumah sakit.
Kesalahan ini adalah akibat komunikasi yang tidak efektif atau tidak
adekuat antara anggota tim bedah, kurang / tidak melibatkan pasien di
dalem penandaan lokasi ( site maerketing ), dan tidak ada prosedur
untuk memverifikasi lokasi operasi. Di samping itu juga, assesmen
pasien yang tidak adekuat, penelaahan ulang catatan medis tidak
adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar
anggota tim bedah, permasalahan yang berhubungan dengan resep
29

yang tidak terbaca (illegible handwriting), dan pemakaian singkatan


adalah merupakan faktor – faktor kontribusi yang sering terjadi.
Rumah sakit perlu secara kolaboratif mengembangkan suatu
kebijakan dan/atau prosedur yang efektif didalam meminimalkan
resiko ini. Kebijakan termasuk definisi operasi yang memasukan
sekurang – kurangnya prosedur yang menginvestigasi dan atau
mengobati penyakit serta kelainan / disorder pada tubuh manusia.
Kebijakan berlaku atas setiap lokasi di rumah sakit bila prosedur ini
dijalankan.

Standar SKP 4.1


Rumah sakit menetapkan regulasi untuk melaksanakan proses
Time – out yang di jalankan untuk memastikan Tepat – Lokasi, Tepat
– Prosedur, Tepat – Pasien yang menjalani tindakan dan prosedur.

Standar SKP 5
Rumah sakit menetapkan regulasi untuk menggunakan dan
melaksanakan “evidence based hand hygiene guidlines” untuk
menurunkan resiko infeksi terkait layanan kesehatan.
Maksud dan Tujuan SKP 5
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupaka sebuah tantangan di
lingkungan fasilitas kesehatan. Kenaikan angka infeksi terkait
pelayanan kesehatan menjadi keprihatinan bagi pasien dan petugas
kesahatan. Secara umum, infeksi terkait pelayanan kesehatan terjadi di
semua unit layanan kesehatan, termasuk infeksi saluran kencing
disebabkan oleh kateter, infeksi pebuluh/aliran darah terkait
pemasangan infus baik verifer maupun sentral, dan infeksi paru – paru
terkait penggunaan ventilator.
Upaya terpenting menghilangkan masalah infeksi ini dan infeksi
lainnya adalah dengan menjaga kebersihan tangan melalui mencuci
tangan. Pedoman kebersihan tangan ( hand hygiene ) tersedia dari
World Health Organization (WHO). Rumah sakit mengadopsi
30

pedoman kebersihan tangan ( hand hygiene ) dari WHO ini untuk


dipublikasikan di seluruh rumah sakit. Staf diberi pelatihan bagaimana
melakukan cuci tangan dengan benar dan prosedur menggunakan
sabun, disinfektan, serta handuk sekali pakai (towel), tersedia di lokasi
sesuai dengan pedoman.

Standar SKP 6
Mengurangi Resiko Cedera Karena Pasien Jatuh
Rumah sakit menetapakan regulasi untuk melaksanakan proses
mengurangi risiko pasien jatuh.
Maksud dan Tujuan SKP 6
Banyak cidera yang terjadi di unit rawat inap dan rawat jalan
akibat pasien jatuh. Berbagai faktor yang meningkatkan risiko jatuh
antara lain:
a. Kondisi pasien.
b. Gangguan fungsional pasien ( contoh gangguan keseimbangan,
gangguan penglihatan, atau perubahan status kognitif).
c. Lokasi atau situasi lingkungan rumah sakit.
d. Riwayat jatuh pasien.
e. Konsumsi obat tertentu.
f. Konsumsi alkohol.
Pasien pada asesmen awal dinyatakan berisiko rendah untuk jatuh
dapat mendadak berubah menjadi berisiko tinggi. Hal ini disebabkan
oleh operasi dan/atau anastesi, perubahan mendadak kondisi pasien,
serta penyesuaian pengobatan. Banyak pasien memerlukan asesmen
selama dirawat di rumah sakit. Rumah sakit harus menetapkan kriteria
untuk identifikasi pasien yang dianggap berisiko tinggi jatuh.
Contoh situasional risiko adalah jika pasien yang datang ke unit
rawat jalan dengan ambulans dari fasilitas rawat inap lainnya untuk
pemeriksaan radiologi. Pasien ini berisiko jatuh waktu dipindah dari
brankar ke meja pemeriksaan radiologi, atau waktu berubah posisi
sewaktu berada di meja sempit tempat periksa radiologi.
31

Lokasi spesifik dapat menyebabkan risiko jatuh bertambah karena


layanan yang diberikan. Misalnya, terapi fisik ( rawat jalan dan rawat
inap) memiliki banyak peralatan spesifik digunakan pasien yang dapat
menambah risiko pasien jatuh seperti parallel bars, freestanding
staircases, dan peralatan lain untuk latihan.
Rumah sakit melakukan evaluasi tentang pasien jatuh dan
melakukan upaya mengurangi risiko pasien jatuh. Rumah sakit
membuat program untuk mengurangi pasien jatuh yang meliputi
manajemen risiko dan asesmen ulang secara berkala di populasi pasien
dan atau lingkungan tempat pelayanan dan asuhan itu diberikan.
Rumah sakit harus bertanggung jawab untuk identifikasi lokasi
(seperti unit terapi fisik), situasi (pasien datang dengan ambulans,
transfer pasien dari kursi roda atau cart), tipe pasien, serta gangguan
fungsionl pasien yang mungkin berisiko tinggi untuk jatuh.
Rumah sakit menjalankan program pengurangan risiko jatuh
dengan menetapkan regulasi yang sesuai dengan lingkungan dan
fasilitas rumah sakit. Program ini mencakup monitoring terhadap
kesengajaan dan atau tidak – kesengajaan dari kejadian jatuh.
Misalnya, pembatasan gerak (restrain) atau pembatasan intake cairan.

3. Flebitis
a. Pengertian Flebitis
M.McCaffery. M dan Beebe. A, 1993 Flebitis didefinisikan
sebagai peradangan akut lapisan internal vena yang di tandai oleh
rasa sakit dan nyeri di sepanjang vena, kemerahan, bengkak dan
hangat, serta dapat dirasakan di daerah penusukan. Flebitis adalah
komplikasi yang sering dikaitkan dengan terafi Intra Vena (IV).
Infusion Nursing Society (INS, 2010), flebitis merupakan
peradangan pada tunika intima pembuluh darah vena, yang sering
dilaporkan sebagai komplikasi pemberian terafi infus. Peradangan
didapatkan dari mekanisme iritasi yang terjadi pada endothelium
tunika intima vena, dan perlengketan trombosit pada area tersebut.
32

Flebitis adalah komplikasi dari pemberian therafi intra vena, yang


disebabkan oleh iritasi kimia, mekanik maupun bakteri post infus.
Flebitis ditandai dengan adanya satu atau lebih tanda – tanda
flebitis yaitu daerah yang merah, nyeri, indurasi, teraba hangat atau
panas, dan pembengkakan didaerah penusukan. Peradangan flebitis
didapatkan dari mekanisme iritasi yang terjadi pada endotelium
tunika intima vena dan perlengketan trombosit pada area tersebut.
b. Pengenalan tanda flebitis
Visual infusion flebitis (VIF) adalah alat yang sangat populer
untuk memantau area pemasangan infus. Alat ini direkomendasikan
untuk memantau area infus. Pada tahun 2006 Paulette Gallant dan
Alyce Schultz alat ini digunakan untuk memantau kapan
penggantian jarum harus dilakukan (M.McCaffery. M dan Beebe.
A, 1993 dalam Nursalam, 2014).
Flebitis dapat didiagnosa atau dinilai melalui pengamatan
visual oleh perawat. (M.McCaffery. M dan Beebe. A, 1993, dalam
Nursalam, 2014)
Tabel 2.1 : Visual infusion flebitis (VIF)
IV line nampak sehat 0 Tidak ada tanda Obserpasi
flebitis kanul
Terdapat salah satu tanda – tanda 1 Mungkin tanda Obserpasi
berikut jelas : – tanda pertama kanul
 Sedikit nyeri dekat IV line flebitis
 Sedikit kemerahan dekat IV line
Dua dari tanda berikut adalah : 2 Tahap awal Pindahkan
 Nyeri pada IV line flebitis kanul
 Kemerahan
 Pembengkakan
Semua tanda – tanda berikut jelas : 3 Tahap Pindahkan
 Nyeri sepanjang kanul menengah kanul,
 Kemerahan flebitis pertimbangk

 Pembengkakan an
perawatan
infeksi
Semua tanda–tanda berikut jelas: 4 Tahap lanjut Pindahkan
33

 Nyeri sepanjang kanul flebitis atau kanul,


 Kemerahan awal pertimbangk

 Pembengkakan thromboflebitis an

 Vena teraba keras perawatan


flebitis
Semua tanda – tanda berikut adalah : 5 Stadium lanjut Memulai
 Nyeri sepanjang kanul thromboflebitis perawatan
 Kemerahan infeksi

 Pembengkakan
 Vena teraba keras
 Pireksia
Sumber : Nursalam, 2014

c. Klasifikasi flebitis
Pengklasifikasian flebitis didasarkan pada faktor
penyebabnya. Ada empat kategori penyebab terjadinya flebitis
yaitu kimia, mekanik, agen infeksi,dan post infus ( INS, 2010 ).
1) Flebitis kimia
Kejadian flebitis ini dihubungkan dengan bentuk respon
yang terjadi pada tunika intima vena dengan bahan kimia yang
menyebabkan reaksi peradangan. Reaksi peradangan dapat
terjadi akibat dari jenis cairan yang diberikan atau bahan
material kateter yang digunakan.
Ph darah normal terletak antara 7,35 – 7,45 dan
cenderung basa. Ph cairan yang diperlukan dalam pemberian
terapi adalah 7 yang berarti netral. Ada kalanya suatu larutan
diperlukan konsentrasi yang lebih asam untuk mencegah
terjadinya karamelisasi dextrose dalam proses sterilisasi
autoklap, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino,
dan lipid yang biasa digunakan dalam nutrisi parenteral lebih
bersipat Flebitogenik.
Osmolaritas diartikan sebagai konsentrasi sebuah
larutan atau jumlah fartikel yang larut dalam suatu larutan.
Pada orang sehat, konsentrasi plasma manusia adalah 285 ±
34

10 mOsm/L H 20 (Sylvia, 1991). Larutan sering dikategorikan


sebagai larutan isotonik, hipotonik, atau hipertonik, sesuai
dengan osmolalitas total larutan tersebut di banding dengan
osmolalitas plasma. Larutan isotonik adalah, larutan yang
memiliki osmolalitas total sekitar 280 – 310 mOsm/L H 20,
larutan yang memiliki osmolalitas kurang dari itu disebut
hipotonik, sedangkan yang melebihi disebut larutan hipertonik.
Tonisitas suatu larutan tidak hanya berpengaruh terhadap
status fisik klien akan tetapi juga berpengaruh terhadap tunika
intima pembuluh darah. Dinding tunika intima akan
mengalami trauma pada pemberian larutan hiperosmoler yang
mempunyai osmolaritas lebih dari 600 mOsm/L, terlebih lagi
pada saat pemberian dengan tetesan cepat pada pembuluh vena
yang kecil. Cairan isotonik akan menjadi lebih hiperosmoler
apabila ditambah dengan obat, elektrolit maupun nutrisi (INS,
2010). Menurut Subekti (2010), vena periper dapat menerima
osmolaritas larutan sampai dengan 900 mOsm/L, semakin
tinggi osmolaritas (makin hipertonis) makin mudah terjadi
kerusakan pada dinding vena perifer seperti flebitis,
trombophlebitis, dan tromboemboli. Pada pemberian jangka
lama harus diberikan melalui Vena Central, karena larutan
yang bersipat Hipertonis dengan osmolaritas > 900 mOsm/L,
melalui vena central aliran darah menjadi cepat sehingga tidak
merusak dinding.
Kecepatan pemberian larutan Intra Vena juga dianggap
menjadi salah satu penyebab kejadian utama kejadian flebitis.
Pada pemberian dengan kecepatan rendah menguragi iritasi
pada dinding pembuluh darah. Penggunaan material kateter
juga berperan pada kejadian flebitis. Bahan kateter yang
terbuat dari polivinil klorida atau polietelin (teflon)
mempunyai resiko flebitis lebih besar dibandingkan bahan
yang tebuat dari silikon atau poliuretan (INS, 2010). Partikel
35

materi yang terbentuk dari cairan atau campuran obat yang


tidak sempurna diduga juga bisa menyebabkan resiko terjadi
flebitis. Penggunaan filter dengan ukuran 1 sampai 5 mikron
pada infus set, akan menurunkan atau meminimalkan risiko
flebitis akibat partikel materi yang terbentuk tersebut
(Darmawan, 2008).
2) Flebitis Mekanik (Mekhanical Flebitis)
Flebitis Mekanik sering dihubungkan dengan
pemasangan atau penempatan kateter intravena. Penempatan
kateter pada area fleksi lebih sering menimbulkan kejadian
flebitis saat ekstremitas digerakan kateter yang terpasang ikut
bergerak dan menyebabkan trauma pada dinding vena.
Peggunaan ukuran kateter yang besar pada vena yang kecil
juga dapat mengiritasi dinding vena (The Centerss for Disease
Control and Prevention, 2006).
3) Flebitis Bakteri (Bacterial Flebitis)
Bacterial Flebitis adalah peradangan vena yang
berhubungan dengan adanya kolonisasi bakteri.
Adanya bakterial flebitis bisa menjadi masalah yang serius
sebagai predispposisi komplikasi sistemik yaitu septicemia.
Faktor – faktor yag berperan dalam kejadian flebitis bakteri
antara lain:
a) Tekhnik cuci tangan yang tidak baik.
b) Teknik aseptik yang kurang pada saat penusukan.
c) Teknik pemasangan kateter yang buruk.
d) Pemasangan yang terlalu lama.
e) Kegagalan memeriksa peralatan yang rusak, pembungkus
yang bocor atau robek dapat mengandung bakteri.
f) Tempat penyuntikan yang jarang diinpeksi visual (INS,
2010 )
4) Post infus flebitis
36

Flebitis post infus juga sering dilaporkan kejadiannya


sabagai akibat pemasangan infus. Flebitis post infus adalah
peradangan pada vena yang didapatkan 48 – 96 jam setelah
pelepasan infus, antara lain :
a) Tehnik pemasangan catheter yang tidak baik.
b) Pada pasien dengan retardasi mental.
c) Kondisi vena yang tidak baik.
d) Pemberian cairan yang hipertonik atau terlalu asam
e) Ukuran katheter terlalu besar pada vena yang kecil.
d. Tindakan pencegahan flebitis
Banyak hal yang didapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya flebitis yang telah disepakati oleh para ahli, antara lain :

1) Mencegah flebitis bakteri.


Pedoman yang dianjurkan adalah menekankan pada
kebersihan tangan, tehnik aseptik, perawatan daerah infus serta
antisepsis kulit. Untuk pemiilihan larutan antisepsis, The
center for Disease control (CDC) merekomendasikan
penggunakan chlorhexidine 2 % akan tetapi penggunaan
tincture yodium, iodofor atau alcohol 70 % bisa dgunakan.
2) Selalu waspada dan tindakan aseptic.
Selalu berprinsip aseptik setiap tindakan yang memberikan
manipulasi pada daerah infus. Studi melaporkan stopcock yang
digunakan sesuai jalan pemberian obat, pemberian cairan infus
atau pengembalian sampel darah merupakan jalan masuk
kuman.
3) Rotasi kateter.
May dkk (2005), melaporkan hasil pemberian perifer
parenteral nutrition (PPN), dimana mengganti tempat (rotasi)
kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada 15 pasien
menyebabkan bebas flebitis. Namun dalam uji kontrol acak
37

yang dipublikasi baru – baru ini oleh webster dkk disimpulkan


bahwa intravena kateter bisa dibiarkan aman di tempatnya
lebih dari 72 jam jika tidak ada kontraindikasi. The centers for
disease control and prrevention mengajukan penggantian
kateter setiap 72 – 96 jam untuk membatasi potensi infeksi.
4) Aseptic dressing
Dianjurkan aseptic dressing untuk mencegah flebitis
dengan penggantian kasa steril diatas tempat penusukan setiap
24 jam.
5) Kecepatan pemberian infus
Para ahli sepakat bahwa makin lambat infus larutan
hipertonik diberikan makin rendah risiko flebitis. Namun, ada
paradigma berbeda untuk pemberian infus obat injeksi dengan
osmolaritas tinggi. Osmolaritas boleh mencapai 1000 mOsm/L
jika durasi hanya beberapa jam. Durasi sebaiknya kurang dari
3 jam untuk mengurangi waktu kontak campuran yang iritatif
dengan dinding vena. Ini membutuhkan kecepatan pemberian
tinggi (150 – 330 Ml/jam). Vena periper yang paling besar dan
kateter yang sekecil dan sependek mungkin di anjurkan untuk
mencapai laju infus yang diinginkan, dengan filter 0,45 mm.
kateter harus diangkat bila terlihat tanda dini nyeri atau
kemerahan. Infus relatif cepat ini lebih relevan dalam
pemberian infus sebagai jalan obat, bukan terapi cairan
maintenance atau nutrisi parenteral.
6) Titrable acidity
Titrable acidity mengukur jumlah alkali yang dibutuhkan
untuk menetralkan ph atau titrable acidity sendiri. Bahkan
pada ph 4.0, larutan glukosa 10% jarang menyebabkan
perubahan karena titrable acidity nya sangat rendah (0.16
mEq/L). Dengan demikian makin rendah titrable acidity
larutan infus makin rendah resiko flebitisnya.
7) Heparin dan hidrokortison
38

Heparin sodium, bila ditambahkan ke cairan infus


sampai kadar akhir 1 unit/mL, mengurangi masalah dan
menambah waktu pasang kateter. Resiko flebitis yang
berhubungan dengan pemberian cairan tertentu (misal : kalium
korida, lidocain dan antimikrobial) juga dapat dikurangi
dengan pemberian aditif IV tertentu, seperti hidrokortison.
Pada uji klinis dengan pasien penyakit koroner, hidrokortison
secara bermakna mengurangi kekerapan flebitis pada vena
yang di infus lidocain, kalium klorida atau mikrobial.
Pada dua uji acak lain, heparin sendiri atau dikombinasi
dengan hidrokortison telah mengurangi kekerapan flebitis,
tetapi penggunaan heparin pada larutan yang mengandung
lipid dapat disertai dengan pembentukan endapan kalsium.

Berdasarkan bacaan diatas, maka perawat dalam


melaksanakan pemasangan infus harus selalu memperhatikan
tata laksana prosedur pemasangan infus agar tidak terjadi
flebitis.
e. Ada sejumlah faktor yang dapat berkontribusi dan meningkatkan
resiko flebitis. Faktor – faktor ini antara lain , (Nursalam
2014:332)
1) Trauma pada vena selama penusukan
2) Cairan infus bersipat asam atau alkali atau memiliki
osmolalitas tinggi
3) Penusukan ke pembuluh darah yang terlalu kecil
4) Menggunakan jarum yang terlalu besar untuk vena
5) Jarum infus lama tidak diganti
6) Jenis bahan (kateter infus) yang digunakan
7) Riwayat pasien dan kondisi sekarang
8) Kondisi pembuluh darah
9) Stabilitas kanul
10) Pengendalian infeksi
39

4. Perawat
1) Pengertian
Perawat yaitu tenaga profesional yang mempunyai
kemampuan, tanggung jawab dan kewenangan dalam
melaksanakan dan memberikan perawatan kepada pasien yang
mengalami masalah kesehatan. Menurut UU RI No 23 tahun 1992
tentang kesehatan, mendefinisikan perawat yaitu mereka yang
memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan
keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya yang diperoleh
melalui pendidikan perawatan.
Perawat Profesional adalah Perawat yang bertanggung
jawab dan berwewenang memberikan pelayanan keperawatan
secara mandiri dan atau berkolaborasi dengan tenaga kesehatan
lain sesuai dengan kewenangannya. (Depkes RI, 2002).
2) Peran Perawat
Peran perawat adalah cara untuk menyatakan aktifitas
perawat dalam praktik, dimana telah menyelesaikan pendidikan
formalnya yang diakui dan diberi kewenangan oleh pemerintah
untuk menjalankan tugas. Sedangkan peran perawat meliputi :
pemberi  Asuhan Keperawatan, praktek Keperawatan atau
pelaksana, pendidikan klien, pengelola serta kegiatan penelitian
dibidang Keperawatan.
a) Peran sebagai pelaksana
Peran ini di kenal dengan Care Giver,  peran Perawat
dalam  memberikan Asuhan Keparawatan secara langsung
atau tidak langsung kepada klien sebagai Individu, Keluarga
dan Masyarakat, dengan metode pendekatan pemecahan
masalah yang disebut proses keperawatan. Dalam
melaksanakan peran ini perawat bertindak sebagai
comforter, protector, advocate, communicator serta
rehabilitator
40

b) Peran sebagai pendidik


Sebagai pendidik perawat berperan dalam mendidik
individu, keluarga, kelompok masyarakat serta tenaga
kesehatan yang berada dibawah tanggung jawabnya. Peran
ini berupa penyuluhan kepada klien, maupun bentuk
desimilasi ilmu kepada peserta didik keperawatan.
c) Peran sebagai pengelola
Dalam hal ini perawat mempunyai peran
dan     tanggung jawab dalam    mengelola pelayanan
maupun pendidikan Keperawatan sesuai dengan
Manajemen Keperawatan dalam kerangka paradigma
Keperawatan. Sebagai pengelola Perawat dalam memantau
dan menjamin kualitas asuhan atau pelayanan Keperawatan
serta mengorganisasi dan mengendalikan sistem pelayanan
Keperawatan, karena pengetahuan  pemahaman Perawat
yang kurang sehingga pelaksana Perawat pengelola belum
maksimal, mayoritas posisi, lingkup kewenangan dan
tanggung jawab Perawat hampir tidak berpengaruh dalam
perencanaan dan pengambilan keputusan.
d) Peran sebagai peneliti
Sebagai peneliti dibidang Keperawatan, Perawat
diharapkan mampu mengidentifikasi masalah penelitian,
menerapkan prinsip dan metode penelitian serta
memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan mutu
asuhan atau pelayanan dan pendidikan Keperawatan.
Penelitian di dalam bidang Keperawatan berperan dalam
mengurangi kesenjangan penguasaan tehnologi di bidang
kesehatan, karena temuan penelitian lebih memungkinkan
terjadinya transformasi ilmu pengetahuan dan Tehnologi,
selain itu penting dalam memperkokoh upaya menetapkan
dan memajukan profesi Keperawatan.
3) Fungsi Perawat
41

Fungsi perawat dalam melakukan pengkajian pada


individu sehat maupun sakit dimana segala aktifitas yang sakit
berguna untuk pemulihan kesehatan berdasarkan pengetahuan
yang dimiliki, aktifitas ini dilakukan dengan berbagai cara
untuk mengembalikan kemandirian pasien secepat mungkin
dalam bentuk Proses Keperawatan yang terdiri dari tahap
pengkajian, Identifikasi masalah (Diagnosa Keperawatan),
Perencanaan, Implementasi dan Evaluasi.
a) Fungsi Independen
Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada
orang lain, dimana perawat dalam melaksanakan tugasnya
dilakukan secara sendiri dengan keputusan sendiri dalam
melakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia
(KDM).

b) Fungsi Dependen
Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan
kegiatannya atas pesan atau instruksi  dari perawat lain
sebagai tindakan pelimpahan tugas yang diberikan.
Biasanya dilakukan oleh perawat spesialis kepada perawat
umum atau dari perawat primer kepada perawat pelaksana.
c) Fungsi Interdependen
Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang
bersifat saling ketergantungan diantara tim satu dengan
yang lainnya. Dapat terjadi apabila bentuk pelayanan
membutuhkan kerjasama tim dalam pemberian pelayanan.
Keadaan ini tidak bisa diatasi oleh tim perawat saja
melainkan juga dari dokter ataupun lainnya.
4) Karakteristik Individu Perawat
Menurut Dr. Anwar Kurniadi tahun 2013 karakteristik
individu perawat seperti umur, jenis kelamin, tingkat
42

pendidikan dan masa kerja merupakan faktor confounding


(pengganggu) yang bisa mempengaruhi variable independen
dalam pelaksanaan penelitian. Untuk itu faktor karakteristik
selalu mendapat perhatian (Panggabean, 2004). Faktor-faktor
karakteristik yang dimaksud diatas antara lain :
a) Umur
Umur berkaitan dengan kedewasaan atau maturitas
seseorang. Kedewasaan adalah kedewasaan tehnis dalam
melaksanakan tugas-tugas maupun kedewasaan psikologis.
Usia merupakan variabel individu, secara prinsip seseorang
bertambah usianya akan bertambah kedewasaannya dan
semakin banyak menyerap informasi yang akan
mempengaruhi perilakunya. Menurut Evaldiana (2013),
Menurut Siagian tahun 2001 menyatakan semakin lanjut
usia seseorang semakin meningkat pula kedewasaan tehnis
maupun psikologisnya, serta menunjukkan kematangan
jiwa. Umur semakin meningkat akan meningkatkan pula
kebijakan kemampuan seseorang dalam mengambil
keputusan, berfikir rasional, mengendalikan emosi dan
bertoleransi terhadap pandangan orang lain.
Berikut kategori umur menurut Depkes RI (2009) :
 Masa balita : 0-5 tahun
 Masa kanak-kanak : 5-11 tahun
 Masa remaja awal : 12-16 tahun
 Masa remaja akhir : 17-25 tahun
 Masa dewasa awal : 26-35 tahun
 Masa dewasa akhir : 36-45 tahun
 Masa Lansia awal : 46-55 tahun
 Masa Lansia akhir : 56-65 tahun
 Masa manula : ˃ 65 tahun
b) Jenis Kelamin
43

Profesi keperawatan pada umumnya didominasi oleh


kaum wanita, karena profesi perawat identik dengan rasa
keibuan. Namun akhir-akhir ini banyak kaum pria yang
terjun dalam profesi keperawatan.
c) Tingkat Pendidikan
Menurut Siagian tahun 2001 menyatakan tingkat
pendidikan merupakan pengalaman yang berfungsi
mengembangkan kemampuan dan kualitas kepribadian
seseorang, dimana semakin tinggi pendidikan semakin
besar untuk memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan.
Sedangkan menurut Gibson, Ivancevich & Donnelly tahun
2011 menyatakan tingkat pendidikan lebih tinggi pada
umumnya menyebabkan seseorang lebih mampu dan
bersedia menerima posisi dan tanggung jawabnya.
Menurut Notoatmodjo (2003) konsep dasar
pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti
didalam pendidikan itu terjadi pertumbuhan,
perkembangan, atau perubahan ke arah yang lebih dewasa,
lebih baik, dan lebih matang pada diri individu, kelompok
atau masyarakat.
e) Masa Kerja
Masa kerja adalah lamanya perawat bekerja dimulai
sejak perawat resmi diangkat sebagai karyawan rumah
sakit.
f) Pelatihan
Pelatihan merupakan proses mengajarkan kepada
individu mengenai keterampilan dasar yang dibutuhkan
yang dapat meningkatkan kemampuan untuk mencapai
tujuan organisasi. Pelatihan merupakan mengubah
perilaku para pegawai untuk meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan teknis karyawan (Mangkunegara, 2003).
Nilasari (2010) menyatakan bahwa terdapat hubungan
44

antara pelatihan dengan keterampilan perawat klinik


dalam penerapan keselamatan patient safety.
5. Edukasi
Edukasi atau disebut juga dengan pendidikan merupakan segala
upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik
individu, kelompok atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa
yang diharapkan oleh pelaku pendidikan (Notoatmodjo, 2003).
Edukasi merupakan proses belajar dari tidak tahu tentang nilai
kesehatan menjadi tahu (Suliha, 2002).

Edukasi kesehatan adalah sebuah proses pembelajaran dan


pendidikan yang diberikan oleh narasumber yang kredibel kepada para
peserta, dimana seseorang belajar kepada suatu narasumber yang
kredibel tersebut tentang segala hal yang berkaitan dengan kesehatan.

Kegiatan edukasi sangat memberikan manfaat kepada perawat,


seperti memberikan perawat pengetahuan yang lebih luas,
mengembangkan kepribadian perawat menjadi lebih baik,
menanamkan nilai – nilai yang positif bagi perawat. Adapun tujuan
edukasi kesehatan menurut Undang – Undang Kessehatan No. 23
tahun 1992 maupun WHO yakni : “meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan
baik fisik, mental, dan sosialnya sehingga produktif secara ekonomi
maupun secara sosial. Pendidikan kesehatan disemua program
kesehatan baik pemberantasan penyakit menular, sanitasi lingkungan,
gizi masyarakat pelayanan kesehatan maupun program kesehatan
lainnya”.

6. Penelitian Terkait

No Peneliti Judul Metode Hasil


1 Dhewa Adi Hubungan Deskriptip Analisis data
Pratama (Juli Tingkat korelasi berdasarkan tes
2017) Pengetahuan metode rank spearman
tentang kuantitatif didapatkan (nilai
45

Penerapan dengan p) (0,180) >


Patien Safety pendekatan ά(0,05) yang
dengan penelitian berarti tidak di
Persepsi cross temukan hubungan
Penerapan sectional, tingkat
Patien Safety cara pengetahuan
oleh Perawat di pengambilan tentang penerapan
RSUD dr. sample Patien Safety
Soediran penelitian ini dengan persepsi
Mangoen adalah penerapan Patien
Soemarso probability Safety oleh
Wonogiri sampling perawat di RSUD
dengan dr. Soediran
stratified Mangoen
random Soemarso
sampling Wonogiri.
dengan
sample
responden
115 orang
2 Ismiyati Hubungan Penelitian Hasil penelitian
Rahayu Pengetahuan kuantitatif menunjukkan
(2015) Perawat dengan bahwa
Tentang Patien rancangan pengetahuan
Safety dengan explanatory perawat tentang
Perilaku research patients sefety
Perawat Dalam dengan sebagian besar
Pencegahan menggunakan dengan kategori
Kejadian teknik sedang sebesar
Plebitis di analisis data 39,4%, dan
Ruang Rawat Korelasi perilaku perawat
Inap Rumah Kendall’s dalam pencegahan
46

Sakit Panti Tau-b. kejadian plebitis


Waluyu dengan total sebagian besar
Surakarta sampel 33 dikategorikan baik
sampel sebesar 57,6%.
Ada hubungan
yang positif dan
signifikan antara
pengetahuan
tentang tentang
patients safety
dengan perilaku
perawat dalam
pencegahan
kejadia phlebitis
dengan tingkat
kepercayaan 95%.
3 Moh. Taufik Hubungan Metode Hasil penelitian
Gunibala Pengetahuan penelitian menunjukan
Perawat yang bahwa
dengan digunakan pengetahuan baik
Penerapan adalah Survei (90%), sikap baik
Patien Safety Analitik (86,3%),
di RSUD dengan penerapan patien
PROF. DR. HI. pendekatan safety baik
ALOEI Cross (88,2%). Dari hasil
SABOE KOTA Sectional. analisis bivariat
GORONTALO Populasi didapatkan p
adalah value=0,000, yang
seluruh berarti bahwa ada
perawat hubungan
diruang pengetahuan
Interna perawat dan sikap
47

RSUD Prof dengan penerapan


Dr. H. Aloei patien safety
Saboe Kota diruang Interna
Gorontalo RSUD Prof Dr. H.
yang Aloei Saboe Kota
berjumlah 51 Gorontalo yang
orang. berjumlah 51
orang.
4 Shelly Faktor – faktor Crossectional, Berdasarkan hasil
Aprilia yang analisis analisis statistik,
2011 mempengaruhi bivariat variabel individu
perawat dalam dengan uji chi yang memiliki
penerpan IPSG squere serta hubungan
(International regresi significan dengan
Patient Safety logistik perilaku
Goal) pada sederhana, penerapan IPSG
akreditasi JCI dan analisis adalah usia, status
(Joint multivariat pernikahan, lama
Commision dengan uji kerja di unit, lama
International) regresi sosialisasi terkait
di Instalasi logistik ganda mutu rumahsakit.
Rawat Inap RS model Variabel
Swasta X prediksi. organisasi yang
Tahun 2011 Sample memiliki
seluruh hubungan dengan
perawat rawat penerapan IPSG
inap adalah pengaruh
organisasi
sedangkan pada
variabel
psikologis,
variabel yang
48

memiliki
hubungan dengan
peneraoan IPSG
adalah
pengetahuan. Hasil
analisis multivariat
menunjukan
bahwa variabel
variabel yang
berhubungan
bermakna dengan
perilaku penerapan
IPSG adalah
variabel
pengetahuan
setelah dikontrol
oleh variabel
umur, status
pernikahan,
pelatihan dan
pengaruh
organisasi
5 ZULFI 2016 Hubungan Jenis Hasil penelitian
Tingkat penelitian ini diketahui bahwa
Pengetahuan adalah perilaku kepatuhan
Perawat deskriptif melaksanakan
Tentang analitik prinsip pemberian
Keselamatan dengan obat pada kategori
Pasien Dengan menggunakan cukup sebanyak 44
Perilaku pendekatan responden (67%)
Kepatuhan cross dan pada kategori
Melaksanakan sectional. kurang 23
49

Prinsip Populasi responden (34,


Pemberian seluruh 3%) analisis
Obat di Ruang perawat statistik
Perawatan pelaksana di menunjukan ada
Interna RSUD RSUD hubungan yang
Labuang Baji Labuang Baji bermakna antara
Makasar 2016 Makasar yang pengetahuan
berjumlah 80 dengan kepatuhan
perawat melaksnakan
prinsip pemberian
obat, dimana hasil
uji chi squere
menunjukan nilai
p=0.000, artinya
nilai p<ά atau
<0.05 hal tersebut
bahwa Ha diterima
6 Devi Pengaruh Metode Hasil menunjukan
Nurmalia Program penelitian ini terdapat pengaruh
2012 Mentoring menggunakan antara penerapan
Keperawatan quasi budaya kelompok
Terhadap experiment kontrol dengan
Penerapan design : kelompok
Budaya petest-post intervensi sesudah
Keselamtan test with program mentoring
Pasien di control group (p= 0,056,χ²⁼4,5 =
Ruang Rawat design, 0,1) dan RR 2,5.
Inap Rumah sample yang Penelitian ini
Sakit Islam digunakan 90 merekomendasikan
Sultan Agung perawat (45 perlunya
Semarang pada pengembangan
kelompok metode
50

intrvensi dan pengarahan untuk


45 pada meningkatkan
kelompok budaya
kontrol). Data keselamatan
dianalisis pasien.
dengan
menggunakan
chi-squere
dan
monemar.
7 Asrin Analisis Faktor Metode Hasil penelitian.
Endang T – faktor yang penelitian Data yang
Arif Setyo U Berpengaruh yang didapatkan adalah
2006 Terhadap digunakan 74 pasien dengan
Kejadian adalah 17 pasien
Flebitis di penelitian mengalami flebitis
RSUD survei. (22,9%). hasil
Purbalingga Populasi penelitian ini
penelitian ini disimpulkan faktor
adalah semua – faktor yang
pasien yang mempengaruhi
dilakukan flebitis adalah
tindakan jenis, ukuran dan
terafi IV. bahan kateter,
Sampel lama waktu
penelitian pemasangan,
diambil pemilihan tempat
secara insersi, jennis
purvose penutup tempat
sampling penusukan
selama 3 (dressing), tekhnik
bulan, analisa penusukan/insersi,
51

data dengan sterilitas perawatan


uji chi squere intravena, cairan
untuk melihat intera vena, obat
kontribusi parenteral dan
dari faktor frekuensi
pendukung perawatan terafi
terjadinya interavena.
flebitis, Sedangkan faktor
dilanjutkan paling dominan
uji regresi adalah lama
logistik untuk pemasangan
mengetahui kateter.
faktor yang
berkontribusi
paling
dominan
terhadap
kejadian
flebitis.
8 Elida Riris Pengetahuan Penelitian Hasil penelitian
Kuntarti Tentang Terapi deskriptik menunjukan ada
2014 Intravena analitik hubungan antara
berhubungan dengan tingkat
dengan pendekatan pengetahuan
Perilaku cross perawat tentang
Perawat Dalam sectional ini terafi intravena
Pencegahan melibatkan dengan dan
Flebitis 101 perawat perilaku
ruang rawat pencegahan
inap yang flebitis bacterialis
dipilih (p<0,001; OR=
dengan 5,23 CI 95% 1,9 –
52

tekhnik 13,8).
stratified
random
sampling.
Instrumen
yang
digunakan
adalah
kuisioneq
tentang
pengetahuan
terafi
intravena dan
prilaku
pencegahan
flebitis (r
Alpha =
0,657). Data
dianalisis
menggunakan
uji chi squere
9 L. M Tony Hubungan Jenis Hasil penelitian ini
Mawansyah Pengetahuan penelitian menunjukan
2017 Sikap dan yang bahwa ada
Motivasi Kerja dilakukan hubungan antara
Perawat adalah sikap (p value =
dengan penelitian 0,004) dengan
pelaksanaan Kuantitatif, pelaksanaan
Patient Safety desain yang Patient Safety di
di RS Santa digunakan RS Santa Anna
Anna Kendari dalam Kediri. Sedangkan
penelitian ini pengetahuan (p
53

adalah value = 1,000) dan


analitic cross motivasi (p value =
sectional. 0,254) tidak
Populasi berhubungan
dalam dengan
penelitian ini pelaksanaan
berjumlah 45 Patient Safety di
orang, sampel RS Santa Anna
penelitian 45 kediri
orang dan
tekhnik
pengambilan
sampel
menggunakan
total sampling
10 Sepvi Faktor Yang Desain Hasil penelitian ini
Fitriyanti Mempengaruhi penelitian ini yaitu variabel jenis
Terjadinya adalah cross cairan infus
Flebitis di RS sectional, mempunyai
Bhayangkara sampel pengaruh lebih
TK II. penelitian 68 besar terhadap
Samsoeri responden, 22 kejadian flebitis di
Mertojoso responden RS Bhayangkara
Surabaya terpapar Surabaya
flebitis
sedangkan 46
responden
tidak terpapar
flebitis.

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang telah di uraikan


diatas dapat dijelaskan ada persamaan dan perbedaan dengan penelitian
54

yang akan dilakukan. Akan tetapi variabel independen dan variabel


dependen, perumusan masalah dan metode penelitian terdapat
perbedaan. Perbedaan tersebut terletak pada penempatan variabel
independen dan variabel dependen dan tehnik analisis. Penelitian ini
akan menganalisis apakah ada perbedaan pengetahuan sebelum dan
sesudah mendapatkan edukasi Flebitis dalam pencegahan flebitis di
RS. X tahun 2019. Berdasarkan perbedaan – perbedaan dan persamaan
tersebut, kiranya cukup bagi penulis untuk memberikan penegasan
bahwa penelitian yang sedang penulis susun ini bukan merupakan
duplikasi atau flagiat dari penelitian yang sudah ada.

B. Kerangka Teori

Standar patient safety Nine life saving solution


berdasarkn PMK No. 1691
 Kendalikan cairan elektrolit pekat
tentang keselamatan pasien
 Gunakan alat injeksi sekali
Rumah Sakit
Nine Life Saving Solution dari pakai
WHO  Tingkatkan kebersihan tangan
(hand higiene) untuk pencegahan
infeksi
55

Pencegahan Flebitis
Pengetahuan perawat
tentang patient safety  Flebitis kimia
 Flebitis mekanik
 Flebitis bakteri
 Post infus flebitis

Gambar 2.1 : Kerangka Teori Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS), 2018 dan
dimodifikasi Infusion Nursing Society (INS, 2010).

Anda mungkin juga menyukai