Anda di halaman 1dari 12

Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah

Volume 1, Nomor :1-12


http://jim.unsyiah.ac.id/JIMFISIP

PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT BARAT SELATAN


TERHADAP PENETAPAN MALIK MAHMUD AL-HAYTAR
SEBAGAI WALI NANGGROE ACEH

Muhammad firdaus, Effendi Hasan, Maimun


Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsyiah
Muhammadfirdaus948@gmail.com

ABSTRAK

Terbentuknya Lembaga WN merupakan hasil kesepakatan perdamaian antara RI dan GAM.


Hasil nota kesepahaman tersebut, Pemerintah Pusat mengeluarkan UUPA/11/2006.
Implementasi UUPA melahirkan Qanun Nomor 8 tahun 2012 tentang LWN. Qanun LWN
disahkan pada tanggal 2 November 2012 oleh DPRA dan ditandatangani oleh Gubernur
Zaini Abdullah pada tanggal 19 November 2012. Selanjutnya pada 16 Desember 2013
Pemerintah Aceh melantik Malik Mahmud Al-Haytar sebagai WN. Pelantikan tersebut
mendapat kritikan serta penolakan, sebagian masyarakat menganggap penetapan Malik
Mahmud Al-Haytar tidak melalui mekanisme dari ketentuan dan syarat yang tertuang
dalam pasal 17 dan 18 Qanun LWN. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui
pandangan tokoh mayarakat Aceh Barat Selatan terhadap sosok Malik Mahmud, dan faktor
terjadinya Pro Kontra, serta implikasi selama Malik Mahmud menjadi WN. Data yang
diperoleh melalui penelitian ini yaitu kepustakaan dan lapangan. Penelitian kepustakaan
dilakukan dengan cara membaca buku teks, jurnal, peraturan perundang-undangan, dll,
yang berkaitan dengan penelitian ini, sedangkan penelitian lapangan dilakukan dengan cara
wawancara langsung informan yang sudah ditetapkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tokoh masyarakat ABAS memiliki berbagai pandangan bahwa penetapan Malik Mahmud
Al-Haytar sebagai Pimpinan Lembaga WN merupakan hasil musyawarah elemen partai dan
tokoh masyarakat. Sedangkan sebahagian tokoh masyarakat lainnya berpandangan bahwa
penetapan Malik Mahmud Al-Haytar tidak transparansi serta proses penetapan tersebut
tidak melalui mekanisme dari ketentuan syarat. Faktor muncul prokontra dikarenakan
Sosok Malik Mahmud Al-Haytar yang memiliki ilmu agama dan pengetahuan yang kurang
memadai dan tidak mencerminkan karisma seorang Wali. Hal ini yang dianggap oleh tokoh
masyarakat ABAS timbul prokontra. Implikasi selama Malik Mahmud menjadi WN hanya
sekedar acara Seremonial. Saran, proses pemilihan serta penetapan WL diharapkan kedepan
harus sesuai dengan mekanisme dan ketentuan yang berlaku, agar proses tersebut
mencerminkan demokratis.

Kata Kunci: Kepemimpinan, Persepsi

ABSTRACT

The formation of the institution of WN is the result of an agreement of peace between


Indonesian and GAM. The results of the memorandum of understanding, the Central
Government issued the UUPA/11/2006. Implementation of UUPA gave birth to regulations
No. 8 in 2012 on LWN. LWN regulations passed on November 2, 2012 by DPRA and
signed by Governor Zaini Abdullah on November 19, 2012. Next on December 16th, 2013
the Aceh Government appointed Malik Mahmud Al Haytar as WN. The inauguration got
criticism and rejection, some people consider the setting of Malik Mahmud Al Haytar not
through the mechanism of the terms and conditions contained in article 17 and 18
regulations LWN. The purpose of this research is to know the views of south West Aceh
community leaders against a figure of Malik Mahmud, and factors occurrence pros and
cons, as well as the implications for Malik Mahmud became WN. Data obtained through

1
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah
Volume 1, Nomor :1-12
http://jim.unsyiah.ac.id/JIMFISIP

this research that literature and field. Library research done by reading textbooks, journals,
legislation, etc, related to this research, while fieldwork is carried out by means of direct
interviews informants has been set. The results showed that the socialite of South West
Aceh has a wide view that the determination of Malik Mahmud Al Haytar as leader
Institution-WN is the result of deliberation elements of party and community leaders. While
part of other community leaders argued that the determination of Malik Mahmud Al Haytar
not transparency as well as the process of designation is not through the mechanism of the
provisions of these terms. Factors appearing pros cons because the figure of Malik Mahmud
Al Haytar who have religious knowledge and knowledge is inadequate and does not reflect
the charisma of a guardian. This is considered by socialite of South West Aceh incidence
pros cons. Implications for Malik Mahmud became the WN is merely a ceremonial event.
Solution, the selection process and the WL is expected in the future should be in accordance
with the mechanisms and conditions, so that the process reflects democracy.

Keywords: Leadership, Perception

PENDAHULUAN

Terbentuknya Lembaga Wali Nanggroe merupakan hasil kesepakatan


perdamaian di Aceh yang merupakan rangkaian penyelesaian konflik Aceh
dengan pemerintah Indonesia melalui Penandatangan MoU (Memorendum
of Understanding) antara pemerintahan Indonesia dan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia. Pasca
penandatanganan MOU tersebut, Aceh diberikan wewenang untuk dapat
hidup mandiri, baik itu di bidang ekonomi maupun politik dan hukum.
Secara hukum Aceh diberikan wewenang untuk mendirikan Lembaga Wali
Nanggroe yang di amanatkan dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka.
Sesuai isi MoU Helsinki poin 1.1.7 menegaskan bahwa, “Lembaga
Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan
gelarnya”. (Nota Kesepahaman Antara Pemerintahan RI dan GAM, 2005).
Hasil dari nota kesepahaman antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
dan Republik Indonesia (RI), Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-
undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh adalah sebagai tindak lanjut dari penjanjian MoU (Memorendum of
Understanding) antara Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) di Helsinki Finlandia 2005.
Secara legalitas perumusan tentang Lembaga Wali Nanggroe diatur
lebih lanjut dalam Bab XII pasal 96 ayat 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa
“Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai
pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa dan berwenang
membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga
adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat
lainnya”. Implementasi Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA)
melahirkan Qanun Nomor 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe.

2
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah
Volume 1, Nomor :1-12
http://jim.unsyiah.ac.id/JIMFISIP

Sejak disahnya Qanun tersebut oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh


(DPRA) pada tanggal 2 November 2012 dan ditandatangani oleh Gubernur
Zaini Abdullah pada tanggal 19 November 2012. Hal itu telah mengubah
konstalasi politik antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Pusat serta
timbulnya pro dan kontra baik dikalangan politisi, akademisi maupun
kalangan masyarakat Aceh. Namun, pemerintahan Aceh, tetap bersikukuh
agar Qanun tersebut diakui dan harus diterima oleh seluruh masyarakat
Aceh. Pemerintahan Aceh menganggap Qanun Lembaga Wali Nanggroe
adalah hasil dari perjanjian MoU Helsinki yang harus direalisasi.
(http://www.acehkita.com, diakses pada 15 juli 2015).
Kemudian Pemerintahan Aceh pada tanggal 16 Desember 2013
melantik Wali Nanggroe Malik Mahmud Al-Haytar sebagai Wali Nanggroe
Aceh ke 9 menggantikan Hasan Muhammad Di Tiro yang meninggal dunia
pada tahun 2010. Sebelumnya Pihak pemerintah Pusat melalui Kemendagri
telah melarang pemerintahan Aceh melakukan pelantikan terhadap Wali
Nanggroe jika Pemerintahan Aceh belum melaksanakan klarifikasi terhadap
21 poin persoalan terkait isi dalam Qanun Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Lembaga Wali Nanggroe tersebut. Walaupun demikian pelantikan tetap
dilaksanakan oleh pemerintah Aceh.
Sejak pelantikan Malik Mahmud Al-Haytar sebagai Wali Nanggroe,
Politik Aceh kembali memanas. Beberapa daerah masyarakat terus
menyuarakan penolakan serta kritikan terhadap kebijakan pemerintah Aceh
yang mengangkat Malik Mahmud Al-Haytar sebagai Wali Nanggroe.
Penetapan Mantan Perdana Menteri Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
tersebut dianggap oleh sebagian masyarakat dapat mengancam
perkembangan demokrasi di Aceh, pasalnya penunjukan Malik Mahmud Al-
Haytar tersebut tidak melalui mekanisme dari ketentuan dan syarat yang
sudah tertuang dalam pasal 17 dan 18 Qanun Nomor 8 Tahun 2012 Tentang
Lembaga Wali Nanggroe. Dalam pasal 17 disebutkan bahwa, syarat calon
Wali Nanggroe harus memenuhi ketentuan seperti, keturunan asli Aceh,
berbahasa Aceh dengan fasih, dikenal dan diterima rakyat Aceh,
berpengalaman dan berwawasan, arif dan bijaksana, alim, pandai berbahasa
asing (bahasa Arab dan Inggris), serta memiliki sifat jujur, adil dan amanah.
Kemudian di bagian kedua pasal 18 tentang unsur-unsur yang berhak
memilih Wali Nanggroe adalah Wali Nanggroe dipilih secara musyawarah
dan mufakat oleh Tuha Peuet, perwakilan dari seluruh Aceh yang terdiri dari
2 orang, perwakilan dari Alim Ulama 1 orang dari setiap wilayah di Aceh.
Penolakan terhadap Malik Mahmud Al-Haytar juga memunculkan
kembali isu pemekaran Aceh menjadi tiga provinsi. Sebagian warga dataran
tinggi "Tanah Gayo" kembali menuntut pemisahan dari Aceh dengan
sebutan "Provinsi Aceh Leuser Antara". Kemudian muncul juga desakan
pembentukan "Provinsi Aceh Barat Selatan". Kedua wilayah tersebut
meminta pisah dari provinsi Aceh, mereka menganggap pemerintah Aceh
selama ini tidak memperhatikan kepentingan daerah mereka. Bahkan dalam
pandangan mereka, menganggap pemerintah Aceh telah mendiskriminasi
suku yang ada di Aceh. pasalnya, dalam pasal 17 Qanun Nomor 8 Tahun
2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe disebutkan syarat calon Wali

3
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah
Volume 1, Nomor :1-12
http://jim.unsyiah.ac.id/JIMFISIP

Nanggroe harus pandai bahasa Aceh, sedangkan bahasa yang ada di Provinsi
Aceh memiliki berbagai suku dengan bahasa yang berbeda.
Dari permasalahan tersebut diatas, penulis ingin mengupas terkait
Pandangan Tokoh Masyarakat Barat Selatan Terhadap Penetapan Malik
Mahmud Al-Haytar Sebagai Wali Nanggroe Aceh, yang menitik fokuskan
pada sosok Malik Mahmud Al-Haytar dan faktor munculnya prokontra
terhadap penetapan Malik Mahmud Al-Haytar serta Implikasi selama Malik
Mahmud Al-Haytar Menjadi Wali Nanggroe Aceh.

TINJAUAN PUSTAKA

Setiap orang mempunyai pandangan (persepsi) yang berbeda-beda


terhadap obyek rangsang yang sama. Perbedaan persepsi antara individu
dengan individu lainnya terhadap obyek tertentu, tergantung pada
kemampuan seseorang dalam menanggapi, mengorganisir, dan menafsirkan
informasi tersebut. Berbagai ahli telah memberikan definisi yang beragam
tentang persepsi, walaupun pada prinsipnya mengandung makna yang sama
dimana proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya.
Menurut Suranto Aw (2010: 107) “Persepsi merupakan proses
internal yang diakui individu dalam menyeleksi, dan mengatur stimuli yang
datang dari luar. Stimuli itu di tangkap oleh indra, secara spontan pikiran
dan perasaan kita akan memberi makna atas stimuli tersebut. Secara
sederhana persepsi dapat dikatakan sebagai proses dalam memahami
kontak/hubungan dengan dunia sekelilingnya”.
Syarat-syarat terjadinya persepsi adalah adanya objek yang
dipersepsi, Adanya perhatian yang merupakan langkah pertama sebagai
suatu persiapan dalam mengadakan persepsi, Adanya alat indra/reseptor
yaitu alat untuk menerima stimulus, Saraf sensoris sebagai alat untuk
meneruskan setimulus ke otak, yang kemudian sebagai alat untuk
mengadakan respon (Sunaryo, 2004: 98).
Kemudian dalam penelitian ini, penulis juga menggunakan teori
tentang kepemimpinan. Kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan
seseorang (pemimmpin atau leader) untuk mempengaruhi orang lain (orang
yang dipimpin atau para pengikut), sehingga orang lain tersebut bertingkah
laku sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pemimpin. (Soekanto, 2006:
288).
Max Weber (Hadi Mustafa, 2011: 16) membagi kepemimpinan dan
wewenangnya menjadi tiga: tradisional, rasional dan karismatik. Pengertian
pertama, pemimpin tradisional mendapatkan wewenangnya dimasyarakat
berdasarkan ketentuan-ketentuan di masyarakat secara tradisional. Biasanya
berkaitan dengan hubungan kekeluargaan, atau didapat secara turun temurun
berdasarkan tradisi yang diwarisi, seperti raja. Kedua, pemimpin rasional
adalah kepemimpinan yang wewenangnya didasarkan pada hukum dan
kaidah-kaidah yang berlaku dan ditaati oleh masyarakat. Pada masyarakat
yang menerapkan nilai-nilai demokratis, biasanya pemimpin yang
mendapatkan kekuasaan diberi kedudukan menurut jangka waktu tertentu

4
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah
Volume 1, Nomor :1-12
http://jim.unsyiah.ac.id/JIMFISIP

dan terbatas. Wewenang rasional biasa disebut sebagai wewenang absah


atau legal atau birokrasi. Contohnya seperti presiden, perdana menteri,
gubernur, bupati, dan camat. Ketiga, pemimpin karismatik yaitu didasarkan
pada seseorang yang mempunyai kemampuan khusus yang didapatkan
karena anugrah. Wewenang ini tidak diatur oleh kaidah-kaidah tradisional
dan rasional, bahkan sifatnya cenderung irasional. Adakalanya wewenang
karismatik bisa hilang dari seorang pemimpin manakala masyarakatnya
sendiri telah berubah dan mempunyai faham yang berbeda. Dan karisma
bisa saja bertahan dan bahkan meningkat sesuai dengan individu yang
bersangkutan membuktikan manfaat bagi masyarakat dan pengikut-
pengikutnya akan menikmatinya.
Lembaga Wali Nanggroe bukanlah merupakan lembaga politik dan
lembaga pemerintahan di Aceh. Namun Lembaga Wali Nanggroe
diperuntukkan untuk pemersatu adat dan istiadat di provinsi Aceh dan
dipimpin seorang Wali Nanggroe yang bersifat personal dan independen.
Wali Nanggroe juga berhak memberikan gelar kehormatan atau derajat adat
kepada perseorangan atau lembaga, baik dalam maupun luar negeri yang
kriteria dan tata caranya diatur dengan Qanun Aceh. (Taqwaddin, 2013: 26).
Kata Wali dalam bahasa Aceh berarti Wakil dan Nanggroe adalah Negeri,
jadi Pimpinan Lembaga Wali Nanggroe dapat diartikan adalah Wakil
Negeri, kata Wali Nanggroe hanya sebuah sebutan saja kepada para
pemimpin contohnya saja pemimpin perang, pemimpin sebuah negara
(Hasbi Amiruddin, 2008 :119)
Maurice Duverger, (1990) dalam bukunya “Sosiologi Politik”
mendefinisikan Lembaga adalah model hubungan manusia dari mana
hubungan-hubungan individu mengambil polanya, dengan itu mendapatkan
stabilitas, kelangsungan, dan kekohesihan. Dalam hubungan itu mereka
berbeda dari hubungan-hubungan yang dibentuk di luar kerangka
kelembagaan, yang sifatnya sporadis, yang berlangsung sesaat dan tidak
stabil.
Wali Nanggroe hanya sebagai simbol adat dan istiadat dalam
mempersatukan kebudayaan adat dan istiadat masyarakat Aceh dan bukan
sebagai perangkat lembaga di pemerintahan, Sejarah Aceh juga menjelaskan
Lembaga Wali Nanggroe juga sudah ada sejak perang Aceh melwan
penjajahan Belanda pada tanggal 26 Maret 1873, pada masa itu Wali
Nanggroe adalah pemimpin perang gelar Wali Nanggroe dijabat oleh
Tengku Tjik Di Tiro Muhammad Saman bin Abdullah sebagai Wali
pertaman, 17 tahun memimpin perang pada tanggal 29 Desember 1891
beliau diracun di Kuta Aneuk Galong setelah Tengku Tjik Di Tiro
Muhammad Saman bin Abdullah syahid kemudian pada tanggal 1 Januari
1892, Teungku Tjik Di Tiro Muhammad Amin bin Muhammad Saman
diangkat menjadi Wali Nanggroe ke-2 dan kemudian beliau syahid pada
tahun 1896 di Kuta Aneuk Galong atas penghianatan oleh Teuku Umar
Johan Pahlawan. Tgk Tjik Di Tiro Abdussalam bin Muhammad Saman
diangkat menjadi Wali Nanggroe ke-3 dan beliau syahid pada tahun 1898,
yang digantikan oleh Tgk Tjik Di Tiro Sulaiman bin Muhammad Saman
yang diangkat menjadi Wali Nanggroe ke-4. Tgk Tjik Di Tiro bin

5
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah
Volume 1, Nomor :1-12
http://jim.unsyiah.ac.id/JIMFISIP

Muhammad Saman syahid pada tahun 1902. Pada tahun 1902, Tgk Tjik Di
Tiro Ubaidillah bin Muhammad Saman diangkat menjadi Wali Nanggroe
ke-5. Tidak lama berkuasa, beliau syahid pada tahun 1905. Pada tahun yang
sama, Tgk Tjik Di Tiro Mahyiddin bin Muhammad Saman diangkat menjadi
menjadi Wali Nanggroe ke-6 dan syahid pada tanggal 11 Desember 1910..
Pemengku sementara Wali Nanggroe adalah Tgk Tjik Ulhee Tutue
alias Tjik Di Tiro Di Garot Muhammad Hasan, yang syahid pada tanggal 3
Juni 1911. Kemudian Wali Nanggroe dijabat Oleh Tgk Tjik Di Tiro Muaz
bin Muhammad Amin, pada tanggal 4 juni 1911 terjadi perang Alue Bout.
Pada tanggal 21 september 1953 Aceh menyatakan diri sebagai Negara
Bagian Aceh (NBA) dari Negara Islam Indonesia (NII), Tengku Muhammad
Daud Beureueh ditetapkan sebagai Wali Negara NBA (Negara Bagian
Aceh). Kemudian istilah Wali Nanggroe dipopulerkan oleh Hasan Di Tiro.
Menurut Hasan Di Tiro, setalah Tgk. Chik Di Tiro mangkat tahun 1891,
kekuasaan di Aceh beralih secara estafet kepada anak dan cucunya, yaitu
dari tangan Tgk. M. Amin hingga yang terakhir Tgk. Maat Tiro, yaitu
sepupu ibu Hasan Di Tiro adalah Wali Negara Aceh yang terakhir. Dalam
struktur kabinet Negara Atjeh, istilah ini digunakan lagi oleh DR. Teungku
Hasan M. Di Tiro LLD sebagai Wali Negara. (Taqwaddin, 2013: 39- 41)
Sedangkan pengertian tokoh masyarakat Menurut Damsar ( 2010:
222) adalah orang yang menjadi rujukan berpendapat dan berprilaku dari
komunitasnya. Tokoh masyarakat bisa saja dari kalangan agamawan, seperti
ulama, pendeta, pastor, atau dari kalangan pemangku adat seperti Ninik
mamak di Minangkabau, Teuku di Aceh atau bisa juga dari kalangan Cendik
cendikia, yaitu orang-orang yang dipandang memiliki pemahaman luas atau
visi yang jauh kedepan tentang kehidupan komunitas mereka.
Tokoh masyarakat memiliki pengaruh dan dihormati karena
kekayaan pengetahuan yang ia miliki, sehingga dipandang sebagai
seseorang yang bijaksanaan serta menjadi panutan bagi banyak orang.
Sebagai sosok yang dianggap memiliki kekayaan intelektual dan
kebijaksanaan, tokoh masyarakat menjadi seseorang yang selalu ditunggu
peranan dan pertimbangan kebijaksanaannya terhadap suatu permasalahan
yang terjadi di masyarakat.
Teori Tokoh Masyarakat dalam penelitian ini digunakan sebagai
pendukung dari Konsep Pandangan (persepsi) dengan teori kepemimpinan.
Dalam hal ini, digunakan agar dapat menemukan jawaban yang tepat sesuai
dengan fokus masalah yang dibahas.

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, peneliti mengunakan metode kualitatif


deskriptif. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang
berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada
kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana
peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data
dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat

6
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah
Volume 1, Nomor :1-12
http://jim.unsyiah.ac.id/JIMFISIP

induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna


dari pada generalisasi (Sugiyono. 2012: 9).
Adapun informan dalam penelitian ini adalah informan yang
memiliki wawasan dan pengetahuan menyangkut masalah penelitian ini
sehingga dapat memberikan informasi yang selengkap-lengkapnya. Menurut
Burhan Bungin (2011: 78), informan penelitian adalah subjek yang
memahami informasi objek penelitian sebagai pelaku maupun orang lain
yang memahami objek penelitian. Informan ditentukan secara purposive,
yaitu informan yang akan diwawancarai adalah informan yang sesuai
dengan kriteria terpilih dan benar-benar mengerti serta paham tentang
masalah penelitian, sehingga informasi yang diperoleh jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan.
kemudian yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Tokoh Masyarakat Aceh Jaya terdiri dari 5 orang.
2. Tokoh Masyarakat Aceh Barat terdiri dari 5 orang.
3. Tokoh Masyarakat Aceh Barat Daya terdiri dari 5 orang.
4. Tokoh Masyarakat Aceh Selatan terdiri dari 5 orang.

Penelitian ini menggunakan dua jenis sumber data. Adapun data


yang digunakan adalah:
1. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung di lapangan melalui
hasil wawancara dari sumber asli (informan) dan beberapa pihak
yang terkait untuk mengumpulkan data dengan mengadakan dialog
secara langsung dan mengajukan pertanyaan yang dibahas dalam
penelitian ini terhadap nara sumber informan dan beberapa pihak
terkait lainnya. Sehingga setelah dilakukan wawancara maka akan
disusun pembahasan secara berurutan.
2. Data sekunder atau lebih tepat disebut sebagai data penunjang dalam
penelitian ini, yaitu melalui studi perpustakaan yang menyangkut
masalah yang diteliti dengan mempelajari buku-buku dan menelaah
buku-buku, majalah, surat kabar, karya ilmiah, artikel, bulletin dan
lain-lain yang berkaitan dengan dengan penelitian ini.

Teknik pengumpulan data yang diperoleh melalui penelitian ini yaitu


kepustakaan dan lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara
membaca buku teks, jurnal, peraturan perundang-undangan, dll, yang
berkaitan dengan penelitian ini, sedangkan penelitian lapangan dilakukan
dengan cara wawancara langsung informan yang sudah ditetapkan.
Dalam penelitian ini, penulis menganalisis data secara bertahap.
Pertama dilakukan dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari
berbagai sumber, yaitu wawancara, pengamatan lapangan, dan dokumen
sehingga dapat ditemukan hal-hal pokok dari proyek yang diteliti yang
berkenaan dengan fokus penelitian. Kedua, dilakukan dengan merangkum
hal-hal pokok yang ditemukan dalam susunan yang sistematis, yaitu data
disusun dengan cara menggolongkan ke dalam pola, tema, unit atau kategori
sehingga tema sentral dapat diketahui dengan mudah kemudian diberi

7
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah
Volume 1, Nomor :1-12
http://jim.unsyiah.ac.id/JIMFISIP

makna sesuai materi penelitian. Ketiga, dilakukan pengujian tentang


kesimpulan yang telah diambil dengan data pembandingan yang bersumber
dari hasil pengumpulan data dan penunjang lainnya. Pengujian ini
dimaksudkan untuk melihat kebenaran hasil analisis sehingga melahirkan
kesimpulan yang diambil dengan menghubungkan atau mengkomunikasikan
hasil-hasil penelitian dengan teori-teori para ahli.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Terbentuknya Lembaga Wali Nanggroe merupakan implementasi


dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
yang dirumuskan dalam Qanun Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Lembaga
Wali Nanggroe. Untuk memenuhi struktur lembaga Wali Nanggroe, pada
tanggal 16 desember 2013 Pemerintah Aceh melantik Malik Mahmud Al-
Haytar sebagai Wali Nanggroe. Pelantikan tersebut mendapat kritikan serta
penolakan dari sebahagian masyarakat Aceh di beberapa daerah.
Berdasarkan fokus peneliti dalam penelitian ini, penulis menemukan
pandangan sebahagian tokoh masyarakat bahwa, sosok Malik Mahmud Al-
Haytar yang ditetapkan sebagai Wali Nanggroe dikenal sebagai tokoh
perjuangan Gerakan Aceh Merdeka yang semasa konflik Aceh berada diluar
Negeri. Sosok Malik Mahmud Al-Haytar masih menjadi sebuah pertanyaan
dari sebagian masyarakat, hal ini dianggap oleh sebagian tokoh masyarakat
Aceh Barat selatan, masyarakat kurang mengetahui bagaimana track record
serta latarbelakangnya sehingga menimbulkan kebingungan di sebagian
kalangan masyarakat atas pertimbangan apa Malik Mahmud Al-Haytar
ditetapkan sebagai Wali Nanggroe Aceh.
Dalam pandangan tokoh lainnya menggemukakan bahwa Sosok
Malik Mahmud Al-Haytar merupakan salah satu tokoh petinggi yang
dipanuti dari garis perjuangan Gerakan Aceh Merdeka, yang memiliki
kepribadian sederhana. Penetapan Malik Mahmud Al-Haytar sebagai Wali
Nanggroe yang menggantikan Alm Hasan Muhammad Di Tiro merupakan
pewaris dalam artian “struktur peran” bukan artian keturunan. Proses
penetapan merujuk pada aturan spesifikasi, sejarah, politik kearifan lokal
dan dipilih dengan proses legal, yang berarti ada keterlibatan lembaga yang
berwenang, dalam hal ini Eksekutif dan Legislatif.
Penetapan Mantan Perdana Menteri Gerakan Aceh Merdeka sebagai
Wali Nanggroe telah menimbulkan prokontra dikalangan masyarakat Aceh.
Dari hasil penelitian penulis, faktor timbulnya prokontra dalam perfektif
sebagian tokoh masyarakat Aceh Barat Selatan disebabkan oleh kebijakan
Pemerintah Aceh dalam menetapkan calon Wali Nanggroe tidak tranparansi
sehinggga tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi yang baik. Faktor lain
disebabkan juga dari penetapan calon Wali Nanggroe tidak sesuai dengan
mekanisme dari ketentuan syarat yang sudah dirumuskan dalam pasal 17
dan 18 dalam Qanun nomor 8 tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe.
Sesuai yang termaktum dalam Bab XII pasal 96 ayat 1 menjelaskan
“Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai
pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa dan berwenang

8
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah
Volume 1, Nomor :1-12
http://jim.unsyiah.ac.id/JIMFISIP

membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga


adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat
lainnya”. Kata Wali dalam bahasa Aceh berarti Wakil dan Nanggroe adalah
Negeri, jadi Pimpinan Lembaga Wali Nanggroe dapat diartikan adalah
Wakil Negeri, kata Wali Nanggroe hanya sebuah sebutan saja kepada para
pemimpin contohnya saja pemimpin perang, pemimpin sebuah negara
(Hasbi Amiruddin, 2008 :119)
Maurice Duverger, (1990) dalam bukunya “Sosiologi Politik”
mendefinisikan lembaga adalah model hubungan manusia dari mana
hubungan-hubungan individu mengambil polanya, dengan itu mendapatkan
stabilitas, kelangsungan, dan kekohesifan. Dalam hubungan itu mereka
berbeda dari hubungan-hubungan yang dibentuk di luar kerangka
kelembagaan, yang sifatnya sporadis, yang berlangsung sesaat dan tidak
stabil.
Dalam sebuah peranan walaupun seorangan/kelompok yang
mempunyai status, jabatan, atau posisi tidaklah semua hal berjalan seperti
yang diharapkan dan berharap seperti yang diinginkan, didalamnya selalu
ada efek positif dan negatif sehingga apa yang dikehendaki selalu berada
dalam taraf harus dipertimbangkan. Hal demikianpun terjadi dalam
implikasi yang dirasakan oleh masyarakat Barat Selatan selama Malik
Mahmud menjabat sebagai pimpinan Lembaga Wali Nanggroe. Banyak
implikasi-implikasi yang bertentangan atau belum memenuhi keinginan
sebagian masyarakat Aceh.
Keberadaan sosok Malik Mahmud Al-Haytar dalam Lembaga Wali
Nanggroe yang dirasakan oleh sebagian masyarakat Barat Selatan hanyalah
sekedar acara Seremonial. Hal ini dalam implikasi yang dirasakaan oleh
masyarakat Aceh Barat Selatan hanyalah sebatas tampil sebagai Publik
Figur, tidak ada gagasan, program serta terobosan baru yang bersifat sangat
senigfikan
Max Weber (Hadi Mustafa, 2011: 16) membagi kepemimpinan dan
wewenangnya menjadi tiga: tradisional, rasional dan karismatik. Pengertian
pertama, pemimpin tradisional mendapatkan wewenangnya dimasyarakat
berdasarkan ketentuan-ketentuan di masyarakat secara tradisional. Biasanya
berkaitan dengan hubungan kekeluargaan, atau didapat secara turun temurun
berdasarkan tradisi yang diwarisi, seperti raja. Kedua, pemimpin rasional
adalah kepemimpinan yang wewenangnya didasarkan pada hukum dan
kaidah-kaidah yang berlaku dan ditaati oleh masyarakat. Pada masyarakat
yang menerapkan nilai-nilai demokratis, biasanya pemimpin yang
mendapatkan kekuasaan diberi kedudukan menurut jangka waktu tertentu
dan terbatas. Wewenang rasional biasa disebut sebagai wewenang absah
atau legal atau birokrasi. Contohnya seperti presiden, perdana menteri,
gubernur, bupati, dan camat. Ketiga, pemimpin karismatik yaitu didasarkan
pada seseorang yang mempunyai kemampuan khusus yang didapatkan
karena anugrah. Wewenang ini tidak diatur oleh kaidah-kaidah tradisional
dan rasional, bahkan sifatnya cenderung irasional. Adakalanya wewenang
karismatik bisa hilang dari seorang pemimpin manakala masyarakatnya
sendiri telah berubah dan mempunyai faham yang berbeda. Karisma bisa

9
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah
Volume 1, Nomor :1-12
http://jim.unsyiah.ac.id/JIMFISIP

saja bertahan dan bahkan meningkat sesuai dengan individu yang


bersangkutan membuktikan manfaat bagi masyarakat dan pengikut-
pengikutnya akan menikmatinya.
Dari hasil penelitian dan uraian Max Weber dapat disimpulkan
bahwa, penetapan Malik Mahmud Al-Haytar termasuk dalam
kepemimpinan dan wewenang yang diatur berdasarkan norma-norma
hukum yang bersifat legal. Namun, penetapan kepemimpinannya tidak
sepenuhnya diterima oleh masyarakat sebagaimana yang diuraikan oleh
Max Weber tentang kepemimpinan karismatik, yang kepemimpinannya
diharapkan oleh suatu masyarakat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pembahasan dan analisa, maka dapat disimpulkan


beberapa kesimpulan:
1. Penunjukkan Malik Mahmud Al-Haytar sebagai pimpinan Wali
Nanggroe hanyalah untuk memenuhi dari pada pelaksanaan UU
Nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, Dimana Malik
Mahmud Al-haytar di tunjuk sebagai pengisi kekosongan bangku
pimpinan Lembaga Wali Nanggroe setelah wafatnya Hasan
Muhammad Tiro. Penunjukan tersebut dilakukan tanpa penjaringan
dan penyaringan dalam penentuan kandidat pimpinan LWN. Proses
terpilihnya Malik Mahmud sebagai pimpinan LWN lebih kepada
titah/ warisan. Masyarakat Aceh Barat Selatan menilai bahwa, tidak
ada transparansi dalam penetapan Malik Mahmud Al-Haytar sebagai
Pimpinan Wali Nanggroe. Hal inilah yang menjadi perbedaan
argumen sehingga terlahirnya pro kontra di Aceh Barat Selatan.
2. Masyarakat Aceh Barat Selatan hanya sekedar mengetahui bahwa
sosok Malik Mahmud Al-Haytar adalah seorang pejuang Gerakan
Aceh Merdeka dan sangat berjasa dalam perdamaian antara Gerakan
Aceh Merdeka dan Republik Indonesia, namun tidak banyak
mengetahui informasi tentang latar belakang beliau, mereka juga
menilai sosok Malik Mahmud Al-Haytar masih kurang dalam
pemahaman tentang adat istiadat Aceh dan pemahaman ilmu sosial.
3. Implikasi yang dirasakaan oleh masyarakat Aceh Barat Selatan
hanya sebatas Publik Figur, tidak ada gagasan, program serta
terobosan baru yang bersifat signifikat (berdampak langsung) yang
dirasakan masyarakat Aceh khususnya masyarakat Aceh Barat
Selatan.

Berdasarkan kesimpulan sarankan:


1. Penunjukan dan penetapan pimpinan Lembaga Wali Nanggroe
diharapkan kedepan dapat mencerminkan nilai-nilai demokratis serta
sesuai dengan mekanisme dari ketentuan yang sudah ditetapkan
dalam qanun No 8 tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe.

10
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah
Volume 1, Nomor :1-12
http://jim.unsyiah.ac.id/JIMFISIP

2. Kedepan diharapkan calon Wali Nanggroe memiliki pengalaman dan


ilmu sosial serta memiliki pemahaman tentang adat, adat istiadat di
Aceh
3. Dalam menjalankan tugas, sosok wali Nanggroe diharapkan mampu
berperan sebagai sosok pemersatu masyarakat Aceh dan dapat
dirasakan oleh semua golongan/lapisan masyarakat. Serta mampu
membagkitkan kembali adat istiadat Aceh.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Teks

Burhan Bungin. 2011. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan


Publik, Dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana

Damsar, 2010. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana prenada media


group

Hasbi Amiruddin, 2008. Aceh Serambi Mekah. Banda Aceh: CV. Citra
Kreasi Utama.

Maurice Duverger, 1998. Sosiologi Politik. Jakarta. PT Raja Grafindo


Persada (terjemahan Dhaniel Dhakidae)

Suranto Aw, 2010. Komunikasi Sosial Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu

Sunaryo, 2004. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.

Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif dan R&D.


Bandung: Alfabeta.

Taqwadin Husin, 2013. Kapita Selekta Hukum Adat dan Qanun Wali
Nanggroe. Banda Aceh: Bandar Publishing.

B. Skripsi & Tesis

Hadi Mustafa. 2011. Kepemimpinan kharismatik, Studi tentang


Kepemimpian Politik Mega Wati Soekarno Putri dalam PDI-P. UIN
Syarif Hidayatullah. Jakarta

C. Website

11
Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah
Volume 1, Nomor :1-12
http://jim.unsyiah.ac.id/JIMFISIP

http://www.acehkita.com/2012/11/02/DPRA-Sahkan-Qanun-Wali-
Nanggroe. Di akses 15 juli 2015. Banda Aceh

D. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh


Qanun Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe

12

Anda mungkin juga menyukai