Anda di halaman 1dari 23

Mengenang Johann Baptist

Metz di tengah Pandemi


A Passion for God
Teodise
• Sebulan setelah Covid 19 menyerang Wuhan,
Gereja Katolik berduka atas kepergian teolog
terkenal Johann Baptist Metz, 12/12/2019.
• Memang tidak ada hubungannya. Tetapi,
beberapa bulan setelah kepergian Metz, tiba-
tiba dunia modern menjadi akrab dengan teman
perjalanan tertua dalam sejarah manusia, yakni
ketakutan eksistensial akan kematian. 
• Bukan hanya ketakutan, melainkan protes iman
yang meletakan Allah di tengah forum teodise.
Justru di sinilah kita merindukan Metz, di saat
pandemi menyentuh luka pada model teologi
kita yang banyak kali begitu mudah dituliskan.
• Kalau Metz masih hidup, dia akan membuat
kembali teologi Sabtu Sunyi jilid II, kegalauan
setelah Golgota, dengan harapan utopis
Minggu Paskah.
Pengalaman
• Lahir di Auerbach, di timur laut Bavaria, 05
Agustus 1928. Dalam minggu-minggu putus
asa akhir Perang Dunia II di Jerman, Metz yang
kala itu adalah seorang prajurit berusia 16
tahun dikirim oleh komandannya kembali ke
markas. Ketika dia kembali, dia menemukan
anggota lain dari unitnya telah meninggal.
• "Aku hanya bisa melihat wajah-wajah yang mati dan kosong, di
mana sehari sebelumnya aku berbagi ketakutan dan tawa masa
kecil. Saya tidak ingat apa-apa selain tangisan tanpa kata. Ini
adalah bagaimana saya melihat diri saya sampai hari ini, dan di
balik memori ini, semua impian masa kecil saya hancur ....
• Apa yang akan terjadi jika seseorang membawa hal semacam ini
bukan kepada psikolog tetapi ke dalam gereja, dan jika
seseorang tidak akan membiarkan dirinya dibicarakan dengan
ingatan yang tidak terdamaikan bahkan oleh teologi, melainkan
ingin memiliki iman dengan mereka, dan dengan mereka
berbicara tentang Tuhan?" (2)
• Metz mengatakan, "tanyakan pada diri Anda
sendiri apakah teologi yang Anda pelajari itu
sedemikian rupa sehingga tidak akan berubah
sebelum dan sesudah Auschwitz. Jika
demikian, waspadalah Anda!" Bersama
Auschwitz, jika ada teologi yang terpisah dari
masyarakat dan kondisi mereka, maka teologi
tersebut sebaiknya berhenti untuk ada (99).
Apa yang sebetulnya terjadi di Auschwitz?
Auschwitz
• Auschwitz itu tempat yang aneh. Sebuah
penjara di tempat yang sepi, tersembunyi,
terpencil, berlokasi di tengah padang rumput
yang luas, dan dibatasi oleh pagar kawat listrik
dan berduri. 
• Tidak heran usai Auschwitz baik Yahudi
maupun non-Yahudi tidak bisa lagi
mempercayai Allah sejarah Kitab Suci, "setelah
Auschwitz apalagi yang bisa dikatakan seorang
Yahudi tentang Allah?"  Bahkan Adorno
menuduh semua yang menulis tentang
Auschwitz, yanag berpuisi atau berdoa kepada
mereka sebagai barbarisme.
Bahasa doa

• Menentang gagasan radikal Adorno, Metz


mengatakan, "kita dapat berdoa kepada
Auschwitz, karena juga di Auschwitz korban
berdoa,.... (dan) kami tidak pernah kembali ke
belakang Auschwitz. Di luar Auschwitz kami
tidak pernah datang sendirian, tetapi hanya
dengan para korban Auschwitz" (hal 122).  
• Auschwitz membawa orang pada bahasa doa alkitabiah yang
hampir terkubur. Sebuah bahasa ratapan yang menyimpan
keluhan, tuduhan, bahkan pemberontakan melawan Allah…..
mistisisme penderitaan Allah (God-mysticism), "dalam bahasa
doa seseorang bisa mengatakan apa saja kepada Allah,
termasuk tidak mempercayai-Nya. 
• Asalkan katakanlah itu pada Allah" (Ekkehard Schuster: Hope
against Hope, 43). Bahasa mistisisme penderitaan Allah
diartikan olehnya sebagai bahasa teodise, dan bahasa tersebut
ditujukan kepada Allah seperti Ayub mempertanyakan
keadilan bagi para penderita yang tidak bersalah (hal 67).
• Metz kemudian berupaya menjawab tuduhan
orang Yahudi atas kematian tak bersalah
mereka di negara berbasis kristen dengan
jawaban yang sangat frontal, "kami dulu
berbicara tentang penderitaan yang tidak
bersalah sama sekali" (Yesus orang Nazaret). 
• Maka kristologi sebagai soteriologi sebetulnya
membungkam teodise, "mari kita akui pertama-
tama, mengapa Kristus disalib?" Jika kita berbicara
terlalu banyak dan terlalu cepat tentang peran
keselamatan Kristus, dan bukan mistisisme Tuhan-
Nya, bahkan Tuhan-Nya yang menderita, maka kita
menjadi tidak peka terhadap penderitaan orang lain.
Bukan pertanyaan Luther "bagaimana mendapatkan
Allah yang ramah" adalah inti pemikiran teologi saat
ini, tetapi mengapa gunung penderitaan ini?
• Menurut Metz, semenjak Allah berinkarnasi
dalam sejarah, Ia terlibat dalam penderitaan
dunia. Dia mengkritik para teolog yang melihat
penderitaan sebagai peristiwa dalam diri Allah
untuk melambangkan keterlibatan Allah yang
intim dengan dunia atau untuk mengalihkan
tuduhan sikap apatis dari Yang Ilahi. 
• Metz melanjutkan, duka tidak mengenal
kedaulatan, penderitaan lebih tepatnya ingin
diperjuangkan. Itulah mengapa bagi Metz
gagasan kemahakuasaan Allah harus dikritik,
karena klaim tentang Allah dan Kristus harus
memberikan janji masa depan.
• Pertanyaannya apa artinya mengenang Metz
di tengah Pandemi???
• Pandemi Covid 19 bukan lagi nama sebuah penyakit,
melainkan guncangan dan penolakan paling dalam dari
kepenuhan teologi. Metz melalui pengalamannya
memperingati kita merumuskan teologi yang mengarahkan
pandangannya ke bumi. Karena setelah wabah ini, teologi
tidak lagi dapat rampung seperti sebelumnya. Teologi
terkadang harus diam. Ada kelemahan teologi yang
mengetahui jawaban atas semua pertanyaan teodise. Tidak
hanya itu, menurut Metz di tengah penderitaan manusia,
kita tidak boleh hanya bertanya di mana Tuhan, melainkan
pula di mana kemanusiaan?
• Oleh karena itu, teologi yang berangkat dari
pengalaman korban juga harus memberikan
tanggungjawab etis untuk dikerjakan bersama,
Theologie nach Corona (teologi setelah
Cornona) adalah juga Kirche nach Corona
(Gereja setelah Corona).
• Martin Luther, derelinqui enim a deo hoc est a vitaet salute ire
in regionem longinquam mortis et inferni: “bukan hanya di
mata dunia dan murid-murid-Nya, bahkan di mata-Nya sendiri
Kristus melihat diri-Nya ditinggalkan oleh Allah, merasa
dikutuk oleh Allah, mengalami penderitaan, dan merasakan
murka Allah yang kekal”. Kristus, bukanlah manusia yang paling
sempurna, melainkan yang paling bersengsara dari semua
yang terkutuk di dunia. Dia tidak hanya mati dalam rasa takut
dan penderitaan dalam kodrat-Nya sebagai manusia (paham
skolastik), melainkan Dia mati dalam pribadi-Nya, dalam esensi
terdalam-Nya, yakni relasi dengan Bapa sebagai Putra Ilahi.
• Tetapi Karena Dia yang disalibkan adalah dia
yang bangkit, Maka penderitaan tidak akan
berhenti sebagai penderitaan.
Penderitaan Melukai Bahasa

Anda mungkin juga menyukai