Anda di halaman 1dari 12

FAKTOR RISIKO TERHADAP KEJADIAN TUBERKULOSIS PADA ANAK DI RSUD

KABUPATEN FAKFAK PAPUA BARAT


Dian Rizky Amelia, Lasmauli Situmorang
Departemen Pediatri RSUD Fakfak, Papua Barat, Indonesia

ABSTRAK
Latar Belakang: Munculnya pandemi covid-19 menyebabkan upaya penanggulangan TB mene
mui banyak rintangan sehingga fokus program kesehatan dialihkan untuk penanggulangan pande
mi. Hal ini berisiko meningkatkan jumlah kasus serta sumber penularan TB . TB beresiko menul
arkan kelompok rentan yang memiliki daya tahan tubuh rendah seperti anak berusia 0 -14 tahun.
Konfirmasi diagnosis TB pada anak mengalami banyak penyulit sehingga penanganan TB anak t
erabaikan. Hal ini memberikan dampak kesulitan dalam menegakan diagnosis TB anak di puske
smas sehingga terjadi overdiagnosis, underdiagnosis, maupun underreported kasus. RSUD Kabu
paten Fakfak sebagai satu satunya rumah sakit rujukan di kabupaten Fakfak Papua Barat masih
memiliki banyak masalah terkait kasus tuberculosis anak.
Tujuan: Mengetahui faktor risiko tuberculosis pada anak terhadap status gizi, imunisasi BCG,
riwayat kontak dan pendidikan ibu di RSUD Kabupaten Fakfak Papua Barat.
Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancanga
n penelitian cross sectional di RSUD Fakfak selama bulan Januari 2019-Desember 2021. Penga
mbilan sampel menggunakan purposive sampling sesuai kriteria penelitian dengan jumlah 214
pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Peneliti mengambil data pasien dari rekam
medis. Data diolah dengan SPSS statistic for Mac dan dianalisis dengan uji Chi-square test dan
metode regresi logistic. Tingkat signifikansi pada kedua pengujian adalah p < 0,05.
Hasil Penelitian : There were significant results in nutritional p=0,000 (p<0,05) (OR 4,95, CI95
% 2,30-10,66), BCG imunization p=0,007 (p<0,05) (OR 3,31, CI95% 1,39-7,89), tuberculosis
contact p=0,000 (p=<0,05) (OR 19,44, CI95% 7,98-47,39) and mothers education p=0,003 (p<
0,05) (OR 3,11, CI95% 1,49-6,52). The regression test showed significant result on these four fa
ctor.
Kesimpulan Penelitian : status gizi, imunisasi BCG, Riwayat kontak TB dan pendidikan ibu
secara multivariat merupakan fakor risiko yang signifikan terhadap kejadian tuberculosis pada
anak di RSUD Kabupaten Fakfak Papua Barat.
Kata Kunci : faktor risiko tuberculosis pada anak
PENDAHULUAN
Angka kasus penyakit tuberculosis (TB) semakin meningkat jumlahnya di Indonesia. Ind
onesia menjadi negara endemis TB yang menempati posisi kedua setelah India dan merupakan sa
lah satu negara dengan beban TB tertinggi di dunia dengan perkiraan jumlah orang yang jatuh sa
kit akibat TB mencapai 845.000 dan angka kematian mencapai 98.000 atau setara dengan 11 ke
matian/jam.1 Dengan munculnya pandemi covid-19, upaya penanggulangan TB menemui banyak
rintangan sehingga fokus program kesehatan dialihkan untuk penanggulangan pandemi. Kondisi
ini menyebabkan rentannya tertular TB, hal ini tentunya berisiko meningkatkan jumlah kasus ser
ta sumber penularan TB.2 TB beresiko menularkan kepada orang lain, terutama kelompok rentan
yang memiliki daya tahan tubuh rendah seperti anak berusia 0 -14 tahun.3
Proporsi kasus TB anak di Papua Barat tahun 2019 sebesar 65%, sebanyak 1.856 anak ter
tular tuberculosis dewasa yang berhasil ditemukan dan diobati. Angka notifikasi kasus TB di Fa
kfak sebesar 23,86% sehingga Fakfak menempati posisi ke lima di Provinsi Papua Barat setelah
Manokwari, Sorong, Bintuni, dan Sorong Selatan. Angka keberhasilan pengobatan TB tahun 201
9 di Kabupaten Fakfak sebesar 64%, hal ini menunjukkan masih belum tercapainya target Dinas
Kesehatan Provinsi Papua Barat (>90%). 4 Data di RSUD Fakfak menunjukkan jumlah penderita
TB anak yang menjalani pengobatan pada tahun 2019 sebanyak 60 kasus, tahun 2020 sebanyak 2
4 kasus dan tahun 2021 menjadi 23 kasus.5,6,7 Penurunan jumlah kasus yang ditemukan di RSUD
Fakfak bisa dikarenakan adanya pandemi Covid-19 sehingga belum cukup tepat untuk menggam
barkan jumlah kasus TB pada anak.
Permasalahan yang menyebabkan penyebaran kasus TB diberbagai tempat adalah sulitny
a menegakan diagnosis TB pada anak di puskesmas sehingga terjadi kecenderungan overdiagnos
is, underdiagnosis, maupun underreported kasus TB anak. 8 Hal ini menjadi pemicu sulitnya pene
muan kasus baru TB sehingga pengobatan TB menjadi tidak adekuat dan program penanggulang
an tidak dapat dilaksanakan secara efektif. Kesulitan akses transportasi menuju fasilitas kesehata
n dan RSUD Fakfak yang jauh dari tempat tinggal pasien juga menjadi masalah penting yang bel
um dapat dipecahkan hingga saat ini.
Berat ringannya kasus TB paru tergantung pada beberapa faktor yang mempengaruhi pen
ularan penyakit tuberkulosis paru seperti tingkat pendidikan ibu, status gizi ,usia, riwayat imunis
asi BCG dan kontak dengan pasien TB lainnya. 9 Kontak yang terjadi terus-menerus menjadi pen
yebab utama risiko transmisi infeksi TB. Di sisi lain kurangnya gizi merupakan faktor risiko pen
yumbang tertinggi penyakit TB pada anak. Pemberian imunisasi BCG sebelum adanya infeksi pr
imer memberikan perlindungan 40-70 % untuk periode usia 10-15 tahun. Vaksin ini mampu me
minimalisir perkembangan bentuk TB lainnya hingga 80%.10 Menurut WHO pandemi covid 19
saat ini memberikan dampak menurunnya cakupan imunisasi BCG pada anak.11
Berdasarkan angka kejadian TB anak di Papua Barat maka peneliti ingin melakukan pene
litian tentang faktor risiko terhadap kejadian tuberculosis paru pada anak di RSUD Fakfak Papua
Barat tahun 2019-2020. Dengan mengetahui faktor -faktor risiko tersebut diharapkan dapat digun
akan sebagai dasar preventif guna mencegah terjadinya penularan maupun penyakit TB anak.

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan menggunakan desain penelitia
n cross sectional untuk mengetahui faktor risiko terhadap kejadian tuberculosis pada anak di RS
UD Kabupaten Fakfak Papua Barat selama bulan Januari 2019 - Desember 2021. Sampel peneliti
an ini adalah pasien anak yang terdiagnosis tuberculosis dan tidak tuberculosis yang terdata di r
ekam medis dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan sampel pada penelitian ini
menggunakan metode purposive sampling sesuai kriteria penelitian. Variable bebas dalam peneli
tian ini adalah usia, status gizi, imunisasi BCG, riwayat kontak dan pendidikan ibu dan variable t
erikatnya adalah kejadian Tuberculosis pada anak. Data dianalisis menggunakan SPSS, dengan
metode Chi-square test dan regresi logistik dimana P<0.05 menunjukkan hasil signifikan

HASIL
Jumlah pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 214 orang. Diantaranya
107 pasien yang terdiagnosis tuberculosis (50%) dan 107 pasien yang tidak terdiagnosis
tuberculosis (50%). Penjabaran hasil dari penelitian dimulai dari karakterikstik responden, hasil a
nalisis Chi-square dan hasil uji multivariat. Karakteristik subjek digambarkan pada table 1.
Table 1. Karakteristik Responden

Variabel Karakteristik Frekuensi (%) Total (%)

Tuberculosis 107 (50%)


Tuberculosis 214 (100%)
Tidak Tuberculosis
107 (50%)

< 5 tahun 113 (52,8%)


Usia 214 (100%)
>5 tahun
101 (47,2%)

Laki-laki 114 (53,3%)


Jenis kelamin 214 (100%)
Perempuan
100 (46,7%)

Baik 109 (51,0%)


Status Gizi 214 (100%)
Kurang/buruk
105 (49,0%)

Imunisasi 77 (36,0%)
Imunisasi
214 (100%)
BCG
Tidak imunisasi
137(64,0%)

Ada kontak 87 (40,6%)


Riwayat
214 (100%)
kontak
Tidak kontak
127 (59,3%)

Pendidikan ibu Tinggi 87 (40,6%)


214 (100%)
Rendah
127 (59,3%)
Pada Table 2. Analisis bivariat Chi square menunjukkan bahwa dari lima variabel yang di analisi
s, empat secara signifikan yang berisiko terhadap kejadian Tuberculosis pada anak yaitu usia (p=
0,004), status gizi ( p=0,000), dan riwayat kontak TB (p=0,000) dan Pendidikan ibu (p=0,001).
Imunisasi BCG (p=0,117) memiliki nilai yang tidak signifikan (p >0,05).

Table 2. Analisis bivariat faktor risiko pada tuberculosis


Kejadian Tuberculosis
Total P
Variabel Kriteria
Tidak
Tuberculosis
Tuberculosis
46 67 113
< 5 tahun
(40,7 %) (59,3 %) (100 %)
Usia 0.004
61 40 101
>5 tahun
(60,4 %) (39,6 %) (100%)
74 35 109
Baik
(67,9 %) (32,1 %) (100 %)
Status Gizi 0.000
33 72 105
Kurang/buruk
(31,4 %) (68,6 %) (100 %)
44 33 77
Imunisasi
Imunisasi (57,1 %) (42,9 %) (100 %)
0.117
BCG Tidak 63 74 137
imunisasi (46,0 %) (54,0 %) (100 %)
17 70 87
Ada kontak
Riwayat (19,5 %) (80,5 %) (100 %)
0.000
kontak 90 37 127
Tidak kontak
(70,9 %) (29,1 %) (100 %)
56 31 87
Pendidikan Tinggi
(64,6 %) (35,6 %) (100 %)
ibu 0.001
51 76 127
Rendah
(40,2 %) (59,8 %) (100 %)

Pada table 3. Pada analisis regresi logistik didapatkan empat variable yang signifikan yaitu status
gizi (OR 4.956; 95%CI 2.30 – 10.66; p=0,000), imunisasi BCG (OR 3.318; 95%CI 1.39 – 7.89;
p=0,007) , riwayat kontak (OR 19.448; 95%CI 7.98 – 47.39; p=0,000) dan pendidikan ibu (OR
3,11, CI95% 1,49-6,52; p=0,003). Usia memiliki nilai (p= 0,173) sehingga menunjukkan hasil
yang tidak signifikan.
Table 3. Analisis Multivariate faktor risiko pada Tuberculosis
Faktor risiko Exp(B) CI 95% P
Usia 1.665 .799 – 3.46 0,173
(< 5 tahun)
Status gizi 4.956 2.30 – 10.66 0.000
(gizi kurang/buruk)
Imunisasi BCG 3.318 1.39 – 7.89 0.007
(tidak imunisasi)
Kontak TB 19.448 7.98 – 47.39 0.000
(ada kontak)
Pendidikan ibu 3.118 1.49 – 6.52 0,003
(rendah)

PEMBAHASAN
Berdasarkan analisis multivariat diperoleh bahwa usia tidak menunjukkan adanya faktor risiko
yang signifikan terhadap kejadian TB anak (p=0,449). Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Apriliasari 2018 yang menyatakan tidak terdapatnya hubungan antara usia
dengan kejadian TB paru anak (p=0,387).12 Hasil penelitian tersebut didukung oleh teori yang
menyatakan bahwa usia tidak berpengaruh dalam tahapan melawan infeksi. Pada usia berapapun
tubuh hanya dapat melawan infeksi apabila ditunjang dengan makanan bergizi dalam jumlah
yang cukup. Ketika tubuh mengalami kekurangan gizi atau malnutrisi maka akan menyebabkan
penurunan daya tahan tubuh yang berdampak mudahnya tubuh terserang penyakit hingga dapat
menyebabkan keparahan atau menimbulkan kematian.13 Hal tersebut juga sesuai dengan
pernyataan Simbolon dalam penelitiannya tentang faktor risiko TB paru anak bahwa tidak ada
perbedaan risiko kejadian TB paru menurut golongan umur.14 Anak yang berusia ≤ 5 tahun
mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas
selulernya belum berkembang dengan sempurna, namun demikian anak dengan usia produktif
juga memiliki risiko yang sama untuk mengalami sakit TB. Hal ini disebabkan karena adanya
kemungkinan anak sudah sejak lama tertular bakteri TB, namun baru mengalami sakit TB ketika
imunitas tubuhnya menurun yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti kelelahan, kekurangan
asupan makanan dan gizi, serta faktor psikologis seperti stres .15,14
Hasil uji statistik pada penelitian ini diperoleh nilai odds ratio imunsasi BCG terhadap terjadinya
TB pada anak sebesar 3,318 (95% CI: 1,39-7,89) yang menunjukkan bahwa anak yang tidak
imunisasi BCG berisiko tiga kali lebih besar kemungkinan tertular penyakit TB dibandingkan
anak yang melakukan imunisasi BCG dan secara statistik ada pengaruh yang signifikan antara
imunsiasi BCG dengan kejadian TB pada anak (p value=0.007). Hasil ini sama dengan penelitian

yang dilakukan oleh Son et al 2018 yaitu pemberian imunisasi BCG merupakan faktor risiko
terjadinya TB pada anak. Imunisasi BCG yang diberikan tepat waktu akan memberikan hasil
pembentukan antibodi yang optimal dalam mencegah pertumbuhan bakteri Mycobacterium
penyebab TB paru pada anak.16 Berdasarkan jadwal imunisasi dari IDAI dilakukan sebelum
anak berusia 3 bulan, sedangkan menurut Depkes RI anak usia 0-12 bulan sebaiknya sudah
diberi imunisasi BCG agar mencapai efek yang lebih optimal. Apabila pemberian imunisasi
lewat dari 3 bulan, maka sebaiknya dilakukan tes tuberkulin dahulu untuk mendeteksi apakah
anak terdapat infeksi MTB. Apabila hasil tes negatif, maka imunisasi BCG dapat segera

diberikan. Selain itu, untuk mencegah anak terinfeksi TB sebelum pemberian imunisasi BCG,
maka anak yang kontak erat bersama penderita TB harus dilakukan imunisasi segera yaitu
sebelum anak berusia 7 hari.17
Setelah mendapatkan imunisasi BCG, seorang anak masih dapat menderita infeksi tuberkulosis
primer, namun anak itu tidak akan mendapat komplikasi berat, seperti meningitis dan
tuberkulosis milier. Artinya walaupun seorang anak telah mendapatkan imunisasi BCG bukan
berarti anak tersebut terbebas dari infeksi TB, melainkan hanya mengurangi komplikasinya
karena efektivitas BCG berkisar 0-80%. Pemberian imunisasi BCG akan memberikan dampak
kekebalan aktif terhadap penyakit TB, namun imunitas yang terbentuk tidak menjamin seseorang
untuk tidak terinfeksi TB. Faktor yang mempengaruhi tingkat efektivitas imunisasi BCG
terhadap TB antara lain jadwal imunisasi tidak sesuai waktu, perbedaan vaksin BCG yang
diberikan, keterpaparan bakteri Mycobacterium tuberculosis yang tinggi di lingkungan tempat
tinggal, faktor genetik yang dimiliki anak, status gizi dan faktor lainnya seperti paparan sinar
ultraviolet terhadap vaksin sehingga kualitas vaksin menjadi kurang baik.18
Masalah status gizi menjadi penting karena perbaikan gizi merupakan salah satu upaya
pencegahan penularan TB. Status gizi yang buruk akan meningkatkan risiko penyakit
tuberkulosis. Sebaliknya TB berkontribusi menyebabkan status gizi buruk karena proses
perjalanan penyakit yang mempengaruhi daya tahan tubuh.19 Pada penelitian ini didapatkan
adanya pengaruh yang signifikan antara status gizi terhadap kejadian TB pada anak (p=0,000)
dengan nilai OR 5,71 yang menunjukkan responden anak dengan gizi kurang/buruk akan
meningkatkan terjadinya TB sebesar 5,71 kalinya dibandingkan responden anak dengan gizi
baik. Penelitian Putra Apriadi, dkk tahun 2018 menyebutkan bahwa anak yang memiliki status
gizi kurang memiliki risiko terkena TB sebanyak 3,31 kali lebih besar dibandingkan anak yang
memiliki status gizi baik.20 Hal tersebut terjadi karena anak dengan status gizi kurang/buruk
memiliki daya tahan tubuh yang lemah sehingga mudah terkena penyakit TB. Status gizi buruk
sangat memengaruhi pembentukan respon imun seperti antibodi dan limfosit terhadap MTB yang
menginvasi tubuh manusia. Hal ini dikarenakan karbohidrat dan protein digunakan sebagai
bahan baku pembentukan antibodi sehingga anak dengan gizi kurang/buruk memiliki imunitas
yang rendah. Dengan demikian, status gizi kurang/buruk pada anak akan menyebabkan
terjadinya gangguan imunitas yang mempengaruhi mekanisme pertahanan terhadap penyakit
TB.21
TB dan status gizi saling berhubungan dua arah yang kompleks. Kekurangan gizi dapat
memperberat risiko penyakit TB paru dan meningkatkan perkembangan dari infeksi TB laten
menjadi TB aktif. Ada beberapa proses yang mengakibatkan kekurangan gizi dapat
mempengaruhi TB yaitu kekurangan gizi dapat mengubah pathogenesis TB dengan
meningkatkan risiko perkembangan dari infeksi TB menjadi penyakit primer dalam jangka
pendek, dan dalam jangka Panjang akan meningkatkan risiko reaktivasi penyakit TB.22. Dalam
perkembangan fungsi tubuh, anak-anak memerlukan gizi yang cukup. Gizi yang kurang baik
akan mempengaruhi sistem pertahanan tubuh, sehingga anak akan mudah terserang penyakit
dan penurunan berat badan yang disebabkan oleh infeksi TB.23
Pada penelitian ini, riwayat kontak dengan penderita TB menunjukkan faktor risiko yang
signifikan terhadap kejadian TB anak. Hal ini di dukung penelitian Sharma et al 2018 yang
dilaksanakan di Dharan Nepal bahwa anak yang tinggal bersama penderita tuberculosis dewasa
maka berisiko 13,7 kali terkena tuberculosis. 24 Proses penularan seorang penderita tuberkulosis
ditentukan oleh beberapa faktor yaitu: banyaknya kuman yang terdapat dalam paru penderita,
penyebaran kuman di udara serta kuman yang terdapat dalam dahak berupa droplet.
Mengingat besarnya risiko penularan tersebut sudah seharusnya seorang anak menghindari
kontak langsung atau tidak tinggal serumah dengan penderita TB dewasa. Untuk mengetahui
sumber penularan penyakit TB, didapatkan melalui informasi mengenai riwayat kontak erat
antara anak dengan pasien TB. Anak-anak sangat rentan terinfeksi melalui orang disekitarnya.
Anak lebih sering terinfeksi dari orang dengan penyakit penyerta yang tidak dikenali akibat dari

menurunnya imunitas karena pengobatan yang tidak tuntas. Jika balita tinggal bersama penderita
TB dewasa dalam kurun waktu 3 bulan sebelum diagnosis atau mulai terapi TB maka dapat
dikatakan balita tersebut memiliki riwayat kontak aktif.8
Peluang peningkatan paparan tuberkulosis sangat terkait dengan jumlah kasus menular di
masyarakat dan intensitas batuk dari sumber penularan. Semakin banyak sumber penularan
tuberkulosis dewasa, semakin tinggi derajat sputum BTA pasien tuberkuloisis, maka secara
otomatis semakin tinggi presentase infeksi tuberkulosis pada anak. Penderita dewasa
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet pada waktu berbicara, batuk, atau bersin.
Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan hidup di udara pada suhu kamar dalam
beberapa jam, sehingga kuman dapat terhirup orang sekitar termasuk anak-anak.25 Anak yang
terinfeksi kuman tuberkulosis sebagian besar tertular dari anggota keluarga, pengasuh ataupun
tetangga. Kasus ini sangat infeksius karena semakin sering dan lama berinteraksi dengan kontak,
maka akan semakin besar pula penularan TB ke anak.26
Pendidikan ibu yang rendah menunjukkan adanya faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian
TB pada anak. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ernirita et al 2020 tingkat pendidikan
ibu mempengaruhi kejadian TB paru pada anak, ibu dengan pendidikan rendah berisiko 6,31
lebih tinggi untuk terjadinya TB paru dibanding dengan ibu yang memiliki pendidikan tinggi
dengan (= 0,004) dan nilai OR =6,31, (95% CI=1,52– 12,94).27 Penelitian ini sama dengan
penelitian yang dilakukan Apriliasari et al, 2018 dengan hasil adanya hubungan yang signifikan
antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian TB paru pada anak ,dengan p value sebesar 0,009
dan nilai OR = 3,579 (95% CI = 1,437 – 8,913), artinya responden yang memiliki orangtua
dengan tingkat pendidikan rendah berisiko 3,5 kali lebih besar untuk terinfeksi tuberculosis
dibandingkan dengan responden yang memiliki orangtua dengan tingkat pendidikan tinggi. 12
Pada umumnya, tingkat pendidikan formal seseorang cenderung berhubungan positif dengan
tingkat pengetahuannya. Selain itu, pendidikan juga dapat memengaruhi perilaku dan pola hidup
seseorang.Pendidikan tinggi orangtua akan membuat adanya tindakan preventif, memiliki status
kesehatan yang lebih baik dan mengetahui lebih banyak tentang masalah kesehatan. Pendidikan
sangat berpengaruh dalam upaya peningkatan kesehatan anak sehingga ibu akan lebih tanggap
akan kesehatan anak. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu diharapkan semakin baik dalam
pengasuhan anak. 28
Sosialisasi TB pada anak sangat diperlukan guna memberikan edukasi pada masyarakat dan
khususnya tenaga kesehatan yang jauh dari fasilitas kesehatan yang memadai. Skrining awal di
puskesmas (public health) sangat diperlukan untuk mengurangi segala faktor risiko yang
menyebabkan terjadinya TB pada anak sehingga masalah yang timbul dapat terdeteksi lebih awal
dan di rujuk ke rumah sakit terdekat. Kerjasama antar tim yaitu dokter anak, ,dinas kesehatan
setempat, puskesmas, para pemegang program TB dan kader di wilayah tesebut tentu akan
mampu membantu menurunkan prevelensi TB anak dan meminimalisir segala faktor risko yang
meningkatkan tb dan penularannya dalam berbagai aspek.
Keterbatasan penelitian ini adalah penggunaan data dari rekam medis (sekunder) sehingga sangat
tergantung dari kelengkapan data. Didapatkan bias recall yang terjadi dari subyek penelitian
karena perbedaan kemampuan pasien mengingat data dasar yang ditanyakan saat anamnesa
ketika pasien dirawat di rumah sakit. Selain itu, status HIV pasien juga tidak dianalisis karena
kelengkapan data kurang, juga berat ringannya gejala, kedekatan kontak tidak dijelaskan
terperinci. Untuk penelitian lanjutan, disarankan dilakukan secara prospektif dengan data primer
dan menggunakan variabel tambahan, seperti berat-ringannya gejala klinis yang mungkin
memiliki hubungan dengan berat ringannya derajat TB dan melakukan wawancara lebih spesifik
pada pasien dan keluarga guna mendapat informasi yang lebih akurat.

KESIMPULAN
Diantara beberapa faktor risiko terjadinya tuberculosis pada anak yang menunjukkan hasil signifi
kan pada penelitian ini adalah status gizi, imunisasi BCG, riwayat kontak TB dan Pendidikan ibu.
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi untuk mengetahui faktor risiko terhadap
kejadian TB anak .
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Global Tuberculosis Report. Geneva; 2020.
2. Kemenkes RI. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease Covid-19
Revisi 5. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2020.
3. World Health Organization (WHO) (2019). World Health Statistics Monitoring Health
for The Sustainable Development Goals.
4. Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat. Profil Kesehatan Provinsi Papua Barat Tahun
2019. Semarang; 2019.
5. ________________________. 2019. Rekam Medis Tahun 2018. Fakfak: RSUD
Kabupaten Fakfak
6. ________________________. 2020. Rekam Medis Tahun 2018. Fakfak: RSUD
Kabupaten Fakfak
7. ________________________. 2021. Rekam Medis Tahun 2018. Fakfak: RSUD
Kabupaten Fakfak
8. Kemenkes RI. (2019). Petunjuk Teknis Manajemen dan Tata Laksana TB Anak. Jakarta :
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit.
9. Fitriani PG, Putra AS, Eliska, Muchti YP. Analisis faktor yang berhubungan dengan
kejadian tuberkulosis paru anak di RSUD Sibuhan. J Berkala Epidemiologi. 2018 Dec
31;6(3):268–75.
10. Ekasari NM. Faktor-faktor Risiko yag Berhubungan dengan Kejadian TB paru Balita di
BKPM Wilayah Semarang, Semarang: 2018.
11. Word Health Organization. Coronavirus Deases (Covid-19) Dashboard [Online]. 2021.
Available from: chttps://covid19.who.int.table [3 Februari 2021].
12. Apriliasari, R., Hestiningsih, R., Martini, Udiyono, A. 2018, 'Faktor yang Berhubungan
dengan Kejadian TB Paru pada Anak', Jurnal Kesehatan Masyarakat, vol. 6, no. 1, pp. 1-
8.
13. Aditama, T. 2018, 'Tuberkulosis Diagnosis, Terapi, dan Masalahnya', YP-IDI, Jakarta.
14. Simbolon, D. 2017, 'Faktor Risiko Tuberkulocis Paru Di Kabupaten Rejang Lebong',
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, vol. 2, No. 3, pp. 112- 119.
15. Yustikarini, K. and Sidhartani, M. 2015, 'Faktor Risiko Sakit Tuberkulosis pada Anak
yang Terinfeksi', Sari Pediatri, vol. 17, no. 16, pp. 136–140.
16. Son M, Park YS, Jung MH, Kang JH, Choi UY. Risk factors for latent tuberculosis infect
ion in children in South Korea. Postgrad Med. 2018;130(7):637-3.
17. Depkes RI, 2018, Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta: Depkes RI.

18. Michelsen, S., Soborg, B., Koch, A., Carstensen, L., Hoff, S., Agger, E., et al., The Effect
iveness of BCG Vaccination in Preventing Mycobacterium Tuberculosis Infection and Di
sease in Greenland, Thorax; 2014, Vol. 69, No. 9, pp. 851- 6.
19. Ernawati, Kholis & Ramdhagama, Nazza & Ayu, Lydia & Wilianto, Muhamad & Dwiant
i, Vini & Alawiyah, Syafhira. (2018). Perbedaan Status Gizi Penderita Tuberkulosis Paru
antara Sebelum Pengobatan dan Saat Pengobatan Fase Lanjutan di Johar Baru, Jakarta Pu
sat. Majalah Kedokteran Bandung. 50. 74-78.
20. Apriadi siregar, P. A., Gurning, F. P., Eliska, E., & Pratama, M. Y. (2018). Analysis of
Factors Associated with Pulmonary Tuberculosis Incidence of Children in Sibuhuan
General Hospital. Jurnal Berkala Epidemiologi, 6(3), 268.
21. Husna CA, Yani FF, Masri MM. Gambaran status gizi pasien tuberkulosis anak di RSUP
Dr. M. Djamil Padang. J Kesehat Andalas. 2016;5(1).
22. Musuenge, Beatrice. B and Ghislain G. Poda. (2020). Nutritional Status of Patients
with Tuberculosis and Associated Factors in the Health Centre Region of Burkina Faso.
12, 2540; Department of Public Health, China Medical University.
23. Khrishna Bihari Gupta, Rajesh Gupta, Atulya Atreja, M. V. (2020). Tuberculosis and
nutrition. Deutsches Medizinisches Journal, 12, 145–149.

24. Sharma, K. R., Bhatta, N. K., Niraula, S. R., Gurung, R., & Pokharel, P. K. (2018). A Me
asure of Transmission of Tuberculosis Infection among Children in Household Contact. S
AARC Journal of Tuberculosis, Lung Diseases and HIV/AIDS, 16(1), 33–37.
25. Nurwitasari ACUW. Pengaruh Status Gizi dan Riwayat Kontak terhadap Kejadian Tuber
kulosis Anak di Kabupaten Jember. Jurnal Berkala Epidemiologi. 2015;3(2):158–69.

26. Noor Khoirina dan Endah Risna Budiati. 2018. Hubungan Riwayat Kontak Penderita Den
gan Kejadian Tuberkulosis Paru Anak Usia 1-14 Tahun Di Balai Kesehatan Masyarakat P
ati. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol 6, No 1, Februari 2018.
27. Ernirita, Putri Ananda, Giri, Tria. Karakteristik Skrining Terhadap Kejadian Tuberculosis
(TB) Paru Pada Anak di Puskesmas Cakung Jakarta. 2020;6(1).
28. Hapsari, 2018. Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan Perilaku Orantua tentang
Tuberculosis pada Balita di RSCM Kiara. Sari Pediatri 2018:19(6):316-20

Anda mungkin juga menyukai