Anda di halaman 1dari 4

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys spp.) berasal dari Sungai Amazon di


Amerika Selatan, ikan ini telah menyebar ke berbagai negara tropis termasuk
Indonesia, Malaysia, Filipina melalui kolektor ikan hias (Jumawan et al. 2016).
Kolektor ikan hias memanfaatkan ikan sapusapu sebagai pembersih kaca
akuarium, saat ini ikan tersebut telah menjadi invasif di Thalathiah serta dampak
negatif kehadiran ikan sapu-sapu pada famili Cyprinidae di Malaysia, famili
Loricariidae di Singapura (Hasnidar,et.al 2021)
Satu satunya cara untuk mengurangi kelimpahan ikan sapu-sapu di perairan
adalah dengan mengonsumsi ikan tersebut yang ditangkap oleh nelayan di sungai-
sungai. beberapa tempat ikan sapusapu telah dijadikan sebagai bahan pembuatan
berbagai jenis panganan antara lain otak-otak, empek-empek, siomay dan bakso.
Selain dapat dikonsumsi masyarakat, ikan ini dapat dijadikan sebagai sumber
protein hewani pada pembuatan pakan seperti pada ikan patin (Hutasoid et al.
2014); pakan ternak itik (Hasnidar,et.al 2021). Hasil uji kimia daging ikan sapu-
sapu menurut (Hasnidar,et.al 2021) menunjukkan bahwa kadar protein 15,20%;
lemak 6,27%; serat kasar 2,14%; abu 4,74% dan kadar air 67,19% Hasil tersebut
menunjukkan bahwa ikan sapu-sapu termasuk ke dalam golongan ikan berprotein
sedang 15-20% tinggi yaitu 8-25%, 15-20%. Karena kelimpahannya dan
kandungan nutrisi yang tinggi maka ikan sapu sapu dapat di jadikan sebagai
pakan segar untuk pertumbuhan kepiting bakau Syclla sp
Kepiting bakau Scylla sp merupakan salah satu komoditas perikanan yang
memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Kepiting bakau memiliki nilai gizi
yang tinggi dan kualitas cita rasa yang disukai konsumen baik di dalam negeri
maupun pasaran internasional. (Budi,et.al 2017). Menurut Tiurlan (2019)
menyatakan bahwa kandungan protein kepiting bakau 65,72 % dan lemak 0,88%,
sedangkan ovarium (telur) kepiting bakau mengandung 88,55% protein dan
8,16% lemak.
Permintaan kepiting bakau di pasaran lokal maupun mancanegara dari waktu
ke waktu semakin meningkat. Hal ini dibuktikan dari volume ekspor kepiting dan
rajungan Indonesia mencapai 29,038 ton dengan nilai ekspor mencapai USS
321,842. Pada bulan Januari-November Tahun 20162017 peningkatan nilai
ekspor kepiting dan rajungan sebesar 29,46 % (BPS, 2018). Dilaporkan pula oleh
Dirjen Perikanan Budidaya bahwa nilai ekspor kepiting dan rajungan 2012-2017
tumbuh 6,06 %. Tingginya permintaan kepiting memicu intensitas penangkapan
kepiting di alam semakin tinggi Tiurlan,et.al (2019).
Berdasarkan peraturan pemerintah No. 1/Permen-KP/2015, menyatakan
bahwa penangkapan kepiting hanya boleh dilakukan apabila lebar karapas lebih
dari 15 cm dan berat 300 g dan dilarang menangkap kepiting bakau dalam kondisi
bertelur, apabila kepiting bakau yang tertangkap ukuran 15 cm dan kondisi
bertelur maka wajib dilepaskan Tiurlan,et.al (2019). Oleh karna itu perlu di
lakukan budidaya yang sustainable dengan cara mealukan pembasaran terhadap
kepiting bakau Scylla sp.
B. Rumusan Masalah

Ikan sapu sapu merupakan komoditas yang melimpah di alam dan tidak
terkontrol pertumbuhannya serta dapat menjadi ancaman bagi spesies local yang
berada di satu perairan yang sama. Selain itu ikan sapu sapu ini mudah di peroleh
dan tidak bersaing dengan mahkluk hidup lainnya. Maka dari itu ikan sapu sapu
ini dapat di jadikan sebagai pakan segar untuk mengetahui pengaruhnya terhadap
pertumbuhan kepiting bakau dengan pemberian dosis yang berbeda.
C. Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari peneltian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian dosis
yang berbeda ikan sapu sapu segar terhadap pertumbuhan kepiting bakau Scylla
sp
Manfaat penelitian ini di harapkan dapat menjadi bahan informasi bagi
pembudidaya mengenai penggunaan pakan segar ikan sapu sapu terhadap
pertumbuhan kepiting bakau Scylla sp.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai