Anda di halaman 1dari 4

Sebulan bersama Beato Titus Brandsma 23

Seri tulisan ini disajikan untuk menyongsong kanonisasi Beato Titus Brandsma, O.Carm. pada tanggal 15
Mei 2022. Dia adalah seorang Karmelit Belanda yang pada 26 Juli 1942 dibunuh rezim NAZI Jerman di
kamp konsentrasi Dachau sebagai martir yang membela kebenaran iman, keadilan dan perdamaian dan
hak asasi manusia. Hidup dan kematiannya amat relevan bagi kita pada zaman ini. Ada 30 tulisan.

Titus Brandsma dan Pemenjaraannya

Bagian I

Dengan kereta api Titus Brandsma dibawa ke Arnhem yang terletak hanya sekitar 20 km dari Nijmegen.
Titus membawa tas berisi buku-buku. Seorang “tamu” yang datang ke kamarnya waktu penangkapan
memasukkan buku-buku itu.

Di depan penjara Arnhem, Titus sempat bergurau dengan Steffen bahwa terasa aneh masuk penjara
pada umur enampuluh tahun. Steffen menyalahkan dia, kenapa mau menerima tugas dari uskup agung.
Titus menyahut, “Itu kehormatan bagiku.”

Di Arnhem, Titus harus menghabiskan sepanjang malam di atas kasur jerami. Tidak bisa tidur. Pagi hari
berikutnya, dibawa ke Den Haag.

Tujuannya adalah Scheveningen. Di kota itu, dia ditahan selama enam minggu di bekas Hotel Oranje
yang sudah diubah menjadi penjara.

Rupanya, dia tamu yang tidak terduga alias tidak direncanakan dibawa ke situ. Tempat penahanannya
belum disiapkan. Fasilitas yang tersedia minim (satu kendi air, handuk, sedikit pakaian, dan dua selimut).
Dia ditempatkan di kamar yang sempit. Lewat jendela yang terletak di atas pintu kamarnya, Titus bisa
melihat langit. Namun, di musim dingin jendela itu mengembun, sehingga jarang dapat melihat keluar
secara jelas.

Dia menempati kamar no.577. Kondisi penjara Scheveningen sungguh buruk. Meski demikian, seperti
biasa, Titus mampu melihat dalam yang buruk itu keindahan.

Dia menulis, “Ada konflik di antara prinsip-prinsip yang saling berseberangan. Aku mesti menderita
dengan sukacita, karena harus menderita demi berpegang pada prinsip yang benar. Panggilanku ke
dalam Gereja dan imamat telah memberiku sedemikian banyak, hingga aku sudah selayaknya
menanggung yang tidak menyenangkan. Hingga kini, belum terlalu buruk. Kendati aku tidak tahu apa
yang bakal terjadi, aku menyerahkan diriku seutuhnya ke dalam tangan Tuhan. Siapakah dapat
memisahkanku dari kasih Allah?”

Interogasi atas dirinya akan dilakukan pagi hari berikutnya di Den Haag. Setelah itu, ada kemungkinan
dia bisa pulang. Seorang tahanan muda mengatakan yang senada ketika Titus memberitahukan
harapannya itu. Hanya beberapa saat kemudian, Titus menyadari bahwa dia bakal ditahan lebih lama
untuk klarifikasi lebih lanjut. Benar, yang dikatakan anak muda itu.

Para tahanan itu diklasifikasi. Sebagian tergolong kelas IV, yakni tahanan terkait dengan perkara Gereja.
Sedang kelas III A3 mencakup mereka yang perkaranya terkait dengan pers. Titus Brandsma masuk ke
dalam kedua kategori itu.
Semestinya, kasusnya ditangani secara terpisah oleh dua orang yang berbeda. Namun, Hardegen,
pejabat tingkat tinggi dalam pasukan Nazi Jerman, ingin menangani kedua kasus itu sendiri.

Dalam jawabannya terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, Titus Brandsma berulang kali
menegaskan hal yang sama. Bahwa aktivitasnya terkait pers merupakan satu bentuk protes melawan
suatu sistem yang bertentangan dengan ajaran Katolik.

“Apakah itu berarti bahwa Gereja dan anggota-anggotanya akan melawan pemerintah pendudukan?”
tanya Hardegen. Titus menjawab bahwa Gereja Katolik akan menaati pemerintah pendudukan sejauh
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diajarkan Gereja Katolik. Jika salah satu risikonya adalah
mengganggu ketenangan dalam masyarakat, Gereja sungguh menyesalinya.

Titus Brandsma bukan tipe martir yang dengan bersemangat pergi ke tempat kemartiran. Dia memilih
tetap hidup, jika itu mungkin. Dia itu realistis dan berpendapat bahwa mempertahankan hidup ini lebih
baik, jika itu memang lebih berguna.

Ketika dipindahkan ke Kleve, Jerman, dia mengajukan permohonan untuk bisa ditahan di salah satu
biara Karmel di Jerman. Namun, dia sadar bahwa permohonannya tidak akan dikabulkan. Mengapa?
Karena aktivitasnya sebelum ditangkap lebih dari sekadar menyebarkan pesan Hirarki (Gereja).

Dia bahkan menegaskan bahwa dia akan melakukan yang sama, jika dia harus berada dalam situasi
seperti itu lagi. Hal ini dikatakannya kepada Hardegen yang menginterogasinya.

Gereja sangat prihatin atas penangkapan dan pemenjaraan Titus. Namun, dia malah menulis kepada
uskup agung Utrecht supaya beliau tidak khawatir akan dirinya.

Alasan utama penahannya adalah aktivitasnya dalam pers. Salah satu saudara jauhnya yang menjadi
pengacara mencoba mendekati Herdegen, meminta kelonggaran buat Titus. Tetapi, Hardegen
mengatakan bahwa alasan penahanannya berbeda. Titus dan rekan-rekannya dituduh melakukan
kegiatan yang ingin membatalkan kebijakan publik. Titus melawan kebijakan Nazi terhadap orang Yahudi
dan anti terhadap paham Sosialis Nasional.

Untuk menulis pembelaannya Titus diberi banyak kertas dan tinta. Kertas itu digunakannya untuk
menegaskan mengapa Gereja dan orang Katolik melawan Gerakan Sosialis Nasional di Belanda. Sebagian
dari kertas itu dipakainya untuk menulis memoir yang setelah kematiannya dikirimkan ke Nijmegen.
Terdiri dari 24 halaman memoir. Di sana orang membaca tentang kondisi penjara yang buruk dan
kualitas jiwa Titus Brandsma yang prima.

Titus Brandsma ditahan di Scheveningen dalam dua periode, yakni dari 20 Januari 1942 hingga 12 Maret
1942. Selama itu, dia sempat menulis surat dua kali kepada prior biara Nijmegen.

Selama dalam penjara, Titus diijinkan merokok. Jam tangannya dikembalikan kepadanya. Karena jam itu
mati, Titus membuat jam sendiri. Bebas dari penghitungan waktu Greenwich, Amsterdam atau Berlin.
Dia juga masih bisa mendoakan ibadat harian, karena brevirnya tidak dirampas.

Setelah menjalani beberapa kali pemeriksaan di penjara Scheveningen, Titus dibawa ke kamp
konsentrasi di Amersfoort. Kondisinya jauh lebih buruk.

Para tahanan itu tidur di atas tempat tidur susun beralaskan kasur jerami, tanpa bantal dan penutup
kasur, memakai selimut tentara yang sudah compang-camping.
Di ruangan itu, ada meja kayu dan tungku api yang dinyalakan dengan kayu-kayu yang dipotong oleh
para tahanan. Tersedia juga kamar mandi. Di sana sekali seminggu para tahanan bisa mandi bersama-
sama, tanpa harus malu lagi. Tidak ada “privacy” bagi para tahanan. Saat itulah mereka bisa berganti
baju dengan yang bersih.

Di tahanan ini, Titus Brandsma bertemu dengan banyak imam Katolik lain dan pendeta-pendeta
Protestan yang sebagian dia kenal baik. Kepala Titus sudah dicukur. Praktis dia gundul. Berat badannya
menurun dan kondisi fisiknya melemah.

Pada tanggal 28 April 1942, Titus bersama beberapa tahanan dipindahkan kembali ke penjara di
Scheveningen. Dia bersama dengan Kapteyn, seorang pendeta Protestan. Titus ditahan di sel no.623.

Pada saat tiba kembali di Scheveningen, rosario dan brevirnya dirampas. Salah satu penjaga tahanan,
Kirzig, mengawasi Titus dengan penuh curiga. Namun, dia justru ingin tahu tentang Titus yang tak henti-
hentinya berdoa itu.

Kirzig juga yang akhirnya berhasil mengambil rosario dan brevirnya dari almari penyimpanan dan
mengembalikannya kepada Titus. Suatu malam dia membawa Titus keluar dari selnya ke ruang penjaga.
Di sana dia ngobrol bersama Titus hingga malam.

Sampai Titus meninggalkan penjara itu, Kirzig tidak pernah menceritakan hal itu kepada siapapun. Baru
setelah Titus dikirim ke Dachau, Kirzig berkata kepada anak muda yang jadi suruhan penjara yang kenal
Titus. “Orang itu suci,” kata Kirzig.

Titus Brandsma sangat senang menemukan dua orang yang percaya kepada Tuhan. Mereka kerap
berbincang-bincang dengan mudah. Bahkan keduanya tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang apa
itu Karmelit.

Selama periode kedua penahanannya ini (28 April 194 hingga 16 Mei 1942), lebih dari sekali Titus
Brandsma bertemu lagi dengan Hardegen. Apa pun pertanyaannya, jawaban yang diberikan Titus tetap
sama. Dia tidak berubah dalam hal prinsip.

Dalam penjara di Scheveningen ini, Titus Brandsma menulis puisi yang sangat terkenal tentang
meditasinya di hadapan Yesus tersalib. Puisi itu jatuh ke tangan seorang tahanan yang kemudian
menyelundupkannya keluar dari penjara. Puisi digandakan dan menyebar ke banyak orang.

Titus Brandsma kehilangan misa harian dan komuni. Namun, dia tetap yakin bahwa Tuhan Allah berada
dekat dengannya; bahkan di dalam dirinya. Setiap pagi, setelah doa pagi singkat, dia melipat selimutnya.
Lalu mendoakan misa dengan berlutut dan menerima komuni batin.

Pada tanggal 6 Mei 1942, telpon biara Karmel Nijmegen berdering. Romo Prior mengangkat telpon. Dia
mendengar suara Titus Brandsma dari seberang sana. Romo Prior sangat gembira mendengar suara
konfraternya yang sudah hampir lima bulan meninggalkan biara.

Namun, suasana gembira itu mendadak lenyap. Titus Brandsma menelpon dari kantor Hardegen di Den
Haag, memberitahukan bahwa dalam beberapa hari ke depan dia akan dibawa ke kamp konsentrasi
Dachau.
Romo Prior sempat bertanya kabar dari konfraternya. Dia menjawab bahwa semuanya baik-baik dan
menyampaikan salam kepada semua konfrater. Ketika romo Prior hendak menyambung pembicaraan,
telpon mendadak putus. (RP Albertus Herwanta, O.Carm.)

Anda mungkin juga menyukai